Kalpataru (Ficus Religiosa) Sebagai Tanaman Hutan Kota Berkhasiat: Kandungan Fitokimia

KALPATARU (Ficus religiosa) SEBAGAI TANAMAN HUTAN KOTA
BERKHASIAT : KANDUNGAN FITOKIMIA

NURJAYA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kalpataru (Ficus
religiosa) sebagai Tanaman Hutan Kota yang Berkhasiat : Kandungan Fitokimia
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015
Nurjaya
NIM E34110016

ABSTRAK
NURJAYA. Kalpataru (Ficus religiosa) sebagai Tanaman Hutan Kota Berkhasiat:
Kandungan Fitokimia. Dibimbing oleh ENDES NURFILMARASA DAHLAN
dan IRMANIDA BATUBARA.
Kalpataru (Ficus religiosa) merupakan jenis tanaman yang dianggap sakral
oleh masyarakat Hindu dan Budha, karena pohon ini memiliki banyak manfaat
baik secara ekologis maupun medis. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi
senyawa fitokimia meliputi alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid, dan
triterpenoid dari daun, tangkai daun, kayu, dan kulit kayu kalpataru sebagai upaya
pertimbangan pemilihan jenis tanaman pengisi hutan kota yang berkhasiat obat.
Identifikasi senyawa fitokimia dilakukan dengan metode Harborne. Senyawa
fitokimia yang terdapat pada kalpataru yaitu flavonoid, saponin, tanin, steroid dan
triterpenoid. Kadar flavonoid dan tanin paling tinggi ditemukan pada daun, yaitu
sebesar 20.34% dan 1.83%, sedangkan kadar saponin paling tinggi terdapat pada

kulit kayu, yaitu sebesar 1.00%. Potensi obat yang tinggi pada kalpataru dapat
dijadikan rekomendasi sebagai tanaman pengisi hutan kota yang memiliki khasiat
obat.
Kata kunci: fitokimia, hutan, kalpataru, kota, obat

ABSTRACT
NURJAYA. Kalpataru (Ficus religiosa) as urban forest tree which is potential:
phytochemical compounds. Supervised by ENDES NURFILMARASA DAHLAN
and IRMANIDA BATUBARA.
Kalpataru (Ficus religiosa) is a tree that considered sacred by Hindus and
Buddists, since has many benefits both ecologically and medically. The purpose
of this research is to identify phytocemical compounds include alkaloid, flavonoid,
saponin, tannin, steroid and triterpenoid from leaves, petioles, wood, and bark of
kalpataru as urban forest tree which is potential of herbal medicine. Identification
of phytochemical compounds was conducted by Harbone method. Phytochemical
compounds contained in the kalpataru where flavonoid, saponin, tannin, steroid
and triterpenoid. Flavonoid and tannin content was highest in the leaves, ie 20.34%
and 1.83%, while saponin content was highest found in the bark, ie 1.00%.
Kalpataru can be recommended as urban forest tree which have medicinal
properties.

Keywords: forest, kalpataru, medicine, phytochemical, urban

KALPATARU (Ficus religiosa) SEBAGAI TANAMAN HUTAN KOTA
BERKHASIAT : KANDUNGAN FITOKIMIA

NURJAYA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Kalpataru (Ficus religiosa) sebagai Tanaman Hutan Kota

Berkhasiat : Kandungan Fitokimia
Nama
: Nurjaya
NIM
: E34110016

Disetujui oleh

Dr Ir Endes N Dahlan, MS
Pembimbing I

Dr Irmanida Batubara, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2015 ini ialah
tumbuhan obat, dengan judul Kalpataru (Ficus religiosa) sebagai Tanaman Hutan
Kota Berkhasiat : Kandungan Fitokimia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Endes N Dahlan, MS.
dan Ibu Dr Irmanida Batubara, MSi. selaku pembimbing, yang telah banyak
memberikan dorongan, semangat, saran, nasihat dan bimbingan selama penelitian
dan penulisan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada segenap laboran di
Laboratorium Konservasi Tumbuhan Obat Fahutan IPB, Laboratorium Pusat
Studi Biofarmaka IPB, Laboratorium Pusat Antar Universitas Departemen Ilmu
dan Teknologi Pangan Fateta IPB, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika
(Balittro), dan Kebun Raya Bogor yang telah banyak membantu dalam kegiatan
penelitian, dan tidak ketinggalan ucapan terimakasih juga disampaikan kepada
Nuraini Anissa Muslim, S.Hut serta teman-teman KSHE 48 khususnya Winda
Agustiani, Emma Rachmawati, Army Selvilia, Hafizah Nahlunnissa, Tri Susanti,

Siti Nariah, Armin Agung, Ilham Ananda dan Ramadhan Alkarim yang telah
membantu dalam proses penelitian.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, namun penulis
berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Bogor, Agustus 2015
Nurjaya

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

METODE

2


Lokasi dan Waktu

2

Alat dan Bahan

2

Jenis Data

2

Prosedur Penelitian

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

6


Kalpataru

6

Kadar Air

7

Senyawa Fitokimia

8

Rendemen Ekstrak

10

Kadar Total Flavonoid

11


Kadar Total Saponin

12

Kadar Total Tanin

13

Kadar Total Steroid dan Triterpenoid

14

Rekomendasi Kalpataru sebagai Jenis Tanaman Hutan Kota

14

SIMPULAN DAN SARAN

17


Simpulan

17

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

20

DAFTAR TABEL
1 Senyawa fitokimia daun, tangkai, kayu dan kulit kayu Ficus religiosa
dan Hura crepitans
2 Kadar total flavonoid, saponin dan tanin dari daun, tangkai, kayu dan
kulit kayu kalpataru (Ficus religiosa)

9
16

DAFTAR GAMBAR
1 Kalpataru (Ficus religiosa)
2 Presentase kadar air bagian tanaman
3 Rendemen bagian-bagian tanaman Ficus religiosa dengan pelarut
etanol 96%
4 Kadar total flavonoid Ficus religiosa
5 Kadar total saponin Ficus religiosa
6 Kadar total tanin Ficus religiosa

7
8
10
11
12
13

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Diagram alir penelitian
Penghitungan kadar air simplisia
Dokumentasi penelitian
Penghitungan rendemen ekstrak
Penghitungan kadar total flavonoid
Penghitungan kadar total tanin

20
21
21
24
25
26

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dahlan (2013) menyatakan kesadaran akan perlunya pengelolaan
lingkungan perkotaan agar tercipta lingkungan yang aman, nyaman, sejuk, estetis
dan bermanfaat bagi manusia sesungguhnya sudah sejak lama ada. Salah satunya
melalui pembangunan hutan kota untuk mengatasi permasalahan yang ada di
lingkungan perkotaan, seperti peningkatan suhu udara, pencemaran, peredam
kebisingan, penahan angin, pengatur tata air dan habitat satwa serta kegunaan
khusus lainnya, misalnya sebagai sumber tanaman obat. Guna mendapatkan
keberhasilan dalam pengelolaan lingkungan di perkotaan, jenis tanaman dalam
program pembangunan dan pengembangan hutan kota perlu dipertimbangkan agar
tujuan dalam mengatasi permasalahan lingkungan tercapai.
Keanekaragaman jenis tanaman yang dirancang ke arah terbentuknya
struktur ekologis yang berfungsi melestarikan lingkungan yang nyaman, sehat,
estetis, memenuhi kaidah lansekap di perkotaan dan bermanfaat bagi manusia
sangat diperlukan, namun pada umumnya pelaksanaan pembangunan dan
pengembangan hutan kota kurang memperhatikan keanekaragaman. Jenis
tanaman yang dipilih cenderung yang non produktif, memilih jenis tanaman
dengan alasan mudah diperoleh, murah harganya dan cepat tumbuh, sehingga
fungsi hutan kota untuk mengatasi permasalahan di perkotaan tidak tercapai
(Irwan 2012).
Kalpataru merupakan jenis tanaman yang dianggap sakral oleh masyarakat
Hindu dan Budha. Kalpataru dianggap sakral karena konon dulu merupakan
pohon yang dijadikan tempat meditasi Sidarta Gautama mendapatkan pencerahan
menjadi Budha, sehingga pada setiap Candi Budha wajib menanam pohon ini dan
pada setiap Candi Budha juga ditemukan relief/simbol pohon yang menyerupai
kalpataru. Hasil penelitian mengungkapkan pohon ini memiliki banyak manfaat
baik secara ekologis maupun medis seperti menyediakan pakan dan shelter bagi
satwa serta setiap bagian dari tanaman berkhasiat obat (Murty 2013).
Dalam bahasa Sansekerta, kalpataru berarti pohon kehidupan. Hal ini karena
pohon ini memiliki berbagai manfaat. Potensi yang dimiliki kalpataru dapat
dijadikan sebagai usaha pemilihan jenis tumbuhan hutan kota agar fungsi
majemuk hutan kota dapat tercapai, termasuk sebagai sumber obat herbal. Salah
satu cara untuk mengetahui khasiat obat dari kalpataru adalah dengan melakukan
uji fitokimia. Uji fitokimia bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis
senyawa bioaktif pada tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat. Sumber
menyebutkan bahwa kalpataru merupakan padanan dari pohon bodhi (Ficus
religiosa) (BLH 2013) dan huru (Hura crepitans) (Dephut 2013), namun dalam
penelitian ini uji fitokimia dilakukan pada pohon bodhi (Ficus religiosa).

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi senyawa fitokimia meliputi
alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid dan triterpenoid dari daun, tangkai

2
daun, kayu, dan kulit kayu kalpataru (Ficus religiosa) sebagai upaya
pertimbangan pemilihan jenis tanaman pengisi hutan kota yang berkhasiat obat.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam pembangunan dan
pengembangan hutan kota atau ruang terbuka hijau lainnya melalui pemilihan
jenis tanaman yang produktif dan berkhasiat obat. Hasil penelitian juga dapat
memberikan informasi mengenai kandungan senyawa kimia berkhasiat obat pada
kalpataru sebagai bahan obat herbal.

METODE

Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2015. Sampel
diperoleh dari Kebun Raya Bogor. Proses preparasi sampel dilakukan di
Laboratorium Konservasi Tanaman Obat Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata IPB. Ekstraksi dilakukan di Labotatorium Pusat Antar
Universitas (PAU) Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Uji fitokimia
dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, Kampus IPB, Taman
Kencana Bogor dan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika (Balittro),
Jalan Tentara Pelajar No. 3, Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu, Bogor.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan antara lain pisau, oven, blender, cawan porselen,
desikator, neraca, tabung reaksi, pipet tetes, pipet mohr, sudip, kertas saring,
kapas saring, gelas ukur, gelas piala, erlemmeyer, labu takar, corong, buret,
penangas air, water bath, alat refluks, rotary evaporator, spektrofotometer UVVIS, kamera, alat tulis, dan laptop. Sedangkan bahan yang digunakan adalah daun,
tangkai daun, kayu, dan kulit kayu kalpataru yang ditanam pada tahun 1943
(berumur 72 tahun); aquades; etanol 96%; serbuk Mg; amil alkohol; HCl; FeCl3;
NH3; NHCl3; H2SO4; pereaksi Dragendorff, Mayer dan Magner; dietil eter; asam
asetat anhidrat; HMT (heksametilentetraamin) 0.5%; HCl 25%; asam asetat
glasial 5% (dalam metanol); metanol; AlCl3 2% (dalam asam asetat glasial);
aseton; etil asetat; kuersetin; larutan KMnO4 0.2 N; indigokarmin; etanol absolut;
dan standar saponin 100 ppm.
Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh secara langsung melalui uji kadar air, uji
fitokimia kualitatif meliputi alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid dan

3
triterpenoid dan uji fitokimia kuantitatif meliputi flavonoid, saponin dan tanin
pada spesimen daun, tangkai daun, kulit kayu, dan kayu kalpataru. Data sekunder
diperoleh melalui studi literatur untuk mendukung data primer.

Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan meliputi beberapa tahapan (Lampiran 1). Tahapan
dimulai dengan preparasi sampel; penentuan kadar air; uji flavonoid, tanin,
alkaloid, saponin, steroid, dan triterpenoid; serta uji kadar total flavonoid, tanin,
dan saponin.
Preparasi sampel
Sampel uji (daun, tangkai daun, kayu, dan kulit kayu) kalpataru
dikumpulkan, dicuci dengan air mengalir, dan ditiriskan. Bahan kemudian
dirajang dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60o C selama 5 hari. Sampel uji
yang sudah kering kemudian digiling untuk dijadikan serbuk.
Penentuan kadar air (AOAC 2006)
Cawan porselen dikeringkan dalam oven 105° C selama 60 menit. Cawan
porselen diambil dari dalam oven setelah itu didinginkan dalam desikator selama
30 menit, kemudian cawan ditimbang. Sebanyak 3 gram serbuk sampel
dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan di dalam oven selama 3 jam pada
suhu 105o C. Cawan didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian
ditimbang sampai diperoleh bobot konstan. Penentuan kadar air dilakukan
sebanyak 2 kali ulangan. Persentase kadar air dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Bobot kering (%) =
Kadar air (%)

-

= 100% - Bobot kering

Keterangan:
a: berat cawan porselen setelah di oven dan dimasukan dalam
desikator
b: berat sampel dalam cawan porselen
c: berat cawan dan sampel yang telah dioven dan dimasukan dalam
desikator
Analisis fitokimia (Harborne 1987)
Uji alkaloid
Sebanyak 3 gram sampel ditambahkan 5 tetes NH3 dan 5 mL NHCl3,
kemudian dikocok homogen. Setelah itu disaring. Filtrat ditambahkan 3-5 tetes
H2SO4 2 M, kemudian dikocok homogen. Lapisan asam (bagian atas) dipipet
dalam tabung reaksi lain. Uji positif alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya
endapan jingga sampai merah cokelat setelah ditetesi pereaksi Dragendorff,
endapan putih setelah ditetesi pereaksi Meyer atau endapan cokelat muda hingga
kekuningan setelah ditetesi pereaksi Wagner.

4
Uji flavonoid
Sebanyak 3 gram sampel ditambahkan 20 mL akuades, kemudian
dipanaskan pada suhu 100o C selama 3-5 menit. Setelah dingin larutan kemudian
disaring. Filtrat ditambahkan 10 tetes etanol, 1 sudip serbuk Mg, 5 tetes amil
alkohol dan HCl pekat, kemudian dikocok homogen. Uji positif flavonoid
ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, kuning atau jingga.
Uji saponin
Sebanyak 3 gram sampel ditambahkan 20 mL akuades, kemudian
dipanaskan pada suhu 100o C selama 3-5 menit. Setelah dingin larutan kemudian
disaring. Fitrat kemudian dikocok dengan kuat. Uji positif saponin ditunjukkan
dengan terbentuknya busa yang stabil selama 30 detik.
Uji tanin
Sebanyak 3 gram sampel ditambahkan 20 mL akuades, kemudian
dipanaskan pada suhu 100o C selama 3-5 menit. Setelah dingin kemudian disaring.
Filtrat yang dihasilkan ditambahkan 5 tetes FeCl3. Apabila terbentuk warna hijau
kehitaman menandakan adanya tanin.
Uji steroid dan triterpenoid
Sebanyak 3 gram sampel ditambahkan 5 mL etanol, kemudian dipanaskan
selama 3-5 menit, didinginkan kemudian disaring. Filtrat dipanaskan kembali
hingga dihasilkan ekstrak. Ekstrak kemudian ditambahkan 1 mL dietil eter lalu
dikocok homogen. Larutan dituang ke dalam porselen lalu ditambahkan 3 tetes
asam sulfat. Uji positif steroid ditunjukkan jika terbentuk warna biru atau hijau.
Sedangkan uji positif triterpenoid ditunjukkan jika terbentuk warna ungu atau
jingga.
Kadar total flavonoid
Pembuatan ekstrak
Ekstrak dibuat dengan cara maserasi menggunakan etanol 96%. Sebanyak
25 gram serbuk sampel ditambahkan dengan etanol 96% sebanyak 250 ml
(perbandingan 1:10), kemudian dikocok menggunakan shaker dan didiamkan
selama 2x24 jam. Maserat dipisahkan dari ampas dan proses diulang 2 kali dengan
jenis dan pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan diuapkan dengan
vakum penguap hingga diperoleh ekstrak kental. Rendemen hasil ekstrak
diperoleh dari pehitungan sebagai berikut :

Analisis kadar flavonoid (Depkes RI 2000)
a. Larutan induk :
Sebanyak 0.2 gram ekstrak ditambahkan dengan 1 mL larutan HMT 0.5%, 2
mL HCl 25% dan 20 mL aseton. Campuran larutan direfluks selama 30 menit,
kemudian disaring menggunakan kertas saring. Filtrat dimasukkan ke dalam labu
ukur 100 mL. Residu direfluks kembali dengan 20 mL aseton selama 30 menit,
kemudian disaring. Filtrat dimasukkan ke labu ukur 100 mL, dan ditera dengan

5
aseton. Sebanyak 20 mL filtrat dimasukkan ke dalam corong pisah dan
ditambahkan 20 mL akuades. Larutan diekstraksi 3 kali dengan etil asetat masing
masing sebanyak 15 mL. Fraksi etil asetat (fase atas) dikumpulkan dan ditambah
dengan etil asetat sampai 50 mL dalam labu ukur.
b. Larutan blanko :
Sebanyak 1 mL larutan AlCl3 (2% dalam asam asetat glasial) dan ditera
dengan larutan asam asetat glasial dalam labu ukur 25 mL.
c. Larutan sampel :
Sebanyak 10 mL larutan induk, ditambah 1 mL larutan AlCl3 (2% dalam
asam asetat glasial) dan ditera dengan larutan asam asetat glasial dalam labu ukur
25 mL.
d. Pengukuran :
Pengukuran dilakukan 30 menit setelah penambahan larutan AlCl3
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 425 nm dengan
pembanding kuersetin murni dengan konsentrasi 0.5, 2, 4, 6, 8, dan 10 ppm.
Penghitungan kadar total flavonoid sebagai berikut:

Kadar total saponin
Sebanyak 0.25 gram sampel ditambah dengan akuades ± sepertiga dari
volume labu takar 25 mL. Larutan kemudian dikocok selama 2 jam, didiamkan
selama 24 jam, kemudian disaring. Filtrat ditotolkan pada pelat alumunium silika
gel F245 25 x 25 sebanyak 5 µL. Standar saponin 100 ppm ditotolkan sebanyak 5
µL, dielusi menggunakan eluen CHCl3 : etanol absolute = 6 : 4. Setelah elusi
selesai, pelat diukur dengan menggunakan TLC Scanner dengan panjang
gelombang 301 nm. Penghitungan kadar total saponin sebagai berikut:
Saponin (%)

x 100

Kadar total tanin
Sebanyak 0.2 gram serbuk sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan 5 mL air mendidih. Larutan kemudian dipanaskan pada suhu 40-60o
C selama 30 menit. Setelah itu, larutan disaring dengan menggunakan kapas.
Residu ditambahkan air mendidih sampai tanin habis. Setelah dingin, larutan
kemudian ditera dengan air sampai 25 mL. Larutan diambil 2.5 mL dan
dimasukan pada labu ukur 100 mL, lalu ditambahkan 75 mL air dan 2.5 mL
indigo karmin. Setelah itu ditera hingga 100 mL. Larutan kemudian dititrasi
dengan KMnO4 0.2 N hingga larutan menjadi kuning keemasan (dicatat berapa
volume KMnO4 yang dipakai, misalnya volume titran A mL).
Penetapan blangko dilakukan dengan memipet 2.5 mL indigokarmin ke
dalam labu ukur 100 mL. kemudian ditera sampai tanda garis. Larutan kemudian
dititrasi dengan KMnO4 0.2 N hingga larutan menjadi kuning keemasan (dicatat
berapa volume KMnO4 yang dipakai, misalnya volume titran B mL). Perhitungan
kadar total tanin adalah sebagai berikut:

6
v/b Tanin (%)
Keterangan:
A = volume titrasi tanin (ml)
B = volume titrasi blanko (ml)
N = normalitas KMnO4 standar (N)
10 = faktor pengenceran
1 mL KMnO4 0.1 N : setara 0.00416 gram tanin

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kalpataru
Kalpataru merupakan salah satu pohon yang berasal dari family Moraceae,
genus Ficus dengan nama ilmiah Ficus religiosa. Pohon ini lebih dikenal pohon
bodhi oleh masyarakat Indonesia. Sementara dalam bahasa Inggris pohon ini
memiliki beberapa nama seperti wisdom tree, sacred ficus, peepal dan bodhi tree.
Namun, di India yang merupakan tempat pohon ini berasal, masyarakat
menyebutnya dengan pipal atau bodhi. Sistematika kalpataru dijelaskan sebagai
berikut:
Domain
: Eukaryota
Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Viridaeplantae
Phylum
: Tracheophyta
Ordo
: Rosales
Family
: Moraceae
Genus
: Ficus
Species
: Ficus religiosa
Nama Indonesia
: Kalpataru/pohon bodhi
Nama Lokal (India) :Pipal/bodhi
Nama Inggris
:Wisdom tree, sacred ficus, peepal, bodhi tree
Kalpataru merupakan tanaman evergreen dengan tinggi dapat mencapai 20
meter dan berdiameter 1.5-2 meter. Cabangnya berbentuk tidak teratur, lebar
menyebar dan tanpa akar napas. Pohon ini memiliki batang beraturan. Kulit kayu
berwarna abu-abu dengan bintik kecoklatan, halus, mengelupas dengan bentuk
bulat tidak teratur. Daun kalpataru berbentuk alternate, spiral dan lebar bulat telur
dengan permukaan mengkilap dan bila diraba seperti kulit (yang kasar). Daun tua
berwarna hijau tua, namun ketika masih muda berwarna merah muda. Daun
berukuran 7.5-10 cm dan memiliki bagian yang mirip ekor. Pohon ini juga dapat
mudah dikenali dari bentuk daunnya yang menyerupai bentuk hati. Daun pohon
ini biasanya tebal dan mempunyai enam sampai delapan pasang barik-barik (garis
tipis). Daun baru muncul pada bulan April. Tangkai daun berukuran sekitar 10 cm.

7
Ficus religiosa berbunga pada bulan Februari dan berbuah antara Mei-Juni.
Bunga berbentuk aksiliaris tak bertangkai dan berkelamin tunggal. Bunga dari
pohon ini kecil berwarna merah mekar dimana penyerbukan pohon bergantung
pada tawon (lebah). Buah berukuran kecil dengan diameter 12-13 mm, timbul
berpasangan di sudut daun pada ranting pohon. Buah (fig) berbentuk bulat,
aksilaris, tak bertangkai, halus, berwarna hijau, namun ketika masak berwarna
ungu dengan titik-titik merah (Gambar 1) (Gautam et al 2014).

Sumber: Gautam et al. 2014

Gambar 1 Kalpataru (Ficus religiosa)
Ficus religiosa bukan merupakan tanaman parasit pada tanaman lain. Ficus
jenis ini memperoleh gizinya dari udara dan curah hujan, sampai akar mencapai
tanah. Benih yang terjatuh di pohon lain berkecambah dan bergantung pada
tanaman inang hanya untuk pelabuhan sementara. Ficus religiosa dapat hidup
pada ketinggian sampai 1520 meter dengan suhu rata-rata 16-33o C dan curah
hujan tahunan antara 500-5000 mm. Pohon ini dapat tumbuh pada berbagai jenis
tanah tetapi lebih suka pada tanah yang dalam, alluvial berpasir lempung dengan
drainase yang baik. Selain itu juga ditemukan di tanah dangkal termasuk celahcelah batu (Orwa et al. 2009).
Kadar Air
Kadar air sampel daun, tangkai, kayu dan kulit kayu kalpataru diperoleh
melalui cara pengeringan. Sebelum digunakan sebagai sampel uji, bahan
dikeringkan menjadi simplisia. Pengeringan dilakukan menggunakan oven pada
suhu 60o C selama 5 hari (Depkes RI 2008). Pengeringan merupakan proses yang
sangat penting dalam pembuatan simplisia. Tujuan pengeringan adalah
menurunkan kadar air, sehingga tidak mudah ditumbuhi kapang dan bakteri;
menghilangkan aktivitas enzim yang bisa menguraikan kandungan zat aktif;
memudahkan proses pengolahan selanjutnya, sehingga dapat lebih ringkas; tahan
lama; dan mudah disimpan (Endrasari et al. 2014).
Kadar air rata-rata yang diperoleh dengan melakukan dua kali ulangan pada
sampel daun, tangkai, kayu dan kulit kayu masing-masing sebesar 7.06±1.41%,
4.62±3.97%, 7.34±1.38% dan 5.78±1.64% (Gambar 2). Sampel kayu memiliki
kadar air paling tinggi, sementara sampel tangkai daun memiliki kadar air paling
rendah. Perhitungan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 2.

Kadar air (%)

8
8.00

7.34 1.38

7.06 1.41

6.00

5.78 1.64

4.62 3.97

4.00
2.00
0.00
Daun

Tangkai

Kayu

Kulit kayu

Bagian tanaman
Gambar 2 Presentase kadar air bagian tanaman
Perbedaan kadar air pada setiap bagian tanaman dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti suhu dan waktu pengeringan, kelembaban dan sirkulasi udara serta
ketebalan dan luas permukaan bahan (Gunawan dan Mulyani 2010). Tangkai daun
Ficus religiosa lebih cepat kering karena memiliki bentuk yang ramping sehingga
memiliki sirkulasi udara baik dan mendapatkan panas merata. Semua simplisia
Ficus religiosa mempunyai kadar air kurang dari 10%. Hal ini sesuai dengan
standar yang diberikan oleh Depkes RI yaitu kurang dari 10%. Kadar air dengan
nilai kurang dari 10% menunjukkan bahwa serbuk sampel kalpataru dapat
disimpan dalam jangka waktu yang lama serta terjaga dari serangan mikroba.
Senyawa Fitokimia
Tumbuhan memiliki senyawa kimia berbobot molekul kecil dengan
penyebaran terbatas yang sering disebut sebagai fitokimia (Sirait 2007). Senyawa
fitokimia merupakan senyawa bioaktif alami hasil metabolit sekunder yang
terdapat pada tanaman yang berperan sebagai nutrisi dan serat alami yang dapat
mencegah penyakit. Senyawa-senyawa fitokimia yang umum terdapat pada
tanaman, yaitu golongan alkaloid, flavoniod, kuinon, tanin, polifenol, saponin,
steroid dan triterpenoid (Harborne 1987).
Analisis fitokimia kalpataru (Ficus religiosa) dilakukan berdasarkan
Harborne (1987). Identifikasi yang dilakukan adalah uji alkaloid, flavonoid,
saponin, tanin, steroid dan triterpenoid. Hasil identifikasi memperlihatkan alkaloid
tidak ditemukan pada daun, tangkai, kayu dan kulit kayu. Hal ini ditandai dengan
tidak terbentuknya endapan jingga atau merah kecokelatan setelah ditambahkan
pereaksi Dragendorff, endapan putih setelah ditambahkan pereaksi Meyer dan
endapan cokelat muda atau kekuningan setelah ditambahkan pereaksi Wagner.
Saponin, tanin, flavonoid dan triterpenoid ditemukan pada daun, tangkai, kayu
dan kulit kayu kalpataru. Sampel positif mengandung saponin ditandai dengan
terbentuknya busa yang stabil selama 30 detik setelah dikocok. Sampel positif
mengandung tanin ditandai dengan terbentuknya warna hijau kehitaman setelah
ditambahkan FeCl3. Sampel positif mengandung flavonoid ditandai dengan
terbentuknya warna merah, kuning atau jingga setelah ditambahkan etanol, serbuk
Mg, amil alkohol dan HCl. Sampel positif mengandung triterpenoid ditandai
dengan terbentuknya warna ungu atau jingga setelah ditambahkan asam sulfat.
Hasil uji steroid pada daun dan tangkai kalpataru negatif, berbeda dengan sampel
kayu dan kulit kayu yang positif. Uji positif steroid ditandai dengan terbentuknya

9
warna biru atau hijau setelah ditambahkan asam sulfat. Sedikit berbeda dengan
Ficus religiosa, kalpataru (Hura crepitans) hasil penelitian Agustiani (2015)
mengandung saponin, flavonoid dan steroid dari daun, tangkai, kayu dan kulit
kayu. Tanin ditemukan pada daun, tangkai dan kulit kayu. Triterpenoid hanya
ditemukan pada kulit kayu, sementara alkaloid tidak teridentifikasi pada daun,
tangkai, kayu dan kulit kayu Hura crepitans (Tabel 1). Hasil uji senyawa
fitokimia kalpataru (Ficus religiosa) dapat dilihat pada Lampiran 3.
Tabel 1 Senyawa fitokimia daun, tangkai, kayu dan kulit kayu Ficus religiosa dan
Hura crepitans
Senyawa
fitokimia

Saponin
Tanin
Flavonoid
Alkaloid
Steroid
Triterpenoid

Ficus religiosa

Hura crepitans

Daun

Tangkai
daun

Kayu

Kulit
kayu

Daun

Tangkai
daun

Kayu

Kulit
kayu

+
+
+
+

+
+
+
+

+
+
+
+
+

+
+
+
+
+

+
+
+
+
-

+
+
+
+
-

+
+
+
-

+
+
+
+
+

Keterangan: (+) teridentifikasi

(-) tidak teridentifikasi

Senyawa fitokimia berperan penting dalam menjaga kesehatan. Senyawasenyawa tersebut saling melengkapi dalam mekanisme kerja yang terjadi di dalam
tubuh. Senyawa fitokimia memiliki aktivitas antioksidan, detoksifikasi oleh enzim,
stimulasi dari sistem imun, metabolisme hormon dan antibakteri serta antivirus.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa fitokimia terkandung dalam buahbuahan, sayuran dan kacang-kacangan. Komponen bioaktif tersebut dapat
menghambat proses penuaan dini dan menurunkan resiko terhadap berbagai
penyakit, seperti kanker, penyakit pada hati, stroke, tekanan darah tinggi, katarak,
osteoporosis dan infeksi saluran pencernaan (Hamburger dan Hastettmaun 1991).
Faktor-faktor yang mempengaruhi senyawa bioaktif yang dihasilkan tanaman
antara lain suhu, cahaya, curah hujan, ketersediaan air, ketinggian di atas
permukaan laut, iklim, angin, keadaan tanah dan kompetisi dengan tanaman lain
(Sine 2012). Fungsi setiap bagian tanaman dan distribusi hasil fotosintesis juga
memberikan peran penting dalam pembentukan senyawa kimia pada setiap bagian
tanaman (Sirait 2007). Oleh karena itu, dalam setiap bagian tanaman terdapat
senyawa kimia yang berbeda-beda baik kualitatif maupun kuantitatif.
Rendemen Ekstrak
Ekstraksi daun, tangkai, kayu dan kulit kayu Ficus religiosa dilakukan
dengan menggunakan metode maserasi. Sampel direndam dalam etanol 96%
selama 2x24 jam, kemudian maserat dikumpulkan dan diuapkan dengan vakum
penguap hingga diperoleh ekstrak kental. Rendemen diperoleh berdasarkan
perbandingan berat akhir (berat ekstrak yang dihasilkan) dengan berat awal (berat
simplisia) dikalikan dengan berat kering simplisia (Sani et al. 2014). Rendemen
dinyatakan dalam persen. Hasil yang diperoleh menunjukkan sampel daun

10
memiliki rendemen paling tinggi yaitu sebesar 7.82%, sementara tangkai memiliki
rendemen paling rendah yaitu sebesar 1.89%. Rendemen kulit kayu dan kayu
masing-masing sebesar 5.77% dan 5.33% (Gambar 3). Perhitungan rendemen
dapat dilihat pada Lampiran 4.

Rendemen (%)

10.00
8.00

7.82

6.00

5.33

5.77

Kayu

Kulit kayu

4.00
1.89

2.00
0.00
Daun

Tangkai

Bagian tanaman

Gambar 3 Rendemen bagian-bagian tanaman Ficus religiosadengan pelarut
etanol 96%
Daun kalpataru (Hura crepitans) juga memiliki rendemen tertinggi yaitu
sebesar 9.55%, sementara kayu memiliki rendemen terendah yaitu sebesar 3.18%.
Tangkai dan kulit kayu Hura crepitans memiliki rendemen sebesar 7.47% dan
7.49% (Agustiani 2015).
Rendemen yang dihasilkan tergantung pada metode ekstraksi, pelarut dan
bahan yang digunakan. Maserasi merupakan ekstraksi dingin, dimana simplisia
direndam di dalam pelarut dan dilakukan pengadukan atau pengocokan hingga
pelarut menarik atau melarutkan ekstrak secara maksimal. Maserasi menggunakan
peralatan yang sederhana, namun waktu yang diperlukan cukup lama, pelarut
yang diperlukan lebih banyak, dan hanya dapat digunakan untuk bahan-bahan
yang mudah larut (Pratiwi 2010). Pelarut menentukan rendemen yang dihasilkan
sesuai prinsip like dissolves like, zat akan terlarut dan terekstraksi secara
sempurna sesuai dengan tingkat kepolaran yang sama (Fahrizal 2014). Etanol 96%
sebagai pelarut karena sedikit mengandung air dan bersifat universal yang dapat
melarutkan senyawa polar maupun non polar sehingga diharapkan zat aktif yang
diperlukan dapat tertarik sepenuhnya (Amalia 2012).
Kadar Total Flavonoid
Flavonoid adalah senyawa fenol alam yang terdapat pada hampir semua
tumbuhan. Flavonoid tersebar pada daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, nektar,
bunga, buah dan biji (Neldawati 2013). Penentuan kadar total flavonoid kalpataru
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 425 nm
(Depkes RI 2000). Total flavonoid dinyatakan dalam persen bobot per bobot
(%b/b). Persen bobot per bobot merupakan jumlah gram zat dalam 100 gram
larutan atau campuran. Hasil yang diperoleh menunjukkan semua sampel uji
mengandung flavonoid. Kadar flavonoid pada daun kalpataru sebesar 20.34% b/b,
paling tinggi dibandingkan sampel lainnya, sementara kadar flavonoid paling

11

Kadar total flavonoid
(%)

rendah ditemukan pada tangkai kalpataru yaitu sebesar 1.17% b/b. Kadar
flavonoid pada kulit kayu dan kayu kalpataru masing-masing sebesar 5.58% b/b
dan 2.34% b/b (Gambar 4). Perhitungan kadar total flavonoid dapat dilihat pada
Lampiran 5.
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00

20.34

5.58

Daun

1.17

2.34

Tankan

kayu

Kulit kayu

Bagian tanaman
Gambar 4 Kadar total flavonoid Ficus religiosa
Kadar total flavonoid paling tinggi pada kalpataru (Hura crepitans) hasil
penelitian Agustiani (2015) juga ditemukan pada daun yaitu sebesar 15.36% b/b,
sementara kadar total flavonoid terendah ditemukan pada kayu yaitu sebesar
0.66% b/b. Kadar total flavonoid tangkai dan kulit kayu Hura crepitans masingmasing sebesar 2.20% b/b dan 2.53% b/b.
Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai
glikosida dan aglikon flavonoida (flavonoida tanpa gula terikat) terdapat dalam
berbagai bentuk struktur (Markham 1988). Sejumlah tanaman obat yang
mengandung flavonoid telah dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan,
antibakteri, antivirus, antiradang, antialergi, dan antikanker (Miller 1996), serta
antihipertensi, merangsang pembentukan estrogen dan mengobati gangguan
fungsi hati (Robinson 1995).
Telah diketahui bahwa aktivitas antioksidan dari tumbuhan karena adanya
senyawa fenol. Efek antioksidan senyawa ini disebabkan oleh penangkapan
radikal bebas melalui donor atom hidrogen dari gugus hidroksil flavonoid.
Antioksidan adalah senyawa yang melindungi sel melawan kerusakan akibat
oksigen reaktif. Ketidakseimbangan antara antioksidan dan oksigen reaktif
mengakibatkan stres oksidatif, yang menimbulkan kerusakan sel (Cristobal dan
Donald 2000). Beberapa penyakit seperti arterosklerosis, kanker, diabetes,
parkinson, alzheimer, dan penurunan kekebalan tubuh telah diketahui dipengaruhi
oleh radikal bebas dalam tubuh manusia (Amic et al. 2003). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa daun kalpataru (Ficus religiosa) memiliki flavonoid tinggi
yang berarti memiliki potensi antioksidan yang tinggi pula.

Kadar Total Saponin
Saponin merupakan senyawa aktif yang bersifat seperti sabun sehingga
dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa. Penentuan kadar

12

Kadar total saponin
(%)

total saponin kalpataru (Ficus religiosa) menggunakan metode TLC scanner.
Kadar saponin kulit kayu kalpataru lebih tinggi dibandingkan dengan sampel
lainnya yaitu sebesar 1.00%, sementara kadar saponin paling rendah ditemukan
pada tangkai kalpataru yaitu sebesar 0.94%. Kadar saponin total pada kayu dan
daun kalpataru masing-masing sebesar 0.95% dan 0.97% (Gambar 5).
1.02
1.00
0.98
0.96
0.94
0.92
0.90

1.00
0.97
0.95

Daun

0.94

Tangkai

Kayu

Kulit kayu

Bagian tanaman

Gambar 5 Kadar total saponin Ficus religiosa
Berbeda dengan hasil penelitian Agustiani (2015), kadar total saponin
kalpataru (Hura crepitans) paling tinggi ditemukan pada daun yaitu sebesar
1.05%, sementara kadar total saponin paling rendah ditemukan pada kayu yaitu
sebesar 0.96%. Kadar total saponin pada tangkai dan kulit kayu masing-masing
sebesar 0.97% dan 0.99%.
Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida ataupun glikosida
steroida (Harborne 1996). Saponin tersebar luas pada tumbuhan tinggi dan
digunakan dalam bidang kesehatan. Menurut Lacaille-Dubois dan Wagner (1996)
diacu dalam Batubara (2003) saponin mempunyai aktivitas farmakologi spesifik
meliputi aktivitas yang berhubungan dengan kanker seperti sitotoksik, antitumor,
antiinflamasi, kemopreventif dan antimutagen. Selain sebagai bahan baku obat
tradisional saponin juga memiliki nilai ekonomi sebagai bahan dasar industri
hormon seks, kortikosteroid dan turunan steroid (Manitto1992). Saponin
merupakan senyawa berasa pahit dan dapat menyebabkan bersin serta bersifat
racun bagi hewan berdarah dingin sehingga banyak diantaranya digunakan
sebagai racun ikan (Gunawan dan Mulyani 2010).
Kulit kayu kalpataru (Ficus religiosa) memiliki kadar saponin tinggi
dibandingkan sampel yang lain. Hal ini berarti kulit kayu berpotensi menyediakan
sumber saponin yang dapat digunakan sebagai obat kanker.

Kadar Total Tanin
Tanin merupakan kelompok besar dari senyawa komplek yang
didistribusikan merata pada berbagai tanaman. Tanin biasanya terdapat pada
bagian tanaman yang spesifik seperti daun, buah, kulit dahan dan batang
(Andriyani 2010). Penentuan kadar total tanin kalpataru menggunakan metode
titrasi dengan titran KMnO4. Kadar tanin daun kalpataru paling tinggi

13

Kadar total tanin (%)

dibandingkan sampel lainnya yaitu sebesar 1.83%, sementara kadar tanin paling
rendah ditemukan pada kayu kalpataru, yaitu sebesar 0.54%. Kadar tanin total
pada tangkai dan kulit kayu kalpataru masing-masing sebesar 1.72% dan 1.14%
(Gambar 6). Perhitungan kadar saponin dapat dilihat pada Lampiran 6.
2.00

1.83

1.72

1.50

1.14

1.00

0.57

0.50
0.00
Daun

Tangkai

Kayu

Kulit kayu

Bagian tanaman
Gambar 6 Kadar total tanin Ficus religiosa
Berdasarkan penelitian Agustiani (2015), kadar total tanin kalpataru (Hura
crepitans) paling tinggi ditemukan pada tangkai daun yaitu sebesar 1.49%,
sementara kayu Hura crepitans tidak mengandung tanin. Kadar total tanin pada
daun dan kulit kayu berturut-turut yaitu 1.02% dan 0.76%.
Tanin berfungsi sebagai astringen yang dapat menyebabkan penciutan poripori kulit, memperkeras kulit, menghentikan eksudat dan pendarahan ringan
(Arief 1997). Tanin dalam tumbuhan dianggap memiliki fungsi utama sebagai
herbisida. Sedangkan dalam bidang farmasi tanin digunakan sebagai astringen,
anti-oksidan serta dapat menghambat pertumbuhan tumor (Harboene 1987). Tanin
memiliki kemampuan sebagai antioksidan dan antimikroba yang selektif (Wrasiati
et al. 2011). Hasil penelitian Putra (2007) juga menyatakan bahwa tanin memiliki
kemampuan sebagai antimikroba yang selektif seperti pada nira. Daun kalpataru
memiliki kandungan tanin yang tinggi sehingga memiliki potensi sebagai obat
antimikroba.
Kadar Total Steroid dan Triterpenoid
Steroid merupakan salah satu senyawa penting dalam bidang farmasi.
Senyawa ini tersebar luas di alam dan mempunyai fungsi biologis yang sangat
penting. Steroid merupakan senyawa yang banyak digunakan dalam pengobatan
anti-inflamasi (Kumar et al. 2009). Triterpenoid merupakan senyawa metabolit
sekunder yang tersebar luas dan merata pada tanaman. Perwujudan senyawa ini
dapat berupa resin atau kitin. Senyawa triterpenoid memiliki fungsi sebagai
pertahanan terhadap serangga pengganggu dan senyawa ini merupakan komponen
aktif dalam tumbuhan obat yang telah digunakan untuk penyakit diabetes,
gangguan mestruasi serta beberapa senyawa triterpenoid menunjukkan aktivitas
antibakteri atau antivirus (Harborne 1987; Robinson 1995).
Steroid yang ditemukan pada kayu dan kulit kayu kalpataru
mengindikasikan bahwa bagian tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai obat anti-

14
inflamasi, sedangkan ditemukannya triterpenoid pada semua sampel uji
menandakan bahwa bagian tanaman tersebut berpotensi sebagai obat antivirus.
Namun dalam penelitian ini tidak dilakukan uji kadar total steroid dan triterpenoid
karena keterbatasan dana dan tempat penelitian.
Rekomendasi Kalpataru sebagai Jenis Tanaman Hutan Kota
Hutan kota merupakan komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya
yang tumbuh di lahan atau sekitarnya, berbentuk jalur, menyebar atau
bergerombol, strukturnya meniru hutan alam, membentuk habitat yang
memungkinkan kehidupan bagi satwaliar dan menimbulkan lingkungan sehat,
suasana nyaman, sejuk, dan estetis (Irwan 2008). Menurut hasil rumusan Rapat
Teknis di Jakarta pada bulan Februari 1991 diacu dalam Dahlan (2013) hutan kota
didefinisaikan sebagai “suatu lahan yang bertumbuhan pohon-pohon di dalam
wilayah perkotaan di dalam tanah negara maupun tanah milik yang berfungsi
sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengatur tata air, udara, habitat flora dan
fauna yang memiliki nilai estetis dan dengan luas yang solid yang merupakan
ruang terbuka hijau pohon-pohonan, serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat
berwenang sebagai hutan kota”.
Hutan kota mempunyai peran yang besar dalam mengatasi permasalahan di
perkotaan seperti penahan dan penyaring partikel padat di udara; penyerap dan
penjerap partikel timbal dan debu semen; peredam kebisingan; mengurangi hujan
asam; penyerap karbon-monoksida dan karbondioksida; penghasil oksigen;
penahan angin; penyerap dan penapis bau; mengatasi penggenangan; dan
ameliorasi iklim. Selain itu hutan kota juga mempunyai manfaat lain sebagai
identitas kota, pelestarian plasma nutfah, menyediakan habitat bagi satwaliar,
meningkatkan keindahan kota, dan sebagai sarana pariwisata (Dahlan 2013).
Dahlan (2013) membagi tipe hutan kota menjadi 6 sesuai tujuan
peruntukkannya, yaitu tipe permukiman; tipe kawasan industri; tipe rekreasi dan
keindahan; tipe pelestarian plasma nutfah; tipe perlindungan; dan tipe
pengamanan. Selain itu, hutan kota dapat berbentuk jalur hijau, taman kota, kebun
halaman, kebun raya, hutan raya dan kebun binatang, serta hutan lindung dengan
formasi menyebar, bergerombol atau berupa jalur.
Kalpataru (Ficus religiosa) dapat direkomendasikan sebagai pengisi hutan
kota tipe pelestarian plasma nutfah dengan manfaat utama menyediakan sumber
obat herbal selain memberikan fungsi penghasil oksigen, menyediakan habitat
satwaliar dan estetika. Adanya kalpataru di sekitar permukiman akan memberikan
keindahan, kesejukan dan kealamian karena akan banyak satwa yang
memanfaatkan kalpataru tersebut. Kalpataru telah memenuhi syarat sebagai
tanaman pengisi hutan kota yaitu evergreen, memiliki cabang lebar menyebar
serta memiliki bunga dan buah yang berukuran kecil. Selain itu, pohon ini
memiliki ciri-ciri yang khas yaitu kulit kayu berwarna abu-abu dengan bintik
kecoklatan, daun tua berwarna hijau tua dan daun muda berwarna merah muda,
daun berbentuk hati dan memiliki ujung yang menyerupai ekor, bunga berwarna
merah, serta buah tua berwarna hijau tua dan ketika masak berwarna ungu dengan
titik-titik merah.
Hasil penelitian Murti (2013), kalpataru menyediakan shelter, pakan dan
obat bagi satwa mulai dari gajah sampai serangga kecil. Buah, daun dan ranting

15
menyediakan pakan bagi gajah dan sapi. Buah menyediakan pakan bagi berbagai
spesies burung dan binatang arboreal lainnya. Cabang dan kulit memberikan
perlindungan bagi banyak burung dan serangga dan akar menyediakan tempat
persembunyian alami bagi ular. Berbagai burung yang memanfaatkan kalpataru
sebagai pakan antara lain punai gading (Treron vernans), kepudang kuduk hitam
(Oriolus chinensis), merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) dan madu kelapa
(Anthreptes malacensis). Satwa lain seperti kelelawar, babi, tikus, dan monyet
juga memanfaatkan kalpataru sebagai pakan. Selain mencari pakan, satwa tersebut
juga berperan sebagai agen penyebaran biji kalpataru.
Kalpataru sangat cocok untuk ditanam di lingkungan perkotaan. Kalpataru
dapat hidup pada ketinggian sampai 1520 mdpl dengan suhu rata-rata 16-33 oC
dan curah hujan antara 500-5000 mm/tahun. Pohon ini dapat tumbuh pada
berbagai jenis tanah, termasuk celah-celah batu. Di Indonesia, belum ada laporan
yang menjelaskan bahwa kalpataru merupakan jenis invasif. Kalpataru bukan
merupakan tanaman parasit seperti jenis ficus lainnya. Ficus ini memperoleh
gizinya dari udara dan curah hujan, sampai akar mencapai tanah. Biasanya, benih
yang jatuh di pohon lain berkecambah dan tumbuh hanya untuk pelabuhan
sementara.
Kalpataru dapat dijadikan jenis tanaman pengisi hutan kota tipe pelestarian
plasma nutfah yang ditanam di sekitar permukiman. Hutan kota di daerah
permukiman dapat berupa taman kota, kebun dan halaman dengan komposisi
tanaman pepohonan yang dikombinasikan dengan semak dan rerumputan. Hutan
kota tipe pelestarian plasma nutfah bertujuan untuk mencegah kerusakan,
perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya alam. Tipe hutan kota ini
dijadikan sebagai tempat koleksi keanekaragaman hayati di luar area konservasi.
Bentuk hutan kota tipe pelestarian plasma nutfah antara lain kebun raya, hutan
raya dan kebun binatang. Formasi pengaturan penanaman kalpataru sebagai jenis
tanaman hutan kota dapat dilakukan secara menyebar, bergerombol maupun
berupa jalur sesuai ketersediaan lahan tanam. Untuk mendapatkan hasil
pertumbuhan tanaman dan manfaat hutan kota yang maksimal, persyaratan
edhapis, meteorologis dan silvikultur juga perlu diperhatikan dengan baik.
Pelestarian plasma nutfah terutama tumbuhan yang berkhasiat obat perlu
dibangun dan dikembangkan, seiring dengan gaya hidup masyarakat yang
menginginkan back to nature dengan mengonsumsi obat herbal untuk
menyembuhkan berbagai penyakit. Ficus religiosa diketahui merupakan tanaman
obat yang digunakan di Ayurveda, India. Tanaman ini digunakan dalam
pengobatan tradisional oleh masyarakat. Penggunaan setiap bagian dari Ficus
religiosa yang berbeda pada sistem pengobatan tradisional seperti batang untuk
mengobati astringen, aprodisiak, antibakteri Staphylococcus aureus dan
Eschericha coli, gonorhoe, diare, disentri, wasir, koreng, anti-inflamasi dan luka
bakar (Warrier 1996 diacu dalam Makhija et al. 2010); daun sebagai obat
pencahar, luka, penyakit kulit, asma, batuk, gangguan seksual, diare, hematuria,
sakit gigi, migren, masalah mata, masalah lambung, kudis dan obat nyeri (Warrier
1996; Kapoor 1990; Kunwar dan Bussmann 2006 diacu dalam Makhija et al.
2010 ); buah untuk mengobati tuberculosis, demam, kelumpuhan, wasir, asma,
obat pencahar dan pencernaan; biji sebagai obat pencahar dan pendingin; serta
getah sebagai obat sakit saraf, radang dan pendarahan (Warrier 1996 diacu dalam
Makhija et al. 2010). Ficus religiosa mempunyai aktivitas farmakologi seperti

16
antidiabetes, anti-inflamasi, analgesik, antioksidan, antikejang, antibakteri,
penyembuh luka dan anti-amnesia.
Pemanfaatan kalpataru sebagai obat dapat dikategorikan sebagai bentuk
pemanfaatan yang berkelanjutan, karena hanya menggunakan bagian dari pohon
tanpa harus menebang pohon. Telah dilaporkan bahwa populasi kalpataru semakin
berkurang, meskipun belum ada data pasti yang menjelaskan status konservasi
tanaman ini. Pemanfaatan kalpataru sebagai penyedia obat dengan menanam dan
membudidayakannya akan turut berpartisipasi dalam menjaga kelestarian
kalpataru. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, daun kalpataru
memiliki kandungan flavonoid dan tanin paling tinggi dibandingkan tangkai, kayu
dan kulit kayu, namun, kulit kayu kalpataru memiliki kandungan saponin yang
lebih tinggi dibandingkan dengan daun, tangkai dan kayu. Kandungan flavonoid
dan tanin yang tinggi pada daun kalpataru mengindikasikan bahwa daun memiliki
potensi antioksidan dan antimikroba, sementara kandungan saponin yang tinggi
pada kulit kayu kalpataru mengindikasikan bahwa kulit kayu memiliki potensi
anti-kanker. Kadar total flavonoid, saponin dan tanin dari bagian daun, tangkai,
kayu dan kulit kayu kalpataru disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kadar total flavonoid, saponin dan tanin dari daun, tangkai, kayu dan kulit
kayu kalpataru (Ficus religiosa)
Senyawa fitokimia
Flavonoid
Saponin
Tanin

Sampel
Daun

Tangkai

Kayu

Kulit kayu

20.34
0.95
1.83

1.17
0.94
1.72

2.34
0.97
0.57

5.58
1.00
1.14

Ficus religiosa mempunyai kegunaan medis penting yang beragam. Enam
bagian dari tanaman ini seperti biji, batang, daun, buah, getah dan akar memiliki
khasiat obat. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Makhija et al. (2010) dan
Gautam et al. (2014) menunjukkan senyawa kimia yang terdapat Ficus religiosa
antara lain fenol, tanin, steroid, alkaloid, flavonoid, saponin, vitamin K, protein
dan asam amino esensial. Selain memiliki khasiat obat, Ficus religiosa
mempunyai peran yang penting bagi ekosistem hutan alam.
Berbagai potensi yang dimiliki kalpataru dapat digunakan sebagai usaha
pemilihan jenis tumbuhan hutan kota agar fungsi majemuk hutan kota dapat
tercapai, termasuk sebagai sumber obat herbal. Adanya hutan kota sebagai koleksi
tanaman berkhasiat obat akan meningkatkan kualitas lingkungan menjadi lebih
baik dan juga memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai manfaat
dari tanaman tersebut. Sehingga diharapkan hutan kota dapat memperbaiki
kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan jenis tanaman
sebagai obat herbal untuk menyembuhkan berbagai penyakit.

17

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kalpataru (Ficus religiosa) mempunyai kandungan senyawa fitokimia yaitu
flavonoid, saponin, tanin, steroid dan triterpenoid. Flavonoid, saponin, tanin dan
triterpenoid ditemukan pada daun, tangkai, kayu, dan kulit kayu, sementara
steroid hanya ditemukan pada kayu dan kulit kayu. Kadar flavonoid dan tanin
pada daun kalpataru paling tinggi dibandingkan sampel lainnya yaitu sebesar
20.34% dan 1.83%, sedangkan kadar saponin kulit kayu kalpataru lebih tinggi
dibandingkan dengan sampel lainnya, yaitu sebesar 1.00%.

Saran
Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengetahui kadar total steroid dan
triterpenoid serta aktivitas farmakologis lain dari kalpataru. Penelitian juga perlu
dilakukan untuk menguji senyawa fitokima dari bagian tanaman kalpataru yang
lain seperti batang, bunga, biji, buah, akar dan getah agar dihasilkan data akurat
mengenai khasiat kalpataru sebagai obat herbal.

DAFTAR PUSTAKA
Agustiani W. 2015. Kandungan fitokimia kalpataru (Hura crepitans Linn.)
sebagai rekomendasi jenis tanaman hutan kota berkhasiat obat [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Amalia S. 2012. Efek antibakteri ekstrak etanol pegagan (Cetella asiatica (L.)
Urban) sebagai alternatif medikamen saluran akar terhadap Porhyromonas
gingivalis (secara in-vitro) [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera
Utara.
Amic D, Dusanka DA, Beslo D, Trinasjtia. 2003. Structure-radical scavenging
activity relationships of flavonoids. Croatia Chem Acta 76:55-61.
Andriyani D, Utami PI, Dhiani BA. 2010. Penetapan kadar tanin daun rambutan
(Nephelium lappaceum L.) secara spektrofotometri ultraviolet visible.
Pharcacy 7(2): 1-11.
[AOAC] The Association of Official Analytical Chemist. 2006. Official Methods
of Analysis. Ed ke-18. Washington DC (US): Association of Official
Analytical Chemist.
Arief M. 1997. Formulasi Obat Topikal dengan Dasar Penyakit Kulit.
Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Pr.
Batubara I. 2003. Saponin akar kuning (Arcangelisia flava (L) Merr) sebagai
hepatoprotektor: ekstraksi, pemisahan, dan bioaktivitasnya [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.

18
[BLH] Badan Lingkungan Hidup. 2013. Banyuwangi juara penanaman satu miliar
pohon. [Internet]. [diunduh 2015 Agustus 10]. Tersedia pada
http://blh.banyuwangikab.go.id/page/news/banyuwangi-juara-penanamansatu-miliar-pohon.
Cristobal M, Donald R. 2000. Aktivitas Antioksidan Flavonoid. Oregon (US):
Oregon State University Pr.
Dahlan EN. 2013. Kota Hijau Hutan Kota. ISBN: 979-8381-00-9.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Pengawasan
Obat Tradisional. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Jakarta (ID): Depkes RI.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Farmakope
Herbal Indonesia Edisi 1. Jakarta (ID): Depkes RI.
Endrasari R, Qanytah, Prayudi B. 2014. Pengaruh pengeringan terhadap mutu
simplisia temulawak di Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. hlm 435-442.
Fahrizal MD. 2014. Total fenolik dan flavonoid serta aktivitas antioksidan ekstrak
kulit kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.)) [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Gautam S, Meshram A, Bhagyawant SS, Srivastava N. 2014. Ficus religiosa –
potential role in pharmaceuticals. International Journal of Pharmaceutical
Science and Research. Vol. 5(5): 1616-1623.