Dekolorisasi Limbah Cair Industri Tekstil dengan Menggunakan Omphalina sp

1

PENDAHULUAN
Seiring dengan pesatnya perkembangan
industri, limbah-limbah industri menjadi
semakin bertambah, baik volume maupun
jenisnya. Akibatnya beban pencemaran
lingkungan semakin berat, sedangkan
kemampuan alam untuk menerima beban
limbah terbatas. Jenis limbah industri
banyak macamnya, tergantung bahan baku
dan proses yang digunakan masing-masing
industri.
Masing-masing
limbah
memerlukan penanganan tersendiri agar
dapat mencapai baku mutu yang ditetapkan
oleh pemerintah.
Industri tekstil merupakan salah satu
jenis industri di Indonesia. Industri tekstil
menghasilkan limbah cair berwarna yang

dapat berpengaruh terhadap estetika,
kekeruhan, dan toksisitas pada biota air
(ganggang dan ikan). Selain itu, sebagian zat
warna tersebut kemungkinan bersifat
karsinogenik. Oleh karena itu perlu
dilakukan penanganan terlebih dahulu
sebelum dibuang ke lingkungan. Perlakuan
mikrobiologis banyak dikembangkan untuk
biodekolorisasi limbah cair industri tekstil,
misalnya menggunakan mikrofungi (Dewi
2005) dan jamur pelapuk putih (white rot
fungi) (Awaludin et al. 2001) atau seperti
pada penelitian ini digunakan Omphalina sp.
Jamur pelapuk putih (JPP) mampu
menghasilkan
enzim
lakase,
lignin
peroksidase
(Li-P)

serta
Manganperoksidase (Mn-P) dengan aktivitas yang
tinggi. Lakase (EC 1.10.3.2; benzendiol:
oksigen oksidoreduktase) diketahui dapat
dimanfaatkan secara luas untuk berbagai
kegunaan seperti proses degradasi lignin,
bioremediasi dan biodegradasi polutan
organik (klorofenol dan polisiklik aromatik
hidrokarbon), dekolorisasi dan detoksifikasi
limbah tekstil, serta biobleaching dan
biopulping kertas. Hal tersebut disebabkan
lakase memiliki aktivitas katalitik terhadap
berbagai jenis substrat. Lakase berperan
dalam pigmentasi, pembentukan badan
buah, sporulasi, dan patogenisitas (Thurston
1994). Lakase yang dihasilkan oleh masingmasing JPP memiliki perbedaan yang sangat
nyata pada substrat spesifik, berat molekul,
dan pH optimumnya seperti yang dihasilkan
oleh beberapa jamur yakni Panaeolus
sphinctrinus, P. papilionaceus, Trametes

versicolor, dan Coriolopsis gallica (Pickard
et al. 1999).
Indonesia memiliki keanekaragaman
genetik jamur yang tinggi. Primack et al.

(1998) mencatat bahwa dari 47.000 spesies
jamur dunia, sekitar 12.000 spesies diantaranya
terdapat di Indonesia. Salah satu strategi untuk
konservasi keanekaragaman hayati jamur
adalah
melalui
pembudidayaan
dan
pemanfaatannya. Omphalina sp. (A-1) yang
merupakan JPP lokal hasil isolasi dari limbah
lignoselulosa pabrik kelapa sawit, Kebun Kerta
Jaya PTPN VIII, Banten
perlu diuji
kemampuannya untuk proses dekolorisasi
limbah pabrik tekstil.

Penelitian bertujuan mendapatkan metode
biodekolorisasi limbah cair industri tekstil
dengan menggunakan Omphalina sp. yang
dipersiapkan dalam berbagai kondisi media.
Pada penentuan kondisi optimal digunakan zat
warna tekstil terlebih dahulu.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan metode biodekolorisasi yang lebih
sederhana untuk meminimalisasi pencemaran
lingkungan oleh limbah cair industri tekstil.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari
hingga Juni 2007. Penelitian bertempat di
Laboratorium Mikroba dan Bioproses, Balai
Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia,
Jalan Taman Kencana No.1 Bogor.

TINJAUAN PUSTAKA
Limbah Cair Industri Tekstil
Proses industri tekstil menghasilkan limbah
padat dan cair. Limbah padat berasal dari proses

pembuatan kain, benang, serat-serat kain, dan
sampah dari kegiatan lain yang menunjang
produksi, sedangkan limbah cair berasal dari
proses
pengkanjian
benang,
proses
penghilangan zat pelumas dari serat sintetis
sebelum proses penenunan, dan dari proses
pencelupan (Nemerow dan Dasgupta 1991).
Limbah cair merupakan masalah utama dalam
pengendalian dampak lingkungan industri
tekstil karena memberikan dampak yang paling
luas. Hal ini disebabkan karakteristik fisik
maupun kimianya yang memberikan dampak
negatif terhadap lingkungan.
Menurut Hoo dan Suryo (1982), zat
pencemar dalam buangan cair industri dapat
digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu zat
pencemar yang mengapung (floating pollutant),

zat pencemar yang melayang (suspended
pollutant), zat pencemar yang larut (dissolved
pollutant), dan zat pencemar yang terendap
(settleable pollutant). Pada industri tekstil
dilakukan proses basah yang memerlukan
bermacam zat warna, bahan kimia, dan
pembantu penyempurnaan bahan tekstil.
Sebagian zat-zat tersebut teradsorpsi oleh bahan

1

PENDAHULUAN
Seiring dengan pesatnya perkembangan
industri, limbah-limbah industri menjadi
semakin bertambah, baik volume maupun
jenisnya. Akibatnya beban pencemaran
lingkungan semakin berat, sedangkan
kemampuan alam untuk menerima beban
limbah terbatas. Jenis limbah industri
banyak macamnya, tergantung bahan baku

dan proses yang digunakan masing-masing
industri.
Masing-masing
limbah
memerlukan penanganan tersendiri agar
dapat mencapai baku mutu yang ditetapkan
oleh pemerintah.
Industri tekstil merupakan salah satu
jenis industri di Indonesia. Industri tekstil
menghasilkan limbah cair berwarna yang
dapat berpengaruh terhadap estetika,
kekeruhan, dan toksisitas pada biota air
(ganggang dan ikan). Selain itu, sebagian zat
warna tersebut kemungkinan bersifat
karsinogenik. Oleh karena itu perlu
dilakukan penanganan terlebih dahulu
sebelum dibuang ke lingkungan. Perlakuan
mikrobiologis banyak dikembangkan untuk
biodekolorisasi limbah cair industri tekstil,
misalnya menggunakan mikrofungi (Dewi

2005) dan jamur pelapuk putih (white rot
fungi) (Awaludin et al. 2001) atau seperti
pada penelitian ini digunakan Omphalina sp.
Jamur pelapuk putih (JPP) mampu
menghasilkan
enzim
lakase,
lignin
peroksidase
(Li-P)
serta
Manganperoksidase (Mn-P) dengan aktivitas yang
tinggi. Lakase (EC 1.10.3.2; benzendiol:
oksigen oksidoreduktase) diketahui dapat
dimanfaatkan secara luas untuk berbagai
kegunaan seperti proses degradasi lignin,
bioremediasi dan biodegradasi polutan
organik (klorofenol dan polisiklik aromatik
hidrokarbon), dekolorisasi dan detoksifikasi
limbah tekstil, serta biobleaching dan

biopulping kertas. Hal tersebut disebabkan
lakase memiliki aktivitas katalitik terhadap
berbagai jenis substrat. Lakase berperan
dalam pigmentasi, pembentukan badan
buah, sporulasi, dan patogenisitas (Thurston
1994). Lakase yang dihasilkan oleh masingmasing JPP memiliki perbedaan yang sangat
nyata pada substrat spesifik, berat molekul,
dan pH optimumnya seperti yang dihasilkan
oleh beberapa jamur yakni Panaeolus
sphinctrinus, P. papilionaceus, Trametes
versicolor, dan Coriolopsis gallica (Pickard
et al. 1999).
Indonesia memiliki keanekaragaman
genetik jamur yang tinggi. Primack et al.

(1998) mencatat bahwa dari 47.000 spesies
jamur dunia, sekitar 12.000 spesies diantaranya
terdapat di Indonesia. Salah satu strategi untuk
konservasi keanekaragaman hayati jamur
adalah

melalui
pembudidayaan
dan
pemanfaatannya. Omphalina sp. (A-1) yang
merupakan JPP lokal hasil isolasi dari limbah
lignoselulosa pabrik kelapa sawit, Kebun Kerta
Jaya PTPN VIII, Banten
perlu diuji
kemampuannya untuk proses dekolorisasi
limbah pabrik tekstil.
Penelitian bertujuan mendapatkan metode
biodekolorisasi limbah cair industri tekstil
dengan menggunakan Omphalina sp. yang
dipersiapkan dalam berbagai kondisi media.
Pada penentuan kondisi optimal digunakan zat
warna tekstil terlebih dahulu.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan metode biodekolorisasi yang lebih
sederhana untuk meminimalisasi pencemaran
lingkungan oleh limbah cair industri tekstil.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari
hingga Juni 2007. Penelitian bertempat di
Laboratorium Mikroba dan Bioproses, Balai
Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia,
Jalan Taman Kencana No.1 Bogor.

TINJAUAN PUSTAKA
Limbah Cair Industri Tekstil
Proses industri tekstil menghasilkan limbah
padat dan cair. Limbah padat berasal dari proses
pembuatan kain, benang, serat-serat kain, dan
sampah dari kegiatan lain yang menunjang
produksi, sedangkan limbah cair berasal dari
proses
pengkanjian
benang,
proses
penghilangan zat pelumas dari serat sintetis
sebelum proses penenunan, dan dari proses
pencelupan (Nemerow dan Dasgupta 1991).
Limbah cair merupakan masalah utama dalam
pengendalian dampak lingkungan industri
tekstil karena memberikan dampak yang paling
luas. Hal ini disebabkan karakteristik fisik
maupun kimianya yang memberikan dampak
negatif terhadap lingkungan.
Menurut Hoo dan Suryo (1982), zat
pencemar dalam buangan cair industri dapat
digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu zat
pencemar yang mengapung (floating pollutant),
zat pencemar yang melayang (suspended
pollutant), zat pencemar yang larut (dissolved
pollutant), dan zat pencemar yang terendap
(settleable pollutant). Pada industri tekstil
dilakukan proses basah yang memerlukan
bermacam zat warna, bahan kimia, dan
pembantu penyempurnaan bahan tekstil.
Sebagian zat-zat tersebut teradsorpsi oleh bahan

2

tekstil dan tetap akan berada dalam tekstil
sampai proses selesai, sedangkan sisanya
berada dalam larutan dan akan terbuang
bersama air bekas proses basah. Zat-zat
dalam air buangan tersebut berpotensi
menimbulkan
masalah
pencemaran
lingkungan.
Air limbah industri tekstil dapat dengan
mudah dikenal karena warnanya. Cemaran
zat warna ini bervariasi baik jenis maupun
jumlahnya. Warna selalu jadi kontaminan
pertama pada limbah cair. Limbah industri
yang berwarna tidak hanya menimbulkan
polusi
secara
visual,
tetapi
dapat
meningkatkan resiko kerusakan lingkungan
dan kesehatan (Cascio 1994). Pada industri
tekstil pewarna yang biasa digunakan adalah
pewarna sintetik. Pewarna sintetik banyak
digunakan dalam industri tekstil karena
memiliki sifat yang lebih baik dibandingkan
dengan
senyawa
pewarna
alami.
Keunggulan dari senyawa sintetik adalah
mudah diperoleh dengan komposisi yang
tetap, mempunyai aneka warna, lebih tahan
lama, mudah cara pemakaiannya, dan
harganya relatif murah (Awaluddin et al.
2001).
Dekolorisasi
Dekolorisasi atau penghilangan warna
merupakan suatu cara yang digunakan untuk
mengurangi kepekatan warna. Menurut
Awaluddin et al. (2001), bahan pewarna
dapat didekolorisasi dengan metoda fisika
dan kimia, ultrasonifikasi merupakan contoh
dekolorisasi secara fisika, sedangkan contoh
dekolorisasi secara kimia ialah dengan
koagulasi menggunakan ferosulfat. Metode
ini lebih efektif, namun memerlukan biaya
tinggi, dapat menghasilkan senyawa
berbahaya, masalah operasional, dan
membutuhkan perlengkapan khusus, maka
perlu digunakan metoda alternatif.
Metode biologi merupakan metode
alternatif yang lebih menguntungkan karena
lebih sederhana, murah, ramah lingkungan,
dan tidak menghasilkan limbah sekunder
berupa sedimentasi lumpur dalam jumlah
besar. Salah satu perlakuan secara biologi
adalah dengan menggunakan teknik
biodekolorisasi. Jamur dipilih sebagai salah
satu organisme biodekolorisasi yang mampu
mendegradasi komponen warna yang
bersifat toksik karena jamur mempunyai
kemampuan untuk transformasi, yaitu
merubah dari bahan kimia berbahaya pada
limbah menjadi bentuk yang kurang atau

tidak berbahaya (Awaluddin et al. 2001). Salah
satu metode alternatif untuk dekolorisasi ialah
dengan menggunakan jamur pelapuk putih.
Dalam penelitian ini digunakan Omphalina sp.
yang merupakan salah satu jamur pelapuk putih.
Jamur Pelapuk Putih (White Rot Fungi)
Jamur pelapuk putih (Gambar 1) termasuk
dalam kelas Basidiomycetes yang dapat
mendegradasi selulosa, hemiselulosa, dan lignin
menjadi CO2, air, dan mineral penyubur tanah.
Seperti halnya tumbuhan, jamur juga
membutuhkan sumber makanan, pasokan air
yang cukup, suhu, pH, oksigen, dan kondisi
lingkungan yang cocok seperti ada atau
tidaknya cahaya (Nicholas 1973). Sumber
karbon dan nitrogen sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan jamur, terutama terhadap
konversi biomassa.
Menurut Rayner dan Boody (1988) hanya
ada beberapa jamur pelapuk putih kelas
Basidiomycetes yang tumbuh pada suhu
minimum, optimum, dan maksimum pada
kisaran 10 °C, 40 °C, dan 50 °C. Kelembaban
yang dibutuhkan oleh jamur berbeda-beda,
tetapi hampir semua jenis jamur ini dapat hidup
pada substrat yang belum jenuh air. Kadar air
yang umum untuk pertumbuhan jamur ialah 3550%.
Jamur dapat mengambil oksigen secara
bebas dari udara untuk keperluan respirasi agar
pertumbuhannya optimum. Kekurangan oksigen
dapat menyebabkan terjadinya penimbunan CO2
yang dapat menghambat pertumbuhannya.
Kisaran pH optimum untuk sebagian jamur
pelapuk kayu ialah 4,5-5,5 (Nicholas 1973).
Menurut Rayner dan Boody (1988), beberapa
jamur memiliki toleransi pada pH antara 4-9.
Jamur pelapuk putih merupakan jamur yang
dapat menyerang komponen penyusun kayu,
namun dengan pilihan utamanya ialah lignin.
Jamur ini meninggalkan warna putih pada kayu.
Penyerangan oleh JPP menyebabkan penurunan
kekuatan
fisik
kayu
dan
terjadinya
pembengkakkan jaringan kayu.

Gambar 1 Jamur Pelapuk Putih Omphalina sp.
(www.ne.jp)
Beberapa penelitian tentang biodelignifikasi
menunjukkan bahwa hanya jamur dari kelas
Basidiomycetes, seperti Omphalina sp. dan

3

Pholiota
sp.,
yang
efisien
dalam
mendegradasi lignin secara aerobik. JPP
juga dapat digunakan dalam proses
dekolorisasi, hal tersebut disebabkan JPP
memiliki enzim lakase yang mempunyai
aktivitas katalitik terhadap berbagai jenis
substrat. Lakase berperan dalam pigmentasi,
pembentukan badan buah, sporulasi dan
patogenisitas (Thurston 1994). Ada banyak
jenis JPP yang telah diteliti, diantaranya
ialah Agraylie sp., Pholiota sp., Ganoderma
lucidium, dan Omphalina sp.
Jamur Omphalina sp.
Jamur Omphalina sp. merupakan salah
satu jenis dari Divisi Basidiomycetes. Dari
divisi Basidiomycetes sudah diketahui
sebanyak
15.000
spesies.
Seluruh
Basidiomycetes
memproduksi
basidia.
Basidia merupakan organ homolog dan
derivat dari ascus. Seperti halnya ascus,
basidium asli biasanya
memiliki dua
struktur inti (Moore dan Landecker 1996).
Beberapa
Basidiomycetes
juga
merupakan lichens, seperti Omphalina sp.
(Moore dan Landecker 1996). Pada awalnya
lichens digolongkan pada tanaman. Pada
tahun 1866 Debary menemukan bahwa
lichens terbentuk dari kerja sama antara
jamur parasit dan alga. Sekitar 98% dari
seluruh Ascomycetes merupakan lichens,
kelas Deuteromycetes merupakan kelompok
lichens terbesar berikutnya.
Omphalina sp. (A1) yang digunakan
pada penelitian ini merupakan jamur asli
dari Indonesia. Jamur ini hasil isolasi pabrik
kelapa sawit, Kebun Kerta Jaya PTPN VIII,
Banten dari limbah lignoselulosa. Telah
diketahui bahwa jamur ini memiliki
beberapa kemampuan, seperti dalam proses
degradasi lignin dan dekolorisasi limbah
cair.
Fenol Oksidase (lakase)
Lakase (EC 1.10.3.2; benzendiol:
oksigen oksidoreduktase) sebagian besar
merupakan glikoprotein ekstraseluler yang
mengandung atom tembaga dengan bobot
molekul 60-80 kDa dan juga merupakan
salah satu grup terkecil yang dinamakan
oksidase tembaga biru (Thurston 1994).
Lakase merupakan enzim multi-copper
(mengandung banyak ion tembaga) yang
membantu katalisis reaksi oksidasi beberapa
substrat seperti polifenol, substituen fenol,
dan diamin. Enzim ini pertama kali
ditemukan dalam getah pohon pernis Jepang

(Rhus vernicifera) tahun 1988 (Thurston 1994).
Mekanisme reaksi enzimatis oleh lakase
adalah reaksi oksidasi satu elektron. Oksigen
dibutuhkan sebagai penerima elektron dan
kemudian membentuk air. Ketika reaksi
oksidasi berlangsung, substrat kehilangan satu
elektronnya dan terbentuk radikal fenoksi bebas
yang berperan sebagai senyawa perantara.
Radikal bebas tersebut dapat melangsungkan
reaksi oksidatif enzimatik selanjutnya atau
reaksi non enzimatik seperti hidrasi dan
polimerisasi (Thurston 1994).
Lakase telah banyak diteliti karena sifat
spesifitas
terhadap
substratnya
rendah.
Hidrokuinon, guaiakol, 2,6-dimetoksifenol, dan
para-fenildiamin merupakan substrat-substrat
yang sering digunakan. Substrat seperti 2,2azinobis-3-etilbenzethiazolin-6sulfonat
(ABTS) berperan sebagai mediator yang
memungkinkan oksidasi komponen non fenolik
pada lignin yang tidak dapat dioksidasi oleh
lakase sendiri. Pada jamur, lakase berperan
dalam proses degradasi lignin dan beberapa
fungsi lain diantaranya adalah pigmentasi,
pembentukan badan buah, pembentukan spora,
dan pertahanan (Thurston 1994).
Pemanfaatan lakase sangat luas diterapkan
dalam berbagai bidang, antara lain proses
bioremediasi dan biodegradasi polutan organik
pada tanah seperti klorofenol serta sebagai
pemutih alami pada biodelignifikasi pulp
industri kertas. Pemanfaatan lakase dalam
proses dekolorisasi menggunakan jamur
(Awaluddin et al. 2001), secara umum
merupakan penghilangan
warna karena
peristiwa adsorpsi oleh miselium sebagai
tingkat awal perubahan warna dalam proses
dekolorisasi
warna.
Proses
selanjutnya
diteruskan oleh fungi dengan memproduksi
metabolit, misalnya berupa enzim ekstraselular.
Menurut Dewi (2005), terjadinya proses
dekolorisasi diduga karena adanya proses
adsorpsi
sebagai
sistem
non-enzimatik
dilanjutkan dengan adanya kemampuan
degradasi oleh isolat karena terjadinya aktifitas
metabolisme dengan sistem enzimatik.
Bagas Tebu
Bagas tebu (ampas) adalah suatu residu dari
proses penggilingan tanaman tebu (Saccharum
officinarum) setelah diambil niranya dan
merupakan sisa dari pengolahan tebu pada
industri gula pasir yang banyak terdapat di
Indonesia. Berdasarkan data dari Pusat
Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI)
tahun 2005, bagas tebu yang dihasilkan
sebanyak 32% dari bobot tebu giling. Sebanyak
60% dari bagas tebu tersebut dimanfaatkan oleh

4

pabrik gula sebagai bahan bakar dan bahan
baku untuk kertas, sehingga diperkirakan
sebanyak 40% dari bagas tebu tersebut
belum dimanfaatkan. Menurut Dewan Gula
Indonesia pada tahun 1990 jumlah tebu yang
dipanen sebesar 27.681.418 ton, maka
jumlah bagas tebu yang dihasilkan seluruh
Indonesia ialah 8,67 ton. Bagas tebu
mengandung air 48-52%, gula 3,3%, dan
serat 47,7%. Serat bagas tebu tidak dapat
larut dalam air dan sebagian besar terdiri
atas selulosa, pentosan, dan lignin.
Secara fisik bagas dibagi menjadi dua
bagian yaitu bagian yang halus disebut
dengan pith dan bagian yang kasar disebut
dengan coarse bagasse (Puturau 1982).
Bagas tebu terdiri atas berbagai komponen
antara lain selulosa, hemiselulosa, lignin,
silika, dan pektin. Komposisinya sangat
bervariasi tergantung pada varietas tebu,
tingkat kematangan, cara panen, dan
efisiensi proses pengambilan nira.
Gambut
Gambut adalah suatu tanah yang
mengandung bahan organik lebih dari 65%
dengan kedalaman lebih dari satu meter dan
bila sudah digunakan sebagai tanah
pertanian kedalamannya mencapai 0,5 meter
(Soepardi 1983). Bahan organik tersebut
dibagi menjadi humus dan jasad hewan yang
belum melapuk sempurna.
Tanah gambut memiliki karakteristik
fisik antara lain berwarna coklat sampai
kehitaman, memiliki massa jenis yang
rendah yaitu 0,10-0,25 g cm-3 dan
mempunyai kapasitas yang tinggi dalam
menahan air. Bahan organik yang telah
melapuk sebagian besar bersifat koloidal dan
mempunyai kemampuan jerap yang tinggi,
sedangkan kohesi dan plastisitasnya agak
rendah sehingga mudah dilalui air, terbuka,
dan mudah diolah (Soepardi 1983). Ciri khas
kimia tanah gambut antara lain tingkat
kemasaman yang tinggi (pH rendah),
ketersediaan hara yang rendah, dan kapasitas
tukar kation yang tinggi (Tisdale et al.
1990).
Ketersediaan unsur mikro pada tanah
gambut sangat rendah. Hal ini disebabkan
karena
adanya
pengkelatan
atau
pembentukan senyawa kompleks dengan
senyawa organik. Kandungan unsur mikro
pada lapisan bawah jauh lebih rendah
daripada kadungan unsur mikro pada 25 cm
lapisan teratas (Zuraida 1999).

Metode Spektrofotometri
Metode yang digunakan untuk mengukur
nilai absorban dekolorisasi warna pada
percobaan ini ialah metode spektrofotometri.
Adapun prinsip kerja dari metode ini ialah
pengukuran absorban yang diakibatkan adanya
penyerapan sinar oleh bahan yang dianalisis
pada panjang gelombang maksimal tertentu.
Jika suatu radiasi elektromagnetik menimpa
suatu materi dan pada materi tersebut terjadi
absorpsi selektif, materi akan menyerap
komponen radiasi pada panjang gelombang
yang berbeda dan dalam jumlah yang berbeda
pula (Sastrohamidjojo 2001).
Berdasarkan panjang gelombang untuk
pengukuran,
spektrofotometri
absorpsi
dibedakan menjadi spektrofotometri ultraviolet
(UV), tampak (Vis), dan inframerah (IR).
Spektrofotometer UV-Vis memiliki spektrum di
daerah UV sama dengan panjang gelombang
cahaya 200-400 nm dan di daerah sinar tampak
sama dengan panjang gelombang cahaya 400800 nm (Sastrohamidjojo 2001). Penelitian ini
menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan
panjang gelombang masing-masing zat warna
ialah hitam (486 nm), biru (576 nm), hijau (550
nm), dan merah (482 nm) sedangkan untuk
limbah cair industri yang berwarna ungu dan
biru muda dicari terlebih dahulu panjang
gelombangnya.

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan ialah
neraca
analitik, autoklaf, laminar air flow cabinet,
oven, spektrofotometer UV-Vis, neraca kasar,
sentrifuse 5415C, cawan petri, labu Erlenmeyer,
gelas ukur, tabung reaksi, alumunium foil, baki,
sudip, botol selai, plastik, bunsen, jarum ose,
paralon, stoples, korek api, karet, dan alat-alat
gelas lainnya.
Bahan-bahan
yang
digunakan
ialah
Omphalina sp. yang berasal dari koleksi
Laboratorium Mikroba dan Bioproses, bagas
tebu, kentang, gula pasir, bubuk agar, ijuk, nasi
pera, gambut, akuades, Rhodamin B (merah),
pewarna sintetik hijau, biru , hitam, dan limbah
cair yang diperoleh dari industri tekstil di
Bogor.
Metode Percobaan
Pembuatan Potatoes Dextrose Agar (PDA)
Sebanyak 200 gram kentang yang telah
dikupas dan dibersihkan dimasukkan ke dalam

4

pabrik gula sebagai bahan bakar dan bahan
baku untuk kertas, sehingga diperkirakan
sebanyak 40% dari bagas tebu tersebut
belum dimanfaatkan. Menurut Dewan Gula
Indonesia pada tahun 1990 jumlah tebu yang
dipanen sebesar 27.681.418 ton, maka
jumlah bagas tebu yang dihasilkan seluruh
Indonesia ialah 8,67 ton. Bagas tebu
mengandung air 48-52%, gula 3,3%, dan
serat 47,7%. Serat bagas tebu tidak dapat
larut dalam air dan sebagian besar terdiri
atas selulosa, pentosan, dan lignin.
Secara fisik bagas dibagi menjadi dua
bagian yaitu bagian yang halus disebut
dengan pith dan bagian yang kasar disebut
dengan coarse bagasse (Puturau 1982).
Bagas tebu terdiri atas berbagai komponen
antara lain selulosa, hemiselulosa, lignin,
silika, dan pektin. Komposisinya sangat
bervariasi tergantung pada varietas tebu,
tingkat kematangan, cara panen, dan
efisiensi proses pengambilan nira.
Gambut
Gambut adalah suatu tanah yang
mengandung bahan organik lebih dari 65%
dengan kedalaman lebih dari satu meter dan
bila sudah digunakan sebagai tanah
pertanian kedalamannya mencapai 0,5 meter
(Soepardi 1983). Bahan organik tersebut
dibagi menjadi humus dan jasad hewan yang
belum melapuk sempurna.
Tanah gambut memiliki karakteristik
fisik antara lain berwarna coklat sampai
kehitaman, memiliki massa jenis yang
rendah yaitu 0,10-0,25 g cm-3 dan
mempunyai kapasitas yang tinggi dalam
menahan air. Bahan organik yang telah
melapuk sebagian besar bersifat koloidal dan
mempunyai kemampuan jerap yang tinggi,
sedangkan kohesi dan plastisitasnya agak
rendah sehingga mudah dilalui air, terbuka,
dan mudah diolah (Soepardi 1983). Ciri khas
kimia tanah gambut antara lain tingkat
kemasaman yang tinggi (pH rendah),
ketersediaan hara yang rendah, dan kapasitas
tukar kation yang tinggi (Tisdale et al.
1990).
Ketersediaan unsur mikro pada tanah
gambut sangat rendah. Hal ini disebabkan
karena
adanya
pengkelatan
atau
pembentukan senyawa kompleks dengan
senyawa organik. Kandungan unsur mikro
pada lapisan bawah jauh lebih rendah
daripada kadungan unsur mikro pada 25 cm
lapisan teratas (Zuraida 1999).

Metode Spektrofotometri
Metode yang digunakan untuk mengukur
nilai absorban dekolorisasi warna pada
percobaan ini ialah metode spektrofotometri.
Adapun prinsip kerja dari metode ini ialah
pengukuran absorban yang diakibatkan adanya
penyerapan sinar oleh bahan yang dianalisis
pada panjang gelombang maksimal tertentu.
Jika suatu radiasi elektromagnetik menimpa
suatu materi dan pada materi tersebut terjadi
absorpsi selektif, materi akan menyerap
komponen radiasi pada panjang gelombang
yang berbeda dan dalam jumlah yang berbeda
pula (Sastrohamidjojo 2001).
Berdasarkan panjang gelombang untuk
pengukuran,
spektrofotometri
absorpsi
dibedakan menjadi spektrofotometri ultraviolet
(UV), tampak (Vis), dan inframerah (IR).
Spektrofotometer UV-Vis memiliki spektrum di
daerah UV sama dengan panjang gelombang
cahaya 200-400 nm dan di daerah sinar tampak
sama dengan panjang gelombang cahaya 400800 nm (Sastrohamidjojo 2001). Penelitian ini
menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan
panjang gelombang masing-masing zat warna
ialah hitam (486 nm), biru (576 nm), hijau (550
nm), dan merah (482 nm) sedangkan untuk
limbah cair industri yang berwarna ungu dan
biru muda dicari terlebih dahulu panjang
gelombangnya.

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan ialah
neraca
analitik, autoklaf, laminar air flow cabinet,
oven, spektrofotometer UV-Vis, neraca kasar,
sentrifuse 5415C, cawan petri, labu Erlenmeyer,
gelas ukur, tabung reaksi, alumunium foil, baki,
sudip, botol selai, plastik, bunsen, jarum ose,
paralon, stoples, korek api, karet, dan alat-alat
gelas lainnya.
Bahan-bahan
yang
digunakan
ialah
Omphalina sp. yang berasal dari koleksi
Laboratorium Mikroba dan Bioproses, bagas
tebu, kentang, gula pasir, bubuk agar, ijuk, nasi
pera, gambut, akuades, Rhodamin B (merah),
pewarna sintetik hijau, biru , hitam, dan limbah
cair yang diperoleh dari industri tekstil di
Bogor.
Metode Percobaan
Pembuatan Potatoes Dextrose Agar (PDA)
Sebanyak 200 gram kentang yang telah
dikupas dan dibersihkan dimasukkan ke dalam

5

wadah, lalu ditambah dengan 1 liter air.
Campuran air dan kentang direbus hingga
mendidih. Setelah mendidih, air rebusan
kentang disaring dan dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer 1 L, dicampur dengan 20 gram
gula, kemudian dibagi ke dalam 2
Erlenmeyer 500 mL. Sebanyak 10 gram agar
dimasukkan ke dalam masing-masing
Erlenmeyer dan dipanaskan sambil diaduk
hingga homogen. Setelah itu disterilisasi
pada suhu 121oC, 1 atm selama 15 menit
(Fassatiova 1986).
Pembuatan
(PDB)

Potatoes

Dextrose

Broth

Sebanyak 200 gram kentang yang telah
dikupas dan dibersihkan dimasukkan ke
dalam wadah, lalu ditambah dengan 1 liter
air. Campuran air dan kentang direbus
hingga mendidih. Setelah mendidih, air
rebusan kentang disaring dan dimasukkan ke
dalam Erlenmeyer 1 L, dicampur dengan 20
gram gula, dipanaskan sambil diaduk hingga
homogen, kemudian dibagi ke dalam 20
botol masing-masing ± 40-50 mL. Setelah
itu disterilisasi pada suhu 121oC, 1 atm
selama 15 menit (Fassatiova 1986).
Penyiapan Omphalina sp. dalam PDA dan
PDB
Isolat jamur stok Omphalina sp. (A1)
diremajakan pada media PDA, masingmasing isolat dikulturkan pada cawan petri.
Setelah diberi penanda, biakan jamur
dibiarkan sampai tumbuh sempurna/merata
(5-7 hari).
Jamur Omphalina sp. dari media PDA
disubkulturkan kembali ke dalam media
PDB yang telah disiapkan dalam botol selai
(50 mL). Pemindahan Omphalina sp. dari
media PDA ke media PDB dilakukan
dengan memotong Omphalina sp. dari
media PDA kira-kira sebesar 1 cm2. Setelah
diberi penanda, biakan PDB dibiarkan
sampai tumbuh merata (5-7 hari).
Penyiapan Kultur Omphalina sp. dalam
Media Gambut
Kultur Omphalina sp. dari media PDA
ditumbuhkan di dalam media nasi pera
selama satu minggu. Setelah tumbuh dengan
baik, media nasi pera dikeringkan dan
dihaluskan, kemudian ditambahkan kedalam
media gambut dengan perbandingan 1 g
Omphalina sp. kering dengan 100 g gambut
(F1). Selain itu dibuat juga formulasi dengan

perbandingan 10 g Omphalina sp. kering
dengan 200 g gambut (F5).
Penyiapan Kultur Omphalina sp. dalam
Media Bagas Tebu
Bagas tebu dimasukkan ke dalam plastik
tahan panas (baglog) dengan berat masingmasing ± 150 g, lalu disterilisasi dua kali
dengan menggunakan autoklaf. Media padat ini
kemudian disiram dengan biakan Omphalina
sp. dalam medium PDB yang telah berumur
satu minggu, kemudian diinkubasi selama dua
minggu hingga miselium Omphalina sp.
tumbuh dengan baik.
Penyiapan Kultur Omphalina sp. dalam
Media Ijuk+Bagas Tebu
Ijuk ± 25 g yang telah disusun berbentuk
lembaran, kemudian ditambah ± 25 g bagas,
sehingga berat totalnya sekitar 50 g. Gulungan
tersebut kemudian dimasukkan ke dalam
baglog, lalu disterilisasi dua kali dengan
menggunakan autoklaf. Media padat ini disiram
dengan biakan Omphalina sp. dalam medium
PDB yang telah berumur satu minggu,
kemudian diinkubasi selama dua minggu hingga
miselium Omphalina sp. tumbuh dengan baik.
Analisis Dekolorisasi
Spektrofotometri

dengan

Metode

Absorbansi larutan zat warna pada masingmasing perlakuan yang dilakukan diamati
dengan spektrofotometer UV-Vis (Tauber et al.
2005). Panjang gelombang maksimum (ë maks)
yang digunakan untuk masing-masing zat
warna, yaitu hitam (486 nm), merah (482 nm),
biru (576 nm), dan hijau (550 nm), serta limbah
cair berwarna ungu (482 nm) dan biru muda
(668 nm) sampai nilai absorbannya konstan
(sekitar tiga hari).
Penentuan Kondisi Optimal
Kultur Omphalina sp.

Penyiapan

Kultur Omphalina sp. dari media gambut,
bagas tebu, atau ijuk+bagas masing-masing
ditempatkan di dalam bejana transparan
(stoples). Ketiga variasi tersebut ditambahkan
500 mL larutan zat warna tekstil dengan
konsentrasi 100 ppm. Warna yang digunakan
adalah hitam, merah (Rhodamin B), biru, dan
hijau. Nilai absorban larutan zat warna tersebut
diamati setiap hari dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis.

6

Penentuan Konsentrasi Terendah Kultur
Omphalina sp. dengan Media Gambut
Ke dalam setiap bejana yang berisi 100
mL zat warna (hitam) dimasukkan masingmasing formulasi Omphalina sp. dalam
media gambut (F1) dengan variasi
konsentrasi 1 g, 3 g, dan 5 g. Selain F1,
dibuat juga formulasi Omphalina sp. dalam
media gambut dengan perbandingan 10 g
Omphalina sp. kering yang telah ditumbuk
halus dengan 200 g gambut (F5) dan
divariasikan dengan konsentrasi yang sama.
Nilai absorban larutan zat warna tersebut
diamati dengan spektrofotometer UV-Vis
sampai hari ke-4.
Penentuan Metode Inkubasi Dekolorisasi
Konsentrasi terendah kultur Omphalina
sp. dengan media gambut yang diperoleh
diinkubasi dengan cara dibungkus dengan
kain kasa 10 x 10 cm2 dan kertas saring
berukuran 10 x 10 cm2 yang dimasukkan
kedalam botol berpori. Setelah itu
dimasukkan ke dalam bejana yang berisi 100
mL zat warna (hitam). Nilai absorban
larutan zat warna diamati dengan
spektrofotometer UV-Vis sampai hari ke-4.
Dekolorisasi
Tekstil

Limbah

Cair

Industri

Konsentrasi terendah dan media inkubasi
dekolorisasi yang diperoleh, diaplikasikan
dalam limbah cair industri tekstil dengan
menggunakan cara yang sama. Limbah cair
yang digunakan terlebih dahulu dicari
panjang gelombang maksimumnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Kondisi Optimal Penyiapan
Kultur Omphalina sp.
Hasil penentuan kondisi optimal
penyiapan kultur Omphalina sp. (Gambar 2
dan 3) menunjukkan bahwa Omphalina sp.
dalam berbagai variasi perlakuan tersebut
mampu mendekolorisasi zat warna tekstil.
Hasil yang paling baik ditunjukkan oleh
perlakuan yang menggunakan media
Omphalina sp. dengan gambut dibanding
perlakuan menggunakan bagas tebu atau ijuk
+ bagas tebu.
Penurunan nilai absorban untuk warna
hitam sampai hari ke-3 pada perlakuan
menggunakan media gambut ialah sebesar
45,1%, media ijuk+bagas 28,3%, dan media

bagas 24,8%. Hasil serupa juga didapatkan
untuk warna-warna yang lain. Pada Gambar 2
terlihat bahwa perlakuan dengan menggunakan
media gambut pada warna hitam menunjukkan
penurunan kepekatan warna yang nyata
dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan
terjadi perubahan warna menjadi sedikit kuning.
Perubahan ini juga teramati pada warna-warna
yang lain dengan penurunan nilai absorban
yang lebih tinggi.
Penyebab pasti dari perubahan ini belum
diketahui, namun diduga hal ini terjadi karena
adanya aktivitas enzim ligninolitik yang
dihasilkan oleh Omphalina sp. yang terdapat
dalam perlakuan tersebut. Diduga proses
dekolorisasi terjadi karena adanya proses
adsorbsi
sebagai
sistem
non-enzimatik
dilanjutkan dengan adanya kemampuan
degradasi oleh isolat karena terjadinya aktifitas
metabolisme dengan sistem enzimatik (Dewi
2005). Selain itu dalam dekolorisasi dengan
jamur secara umum adalah penghilangan warna
karena peristiwa adsorpsi oleh miselium sebagai
tingkat awal perubahan warna dalam proses
dekolorisasi. Proses selanjutnya diteruskan oleh
fungi dengan memproduksi metabolit, misalnya
berupa enzim ekstraselular (Awaluddin et al.
2001).
a. Media gambut

K 1 2 3 4

b. Media bagas

K 1 2

3

4

c. Media Ijuk+bagas

K 1 2

3 4

Gambar 2 Hasil dekolorisasi zat warna hitam.
K= kontrol, 1= perlakuan hari
pertama, 2= perlakuan hari kedua,
3= perlakuan hari ketiga, dan 4=
perlakuan hari keempat
Gambar 3 menunjukkan bahwa penurunan
nilai absorban dengan perlakuan menggunakan
media gambut (F1 1:100) pada hari pertama
sudah cukup tinggi, yaitu dari 0,452 menjadi
0,132 namun pada hari kedua dan ketiga terjadi
kenaikan nilai absorban yang diikuti perubahan
warna yang menjadi semakin kuning. Berbeda
dengan itu, penurunan nilai absorban yang
terjadi dengan perlakuan menggunakan bagas
atau ijuk + bagas tidak terlalu besar walaupun

6

Penentuan Konsentrasi Terendah Kultur
Omphalina sp. dengan Media Gambut
Ke dalam setiap bejana yang berisi 100
mL zat warna (hitam) dimasukkan masingmasing formulasi Omphalina sp. dalam
media gambut (F1) dengan variasi
konsentrasi 1 g, 3 g, dan 5 g. Selain F1,
dibuat juga formulasi Omphalina sp. dalam
media gambut dengan perbandingan 10 g
Omphalina sp. kering yang telah ditumbuk
halus dengan 200 g gambut (F5) dan
divariasikan dengan konsentrasi yang sama.
Nilai absorban larutan zat warna tersebut
diamati dengan spektrofotometer UV-Vis
sampai hari ke-4.
Penentuan Metode Inkubasi Dekolorisasi
Konsentrasi terendah kultur Omphalina
sp. dengan media gambut yang diperoleh
diinkubasi dengan cara dibungkus dengan
kain kasa 10 x 10 cm2 dan kertas saring
berukuran 10 x 10 cm2 yang dimasukkan
kedalam botol berpori. Setelah itu
dimasukkan ke dalam bejana yang berisi 100
mL zat warna (hitam). Nilai absorban
larutan zat warna diamati dengan
spektrofotometer UV-Vis sampai hari ke-4.
Dekolorisasi
Tekstil

Limbah

Cair

Industri

Konsentrasi terendah dan media inkubasi
dekolorisasi yang diperoleh, diaplikasikan
dalam limbah cair industri tekstil dengan
menggunakan cara yang sama. Limbah cair
yang digunakan terlebih dahulu dicari
panjang gelombang maksimumnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Kondisi Optimal Penyiapan
Kultur Omphalina sp.
Hasil penentuan kondisi optimal
penyiapan kultur Omphalina sp. (Gambar 2
dan 3) menunjukkan bahwa Omphalina sp.
dalam berbagai variasi perlakuan tersebut
mampu mendekolorisasi zat warna tekstil.
Hasil yang paling baik ditunjukkan oleh
perlakuan yang menggunakan media
Omphalina sp. dengan gambut dibanding
perlakuan menggunakan bagas tebu atau ijuk
+ bagas tebu.
Penurunan nilai absorban untuk warna
hitam sampai hari ke-3 pada perlakuan
menggunakan media gambut ialah sebesar
45,1%, media ijuk+bagas 28,3%, dan media

bagas 24,8%. Hasil serupa juga didapatkan
untuk warna-warna yang lain. Pada Gambar 2
terlihat bahwa perlakuan dengan menggunakan
media gambut pada warna hitam menunjukkan
penurunan kepekatan warna yang nyata
dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan
terjadi perubahan warna menjadi sedikit kuning.
Perubahan ini juga teramati pada warna-warna
yang lain dengan penurunan nilai absorban
yang lebih tinggi.
Penyebab pasti dari perubahan ini belum
diketahui, namun diduga hal ini terjadi karena
adanya aktivitas enzim ligninolitik yang
dihasilkan oleh Omphalina sp. yang terdapat
dalam perlakuan tersebut. Diduga proses
dekolorisasi terjadi karena adanya proses
adsorbsi
sebagai
sistem
non-enzimatik
dilanjutkan dengan adanya kemampuan
degradasi oleh isolat karena terjadinya aktifitas
metabolisme dengan sistem enzimatik (Dewi
2005). Selain itu dalam dekolorisasi dengan
jamur secara umum adalah penghilangan warna
karena peristiwa adsorpsi oleh miselium sebagai
tingkat awal perubahan warna dalam proses
dekolorisasi. Proses selanjutnya diteruskan oleh
fungi dengan memproduksi metabolit, misalnya
berupa enzim ekstraselular (Awaluddin et al.
2001).
a. Media gambut

K 1 2 3 4

b. Media bagas

K 1 2

3

4

c. Media Ijuk+bagas

K 1 2

3 4

Gambar 2 Hasil dekolorisasi zat warna hitam.
K= kontrol, 1= perlakuan hari
pertama, 2= perlakuan hari kedua,
3= perlakuan hari ketiga, dan 4=
perlakuan hari keempat
Gambar 3 menunjukkan bahwa penurunan
nilai absorban dengan perlakuan menggunakan
media gambut (F1 1:100) pada hari pertama
sudah cukup tinggi, yaitu dari 0,452 menjadi
0,132 namun pada hari kedua dan ketiga terjadi
kenaikan nilai absorban yang diikuti perubahan
warna yang menjadi semakin kuning. Berbeda
dengan itu, penurunan nilai absorban yang
terjadi dengan perlakuan menggunakan bagas
atau ijuk + bagas tidak terlalu besar walaupun

7

sudah dilakukan pengamatan selama tiga
hari. Pada percoban ini teramati bahwa
kemampuan Omphalina sp. menguraikan zat
warna tekstil dengan konsentrasi pekat tanpa
aerasi, tanpa penambahan nutrisi serta tanpa
pengaturan kondisi pH awal ini, diduga akan
memudahkan dalam aplikasinya di lapangan.
a.

Media Gambut
0.5
0.452
0.4
0.3
0.248
0.2

0.188

0.157

0.132

0.1
0
0

1

2

3

4

5

Hari ke-

b.

Media Bagas

didekolorisasi dengan konsentrasi terendah
yang diperoleh, maka zat warna dengan warna
lainnya pun dapat didekolorisasi dan
memberikan hasil yang baik. Besar formulasi
yang dicobakan ialah 1 g, 3 g, dan 5 g.
Percobaan
menggunakan
berbagai
konsentrasi formulasi media gambut (F1), hasil
yang didapat kurang memuaskan sehingga
dibuat pula percobaan dengan menggunakan
formulasi media gambut (F5). Perlakuan
menggunakan F1 dalam berbagai konsentrasi
memberikan penurunan nilai absorban yang
lebih kecil dibandingkan menggunakan F5, hal
ini disebabkan jumlah Omphalina sp. yang
terkandung pada formulasi media F5 lebih besar
dibanding pada F1, walaupun secara visual hasil
dekolorisasi pada hari pertama untuk F1 5 gram
lebih baik dibandingkan pada F5 5 gram yang
masih sedikit berwarna hitam (Gambar 4).

0.5
0.452

a. F1 5 g

0.418

0.4

0.345

0.34

0.3

b. F5 5 g

0.334

0.2
0.1
0
0

1

2

3

4

5

Hari ke-

Media Ijuk + bagas

c.
0.5
A 0.452
0.4

K 1 2 3 4

0.393

0.361

0.324

0.3

0.326

0.2
0.1
0
0

1

K 1 2 3 4

2

3
Hari ke-

4

5

Gambar 3 Nilai absorban dekolorisasi zat
warna hitam. Media gambut (F1
1:100)= formulasi antara 1 g
Omphalina sp. dengan 100 g
gambut
Penentuan Konsentrasi Terendah Kultur
Omphalina sp. dengan Media Gambut
Hasil yang diperoleh pada perlakuan
dengan menggunakan formulasi media
gambut (F1) menunjukkan dekolorisasi yang
lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya,
sehingga perlakuan tersebut digunakan
untuk mencari konsentrasi terendah dengan
kemampuan yang baik. Zat warna tekstil
sintetik (wanteks) yang digunakan ialah
yang berwarna hitam. Hal ini disebabkan
warna tersebut dinilai paling sukar
didekolorisasi dibandingkan warna lainnya
pada percobaan penentuan kondisi optimal,
sehingga
jika
warna
hitam
dapat

Gambar 4 Penentuan konsentrasi terendah
formulasi F1 5 g dan F5 5 g.
Sebanyak 5 g yang diambil dari
formulasi 1 g Omphalina sp.
dengan 100 g gambut (a) dan 10 g
Omphalina sp. dengan 200 g
gambut (b), zat warna= hitam; k,
1, 2, 3, dan 4 (seperti Gambar 2)
Hasil yang didapat pada Gambar 5
menunjukkan bahwa konsentrasi terendah yang
diperoleh yaitu F5 sebesar 5 g. Konsentrasi ini
menghasilkan penurunan nilai absorban dan
dekolorisasi yang lebih baik dibandingkan
dengan konsentrasi 1 atau 3 g. Penurunan nilai
absorban yang terjadi untuk F5 5 gram dari hari
ke-0 sampai hari ke-3 ialah 0,427-0,117 atau
sekitar 72,6%. Nilai ini lebih tinggi
dibandingkan dengan penurunan nilai absorban
F1 5 gram, dimana penurunan nilai absorban
sampai hari ke-3 yang didapat ialah 52,7%.
Penurunan nilai absorban dengan F5 5 gram ini
lebih baik dibanding dengan konsentrasi
lainnya. Hal ini karena jumlah Omphalina sp.
yang terdapat pada F5 5 gram lebih banyak
dibanding yang lain.

8

F1 5 gram

a.
A 0.5
0.4 0.427

0.323

0.3

0.227

0.2

0.202

0.185

0.1
0
0

1

2

3

4

5

58,3%, sedangkan untuk kertas 0,448-0,286
atau sebesar 36,1% (Gambar 7). Tingginya
penurunan nilai absorban pada perlakuan yang
menggunakan kain ini disebabkan karena
interaksi antara larutan zat warna yang
digunakan dengan media yang digunakan lebih
besar dibandingkan dengan perlakuan yang
menggunakan kertas + botol berpori.

Hari ke-

b.

F5 5 gram
0.5
0.427

0.4

0.326

0.3

K 1 2 3 4

K 1 2 3 4

a. Kain

b. Kertas+botol

0.2
0.161

0.117

0.1

0.112

0
0

1

2

3

4

5

Hari ke-

Gambar 5 Nilai
absorban
penentuan
konsentrasi
terendah.
Zat
warna= hitam; F1 5 g dan F5 5 g
(seperti Gambar 4)

Gambar 6 Hasil metode inkubasi dekolorisasi
zat warna hitam. K, 1, 2, 3, dan 4
(seperti Gambar 4)
a.

Kain
0.5
0.448
0.4

Penentuan Metode Inkubasi Dekolorisasi
Setelah didapatkan konsentrasi minimal,
ternyata terdapat suatu masalah karena
sulitnya proses pengambilan sampel untuk
diukur nilai absorbannya. Untuk mengatasi
hal itu maka dilakukan penentuan metode
inkubasi dekolorisasi yang bertujuan
mengurangi tercampurnya formulasi media
gambut dengan cairan sehingga tidak
mengganggu ketika pengukuran, selain itu
berguna untuk dilakukan pemakaian
berulang.
Hasil yang diperoleh (Gambar 6)
menunjukkan bahwa dekolorisasi warna
hitam pada F5 5 g yang diinkubasi dengan
cara dibungkus kain lebih baik dibandingkan
dengan menggunakan kertas + botol. Pada
hari kedua dan ketiga pengamatan, formulasi
F5 yang dibungkus dengan menggunakan
kain menghasilkan penurunan warna yang
sangat nyata terhadap warna hari ke-0 atau
tanpa perlakuan. Hal ini berbeda dengan
perlakuan menggunakan kertas + botol,
dimana warna pada hari kedua dan ketiga
masih sedikit pekat.
Hasil yang di dapat menunjukkan bahwa
metode inkubasi dekolorisasi menggunakan
kain lebih baik dibandingkan dengan
menggunakan kertas + botol. Hal ini pun
dapat dilihat pada penurunan nilai absorban
perlakuan yang menggunakan kain sampai
hari ketiga yaitu 0,448-0,187 atau sebesar

0.398

0.3
0.249
0.2

0.187
0.129

0.1
0
0

1

2

3

4

5

Hari ke-

b.

Kertas + botol
0.5
0.448
0.4

0.401
0.321

0.3

0.286
0.237

0.2
0.1
0
0

1

2

3

4

5

Hari ke-

Gambar 7 Nilai absorban metode inkubasi
dekolorisasi zat warna hitam.
Dekolorisasi Limbah Cair Industri Tekstil
Aplikasi perlakuan dengan menggunakan
konsentrasi terendah dan metoda inkubasi
dekolorisasi yang terbaik dilakukan terhadap
limbah cair industri tekstil. Limbah cair yang
digunakan ialah yang berwarna ungu dan biru
muda dengan panjang gelombang untuk
masing-masingnya ialah 482 nm dan 668 nm.
Panjang gelombang ini didapat menggunakan
spektrofotometer UV-Vis.
Perlakuan
menggunakan
konsentrasi
terendah (F5 5 g) menunjukkan bahwa limbah
cair tersebut dapat didekolorisasi. Hal ini

9

kromofor menjadi gugus
(Yaropolov et al. 1994).

dan

–OH

a. Ungu

b. Biru muda

K 1 2 3 4

K 1 2 3 4

c. Ungu

d. Biru muda

K 1

2

3 4

K 1 2

N2

3 4

Gambar 8 Hasil dekolorisasi limbah cair
industri tekstil. Perlakuan dengan
formulasi F5 5 g (a dan b) dan
dengan dibungkus kain (c dan d); k,
1, 2, 3, dan 4 (seperti Gambar 2)
a.

Limbah cair warna ungu
0.35
0.309

A b s o rb a n

0.3
0.25
0.2

0.202

0.173

0.15

0.188

0.159

0.1
0.05
0
0

1

2

3

4

5

Hari ke-

b.

Limbah cair warna biru muda
0.25
0.201

0.2

A b s o rb a n

terlihat baik secara visual maupun dari
penurunan nilai absorbannya. Limbah cair
ini diberikan perlakuan yang sama dengan
percobaan sebelumnya. Pada Gambar 8 (a
dan b) menunjukkan bahwa telah terjadi
perubahan warna dari warna asal menjadi
semakin kuning kecoklatan. Hal ini diduga
karena proses adsorpsi serta eksudat enzim
yang dihasilkan oleh miselium Omphalina
sp. dalam media tersebut.
Perlakuan selanjutnya terhadap limbah
cair ini ialah dengan menggunakan metoda
inkubasi dekolorisasi dengan cara dibungkus
kain. Gambar 8 (c dan d) menunjukkan
bahwa proses dekolorisasi pada kedua warna
memberikan hasil yang baik. Dekolorisasi
dari kedua limbah cair ini sebenarnya sudah
sangat tinggi pada hari pertama. Hal ini
terlihat dari warnanya yang sudah tidak
seperti warna asalnya, sehingga perlakuan
bisa dilakukan hanya dalam waktu satu hari.
Limbah cair berwarna ungu yang
dibungkus kain (Gambar 9 c), penurunan
nilai absorban pada hari pertama cukup
tinggi dan terlihat pada gambar bahwa
penurunan kepekatan warna yang dihasilkan
sangat nyata. Pada hari selanjutnya nilai
absorban mengalami kenaikan yang diikuti
dengan perubahan warna yang menjadi
sedikit keruh.
Hasil yang didapatkan untuk limbah cair
berwarna biru muda yang dibungkus kain
menunjukkan terjadinya penurunan nilai
absorban sampai hari keempat. Penurunan
yang paling tinggi terjadi pada hari pertama,
sedangkan penurunan nilai absorban pada
hari ketiga dan keempat tidak terlalu jauh
atau relatif sama.
Hasil penelitian sebelumnya dengan
menggunakan
media
yang
berbeda
menyebutkan bahwa miselium Omphalina
sp. A-1 amobil dalam kultur batch tanpa
aerasi mampu mendekolorisasi dengan baik
dua jenis limbah pabrik kain batik yang
masing-masing mengandung bahan pewarna
indigo carmen dan -naftol (Tri-Panji
2006). Menurut Kirby et al. (1995), jamur
pelapuk putih mampu menggunakan zat
warna sebagai sumber karbon yang
menyebabkan konsentrasi zat warna
berkurang atau habis. Fenomena ini belum
jelas karena ternyata tidak semua zat warna
mampu digunakan sebagai sumber karbon.
Kemungkinan
mekanisme
dekolorasi
lainnya adalah oksidasi gugus kromofor
seperti yang dikemukakan oleh Yaropolov et
al. bahwa lakase mampu mengoksidasi
ikatan azo (-N=N-) yang merupakan gugus

0.15
0.1

0.092

0.083

0.072

0.056

0.05
0
0

1

2

3

4

5

Hari ke-

c.

Limbah ungu (kain)
0.35
0.309

0.3
0.25
0.2
0.15
0.1

0.093

0.103

0.099

0.088

0.05
0
0

1

2
Hari ke-

3

4

5

10

d.

DAFTAR PUSTAKA

Limbah biru muda (kain)

Awaluddin R, Darah S, Ibrahim CD, Uyub AM.
2001. Decolorization of commercially
available synthetic dyes by the white rot
fungus Phanerochaete chrysosporium. J
Fungi and Bactery. 62:55-63.

0.25
0.2
0.15
0.1

0.086
0.064

0.05

0.042

0.039

0
0

2

4

6

Hari ke-

Gambar 9 Nilai absorban
industri tekstil.

limbah

cair

Pada penelitian ini terdapat kendala
dalam
pengambilan
sampel,
karena
perlakuan yang menggunakan media gambut
harus hati-hati agar gambutnya tidak
terbawa ketika diukur. Oleh karena itu
sampel disentrifuse dengan kecepatan 10
ribu rpm selama 10 menit yang bertujuan
agar gambut yang terbawa dapat terendap
sehingga
tidak
mengganggu
proses
pengukuran nilai absorban. Kendala lainnya
ialah belum diketahuinya penyebab pasti
dari perubahan warna yang menjadi sedikit
kuning dari percobaan ini.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kondisi optimal proses dekolorisasi
terjadi pada perlakuan menggunakan media
gambut
dibanding
media
lainnya.
Konsentrasi terendah ialah sebesar 5 g (F5)
dan metode inkubasi dekolorisasi terbaik
ialah dengan dibungkus kain dibanding
kertas dalam botol berpori. Panjang
gelombang untuk limbah cair warna ungu
ialah 482 nm dan biru muda 668 nm.
Formulasi media gambut yang digunakan
dapat mendekolorisasi limbah cair industri
tekstil.
Saran
Penggunaan lebih banyak macam dan
jenis zat warna tekstil sangat baik untuk
dicoba agar kemampuan Omphalina sp.
lebih dapat teruji. Perlu juga dilakukan
penelitian lebih jauh tentang mekanisme
dekolorisasi
yang
dilakukan
oleh
Omphalina sp. agar lebih memudahkan
dalam penggunaan media dan perlakuan
yang digunakan.

Cascio J. 1994. Best management practices for
pollution prevention in the textile
industry. J Enviromental Protection.
96:625-629.
Dewi RS. Potensi fungi indigenous limbah
industri
tekstil
sebagai
agen
pendekolorisasi pewarna azo sumber
pencemaran warna perairan. Prosiding
Seminar Nasional dan Kongres Biologi
XII. Jogjakarta. 19-22 April 2005. Hlm
454-457.
Fassatiova O. 1986. Moulds and Filamentaous
Fungi in Technical Microbiology. New
York: Elsevier.
Hoo

K, Suryo W. 1982. Pengolahan Air
Industri. Bogor: Pusbangtepa IPB.

Moore, Landecker E. 1996. Fundamentals of
the Fungi, Ed ke-4. London: PrenticeHall International (UK) Limited.
Nemerow NL, Dasgupta A. 1991 Industrial and
Hazardous Waste Treatment. New York:
Van Nostrand Reinhold.
Nicholas DD. 1973. Biological control of decay
in standing by preservative treatments. J
Inst. Wood Science. 7:6-9.
Pickard MA, H Vandetrol, R Ramon, R
Vazquez-Duhalt. 1999. High production
of ligninolitic enzymes from white rot
fungi. Can J Microbiol 45:627-631.
Rayner ADM, Boddy L. 1988. Fungal
Decomposition of Wood: its Biology and
Ecology. New York: Wiley Chichester.
Sastrohamidjojo H. 2001. Spektroskopi. Ed ke2. Yogyakarta: Liberty.
Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor:
IPB Pr.
Tauber MM, George MG, Astrid R. 2004.
Degradation of azo dyes by lacasse and
ultrasound treatment. J Environ Microbiol
71:100-112.

1

DEKOLORISASI LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL
DENGAN MENGGUNAKAN Omphalina sp.

ARIED ARDHINA

PROGRAM STUDI BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

10

d.

DAFTAR PUSTAKA

Limbah biru muda (kain)

Awaluddin R, Darah S, Ibrahim CD, Uyub AM.
2001. Decolorization of commercially
available synthetic dyes by the white rot
fungus Phanerochaete chrysosporium. J
Fungi and Bactery. 62:55-63.

0.25
0.2
0.15
0.1

0.086
0.064

0.05

0.042

0.039

0
0

2

4

6

Hari ke-

Gambar 9 Nilai absorban
industri tekstil.

limbah

cair

Pada penelitian ini terdapat kendala
dalam
pengambilan
sampel,
karena
perlakuan yang menggunakan media gambut
harus hati-hati agar gambutnya tidak
terbawa ketika diukur. Oleh karena itu
sampel disentrifuse dengan kecepatan 10
ribu rpm selama 10 menit yang bertujuan
agar gambut yang terbawa dapat terendap
sehingga
tidak
mengganggu
proses
pengukuran nilai absorban. Kendala lainnya
ialah belum diketahuinya penyebab pasti
dari perubahan warna yang menjadi sedikit
kuning dari percobaan ini.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kondisi optimal proses dekolorisasi
terjadi pada perlakuan menggunakan media
gambut
dibanding
media
lainnya.
Konsentrasi terendah ialah se