Revegetasi Lahan Pasca Tambang Timah Dengan Beragam Jenis Pohon Lokal Di Pulau Bangka

REVEGETASI LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH
DENGAN BERAGAM JENIS POHON LOKAL
DI PULAU BANGKA

EDDY NURTJAHYA

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Revegetasi Lahan Pasca
Tambang Timah dengan Beragam Jenis Pohon Lokal di Pulau Bangka adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.


Bogor, 4 Agustus 2008
Eddy Nurtjahya
NIM G361020151

ABSTRACT
EDDY NURTJAHYA. Revegetation On Tin-Mined Land Using Mixed Local
Tree Species In Bangka Island. Under supervision of DEDE SETIADI, EDI
GUHARDJA, MUHADIONO, and YADI SETIADI.
Tin mining activity changes landscape so that it does not support plant
growth. Effort to carry out reclamation especially revegetation has done using a
few number of exotic species which are considered less support land rehabilitation
for a restoration purpose. On the other hand, there is no promising local species
list. Therefore it is needed to understand a succession on tin-mined land which
may identify potential local species and identify seed source. To accelerate
revegetation, the study on soil amendment and the use of some combination
agricultural techniques are needed which can manipulate the environment to
support plant growth.
The first objective of this study was to understand the succession on tinmined land and its important vegetation in order to identify potential local tree
species and location of source of seeds, and to understand tin-mined land
environment for revegetation success. The second objective was to evaluate the

growth of selected ten local tree species in tin tailing in order to identify
agriculture techniques which best support plant growth and natural recolonisation
in tin tailing in order to enrich the development of planting strategies that are
effective for re-establishment of diverse native forests in as short a time as
possible at places where the expense and high technical and professional level
might be limited.
The quantitative study was conducted at a low land forest, an abandoned
farmed-land age 4 years old, and abandoned tin-mined lands at different ages: 0-,
7-, 11-, and 38-years old. The succession was slow, and natural regeneration in 7years old tin tailing was initiated by species belonged to families Cyperaceae and
Poaceae, and shrubs belonged to family Myrtaceae were found in 38-years old tin
tailing. The population of phosphate solubilizing microorganisms at tin-mined
lands increased along with the more newly abandoned tin-mined land, but the
number of arbuscular mycorrhizal fungi spore at tin-mined lands, which was
dominated by Glomus, showed the opposite.
Local tree species selection was based on habitat similarity of those species
with tin-mined land environment, and on their pioneer attributes. The ten selected
species were Calophyllum inophyllum L. (Clusiaceae) (11.7 %), Schima wallichii
(DC) Korth. (Theaceae) (6.3 %), Syzygium grande (Wight) Walp. (Myrtaceae)
(17.9 %), Ficus superba Miq. (Moraceae) (15.2 %), Vitex pinnata (Verbenaceae)
(20.6 %), Hibiscus tiliaceus L. (Malvaceae) (9.9 %), Syzygium polyanthum

(Wight) Walp. (Myrtaceae) (9.0 %), Mallotus paniculatus (Lmk) M.A.
(Euphorbiaceae) (3.1 %), Aporosa sp. (Euphorbiaceae) (3.1 %), and Macaranga
sp. (Euphorbiaceae) (3.1 %).
Fifteen combinations of planting density with three levels: 625, 2500, and
10000 seedlings ha-1, and five levels soil treatment: (1) control, (2) fertilized with
500 g slime tailing powder under Lepironia articulata Rich., (3) planted with
legume cover crops (LCC) 1:1 of Calopogonium mucunoides Desv. and
Centrosema pubescens Bth. 30 kg ha-1, (4) planted with LCC plus 1 l 2.5 % (v/v)
humic acid, and (5) planted with LCC plus top soil; with three replicates which

were examined for 12 months at null year abandoned and barren 2 ha tin-mined
land in Sungailiat, Bangka island. A number of 3345 seedlings were planted in
alternating rips in 30 cm x 30 cm x 30 cm pots filled in with mineral soil and
compost (2:1) in 12 m x 12 m plots. Pieces of coconut shell which were put at the
base of individual plant reduced soil temperature at least 3.3 oC, and increased soil
humidity to 10.4 %.
There was a significant interaction between planting distance and soil
treatment towards total survival and cover. Highest planting density plus LCC
gave highest survival (73-79 %), highest cover (13.5-21.8 %), and highest litter
production (460 kg ha-1 year-1). Legume cover crops and / or top soil showed

highly significant effect to recolonisation. Collembola population may be further
studied as a successful revegetation indicator. Comparing to the natural
regeneration at 0, 7, 11, and 38 years old, the revegetation study at three planting
densities, which was studied up to twelve months after planting, may accelerate
succession between 11 to 38 years. Although planting density 10000 seedlings ha1
showed the best soil fertility and plant growth, planting density 2500 seedlings
ha-1 may be considered as it costs less.
The novelty of this study is a revegetation technology package on sand tin
tailing which may accelerate succession between 11 to 38 years i.e. : seedlings of
potential local tree species H. tiliaceus, F. superba, C. inophyllum, and S. grande,
grown with 10000 seedlings/ha in alternating rips, in 30 cm x 30 cm x 30 cm pots,
with planting media of a 2:1 mineral soil and cow dung compost mixture, and
were put 3-5 pieces of coconut shells at around root collar of individual plants,
planted with LCC of Calopogonium mucunoides 30 kg ha-1 or top soil in lines of
20 cm width and 2 cm depth.

RINGKASAN
Aktivitas penambangan timah mengubah bentang alam dan lahan pasca
tambang timah tidak lagi mendukung pertumbuhan tanaman. Upaya reklamasi dan
khususnya revegetasi telah dilakukan dengan penanaman sejumlah kecil jenis

tanaman eksotik yang dipilih karena sifat-sifatnya, terutama Acacia mangium
Willd. (Fabaceae), pada program rehabilitasi di Pulau Bangka, sejak tahun 1993.
Pemilihan jenis eksotik tersebut dinilai kurang mendukung rehabilitasi lahan
untuk tujuan restorasi, sementara belum ada jenis lokal yang menjanjikan,
walaupun beberapa jenis pohon lokal telah disarankan oleh beberapa kelompok
peneliti.
Penelitian kuantitatif telah dilakukan di hutan dataran rendah, bekas
perladangan, dan lahan pasca tambang timah masing-masing berumur 0, 7, 11,
dan 38 tahun, yang hasilnya bermanfaat bagi penentuan strategi reklamasi lahan
pasca tambang timah. Aktivitas penambangan timah meningkatkan komponen
pasir dan menurunkan komponen debu dan liat, menurunkan konsentrasi hara,
KTK, dan meningkatkan rasio C/N. Populasi mikrob pelarut fosfat semakin
meningkat dengan semakin barunya tambang ditinggalkan, sementara jumlah
spora fungi mikoriza arbuskula, yang didominasi oleh Glomus, menunjukkan hal
sebaliknya.
Suksesi berjalan lambat. Pola suksesi alami di lahan pasca tambang timah
ditunjukkan oleh perubahan jenis tumbuhan dan bentuk hidup tumbuhan. Pada
lahan pasca tambang yang baru saja ditinggalkan tidak ada jenis tumbuhan apa
pun, kemudian pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun, empat jenis rumput
dari famili Cyperaceae dan Poaceae terutama F. pauciflora (Cyperaceae),

Imperata cylindrica (Poaceae) lebih mendominasi dibandingkan dua jenis semak.
Pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun, lima jenis rumput (E. chariis, F.
pauciflora, I. cylindrica, P. conjugatum, dan S. levis) masih mendominasi
sekalipun tercatat satu jenis herba, dan dua jenis semak. Pada lahan pasca
tambang berumur 38 tahun, dominasi empat jenis rumput jauh berkurang dan
digantikan terutama oleh dominasi semak R. tomentosa di samping tercatat lima
jenis semak lain. Jenis rumput pun mengalami perubahan dan hanya F. pauciflora
yang tetap tercatat, serta E. pallescens dan Ischaemum sp. lebih mendominasi
dibandingkan dua jenis rumput yang lain. Selain itu bentuk hidup di lahan pasca
tambang berumur 38 tahun lebih banyak yakni tercatatnya tingkat semai dan
tingkat sapihan dari jenis tiga jenis pohon (S. wallichii, T. orientalis, dan V.
pinnata), dan jumlah jenis herba menjadi tiga. Tahap suksesi pada lahan pasca
tambang berumur 38 tahun diduga masih jauh sekali dengan hutan berdasarkan
komposisi dan struktur vegetasinya.
Upaya mempercepat suksesi pemilihan jenis selain yang teramati pada
suksesi alami, termasuk dengan bentuk hidup pohon dimungkinkan, sejauh jenis
tersebut memiliki sifat xerofitik. Padang dan formasi Barringtonia dari hutan
pantai campuran diduga dapat menjadi sumber jenis tanaman. Pemilihan jenis
tentunya harus diikuti dengan pembenahan tanah dan berbagai teknik budidaya
untuk memanipulasi lingkungan. Pembenahan tanah, penggunaan mulsa,

penambahan bahan organik, tanah mineral dan top soil sebagai sumber biji atau
semai dan mikrob tanah (soil propagule), percepatan penutupan permukaan tailing

oleh tajuk tanaman dengan model tanam permata perlu dilakukan untuk
memanipulasi lingkungan sebelum dilakukan revegetasi.
Penentuan jenis tanaman tidak cukup berdasarkan predikat kepioniran
namun lebih pada kepemilikan sifat xerofitik. Penentuan lokasi sumber biji
bercermin pada kemiripan lokasi sumber biji dengan lingkungan tailing pasir yang
kering, poros, miskin hara, dan rentan terhadap temperatur udara panas di siang
hari, dan rentan terhadap angin kencang sewaktu-waktu. Vegetasi padang dan
formasi Barringtonia dari hutan pantai campuran tampaknya dapat menjadi
sumber jenis tanaman. Sepuluh jenis terpilih yakni: Calophyllum inophyllum L.
(Clusiaceae) (11.7 %), Schima wallichii (DC) Korth. (Theaceae) (6.3 %),
Syzygium grande (Wight) Walp. (Myrtaceae) (17.9 %), Ficus superba Miq.
(Moraceae) (15.2 %), Vitex pinnata (Verbenaceae) (20.6 %), Hibiscus tiliaceus L.
(Malvaceae) (9.9 %), Syzygium polyanthum (Wight) Walp. (Myrtaceae) (9.0 %),
Mallotus paniculatus (Lmk) M.A. (Euphorbiaceae) (3.1 %), Aporosa sp.
(Euphorbiaceae) (3.1 %), dan Macaranga sp. (Euphorbiaceae) (3.1 %).
Lima belas kombinasi dari tiga level kerapatan tanam: 625, 2500, dan 10000
semai ha-1, dan lima level perlakuan tanah: (1) kontrol, (2) dipupuk dengan 500 g

tepung tailing slime di bawah Lepironia articulata Rich., (3) ditanami dengan
legum penutup tanah (LCC) Calopogonium mucunoides Desv. dan Centrosema
pubescens Bth. 30 kg ha-1 (1:1), (4) ditanami LCC dan disiram dengan 1 l larutan
asam humat 2.5 % (v/v), dan (5) ditanami LCC dan top soil; dengan tiga ulangan
selama 12 bulan di lahan pasca tambang timah seluas 2 ha, berumur 0 tahun yang
gundul di Sungailiat, Pulau Bangka. Tanah di bawah vegetasi padang, di bawah
hutan dataran rendah di dekat pantai, dan di bawah vegetasi Rhodomyrtus
tomentosa dipilih sebagai top soil. Sejumlah 3345 bibit dari biji ditanam dengan
model tanam permata, dalam lubang 30 cm x 30 cm x 30 cm dengan media tanam
tanah mineral dan kompos (2:1) pada petak 12 m x 12 m.
Parameter yang diukur adalah sifat-sifat fisika dan kimia tanah pada akhir
penelitian, temperatur tanah dan kelembaban tanah baik di luar dan di dalam sabut
kelapa diukur pada sembilan dan dua belas bulan setelah tanam atau akhir
penelitian, survival (ketahanan hidup) dan diameter tajuk tiap individu diukur
pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam, ditimbang produksi
serasah setiap petak pada akhir penelitian, dihitung densitas semut dan
Collembola pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam, diukur
panjang akar horizontal dari 20 % contoh pada akhir penelitian, dianalisa jaringan
daun C. inophyllum untuk N, P, K, Ca, Mg, Na, S, Fe, Al, Pb, dan Sn pada akhir
penelitian, dan dicatat jumlah jenis tanaman yang menginvasi setiap petak pada

akhir penelitian. Analysis of variance (p