Morfogenetik Populasi Dua Spesies Gastropoda (Turbo Sparverius Dan Turbo Bruneus) Di Bentang Laut Kepala Burung Papua, Indonesia

MORFOGENETIK POPULASI DUA SPESIES GASTROPODA
(Turbo sparverius DAN Turbo bruneus) DI BENTANG LAUT
KEPALA BURUNG PAPUA, INDONESIA

DANDI SALEKY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Morfogenetik Populasi
Dua Spesies Gastropoda (Turbo sparverius dan Turbo bruneus) di Bentang Laut
Kepala Burung Papua, Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016

Dandi Saleky
NIM C5511302

RINGKASAN
DANDI SALEKY. Morfogenetik Populasi Dua Spesies Gastropoda (Turbo
sparverius dan Turbo bruneus) di Bentang Laut Kepala Burung Papua, Indonesia.
Dibimbing oleh HAWIS H. MADDUPPA dan ISDRAJAD SETYOBUDIANDI.
Turbo sparverius dan Turbo bruneus merupakan spesies gastropoda
herbivora yang hidup di daerah intertidal berbatu yang berperan dalam menjaga
populasi alga pada ekosistem intertidal. Gastropoda tersebut juga telah
dimanfaatkan oleh masyarakat di Papua untuk dikonsumsi dan juga digunakan
sebagai souvenir. Meskipun eksploitasi ini dapat mempengaruhi keragaman
genetik dan populasi, studi tentang struktur populasi kedua spesies tersebut masih
sangat sedikit.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2014 sampai Juni 2015. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisis pola pertumbuhan, keragaman genetik,
struktur populasi dan konektivitas genetik dari T. sparverius (tiga populasi) dan T.

bruneus (dua populasi) di perairan Papua Barat, Indonesia. Analisis pola
pertumbuhan T. sparverius dan T. bruneus dilakukan dengan mengukur panjang
cangkang dan berat total. Sementara itu, analisis genetik dilakukan dengan
beberapa tahapan yaitu ekstraksi, Polymerase Chain Reaction (PCR),
elektroforesis dan sekuensing DNA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pertumbuhan T. sparverius dan T.
bruneus adalah allometrik negatif. Nilai keragaman haplotipe dari semua populasi
T. sparverius dan T. bruneus secara berturut-turut adalah 0.657 - 0.705 dan 0.739
- 0.816. Selain itu. setiap populasi menunjukkan keragaman haplotipe yang tinggi.
Struktur genetik ditemukan dalam semua populasi T. sparverius dan T. bruneus
dengan nilai Fst masing-masing 0.037 - 0.201 dan 0.031. Struktur populasi dan
pohon filogenetik menunjukkan kedekatan genetik akibat aliran gen dari T.
sparverius dan T. bruneus. Nilai jarak genetik antara populasi T. sparverius dan T.
bruneus sangat rendah masing-masing sebesar 0.002 dan 0.003 - 0.004.
Kemiripan genetik terjadi karena kondisi dan arah aliran arus sebagai media
transportasi gen antar populasi. Kemiripan genetik juga disebabkan oleh
kesamaan habitat di setiap populasi. Studi ini menunjukkan bahwa pola
pertumbuhan T. sparverius dan T. bruneus adalah allometrik negatif. Populasi T.
sparverius dan T. bruneus di Papua Barat menunjukkan tingkat keragaman
genetik yang tinggi.

Kata kunci: allometrik negatif, filogenetik, keragaman genetik, segitiga karang
dunia, Turbo sp.

SUMMARY
DANDI SALEKY. Morphogenetic Population of Two Gastropods Species (Turbo
sparverius and T. bruneus) in the Bird Seascape Papua, Indonesia. Supervised by
HAWIS H. MADDUPPA and ISDRAJAD SETYOBUDIANDI.
Turbo sparverius and T. bruneus are the species of herbivorous grazers
gastropod that lived on the rocky intertidal area, which have a role on controlling
algal population on the intertidal ecosystem. They have also been exploited by
local peoples in Papua for food and souvenirs. Even though this exploitation
might affect their genetic diversity and population, study on the population
structure of these species are still lacking.
This study was conducted on Oktober 2014 to June 2015. The aims of this
study were to analyze the growth pattern, genetic diversity, population structure
and genetic connectivity of T. sparverius (three populations) and T. bruneus (two
populations) in coastal water of West Papua,Indonesia. The growth pattern of T.
sparverius and T. bruneus was inferred from the measurement of shell length and
total weight. Meanwhile, genetic analysis was performed by some steps such as
DNA extraction, Polymerase Chain Reaction (PCR), electrophoresis, and DNA

sequencing.
The results of this study showed that the growth pattern of T. sparverius and
T. bruneus was negative allometric. Haplotype diversity values of all population
of T. sparverius and T. bruneus were 0.657 - 0.705 and 0.739 - 0.816,
respectively. In addition, the haplotype diversity of each population showed a high
level of diversity. The genetic structure was found in all population of T.
sparverius and T. bruneus with Fst values -0.037 - 0.201 and 0.031, respectively.
Population structure and phylogenetic tree showed the closeness genetic
relationship due to gene flow between both T. sparverius and T. bruneus. Genetic
distance values between populations of T. sparverius and T. bruneus were very
low ranged from 0.002 and 0.003 - 0.004, respectively. Genetic similarity occurs
because of condition and direction of current, which act as the media for gene
transport among population. The genetic similarity found here was also caused by
the similarity of habitats in each population. This study showed that the growth
pattern of T. sparverius and T. bruneus was negative allometric. The population of
T. sparverius and T. bruneus in West Papua showed a high level of genetic
diversity.
Key words: negative allometric, phylogenetic, genetic diversity, coral triangle,
Turbo sp.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MORFOGENETIK POPULASI DUA SPESIES GASTROPODA
(Turbo sparverius DAN Turbo bruneus) DI BENTANG LAUT
KEPALA BURUNG PAPUA, INDONESIA

DANDI SALEKY

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014 ini ialah
Morfogenetik populasi dua spesies gastropoda (Turbo sparverius dan Turbo
bruneus) di Bentang Laut Kepala Burung Papua, Indonesia
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Hawis H. Madduppa, M.Si
dan Bapak Dr Ir Isdrajad Setyobudiandi, M.Sc selaku pembimbing yang telah
banyak memberikan masukan dalam penyusunan tesis ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA dan Dr Ir
Agus Admadipoera, DESS yang telah bersedia menjadi dosen penguji dan

moderator dalam sidang tesis yang juga memberikan banyak saran dan masukkan
kepada penulis dalam perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih juga kepada
Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi yang telah bersedia memberikan beasiswa
kepada penulis sepanjang masa studi. Penghargaan yang sama juga penulis
berikan kepada seluruh dosen Ilmu dan Teknologi Kelautan atas bekal ilmu yang
diberikan. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr Abdul
Hamid A. Toha, M.Sc, Ir Muhammad Takdir, MP, teman-teman di Marine
Biodiversity And Biosystematics Laboratory ITK IPB, Laboratorium Genetika
UNIPA, Pascasarjana IKL angkatan 2013, Andika Ariwibowo, S.IK, Muhammad
Dailami, S.Si.,M.Si, Matheos Rayar, S.IK, Bentara Papua (Meki, Maros, dan
Yanu), Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) dan sahabat terkasih (Alin, Amelius,
Eca dan Ida). Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Balai Taman
Nasional Teluk Cenderawasih (BTNTC) yang memberikan ijin dalam
pengambilan sampel. Ungkapan terima kasih yang paling dalam saya sampaikan
kepada keluarga tercinta. Semoga apa yang tertuang di dalam karya ilmiah ini
bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2016
Dandi Saleky


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN
Latar belakang
Perumusan masalah
Hipotesis
Tujuan penelitian

Manfaat

1
2
3
3
3

2 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Deskripsi Sampel
Pengambilan Sampel dan Pengukuran Panjang-Berat
Analisis Molekuler
Analisis Data

3
4
5
5
6


3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Distribusi Frekuensi Panjang Cangkang
Hubungan Panjang-Berat
Rekonstruksi Filogenetik
Keragaman Genetik
Struktur Populasi
Distribusi Haplotipe

8
10
11
13
14
16

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran


18
19

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

26

RIWAYAT HIDUP

38

DAFTAR TABEL
1 Total jumlah individu T. sparverius dan T. bruneus yang teramplifikasi
positif
7
2 Hasil perhitungan hubungan panjang-berat total T. sparverius dan T.
bruneus dengan jumlah sampel (n), Nilai Konstanta (a), Nilai Indeks
Pertumbuhan (b), Nilai Korelasi (r), dan Nilai Determinasi (R2)
10

3 Keragaman genetik dari spesies T. sparverius dan T. bruneus yang
dilihat dari jumlah haplotipe (Hn), keragaman haplotipe (Hd),
keragaman nukleotida ( ), dengan jumlah sampel (n) dan total
14
polimorfisme genetik dari setiap populasi
4 Analisis jarak genetik (D) dalam dan antar populasi T. sparverius dan
T. bruneus
15
5 Analisis uji jarak berpasangan (Fst) pada populasi T. sparverius dan T.
bruneus
15

DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi pengambilan sampel T. sparverius dan T. bruneus di empat
populasi di Papua Barat, Indonesia: Raja Ampat, Sorong, Manokwari,
dan Teluk Wondama
2 Bentuk morfologi T. sparverius (A) dan T. bruneus (B)
3 Grafik distribusi frekuensi panjang T. sparverius
4 Grafik distribusi frekuensi panjang T. bruneus
5 Analisis regresi linier terhadap panjang total dan berat total dari 105
individu T. sparverius (A) dan dari 74 individu T. bruneus (B)
6 Rekonstruksi pohon filogenetik T. sparverius dan T. bruneus
menggunakan metode Neighbour-Joining (NJ) dengan model Kimura
2-parameter, nilai bootstrap 1000x
7 Jaringan haplotipe dari T. sparverius (kiri) dan T. bruneus (kanan) dari
lokasi yang berbeda di Papua Barat. Setiap haplotipe diwakili oleh
lingkaran, sedangkan ukuran lingkaran menunjukkan frekuensi
haplotipe.
8 Arus yang melewati Pesisir Utara Papua yang diturunkan dari data
keluaran model INDESO (Atmadipoera Pers.Comm 2016).

4
5
8
9
11

12

17
18

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Lokasi pengambilan sampel T. sparverius dan T. bruneus
Hasil analisis regresi T. sparverius dan T. bruneus
Distribusi frekuensi panjang cangkang T. sparverius dan T. bruneus
yang digunakan pada analisis molekuler
Visualisasi Hasil PCR
Hasil identifikasi T. sparverius dan T. bruneus dengan program Basic
Local Aligment Search Tools (BLAST)
Subtitusi nukleotida pada spesies T. sparverius dan T.bruneus
Hasil analisis distribusi haplotipe T. sparverius dan T. bruneus

26
27
29
29
30
33
36

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Bentang Laut Kepala Burung Papua termasuk Teluk Cenderawasih dan
Kepulauan Raja Ampat, merupakan bagian dari Coral Triangle yang memiliki
keanekaragaman ikan karang tertinggi di dunia, juga terdapat sejumlah besar
moluska (Veron et al. 2009; Allen & Erdmann 2009; Kartikasari et al. 2012).
Berbagai jenis moluska hidup di daerah tersebut diantaranya Turbo sp. yang
dikenal dengan nama lokal bia mata bulan. Bia mata bulan tersebut juga telah
dimanfaatkan oleh masyarakat di Papua untuk dikonsumsi dan juga cangkang
maupun operculum digunakan sebagai souvenir. T. sparverius dan T. bruneus
merupakan jenis gastropoda herbivora pemakan alga, hidup pada intertidal
berbatu, sering berada di dalam lubang dan celah-celah batu maupun pada rataan
terumbu (Lee & Chao 2004; Quinones & Michel-Morvin 2006; Wernberg et al.
2008). T. sparverius dan T. bruneus dicirikan memiliki sebuah operculum tebal
dengan variasi warna seperti hitam, hijau tua, putih dan kecoklatan (Dharma
2005). Operculum tersebut berbentuk lempeng yang bermanfaat dalam
melindungi hewan tersebut ketika menarik diri ke dalam cangkangnya (Quinones
& Michel-Morvin 2006). Beberapa jenis Turbo sp. seperti T. marmoratus, T.
setosus dan T. argyrostomus menjadi target penangkapan di kawasan Pasifik
Selatan (Kikutani et al. 2002). T. bruneus dimanfaatkan baik daging maupun
cangkangnya di Kepulauan Soccoro, Meksiko (Yamaguchi 1993; Quinones &
Michel-Morvin 2006).
Morfologi cangkang memiliki berbagai variasi bentuk yang memberikan
kontribusi dalam identifikasi jenis, klasifikasi, informasi taksonomi dan untuk
mengetahui kondisi lingkungan (Chiu et al. 2002; Urra et al. 2007; Moneva et al.
2012; Caill-Milly et al. 2012). Analisis karakter morfologi seperti hubungan
panjang-berat suatu spesies dilakukan dalam usaha manajemen pengelolaan
sumber daya baik ikan dan organisme lainnya, juga untuk mengetahui kondisi
populasi (Turan 1999; Udo 2013). Perubahan morfologi cangkang gastropoda
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti perubahan komposisi substrat (Tan
2009), adaptasi terhadap paparan gelombang (Boulding et al.1999), pencemaran
(Chiu et al. 2002; Urra et al. 2007), perlindungan diri dari predator dan perbedaan
kedalaman (Olabarria & Thurston 2003; Marquez et al. 2011). Hubungan
panjang-berat dan faktor kondisi banyak dianalisis pada gastropoda untuk
mendapatkan indeks kondisi fisik populasi dan mengevaluasi kualitas habitat
(Albuquerque et al. 2009). Analisis morfometrik dari karakter cangkang dapat
mengalami kesulitan dalam membedakan spesies, hal ini terjadi dikarenakan
perubahan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pewarnaan dan pola
morfologi, sehingga diperlukan pula pendekatan genetik (Mauro et al. 2003).
Oleh karena itu, beberapa identifikasi gastropoda berdasarkan analisis genetik
dilakukan untuk memperjelas identifikasi yang telah dilakukan sebelumnya
(Marquez et al. 2011), dan juga pada organisme laut lainnya (Madduppa et al.
2014, 2016; Prehadi et al. 2015; Sembiring et al. 2015; Jefri et al. 2015).
Keragaman genetik menjadi komponen penting dalam suatu populasi
(Hoffman et al. 2009), menjadi sumber informasi penting tentang perubahan di

2

alam dan juga dalam pemantauan keanekaragaman hayati dan konservasi
(Frankham 1996; Schwartz et al. 2006). Keragaman genetik menentukan kapasitas
populasi untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan, spesies dengan dengan
kemampuan beradaptasi yang baik akan menghasilkan variasi morfologi dan
genetik guna merespon perubahan lingkungan (Taylor & Aarssen 1988). Suatu
populasi dengan keragaman genetik tinggi memiliki peluang lebih besar untuk
kelangsungan hidup (Bonde et al. 2012). Pengetahuan tentang tingkat keragaman
genetik dalam suatu populasi sangat berguna dalam usaha konservasi dan
pemulihan suatu populasi, karena perubahan ukuran populasi dapat menyebabkan
menurunnya variasi genetik yang dapat meningkatkan resiko kepunahan
(Allentoft & O’Brien 2010; Jena et al. 2011).
Analisis struktur populasi dilakukan dalam pemahaman tentang dinamika
yang terjadi pada populasi alami (Hoffman et al. 2009). Karakteristik sejarah
hidup dan aliran gen suatu organisme sangat berpengaruh dalam membentuk
struktur populasi suatu spesies (Storfer 1999; Hoffman et al. 2010), namun studi
tersebut sering mengalami hambatan dalam melacak aliran dan kondisi larva
organisme di laut (Weersing & Toonen 2009). Hal tersebut terjadi karena pola
penyebaran setiap organisme berbeda akibat dari respon yang diberikan tiap
organisme terhadap kondisi lingkungan dan faktor oseanografi (Crandall et al.
2008). Keanekaragaman habitat, geografis dan seleksi alam juga menjadi faktor
penting dalam membentuk struktur dan diferensiasi populasi (Colson & Hughes
2004; Gaspari et al. 2013).
Konektivitas genetik menjadi kunci konservasi karena berperan penting
dalam mempertahankan populasi dan pemulihan dari kerusakan (Neel 2008).
Konektivitas juga menjadi perhatian penting dalam hampir semua rencana
konservasi (Luque et al. 2012). Organisme bentik dengan siklus hidup yang
kompleks, pertukaran individu yang menyebabkan konektivitas antar populasi
terjadi terutama selama tahap larva pelagis (Cowen & Sponaugle 2009).
Pemahaman tentang kompleksitas penyebaran larva sangat penting dalam usaha
konservasi ekosistem laut karena tahapan larva pelagis dan kapasitas penyebaran
larva bersama-sama membentuk struktur genetik suatu organisme (Avise 1998;
Grantham et al. 2003; Madduppa et al. 2014).
Penelitian tentang morfometrik, keragaman genetik, struktur populasi dan
konektivitas populasi T. sparverius dan T. bruneus di daerah Bentang Laut Kepala
Burung Papua belum pernah dilakukan, yang mana penelitian tersebut dapat
memberikan gambaran dalam manajemen potensi dan juga area konservasi suatu
spesies (Gaspari et al. 2013; Japaud et al. 2013).
Perumusan Masalah
Analisis melalui karakter morfologi cangkang gastropoda dapat mengalami
kesulitan dalam membedakan spesies, kesulitan ini terjadi karena pola morfologi
gastropoda dapat mengalami perubahan akibat faktor lingkungan seperti
pencemaran dan sebagainya, sehingga diperlukan pula pendekatan genetik (Mauro
et al. 2003). Penelitian dengan pendekatan genetik telah banyak dilakukan dengan
menggunakan marka gen COI yang umumnya dipergunakan dalam DNA barcode
(Hebert et al. 2003) yang memungkinkan identifikasi spesies menjadi lebih
mudah dan lebih efisien (Sun et al. 2012). Penelitian tentang hubungan panjang-

3

berat dan keragaman genetik Turbo sparverius dan Turbo bruneus masih sedikit
dilakukan, dan hal ini dapat dilihat dari jumlah jurnal yang dipublikasi serta juga
jumlah data genetik pada GeneBank di NCBI (National Center for Biotechnology
Information). Sementara itu penelitian mengenai struktur populasi dan
konektivitas genetik Turbo sparverius dan Turbo bruneus di Kepala Burung
Papua belum pernah dilakukan sebelumnya. Data genetik menjadi sangat penting
dalam sistem kehidupan di laut karena memungkinkan kesimpulan yang akan
dibuat mengenai konektivitas dan aliran gen organisme laut lebih mudah
didapatkan melalui pendekatan molekuler (Hellberg 2007). Berdasarkan hal
tersebut maka ada beberapa permasalahan yang perlu dijawab dalam penelitian ini
yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana hubungan panjang-berat dan genetik populasi Turbo sparverius
dan Turbo bruneus di Bentang Laut Kepala Burung Papua.
2. Apakah kompleksitas oseanografi dan kondisi geografis memberikan
pengaruh terhadap aliran gen dan kekerabatan Turbo sparverius dan Turbo
bruneus di Bentang Laut Kepala Burung Papua.
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Kepulauan Raja Ampat dan Teluk Cenderawasih merupakan pusat dan
sumber keanekaragaman genetik Turbo sparverius dan Turbo bruneus di
Bentang Laut Kepala Burung Papua.
2. Kompleksitas oseanografi dan kondisi geografis memberikan pengaruh
terhadap aliran gen dan kekerabatan Turbo sparverius dan Turbo bruneus di
Bentang Laut Kepala Burung Papua.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan panjang-berat,
keragaman genetik, struktur populasi, konektivitas genetik antar populasi Turbo
sparverius dan Turbo bruneus di daerah Kepala Burung Papua, Indonesia.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai basis data dalam
pengelolaan lestari sumber daya kelautan khususnya Turbo sparverius dan Turbo
bruneus termasuk manajemen dan desain strategi konservasi dalam menghadapi
eksploitasi yang berlebihan dan resiko kepunahan.

2 METODE
Waktu dan Lokasi Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan pada beberapa kali waktu pengambilan
sampel yang dimulai pada tanggal 15 Oktober 2014 - 13 November 2014 di

4

Manokwari, Sorong dan Raja Ampat kemudian dilanjutkan tanggal 3 Januari 2015
- 10 Januari 2015 di Teluk Wondama (Gambar 1). Analisis panjang-berat dan
analisis molekuler untuk mendapatkan fragmen DNA di Laboratorium Genetika
UNIPA, Manokwari dan Laboratorium Marine Biodiversity and Biosystematic
(Ilmu dan Teknologi Kelautan, IPB), Bogor.

Gambar 1 Lokasi pengambilan sampel T. sparverius dan T. bruneus di empat
populasi di Papua Barat, Indonesia: Raja Ampat, Sorong, Manokwari,
dan Teluk Wondama.
Metode penelitian yang dilakukan terdiri dari beberapa tahapan yaitu
pengambilan sampel, pengukuran panjang-berat kemudian dilanjutkan dengan
analisis molekuler dan analisis data.
Deskripsi Sampel
Turbo sp. merupakan jenis gastropoda laut yang termasuk dalam family
Turbinidae (Williams 2007). T. sparverius merupakan gastropoda laut yang
dicirikan dengan memiliki cangkang padat, tidak berpori dengan variasi warna
kehijauan dan dapat tumbuh mencapai ukuran 75 mm. T. sparverius memiliki
sebuah operculum tebal dengan variasi warna putih dan kecoklatan (Dharma
2005). T. sparverius terdistribusi di Pasifik barat daya sampai Filipina (Rosenberg
2015). Cangkang gastropoda tersebut biasa digunakan sebagai rumah bagi
organisme seperti kelomang dan kepiting (Rotjan et al. 2010). T. bruneus
memiliki panjang panjang cangkang berkisar antar 20 mm - 50 mm. T. bruneus
terdistribusi di Laut Merah, Indo-Pasifik bagian tengah, Samudera Pasifik bagian
barat, India Timur, Filipina dan Australia bagian barat dengan operculum tebal
berwarna hitam dan hijau tua (Rajagopal & Mookherjee 1978; Dharma 2005).
Bentuk morfologi T. sparverius dan T. bruneus dapat dilihat pada Gambar 2.

5

Gambar 2 Bentuk morfologi T. sparverius (A) dan T. bruneus (B)
Pengambilan Sampel dan Pengukuran Panjang-Berat
Pengambilan sampel dilakukan saat kondisi surut pada daerah intertidal
berbatu (Lampiran 1). Sampel diidentifikasi secara morfologi dengan
menggunakan buku identifikasi, yaitu Indonesian Shells II (Dharma 1992) dan
Recent & Fossil Indonesian Shell (Dharma 2005). Sampel yang didapatkan
kemudian diukur panjang cangkang dan berat total dengan menggunakan jangka
sorong digital dan timbangan digital, kemudian dilanjutkan dengan mengambil
sampel jaringan. Sampel jaringan T. sparverius dan T. bruneus yang didapatkan
kemudian disimpan dalam tabung sampel yang berisi ethanol 96% sampai pada
tahapan ekstraksi. Ukuran sampel yang digunakan dalam ekstraksi DNA memiliki
ukuran yang bervariasi (Lampiran 3), sebagian besar sampel yang digunakan
memiliki ukuran relatif besar karena sampel tersebut selain diekstraksi dan juga
disimpan sebagai sub sampling dan dapat digunakan lagi jika diperlukan.
Analisis Molekuler
Analisis molekuler dilakukan untuk mendapatkan fragmen DNA. Analisis
molekuler di laboratorium terdiri atas beberapa tahapan yaitu ekstraksi DNA,
Polymerase Chain Reaction (PCR), elektroforesis dan sekuensing DNA.
Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA menggunakan sampel jaringan kaki perut T. sparverius dan
T. bruneus dengan menggunakan extraction kit (Qiagen kit, Cat No. 69504) dan
larutan Chelex 10% (Walsh et al. 1991). Hasil ekstraksi selanjutnya dapat
dimanfaatkan untuk proses amplifikasi.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Primer yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian
Folmer et al. (1994) dengan menggunakan primer forward (LCO1490) yaitu 5’GGTCAACAAATCATAAAGATATTGG-3’ dan primer reverse (HCO2198)
yaitu 5’-TTAACTTCAGGGTGACCAAAAAATCA-3’. Reaksi PCR dilakukan

6

dalam total volume 25 µl dengan jumlah template DNA 1 - 4 µl. Dalam setiap
reaksi PCR terdapat 2.5 µl 10x PCR buffer, 2 µl MgCl2 (25 mM), 2.5 µl dNTP (8
mM), 0.125 µl AmplyTaq, 1.25 µl (10 mM) masing-masing primer, 1 µl 1x BSA
dan 13.5 µl ddH2O. Profil PCR meliputi denaturasi awal 94 °C selama 15 detik,
denaturasi 94 °C selama 30 detik, annealing pada 50 °C selama 30 detik dan
extention pada 72 °C selama 45 detik dan final extention pada 72 °C selama 10
menit, semua proses tersebut dilakukan dengan pengulangan sebanyak 40 siklus.
Elektroforesis
Elektroforesis bermanfaat untuk melihat keberhasilan proses PCR.
Elektroforesis dilakukan dengan menggunakan gel agarosa 1% dengan penambahan
etidium bromida (EtBr). Proses elektroforesis dilakukan dengan menggunakan
power supplay elektroforesis dengan tegangan 200 V, arus 400 mA selama 15
menit. Hasil elektroforesis kemudian direndam dalam larutan EtBr selama 20
menit dan dibilas dengan aquades. Selain perendaman pada larutan EtBr, dapat
juga dilakukan penambahan EtBr pada gel agarosa yang sudah dipanaskan,
kemudian dielektroforesis tanpa perendaman pada larutan EtBr. Selanjutnya gel
divisualisasikan menggunakan lampu UV transluminator dan didokumentasikan
menggunakan kamera digital.
Sekuensing DNA
Hasil PCR yang telah diamplifikasi positif kemudian akan disekuensing
untuk mendapatkan urutan pasang basa sekuen. Sekuensing dilakukan dengan
mengirim produk PCR ke lembaga Berkeley Sequencing Facility USA dengan
menggunakan metode Sanger et al. (1977) untuk mendapatkan urutan pasang basa
sekuen nukleotida.
Analisis Data
Distribusi Frekuensi Panjang
Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis frekuensi
panjang. Distribusi frekuensi panjang dikelompokkan ke dalam beberapa
kelompok panjang yang diasumsikan menyebar normal. Distribusi frekuensi
panjang didapatkan dengan menentukkan selang kelas, nilai tengah kelas, dan
frekuensi dalam setiap kelompok panjang.
Perbandingan Panjang-Berat
Hubungan panjang-berat adalah pendekatan yang paling banyak digunakan
untuk memperkirakan biomassa invertebrata bentik, analisis ini dapat menduga
ada tidaknya perbedaan ukuran akibat perbedaan kondisi lingkungan (Schefler
1987; Benke et al. 1999). Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah
panjang total dan berat total, dan untuk mengetahui hubungan panjang-berat T.
sparverius dan T. bruneus digunakan analisis dengan menggunakan uji regresi
linear yang diproses dalam software Microsoft Excel 2010 yang mengacu rumus
sebagai berikut (Efendie 1979):
W = aLb
Keterangan :
W

= Berat tubuh (gram)

7

L
a dan b

= Panjang tubuh (mm).
= konstanta

Persamaan tersebut dapat dirubah dalam bentuk linear, yaitu sebagai berikut:
Log y = a log x + log b
Log b =
Keterangan :
Log b =
Nilai b = 3 menggambarkan pertumbuhan isometrik atau pertambahan
panjang seimbang dengan pertambahan bobotnya. Nilai b ≠ menggambarkan
pertumbuhan allometrik. Jika b kurang dari 3 menunjukkan keadaan yang kurus
dimana pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobotnya.
Jika b lebih dari 3 menunjukkan pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan
degan pertambahan panjangnya (Effendie 1979).
Identifikasi Spesies, Jarak Genetik dan Rekonstruksi Pohon Filogenetik
Hasil sekuensing yang didapatkan kemudian akan dianalisis. Beberapa
analisis yang dilakukan adalah identifikasi, keragaman genetik, struktur populasi
dan konektivitas genetik antar populasi. Komposisi jumlah individu yang berhasil
teramplifikasi pada tiap lokasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Total jumlah individu T. sparverius dan T. bruneus yang teramplifikasi
positif
Spesies

Lokasi

Waktu koleksi

Jumlah sampel

Turbo sparverius
Turbo sparverius
Turbo sparverius
Turbo bruneus
Turbo bruneus

Manokwari
Sorong
Teluk wondama
Manokwari
Raja Ampat

2014
2014
2015
2014
2014

20
3
15
18
17

Hasil sekuensing yang didapat kemudian diedit dan diurutkan dengan
menggunakan model ClustalW (1.6) (Tamura et al. 2013) pada program MEGA 6
(Moleculer Evolutionary Genetic Analysis). Data hasil sekuen nukleotida yang
telah diedit kemudian dicocokkan dengan data yang tersedia pada GeneBank di
NCBI (National Center for Biotechnology Information) dengan menggunakan
BLAST (Basic Local Alignment Search Tool). Dilanjutkan dengan menghitung
jarak genetik (D) dalam dan antar populasi dan juga merekonstruksi pohon
filogenetik dengan menggunakan aplikasi Mega 6 (Tamura et al. 2013).
Rekonstruksi pohon filogenetik T. sparverius dan T. bruneus menggunakan
metode Neighbour-Joining (NJ) dengan model Kimura 2-parameter, nilai
bootstrap 1000x.
Analisis Keragaman Genetik dan Struktur Populasi
Analisis keragaman genetik dan struktur populasi dilakukan berdasarkan
keterwakilan spesies yang dapat mereprentasikan ukuran populasi pada keempat

8

lokasi. Analisis ini menggunakan aplikasi DnaSP 5.10 (Rozaz et al. 2003) sebagai
dasar pengukuran tingkat keragaman genetik pada data sekuen contoh region dan
analisis struktur populasi menggunakan aplikasi Arlequin 3.5 (Excoffer & Lischer
2009). Deskripsi analisis statistik adalah dengan menghitung keragaman haplotipe
(Hd) dan keragaman nukleotida ) (Nei 1987). Analisis perbedaan level jarak
antar populasi dilakukan dengan menggunakan Fixation Index (Fst) (Excoffier et
al.1992) dengan menggunakan aplikasi Arlequin 3.5 (Excoffer & Lischer 2009).
Analisis Konektivitas Antar Populasi
Konektivitas genetik yang terjadi antara masing-masing populasi dianalisis
menggunakan software Network 4.6.1 (http://www.fluxusengineering.com).
Analisis konektivitas genetik dilakukan untuk melihat sebaran haplotipe T.
sparverius dan T. bruneus pada tiap populasi. Jumlah sampel yang digunakan
dalam analisis ini adalah 38 sampel T. sparverius dari populasi Manokwari, Teluk
Wondama dan Sorong. Jumlah sampel T. bruneus sebanyak 35 sampel dari
populasi Manokwari dan Raja Ampat.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Distribusi Frekuensi Panjang

Frekuensi

Pengukuran secara keseluruhan T. sparverius dikelompokkan kedalam 8
kelas ukuran panjang, sedangkan T. bruneus terdiri dari 7 kelas ukuran panjang.
Ukuran cangkang terpanjang pada T. sparverius yaitu 66.19 dengan frekuensi
tertinggi diperoleh pada kisaran ukuran 52.75 - 57.80 berasal dari populasi
Manokwari sebanyak 16 individu. Ukuran cangkang terkecil T. sparverius yaitu
27.45 dengan frekuensi terendah pada kelas ukuran 27.55 - 32.50 dan 32.51 37.56 tersebar pada populasi Manokwari, Sorong dan Teluk Wondama. Grafik
distribusi frekuensi panjang cangkang T. sparverius terlihat pada Gambar 3.
30
25
20
15
10
5
0

Panjang Cangkang (mm)

Gambar 3 Grafik distribusi frekuensi panjang cangkang T. sparverius
Ukuran cangkang terpanjang pada T. bruneus yaitu 58.53 dengan frekuensi
tertinggi diperoleh pada kisaran ukuran 39.75 - 46.04 berasal dari populasi Raja
Ampat sebanyak 18 individu. Ukuran terkecil T. bruneus yaitu 14.55 dengan
frekuensi terendah pada kelas ukuran 14.55 - 20.84 sebanyak 2 individu berasal

9

populasi Manokwari. Grafik ukuran frekuensi panjang T. bruneus terlihat pada
Gambar 4.

Frekuensi

25
20
15
10
5
0

Panjang cangkang (mm)

Gambar 4 Grafik distribusi frekuensi panjang cangkang T. bruneus
Grafik distribusi frekuensi panjang menunjukan bahwa T. sparverius
memiliki jumlah kelas ukuran lebih banyak dan ukuran cangkang lebih panjang
dari T. bruneus. Cangkang gastropoda T. sparverius seringkali digunakan sebagai
tempat hidup bagi organisme seperti kelomang dan kepiting dengan panjang
aperture dapat mencapai 6 - 7.5 cm (Rotjan et al. 2010). Ukuran cangkang T.
bruneus dapat berkisar antara 31.9 – 35.1 mm (Tan 2009). Ramesh et al. (2010)
mengemukakan bahwa panjang cangkang T. bruneus dapat mencapai 53 mm.
Perbedaan ukuran cangkang gastropoda pada tiap lokasi dapat berbeda
diakibatkan faktor habitat. Kondisi habitat yang berubah dapat mempengaruhi
ukuran cangkang dan kepadatan T. bruneus (Tan 2009),
T. sparverius dan T. bruneus yang ditemukan pada tiap lokasi penelitian
memiliki jumlah dan pola distribusi yang bervariasi, ada lokasi yang hanya
ditemukan T. sparverius atau T. bruneus saja tetapi ada lokasi yang ditemukan
kedua spesies tersebut. Kondisi mikrohabitat dapat menjadi faktor penyebab
terjadinya pola distribusi spasial organisme (Crowe 1996). Pada umumnya T.
sparverius dan T. bruneus hidup pada intertidal berbatu dan merupakan jenis
gastropoda herbivora pemakan alga, yang keberadaannya dipengaruhi oleh
ketersediaan makanan dan juga tekanan predator (Kikutani et al. 2002). T.
bruneus ditemukan pada daerah intertidal berbatu di Kampung Arevi Raja Ampat
dan Nuni Manokwari. Jumlah T. sparverius paling banyak ditemukan pada daerah
intertidal berbatu di Nuni Manokwari, sedangkan jumlah paling sedikit ditemukan
di Tanjung Kasuari Kabupaten Sorong. Hal ini diduga karena Tanjung Kasuari
merupakan lokasi wisata dan juga lokasi tersebut berdekatan dengan lokasi
pemukiman sehingga memudahkan masyarakat sekitar untuk mengambil T.
sparverius untuk dikonsumsi, selain itu waktu pengambilan sampel pada siang
hari diduga turut berpengaruh terhadap jumlah sampel yang didapat. Hal ini
terjadi karena gastropoda seperti Turbo sp. merupakan organisme nokturnal yang
aktif pada malam hari (Yamaguchi 1993; Dwiono et al. 2001). Gastropoda jenis
Scissurellid melakukan migrasi pada malam hari termasuk akivitas makan
(Hickman & Porter 2007), gastropoda Melibe leonine memiliki pola aktivitas pada
malam hari dan cahaya merupakan faktor pembatas pergerakannya (Newcomb et
al. 2004).

10

Hubungan Panjang-Berat
Hubungan panjang-berat merupakan faktor-faktor yang digunakan dalam
penelitian biologi perikanan dalam menggambarkan perubahan ukuran individu,
menunjukkan pola pertumbuhan dari suatu organisme dan untuk mendapatkan
indeks kondisi fisik populasi dan mengevaluasi kualitas habitat (Gayon 2000;
Albuquerque et al. 2009). Hasil analisis pola pertumbuhan T. sparverius dan T.
bruneus dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil perhitungan hubungan panjang-berat T. sparverius dan T. bruneus
dengan jumlah sampel (n), Nilai Konstanta (a), Nilai Indeks
Pertumbuhan (b), Nilai Korelasi (r), dan Nilai Determinasi (R2)
Pola
2
Jenis
Lokasi
n
a
b
r
R
pertumbuha
n
Sorong
3
0.00017 3.091 0.998 0.996 Allometrik
positif
Manokwari
72
0.00104 2.654 0.921 0.847 Allometrik
negatif
Turbo
Teluk
30
0.01678 1.939 0.744 0.553 Allometrik
sparverius
Wondama
negatif
Allometrik
Total
105
0.00220 2.467 0.894 0.799
Negatif
Raja ampat
52
0.00054 2.802 0.992 0.983 Allometrik
negatif
Manokwari
22
0.05004
1.548
0.857
0.734
Allometrik
Turbo
negatif
bruneus
Allometrik
Total
74
0.00346 2.295 0.934 0.872
negatif
Hasil perhitungan panjang berat T. sparverius diperoleh persaman W =
0.001L2.654 dengan nilai R² = 0.847 (Manokwari), W = 0.017L1.939 dengan nilai
R2 = 0.553 (Teluk Wondama), dan W = 0.00017L3.091 dengan R2 = 0.996 (Sorong).
Hasil analisis korelasi panjang dan berat total T. sparverius yang diperoleh
menunjukkan hubungan linier dengan persamaan garis Y = 2.4672x-2.6569
dengan nilai R² = 0.799. Grafik regresi linear terhadap panjang dan berat total T.
sparverius dan T. bruneus disajikan pada Gambar 5.
Berdasarkan nilai R² yang diperoleh menunjukkan bahwa kontribusi
panjang cangkang terhadap berat adalah 84.7% (Manokwari), 55.3% (Wondama),
99.6% (Sorong) dan 79.9% (Total). Hubungan ini menunjukkan bahwa bobot
tubuh dapat digunakan untuk menduga ukuran panjang cangkang. Nilai b yang
diperoleh adalah lebih kecil dari 3, yang mengindikasikan bahwa pola
pertumbuhan relatif T. sparverius adalah allometrik negatif yang dapat diartikan
bahwa penambahan berat lebih lambat dari pada panjang. T. sparverius asal
Sorong memiliki nilai b > 3 (allometrik positif) yang berarti penambahan berat
lebih cepat dari pada panjang. Pola pertumbuhan relatif T. sparverius dari
populasi Sorong adalah allometrik positif, hal ini diduga berhubungan dengan
jumlah sampel yang diperoleh yaitu 3 individu.

11

Gambar 5 Analisis regresi linier terhadap panjang total dan berat total dari 105
individu T. sparverius (A) dan dari 74 individu T. bruneus (B)
Jumlah individu T. bruneus yang terambil adalah 52 individu (Raja Ampat)
dan 22 individu (Manokwari). Hasil perhitungan panjang berat T. bruneus
diperoleh persaman W = 0.00054L2.802 dengan nilai R² = 0.983 (Raja Ampat), W
= 0.05004L1.548 dengan nilai R2 = 0.734 (Manokwari). Hasil analisis korelasi
panjang dan berat total T. sparverius yang diperoleh menunjukkan hubungan
linier dengan persamaan garis y = 2.2954x-2.4604 dengan nilai R² = 0.8724.
Berdasarkan nilai R² yang diperoleh menunjukkan bahwa kontribusi
panjang cangkang terhadap berat adalah 98.30% (Raja Ampat), 73.4%
(Manokwari) dan 87.2% (Total). Hubungan ini juga menunjukkan bahwa bobot
tubuh dapat digunakan untuk menduga ukuran panjang cangkang. Nilai b yang
diperoleh adalah lebih kecil dari 3, yang mengindikasikan bahwa pola
pertumbuhan relatif T. bruneus adalah allometrik negatif yang dapat diartikan
bahwa penambahan berat lebih lambat dari pada panjang.
Hasil penelitian Ramesh et al. (2009) menunjukan pola pertumbuhan T.
bruneus adalah allometrik negatif. Pola pertumbuhan allometri negatif juga
didapat pada beberapa jenis gastropoda seperti Lambis-lambis (Jaykhumar et al.
2011), Achatina fulica (Albuquerque et al. 2009), Litorina sp. (McKinney et al.
2004), Tympanotonus fuscatus (Udo 2013). Berbagai faktor yang berpengaruh
terhadap perubahan morfometrik moluska adalah variasi pasang surut, availability
makanan, perubahan musim dan pematangan seksual (Ramesh et al. 2009).
Rekonstruksi Filogenetik
Sekuensing DNA merupakan cara potensial untuk mengatasi hambatan
dalam masalah taksonomi (Hendrich et al. 2010) dan membantu dalam melihat
hubungan antara taksa yang berbeda (Grande et al. 2004). Rekonstruksi pohon
filogenetik dari keempat populasi dengan metode Neighbour-Joining (NJ) dengan
model Kimura 2-parameter, nilai bootstrap 1000x, selain itu diambil juga sekuen
T. sparverius, T. bruneus dan sebagai out grup adalah T. setosus dari GenBank.

12

Gambar 6 Rekonstruksi pohon filogenetik T. sparverius dan T. bruneus
menggunakan metode Neighbour-Joining (NJ) dengan model
Kimura 2-parameter, nilai bootstrap 1000x
Rekonstruksi pohon filogenetik yang terbentuk terbagi atas 2 clade besar
yaitu clade 1 adalah T. bruneus dan clade 2 adalah T. sparverius. Pohon
filogenetik T. bruneus dengan nilai bootstrap 99 menunjukkan T. bruneus terbagi
atas 2 clade yaitu clade 1 terdiri dari T. bruneus asal Papua Barat sedangkan clade
kedua adalah T. bruneus asal Malaysia. Pohon filogenetik T. sparverius terbagi
atas 2 clade yaitu clade T. sparverius asal Papua Barat dan clade T. sparverius
asal Taiwan dengan nilai bootstrap 99.
Secara keseluruhan hasil analisis filogenetik memperlihatkan terjadinya
percampuran antar individu dari seluruh populasi di Papua Barat baik populasi T.
sparverius maupun populasi T. bruneus (Gambar 6). Hal ini juga didukung oleh
nilai jarak genetik antar populasi (Tabel 4) dan nilai Fst yang rendah (Tabel 5).
Jarak genetik antar individu pada spesies T. sparverius berkisar 0.0 – 0.6%,
sedangkan jarak genetik antar individu pada spesies T. bruneus berkisar 0.0 1.1%, sedangkan jarak genetik antar kedua spesies tersebut sebesar 10.6%. Jarak
genetik antar individu dalam satu spesies kurang dari 2%, sedangkan jarak genetik
antara spesies berkisar antara 7 - 12% (Jusmaldi et al. 2014.). Sementara itu,

13

Brown et al. (1982) mengemukakan jarak genetik antara spesies yag berbeda
berkisar 9 - 19%.
Jarak antar lokasi dan faktor oseanografi diduga mempengaruhi jarak
genetik antar lokasi baik Papua Barat, Malaysia dan Taiwan. Karakteristik sejarah
hidup dan aliran gen suatu organisme sangat berpengaruh dalam membentuk
struktur genetik populasi suatu spesies (Storfer 1999; Hoffman et al. 2010).
Faktor habitat juga diduga berpengaruh terhadap perbedaan genetik antar populasi
papua barat dan populasi lainnya. Perbedaan kondisi lingkungan dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan karakter morfologi, anatomi dan filogenetik
dari suatu populasi (Twindiko et al. 2013).
Keragaman Genetik
Hasil analisis panjang fragmen DNA dari semua sampel T. sparverius dan
T. bruneus diperoleh panjang fragmen 656 bp pada lokus Cytocrom Oksidase I
(COI) dengan kemiripan sebesar 98 - 99% (Lampiran 5), ukuran panjang basa
tersebut juga ditemukan pada jenis - jenis gatropoda Turbinidae (Williams 2007).
Komposisi nukleotida yang banyak ditemukan pada fragmen Gen COI T.
sparverius adalah adalah nukleotida T (Timin) sebesar 39.9% dan terendah
nukleotida C (Cytosine) sebesar 16.1%. Nukleotida terbanyak yang ditemukan
pada fragmen COI T. bruneus adalah T sebesar 40.4% dan terendah adalah C
sebesar 15.6%. Kandungan G+C dari seluruh sampel T. sparverius dan T. bruneus
memiliki jumlah rata-rata 36.8% dan 35.3%. Jumlah ini lebih rendah jika
dibandingkan dengan kandungan A+T yang memiliki jumlah rata-rata 63.2 % dan
64.7%. Rendahnya kandungan G+C ini memudahkan kita dalam proses
amplifikasi (Mamedov et al. 2008).
Terdapat beberapa perbedaan nukleotida (polimorfisme) dalam fragmen
DNA T. sparverius dan T. bruenus yang diakibatkan adanya mutasi titik
(Lampiran 6), disebut mutasi titik dikarenakan setiap mutasi hanya terjadi pada
satu nukleotida (Xiao et al. 2007). Subtitusi transisi merupakan subtitusi antara
basa A dan G (Purin) atau C dan T (Pyrimidin), sedangkan mutasi transversi
terjadi ketika suatu nukleotida kelompok purin termutasi menjadi nukleotida
kelompok pirimidin atau sebaliknya (Graur 2003). Jumlah mutasi pada T.
sparverius sebanyak 5 titik mutasi dan jenis mutasi yang terjadi adalah transisi,
sedangkan jumlah mutasi yang terjadi pada T. bruneus sebanyak 15 titik mutasi
dengan komposisi 14 jenis mutasi adalah transisi dan 1 jenis mutasi tranversi.
Subtitusi transisi lebih sering terjadi daripada subtitusi transversi (Santos et al.
2003) dan tingkat transisi antara Pirimidin (C dan T) yang lebih tinggi daripada
antar Purin (A dan G) (Castro et al. 1998).
Jumlah total haplotipe yang didapatkan adalah 7 haplotipe (T. sparverius)
dan 13 haplotipe (T. bruneus) (Tabel 3). T. sparverius asal populasi Manokwari
menghasilkan 6 haplotipe dari 20 sampel yang teramplifikasi diikuti populasi
Teluk Wondama 4 haplotipe dari 15 sampel dan populasi Sorong sebanyak 2
haplotipe dari 3 sampel yang teramplifikasi. T. bruneus asal Raja Ampat
menghasilkan 8 haplotipe dari 17 sampel yang teramplifikasi sedangkan T.
bruneus asal Manokwari sebesar 6 haplotipe dari 18 sampel yang berhasil
teramplifikasi.

14

Tabel 3 Keragaman genetik dari spesies T. sparverius dan T. bruneus yang dilihat
dari jumlah haplotipe (Hn), keragaman haplotipe (Hd), keragaman
nukleotida ( ), dengan jumlah sampel (n) dan total polimorfisme genetik
dari setiap populasi
Keragaman Genetik
Spesies
Populasi
n
Hn
Hd
Manokwari
20
6
0.657
0.0018
Teluk Wondama
15
4
0.705
0.0021
T. sparverius
Sorong
3
2
0.667
0.0021
Total
38
7
0.691
0.0020
Raja ampat
17
8
0.816
0.0027
T. bruneus
Manokwari
18
6
0.739
0.0037
Total
35
13
0.785
0.0032
Keragaman haplotipe (Hd) pada tiap populasi menunjukkan tingkat
keragaman haplotipe yang relatif tinggi dengan kisaran 0.657 - 0.816. Keragaman
T. sparverius terendah pada populasi Manokwari sebesar 0.657 sedangkan
tertinggi berasal dari populasi Teluk Wondama sebesar 0.705. Keragaman
terendah T. bruneus berasal dari populasi Manokwari sebesar 0.739 dan tertinggi
adalah populasi Raja Ampat sebesar 0.816. Keragaman nukleotida (
T.
sparverius berkisar antara 0.0018 - 0.0021 dengan nilai terendah pada populasi
Manokwari dan tertinggi pada populasi Teluk Wondama dan Sorong. Keragaman
nukleotida ( T. bruneus berkisar 0.0027 – 0.0037 dengan nilai terendah pada
populasi Raja Ampat dan tertinggi berasal dari populasi Manokwari. Hasil
penelitian ini menemukan bahwa keragaman nukleotida T. sparverius dan T.
bruneus lebih rendah daripada spesies gastropoda laut lainnya seperti Lunnela
gradulata
= 0.0046). Keragaman genetik dapat ditentukan oleh 2 faktor yaitu
eksploitasi yang berlebihan dan kondisi habitat (Chiu et al. 2013). T. sparverius
dan T. bruneus banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, baik dikonsumsi
maupun untuk kerajinan tangan. Tingkat ekspoitasi yang tinggi tersebut dapat
menurunkan tingkat keanekaragaman genetik spesies tersebut.

Struktur Populasi
Jarak genetik dalam populasi T. sparverius di Manokwari, Teluk Wondama
dan Sorong seluruhnya sebesar 0.002, juga hasil analisis jarak genetik antar ketiga
populasi sebesar 0.002 (Tabel 4). Hasil analisis jarak genetik T. bruneus dalam
populasi Manokwari 0.004 dan Raja Ampat 0.003, sedangkan jarak genetik antar
kedua populasi sebesar 0.003 (Tabel 4). Hasil analisis jarak genetik menunjukkan
bahwa seluruh populasi T. sparverius dan T. bruneus memiliki hubungan genetik
yang sangat dekat. Hal ini dapat terjadi karena adanya arah arus dan kondisi arus
yang menjadi media transport gen antar populasi kedua spesies tersebut. Jarak
genetik yang dekat dapat terjadi karena adanya arus, kemampuan penyebaran
larva tinggi dan ketersediaan habitat yang mendukung (Lin & Liu 2008). Daerah
pesisir utara Papua dilalui oleh arus New Guinea Coastal Current (Kashino et al.
2007), hal ini dapat berpengaruh terhadap keragaman genetik suatu organisme laut

15

di daerah tersebut karena penyebaran tahap planktonik dan sirkulasi arus laut
sangat penting dalam proses pertukaran genetik di antara populasi (Chiu et al.
2013).
Tabel 4 Analisis jarak genetik (D) dalam dan antar populasi T. sparverius dan T.
bruneus
Jarak
Teluk
Spesies
Lokasi
Manokwari
Sorong
Genetik
Wondama
Dalam
Manokwari
0.002
populasi Teluk wondama
0.002
T.
Sorong
0.002
sparverius
Antar
Manokwari
populasi Teluk Wondama
0.002
Sorong
0.002
0.002
Jarak
Raja
Spesies
Lokasi
Manokwari
Genetik
Ampat
Dalam
Manokwari
0.004
populasi
Raja Ampat
0.003
T. bruneus
Antar
Manokwari
populasi
Raja Ampat
0.003
Tabel 5 Analisis uji jarak berpasangan (Fst) pada populasi T. sparverius dan T.
bruneus
Spesies
Populasi
Manokwari
Teluk wondama
Sorong
Manokwari
T. sparverius Teluk Wondama
-0.037
Sorong
0.201
0.146
Raja ampat
Manokwari
T. bruneus
Raja ampat
Manokwari
0.031
Hasil analisis Fst menunjukkan nilai yang rendah dengan kisaran nilai Fst = 0.037 - 0.201 (Tabel 5), dan juga hasil analisis AMOVA dengan nilai P-value T.
sparverius dan T. bruneus adalah 0.23 dan 0.17 yang berarti nilai P-value >0.005
artinya tidak berbeda signifikan antar populasi. Hal ini menunjukkan bahwa
populasi – populasi tersebut memiliki kedekatan secara genetik. Echinolittorina
ziczac dengan beberapa populasi di kepulauan Bahamas dan sekitarnya terlihat
bahwa populasi yang letaknya berdekatan cenderung memiliki nilai Fst yang
rendah (Fst = -0.007), sedangkan semakin jauh jarak antar populasi nilai Fst
cenderung lebih tinggi (Fst = 0.04) (Diaz-Ferguzon et al. 2011). Nilai Fst dengan
hasil yang relatif sama dengan Echinolittorina ziczac adalah Cittarium pica
dengan nilai Fst = -0.07, semakin jauh jarak populasi nilai Fst semakin besar (Fst
= 0.106) (Diaz-Ferguzon et al. 2010). Heterogenitas genetik semakin meningkat
dengan meningkatnya jarak antara populasi (Wolf et al. 2000). Coralliophila
violacea memiliki nilai rata-rata Fst rendah (Fst = 0.078), hal ini diduga karena
kemampuan penyebaran larva dan pola sirkulasi arus laut (Lin & Liu 2008).

16

Aliran gen berhubungan dengan isolasi geografis yang dipengaruhi oleh
jarak geografis dan kompleksitas keanekaragaman lingkungan (Arnaud et al.
1999). Kedekatan secara genetik ini juga dapat terjadi karena semua populasi
memiliki jarak lokasi yang cukup dekat juga didukung dengan adanya arus New
Guinea Coastal Current (NGCC) yang melewati daerah utara Papua yang dapat
menjadi media tansport larva T. sparverius dan T. bruneus. Kesamaan secara
genetik juga dapat diakibatkan karena kesamaan habitat pada tiap populasi,
gastropoda yang berasal dari kondisi habitat yang berbeda dapat memiliki
morfologi dan genetik yang berbeda pula (Urra et al. 2003).
Konektivitas Populasi
Hubungan (network) antar haplotipe T. sparverius yang didapatkan dari 3
populasi (Gambar 7) terlihat bahwa populasi Manokwari memiliki jumlah
haplotipe tertinggi dari populasi Teluk Wondama dan Sorong. Terdapat haplotipe
yang sama yang terdapat diantara populasi-populasi terbebut yaitu H 1, H2, H3
dan H6, sedangkan H5, H4, dan H7 merupakan haplotipe yang hanya terdapat
pada Teluk Wondama maupun Manokwari. Jaringan haplotipe T. bruneus dari
populasi Raja Ampat dan Manokwari (Gambar 7) terlihat bahwa populasi Raja
Ampat memiliki jumlah haplotipe tertinggi dan hanya haplotipe 1 yang terdapat
pada kedua populasi.
Terjadinya percampuran haplotipe dapat diakibatkan karena larva dispersal
yang terbawa oleh arus laut. Arus New Guinea Coastal Curret (NGCC) (Gambar
8) mengalir sepanjang pesisir utara Papua yang merupakan arus permukaan yang
disebabkan oleh pengaruh musim (Kuroda 2000). Wyrtki (1961) menyatakan
bahwa pola sirkulasi di perairan utara Papua memiliki variabilitas musiman yang
kuat yang mengalir terus sepanjang tahun. Keadaan tersebut sangat berpengaruh
terhadap penyebaran organisme laut diwilayah pesisir utara Papua. Organisme
bentik dengan siklus hidup yang kompleks, pertukaran individu yang
menyebabkan konektivitas antar populasi terjadi terutama selama tahap larva
pelagis (Cowen & Sponaugle 2009).
Turbo sp. mengalami fase larva dalam siklus hidupnya, waktu yang
dibutuhkan T. marmoratus dari fase telur sampai setle di dasar perairan adalah 4
hari (Yamaguchi 1993). Waktu yang dibutuhkan T. marmoratus dari fase telur
sampai menjadi organisme bentik adalah 60 jam (Dwiyono et al. 2001). Waktu
yang relatif lama tersebut memberikan peluang bagi organisme Turbo sp. untuk
terdistribusi ke daerah lain melalui arus New Guinea Coastal Current (NGCC)
(Kashino et al. 2007; Kashino et al. 2013).

17

Gambar 7 Jaringan haplotipe dari T. sparverius (atas) dan T. bruneus (bawah) dari
lokasi yang berbeda di Papua Barat. Setiap haplotipe diwakili oleh
lingkaran, sedangkan ukuran lingkaran menunjukkan frekuensi
haplotipe.
Hasil analisis jarak genetik (D) dan analisis Fst menunjukkan bahwa semua
populasi T. sparverius dan T. bruneus memiliki kedekatan secara genetik. hal ini
diduga karena jarak antar populasi yang relatif dekat berkisar antara 63 – 415 km
dan juga karena kondisi geografis yang relatif terbuka. Faktor potensial yang
berperan dalam penyebaran organisme adalah kondisi arus dan lamanya larva di
laut. Gaimardia trapesina jarak penyebarannya dapat mencapai jarak