Deodorisasi Limbah Lateks Dan Dekolorisasi Limbah Tekstil Dengan Jamur Pelapuk Putih Omphalina Sp Menggunakan Metode Batch Dan Kontinyu.

DEODORISASI LIMBAH LATEKS DAN DEKOLORISASI
LIMBAH TEKSTIL DENGAN JAMUR PELAPUK PUTIH
Omphalina sp MENGGUNAKAN METODE BATCH DAN
KONTINYU

ERNA PUSPASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Deodorisasi Limbah
Lateks dan Dekolorisasi Limbah Tekstil dengan Jamur Pelapuk Putih Omphalina
sp Menggunakan Metode Batch dan Kontinyu adalah benar karya saya dengan
arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia.

Bogor, Agustus 2015
Erna Puspasari
NRP G851130171

RINGKASAN
ERNA PUSPASARI. Deodorisasi Limbah Lateks dan Dekolorisasi Limbah
Tekstil dengan Jamur Pelapuk Putih Omphalina sp Menggunakan Metode Batch
dan Kontinyu. Dibimbing oleh I MADE ARTIKA dan TRI PANJI.
Pertumbuhan industri semakin pesat sejalan dengan bertambahnya
kegiatan industri dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Hal yang tidak
lepas dari bertambahnya kegiatan industri adalah pertambahan limbah hasil
kegiatan. Air limbah industri merupakan polutan bagi lingkungan sekitar yang
menghasilkan warna dan bau yang kuat, sehingga limbah harus diolah sebelum
dibuang ke lingkungan.
Pengolahan limbah warna dan bau dapat dilakukan dengan cara kimia dan
fisika, tetapi kedua cara ini membutuhkan biaya yang besar dan menimbulkan
permasalahan baru dengan munculnya pencemaran sekunder yang berasal dari

pengolahan limbah sebelumnya. Pengolahan limbah dengan cara biologi menjadi
metode alternatif karena memiliki beberapa keunggulan, seperti aman, ramah
lingkungan, tidak memerlukan biaya yang besar serta tidak menghasilkan
pencemaran sekunder. Pengolahan limbah dapat dilakukan menggunakan jamur
pelapuk putih khususnya Omphalia sp karena kemampuan jamur dalam
melakukan biodegradasi zat warna dan bau. Penelitian ini bertujuan mendapatkan
sistem aplikasi yang paling baik pada deodorisasi limbah lateks dan dekolorisasi
limbah cair industri tekstil dengan jamur pelapuk putih Omphalina sp
menggunakan metode batch dan kontinyu (pack bed flow, biotray, dan rotary
contactor).
Penelitian ini menggunakan kultur Omphlina sp yang ditambahkan pada
media serbuk gergaji yang kemudian diamobilisasi pada ijuk dan kasa kawat,
limbah zat warna artifisal merah lombok dan hitam dengan konsentrasi 50 ppm,
150 ppm dan 500 ppm. Pengambilan sampel pada jam ke 0, 1, 3, 5, 7 dan 24.
Pengukuran sampel zat warna dilakukan menggunakan spektrofotometri UV-Vis,
berdasarkan λmaks yang didapat. Penelitian limbah bau dilakukan menggunakan
limbah lateks pekat dengan pengambilan sampel pada jam ke 0, 1, 3, 5, 7, 24, 26
dan 28. Pengujian sampel dilakukan dengan uji organoleptik. Penggunaan ulang
(reuse) Omphalina sp pada limbah baru juga dilakukan untuk melihat apakah
Omphalina sp dapat digunakan berulang kali pada proses pengolahan limbah.

Prinsip penelitian berdasarkan sistem kontak limbah dengan kultur
Omphalina sp, dilakukan dengan sistem batch dan kontinyu (pack bed flow,
biotray dan rotary contactor).
Hasil pengujian menunjukkan telah terjadi penurunan intensitas warna
limbah tekstil dan bau pada limbah lateks. Hasil pengujian menunjukkan bahwa
deodorisasi limbah lateks paling baik dilakukan dengan menggunakan metode
rotary contactor. Dekolorisasi limbah tekstil paling baik juga dilakukan dengan
menggunakan metode rotary contactor, berdasarkan penurunan nilai absorbansi,
kenaikan persen penyerapan zat warna, dan nilai serapan maksimal (qmaks).
Kata kunci : deodorisasi limbah lateks, dekolorisasi limbah tekstil, metode batch,
metode kontinyu, omphalina sp

SUMMARY
ERNA PUSPASARI. Deodorization of Latex Effluent and Decolorization of
Textile Effluent by White Rot Fungi Omphalina sp using Batch and Continue
Methods Supervised by I MADE ARTIKA and TRI PANJI.
Industrial growth was increased rapidly along with increasing industrial
activity in order to meet the human needs. Things that can not be separated from
increasing industrial activity is the increased effluent from such activities.
Industrial wastewater is a pollutant to the environment that produces color and

strong odor, so that the effluent must be treated before being discharged into the
environment.
Effluent treatment color and odor can be done by chemistry and physical
technique, but that way is costly and raises new problems with the emergence of
secondary pollution originating from earlier sewage treatment. Biological effluent
treatment is an alternative method because it has several advantages, such as a
safe, environmentally friendly, does not require great expense and does not
produce secondary pollution. Effluent treatment using white rot fungi especially
Omphalina sp can be done because the ability of the fungi to perform
biodegradation of dyes and odor substance. The aim of this research is to
determine the best techniques on the latex effluent deodorization and textile
effluent decolorization with white rot fungi Omphalina sp on batch and
continuous methods (pack bed flow, biotray, and rotary contactor).
This research used culture of Omphalina sp which was grown on media of
sawdust that was immobiled in fibers and wire gauze. Artificial Effluent of dyes
red chili and black, with a concentration of 50 ppm, 150 ppm and 500 ppm, with
sampling at 0, 1, 3, 5, 7 and 24 hours. Dye sample measurement performed using
UV-Vis spectrophotometry based on λmax. Research on odorous waste conducted
using latex concentrated effluent by sampling at 0, 1, 3, 5, 7, 24, 26 and 28
hours. Analysis was conducted by organoleptic test. Analysis on the reuse of

Omphalina sp on a new effluent was done to determine wether of Omphalina sp
can be used repeatedly in the effluent treatment process.
Principle of research based on contact system of effluent with Omphalina
sp culture, has been carried out by batch dan continue system (pack bed flow,
biotray dan rotary contactor).
The results showed that there has been a decrease in the intensity color of
textile effluent color and smell of the latex effluent. The test results also showed
that the latex effluent deodorization was best conducted by using a rotary
contactor. Decolorization of textile effluent was best done by using a rotary
contactor, based on the decrease in the value of absorbance, percent increase in
the absorption of color and the maximum absorption value (qmaks).
Keywords: batch method, continue method, latex effluent deodorization,
omphalina sp, textile effluent decolorization

© Hak Cipta Milik IPB dan PPBBI, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB dan PPBBI
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB dan PPBBI

DEODORISASI LIMBAH LATEKS DAN DEKOLORISASI
LIMBAH TEKSTIL DENGAN JAMUR PELAPUK PUTIH
Omphalina sp MENGGUNAKAN METODE BATCH DAN
KONTINYU

ERNA PUSPASARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biokimia

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr drh Maria Bintang, MS

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkah
dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
Deodorisasi Limbah Lateks dan Dekolorisasi Limbah Tekstil dengan Jamur
Pelapuk Putih Omphalina sp Menggunakan Metode Batch dan Kontinyu yang
telah dilaksanakan sejak bulan September 2014 sampai Juni 2015 di Laboratorium
Mikroba dan Bioproses, Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia,
Jalan Taman Kencana No. 1.
Terima kasih, penghargaan, dan apresiasi penulis ucapkan kepada Dr I
Made Artika, M.App, Sc sebagai pembimbing utama dan Dr Tri Panji, MS. APU
sebagai pembimbing kedua atas arahan, bimbingan, nasihat, motivasi dan
masukannya selama penelitian serta penyusunan tesis ini. Terima kasih kepada
Prof Dr drh Maria Bintang, MS selaku ketua program studi S2 Biokimia.
Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada suami,
keluarga, teman-teman dan teknisi di Laboratorium Mikroba dan Bioproses

PPBBI, teman-temanSPs IPB program studi Biokimia 2013/2014 yang selalu
mendukung penulis.
Penyusunan tesis ini tidak terlepas dari kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk menyempurnakan
penyusunan tesis ini. Semoga hasil penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, 31 Agustus 2015
Erna Puspasari

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR LAMPIRAN


xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis

1
1
2
3
3
3

2 METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Bahan

Alat
Prosedur Penelitian

3
3
3
3
4

3 HASIL
Absorbansi zat warna merah lombok dan hitam
Persen Penyerapan zat warna merah lombok dan hitam
Serapan Maksimum (qmaks) Zat Warna Merah Lombok dan Hitam
Kemampuan Deodorisasi
4 PEMBAHASAN
Absorbansi zat warna merah lombok dan hitam
Persen Penyerapan zat warna merah lombok dan hitam
Serapan Maksimum (qmaks) Zat Warna Merah Lombok dan Hitam
Kemampuan Deodorisasi


7
7
12
16
19
20
20
22
22

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

23
23
23

DAFTAR PUSTAKA

24

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

36

20

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Rangkaian metode (a) batch, (b) pack bed flow, (c) biotray, (d)
rotarycontactor
Penurunan absorbansi warna merah lombok pada panjang gelombang
495 nm pada penggunaan pertama
Penurunan absorbansi warna merah lombok pada panjang gelombang
495 nm pada penggunaan kedua
Penurunan absorbansi warna merah lombok pada panjang gelombang
495 nm pada penggunaan ketiga
Penurunan absorbansi warna hitam pada panjang gelombang 486 nm
pada penggunaan pertama
Penurunan absorbansi warna hitam pada panjang gelombang 486 nm
pada penggunaan kedua
Penurunan absorbansi warna hitam pada panjang gelombang 486 nm
pada penggunaan ketiga
Persen penyerapan zat warna merah lombok pada penggunaan pertama
Persen penyerapan zat warna merah lombok pada penggunaan kedua
Persen penyerapan zat warna merah lombok pada penggunaan ketiga
Persen penyerapan zat warna hitam pada penggunaan pertama
Persen penyerapan zat warna hitam pada penggunaan kedua
Persen penyerapan zat warna hitam pada penggunaan ketiga
Penurunan skala bau
Skema siklus katalitik peroksidase
Siklus katalitik lakase

6
7
8
9
10
11
12
13
13
14
15
15
16
19
21
22

DAFTAR TABEL
1Ringkasan penentuan nilai qmaks warna merah lombok
2 Ringkasan penentuan nilai qmaks warna hitam

17
18

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Zat warna merah lombok dan hitam
Data absorbansi zat warna merah lombok
Data absorbansi zat warna hitam
Data deodorisasi limbah lateks pada penggunaan ulang 1
Data deodorisasi limbah lateks pada penggunaan ulang 2
Data deodorisasi limbah lateks pada penggunaan ulang 3
Biomassa Omphalina sp

29
30
31
32
33
34
35

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertumbuhan manusia yang semakin pesat berhubungan dengan
bertambahnya kegiatan industri dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia
tersebut. Hal yang tidak lepas dari bertambahnya kegiatan industri adalah limbah
hasil kegiatan tersebut. Tidak hanya berbahaya, terkadang limbah – limbah hasil
buangan tersebut berwarna dan berbau tajam, sehingga limbah harus diolah, hal
ini tentu saja membutuhkan penanganan yang serius mengenai pengolahan limbah
dari hasil buangan industri, dimana saat limbah akan di buang ke lingkungan
harus memenuhi syarat – syarat buangan limbah.
Limbah tekstil mengandung zat warna sintetik yang bersifat rekalsitran.
Penggunaan zat warna sintetik pada industri tekstil karena zat warna sintetik lebih
murah dan lebih praktis dibandingkan zat warna alam dan dapat memenuhi
kebutuhan industri (Selamat et al. 2010). Zat warna yang umumnya digunakan
dalam industri tekstil adalah zat warna azo (direct red, remazol black dan acid
orange). Zat warna sintetik merupakan molekul yang mempunyai sistem elektron
terdelokalisasi dan mengandung gugus kromofor dan auksokrom. Keragaman
struktural pewarna berkaitan dengan terdapatnya gugus kromoforik yang berbeda
- beda, seperti azo, tripenil metana dan ptalosianin. Kromofor menyebabkan
terjadinya warna melalui perubahan pita serapan pada daerah tampak (Van de Zee
2002)
Limbah lateks pekat merupakan salah satu limbah yang menghasilkan bau
yang tidak sedap sehingga perlu adanya pengolahan limbah terlebih dahulu
sebelum limbah dibuang ke lingkungan. Terdapat 26 jenis senyawa yang menjadi
sumber bau dari hasil kegiatan industri. Tiga dari 26 jenis senyawa tersebut
dijadikan parameter acuan kebauan dalam Kepmen No.50/MenLH/II/1996 yaitu
metil merkaptan (CH3SH), amoniak (NH3), dan hidrogen sulfida (H2S). Kebauan
merupakan bau yang tidak diinginkan pada kadar dan waktu tertentu yang
mengganggu kesehatan manuia dan kenyamanan lingkungan (Kepmen
No.50/MenLH/II/1996 dalam Kosasih 2003)
Pengolahan limbah yang dilakukan dengan cara fisika dan kimia ternyata
menemui kendala, salah satunya adalah biaya tinggi untuk melakukan pengolahan
limbah karena diperlukan peralatan yang khusus dan memadai (Selamat et al.
2010) sehingga perlu dilakukan alternatif lain untuk mengolah limbah. Metode
yang saat ini sedang dikaji secara mendalam adalah pengolahan limbah dengan
metode biologi. Pengolahan limbah secara biologi dapat menggunakan bakteri dan
jamur. Keuntungan menggunakan mikroorganisme diantaranya biaya rendah,
dapat digunakan berulang kali (reuse), dan ramah lingkungan (Banat et al. 1996).
Penggunaan bakteri dalam pengolahan limbah ternyata menimbulkan
permasalahan baru. Degradasi anaerobik seperti pewarna oleh bakteri telah
dilaporkan untuk menghasilkan produk karsinogenik dan/atau mutagenik (Stol
2001). Kelemahan penggunaan bakteri dalam pengolahan limbah zat warna azo
yaitu perombakan zat warna berlangsung efektif pada keadaan anaoerob tetapi
produk yang dihasilkan berupa amina aromatik bersifat lebih toksik dibandingkan
zat warna azo, dan perombakan aerob berlangsung efektif hanya pada zat warna

2

azo dengan struktur molekul sederhana sedangkan pada limbah tekstil strukturnya
sangat kompleks (Selamat et al. 2010).
Jamur, khususnya jamur pelapuk putih, memiliki potensi biodegradasi
yang lebih baik karena adanya enzim ligninolitik ekstraseluler yang mampu
memecahkan struktur makromolekul lignin heterogen. Ketiga enzim tersebut
adalah lignin peroksidase, mangan peroksidase dan lakase (Hakala 2007). Enzim
lignolitik dari jamur pelapuk putih banyak digunakan untuk mengolah limbah cair
yang memiliki struktur molekul yang mirip dengan struktur lignin (Selamat 2010).
Potensi biodegradasi lignin pada jamur ini membuktikan metode
biocleaning yang efisien pada industri pewarna dan limbah yang terkait.
Beberapa penelitian telah dilakukan menggunakan degradasi jamur ini (Robinson
et al. 2001, Wesenberg et al. 2002, Senthilkumar 2011). Penelitian yang lain
telah menggunakan jamur pelapuk putih Dichomitus squalens, Irpex flavus dan
Phlebia spp, Phanerochaete chrysosporium (Chander M et al. 2004, Gill PK et al.
2002, Senthilkumar 2011), sebagai dekolorisasi zat warna.
Omphalina sp merupakan jamur pelapuk putih yang tergolong ke dalam
kelas Basidiomycetes dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengolah limbah
zat warna dan limbah bau karena Omphalina sp memiliki beberapa keunggulan
diantaranya tidak beracun dan tidak bersifat patogen terhadap tanaman, bertahan
hidup dalam waktu lama sehingga tetap aktif saat digunakan dalam proses
pengolahan limbah, mudah diamobilisasi sehingga dapat digunakan pada
pengolahan limbah dengan metode batch dan kontinyu, dapat tumbuh pada media
dengan variasi pH yang cukup luas (pH 4,5 – 8,5).
Penelitian Ardhina (2007) menggunakan jamur pelapuk putih Omphalina
sp sebagai dekolorisasi limbah menggunakan berbagai macam media. Azizah
(2008) juga menggunakan Omphalina sp untuk mencari formula terbaik pada
deodorisasi limbah lateks dan dekolorisasi zat pewarna tekstil. Metode yang
digunakan dalam pengolahan limbah juga menjadi pertimbangan selain pemilihan
jamur pelapuk putih, karena hal ini berkaitan dengan efektifitas pengolahan
limbah, biaya yang dikeluarkan saat pengolahan limbah, dan keamanan
lingkungan. Beberapa metode akan diaplikasikan dalam pengolahan limbah untuk
melihat teknik absorpsi yang paling baik, diantaranya batch (Chen et al. 2010,
Robinson et al. 2002) biotray, pack bed flow ( Kumar et al. 2011, Robinson et al.
2002) dan rotary contactor (Ramsay et al. 2006)
Perumusan Masalah
Limbah hasil proses industri yang semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya jumlah industri yang ada memerlukan perhatian yang lebih dalam
penanganannya. Berbagai metode telah dilakukan untuk mengolah limbah hasil
industri cair, salah satunya penggunaan jamur pelapuk putih. Hasil penelitian
sebelumnya baru menggunakan beberapa spesies saja dari keseluruhan jamur
pelapuk putih yang ada, sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut mengenai
penggunaan jamur pelapuk putih dengan spesies yang berbeda dan limbah hasil
industri yang berbeda – beda, dan juga perlu dikembangkan lebih lanjut mengenai
teknik pengolahan limbah dengan jamur pelapuk putih.

3

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan sistem aplikasi yang paling baik
pada deodorisasi limbah lateks dan dekolorisasi limbah cair industri tekstil dengan
menggunakan jamur pelapuk putih Omphalina sp.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas teknologi deodorisasi
dan dekolorisasi limbah menggunakan jamur pelapuk putih yang ramah
lingkungan.
Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah teknik absorpsi deodorisasi limbah lateks
dan dekolorisasi limbah cair industri dengan jamur pelapuk putih Omphalina sp
memberikan hasil yang berbeda – beda pada sistem batch, biotray, pack bed flow
dan rotary contactor

2 METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada September 2014 - April 2015 di Laboratorium
Mikroba dan Bioproses, Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia,
Jalan Taman Kencana No. 1 Bogor.

Bahan
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Omphalina sp
yang terdapat di Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia,
kentang, gula pasir, bubuk agar, ijuk, beras pera, serbuk gergaji, pepton, air,
aquades steril, alkohol 70%, zat warna hitam (Wantex, Padi Gunting, No seri 15),
merah lombok (Wantex, Padi Gunting, No seri 1) dengan konsentrasi 500 ppm,
150 ppm, 50 ppm.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, autoklaf,
laminar air flow cabinet, vortex, oven, spektrofotometer UV-Vis (UV mini 1240
Shimadzu), neraca kasar, cawan petri, labu erlenmeyer, gelas ukur, tabung reaksi,
pipet tetes, pipet mikro, alumunium foil, sudip, bunsen, jarum ose, dan alat gelas
lain (Pyrex).

4

Prosedur Penelitian
Pembuatan PDA (Potatoes Dextrose Agar) (Fassatiova 1986 dalam
Ardhina, Aried 2007)
Kentang sebanyak 200 gram (telah dikupas dan dibersihkan) dimasukkan ke
dalam wadah, ditambahkan 1 liter air, kemudian direbus hingga mendidih. Air
rebusan kentang disaring dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 1 liter, campur
dengan 20 gram gula, lalu dimasukkan ke dalam 2 Erlenmeyer masing–masing
500 mL. 10 gram agar ditambahkan pada masing–masing Erlenmeyer tersebut,
dipanaskan dan diaduk sampai homogen. Sterilisasi dilakukan pada suhu 1210C, 1
atm, selama 15 menit.
Penyiapan Omphalina sp dalam PDA
Isolat Omphalina sp yang telah dipotong 1cm2 diremajakan pada media
PDA, dikulturkan dalam cawan petri dan dibiarkan tumbuh selama 7 hari sampai
tumbuh sempurna/merata (Metode Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri
Indonesia).
Penyiapan Kultur Omphalina sp. dalam Media Beras
Beras sebanyak satu liter dicuci sampai bersih, lalu ditambahkan sedikit air,
kemudian dimasak sambil diaduk sampai airnya tidak tersisa, ditambahkan 1
sendok makan minyak agar beras tidak menggumpal. 100 gram beras dimasukkan
ke dalam botol jam dan ditutup botol jam tersebut. Sterilisasi dilakukan pada suhu
1210C, 1 atm, selama 15 menit. Setengah petri isolat Omphalina sp dari media
PDA dimasukkan ke dalam media beras, diaduk, kemudian diinkubasi pada suhu
ruang sampai tumbuh sempurna/ merata selama 14 hari (Metode Pusat Penelitian
Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia).
Penyiapan Kultur Omphalina sp. dalam Media Serbuk Gergaji
Serbuk gergaji yang telah dicuci bersih dimasukkan ke dalam plastik tahan
panas (berat serbuk sekitar 500 – 700 gram). Dilakukan sterilisasi pada suhu
1210C, 1 atm, selama 15 menit lalu ditiriskan, dilakukan pengulangan sterilisasi
sebanyak dua kali, lalu ditiriskan dan didinginkan. Serbuk gergaji diaduk agar
seluruh bagian mendapatkan udara, kemudian ditambahkan 18 gram isolat
Omphalina sp dari media beras, diinkubasi sampai tumbuh merata sampai 60
hari (Metode Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia).
Kultur Permukaan
Kotak yang akan digunakan disterilisasi menggunakan alkohol 70%,
didiamkan sampai kering, lalu digunakan aquades steril untuk membilas. Satu
kantong Omphalina sp dari media sebuk gergaji di pindahkan ke dalam kotak lalu
ditutup rapat dan diinkubasi selama 10 hari (Metode Pusat Penelitian Bioteknologi
dan Bioindustri Indonesia).
Amobilisasi Omphalina sp
Ijuk dipotong dengan ukuran 5 -7 cm, lalu direndam dalam air selama satu
minggu, setiap hari dilakukan penggantian air rendaman ijuk untuk
menghilangkan kotoran, kemudian ditiriskan hingga kadar air mencapai maksimal

5

50%. Dilakukan sterilisasi ijuk pada suhu 1210C selama 15 menit. Setelah dingin,
sebanyak 5 gram ijuk digunakan untuk melapisi formula secara merata (Metode
Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia).
.
Analisis Dekolorisasi dengan Metode Spektrofotometri
Dilakukan analisis dekolorisasi pada sampel menggunakan spektrofotometer
UV-Vis pada zat warna dengan terlebih dahulu mencari absorbansi maksimal
warna tersebut. Analisis dekolorisasi ditinjau berdasarkan tiga hal, penurunan
absorbansi zat warna merah lombok dan hitam, persen penyerapan zat warna
merah lombok dan hitam serta penentuan serapan maksimum (qmaks) zat warna
merah lombok dan hitam.
Pengukuran Absorbansi Zat Warna Merah Lombok dan Hitam
Dilakukan penentuan λmaks dengan mencari serapan maksimum pada zat
warna merah lombok dan hitam dengan mengukur absorbansi pada beberapa
panjang gelombang yang berbeda. Digunakan λmaks yang telah didapat untuk
mengukur absorbansi pada setiap sampel zat warna.
Dilakukan pengenceran pada hasil pengukuran absorbansi yang memiliki
nilai diatas 0,8 agar hasil dekolorisasi dapat terbaca oleh spektrofotometri UVVIS. Pembacaan absorbansi pada zat warna merah lombok 50 ppm dilakukan 2
kali pengenceran, 5 kali pengenceran (konsentrasi 150 ppm), dan 20 kali
pengenceran (konsentrasi 500 ppm). Pengenceran dilakukan juga pada zat warna
hitam, pada konsentrasi awal 150 ppm dilakukan 3 kali pengenceran dan 10 kali
pengenceran dilakukan pada sampel dengan konsentrasi awal 500 ppm. Semua
pengenceran dilakukan setelah perlakuan zat warna dengan jamur.
Persen Penyerapan Zat Warna Merah Lombok dan Hitam
Persen penyerapan zat warna merah lombok dan hitam dihitung dengan
menggunakan rumus:
Persen penyerapan = [(Ao-A)/Ao] x 100%
Ao = absorbansi awal sebelum absorpsi
A = absorbansi setelah absorpsi
Penentuan Serapan Maksimum (qmaks) Zat Warna Merah Lombok dan
Hitam
Hasil absorbansi yang didapat dikonversi menjadi konsentrasi (ppm)
dengan menggunakan rumus :
A1/A2 = C1/C2
A1 = absorbansi sampel 1
A2 = absorbansi sampel 2
C1 = konsentrasi sampel 1
C2 = konsentrasi sampel 2
Konsentrasi yang didapat berdasarkan perhitungan diatas digunakan untuk
menentukan serapan maksimum (qmaks) berdasarkan model persamaan Langmuir
(Suharyanto 2014):

6

Keterangan :
q = konsentrasi adsorbat yang terjadi (massa adsorbat/ massa biosorben)
qmax = jumlah maksimum zat warna yang dapat diserap biosorben (mg/g)
Cf = konsentrasi akhir zat warna dalam larutan
b = konstanta Langmuir
Analisis Deodorisasi dengan Metode Analisis Sensori
Dilakukan analisis deodorisasi pada sampel limbah lateks pekat dengan uji
organoleptik, yaitu membaui sampel yang ada kemudian diukur dengan skala
yang menunjukkan tingkat bau (5 = sangat bau; 4 = lebih bau; 3 = bau; 2 = kurang
bau; 1 = tidak bau), dimana sampel tanpa perlakuan sebagai acuan nilai tertinggi
(skala 5). Pengujian deodorisasi ini menggunakan panelis sebanyak 7 orang yang
akan membaui sampel berdasarkan skala yang diberikan.
Penentuan Kemampuan Deodorisasi dan Dekolorisasi
Dilakukan penggunaan ulang (reuse) Omphalina sp dengan menggunakan
larutan sampel yang baru sebanyak tiga kali, untuk mengetahui berapa kali
Omphalina sp dapat digunakan secara efektif untuk mengolah limbah. Dilakukan
juga pengulangan pada setiap metode sebanyak dua kali.
Metode batch dilakukan dengan cara memasukkan larutan yang berisi zat
warna dan limbah lateks ke dalam wadah, kemudian diletakkan Omphalina sp
yang digunakan sampai sebagian dari formula tersebut terendam dalam sampel.
Dilakukan pengukuran intensitas warna pada jam ke 0, 1, 3, 5, 7, dan 24.
Pengukuran intensitas bau dilakukan pada jam ke 0, 1, 3, 5, 7, 24, 26 dan 28
(Gambar 1a).
Penentuan deodorisasi dan dekolorisasi pada metode pack bed flow
dilakukan dengan cara mengalirkan larutan dengan laju alir 0,173L/s. Bak yang
berisi formula Omphalina sp dialiri oleh larutan yang baru secara terus- menerus
hingga kemampuan deodorisasi dan dekolorisasinya berkurang. Kemudian
dilakukan pengukuran intensitas warna dan bau (Gambar 1b).
Penentuan deodorisasi dan dekolorisasi pada metode biotray dilakukan
dengan cara memancurkan air limbah dari ketinggian tertentu melewati bak yang
berisi formula Omphalina sp dengan laju alir 0,173L/s terus-menerus hingga
kemampuan deodorisasi dan dekolorisasinya berkurang. Kemudian dilakukan
pengukuran intensitas warna dan bau (Gambar 1c).

(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 1. Rangkaian metode (a) batch, (b) pack bed flow, (c) biotray, (d) rotary
contactor
Penentuan deodorisasi dan dekolorisasi pada metode rotary contactor
dilakukan dengan memutar wadah yang berisi formula Omphalina sp. Air limbah

7

secara terus menerus dialirkan melewati pipa ke wadah dengan kecepatan
0,173L/s, sehingga wadah yang berisi formula Omphalina sp akan berputar secara
terus menerus hingga kemampuan deodorisasi dan dekolorisasinya berkurang.
Kemudian dilakukan pengukuran intensitas warna dan bau (Gambar 1).

3 HASIL
Absorbansi Zat Warna Merah Lombok dan Hitam
Pengukuran absorbansi zat warna merah lombok dan hitam dengan
konsentrasi awal 50 ppm, 150 ppm dan 500 ppm dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometri UV-VIS. Hasil pengukuran menunjukkan terjadinya dekolorisasi
zat warna merah lombok dan hitam yang ditunjukkan dengan terjadinya
penurunan absorbansi pada setiap metode. Gambar 2, 3 dan 4 menunjukkan
penurunan serapan total (absorbansi zat warna (Abs) x faktor pengenceran (fp))
berbanding dengan waktu perlakuan (jam). Penurunan intensitas zat warna akan
lebih terlihat saat nilai absorbansi dikalikan dengan faktor pengenceran.

(a)

(b)

(c)
Gambar 2 Penurunan absorbansi warna merah lombok pada panjang gelombang
495 nm pada penggunaan pertama (a) konsentrasi awal 50 ppm; (b)
konsentrasi awal 150 ppm (c) konsentrasi awal 500 ppm

8

Nilai serapan total (absorbansi x fp) pada konsentrasi 50 ppm adalah 1,309,
kemudian terjadi nilai serapan total jam ke-24 pada metode batch menjadi 1.040,
pada metode pack bed flow menjadi 0,845, pada metode biotray menjadi 0,849,
pada metode rotary contactor menjadi 0,713 (Gambar 2a). Sedangkan nilai
serapan total pada konsentrasi 150 ppm adalah 3,825, kemudian terjadi penurunan
dijam ke-24 pada metode batch menjadi 3,545, pada metode pack bed flow
menjadi 3,143, pada metode biotray menjadi 3,290, pada metode rotary contactor
menjadi 2,960 (Gambar 2b). Nilai serapan total pada konsentrasi 500 ppm adalah
11,360, kemudian penurunan nilai serapan total jam ke-24 pada metode batch
menjadi 9,940, pada metode pack bed flow menjadi 9,140, pada metode biotray
menjadi 9,440 dan pada metode rotary contactor menjadi 9,020 (Gambar 2c).

(a)

(b)

(c)
Gambar 3 Penurunan absorbansi warna merah lombok pada panjang gelombang
495 nm pada penggunaan kedua (a) konsentrasi awal 50 ppm; (b)
konsentrasi awal 150 ppm (c) konsentrasi awal 500 ppm
Penggunaan ulang jamur Omphalina sp telah dilakukan pada limbah, pada
penggunaan ulang ke 2 nilai serapan total (absorbansi x fp) pada konsentrasi 50
ppm adalah 1,354, kemudian terjadi nilai serapan total jam ke-24 pada metode
batch menjadi 1.092, pada metode pack bed flow menjadi 1,008, pada metode
biotray menjadi 1,019, pada metode rotary contactor menjadi 0,991 (Gambar 3a).

9

Nilai serapan total pada konsentrasi 150 ppm adalah 3,913, kemudian terjadi
penurunan pada jam ke-24 pada metode batch menjadi 3,625, pada metode pack
bed flow menjadi 3,408, pada metode biotray menjadi 3,405 dan pada metode
rotary contactor menjadi 3,260 (Gambar 3b). Nilai serapan total pada konsentrasi
500 ppm adalah 11,120, kemudian penurunan nilai serapan total jam ke-24 pada
metode batch menjadi 10,060, pada metode pack bed flow menjadi 9,360, pada
metode biotray menjadi 9,420 dan pada metode rotary contactor menjadi 9,200
(Gambar 3c). Terjadinya penurunan nilai serapan total pada penggunaan ulang ke
2 menunjukkan bahwa jamur Omphalina sp dapat digunakan ulang.
Gambar 4 menunjukkan nilai serapan total jamur Omphalina sp pada
penggunaan ulang ke 3. Hasil pengukuran menunjukkan telah terjadinya
penurunan nilai serapan, baik pada metode batch, pack bed flow, biotray maupun
rotary contactor. Hal ini menunjukkan bahwa jamur Omphalina sp dapat
dilakukan berulang – ulang.

(a)

(b)

(c)
Gambar 4 Penurunan absorbansi warna merah lombok pada panjang gelombang
495 nm pada penggunaan ketiga (a) konsentrasi awal 50 ppm; (b)
konsentrasi awal 150 ppm (c) konsentrasi awal 500 ppm

10

Hasil pengukuran absorbansi pada warna hitam menunjukkan terjadinya
penurunan intensitas warna (Gambar 5). Absorbansi yang terbaca pada
konsentrasi awal 50 ppm adalah 0,630, kemudian terjadi penurunan absorbansi
pada jam ke-24 menjadi 0,521 pada metode batch, pada metode pack bed flow
menjadi 0,450, pada metode biotray menjadi 0,447 dan pada metode rotary
contactor menjadi 0,431. Pada konsentrasi awal 150 ppm nilai serapan total yang
didapat sebesar 2,087, kemudian terjadi penurunan pada jam ke-24 menjadi 1,874
(pada metode batch), 1,782 (pada metode pack bed flow), 1,778 (pada metode
biotray) dan 1,689 (pada metode rotary contactor). Pada konsentrasi awal 500
ppm nilai serapan total yang didapat sebesar 6,490, kemudian terjadi penurunan
pada jam ke-24 menjadi 5,900 (pada metode batch), 5,500 (pada metode pack bed
flow), 5,630 (pada metode biotray) dan 5,300 (pada metode rotary contactor).

(a)

(b)

(c)
Gambar 5 Penurunan absorbansi warna hitam pada panjang gelombang 486 nm
pada penggunaan pertama (a) konsentrasi awal 50 ppm; (b)
konsentrasi awal 150 ppm (c) konsentrasi 500 awal ppm
Penggunaan ulang Omphalina sp juga dilakukan pada zat warna hitam.
Penggunaan kedua dan penggunaan ketiga jamur Omphalina sp menunjukkan
terjadinya penurunan absorbansi. Hal ini menunjukkan bahwa Omphalina sp juga

11

dapat digunakan secara berulang kali pada pengolahan limbah warna hitam
(Gambar 6 dan Gambar 7). Penurunan absorbansi atau nilai serapan total paling
kecil pada zat warna hitam dengan konsentrasi awal 50 ppm, 150 ppm dan 500
ppm terjadi pada perlakuan yang menggunakan metode batch, sedangkan
penurunan nilai serapan total paling besar terjadi pada perlakukan yang
menggunakan metode rotary contactor. Hal ini terjadi pada penggunaan pertama,
penggunaan kedua, maupun penggunaan ketiga, dengan nilai penurunan yang
berbeda – beda. Nilai penurunan absorbansi pada warna hitam berbeda dengan
nilai penurunan absorbansi pada warna merah lombok, hal ini berkaitan dengan
struktur molekul zat warna pada merah lombok dan warna hitam.

(a)

(b)

(c)
Gambar 6 Penurunan absorbansi warna hitam pada panjang gelombang 486 nm
pada penggunaan kedua (a) konsentrasi 50 ppm; (b) konsentrasi 150
ppm (c) konsentrasi 500 ppm

12

(a)

(b)

(c)
Gambar 7 Penurunan absorbansi warna hitam pada panjang gelombang 485 nm
pada penggunaan ketiga (a) konsentrasi 50 ppm; (b) konsentrasi 150
ppm (c) konsentrasi 500 ppm
Persen Penyerapan Zat Warna Merah Lombok dan Hitam
Persen penyerapan zat warna merah lombok dan hitam dihitung untuk
melihat kemampuan jamur Omphalina sp dalam menyerap zat warna. Besar
persen penyerapan di dapat dengan cara membandingkan selisih nilai absorban zat
warna merah lombok dan hitam pada jam ke-1, 3, 5, 7, dan 24 terhadap kontrol.
Persen penyerapan zat warna merah lombok pada konsentrasi awal 50 ppm, pada
jam ke-24 pada metode batch, pack bed flow, biotray dan rotary contactor secara
berurutan adalah 20,550%, 35,447%, 35,141% dan 45,531% (Gambar 8a). Pada
konsentrasi awal 150 ppm, persen penyerapan pada jam ke-24 pada metode batch
adalah 7,320%, pada metode pack bed flow adalah 17,843%, pada metode biotray
adalah 13,987% dan pada metode rotary contactor adalah 22,614% (Gambar 8b).
Persen penyerapan zat warna merah lombok pada konsentrasi awal 500 ppm, pada
jam ke-24 pada metode batch, pack bed flow, biotray dan rotary contactor secara
berurutan adalah 12,500%, 19,542%, 16,901% dan 20,599% (Gambar 8c)

13

(a)

(b)

(c)
Gambar 8 Persen penyerapan zat warna merah lombok pada penggunaan pertama
(a) konsentrasi 50 ppm (b), konsentrasi 150 ppm, (c) konsentrasi 500
ppm

(a)

(b)

(c)
Gambar 9 Persen penyerapan zat warna merah lombok pada penggunaan kedua
(a) konsentrasi 50 ppm (b), konsentrasi 150 ppm, (c) konsentrasi 500
ppm

14

Pada penggunaan kedua dan ketiga juga terjadi peningkatan persen
penyerapan zat warna merah lombok, hal ini membuktikan bahwa jamur
Omphalina sp masih memiliki kemampuan untuk menyerap zat warna meskipun
telah digunakan sebelumnya (Gambar 9 dan Gambar 10).

(a)

(b)

(c)
Gambar 10 Persen penyerapan zat warna merah lombok pada penggunaan ketiga
(a) konsentrasi 50 ppm (b), konsentrasi 150 ppm, (c) konsentrasi 500
ppm
Persen penyerapan pada zat warna hitam dihitung untuk melihat
kemampuan jamur Omphalina sp dalam menyerap zat warna hitam. Hasil
perhitungan menunjukkan telah terjadi peningkatan persen penyerapan zat warna
hitam, baik pada penggunaan ulang pertama (Gambar 11), penggunaan ulang
kedua (Gambar 12), maupun penggunaan ulang ketiga (Gambar 13). Nilai persen
penyerapan pada masing – masing penggunaan ulang memiliki nilai yang
berbeda, dimana persen penyerapan pada penggunaan ulang pertama lebih tinggi
dibandingkan persen penyerapan pada penggunaan ulang kedua dan penggunaan
ulang ketiga.

15

(a)

(b)

(c)
Gambar 11 Persen penyerapan zat warna hitam pada penggunaan pertama (a)
konsentrasi 50 ppm (b), konsentrasi 150 ppm, (c) konsentrasi 500 ppm

(a)

Gambar 12

(b)

(c)
Persen penyerapan zat warna hitam pada penggunaan kedua (a)
konsentrasi 50 ppm (b), konsentrasi 150 ppm, (c) konsentrasi 500 ppm

16

(a)

(b)

(c)
Gambar 13 Persen penyerapan zat warna hitam pada penggunaan ketiga (a)
konsentrasi 50 ppm (b), konsentrasi 150 ppm, (c) konsentrasi 500 ppm
Serapan Maksimum (qmaks) Zat Warna Merah Lombok dan Hitam
Penentuan serapan maksimum zat warna dihitung dengan membandingkan
antara serapan warna dalam biosorben (mg zat warna/g biosorben) dengan
konsentrasi akhir (keseimbangan) zat warna dalam larutan yang dibuat dalam plot
grafik, sehingga didapatkan qmaks pada masing–masing metode. Tabel 1 serapan
maksimal (qmaks) terbesar pada penggunaan pertama ditunjukkan pada metode
rotary contactor dengan nilai 0,124 pada konsentrasi 50 ppm, 0,100 pada
konsentrasi 150 ppm dan 0,3157 pada konsentrasi 500 ppm. Semakin besar nilai
qmaks menunjukkan semakin besar serapan jamur pelapuk putih dalam melakukan
proses dekolorisasi. Serapan paling rendah ditunjukkan oleh metode batch dengan
nilai qmaks paling kecil, yaitu 0,020 pada konsentrasi 50 ppm, 0,009 pada
konsentrasi 150 ppm dan 0,0977 pada konsentrasi 500 ppm. Serapan maksimal
penggunaan kedua dan penggunaan ketiga jamur Omphalina sp juga
menunjukkan nilai terbesar pada metode rotary contactor dan nilai serapan
maksimal paling kecil ditunjukkan pada metode Batch.

17

Tabel 1 Ringkasan penentuan nilai qmaks warna merah lombok
Metode
Penggunaan Ulang 1
Batch (50 ppm)
Pack Bed Flow (50 ppm)
Biotray (50 ppm)
Rotary Contactor (50 ppm)
Batch (150 ppm)
Pack Bed Flow (150 ppm)
Biotray (150 ppm)
Rotary Contactor (150 ppm)
Batch (500 ppm)
Pack Bed Flow (500 ppm)
Biotray (500 ppm)
Rotary Contactor (500 ppm)
Penggunaan ulang 2
Batch (50 ppm)
Pack Bed Flow (50 ppm)
Biotray (50 ppm)
Rotary Contactor (50 ppm)
Batch (150 ppm)
Pack Bed Flow (150 ppm)
Biotray (150 ppm)
Rotary Contactor (150 ppm)
Batch (500 ppm)
Pack Bed Flow (500 ppm)
Biotray (500 ppm)
Rotary Contactor (500 ppm)
Penggunaan ulang 3
Batch (50 ppm)
Pack Bed Flow (50 ppm)
Biotray (50 ppm)
Rotary Contactor (50 ppm)
Batch (150 ppm)
Pack Bed Flow (150 ppm)
Biotray (150 ppm)
Rotary Contactor (150 ppm)
Batch (500 ppm)
Pack Bed Flow (500 ppm)
Biotray (500 ppm)
Rotary Contactor (500 ppm)
Batch (50 ppm)
Pack Bed Flow (50 ppm)

r2
0.824
0.907
0.926
0.863
0.95
0.979
0.978
0.942
0.95

Persamaan

qMax

B

0.967

y = -1815.x + 48.85
y = -362.3x + 13.20
y = -321.7x + 11.98
y = -177.7x + 8.052
y = -14211x + 105.5
y = -1427.x + 13.03
y = -2539.x + 21.53
y = -1030.x + 9.969
y = -4222.x + 10.24
y = -1418.x + 3.907
y = -1857.x + 4.919
y = -1111.x + 3.168

0.0205
0.0758
0.0835
0.1242
0.0095
0.0767
0.0464
0.1003
0.0977
0.2560
0.2033
0.3157

0.0269
0.0364
0.0372
0.0453
0.0074
0.0091
0.0085
0.0097
0.0024
0.0028
0.0026
0.0029

0.883
0.896
0.966
0.942
0.942
0.981
0.984
0.976
0.794
0.926
0.877
0.964

y = -2208.x +57.97
y = -829.3x + 25.05
y = -657.9x + 20.57
y = -590.7x + 18.92
y = -14748x + 109.3
y = -2750.x + 23.07
y = -2753.x + 23.09
y = -1656.x +14.8
y = -23898.x + 52.91
y = -2807.x + 7.121
y = -4488.x + 10.95
y = -1843.x + 4.887

0.0173
0.0399
0.0486
0.0529
0.0091
0.0433
0.0433
0.0676
0.0189
0.1404
0.0913
0.2046

0.0263
0.0302
0.0313
0.0320
0.0074
0.0084
0.0084
0.0089
0.0022
0.0025
0.0024
0.0027

0.792
0.888
0.918
0.93
0.959
0.98
0.933
0.959
0.98
0.986
0.659
0.904
0.708
0.908

y = -9922.x + 288.8
y = -901.7x + 27.2
y = -1474x + 40.93
y = -868.4x + 26.21
y = -4356.x + 35.09
y = -3220.x + 26.58
y = -17290x + 127.1
y = -4356.x + 35.09
y = -3220.x + 26.58
y = -1877.x + 16.48
y = -11471.x + 246.2
y = -3831.x + 9.452
y = -6703.x + 15.92
y = -2866.x + 7.27

0.0044
0.0368
0.0244
0.0382
0.0285
0.0376
0.0079
0.0285
0.0376
0.0607
0.0041
0.1058
0.0628
0.1376

0.0231
0.0302
0.0278
0.0302
0.0081
0.0083
0.0074
0.0081
0.0083
0.0088
0.0215
0.0025
0.0024
0.0025

0.959

0.969

18

Tabel 2 Ringkasan penentuan nilai qmaks warna hitam
Konsentrasi
Penggunaan Ulang 1
Batch (50 ppm)
Pack Bed Flow (50 ppm)
Biotray (50 ppm)
Rotary Contactor (50 ppm)
Batch (150 ppm)
Pack Bed Flow (150 ppm)
Biotray (150 ppm)
Rotary Contactor (150 ppm)
Batch (500 ppm)
Pack Bed Flow (500 ppm)
Biotray (500 ppm)
Rotary Contactor (500 ppm)
Penggunaan ulang 2
Batch (50 ppm)
Pack Bed Flow (50 ppm)
Biotray (50 ppm)
Rotary Contactor (50 ppm)
Batch (150 ppm)
Pack Bed Flow (150 ppm)
Biotray (150 ppm)
Rotary Contactor (150 ppm)
Batch (500 ppm)
Pack Bed Flow (500 ppm)
Biotray (500 ppm)
Rotary Contactor (500 ppm)
Penggunaan ulang 3
Batch (50 ppm)
Pack Bed Flow (50 ppm)
Biotray (50 ppm)
Rotary Contactor (50 ppm)
Batch (150 ppm)
Pack Bed Flow (150 ppm)
Biotray (150 ppm)
Rotary Contactor (150 ppm)
Batch (500 ppm)
Pack Bed Flow (500 ppm)
Biotray (500 ppm)
Rotary Contactor (500 ppm)

r2

Persamaan

0.992
0.968
0.937
0.972
0.941
0.913
0.909
0.905
0.816

0.846

y = -1263.x + 35.11
y = -407.6x + 14.14
y = -370.5x + 13.14
y = -298.6x + 11.2
y = -8785x + 67.38
y = -3490.x + 28.81
y = -3788.x + 31.12
y = -2163.x + 19.01
y = -16733.x + 37.32
y = -4711.x +11.5
y = -7987.x + 18.76
y = -3067.x + 7.812

0.0285
0.0707
0.0761
0.0893
0.0148
0.0347
0.0321
0.0526
0.0268
0.0870
0.0533
0.1280

0.0278
0.0347
0.0355
0.0375
0.0077
0.0083
0.0082
0.0088
0.0022
0.0024
0.0023
0.0025

0.978
0.959
0.953
0.943
0.954
0.949
0.961
0.936
0.791
0.892
0.906
0.88

y = -2601.x +65.9
y = -629.2x + 19.86
y = -672.6x + 21
y = -630.9x + 19.93
y = -12219x + 91.55
y = -5857.x + 46.05
y = -6116.x + 47.97
y = -4837.x +38.72
y = -31594.x + 69.18
y = -4525.x + 10.98
y = -10706.x + 24.64
y = -3368.x + 8.468

0.0152
0.0504
0.0476
0.0502
0.0109
0.0217
0.0208
0.0258
0.0145
0.0911
0.0406
0.1181

0.0253
0.0316
0.0312
0.0316
0.0075
0.0079
0.0078
0.0080
0.0022
0.0024
0.0023
0.0025

0.887
0.908
0.967
0.977
0.89
0.948
0.921
0.909
0.621
0.869
0.707
0.943

y = -5656.x + 134.2
y = -955.6x + 28.15
y = -1287x + 35.89
y = -648.6x + 20.33
y = -18182x + 134.2
y = -8241.x + 63.25
y = -9197.x + 70.04
y = -5622.x + 44.38
y = -90240.x + 193.1
y = -8081.x + 18.76
y = -16481.x + 37.32
y = -2831.x + 7.132

0.0075
0.0355
0.0279
0.0492
0.0075
0.0158
0.0143
0.0225
0.0052
0.0533
0.0268
0.1402

0.0237
0.0295
0.0279
0.0313
0.0074
0.0077
0.0076
0.0079
0.0021
0.0023
0.0023
0.0025

0.878

0.902

qMax

B

19

Tabel 2 menunjukkan penentuan nilai serapan maksimal pada zat warna
hitam. Pada penggunaan pertama, kedua dan ketiga nilai serapan terbesar juga
ditunjukkan pada metode Rotary Contactor, dan nilai serapan terkecil pada zat
warna hitam ditunjukkan pada metode Batch. Perbedaan nilai serapan maksimal
antara penggunaan pertama, kedua dan ketiga terjadi karena berkurangnya
kemampuan dari jamur Omphalina sp dalam pengolahan limbah yang disebabkan
karena penggunaan ulang jamur tersebut.
Kemampuan Deodorisasi
Penurunan bau pada ke empat metode dapat dilihat melalui penurunan skala
yang berbeda. Pada penggunaan pertama skala bau pada jam ke-24 dengan
metode batch adalah 2,9, dengan metode pack bed flow sebesar 1,4, dengan
metode biotray sebesar 1,6, dan dengan metode rotary contactor sebesar 1,1. Hal
ini menunjukkan bahwa penurunan skala bau paling banyak terjadi pada metode
rotary contactor, sedangkan penurunan skala paling sedikit terjadi pada metode
batch (Gambar 14a).

(a)

(b)

(c)
Gambar 14 Penurunan skala bau (a) penggunaan pertama (b) penggunaan kedua
(c) penggunaan ketiga
Pada penggunaan kedua dan ketiga juga terjadi penurunan skala bau.
Penurunan skala bau antara penggunaan pertama, kedua dan ketiga tidak terlalu

20

jauh berbeda. Pada penggunaan kedua, skala bau setelah jam ke-24
metode batch adalah 3,4, dengan metode pack bed flow sebesar 1,6,
metode biotray sebesar 1,8, dan dengan metode rotary contactor
1,1(Gambar 14b) . Pada penggunaan ketiga, skala bau setelah jam ke-24
metode batch adalah 3,5, dengan metode pack bed flow sebesar 1,7,
metode biotray sebesar 1,8, dan dengan metode rotary contactor
1,3(Gambar 14b) .

dengan
dengan
sebesar
dengan
dengan
sebesar

4 PEMBAHASAN
Absorbansi Zat Warna Merah Lombok dan Hitam
Penurunan absorbansi zat warna merah lombok dan warna hitam terjadi
karena adanya proses dekolorisasi pada masing-masing metode dengan penurunan
nilai absorbansi yang beda-beda. Yaropolov et al. (1994) menyatakan bahwa
enzim ekstraseluler pada jamur pelapuk putih (lakase) dapat mengoksidasi ikatan
azo (-N=N-) yang merupakan gugus kromofor menjadi gugus –OH dan N2. Gugus
kromofor menyebabkan timbulnya warna melalui pengubahan pita serapan pada
daerah tampak (visible). Beberapa gugus kromofor diantaranya gugus etilen (C=C-), gugus karbon nitrogen (-C=NH-, -CH=N-), gugus karbonil (-C=O), gugus
azo (-N=N-), gugus nitro (-NO2), dan gugus nitroso (-NO) (Van der Zee 2002).
Perbedaan konsentrasi pada masing – masing zat warna menunjukkan nilai
penurunan absorbansi yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar
konsentrasi zat warna yang didegradasi maka semakin kecil nilai penurunan
absorbansi zat warna tersebut. Zat warna dengan konsentrasi yang rendah
biasanya memiliki aktivitas perombakan yang lebih cepat dibandingkan dengan
zat warna yang memiliki konsentrasi yang tinggi (Selamat 2010), namun terjadi
perbedaan penurunan absorbansi antara zat warna merah lombok dengan zat
warna hitam. Perbedaan penurunan absorbansi pada kedua jenis zat warna ini
berhubungan dengan faktor toksisitas zat warna dan kinetika perombakan zat
warna (Pandey et al. 2007).
Toksisitas dari zat warna berhubungan dengan struktur dan gugus yang
terikat pada zat warna tersebut. Zat warna azo yang memiliki struktur yang lebih
kompleks akan sulit dirombak dibandingan dengan zat warna azo yang memiliki
struktur lebih sederhana. Zat warna hitam, contohnya remazol black merupakan
senyawa diazo dengan struktur yang lebih kompleks dibandingkan dengan zat
warna remazol red yang merupakan monoazo, sehingga perombakan zat warna
hitam membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan perombakan zat
warna merah, atau apabila dilakukan perombakan kedua zat warna tersebut
dengan waktu waktu yang sama, maka zat warna hitam akan lebih sulit di
degradasi dibandingkan zat warna merah.
Persen Penyerapan Zat Warna Merah Lombok dan Hitam
Persen penyerapan zat warna merah lombok dan warna hitam pada
masing–masing metode menunjukkan hasil yang berbeda–beda, dimana persen
penyerapan paling rendah ditunjukkan oleh metode batch, dan persen penyerapan
paling tinggi ditunjukkan oleh metode rotary contactor. Persen penyerapan pada

21

metode kontinyu secara keseluruhan lebih besar daripada persen penyerapan pada
metode batch, karena pada metode kontinyu zat warna dialirkan secara kontinyu
menuju Omphalina sp, sehingga intensitas zat warna mengalami penurunan lebih
besar dibandingkan pada metode batch dimana pada metode batch hanya bagian
atas dari air zat warna yang mengalami kontak dengan omphalina sp (Gambar 8 –
Gambar 13).
Perbedaan persen penyerapan antara metoda batch dan kontinyu ini
disebabkan oleh banyaknya volume limbah yang mengalami kontak dengan jamur
Omphalina sp. Limbah yang diolah dengan metode kontinyu mengalami kontak
yang lebih banyak dibandingkan dengan limbah yang diolah dengan metode
Batch. Hal ini terjadi karena limbah yang ada pada metode kontinyu secara terus
menerus dialirkan menuju jamur Omphalina sp selama perlakuan, sedangkan
limbah yang diolah dengan metode batch hanya mengalami kontak pada bagian
permukaan limbah saja, karena air limbah yang ada tidak dialirkan menuju jamur
Omphalina sp.
Persen penyerapan pada penggunaan ulang jamur Omphalina sp
menunjukkan kenaikan, hal ini membuktikan bahwa Omphalina sp memiliki
kemampuan untuk menyerap dan mendegradasi zat warna meskipun dipakai
berulang kali. Degradasi zat warna pada jamur pada dasarnya merupakan reaksi
enzimatik, dimana jamur akan mengekskresikan enzim lignolitik berupa lakase,
mangan peroksidase (MnP) dan lignin peroksidase (LiP) (Selamat 2010). Lakase
bersama bersama lignin peroksidase berperan penting dalam proses perombakan
lignin namun dalam perkembangannya juga berperan dalam degradasi senyawa
xenobiotik seperti aromatik polisiklik dan senyawa fenolik (Christian et al. 2005).
Proses katalitik peroksidase dan lakase ditunjukkan pada gambar di bawah ini
(Gambar 16 dan Gambar 17).

Gambar 16 Skema umum siklus katalitik peroksidase

22

Gambar 17 Siklus katalitik Lakase
Serapan Maksimum (qmaks) Zat Warna Merah Lombok dan Hitam
Penentuan serapan maksimum dihitung dengan menggunakan persamaan
Langmuir. Tabel 1 dan tabel 2 menunjukkan data serapan maksimum zat warna
merah lombok dan zat warna hitam pada konsentrasi 50 ppm, 150 ppm dan 500
ppm. Tabel 1 dan tabel 2 juga menunjukkan data penggunaan ulang kedua dan
ketiga jamur Omphalina sp. Kedua tabel tersebut menunjukkan serapan paling
besar terjadi pada metoda Rotary Contactor dan serapan paling kecil terjadi pada
metode Batch. Semakin lama waktu kontak antara jamur dan limbah maka
semakin banyak zat warna yang diserap dan degradasi zat warna juga akan
semakin meningkat.
Degradasi pada variasi waktu kontak pada metode kontinyu dilakukan
secara aerob agar terjadi transfer oksigen dan distribusi antara medium dan
miselium jamur. Efisensi degradasi zat warna tekstil akan meningkat seiring
dengan lamanya waktu kontak dari hari pertama sampai hari ketujuh (Selamat
2010)
Kemampuan Deodorisasi
Limbah yang digunakan pada proses deodorisasi adalah limbah lateks pekat.
Gambar 14 menunjukkan penurunan skala bau limbah lateks pekat pada
penggunaan pertama, kedua dan ketiga. Penentuan kemampuan deodorisasi ini
menggunakan uji organoleptik yang melibatkan 7 panelis.
Bau yang tercium pada limbah lateks ini adalah bau amoniak (NH3). Bau ini
muncul karena terjadinya biodegradasi protein menjadi asam amino yang
mengeluarkan NH3 melalui jalur metabolisme. Penurunan bau yang terjadi selama
proses deodorisasi menunjukkan telah terjadinya penguraian zat–zat organik oleh
Omphalina sp (Azizah 2008). Enzim lakase yang terdapat pada Omphalina sp
mampu mengkatalisis penguraian berbagai substrat (Thurston 1994).

23

Proses deodorisasi terjadi karena adanya proses adsorpsi sebagai sistem non
enzimatik dan proses absorpsi sebagai sistem enzimatik, yaitu kemampuan jamur
untuk mendegradasi senyawa penyebab bau dan polutan organik oleh miselium
jamur (Sumarko 2013, Dewi 2005). Proses adsorpsi dilakukan oleh selulosa dan
hemiselulosa biomassa jamur Omphalina sp dengan mekanisme yang terjadi
melalui penjerapan molekul yang lebih kecil dalam struktus senyawanya yang
berongga dan zat yang mengandung gugus tertentu. Mekanisme ini menyebabkan
berkurangnya kandungan senyawa organik dan anorganik pada limbah (Sumarko
2003).
Terjadinya penurunan skala bau pada penggunaan kedua da