Study of Chemoreaction Drying with Calcium Oxide and Its Impact on the Stress and Damage of Saccharomyces cerevisiae Culture

(1)

DENGAN KALSIUM OKSIDA SERTA DAMPAKNYA

TERHADAP STRES DAN KERUSAKAN KULTUR

Saccharomyces cerevisiae

N O V E L I N A

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(2)

NOVELINA. Kajian Pengeringan Kemoreaksi dengan Kalsium Oksida Serta

Dampaknya terhadap Stres dan Kerusakan Kultur

Saccharomyces cerevisiae

.

Dibawah bimbingan : Soewarno T. Soekarto, Betty Sri Laksmi Jenie, Susono

Saono, dan Maggy T. Suhartono.

Penelitian ini bertujuan menghasilkan kultur Saccharomyces cerevisiae kering

yang mempunyai viabilitas tinggi. Proses pengeringan didasarkan pada reaksi kimia

antara CaO dengan air yang menghasilkan panas, kemudian dimanfaatkan dalam proses

pengeringan. Proses pengeringan terjadi pada suhu kamar dalam ruangan yang kedap

udara dari luar, sehingga diharapkan kultur kering yang dihasilkan mempunyai viabilitas

tinggi. Demikian pula dengan mengurangi faktor penyebab stres dan kerusakan sel

selama penyimpanan, maka viabilitas kultur kering tetap terjaga. Parameter-parameter

dalam penentuan stres dan kerusakan kultur kering adalah meliputi penentuan pola

isotermi sorpsi kultur kering, penentuan pola stres dan kematian, perobahan morfologi

dan mikrostruktur sel serta analisis kebocoran dan kerusakan sel.

Hasil pengeringan menunjukkan faktor ketebalan lapisan dan rasio CaO yang

digunakan akan mempengaruhi kecepatan laju pengeringan. Ketebalan lapisan krim

khamir 1.3 mm dan penggunaan CaO sebanyak 10:1 (w/w) akan menurunkan kadar air

dari 80 % (berat basah) menjadi 4.42 % (berat kering) dalam waktu 24 jam. Viabilitas

kultur kering yang dihasilkan adalah 72 %.

Hasil penentuan isotermi sorpsi air (ISA) dari kultur khamir kering pada RH

(11-97%), diperoleh kurva yang identik dengan pola ISA makanan kering, yaitu sigmoidal

dan terdiri dari 3 area air terikat (primer, sekunder dan tersier). Di daerah air terikat

primer (a

w

0-0.25), kebanyakan dari sel kering dalam keadaan dorman. Sementara itu di

daerah air terikat sekunder (a

w

0.25-0.77), kebanyakan sel dalam keadaan stres,

sedangkan pada daerah air terikat tersier (a

w

diatas 0.77) kebanyakan sel sudah mati.

Pengamatan morfologi dan mikrostruktur dengan SEM dan TEM, mengungkapkan

bentuk sel dari kultur segar adalah bulat telur dan mempunyai permukaan halus. Dinding

sel bening dan menyatu dengan membran sitoplasma, serta inti sel terlihat jelas. Di

daerah air terikat primer bentuk sel kering berubah dari bulat telur sampai bulat, dinding

sel tebal dan padat, permukaan halus dan inti sel terlihat jelas. Di daerah air terikat

sekunder, bentuk sel adalah bulat, permukaan keriput, dinding sel tipis dan rusak pada

beberapa bagian, dan inti tidak jelas. Di daerah air terikat tersier, sel menempel satu

sama lain dan, tidak berbentuk. Sebagian besar sel rusak, dan sel yang masih utuh

sitoplasmanya berongga dan inti sel tidak terlihat.

Analisa kerusakan dan kebocoran sel dilakukan terhadap tingkat daya hantar

listrik, kadar protein, asam amino, nukleat dan nukleotida serta kadar ion K

+

dan Ca

++

dari sel khamir. Hasil analisa menunjukkan terjadi peningkatan kebocoran dan

kerusakan sel akibat peningkatan kadar air dari kultur kering. Analisis daya hantar

listrik menunjukkan total ion-ion yang dilepas sel yang rusak kedalam supernatan sel.

Protein dan asam amino komponen utama penyusun sel. Nukleat dan nukleotida

komponen dari inti. Sedangkan K

+

dan Ca

++

menunjukkan terjadi kebocoran pada

dinding sel dan membran. Kerusakan ini akan mengurangi viabilitas kultur.

Sebagai kesimpulan adalah kultur Saccharomyces cerevisiae dapat dikeringkan

sampai kadar air 4.42 % (berat kering) dengan proses kemoreaksi menggunakan CaO

dengan rasio 10 : 1 (w/w) dan ketebalan lapisan krim khamir 1.3 mm selama 24 jam.

Viabilitas dapat bertahan selama 1 tahun di suhu ruang dengan mempertimbangkan

tidak terjadi peningkatan kadar air melebihi titik kritis air terikat primer selama

penyimpanan.


(3)

NOVELINA. Study of Chemoreaction Drying with Calcium Oxide and Its Impact on the Stress and Damage of Saccharomyces cerevisiae Culture.

Advisor : Soewarno T. Soekarto, Betty Sri Laksmi Jenie, Susono Saono and Maggy T. Suhartono

The objective of the research was to study the parameters of the drying process and their effects on the viability of dried Saccharomyces cerevisiae culture. These parameters include the pattern of water isotherm sorption, the critical water contents, stress and mortality on a variety of bound water conditions, as well as morphological and micro-structural changes of damaged and leaked stressed cells.

Layer thickness of the sample and high ratio used of calcium oxide speed up the drying process. Using a calcium oxide to sample ratio of 10:1 (w/w) for drying, 1.3 mm thickness of sample with 78-80% water content required 24 hours to dry to a final 4.42 % water content. The viability and cell content of the final product were 72% and 109 cells per g dried sample respectively.

A sigmoid curve sorption isotherm pattern consist of 3 bound water regions of the dried yeast culture was similar to that of common dried foods. In the primary area most of the dried cells were dormant, in the secondary area the majority of the cells were under stress condition, while in the tertiary area a lot of them died. Likewise, the viability curve up to aw 0.2 was very low as due to high number of dormant cells, in between aw 0.2 - 0.6 sharply increased due to decreasing number of dormant cells, in between aw 0.6-0.75 sharply decreased due to increasing number of dying cells, and above 0.75 the cells was dying off to totally died.

As shown by SEM observation, normal cells were oval-shaped with a smooth surface. In the primary region the dried cells showed and oval to round shape and small number of deformed cells, in the secondary region wrinkled surface and some number of deformed cells, while in the tertiary region the cells were sticky with wrinkled surface and most cells were damage. Meanwhile, TEM observation showed that the cells in the primary region had a well-defined, thick and solid cell wall with smooth surface with visible nuclei. In the secondary region the cells showed a wrinkled surface with less visible nuclei, while the wall was thin and cracked in some places. In the tertiary region the most number of cells were damaged, the remaining defined cells were flat, empty, irregular shape and no nuclei were visible.

The increasing cell damaged was mainly due to the leaking out of cell or cytoplasm and the nuclear content through the damage cell wall. This was shown by increased electrical conductivity as well as the nucleic acid, nucleotide, protein and amino acids content of the cell-free supernatant from the culture. The Ca++ and K+ content of the cell mass decreased due to the leakage out of cell content. Sharp increase of K+ in secondary region of bound water was due to cell wall leakage, while high level of K+ in the tertiary region of bound water was due to high lysis of the cells with increased cell content damage.


(4)

yeast culture, curve sorption isotherm, bond water region, dormant, cell stress, cell wall damage,


(5)

KAJIAN PENGERINGAN KEMOREAKSI

DENGAN KALSIUM OKSIDA SERTA DAMPAKNYA

TERHADAP STRES DAN KERUSAKAN KULTUR

Saccharomyces cerevisiae

NOVELINA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(6)

Judul Disertasi : Kajian Pengeringan Kemoreaksi dengan Kalsium

Oksida Serta Dampaknya Terhadap Stres dan

Kerusakan Kultur

Saccharomyces cerevisiae

Nama : Novelina NIM : 975039

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Soewarno T. Soekarto, MSc Prof. Dr.Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS K e t u a A n g g o t a

Dr. Susono Saono, APU Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono A n g g o t a A n g g o t a

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto,MSc


(7)

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, dengan selesainya penulisan disertasi yang

berjudul : Kajian Pengeringan Kemoreaksi Dengan Kalsium Oksida dan Dampaknya

Terhadap Stres dan Kerusakan Kultur Saccharomyces cerevisiae, sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar doktor di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pasca

Sarjana IPB.

Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang mendalam

disertai penghargaan yang setinggi-tingginya kepada tim pembimbing yaitu Bapak

Prof. Dr. Soewarno Tjokro Soekarto, MSc, sebagai ketua; ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri

Laksmi Jenie, MS; bapak Dr. Susono Saono, APU; dan ibu Prof. Dr. Maggy T.

Suhartono sebagai anggota. Segala saran, petunjuk, perhatian bapak dan ibu sejak dari

perencanaan dan pelaksanaan penelitian hingga proses penulisan disertasi ini telah

memperkaya pengetahuan penulis pada umumnya dan bidang pangan pada khususnya.

Terima kasih kepada bapak Prof. Dr. Rizal Syarief, DSAE, sebagai penguji luar

komisi pada ujian tertutup, bapak Dr. Ir. Ridwan Tahir, MS dan ibu Wellyzar

Syamsuridzal, Ph.D, sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka. Atas saran,

komentar dan masukan yang diberikan, saya pahami sebagai bentuk lain dari

pembimbingan menuju kesempurnaan disertasi ini.

Terima kasih kepada orang tua Bapak Syafri Irsal, BA (Alm) dan ibu Halimah

yang telah menghantarkan penulis untuk dapat menempuh pendidikan S3 ini, serta

kepada adik-adik atas dukungan moril dan doa yang penulis terima. Kepada suami Ir.

Rory Sutanto, MS, terima kasih atas segala dukungan dan semangat yang telah

diberikan selama menempuh pendidikan S3 ini. Kepada putri-putriku yang selalu

menjadi semangat dalam semua kegiatan : Mirsa, Citra, Sinta, dan sikecil Raina yang

hadir diakhir penyelesaian studi ini, terima kasih atas perhatian, dukungan kasih

sayang, pengorbanan, dan doa yang selalu kalian berikan selama ini.

Terima kasih kepada Rektor Universitas Andalas, Dekan Fakultas Pertanian

Unand, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Ketua Program Studi Ilmu Pangan


(8)

Penulis dilahirkan pada tanggal 7 November 1957 di kota Padang, Sumatera Barat, merupakan anak ke empat dari sepuluh putra-putri bapak Syafri Irsal, BA (almarhum) dan ibu Halimah.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri VIII Padang pada tahun 1971, sekolah menengah pertama di SMP Yos Sudarso Padang pada tahun 1974 dan sekolah menengah atas SMA Negeri I Padang pada tahun 1977. Pada tahun 1977 penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang dan selesai pada tahun 1983. Pada tahun 1989 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang magister sains program studi Teknologi Pasca Panen, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan selesai pada tahun 1993 dibawah bimbingan Prof. Dr. Soewarno Tjokro Soekarto, Prof. Dr. Ir. Wahjuddin Tjiptadi (almarhum) dan Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, MSc. Selanjutnya ada tahun 1997 penulis melanjutkan ke proram doktor pada program studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 1986 hingga sekarang bekerja sebagai staf pengajar pada jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang.


(9)

menempuh pendidikan pada jenjang S3.

Terima kasih pada BPPS Departemen Pendidikan Nasional atas dukungan

pembiayaan selama masa studi. Terima kasih pada pimpinan dan staf laboratorium

dilingkungan Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fateta IPB, PAU Pangan dan Gizi

IPB, PAU Bioteknologi IPB atas bantuan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian.

Terima kasih pada pimpinan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta dan

khususnya pimpinan dan staf laboratorium Mikroskop Elektron atas bantuan fasilitas,

kepercayaan dan kesempatan yang diberikan dalam mempelajari persiapan sampel

hingga penggunaan Mikroskop Elektron Transmisi (TEM). Juga terima kasih pada

pimpinan laboratorium Mikrobiologi dan laboratorium Mikroskop Elektron

US-NAMRU 2 Jakarta atas bantuan fasilitas dan kesempatan mempelajari TEM dan SEM.

Terima kasih kepada bapak dan ibu teknisi yang telah banyak membantu selama

berlangsungnya penelitian, khususnya bapak Mulyono, mbak Ari, mbak Vivi dan juga

rekan-rekan IPN yang banyak memberi dukungan selama masa studi serta kepada

semua pihak yang belum sempat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga bantuan, dukungan dan perhatian bapak dan ibu yang penulis terima,

mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata semoga disertasi

ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Juni 2005

Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Proses Pengeringan ... Pengeringan Kultur Mikroba ... 11

Kultur Mikroba Kering ... 15

Stres Kering pada Mikroba ... 19

Khamir Saccharomyces cerevisiae ... 25

Kesetimbangan Kadar Air dan Sorpsi Isotermi Air ... 31

BAHAN DAN METODE ... 38

Tempat dan Waktu ... 38

Bahan dan Alat ... 38

Pelaksanaan Percobaan ... 41

Analisis dan Pengamatan ... 53

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

Produksi kultur Saccharomyces cerevisiae ... 56

Pengeringan Kemoreaksi dengan Kalsium Oksida ... 57

Isotermi Sorpsi Air dan Pengaruh Bahan Pelindung ... 67

Pola Stres dan Kematian Kultur Kering ... 76

Perubahan Morfologi dan Mikrostruktur Kultur Kering ... 86

Kebocoran Sel ... 95

PEMBAHASAN UMUM ... 109

KESIMPULAN DAN SARAN ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 117

LAMPIRAN ... 128


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Total impor khamir kering aktif, khamir kering tidak aktif dan

otolisat khamir dari tahun 1998-2003 (BPS 1999 s/d 2004) ... 31

2. Tahapan penelitian, tujuan dan hasil yang diharapkan dari setiap

tahap penelitian ... 44

3. Ringkasan percobaan dari setiap tahap penelitian ... 45

4. Beberapa jenis larutan garam jenuh dan nilai RH yang dihasilkan .... 49

5. Pengaruh tebal lapisan pengeringan terhadap kadar air akhir setelah

pengeringan 48 jam dan viabilitas kultur kering yang dihasilkan ... 62

6. Pengauh rasio pemakaian CaO dan contoh yang dikeringkan terhadap

kadar air akhir dan viabilitas kultur kering yang dihasilkan ... 64

7. Karakteristik khamir kering aktif komersial dan hasil penelitian ... 66

8. Hasil perhitungan kadar air kesetimbangan kultur kering

Saccharomyces cerevisiae pada berbagai pada berbagai nilai aw... 68

9. Perhitungan air terikat primer pada kultur kering kamir dengan model

BET ... 71

10.Perhitungan air terikat sekunder pada kultur kering kamir dengan

model analisis logaritma ... 73

11.Hasil perhitungan air terikat primer, sekunder dan tersier dari kultur

kering Saccharomyces cerevisiae ... 75

12.Hasil pengamatan pertumbuhan kultur kering Saccharomyces

cerevisiae pada berbagai nilai aw ... 78

13.Hasil pengamatan terhadap daya hantar listrik, total ion K dan Ca serta senyawa protein dan asam nukleat yang dilepas dari sel khamir


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kurva pengeringan khamir secara mekanis dengan metode terowongan : Wk1, kandungan air terikat (%); Wp , kadar air khamir setelah pengeringan (%); periode I menunjukan perpindahan air bebas, periode II menunjukan perpindahan

air terikat (Beker dan Rapoport 1987) ... 6

2. Kesetimbangan kadar air khamir tanpa kemasan terhadap kelembaban relatif pada suhu ruang (Dobbs et al. 1982) ... 19

3. Kebocoran dinding sel dan membran plasma S. cerevisiae akibat perlakuan detergen (Y-PER) pembesaran 12 000X (Nowicki dan Liermann, 2002) ... 21

4. Jumlah S. aureus yang tumbuh dari contoh makanan pada aw berbeda setelah 32 hari penyimpanan pada 21.7 0C (Soekarto, 1979)... 22

5. Saccharomyce cerevisiae dengan askus berisi spora dewasa, SW adalah dinding spora, PrM adalah promembran dan N adalah inti (Anonymous, 2004a) ... 24

6. A. Skema sel khamir (Van der Rest et al. 1995), B. struktur dinding dan membran sel khamir (Watson et al. 1987) ... 27

7. Struktur dinding dan membran sel bakteri, (a) Gram positif, (b) Gram negative, (c) lapisan peptidoglikan (Cano dan Calome, 1986) ... 28

8. Peta stabilitas bahan makanan (Labuza et al. 1970)... 34

9. Klasifikasi kurva isotermi sorpsi air Labuza, 1984)... 35

10.Bentuk umum kurva ISA dengan tiga zona air terikat (Chaplin, 2004) ... 37

11.Kontruksi lemari pengering kemoreaksi dengan 5 rak beserta bagian-bagiannya (Modifikasi Julianti, 2003)... 40

12.Diagram alir produksi sel khamir ... 43

13.Diagram alir penelitian ... 46

14.Diagram Alir pengeringan kemoreaksi ... 47

15.Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae ... 56

16.Penurunan kadar air dari kultur khamir dengan tiga tingkat ketebalan selama pengeringan kemoreaksi. Lama pengeringan untuk mencapai kadar air 5 % pada ketebalan 1.3 mm adalah t1 dan ketebalan 2.6 adalah t2. ... 56

17. Isotermi sorpsi air kultur khamir kering (Saccharomyces cerevisiae) 69

18.Plot isotermi BET dari kurva isotermi air kltur kering khamir Saccharomyces cerevisiae ... 71

19.Bentuk linear dari isotermi sorpsi kultur kering khamir, terdiri dari air terikat sekunder dan tersier ... 73

20.Jumlah koloni(log N) kultur kering khamir pada daerah air terikat primer, sekunder dan tersier, setelah ditumbuhkan pada media PDA. 79

21.Pola stress dan kematian kultur kering Saccharomyces cerevisiae terhadap aw... 81


(13)

23.Log jumlah stres (N) khamir kering pada kadar air kesetimbangan

masing-masing daerah air terikat ... 85 24.Persentase stres khamir kering pada kadar air kesetimbangan

masing-masing daerah air terikat ... 85 25.Perubahan morfologi sel dari kultur kering Saccharomyces

cerevisiae pada masing-masing fraksi air, berturut-turut (A) kultur segar, (B) kultur kering pada fraksi air terikat primer,

(C) pada air teikat sekunder, dan (D) pada air terikat tersier ... 88 26.Dinding sel khamir yang pecah dan terbuka ... 89 27.Perubahan mikrostruktur pada kultur kering S. cerevisiae (A) kultur

segar, (B) kultur kering pada fraksi air terikat primer, (C) pada air

teikat sekunder, dan (D) pada air terikat tersier ... 92 28.Penampakan ultra struktur sel kering Saccharomyces cerevisiae

dengan TEM, pembesaran 145 000 kali. Keretakan membrane

plasma (tanda panah) (Beker dan Rapoport, 1987) ... 94 29.Hubungan linear peningkatan daya hantar listrik dengan kadar air

kesetimbangan dari kulutr kering khamir ... 99 30.Hubungan daya hantar listrik dengan viabilitas kultur kering

Saccharomyces cerevisiae... 100 31.Pengaruh berbagai air terikat pada kultur kering Saccharomyces

cerevisiae terhadap jumlah ion-ion K+dan Ca++ yang dilepas... 102 32.Hubungan jumlah ion-ion K+ dan Ca++ yang dilepas terhadap

viabilitas kultur kering Saccharomyces cerevisiae ... 103 33.Pengaruh kondisi air terikat terhadap kebocoran material yang

keluar dari sel yang bocor dan terdeteksi pada panjang gelombang

260 nm dan 280 nm spektrofotometer uv ... 106 34.Hubungan viabilitas kultur kering Saccharomyces cerevisiae

terhadap senyawa protein dan asam nukleat yang dilepas ... 107


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Pengaruh ketebalan lapisan pengeringan terhadap kadar air

kultur Saccharomyces cerevisiae... 129 2. Pengaruh penggunaan kapur Api (CaO) pada proses pengeringan

kultur Saccharomyces cerevisiae dengan ketebalan lapisan

1.3 mm terhadap kadar air ... 129 3. Data hasil penimbangan kultur kering Saccharomyces cerevisiae

setelah penyimpanan dalam desikator pada berbagai RH ... 130 4. Data hasil penimbangan kultur kering Saccharomyces cerevisiae

+ 2% agar-agar setelah penyimpanan dalam desikator pada

berbagai RH... 131 5. Data hasil penimbangan kultur kering Saccharomyces cerevisiae

+ 2 % CMC setelah penyimpanan dalam desikator pada

berbagai RH ... 132 6. Total koloni kamir kering dari berbagai daerah air terikat, yang

ditumbuhkan pada media PDA dan PDA + 7.5% NaCl... 133 7. Total koloni kamir kering + 2% agar-agar dari berbagai daerah air

terikat, yang ditumbuhkan pada media PDA dan PDA + 7.5% NaCl 134 8. Total koloni kamir kering + 2% CMC dari berbagai daerah air terikat, yang ditumbuhkan pada media PDA dan PDA + 7.5% NaCl ... 135 9. Data pengukuran daya hantar listrik (DHL) dari air rendaman

sel yang bocor karena pengaruh berbagai aw ... 136 10.Data hasil analisis K+ dan Ca++ yang tertinggal dari sel yang

bocor karena pengaruh berbagai aw penyimpanan ... 136 11.Data absorbansi material yang keluar pada air rendaman sel yang

bocor dan terdeteksi pada panjang gelombang 260 dan 280

spektrofotometer uv ... 137 12.Penentuan air terikat primer dengan persamaan BET dari kurva

sorpsi isotermi ... 138 13.Penentuan air terikat sekunder dengan persamaan logaritma

kurva sorpsi isotermi ... 139 14.Penentuan air terikat tersier dengan menggunakan persamaan

polynomial kurva sorpsi isotermi pada ordo 2 ... 140 15.Penentuan air terikat tersier dengan menggunakan persamaan kuadrat 141 16.Komposisi kimia dari kapur api ... 142 17.Contoh perhitungan kadar protein dan asam nukleat berdasarkan

Hukum Beer (Penner, 1994) ... 143


(15)

Latar Belakang

Saccharomyces cerevisiae adalah salah satu jenis khamir yang cukup banyak digunakan sebagai inokulum berbagai proses industri, antara lain dalam produksi roti, cake, minuman beralkohol, dan industri etanol. Penggunaan lainnya adalah untuk menghasilkan produk-produk seperti biomassa, ekstrak khamir, autolisat, komponen flavor, protein sel tunggal dan sebagainya. Kultur starter yang banyak digunakan untuk mendukung pertumbuhan industri-industri tersebut adalah dalam bentuk kering, karena akan memudahkan cara penanganan, penyimpanan, distribusi dan transportasi. Selanjutnya juga memungkinkan penggunaan starter baru pada setiap lot fermentasi, sehingga fermentasi lebih terkendali dan kualitas produk yang dihasilkan lebih terjamin.

Kebutuhan khamir kering untuk mendukung industri-industri tersebut cukup besar dan sampai sekarang produk khamir masih diimpor dari beberapa negara. Total impor Indonesia terhadap produk khamir kering aktif selama tahun 2003 adalah 2.277.538 kg dengan nilai 5.464.114 US$ (BPS 2004). Jumlah dan nilai impor ini dari tahun ketahun cenderung terus meningkat dengan berkembangnya industri makanan di Indonesia (data pada Tabel 1). Diantara negara-negara yang terbesar nilai impornya ke Indonesia adalah Hongkong, China, Australia, Amerika Serikat, Turki, Inggris, Belanda, Perancis, dan Belgia.

Metode pengeringan kultur pada saat ini telah semakin berkembang seperti perkembangan teknologi lainnya, diantaranya adalah metode pengeringan vakum (vacuum drying), pengeringan semprot (spray drying), pengeringan beku (freeze drying) dan metode fluidized. Metode pengeringan dengan suhu rendah atau pengeringan dingin seperti pengeringan beku dan pengering vakum mempunyai potensi cukup baik dalam mempertahankan viabilitas kultur mikroba, sehingga mutu dan kestabilan produk yang dihasilkan cukup tinggi. Pengeringan dingin juga dapat berlangsung dengan udara ambien di daerah yang beriklim sangat kering, namun proses pengeringannya sangat lama.

Salah satu metode pengeringan dingin yang cukup potensial tetapi belum diaplikasikan untuk pengeringan kultur, adalah metode pengeringan absorpsi


(16)

atau kemoreaksi. Prinsip pengeringan absorpsi adalah dengan menggunakan absorben yang akan menyerap uap air dari bahan basah, contoh absorben yang sering digunakan adalah gel silika. Sedangkan pengeringan kemoreaksi adalah dengan menggunakan kalsium oksida (CaO) yang terkandung didalam kapur api. Kalsium oksida (CaO) kemudian bereaksi dengan uap air didalam ruang pengering dan menghasilkan energi panas. Energi panas dipakai untuk meng-uapkan air dari bahan lembab, sehingga bahan menjadi kering. Selama proses pengeringan kemoreaksi berlangsung suhu udara didalam ruang pengering tetap rendah, sehingga tidak merusak bahan yang sensitif oleh panas.

Kajian tentang CaO pada kapur api telah diteliti di Institut Pertanian Bogor, diantaranya untuk pengeringan absorpsi terhadap biji lada (Halim 1996 dan Wulandari 2002), mempelajari karakteristik pengeringan dengan CaO (Fuadi 1999), pengeringan absorpsi benih tomat (Suzana 2000). Disamping itu juga digunakan untuk pengeringan brem padat di daerah lembab seperti Bogor (Hersasi 1996), laju pengeringan absorpsi dengan kapur api terhadap filet ikan (Asikin 1998), dan kajian perilaku pengeringan dengan CaO untuk materi hidup (Julianti 2003).

Menurut hasil penelitian Julianti (2003) diketahui CaO tidak memiliki isotermi sorpsi air, dan pengikatan air oleh CaO bukan secara absorpsi tetapi melalui reaksi kimia (kemoreaksi). Selanjutnya juga diketahui bahwa CaO merupakan bahan yang sangat reaktif terhadap air dan pada saat penentuan kadar air kesetimbangan dengan berbagai nilai RH dalam desikator, ternyata CaO bereaksi dengan semua air yang terdapat dalam desikator. Oleh sebab itu istilah pengeringan kemoreaksi lebih tepat digunakan dalam proses pengeringan yang menggunakan CaO (komponen utama pada kapur api).

Pengeringan kemoreaksi lebih ditujukan untuk mengeringkan bahan-bahan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan sangat sensitif oleh panas seperti kultur mikroba yang merupakan komponen hidup, pengeringan bahan volatil untuk mencegah kehilangan minyak atsiri, dan untuk mempertahankan viabilitas dalam pengeringan benih.

Proses pengeringan kultur mikroba menyebabkan sel kehilangan air yang cukup banyak. Dalam hal ini terjadi peningkatan konsentrasi mikrostruktur


(17)

di dalam sel sehingga proses metabolisme dan aktivitas seluler berhenti atau sel berada pada masa istirahat (dorman). Kondisi kering ini juga menyebabkan sel mengalami stres, tetapi bila dipindahkan pada medium tumbuh yang sesuai mikroba akan dapat tumbuh normal kembali. Disamping proses pengeringan, faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan stres pada mikroba adalah pemanasan, pembekuan, aktivitas air (aw) rendah, radiasi, senyawa anti mikroba,

konsentrasi oksigen rendah dan sebagainya.

Sama dengan produk pangan kering lainnya, kultur kering bersifat sangat higroskopis sehingga kadar airnya akan meningkat. Hal ini terjadi karena kultur kering dapat menyerap uap air dari udara lembab dilingkungan penyimpanannya. Peningkatan kadar air dapat memulai reaksi-reaksi kimia dan biokimia didalam sel, sehingga kestabilan kultur kering dapat terganggu. Peningkatan kadar air yang semakin tinggi dapat merusak mikroba yang stres, sehingga mikroba akan mati.

Kerusakan kultur mikroba kering akibat peningkatan kadar air juga dapat menyebabkan kebocoran sel. Kebocoran terdeteksi dengan adanya ion-ion mineral seperti K+, Na+, Ca++, dan Mg++, serta bahan-bahan lain seperti protein dan nukleotida yang terdapat pada supernatan atau air rendaman sel (Hurst 1984; Bunduki et al. 1995; dan Park et al. 2003).

Berdasarkan hal diatas perlu diketahui kondisi kadar air kritikal dalam penyimpanan kultur kering, agar viabilitasnya dapat terjaga dan kerusakan sel akibat peningkatan kadar air dapat dihindari. Kadar air kritikal dapat ditentukan dari kurva isotermi sorpsi air dengan menganalisis kapasitas masing-masing daerah air terikat dari kurva isotermi tersebut.

Tujuan Penelitian

1. Mengkaji metode pengeringan kemoreaksi dengan kalsium oksida serta menganalisis parameter dalam proses pengeringan yang berpengaruh terhadap viabilitas kultur kering Saccharomyces cerevisiae yang dihasilkan. 2. Menerangkan pola isotermi sorpsi air dan menganalisis kadar air kritikal


(18)

3. Menerangkan pola stres dan kematian kultur kering Saccharomyces cerevisiae pada berbagai kondisi kadar air terikat.

4. Mengamati perubahan morfologi dan mikrostruktur serta kerusakan kultur kering.

5. Menganalisis terjadinya kebocoran sel yang mengalami stres dan kerusakan.

Kegunaan Penelitian

1. Mengembangan teknologi pengeringan kemoreaksi dengan kalsium oksida untuk produksi kultur kering mikroba.

2. Memberikan data dasar tentang faktor-faktor yang berperan dalam proses pengeringan kemoreaksi dan dampaknya terhadap viabilitas kultur starter kering sehingga diperoleh efisiensi proses pengeringan dan viabilitas tetap terjaga.

3. Memberikan data dasar mekanisme stres kering pada kultur Saccharomyces cerevisiae dan menentukan teknik yang tepat untuk mengurangi stres, yang berdampak pada perubahan morfologi dan kerusakan serta proses biokimia sel kering.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Proses Pengeringan

Pengeringan merupakan proses pengurangan kadar air bahan sampai mencapai kadar air tertentu sehingga dapat menghambat laju kerusakan bahan makanan sebelum bahan diolah atau dimanfaatkan. Selanjutnya menurut Fellows (1990) definisi pengeringan adalah proses pengeluaran sebagian besar air yang secara normal terdapat dalam bahan pangan, melalui proses penguapan atau sublimasi dengan kondisi yang terkendali.

Parameter-parameter yang mempengaruhi waktu pengeringan adalah suhu, kelembaban udara, laju aliran udara, kadar air awal dan kadar air bahan kering. Tujuan utama dari pengeringan adalah untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan melalui penurunan aktivitas air (Fellows 1990).

Batasan umum pengeringan, yaitu suatu proses mengeluarkan air dari bahan pangan dengan cara penguapan atau sublimasi, hingga terjadi penurunan kandungan air bahan sampai batas enzim dan reaksi-reaksi yang menyebabkan kerusakan pada bahan dapat dihambat aktivitasnya, dan bahan menjadi lebih awet. Proses penguapan air dari bahan dapat dilakukan dengan menggunakan energi panas (pada pengeringan dengan suhu tinggi) atau dengan cara dehumi-fikasi (penurunan RH) ruangan sehingga terjadi keseimbangan antara bahan dan lingkungannya.

Prinsip Pengeringan

Prinsip utama pengeringan adalah pengeluaran air dari bahan berdasarkan pindah massa internal (Chirifie 1983 didalam Barbosa-Canovas dan Vega-Mecado 1996). Laju perpindahan uap air dari bahan ke udara tergantung pada sifat fisik bahan, komposisi bahan, kadar air awal, kelembaban udara, laju aliran udara, dan tekanan pada permukaan bahan yang langsung berhubungan dengan udara (Okos et al. 1992).

Selanjutnya menurut Barbosa-Canovas dan Vega-Mercado (1996) mekanisme fisik untuk menjelaskan gerakan air di dalam bahan terdiri dari 6 tahap, yaitu : 1) gerakan cairan karena gaya permukaan (aliran kapiler), 2) difusi


(20)

cairan karena adanya perbedaan konsentrasi, 3) difusi permukaan, 4) difusi uap air di dalam pori-pori yang berisi udara, 5) aliran karena adanya perbedaan tekanan, dan 6) aliran karena terjadinya penguapan dan kondensasi.

Sedangkan mekanisme penguapan air dari bahan pangan menurut Brooker

et al. (1982), meliputi proses : 1) pelepasan ikatan air dari bahan pangan, 2) difusi air dan uap air ke permukaan, 3) perubahan fase dari air menjadi uap air, 4) perpindahan uap air dari permukaan ke udara sekitar dan 5) perpindahan uap air di udara.

Menurut Beker dan Rapoport (1987) bentuk kurva pengeringan secara umum terlihat pada Gambar 1. Laju pengeringan cepat ditunjukkan pada periode I yang dihubungkan dengan kehilangan air bebas, sedangkan laju pengeringan lambat pada periode II dihubungkan dengan kehilangan air terikat. Kecepatan pengeringan dapat dipengaruhi oleh suhu dan kecepatan udara pengering, kadar air, ukuran dan bentuk granula khamir yang dikeringkan.

Gambar 1. Kurva pengeringan khamir secara mekanis dengan metode tero- wongan: Wk1, kandungan air terikat (%); Wp, kadar air dari khamir

setelah pengeringan (%); periode I menunjukkan perpindahan air bebas, periode II menunjukkan perpindahan air terikat (Beker dan Rapoport, 1987)


(21)

Pengeringan bahan-bahan yang peka terhadap suhu tinggi seperti kultur mikroba, enzim, vaksin dan bahan-bahan volatil, diperlukan proses pengeringan pada suhu rendah supaya viabilitas kultur mikroba dan mutu bahan-bahan tersebut tetap terjaga. Proses pengeringan suhu rendah yang dapat dilakukan adalah pengering vakum, pengering beku dan pengering absorpsi atau pengeringan kemoreaksi.

Pengeringan Absorpsi

Proses pengeringan absorpsi adalah proses pengeringan dimana air dalam bahan diserap oleh suatu material yang bersifat sangat higroskopis yang disebut absorben. Dalam proses pengeringan absorbsi sejumlah bahan dan absorben diletakkan dalam suatu ruangan yang tertutup rapat. Absorben yang digunakan memiliki tekanan uap air yang sangat rendah dibandingkan dengan bahan yang akan dikeringkan.

Mekanisme yang terjadi adalah proses penarikan air oleh absorben dari dalam bahan pangan dengan prinsip penyerapan uap air dari bahan tersebut. Air yang diserap oleh absorben tidak hanya pada bagian permukaan absorben tersebut, tetapi terdistribusi secara merata keseluruh bagian absorben (Hall 1979). Proses pengeringan absorbsi tidak menggunakan aliran udara pengering dengan suhu tinggi, tetapi faktor yang mempengaruhi proses pengeringan adalah kelembaban udara (RH) di dalam ruang pengering.

Menurut Henderson dan Perry (1976) proses pengeringan diterangkan melalui teori tekanan uap. Air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat, dalam hal ini air bebas adalah air yang berada di permukaan bahan dan yang pertama kali mengalami penguapan. Bila air permukaan telah habis, maka terjadi migrasi air dan uap air dari bagian dalam bahan secara difusi. Migrasi air dan uap terjadi karena perbedaan konsentrasi atau tekanan uap antara bagian dalam dan bagian luar bahan.

Material yang sering digunakan sebagai absorben untuk pengeringan dapat berbentuk gel padat atau cairan, contohnya gel silika, CaCl2, kalsium

sulfat, CaO dan sebagainya. Gel silika adalah absorben berbentuk padat yang banyak digunakan untuk menjaga kelembaban dalam ruang penyimpanan barang-barang elektronik, barang-barang asesoris dari kulit dan juga sering


(22)

digunakan sebagai bahan yang dapat menjaga kestabilan kadar air bahan yang disimpan dalam desikator. Selama ini penggunaan absorben untuk pengeringan terutama adalah dalam pengeringan biji-bijian dan produk-produk yang mempunyai aroma khas seperti kopi dan tembakau.

Berdasarkan percobaan Hu et al. (1998) pengeringan absorpsi mengguna-kan gel silika terhadap viabilitas benih barley, oat, dan kenaf pengaruhnya hampir sama dengan pengeringan beku. Keuntungan lainnya yaitu dapat mencapai kadar air yang lebih rendah dan biayanya jauh lebih murah dari pengeringan beku, walaupun laju pengeringan absorpsi sedikit lebih lambat.

Bentonit (CaCl2) sering digunakan sebagai desikan dalam proses

pengeringan maupun sebagai dehumidifier udara selama penyimpanan terutama di malam hari, karena dapat memberi aerasi pada biji-bijian kering serta mempertahankan kadar air yang seragam dan suhu selama penyimpanan biji-bijian (Thorruwa et al. 1998). Zeolit digunakan untuk pengeringan biji-bijian seperti jagung (Alikhani et al. 1992). Kalsium sulfat digunakan untuk pengeringan kopi beraroma tinggi seperti kopi instan (Cormaci 1994) serta pada pembuatan anhydrous trehalose (Mandai et al. 1994). Glikol, gliserol dan polihidrik alkohol lainnya secara rutin digunakan sebagai desikan dan humektan untuk mengendalikan RH pada sistem gas alam, bahan pangan dan tembakau (James 1973). Selanjutnya desikan cair dari campuran CaCl2 dengan litium

klorida (LiCl2) dengan perbandingan yang sama, juga digunakan oleh Ertas et al. (1997) untuk pengeringan kacang tanah.

Kalsium oksida (CaO) merupakan bahan aktif dari kapur api yang selama ini juga dipakai sebagai absorben atau desikan dalam pengeringan dan penyimpanan beberapa produk pangan. Sedangkan hasil penelitian Julianti (2003) menyatakan bahwa CaO tidak memiliki isotermi sorpsi air, dan CaO merupakan bahan yang sangat reaktif terhadap air, oleh karena itu kemampuan kapur api untuk menyerap uap air dari lingkungan sekitarnya didasarkan pada reaktivitas kimia dan bukan melalui absorpsi fisik seperti halnya absorben lainnya. Oleh karena itu pengeringan dengan kapur api atau CaO lebih tepat dipakai istilah pengeringan kemoreaksi.


(23)

Pengeringan Kemoreaksi

Pengeringan kemoreaksi adalah proses pengeringan yang juga menggunakan absorben, tetapi melalui mekanisme reaksi kimia antara uap air dari bahan yang dikeringkan dengan absorben, karena reaktivitas absorben yang tinggi terhadap air. Kapur api yang mengandung bahan aktif CaO merupakan absorben yang banyak digunakan dalam proses pengeringan ini. CaO bereaksi secara kimia dengan uap air yang terdapat di dalam bahan yang dikeringkan sehingga kadar air bahan akan berkurang.

Mackenzie dan Sharp (1970) menyatakan bahwa CaO terbentuk apabila batu kapur (CaCO3) dipanaskan pada suhu diatas 650 0C. Sebaliknya reaksi

pembentukan CaO dari CaCO3 merupakan reaksi endoterm yang bersifat

reversibel. Menurut Chang dan Tikkanen (1989) reaksi CaO dengan air merupakan reaksi eksoterm yang akan melepaskan energi panas sebagai berikut : CaO (S) + H2O (1) Ca (OH)2 (S) + ∆H = - 64.8 KJ

Kapur api mempunyai kandungan CaO sekitar 96.8% - 97% dan bahan-bahan lainnya seperti SiO2, R2O3 (gabungan oksida-oksida), MgO dan

bahan-bahan lain yang hilang saat pembakaran. Hasil penelitian (Sucofindo 1991 di dalam Julianti 2003) diketahui juga bahwa kapur api yang baru keluar dari pembakaran tidak mengandung air. Oleh karena itu kapur api ini bersifat sangat higroskopis dan sangat baik digunakan sebagai absorben dalam pengeringan kemoreaksi.

Kalsium oksida ( CaO) juga dikenal sebagaiQuicklime atau kapur mentah dan mempunyai kapasitas penyerapan uap air yang lebih besar pada RH rendah dibanding absorben atau desikan lainnya. Kapasitas penyerapan uap air oleh CaO minimal adalah 28.5% dari beratnya. Sebagian besar digunakan dalam pengemasan makanan kering, tetapi penggunaan kemasan makanan harus diperhatikan karena sifat CaO yang dapat hancur selama penyimpanan (Anonim 2004b).

Menurut Soekarto (2000), prinsip pengeringan dengan CaO di dalam lemari pengering absorpsi berlangsung melalui proses penting sebagai berikut : (1) CaO menyerap dan bereaksi dengan uap air dalam ruangan pengering; (2) reaksi CaO dengan air melepaskan energi panas dan menurunkan RH ruang


(24)

pengering; (3) energi panas diserap bahan untuk menguapkan kandungan air meninggalkan bahan; (4) uap air dari bahan mengalir ke ruang pengering untuk kemudian diserap CaO. Proses tersebut berlangsung secara terus menerus sampai tercapai kondisi kesetimbangan atau ekuilibrium.

Antara CaO dan air bereaksi secara eksotermik untuk membentuk Ca(OH)2. Peningkatan reaksi yang bersifat eksotermik tersebut, menghasilkan

peningkatan suhu selama pengeringan berlangsung konstan (Soekarto 2000). Reaksi kimia yang terjadi antara CaO dan uap air selama pengeringan adalah :

CaO+ H2O Ca(OH)2 - • H (Joule)

Bahan lembab + • H Produk kering + H2O

CaO + Bahan lembab Produk kering + Ca (OH)2

Keuntungan Pengeringan Kemoreaksi

Beberapa peneliti sebelumnya telah menggunakan teknik pengeringan dengan CaO dari kapur api untuk mengeringkan berbagai produk, dan hasilnya ternyata cukup menguntungkan. Diantaranya oleh Halim (1996) untuk penge-ringan biji lada, dimana penggunaan kapur api sebagai bahan pengering, dapat menekan penguapan minyak atsiri dari lada segar menjadi 2.8% - 3.1%. Dibandingkan pengeringan dengan sinar matahari penurunan kadar minyak atsiri adalah sebanyak 10.65% dan pengeringan dengan oven penurunan minyak atsiri sebanyak 17.80%.

Wulandari (2002) juga menggunakan kapur api untuk pengeringan lada pada suhu ruang (29 0C). Selama pengeringan penurunan kadar minyak atsiri lada relatif kecil yaitu 1.74% - 4.87%. Sedangkan pengeringan dengan metode oven dan penjemuran, penurunan kadar minyak atsiri berturut-turut adalah 17.8 % (metode oven) dan 10.65% (penjemuran). Rasio (berat/berat) kapur dan lada R 2 (1:2); R 5 (1:5); dan R 20 (1:20) dapat digunakan untuk mengeringkan lada sampai kadar air 12 % basis basah. Semakin besar tingkat R waktu pengeringan semakin singkat yaitu berturut-turut 89 jam (untuk R 20), 92.3 jam (untuk R 5) dan 119.5 jam (untuk R 2).

Pengeringan terhadap biji pala bertempurung dengan kapur api, waktu yang dibutuhkan lebih lama yaitu 8 – 9 hari, dibandingkan waktu pengeringan


(25)

dengan penjemuran yaitu 7 hari (rata-rata penjemuran 3 jam / hari). Rendemen minyak atsiri kedua metode tersebut juga tidak berbeda nyata, yaitu sebesar 11, 78% pada pengeringan dengan kapur api, dan 10.92% pada penjemuran. Walaupun demikian, biji pala yang dikeringkan dengan pengeringan menggunakan kapur api memiliki penampakan yang paling baik (Suryani 1999).

Penggunaan kapur api untuk pengeringan benih tomat selama satu hari dapat menghasilkan benih tomat kering dengan kadar air 5.5% basis basah. Uji viabilitas menunjukkan daya kecambah yang cukup baik yaitu antara 70% sampai 94.5% (Suzana 2000). Sedangkan pengeringan benih cabe oleh Julianti (2003), diperoleh perbandingan kapur dan benih yang optimal untuk menghasilkan mutu yang tinggi adalah 3 :1. Kadar air akhir benih cabe yang dihasilkan adalah sekitar 3.8% (bk) dengan lama pengeringan 45 jam, dan viabilitas benih yang dihasilkan adalah 100%. Disamping itu terdapat hubungan yang jelas antara fase laju pengeringan dengan fraksi-fraksi air terikat pada benih cabe, yaitu periode (1) air yang dikeluarkan air bebas murni, periode (2) air terikat tersier dan sebagian air terikat sekunder, periode (3) air terikat sekunder dan air terikat primer, serta periode (4) air terikat primer.

Penggunaan CaO juga dilakukan untuk pengeringan brem padat di daerah Bogor yang kelembapannya cukup tinggi. Waktu yang diperlukan untuk mengeringkan brem padat secara tradisional (pada suhu kamar), biasanya membutuh-kan waktu 18 jam untuk mencapai kadar air 16%. Sedangkan dengan menggunakan CaO diperlukan waktu 12 jam, disamping itu brem yang dihasilkan berwarna cerah dan tidak mudah patah (Hersasi 1996).

Pengeringan Kultur Mikroba

Pengeringan kultur mikroba terutama bertujuan untuk menyediakan kultur starter dalam jumlah banyak yang diperlukan oleh industri produk fermentasi, seperti industri minuman beralkohol, industri roti, obat-obatan dan sebagainya. Berbagai metode pengeringan kultur telah banyak dilakukan oleh peneliti, dimana proses pengeringan kultur pada prinsipnya hampir sama dengan pengeringan produk pangan atau hasil pertanian lainnya.


(26)

Metode pengeringan yang umum digunakan untuk pengeringan mikroba adalah dengan metode terowongan, pengeringan fluidized bed, pengeringan vakum dan pengeringan semprot, sedangkan untuk pengawetan kultur murni mikroba digunakan pengeringan beku dan pengeringan vakum.

Pengeringan Vakum

Menurut Tamine dan Robinson (1985) proses pengeringan vakum terhadap spesies bakteri asam laktat, meliputi penambahan starter cair dengan laktosa dan Ca-karbonat (untuk menetralkan kelebihan asam), pemisahan whey dan proses pengeringan dalam kondisi vakum.

Proses pengeringan starter yoghurt dengan metode oven vakum pada suhu 50 0C, tekanan vakum 29 mmHg dan lama pengeringan 4 jam menghasilkan viabilitas yang lebih tinggi dibandingkan metode pengeringan dengan oven biasa. Pada pengeringan menggunakan oven vakum diperoleh viabilitas 79% yang kadar airnya adalah 4.44% hingga 9.05% (Nuraida et al. 1994).

Jenie et al. (1996) menggunakan metode pengeringan vakum pada suhu 40

0

C selama 4 jam untuk produksi kultur starter kering Lactococcus lactis. Viabilitas sel yang dicapai adalah 58 % yaitu dari perlakuan media pertumbuhan dengan ekstrak sawi dan pencampuran bahan pengisi tepung beras dan kultur dengan perbandingan 1:2. Selanjutnya untuk pengeringan kultur Lactobacillus plantarum dengan metode pengeringan vakum menggunakan suhu 50 0C selama 4 jam, dihasilkan viabilitas tertinggi (87%) dari kultur dengan penambahan bahan pengikat berupa campuran tepung beras dan tepung onggok sebesar 2 :1. Kadar air kultur kering yang diperoleh adalah 4.62% - 6.79% berat kering.

Pengeringan Beku (Freeze-drying)

Pengeringan beku berbeda dengan pengeringan biasa, dimana bahan yang akan dikeringkan terlebih dahulu dibekukan, kemudian dalam keadaan hampa udara air langsung dikeluarkan dari bahan secara sublimasi. Proses pengeringan dengan pengeringan beku memerlukan kondisi dibawah suhu kritis yaitu suhu dibawah 0 0C dan tekanan di dalam ruang pengering berada dibawah 1.0 – 2.0 mm Hg (Brennan et al. 1974).


(27)

To dan Etzel (1997) menggunakan metode pengeringan beku untuk menge-ringkan beberapa spesies bakteri asam laktat. Proses pengeringan beku diawali dengan pembekuan kultur dalam es kering pada suhu -20 0C selama + 12 jam, kemudian dilanjutkan ke pengering beku yang dioperasikan pada 9000 g/cm dan suhu -53 0C selama 24 jam menghasilkan viabilitas sekitar 60% - 70%. Viabilitas yang dihasilkan ini lebih tinggi dari pada hasil pengeringan semprot.

Menurut Tamime dan Robinson (1985), selama proses pembekuan dan pengeringan beku dapat terjadi kerusakan pada sel mikroba. Kerusakan ini dapat diminimumkan dengan penambahan senyawa-senyawa kriogenik atau senyawa protektan. Kelemahan pengeringan beku adalah dikhawatirkan penambahan senyawa kriogenik dapat memberikan efek samping terhadap aktivitas sel serta mutu produk fermentasi yang dihasilkan. Disamping itu metode pengeringan beku memerlukan biaya yang tinggi dalam produksi. Diantara senyawa protektan yang biasa ditambahkan dalam media pengeringan beku mikroba adalah Pepton, Laktosa, Trehalosa, dan Whey-sukrosa (Anonim 2004d).

Husna (1998) juga meneliti pengeringan beku terhadap kultur starter yoghurt dan dihasilkan kultur starter kering yang mengandung bakteri asam laktat cukup tinggi yaitu ± 106 - 107. Bakteri asam laktat yang dihasilkan adalah

Lactobacillus dengan total (1.2 - 4.2) x 106 koloni/ gram berat kering, dan

Streptococcus dengan total 8.2 x 105 sampai 1.0 x 106 koloni/gram berat kering. Kadar air yang dihasilkan pada penelitian ini masih sangat tinggi, yaitu 29.76% (bb) - 50.47% (bb). Sedangkan penambahan 10% sukrosa menghasilkan kultur kering dengan kadar air yang lebih besar, karena sukrosa mengikat air sehingga sulit dilepaskan sewaktu proses pengeringan.

Pengeringan Semprot

Proses utama dalam pengeringan semprot adalah pembentukkan butiran-butiran halus (droplets) dari cairan yang akan dikeringkan dengan semprotan, kemudian dikontakkan dengan udara. Langkah pengabutan dalam bentuk butiran halus yang dihasilkan dengan percikan atau semprotan adalah untuk meng-optimumkan kondisi penguapan air sehingga menghasilkan produk yang


(28)

spesifik. Pengabutan diakibatkan oleh semprotan cairan yang dicurahkan dalam bentuk butiran-butiran kecil (Barbosa-Canovas dan Vega-Mercado 1996).

Metode pengeringan semprot dilakukan dengan alat pengering semprot yang dilengkapi dengan pompa peristaltik untuk membawa suspensi mikroba kedalam siklon pengering. Udara masuk dipanaskan dengan pemanas elektrik dan suspensi mikroba dialirkan dengan semprotan kedalam siklon pengering, sedangkan hasil pengeringan terkumpul pada bagian bawah siklon. Proses pengeringan semprot untuk mengeringkan beberapa spesies bakteri asam laktat dengan suhu udara masuk 220 0C dan suhu udara keluar 70 0C – 90 0C selama 30 menit, menghasilkan viabilitas hanya 15 - 34% (To dan Etzel 1997).

Menurut Salgado-Cervantes (2003), penggunaan khamir kering Saccharo-myces cerevisiae yang diproses dengan pengeringan semprot dalam pembuatan bir, menunjukkan aktivitas fermentasi yang lebih rendah. Kadar alkohol yang diperoleh adalah 1.4 – 1.8%, sedangkan dengan khamir segar kadar alkohol yang diperoleh adalah 5.5%. Selanjutnya juga dilaporkan khamir kering yang dihasilkan banyak terkontaminasi dengan mikroba lain.

Pengeringan tipe Fluidized-bed

Proses pengeringan Fluidized-bed biasa dilakukan untuk produksi khamir roti secara komersial dalam bentuk instant. Pada proses ini bahan awal dalam bentuk krim dengan kadar air sekitar 80 %, dirobah ke dalam bentuk partikel (diameter 0.2 – 0.5 mm) dengan suatu tekanan, kemudian partikel-partikel dikeringkan dengan hembusan udara panas 100 0C- 150 0C. Waktu pengeringan adalah 2 – 4 jam, suhu yang tertinggal pada partikel khamir adalah sekitar 25 0C - 42 0C, dan kadar air produk akhir adalah 4 – 6% (Reed dan Nagodawithana 1991).

Menurut Anonim (2004c), proses pengeringan untuk khamir kering instan hanya menggunakan sistem fluidized-bed. Proses pembuatannya yaitu dengan memampatkan krim khamir melalui pelat berlubang (alat ekstruder) sehingga diperoleh bentuk seperti spageti tipis atau partikel-partikel massa khamir dengan diameter 0.5 – 1 mm, lalu dikeringkan. Sebelumnya krim khamir ditambah asam askorbat untuk membantu memperkuat adonan dan penambahan sorbitan monostearate (suatu emulsifer) untuk membantu rehidrasi. Bentuk partikel


(29)

massa khamir kering instant lebih kecil dari khamir kering aktif dan untuk pembuatan khamir kering aktif tidak ditambahkan asam askorbat dan emulsifer. Sedangkan untuk pembuatan khamir kering aktif proses pengeringannya selain dengan sistem fluidized-bed dapat juga dengan metoda lain seperti metoda pengeringan terowongan melalui suatu rangkaian kamar pengering pada tingkatan suhu berbeda. Pengeringan juga dapat dilakukan dengan alat pengering tipe drum, yaitu pada drum yang berputar.

Kultur Mikroba Kering Bentuk Kultur Kering

Berdasarkan proses pengeringannya kultur kering dibedakan atas : 1) kultur starter yang dikeringkan dengan menambahkan media tumbuh atau bahan lain yang berperan dalam proses pengeringan. Kultur kering yang dihasilkan disebut dengan ragi, 2) kultur starter yang dikeringkan tanpa media tumbuh, tetapi dapat ditambahkan bahan lain dengan jumlah maksimal 2%. Bahan tambahan tersebut dapat berupa emulsifier atau rehydrating agent, kultur kering yang dihasilkan adalah berupa kultur kering murni, contohnya kultur kering aktif dan kultur kering aktif instan.

a. Ragi

Di Indonesia dikenal ragi tape yang dibuat secara tradisional dari tepung beras. Pertumbuhan mikroba seperti kapang, khamir dan bakteri diperoleh secara alamiah melalui infeksi dari lingkungan, peralatan yang digunakan dan melalui seleksi akibat ditambahkannya bermacam-macam bumbu kedalam tepung beras. Spesies kapang, khamir dan bakteri dalam ragi tersebut dapat memproduksi gula, asam serta alkohol dari substrat karbohidrat.

Menurut Saono (1982) mikroflora yang lazim terdapat didalam ragi yang sangat berperan dalam fermentasi tape biasanya didominasi oleh kapang dari genus Mucor, Rhizopus dan Amylomyces, dan dari khamir yang termasuk kedalam genus endomycopsis, Saccharomyces, Hansenula dan Candida. Sedangkan bakteri yang sering terdapat pada ragi adalah dari genus Pediococcus


(30)

Fungsi dari masing-masing mikroba adalah: kapang berfungsi sebagai pemecah pati, serta penghasil enzim-enzim alpha amilase, beta amilase dan glukoamilase. Khamir berfungsi sebagai penghasil alkohol selama proses fermentasi, serta dapat menghasilkan enzim-enzim invertase, karboksilase, maltase dan melibiase. Sedangkan bakteri berfungsi sebagai penghasil asam laktat dan sakarida (Saono 1982).

b. Kultur Murni Kering

Penyediaan kultur starter dalam bentuk kultur kering, selain ditujukan untuk pemeliharaan kultur murni, juga untuk menghasilkan kultur kering aktif secara komersial. Berbeda dengan ragi, kultur starter kering lebih spesifik untuk satu spesies tertentu atau galur tertentu. Dalam proses pengeringan kultur murni ini hanya boleh ditambahkan bahan kimia yang berfungsi sebagai pelindung sel, seperti metil selulosa atau kaboksilmetil selulosa dalam jumlah 1-2% (Langejan 1980). Disamping itu juga dapat ditambahkan bahan pengemulsi seperti mono-gliserida, gliserol polyester dan sorbitan ester dalam jumlah 0.2-1% (Hill 1987).

Proses pembuatan khamir kering aktif adalah dengan memampatkan padatan sel khamir pada plat berlubang alat ekstrusi, untuk menghasilkan butiran-butiran sangat kecil dari massa khamir. Selanjutnya proses pengeringan dilakukan menggunakan pengering tipe terowongan pada suhu sekitar 60 0C, selama 2 – 4 jam. Kadar air yang tersisa dalam bahan kering adalah sekitar 7.5 – 8.3%. Pengeringan juga dapat dilakukan dengan metoda fluidized-bed atau metoda lainnya (Reed dan Nagodawithana 1995).

Untuk menghasilkan krim khamir, padatan sel khamir pada akhir fermen-tasi sekitar 5%, dipisahkan dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 4000 rpm. Tahap awal pemisahan konsentrasi padatan sel dalam cairan dapat ditingkatkan menjadi 20 %. Sentrifus kedua akan menghasilkan cairan supernatan yang bebas sel khamir. Padatan sel yang diperoleh kemudian dicuci dan dilakukan penyaringan dengan menggunakan tekanan pada 125 - 150 lb/in2 ( 646 - 775 cm Hg), sehingga kadar padatan menjadi 27 – 32%. Padatan sel yang diperoleh disebut krim khamir (yeast cream) dalam bentuk plastis semi padat. Krim khamir ini dapat disimpan pada suhu 0 0C selama 2 minggu, atau digunakan untuk produksi khamir kering aktif (Reed dan Nagodawithana 1991).


(31)

Menurut Beker dan Rapoport (1987) dalam pengeringan khamir roti dengan metoda pengering terowongan, titik inversi pengeringan terdapat pada kadar air 20%. Diatas titik ini perubahan viabilitas sel dan permiabilitas dinding sel adalah kecil. Kadar air dibawah 20% respirasi berhenti dan unsur sel lepas jika kultur kering khamir direhidrasi dalam air. Pengeringan dapat dilanjutkan sampai batas kadar air 7.5-8.5% untuk khamir kering aktif dan 4-6% untuk khamir kering aktif instan.

Beberapa bentuk khamir roti yang diperdagangkan di Indonesia masih merupakan produk impor, diantaranya dikenal dengan nama fermipan yang (diimpor dari Amerika) dan saf-instant (Perancis). Komposisi kedua produk tersebut terdiri dari khamir instan Saccharomyces cerevisiae, bahan pengemulsi (emulsifer) dan rehydrating agent.

Kegunaan Kultur Kering

Produksi kultur khamir kering aktif terkait dengan industri-industri besar makanan dan minuman hasil fermentasi serta industri obat-obatan, karena umumnya industri ini menggunakan kultur murni dalam bentuk kering aktif. Jenis-jenis khamir kering aktif yang digunakan adalah khamir untuk industri roti, khamir untuk industri bir, khamir untuk produksi etanol, khamir untuk fermentasi sake, dan khamir untuk makanan ternak (Peppler dan Perlman 1979).

Menurut Nuraida et al. (1995) penyediaan kultur starter dalam bentuk kering akan memudahkan cara penanganan, memungkinkan penggunaan kultur starter baru pada setiap lot fermentasi, sehingga fermentasi lebih terkontrol dan kualitas produk lebih terjamin. Disamping itu ketersediaan kultur starter kering akan mempermudah distribusi dan transportasi, karena kultur starter kering dapat ditransportasikan dalam jarak jauh tanpa kehilangan aktivitas yang nyata. Selanjutnya menurut Malik dan Hoffmann (1993) kultur kering khamir lebih stabil dan tidak terjadi mutasi atau kehilangan sifat-sifatnya yang diperlukan selama proses pengeringan dan penyimpanan. Dengan demikian metode pengeringan lebih dipilih sebagai cara untuk pengawetan kultur untuk jangka waktu yang lama pada sejumlah spesies khamir.


(32)

Penyimpanan Kultur Kering

Umumnya kultur kering aktif tidak membutuhkan penyimpanan suhu rendah, bagaimanapun umur simpan dapat bervariasi dari 1-12 bulan, pada kondisi penyim-panan suhu ruang. Stabilitas kultur kering adalah berbanding terbalik dengan suhu penyimpanan dan kadar air. Demikian juga jumlah oksigen dalam udara berakibat buruk terhadap stabilitas kultur kering Kultur khamir kering aktif konvensional yang mempunyai kadar air 8% dapat disimpan 1-2 bulan, atau bila disimpan dalam kemasan yang diberi nitrogen atau vakum dapat disimpan 1 tahun pada suhu kamar. Pengeringan kultur kering aktif sampai kadar air yang lebih rendah (4-6%) meningkatkan stabilitas terhadap panas, tetapi tidak dapat menghilangkan pengaruh kerusakan oleh oksigen.

Cara penyimpanan dan pendistribusian khamir roti digunakan kantong kemasan yang kedap udara atau udara dihilangkan dengan memasukan gas. Kemasan juga dapat berupa kantong aluminium foil dengan permeabilitas rendah terhadap uap air dan gas oksigen. Aluminium foil harus bebas dari lobang-lobang penjepit, dilaminasi dengan plastik film yang direkatkan dengan menggunakan panas seperti saran atau pliofilm. Hill (1987) telah memberikan komposisi dari empat lapis film komposit sebagai berikut : poliester 20 µ ; aluminium , 12 µ; polyester, 12 µ; polyethylen, 8 µ . Plastik film cocok untuk kemasan vakum berukuran 500 g dan 10 kg. Ukuran kecil 907 g juga digunakan kemasan vakum. Kemasan lebih besar 10 kg dengan kaleng harus diberi nitrogen untuk mencegah pengempisan dibawah kondisi vakum. Bila kemasan dibuka kultur harus cepat digunakan karena udara dengan kelembaban yang tinggi akan mempengaruhi stabilitas dari kultur. Hubungan antara kadar air dan kelembaban terhadap beberapa khamir dapat dilihat pada Gambar 2.

Hasil penelitian Nuraida et al. (1995) terhadap kultur starter yoghurt yang dikeringkan dengan metode pengeringan beku, dan perlakuan pencampuran kultur dengan tapioka atau maizena (rasio tepung/kultur 1:2) serta penambahan media skim 16 % + MSG 1.5%, menghasilkan viabilitas tertinggi. Aktivitasnya tetap bertahan setelah disimpan 1 bulan pada suhu 7 0C dalam kemasan kantong polietilen.


(33)

Gambar 2. Keseimbangan kadar air khamir tanpa kemasan terhadap kelembaban relatif pada suhu ruang (Dobbs et al. 1982)

Stres Kering pada Mikroba

Stres pada mikroba merupakan tekanan biologi akibat terganggunya proses metabolisme penting didalam sel. Stres kering terjadi karena kehilangan air dari sel, sehingga mengurangi turgor sel dan mempengaruhi tekanan osmotik. Hal ini dapat mempengaruhi kestabilan makromolekul, sehingga menimbulkan kekakuan membran dan merusak struktur protein (Brown 1990 dan Wiggins 2001). Disamping itu perubahan aktivitas air intrasellular juga menyebabkan berkurangnya kekuatan ikatan hidrogen dan interaksi elektrostatik lainnya, sehingga mengganggu struktur dan fungsi makromolekul termasuk asam nukleat, protein, dan lemak (Brown 1990).

Stres dan Kerusakan Mikroba

Kebanyakan mikroorganisme untuk dapat tumbuh haruslah kontak dengan air, karena sel hidup memperoleh semua atau sebagian kebutuhan nutrien secara langsung berupa larutan. Status ketersediaan air atau potensial air


(34)

yang tidak menguntungkan dapat menyebabkan terjadinya stres pada mikroba. Stres akibat perubahan potensial air ini disebut ‘solute stress’ dan ’dilution stress’. Solute stress disebabkan oleh peningkatan konsentrasi atau aktivitas dari larutan ekstraselular dalam lingkungan zat cair. Sedangkan dilution stress

disebabkan karena rendahnya aktivitas larutan ekstraselular (Brown 1990). Teixeira et al. (1995) dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa sel mikroba yang berada pada kondisi stres menunjukkan telah terjadi kerusakan membran sitoplasma. Hal ini diketahui dengan peningkatan sensitivitas terhadap NaCl, peningkatan aktivitas β galaktosidase dan kebocoran isi sel pada fase stasioner. Selanjutnya menurut Bunduki et al. (1995) kebocoran dari substansi intraseluler juga dapat diketahui dengan menguji material intraseluler yang dikeluarkan seperti protein dan asam nukleat dengan metoda penyerapan pada 280 dan 260 nm pada spektofotometer. Demikian juga Hurst et al. (1984) sebelumnya melakukan penelitian pemanasan terhadap S. aureus dan menyatakan bahwa penyebab utama kerusakan pada sel akibat stres pemanasan adalah karena kehilangan Mg++ dari sel mikroba. Kehilangan ion-ion mineral dari sel mikroba ini menandakan telah terjadi kerusakan membran sel, dan jumlah ion mineral yang hilang dapat diukur dengan menggunakan Atomic absorption spectroscopy (AAS).

Salah satu bentuk kerusakan membran sel mikroba ditunjukkan dengan menurunnya atau hilangnya permiabilitas sel, akibatnya terjadi kebocoran dari komponen-komponen sel. Dalam hal ini Niven dan Mulholland (1998) telah mengembangkan suatu metode untuk mengukur tingkat permiabilitas sel, prinsipnya adalah dengan pemberian suatu senyawa marker DNA yang bila kontak dengan DNA akan berfluoresensi, kemudian fluoresensinya diukur dengan spektrofluorimeter. Tetapi cara ini hanya efektif tehadap organisme prokariotik, sedangkan eukariotik letak DNAnya pada inti sel yang terlindung oleh membran.

Pengamatan secara visual juga dapat dilakukan untuk mengetahui bentuk kerusakan sel yaitu dengan menggunakan mikroskop elektron scaning (SEM) untuk mengamati perubahan morfologi sel dan mikroskop elektron transmisi (TEM) untuk mengamati bagian dalam sel. Pada Gambar 3 dapat dilihat bentuk


(35)

kebocoran dinding sel dan membran plasma Saccharomyces cerevisiae akibat perlakuan dengan detergen. Terlihat bentuk dinding sel yang retak atau robek, dan membran plasmanya hancur, sedangkan mikrostruktur sel yang lainnya tidak kelihatan. Tanda panah pada Gambar 3 menunjukan sel yang bocor dan dinding sel yang rusak.

Gambar 3. Kebocoran dinding sel dan membran plasma Saccharomyces cerevisiae akibat perlakuan dengan detergen (Y-PER) pembesaran 12 000X, (Nowicki dan Liermann 2002)

Kematian Mikroba Akibat Kekeringan

Secara garis besar antara stres dan kematian sulit didefinisikan. Umumnya stres dapat disebabkan oleh peningkatan sensitivitas terhadap adanya inhibitor. Inhibitor ini pada mikroba tertentu seperti bakteri gram negatif dapat menyebabkan kerusakan pada membran sitoplasma, sehingga sel kehilangan cairan, dan terjadi beberapa perubahan biokimia pada organisme. Perubahan ini dapat memulai stres dan akhirnya menyebabkan kematian (Hurst 1984).

Kematian dinilai, bila tidak ada koloni dalam medium optimal (kompleks). Medium optimal adalah medium yang dapat ditumbuhi oleh mikroba yang stres maupun tidak stres (sehat). Sedangkan stres dinilai dengan menghitung koloni yang terbentuk pada medium optimal, tetapi tidak ada pada medium yang mengandung NaCl 7.5%. Oleh karena medium dengan garam yang tinggi hanya


(36)

dapat ditoleransi oleh mikroba yang tidak stres. (Hurst 1984), dalam hal ini garam sering digunakan sebagai media selektif untuk mikroba.

Menurut Soekarto (1979) kondisi aw makanan selama penyimpanan dapat

mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Staphylococcus aureus adalah salah satu mikroba yang sangat toleran pada aw rendah. Pada Gambar 4 dapat dilihat Staphylococcus aureus dari contoh makanan pada berbagai aw yang disimpan

selama 32 hari, jumlah sel yang hidup (pada media TSAY) masih tinggi pada aw

yang sangat rendah (aw primer), demikian pula dengan sel yang tidak stres (pada

media TSAYS).

Gambar 4. Jumlah Staphylococcus aureus yang tumbuh dari contoh makanan pada aw berbeda setelah 32 hari penyimpanan, pada suhu 21.70 C

(Soekarto 1979)

Meningkatnya aw selama penyimpanan (pada daerah sekunder) maka

jumlah sel yang tidak stres menurun tajam hingga aw mendekati 0.8, disamping

itu juga terlihat menurunnya jumlah mikroba yang hidup. Sedangkan pada aw >

0.8 (aw tersier) jumlah sel yang tidak stres meningkat dengan tajam, dan

viabilitasnya lebih tinggi dari viabilitas pada aw primer. Hal ini disebabkan


(37)

meningkatkan kadar air contoh makanan pada penelitian ini atau media tumbuh lainnya. Kondisi sangat menunjang untuk pertumbuhan dan perkembang biakan mikroba.

Dormansi Mikroba

Dormansi adalah suatu fenomena kehidupan organisme secara luas yang sebagian besar ditandai dengan berhentinya sintesa protein dan pembelahan sel. D idalam protista banyak jenis parasit mengubah bentuk menjadi kista sebagai respon terhadap kondisi lingkungan (Taurancheau et al. 1999).

Sel mikroorganisme yang kondisinya dorman tetap masih hidup atau tidak mati, tetapi juga tidak dapat tumbuh karena tidak melakukan proses metabolisme. Dormansi pada mikroba dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor lingkungan dan pengolahan. Mikroba dikatakan dorman apabila mengalami masa istirahat, yaitu dengan membentuk spora. Masa istirahat ini dapat berlangsung relatif lama dan mungkin diperlukan suatu cara tertentu untuk mengakhiri masa istirahat ini. Seperti halnya benih, untuk mempersingkat masa dormannya diperlukan perlakuan khusus, misalnya dengan menaikan kelembaban secara perlahan-lahan (Julianti 2003).

Kondisi dorman dapat terjadi benih apabila benih yang disimpan mempunyai kadar air dibawah 4%. Benih dikatakan dorman apabila benih mengalami istirahat total, dimana benih tidak menunjukkan gejala atau fenomena pertumbuhan meskipun dalam keadaan media pertumbuhan yang optimum. Benih dorman dapat dilihat melalui proses perkecambahan. Apabila benih tidak mengalami imbibisi, bearti benih dorman, yang ditandai dengan volume benih yang tidak berubah sampai akhir proses perkecambahan atau biji tetap keras (Saenong et al. 1989 di dalam Julianti 2003).

Beberapa teori mengemukakan faktor kunci mengenai mekanisme dormansi pada spora bakteri adalah pertahanan terhadap dehidrasi di pusat protoplasma. Dalam hal ini inti sel dijaga dalam kondisi air yang sangat rendah, tetapi air tetap ada. Korteks peptidoglikan dilibatkan dalam mengelilingi inti sel dan berfungsi untuk menekan air keluar, atau sebagai osmoregulatory organelle (Gould dan Dring 1978).


(38)

Menurut Algie (1980) dormansi adalah tindakan perlawanan terhadap inti yang tertutup atau tumbuh secara radial supaya menekan air tidak ke luar dari inti, terutama oleh reverse osmoses atau kebalikan osmosa. Sedangkan menurut Warth (1983) pengurangan aktivitas air (aw) yang efektif di dalam inti

mendekati 0.75 menyebabkan mikroba akan lebih tahan terhadap panas, yakni dengan membentuk spora, sehingga enzim didalam mikroba akan tahan terhadap panas.

Pembentukan spora oleh khamir merupakan suatu proses survival di lingkungan kurang baik, atau perlawanan terhadap proses pengawetan pada makanan. Spora Saccharomyces cerevisiae adalah askospora yang dibentuk oleh konjugasi dua sel khamir yang diakibatkan oleh penggabungan sel induk dengan sel tunas. Banyaknya spora yang dibentuk di dalam suatu askus bervariasi menurut jenis khamir. Pada lingkungan yang sesuai masing-masing spora tumbuh kembali menjadi sel khamir.

Bentuk askus yang berisi spora dewasa dari Saccharomyces cerevisiae

dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan elektron mikrograf (Gambar 5) bagian dalam atau lapisan yang jernih adalah manan dan glukan, sedangkan lapisan sebelah luar yang lebih gelap adalah kitosan dan ditirosin. Material dinding spora ( SW) dibentuk di dalam lumen pada kompartemen membran prospora (Prm) (Anonim 2004a).

Gambar 5. Saccharomyce cerevisiae dengan askus berisi spora dewasa, SW adalah dinding spora, PrM adalah promembran dan N adalah inti sel


(39)

Dinding spora berfungsi memberi ketahanan pada spora terhadap stres lingkungan. Setelah penutup prospora membran, sel membangun dinding spora di dalam lumen antara kedua membran derivat yang diperoleh dari membran prospora. Dinding dewasa terdiri dari empat lapisan berbeda: satu predominan manoprotein (lapisan manan); satu residu ikatan beta-1,3 glukosa (lapisan glukan); satu residu ikatan 1,4 alfa glukosamin ( lapisan kitosan); dan suatu lapisan struktur indeterminan yang unsur utamanya adalah tirosin ikatan silang dimers (lapisan ditirosin). Lapisan dinding spora diatur, dari paling dalam ke paling luar sebagai berikut: manan, glukan, kitosan, dan ditirosin. Manan dan glukan juga ditemukan di dalam dinding sel tumbuh-tumbuhan. Adanya kitosan dan ditirosin adalah sangat unik pada spora (Anonim 2004a dan Wagner et al. 1999).

Saccharomyces cerevisiae

Saccharomyces cerevisiae termasuk dalam Filum Ascomycota, Kelas Hemiascomycetes; Subkelas Hemiascomycetidae; Ordo Endomycetales; Famili

Saccharomycetaceae; Subfamili Saccharomyces. Saccharomyces berasal dari nama Yunani yaitu sakehar dan mykes. Sakehar artinya gula dan mykes artinya fungi. Setengah abad yang lalu konsep awal penamaan jenis-jenis khamir berdasarkan pada penelitian pelopor mengenai teknik pemurnian kultur oleh Emil Christian Hansen di Carlsberg Laboratories. Hansen membedakan dan mengelompokan kultur kamir yang diisolasinya dalam bentuk murni berdasarkan perbedaan morfologi selular dan askospora, asimilasi gula dan karakteristik fermentasi, serta toleransi khamir terhadap suhu berbeda (Reed dan Nagodawithana 1991).

Morfologi dan Struktur Sel

Sel khamir berbentuk bulat, lonjong, oval, silinder, ogival yaitu bulat panjang dengan salah satu ujung runcing, segitiga melengkung (triangular), bentuk apikulat atau lemon dan sebagainya. Ukuran dari sel khamir sangat bervariasi tergantung media dan kondisi pertumbuhannya serta umur dari sel


(40)

tersebut, tetapi secara umum panjang sel adalah 1– 50 ì m dan lebar adalah 1 – 10 ì m (Miller 1982).

Menurut Pelczar et al. (1977) mikrostruktur sel khamir terdiri dari dinding sel, membran sitoplasma, matriks sitoplasma, inti sel, vakuola, retikulum endoplasma, mitokondria, ribosom dan globula lemak. Bagian luar dinding sel khamir secara umum ditutupi oleh lapisan transparan yang merupakan polisakarida, termasuk fosfomanan (polimer yang menyerupai pati) dan heteropolisakarida yaitu polimer yang mengandung lebih dari satu macam unit gula seperti pentosa, heksosa dan asam glukuronat.

Komponen dinding sel pada Saccharomyces cerevisiae terdiri dari 15 – 30% berat kering sel, penyusun dinding sel terutama adalah manoprotein, β-1,3 glukan, β-1,6 glukan dan kitin dalam jumlah sangat kecil, tetapi berperan sangat penting. Kompleks β-1,3 glukan-kitin adalah unsur utama dinding sel bagian dalam, β-1,6 glukan menghubungkan komponen dinding sebelah luar dan bagian dalam. Pada permukaan luar dinding adalah manoprotein, komponen ini sangat rapat dan membatasi permeabilitas dinding terhadap larutan (Lipke dan Ovalle 1998). Selanjutnya menurut Miller (1982) glukan meliputi 30-35% dari berat kering dinding sel, manan adalah sekitar 30%, protein sekitar 6-8%, lemak sekitar 8.5-13.5% dan kitin sekitar 1-2%.

Pada bagian sebelah dalam dinding sel terdapat membran sitoplasma dengan ketebalan kira-kira 8 ì m. Membran ini berperanan penting dalam permiabilitas selektif dan transfor zat makanan ke dalam sel. Irisan tipis membran dibawah mikroskop terlihat sebagai lapisan ganda. Skema dan struktur dinding sel dari khamir dapat dilihat pada Gambar 6.

Mikrostruktur sel khamir lainnya adalah : (1) Sitoplasma khamir yang mengandung glikogen, asam ribonukleat dan protein terutama di dalam granula yang mengandung RNA dan ribosom. (2) Inti sel dikelilingi membran inti dan berisi kumpulan kromosom; (3) Vakuola berisi cairan bening dan encer, dan juga dilapisi membran yang tertanam pada sitoplasma; (4) Mitokondria juga dilapisi oleh dua lapis membran dan berfungsi dalam aktivitas respirasi; dan (5) Globula lemak dalam berbagai bentuk dan ukuran, tergantung jenis khamir (Van der Rest


(41)

Bila dibandingkan dengan bakteri beberapa komponen dinding selnya berbeda tergantung jenis bakterinya. Sel bakteri mengandung peptidoglikan yang terdiri dari turunan gula yaitu asam N-asetiglukosamin dan asam N-asetimurat serta asam amino L-alanin, D-alanin dan lisin. Bakteri gram positif mengandung 90% peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan asam teikuronat yang bermuatan negatif. Bakteri Gram negatif hanya mengandung 5-20% peptidoglikan dan dilapisi dengan protein, lipopolisakarida, fosfolipid dan lipoprotein (Cano dan Colome 1986).

A

B

Gambar 6. A. Skema sel khamir (Van der Rest et al. 1995), B. struktur dinding dan membran sel khamir (Watson et al. 1987)


(42)

Selanjutnya pada Gambar 7 terlihat dinding sel bakteri Gram positif yang mempunyai lapisan peptidoglikan yang tebal banyak mengandung asam amino alanin yang bersifat hidrofobik. sedangkan bakteri Gram negatif mempunyai sisi hidrofilik yaitu karboksil, amino, dan hidroksil (Franklin dan Snow 1989 dan Gorman 1991).

Gambar 7. Struktur dinding dan membran sel bakteri (a) Gram positif, (b) Gram negatif, (c) lapisan peptidoglikan (Cano dan Colome 1986)

Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae

Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae sama dengan semua organisme hidup lainnya yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh, yakni dipengaruhi oleh media, umur, serta lingkungan dimana sel tersebut tumbuh. Pola pertumbuhan dari kultur Saccharomyces cerevisiae secara umum ada empat fase yaitu fase lag, fase pertumbuhan logaritmik, fase stasioner, dan fase kematian. Konsentrasi khamir yang dihasilkan dalam suatu proses produksi dapat mencapai 5 x 108 sel per ml dengan viabilitas lebih dari 98%. Waktu propagasi adalah 24 - 48 jam. Pertumbuhan atau perkembangan khamir dalam medium


(43)

produksi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan standar pertumbuhan mikroba dalam sistem bath culture (Priest dan Campbell 1996).

Disamping itu laju pertumbuhan juga dapat dihitung berdasarkan peningkatan jumlah sel atau berat sel dalam periode waktu tertentu. Biasanya digambarkan dengan peningkatan berat kering biomassa persatuan waktu (jam). Selanjutnya Stanley et al. (1997) juga menyatakan bahwa laju pertumbuhan maksimum dihitung dengan regresi liner dari plot log jumlah sel selama fase eksponensial.

Menurut Macy dan Miller (1983) di dalamPriest dan Campbell (1996) sel khamir akan tumbuh di dalam media sederhana yang mengandung karbohidrat untuk penyediaan biosintesis rangka karbon, nitrogen yang cukup untuk sintesis protein, garam mineral dan beberapa faktor pertumbuhan. Biasanya oksigen juga diberikan, walaupun ada beberapa jenis khamir tidak membutuhkannya.

Proses untuk memproduksi biomasa, biasanya sel khamir ditumbuhkan pada berbagai medium yang mengandung komponen karbon, fosfat dan nitrogen sebagai sumber energi, dan kondisi aerobik. Selama fase pertumbuhan khamir dalam proses fed-batch ditambahkan kandungan gula kedalam medium, biasanya cairan molase, dengan jumlah tertentu untuk meminimalkan akumulasi etanol. Proses fed-batch merupakan metoda dasar untuk produksi khamir roti, beberapa khamir makanan (food yeasts), produk biomasa untuk ekstraksi enzim dan untuk persiapan khamir autolisat (Reed dan Nagodawithana 1995).

Laju pertumbuhan sel khamir secara garis besar tidak sama dalam berbagai media (Parviz dan Heideman 1998). Diantara sumber karbon untuk pertumbuhan dan produksi sel kering Saccharomyces cerevisiae, ternyata sukrosa dan fruktosa paling baik daripada glukosa. Berat kering sel yang dihasilkan dari masing-masing sumber karbon fruktosa dan sukrosa lebih tinggi dari glukosa. Demikian pula untuk samber nitrogen yang paling baik adalah ekstrak khamir, dimana berat kering sel yang dihasilkan adalah dua kali lebih tinggi dibandingkan pepton. Sedangkan garam mineral yang paling baik adalah MgSO4 (Liu et al. 1999).

Penggunaan molases dari beet atau tebu sebagai media fermentasi, dapat mensuplai gula, mineral-mineral esensial, asam-asam amino dan


(44)

vitamin-vitamin. Untuk produksi khamir roti digunakan molases dari beet + 20% dicampur dengan molases tebu, untuk mencukupi kebutuhan biotin karena molases dari tebu kaya akan biotin, asam pantotenat, tiamin, magnesium dan kalsium (Reed dan Nagodawithana 1995).

Menurut Nancy et al. (1998) beberapa strain Saccharomyces cerevisiae

dapat tumbuh dan melakukan aktivitas fermentasi terhadap medium yang mengandung silosa, walaupun tidak seefektif terhadap medium glukosa, tetapi dengan kofermentasi glukosa dan silosa, akan sangat efektif menghasilkan etanol secara simultan.

Kegunaan Saccharomyces cerevisiae

Menurut Jaworski (2004) Sacharomyces cerevisiae merupakan jenis yang terkenal pada industri penghasil khamir, seperti khamir roti (baker’s yeast) dan khamir padat (compressed yeast). Khamir roti telah dikenal sejak pertengahan abad yang lalu. Disamping itu juga diaplikasikan untuk menghasilkan ekstrak khamir yang banyak digunakan untuk menghasilkan komponen flavor atau cita rasa gurih yang ditambahkan pada produk-produk makanan seperti mie instan, bubur instan dan berbagai produk ekstrusi (Asnani 1999).

Jenis atau spesies Saccharomyces cerevisiae terutama digunakan dalam tiga proses industri; pertama untuk memproduksi minuman beralkohol seperti anggur atau wine, bir, sake, potable spirits (sejenis minuman beralkohol), dan sebagian besar industri alkohol, kedua adalah untuk industri kue dan roti atau produksi khamir, khususnya untuk memenuhi keperluan pertumbuhan industri kue dan roti, dan ketiga adalah untuk memproduksi biomassa, ekstrak khamir, otolisat dan komponen flavor. Khamir yang digunakan dalam proses ini adalah dari pertumbuhan primer atau diperoleh dari industri bir. Sebagai kategori keempat Saccharomyces cerevisiae juga digunakan untuk produksi protein rekombinan melalui rekayasa genetika (Reed dan Nagodawithana 1991).

Sampai sekarang produk-produk dari khamir masih diimpor dari beberapa negara, dan total impor Indonesia untuk produk-produk khamir dari bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2003 dapat dilihat pada Tabel 1.


(45)

Data pada Tabel 1 menunjukkan total impor yang sangat berfluktuasi, tetapi jumlah dan nilainya cenderung meningkat.

Tabel 1. Total impor khamir kering aktif, khamir kering tidak aktif dan autolisat khamir dari tahun 1998-2003 (BPS 1999 s/d 2004)

Khamir kering aktif Khamir kering tidak aktif Autolisat khamir Tahun Jumlah (kg) Nilai (US$) Jumlah (kg) Nilai (US$) Jumlah (kg) Nilai (US$) 1998 1999 2000 2001 2002 2003

1 654 783 1 253 398 2 344 552 2 857 931 2 725 580 2 277 538

4 627 191 3 059 782 5 267 634 6 030 204 5 590 753 5.464 114 221 200 400 806 348 644 487 608 596 279 1 390 663

185 370 205 295 227 619 235 778 307 609 680 060 46 581 229 804 176 872 214 789 127 693 186 434 316 348 1 408 602 854 652 961 953 771 585 600 183

Selanjutnya Saccharomyces cerevisiae juga merupakan inokulum yang menjadi perhatian untuk produksi protein heterologous, karena dapat mengglikosilasi protein dan membentuk modifikasi. Hal ini juga sangat penting untuk mengfungsikan secara penuh protein eukariotik (Vasavada 1995). Dalam industri farmakologi adalah sebagai proinsulin manusia, factor pembekuan protein darah, dan hormon pertumbuhan manusia (Carlsen et al. 1997). Demikian pula Saccharomyces cerevisiae adalah endotoksin bebas yang umumnya dianggap aman, dan penggunaan khamir secara ekstensif dalam beberapa proses-proses sederhana telah menghasilkan banyak informasi tentang fisiologinya dan daya guna dalam produksi skala besar (Nielson dan Villadsen 1992 di dalam Carlsen et al. 1997).

Kesetimbangan Kadar Air dan Sorpsi Isotermi Air

Kesetimbangan kadar air berperan sebagai kontrol pengeluaran air di dalam proses pengeringan, sedangkan aktivitas air dan isotermi sorpsi air yang menunjukan tingkat keterikatan air di dalam bahan pangan, adalah sebagai faktor penentu stabilitas penyimpanan, laju dan waktu pengeringan (Fellows 1990).


(1)

KAJIAN PENGERINGAN KEMOREAKSI

DENGAN KALSIUM OKSIDA SERTA DAMPAKNYA

TERHADAP STRES DAN KERUSAKAN KULTUR

Saccharomyces cerevisiae

NOVELINA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(2)

Judul Disertasi : Kajian Pengeringan Kemoreaksi dengan Kalsium

Oksida Serta Dampaknya Terhadap Stres dan

Kerusakan Kultur

Saccharomyces cerevisiae

Nama : Novelina NIM : 975039

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Soewarno T. Soekarto, MSc Prof. Dr.Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS K e t u a A n g g o t a

Dr. Susono Saono, APU Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono A n g g o t a A n g g o t a

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto,MSc


(3)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, dengan selesainya penulisan disertasi yang

berjudul : Kajian Pengeringan Kemoreaksi Dengan Kalsium Oksida dan Dampaknya

Terhadap Stres dan Kerusakan Kultur Saccharomyces cerevisiae, sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar doktor di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pasca

Sarjana IPB.

Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang mendalam

disertai penghargaan yang setinggi-tingginya kepada tim pembimbing yaitu Bapak

Prof. Dr. Soewarno Tjokro Soekarto, MSc, sebagai ketua; ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri

Laksmi Jenie, MS; bapak Dr. Susono Saono, APU; dan ibu Prof. Dr. Maggy T.

Suhartono sebagai anggota. Segala saran, petunjuk, perhatian bapak dan ibu sejak dari

perencanaan dan pelaksanaan penelitian hingga proses penulisan disertasi ini telah

memperkaya pengetahuan penulis pada umumnya dan bidang pangan pada khususnya.

Terima kasih kepada bapak Prof. Dr. Rizal Syarief, DSAE, sebagai penguji luar

komisi pada ujian tertutup, bapak Dr. Ir. Ridwan Tahir, MS dan ibu Wellyzar

Syamsuridzal, Ph.D, sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka. Atas saran,

komentar dan masukan yang diberikan, saya pahami sebagai bentuk lain dari

pembimbingan menuju kesempurnaan disertasi ini.

Terima kasih kepada orang tua Bapak Syafri Irsal, BA (Alm) dan ibu Halimah

yang telah menghantarkan penulis untuk dapat menempuh pendidikan S3 ini, serta

kepada adik-adik atas dukungan moril dan doa yang penulis terima. Kepada suami Ir.

Rory Sutanto, MS, terima kasih atas segala dukungan dan semangat yang telah

diberikan selama menempuh pendidikan S3 ini. Kepada putri-putriku yang selalu

menjadi semangat dalam semua kegiatan : Mirsa, Citra, Sinta, dan sikecil Raina yang

hadir diakhir penyelesaian studi ini, terima kasih atas perhatian, dukungan kasih

sayang, pengorbanan, dan doa yang selalu kalian berikan selama ini.

Terima kasih kepada Rektor Universitas Andalas, Dekan Fakultas Pertanian

Unand, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Ketua Program Studi Ilmu Pangan


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 7 November 1957 di kota Padang, Sumatera Barat, merupakan anak ke empat dari sepuluh putra-putri bapak Syafri Irsal, BA (almarhum) dan ibu Halimah.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri VIII Padang pada tahun 1971, sekolah menengah pertama di SMP Yos Sudarso Padang pada tahun 1974 dan sekolah menengah atas SMA Negeri I Padang pada tahun 1977. Pada tahun 1977 penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang dan selesai pada tahun 1983. Pada tahun 1989 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang magister sains program studi Teknologi Pasca Panen, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan selesai pada tahun 1993 dibawah bimbingan Prof. Dr. Soewarno Tjokro Soekarto, Prof. Dr. Ir. Wahjuddin Tjiptadi (almarhum) dan Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, MSc. Selanjutnya ada tahun 1997 penulis melanjutkan ke proram doktor pada program studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 1986 hingga sekarang bekerja sebagai staf pengajar pada jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang.


(5)

Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk

menempuh pendidikan pada jenjang S3.

Terima kasih pada BPPS Departemen Pendidikan Nasional atas dukungan

pembiayaan selama masa studi. Terima kasih pada pimpinan dan staf laboratorium

dilingkungan Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fateta IPB, PAU Pangan dan Gizi

IPB, PAU Bioteknologi IPB atas bantuan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian.

Terima kasih pada pimpinan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta dan

khususnya pimpinan dan staf laboratorium Mikroskop Elektron atas bantuan fasilitas,

kepercayaan dan kesempatan yang diberikan dalam mempelajari persiapan sampel

hingga penggunaan Mikroskop Elektron Transmisi (TEM). Juga terima kasih pada

pimpinan laboratorium Mikrobiologi dan laboratorium Mikroskop Elektron

US-NAMRU 2 Jakarta atas bantuan fasilitas dan kesempatan mempelajari TEM dan SEM.

Terima kasih kepada bapak dan ibu teknisi yang telah banyak membantu selama

berlangsungnya penelitian, khususnya bapak Mulyono, mbak Ari, mbak Vivi dan juga

rekan-rekan IPN yang banyak memberi dukungan selama masa studi serta kepada

semua pihak yang belum sempat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga bantuan, dukungan dan perhatian bapak dan ibu yang penulis terima,

mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata semoga disertasi

ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Juni 2005

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Proses Pengeringan ... Pengeringan Kultur Mikroba ... 11

Kultur Mikroba Kering ... 15

Stres Kering pada Mikroba ... 19

Khamir Saccharomyces cerevisiae ... 25

Kesetimbangan Kadar Air dan Sorpsi Isotermi Air ... 31

BAHAN DAN METODE ... 38

Tempat dan Waktu ... 38

Bahan dan Alat ... 38

Pelaksanaan Percobaan ... 41

Analisis dan Pengamatan ... 53

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

Produksi kultur Saccharomyces cerevisiae ... 56

Pengeringan Kemoreaksi dengan Kalsium Oksida ... 57

Isotermi Sorpsi Air dan Pengaruh Bahan Pelindung ... 67

Pola Stres dan Kematian Kultur Kering ... 76

Perubahan Morfologi dan Mikrostruktur Kultur Kering ... 86

Kebocoran Sel ... 95

PEMBAHASAN UMUM ... 109

KESIMPULAN DAN SARAN ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 117

LAMPIRAN ... 128