Morfologi Esofagus dan Lambung Burung Serak Jawa (Tyto alba)

MORFOLOGI ESOFAGUS DAN LAMBUNG BURUNG
SERAK JAWA (Tyto alba)

SUWARDI HIDAYAT

DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Morfologi Esofagus
dan Lambung Burung Serak Jawa (Tyto alba) adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini
saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, November 2014

Suwardi Hidayat
NIM B04100133

ABSTRAK
SUWARDI HIDAYAT. Morfologi Esofagus dan Lambung Burung Serak Jawa
(Tyto alba). Dibimbing oleh CHAIRUN NISA’ dan SAVITRI NOVELINA
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari morfologi esofagus dan
lambung burung serak jawa (Tyto alba) secara makroskopis dan mikroskopis. Dua
ekor burung serak jawa (T. alba) digunakan dalam penelitian ini. Pengamatan
makroskopis dilakukan dengan mengamati situs viscerum, bentuk dan ukuran
esofagus dan lambung. Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan metode
histologi menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin (HE). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa esofagus terdiri atas pars cervicalis dan pars thoracalis,
berukuran panjang total 9.8 cm, serta tidak terdapat tembolok. Mukosa esofagus
pars cervicalis dilapisi oleh sel-sel epitel pipih banyak lapis yang tidak berkeratin,
sedangkan pars thoracalis dilapisi oleh sel-sel epitel silindris sebaris. Kelenjar
esofagus bertipe mukus, ditemukan dalam jumlah banyak berdistribusi di
sepanjang mukosa esofagus. Lapis muskularis eksterna terdiri atas dua lapisan,
yaitu otot longitudinal di bagian profundal dan otot sirkuler di bagian superfisial.
Lambung dibedakan menjadi proventrikulus dan ventrikulus (gizzard).

Proventrikulus berbentuk kerucut dan gizzard berbentuk menyerupai kubus.
Kurvatura mayor gizzard memiliki panjang 6.5 cm dengan lebar diameter 1.88
cm. Mukosa proventrikulus dilapisi oleh sel-sel epitel silindris sebaris. Kelenjar
proventrikulus terdiri atas kelenjar superfisial yang berbentuk tubular dan
menghasilkan mukus, serta kelenjar profundus yang berbentuk tubular sederhana
dan menghasilkan pepsinogen dan asam hidroklorat (HCl). Lapisan muskularis
eksterna terdiri atas tiga lapis otot, dua lapis otot longitudinal pada lapisan
superfisial dan profundal, serta otot sirkuler di bagian medial di antara dua lapisan
otot longitudinal. Mukosa gizzard dilapisi oleh sel-sel epitel silindris sebaris
dengan kutikula tipis. Kelenjar gizzard berbentuk tubular sederhana dan berfungsi
menghasilkan mukus. Lapisan muskularis eksterna memiliki dua lapisan otot
sangat tebal yang disusun oleh otot longitudinal di bagian profundal dan otot
sirkuler di bagian superfisial. Morfologi esofagus dan lambung burung serak jawa
(T. alba) mendukung perilaku alaminya sebagai burung raptor, yang langsung
menelan makanannya secara utuh.
Kata kunci: esofagus, gizzard, proventrikulus, Tyto alba,

ABSTRACT
SUWARDI HIDAYAT. The Morfology of Esophagus and Stomach of Barn Owl
(Tyto alba). Supervised by CHAIRUN NISA’ and SAVITRI NOVELINA

This study was aimed to describe the morphology of esophagus and
stomach of barn owl (Tyto alba). Two barn owl (T. alba) were used to observed
macroscopic and microscopically. The macroscopic observation was done by
observing the shape and size of the esophagus and stomach. The microscopic
observation was done using standard histological method with hematoksilin eosin
(HE) staining. The results showed that the esophagus consist of pars cervicalis
and pars thoracalis, was 9.8 centimeters in length, and possessed no crop.
Mucosa of the esophagus pars cervicalis was lined with nonkeratinized stratified
squamous epithelial cell, and the pars thoracalis lined by simple columnar
epithelial cell. The esophageal gland was mucous type distributed in a lot number
along the mucosa. The external muscle consists of two layers, which were the
inner longitudinal muscle and outer circular muscle. The stomach could be
distinguished into proventriculus and ventriculus (gizzard). Proventriculus was a
cone shape and gizzard was cuboid with an average length of the greater
curvature was 6.5 cm and was 1.88 cm in diameter. The mucosa of proventriculus
was lined by simple columnar epithelium. The proventricular gland was consist of
superficial and profundal glands. The superficial gland produced mucous, while
the profundal produced pepsinogen and hydrochloric acid (HCl). The external
muscle layer consist of three layers, two longitudinal muscles in the superficial
and profundal layers and circular muscle in the middle between the two of

longitudinal muscles. The mucosa of gizzard was lined with simple columnar
epithelial cell, with the thin cuticle. The gizzard glands consist of simple tubular
gland that produced mucous. The gizzard has two very thick muscle layers
composed by inner longitudinal muscle and the outer circular muscle. The
characteristic morphology of the esophagus and stomach of barn owl (T. alba),
was presumed to supports their behavior, which swallow a whole body of their
prey.
Keywords : gizzard, esophagus, proventriculus, Tyto alba

MORFOLOGI ESOFAGUS DAN LAMBUNG BURUNG
SERAK JAWA (Tyto alba)

SUWARDI HIDAYAT

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan


ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOG I
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini
ialah satwa liar dari kelas Aves, dengan judul Morfologi Esofagus dan Lambung
Burung Serak Jawa (Tyto alba).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Drh Chairun Nisa’, MSi,
PAVet dan Ibu Dr Drh Savitri Novelina, MSi, PAVet selaku pembimbing, atas
bimbingan dan arahannya selama ini. Ungkapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang
dan dukungannya, serta kepada Mariska Ramdhianty yang selalu menemani dan
memberi semangat selama penelitian berlangsung. Kepada Diana Asriastita dan
Vian Puput Wijaya yang sempat bergabung dalam penelitian ini, Dr Drh
Nurhidayat, MS, PAVet, Drh Danang Dwi Cahyadi, Drh Yusrizal Akmal, MSi, Ir

Mahfud, MSi, Ibu Sri Murtini, serta Mas Bayu dan staf lab anatomi yang telah
membantu dalam penelitian, penulis ucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu dan tidak dapat
disebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014
Suwardi Hidayat

DAFTAR ISI
ABSTRAK

i

ABSTRACT

ii

DAFTAR ISI

iii


DAFTAR TABEL

iv

DAFTAR GAMBAR

v

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2


Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Klasifikasi dan Distribusi Burung Serak Jawa (Tyto alba)

2

Ekologi dan Perilaku

4

Saluran Pencernaan Burung

4


METODE

6

Waktu dan Tempat

6

Bahan

6

Alat

6

Prosedur Penelitian

6


HASIL

7

Pengamatan Makroskopis Esofagus dan Lambung

7

Pengamatan Mikroskopis Esofagus dan Lambung

9

PEMBAHASAN

12

SIMPULAN

15


SARAN

15

DAFTAR PUSTAKA

15

RIWAYAT HIDUP

17

DAFTAR GAMBAR
1. Karakteristik morfologi burung hantu dari famili Strigidae (A) dan

Tytonidae (B)

3

2. Saluran pencernaan burung yang memiliki tembolok (A) dan saluran

pencernaan burung hantu yang tidak memiliki tembolok (B)

5

3. Situs viscerum burung serak jawa setelah jantung dipisahkan (A), serta

setelah jantung dan hati dipisahkan (B)
Saluran pencernaan burung serak jawa tampak ventral
Morfologi interior lambung burung serak jawa
Koleksi pellet utuh (A) dan komposisi pellet (B) burung serak jawa
Mikroanatomi esofagus memanjang dan melintang, serta mikroanatomi sel
epitel mukosa dan kelenjar esofagus
8. Mikroanatomi dinding proventrikulus (A), kelenjar proventrikulus
superfisialis (B), dan kelenjar proventrikulus profundus (C)
9. Mikroanatomi ventrikulus (gizzard) burung serak jawa
4.
5.
6.
7.

7
8
9
9
10
11
12

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di daerah
tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati flora maupun fauna yang tinggi.
Burung merupakan salah satu jenis hewan vertebrata terbanyak di dunia. Jumlah
jenis burung di Indonesia menempati urutan teratas di Asia, yaitu sebanyak 1.598
jenis. Dari jumlah sebanyak 1.598 jenis, terdapat 71 jenis burung pemangsa yang
aktif di siang hari (raptor diurnal) (Ordo Falconiformes), dan 10 jenis diantaranya
adalah burung raptor diurnal endemik. Selain itu terdapat 45 jenis burung
pemangsa yang aktif di malam hari (raptor nokturnal) (Ordo Strigiformes) dengan
23 jenis diantaranya adalah burung raptor noktunral endemik (Sukmantoro et al.
2007). Burung hantu termasuk burung raptor nokturnal Ordo Strigiformes. Ordo
ini memiliki dua famili, yaitu Tytonidae (burung serak) dan Strigidae (burung
hantu sejati) (Cholewiak 2003). Famili Tytonidae terdiri atas dua subfamili yaitu
Tytoninae dan Phodilinae. Burung serak jawa termasuk ke dalam subfamili
Tytoninae, sedangkan subfamili Phodilinae terdiri atas burung serak bukit
(Phodilus badius).
Burung serak jawa merupakan salah satu jenis burung yang cukup dikenal
oleh masyarakat Indonesia, khususnya petani. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
nomor 7 tahun 1999, burung ini tidak termasuk dalam daftar burung dilindungi.
Penyebaran burung serak jawa di Indonesia meliputi pulau Sumatera, Jawa,
Sulawesi dan Nusa Tenggara (Sukmantoro et al. 2007). Selain Indonesia, burung
ini juga terdapat hampir di seluruh dunia kecuali Antartika, oleh karena itu burung
ini bukan merupakan burung endemik Indonesia. Makanan utama burung serak
jawa adalah tikus, sehingga burung ini dimanfaatkan petani sebagai pembasmi
tikus di areal pertanian. Beberapa daerah di Indonesia yang sudah berhasil
membiakkan burung serak jawa untuk membasmi tikus adalah Kabupaten Ngawi,
Boyolali, Klaten, Demak, Gorontalo, dan Manado.
Burung serak jawa memiliki perilaku makan yang cukup unik, yaitu
menelan mangsanya secara utuh, namun jika mangsanya terlalu besar, burung
serak jawa akan mencabik mangsa dengan paruhnya, sehingga menjadi potongan
kecil yang dapat ditelan (Parry-Jones 2001). Material yang tidak dapat dicerna
seperti bulu atau rambut, tulang, kuku, serta gigi diregurgitasi dalam bentuk pellet.
Saluran pencernaan burung secara umum terdiri atas paruh, rongga mulut,
esofagus, tembolok, proventrikulus, gizzard, usus halus, usus besar, dan kloaka.
Burung tidak memiliki gigi sehingga makanan akan langsung ditelan dan dicerna
secara enzimatis oleh tembolok dan proventrikulus, serta secara mekanik oleh
gizzard (Yasin 2010). Oleh karena itu Burung serak jawa diduga memiliki saluran
pencernaan yang khas dibandingkan burung lain pada umumnya, karena perilaku
makannya yang unik dan merupakan burung raptor yang makanan utamanya
adalah hewan-hewan kecil seperti tikus, reptil misalnya kadal dan ular, amfibi
misalnya katak, serta kadang memakan serangga (Mackinnon et al. 2010).
Penelitian saluran pencernaan pada burung yang pernah dilakukan antara
lain pada burung walet (Novelina 2009), burung puyuh (Zaher et al. 2012),
burung elang tikus (Hamdi et al. 2013), serta burung hantu penggali (burrowing
owl) (Rocha et al. 1998). Penelitian burung hantu yang telah dilaporkan antara

2

lain mengenai saluran pencernaan secara makroskopis, distribusi, ekologi dan
perilaku, serta reproduksi. Sejauh ini informasi mengenai saluran pencernaan
burung raptor, khususnya burung serak jawa belum banyak dilaporkan. Oleh
karena itu penelitian yang mengambil topik saluran pencernaan burung serak jawa
ini penting untuk dilakukan. Informasi biologi mengenai organ pencernaan burung
serak jawa akan sangat bermanfaat bagi upaya konservasi dan
pengembangbiakannya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik morfologi saluran
pencernaan burung serak jawa, khususnya pada organ esofagus dan lambung,
secara makroskopis dan mikroskopis.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai
kekhasan sistem pencernaan burung serak jawa, sebagai dasar bagi upaya
pelestarian dan pengembangbiakannya. Selain itu data dari hasil penelitian ini
diharapkan dapat memperkaya informasi biologi terkait organ saluran pencernaan
burung serak jawa.

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Distribusi Burung Serak Jawa (Tyto alba)
Klasifikasi burung serak jawa menurut Bachynski dan Harris (2002) adalah
sebagai berikut :
Kelas
Ordo
Famili
Subfamili
Genus
Spesies

: Aves
: Strigiformes
: Tytonidae
: Tytoninae
: Tyto
: Tyto alba

Distribusi burung serak jawa hampir di seluruh dunia kecuali Antartika,
dengan berbagai nama lokal seperti barn owl, white owl, masked owl, dan ghost
owl. Burung ini memiliki daerah penyebaran paling luas dibandingkan burung
hantu lainnya. Penyebarannya meliputi Amerika Utara dan Selatan, Eropa, Afrika,
India, Asia termasuk juga Asia Tenggara, dan Australia. Burung serak jawa
memiliki sekitar 34 subspesies (Parry-Jones 2001). Penyebaran burung dari genus
Tyto ini di Indonesia pada awalnya meliputi Pulau Jawa dan Sumatera, namun
dalam kurun lima tahun (1991-1996), burung serak jawa telah tersebar hampir ke
seluruh Nusantara yang dibawa oleh pemerintah maupun swasta (Deptan 1996).
Saat ini burung serak (Tytonidae) tersebar hampir di semua wilayah meliputi
kepulauan Sunda Besar dan sebagian Sunda Kecil seperti Sumatera, Jawa,
Kalimantan, dan Bali (MacKinnon et al. 2010). Terdapat beberapa spesies yang
berbeda, namun yang paling banyak dikenal masyarakat adalah Tyto alba dengan
nama umum serak jawa atau koreak (Sunda) dan dares (Jawa).

3

Famili Tytonidae memiliki ciri-ciri wajah berbentuk jantung (heartshaped/love-shaped), mata terletak di depan, pupil lebar, paruh seperti kait dan
kuku atau talon tajam untuk menangkap mangsa. Famili Strigidae memiliki
bentuk wajah yang berbeda, yaitu berbentuk cakram bulat dan memiliki bulu di
sekitar atas mata yang seolah-olah membentuk alis dan seperti telinga (Cholewiak
2003) (Gambar 1). Bentuk wajah ini berfungsi sebagai radar yang membantu
memfokuskan suara yang datang pada saat berburu. Burung hantu lebih
mengandalkan pendengaran dibandingkan penglihatannya pada saat berburu di
malam hari, meskipun penglihatannya sangat baik dalam gelap (Parry-Jones 2001).
A

B

Gambar 1 Karakteristik morfologi burung hantu dari famili Strigidae (A), dan
Tytonidae (B) dengan bentuk wajah yang khas.
Burung serak jawa (T. alba) pertama kali didefinisikan oleh Giovanni
Antonio Scopoli pada tahun 1769 yang berarti burung hantu putih (Tyto = burung
hantu, alba = putih). Burung serak jawa memiliki panjang tubuh mulai dari ujung
paruh sampai ujung ekor sekitar 30-35 cm. Bentuk tubuh ramping dengan wajah
berbentuk love-shaped, sepasang mata menghadap ke depan dengan iris mata
berwarna coklat tua sampai hitam dan pupil lebar. Bulu tubuh bagian dorsal
berwarna kuning dan bagian ventral berwarna putih dengan bintik-bintik hitam.
Berat burung dewasa 400-500 gram (MacKinnon et al. 2010).
Burung serak jawa jantan dan betina dapat dibedakan dari warna bulu.
Burung jantan memiliki warna bulu cenderung coklat terang dengan sedikit
bintik-bintik hitam, sekilas terlihat bermotif seperti batik. Bulu pada sayap
memiliki garis abu yang tipis bahkan cenderung polos, berwarna coklat terang
dengan bulu bagian ventral berwarna putih bersih. Dada berwarna putih dengan
sedikit bintik atau bahkan polos, bulu pada tengkuk berwarna abu-abu tipis, serta
pada bulu ekor terdapat garis-garis horizontal berwarna abu-abu tipis. Burung
betina memiliki warna coklat yang lebih gelap. Bulu dada berwarna coklat dengan
banyak bintik berwarna hitam. Bulu tengkuk berwarna abu-abu gelap, bulu sayap
coklat gelap dengan garis-garis horizontal berwarna abu-abu jelas. Warna bulu
sayap bagian ventral putih kecoklatan dengan garis horizontal berwarna abu-abu
jelas, pada bulu ekor memiliki garis-garis horizontal berwarna abu-abu jelas
dengan warna dasar bulu berwarna coklat gelap. Ukuran betina umumnya lebih
besar dibanding jantan (Ramsden et al. 2010).

4

Ekologi dan Perilaku
Burung serak jawa merupakan burung raptor nokturnal karena kebiasaan
alami mereka berburu dan memangsa hewan lain seperti tikus, kadal, ular, katak,
serta serangga (MacKinnon et al. 2010). Burung ini memiliki kemampuan dalam
menangkap tikus, sehingga sering dimanfaatkan oleh petani sebagai pembasmi
hama tikus. Oleh karena itu petani mulai banyak membiakkan burung serak jawa
di lahan pertanian mereka.
Proses reproduksi serak jawa hampir sama dengan burung raptor pada
umumnya. Proses berkembang biak diawali dengan jantan yang menempati
lubang-lubang pohon maupun gedung- gedung bangunan serta membawa pakan
untuk menarik perhatian betina. Menurut Golser (2007), serak jawa memiliki
perilaku bersarang di lubang pohon, bangunan tua yang tidak terpakai, atau sarang
burung lain yang sudah tidak dihuni. Betina akan menyiapkan tempat untuk
bertelur dalam sarang yang ditempatinya, biasanya lantai sarang dialasi dengan
pellet yang dikeluarkan setelah proses pencernaan makanan (Ramsden et al. 2010).
Burung serak jawa mencapai dewasa kelamin pada umur satu tahun. Pada
satu periode bertelur, burung ini bisa bertelur 5-6 butir, dengan jarak waktu
bertelur 2-3 hari sekali dan melakukan pengeraman dari telur pertama selama 3132 hari. Anakan burung serak jawa akan meninggalkan sarangnya pada umur 3-5
minggu. Burung serak jawa di alam umur rata-rata hidupnya adalah 2-5 tahun,
tetapi dapat mencapai belasan sampai puluhan tahun di penangkaran. Burung jenis
Tyto alba yang dipelihara di penangkaran tercatat dapat mencapai umur 20 tahun,
bahkan waktu hidup terlama yang tercatat adalah 34 tahun (Marti 1992).
Saluran Pencernaan Burung
Burung tidak memiliki gigi, sehingga tidak dapat mengunyah makanan
seperti halnya mamalia. Burung serak jawa, langsung menelan mangsanya secara
utuh jika mangsanya berukuran kecil, atau dicabik dengan paruhnya menjadi
potongan yang lebih kecil jika mangsanya berukuran besar sehingga dapat ditelan
(Parry-Jones 2001). Saluran pencernaan burung hantu meliputi paruh, rongga
mulut, esofagus, proventrikulus, gizzard, usus halus, , usus besar dan kloaka.
Burung hantu tidak memiliki tembolok untuk menampung sementara makanan,
sehingga makanan yang masuk akan langsung menuju lambung dan diproses
secara enzimatis (Bastarache 2006). Tembolok juga tidak ditemukan pada burung
walet (Novelina 2009). Gambar skematis perbandingan saluran pencernaan
burung secara umum dengan saluran pencernaan burung hantu dapat dilihat pada
Gambar 2.
Proventrikulus berfungsi menerima makanan dari esofagus serta
mensekresikan mukus, HCl, dan pepsinogen yang dihasilkan oleh kelenjar yang
terdapat di dinding mukosa proventrikulus. Pepsinogen merupakan enzim
pencernaan yang disekresikan dalam bentuk inaktif dan akan dirubah/diaktivasi
oleh HCl menjadi pepsin yang berfungsi sebagai enzim proteolitik (Ritchison
2006). Otot-otot proventrikulus terdiri atas otot sirkuler di bagian profundal dan
otot longitudinal di bagian superfisial.

5

A

B

Gambar 2 Saluran pencernaan burung yang memiliki tembolok (A), dan saluran
pencernaan burung hantu yang tidak memiliki tembolok (B)
(sumber : A. http://people.eku.edu, B. http://www.owlpages.com)

Proventrikulus memiliki dua kelenjar, yaitu kelenjar proventrikulus
superfisialis dan kelenjar proventrikulus profundus yang berbentuk tubular.
Kelenjar proventrikulus superfisialis berfungsi menghasilkan mukus, sedangkan
kelenjar proventrikulus profundus menghasilkan HCl dan pepsinogen (Hamdi et
al. 2013).
Lapisan otot pada dinding gizzard terdiri atas otot sirkuler pada lapisan
profundal dan otot longitudinal pada lapisan superfisial serta tidak menunjukkan
adanya hipertrofi otot yang membentuk sphincter di daerah perbatasan antara
proventrikulus dengan gizzard maupun antara gizzard dengan duodenum. Proses
pencernaan pada burung hantu yaitu tetap mempertahankan makanan yang masuk
dalam gizzard. Aktifitas kontraksi dan relaksasi gizzard akan menyebabkan
makanan tercerna secara mekanik. Hasil pencernaan makanan akan diteruskan
menuju usus halus melalui adanya kontraksi dari gizzard sehingga nutrisi dari
makanan dapat diserap di usus halus, sedangkan material yang tidak tercerna
seperti tulang, bulu atau rambut, serta kuku, akan dikeluarkan kembali menjadi
pellet (Grimm dan Whitehouse 1963; Steven dan Hume 1995). Pellet akan
dikeluarkan jika proses pencernaan telah selesai dan nutrisi yang terkandung
dalam makanan tersebut sudah diserap. Pada saat akan mengeluarkan pellet,
burung hantu memperlihatkan perilaku yang khas, seperti leher ditekuk sampai
paruh mendekati dada, lalu leher diregangkan sampai kepala menengadah ke atas.
Proses ini dilakukan berkali-kali sambil menutup kedua mata sampai pellet keluar
melalui rongga mulut (Parry-Jones 2001). Burung hantu tidak akan melakukan
aktifitas makan lagi jika pellet belum diregurgitasi (Bastarache 2006).

6

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2014, di
Laboratorium Riset Anatomi, Bagian Anatomi Histologi dan Embriologi,
Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Penelitian ini menggunakan dua ekor burung serak jawa (Tyto alba) betina
yang berasal dari Cianjur Jawa Barat dan Solo Jawa Tengah, dengan berat ratarata 471 ± 29 gram. Bahan lainnya adalah : kloroform, paraformaldehida 4%,
alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, 100%, silol, parafin, akuades, Entellan®, serta
pewarna hematoksilin-eosin (HE).
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu satu set alat bedah minor,
timbangan (kg), sliding caliper (mm), pita ukur (cm), object glass (kaca preparat)
dan cover glass (kaca penutup), inkubator, hotplate, mikrotom, mikroskop dan
kamera digital Canon EOS 700D untuk dokumentasi makroskopis maupun
mikroskopis (fotomikrografi). Pengolah gambar Adobe Photoshop CS3.
Prosedur Penelitian
Penelitian diawali dengan mengamati dan melakukan pemotretan pada saat
hewan hidup serta dilakukan pengukuran bobot tubuh menggunakan timbangan
digital. Proses selanjutnya yaitu preparasi dengan melakukan anastesi perinhalasi
menggunakan kloroform. Segera setelah hewan terbius, dilakukan penyayatan di
daerah medioventral untuk membuka daerah thoraks dan mencapai jantung, lalu
dilakukan pengeluaran darah (eksanguinasi) dan proses fiksasi secara perfusi
menggunakan paraformaldehida 4%. Organ pencernaan dikeluarkan dari tubuh
dan dimasukkan dalam larutan fiksatif paraformaldehida 4% selama 3 x 24 jam,
selanjutnya larutan diganti dengan alkohol 70% sebagai stopping point.
Pengamatan makroskopis meliputi pengamatan morfologi esofagus,
proventrikulus dan gizzard, serta pengukuran yang meliputi pengukuran panjang
dan diameter esofagus dan proventrikulus, serta panjang kurvatura mayor dan
diameter gizzard. Pembuatan preparat histologi untuk pengamatan mikroskopis,
dilakukan sesuai standar rutin histologi menggunakan metode paraffin, meliputi
dehidrasi jaringan, embedding, blocking, pemotongan menggunakan mikrotom
dengan ketebalan 5 μm dan diwarnai menurut metode pewarnaan haematoksilineosin (Kiernan 1990). Pengamatan mikroskopis meliputi pengamatan struktur
umum jaringan esofagus, proventrikulus dan gizzard. Hasil pengamatan dicatat
dan didokumentasikan dengan kamera Canon EOS 700D. Pengolahan gambar
menggunakan software Adobe Photoshop CS3.

7

HASIL
Pengamatan Makroskopis Esofagus dan Lambung
Saluran pencernaan burung serak jawa terdiri atas paruh, rongga mulut,
esofagus tanpa tembolok, proventrikulus, gizzard, usus halus, usus besar, serta
kloaka. Esofagus burung serak jawa memiliki rataan panjang 9.8 ± 0.25 cm.
Esofagus dibedakan menjadi dua bagian yaitu esofagus pars cervicalis yang
berjalan di sebelah dekstra trakhea dan pars thoracalis yang terdapat di rongga
thoraks (Gambar 4). Burung serak jawa tidak memiliki tembolok. Diameter
esofagus bagian kranial memiliki ukuran 1.01 ± 0.21 cm, bagian medial 0.47 ±
0.17 cm dan bagian kaudal 0.77 ± 0.12 cm (Tabel 1, Gambar 4). Gizzard terletak
di sebelah sinistra dari sumbu medial tubuh dan berada lebih ke kaudal, tepat
disamping sebelah dekstra terdapat usus dan pankreas. Organ proventrikulus baru
terlihat setelah jantung dan hati dipisahkan dari tubuh (Gambar 3A dan B).
A
h

e
d

g

b’

c

b

a

B
h

i

g

d

b’

c

a
b

f

Gambar 3 Situs viscerum burung serak jawa (Tyto alba), setelah jantung
dipisahkan (A) dan setelah jantung dan hati dipisahkan (B).
a. Lidah, b. Trakhea, b’. Bronkus c. Esofagus pars cervicalis, d. Esofagus
pars thoracalis, e. Hati, f. Proventrikulus, g. Gizzard, h. Usus, i. Paru-paru
Kantung empedu ditunjukkan dengan anak panah. Bar : 2cm

8

Lambung burung serak jawa terdiri atas proventrikulus dan gizzard. Pada
perbatasan proventrikulus dengan gizzard ditemukan adanya penebalan otot yang
tidak simetris. Proventrikulus berbentuk kerucut (cone-shape), dengan diameter
0.67 ± 0.11 cm di bagian kranial, 1.07 ± 0.2 cm di bagian medial, dan 1.21 ± 0.21
cm di bagian kaudal, serta memiliki panjang 3.2 cm. Gizzard, dalam keadaan
kosong dan difiksasi berbentuk seperti kubus, memiliki panjang kurvatura mayor
6.5 ± 0.95 cm, kurvatura minor sangat pendek. Diameter gizzard 1.88 ± 0.25 cm
yang dihitung pada bagian medial (Tabel 1, Gambar 5).
Tabel 1 Ukuran panjang dan diameter esofagus dan lambung burung serak jawa
Organ
Esofagus
Panjang
Diameter kranial
Diameter medial
Diameter kaudal
Proventrikulus
Panjang
Diameter kranial
Diameter medial
Diameter kaudal
Ventrikulus
Panjang kurvatura mayor
Diameter

Tyto alba 1
(cm)

Tyto alba 2
(cm)

Rataan
(cm)

9.6
0.8
0.3
0.65

10.1
1.22
0.65
0.89

9.8 ± 0.25
1.01 ± 0.21
0.47 ± 0.17
0.77 ± 0.12

3.2
0.56
0.87
1.42

3.2
0.78
1.27
1

3.2
0.67 ± 0.11
1.07 ± 0.2
1.21 ± 0.21

5.6
2.1

7.5
1.6

6.5 ± 0.95
1.88 ± 0.25

f

a

e

d

c
b

Gambar 4 Saluran pencernaan burung serak jawa tampak ventral,
dengan pembagian esofagus berdasarkan letaknya
a. Esofagus pars cervicalis, b. Esofagus pars thoracalis, c. Proventrikulus,
d. Gizzard, e. Usus, f. Pankreas. Bar : 2 cm

9

b

c

a

d

Gambar 5 Morfologi interior lambung burung serak jawa
a. Proventrikulus, b. Gizzard, c. Lumen Gizzard,
d. Lipatan mukosa gizzard. Bar : 0.5 cm

Komposisi dan Ukuran Pellet
Pellet merupakan massa padat berbentuk bulat lonjong yang terbentuk dari
material yang tidak dapat dicerna seperti bulu atau rambut, kuku, serta gigi. Pellet
burung serak jawa memiliki ukuran panjang sekitar 2-3 cm dan lebar 1-2 cm.
Terdapat tulang-tulang dan rambut dari sisa makanan burung serak jawa yang
berupa mencit (Gambar 6).
A

B

Gambar 6 Koleksi pellet utuh (A) dan komposisi pellet (B) burung serak jawa.
Terdapat beberapa macam tulang dan rambut dari sisa makanan burung serak jawa
yang berupa mencit. Bar : 2 cm

Pengamatan Mikroskopis Esofagus dan Lambung
Dinding esofagus burung serak jawa terdiri atas lapisan mukosa, submukosa,
muskularis eksterna dan lapis adventisia (Gambar 7). Mukosa esofagus bagian
kranial dan medial (Gambar 7A, B, A’ dan B’) memperlihatkan lapisan mukosa
yang dilapisi sel epitel pipih banyak lapis tanpa adanya keratinisasi. Mukosa
esofagus bagian kaudal (Gambar 7C), dilapisi oleh epitel silindris sebaris.

10

Kelenjar esofagus berbentuk tubular dan bertipe mukus dengan ciri khas inti
sel yang terletak di basal (Gambar 7D). Kelenjar ini terletak tepat di profundal
epitel mukosa, dan terdapat di sepanjang esofagus. Kelenjar esofagus ditemui
lebih banyak pada bagian kranial dibandingkan bagian medial, dan jumlahnya
semakin sedikit di bagian kaudal. Lapis muskularis eksterna terdiri atas otot
longitudinal di profundal dan otot sirkuler di superfisial. Lapisan muskularis
eksterna di bagian kaudal berukuran paling tebal. Potongan esofagus melintang
(Gambar 7A’, B’, dan C’), menunjukkan bahwa esofagus bagian kranial memiliki
ukuran lumen yang paling lebar, menyempit di bagian medial, dan kembali lebar
di bagian kaudal. Potongan melintang esofagus bagian media l menujukkan lipatan
mukosa yang lebih tinggi dibandingkan bagian kranial dan kaudal.

A

kranial

B

i

a

a

i

C

i
c

b

d
d

d
c

e

e

e
f

g

f

h

h

h

f

A’

B’

i

C’

i

i
d

a

d

c

d

a

c

e

h
f

e

a

c

h

g

g

f

f

D

e
h

E
a

a

c

c

b

d

d

Gambar 7 Mikroanatomi dinding esofagus bagian kranial (A), medial (B) dan
kaudal (C). Sayatan memanjang (A, B, C), sayatan melintang (A’, B’,
C’), epitel mukosa dan kelenjar esofagus inset A (D) dan inset C (E).
a. Epitel pipih banyak lapis, b. Epitel silindris sebaris, c. Kelenjar esofagus
d. Lapisan submukosa, e. Otot longitudinal, f. Otot sirkuler, g. Pembuluh darah,
h. Lapisan adventisia, i. Lumen. Pewarnaan HE. Bar A, B, C: 200µm; D, E: 50µm.

11

Dinding proventrikulus tersusun atas lapisan mukosa, submukosa,
muskularis eksterna, dan lapisan serosa (Gambar 8A). Lapisan mukosa dilapisi
oleh sel epitel silindris sebaris, pada lamina propria terdapat kelenjar
proventrikulus superfisialis (Gambar 8A dan B), sedangkan pada submukosa
terdapat kelenjar proventrikulus profundus (Gambar 8A dan C). Kelenjar
proventrikulus superfisialis maupun profundus berbentuk tubular. Kelenjar
proventrikulus superfisialis disusun oleh sel-sel mukus (Gambar 8B), sedangkan
kelenjar proventrikulus profundus terdiri atas sel utama yang memiliki ciri khas
inti berukuran kecil dan sitoplasma berwarna ungu gelap, serta sel parietal yang
memiliki inti berbentuk bulat lebih besar dibandingkan inti sel utama, dengan
sitoplasma yang berwarna pink terang (Gambar 8C). Lapis muskularis eksterna
terdiri atas tiga lapis otot, yaitu dua lapis otot longitudinal di superfisial dan
profundal, serta satu lapis otot sirkuler di antaranya.

B

A
a

a

b

b

b

c
b

b

c

C

c

u

p
u

p

p

Lm
Lm

Sm

s

Gambar 8 Mikroanatomi dinding proventrikulus (A) , kelenjar proventrikulus
superfisialis (B), kelenjar proventrikulus profundus (C)
a. Lipatan mu kosa proventrikulus, b. Kelen jar p roventrikulus superfisialis (lamina
propria), c. Kelenjar proventrikulus profundus (submukosa), p. Sel parietal,
u. Sel utama, Lm. Otot longitudinal, Sm. Otot sirkuler, s. Serosa.
Pewarnaan HE. Bar A: 200µm , B dan C: 50 µm.

Gizzard terdiri atas beberapa lapisan, yaitu lapisan mukosa, submukosa,
muskularis eksterna, dan serosa. Mukosa gizzard burung serak jawa dilapisi
dengan epitel silindris sebaris dan dilapisi oleh kutikula yang tipis (Gambar 9A
dan B). Kelenjar gizzard berbentuk tubular dan terletak di lamina propria (Gambar
9B dan D). Otot gizzard burung serak jawa cukup tebal, tersusun atas otot
longitudinal di bagian profundal dan otot sirkuler di bagian superfisial (Gambar
9C).

12

A

f

B

f

a
a

b

b

c

C

a

D

b

d

e

Gambar 9 Mikroanatomi mukosa gizzard dengan kutikula yang tipis (A & B),
muskularis eksterna (C), dan kelenjar gizzard inset B (D)
a. Lipatan mukosa gizzard, b. Kelenjar gizzard, c. Sub mukosa, d. Otot longitudinal,
e. Otot sirkuler, f. Lumen. Kutikula ditunjukkan dengan anak panah
Pewarnaan HE. Bar A: 200µm; B, C: 100µm; dan D: 50µm.

PEMBAHASAN
Esofagus adalah organ berbentuk tubulus, yang menghubungkan daerah
rongga mulut dengan proventrikulus. Burung serak jawa tidak mempunyai
tembolok, hal ini sesuai menurut Fox (1995) bahwa burung hantu tidak memiliki
tembolok. Setelah melalui esofagus makanan langsung menuju proventrikulus dan
dicerna secara enzimatis (Bastarasche 2006). Keberadaan tembolok berkaitan
dengan fungsinya, kadang kala tembolok dilengkapi dengan adanya mikroba
bakteri dan enzim yang menyebabkan terjadinya proses pencernaan makanan
sebelum memasuki lambung, contohnya pada ayam dan merpati (Rossi et al.
2006). Burung serak jawa merupakan burung raptor yang dapat dengan cepat
mencerna makanan dengan enzim proteolitik
Mukosa esofagus burung serak jawa tidak dilapisi dengan keratin, karena
burung ini merupakan burung pemakan daging. Berbeda halnya dengan burung
pemakan biji-bijian dan serangga, adanya keratinisasi dapat melindungi lapisan
mukosa dari erosi akibat gesekan makanan yang keras, seperti kulit dari biji-bijian
dan eksoskeleton serangga. Mukosa esofagus bagian kaudal (Gambar 7C) dilapisi
oleh sel epitel silindris sebaris, hal ini diduga merupakan daerah transisi dari epitel
mukosa, karena esofagus bagian kaudal langsung berhubungan dengan
proventrikulus.

13

Lamina propria dipenuhi kelenjar esofagus yang berbentuk tubular dan
bertipe mukus (Gambar 7D), dengan ciri khas memiliki inti yang terletak di basal.
Letak kelenjar esofagus tepat di profundal epitel mukosa, hal ini memungkinkan
sekresi mukus dapat disekresikan secara cepat langsung menuju lumen. Makanan
pertama kali masuk dalam keadaan kering dengan ukuran yang cukup besar.
Dibutuhkan tempat yang luas dan sekresi mukus yang lebih banyak untuk
memperlancar makanan masuk ke esofagus. Oleh karena itu diameter esofagus
bagian kranial memiliki ukuran paling lebar dibandingkan bagian medial dan
bagian kaudal, serta kelenjar esofagus lebih banyak terdapat di bagian kranial.
Potongan esofagus bagian medial (Gambar 7B dan B’) menunjukkan lumen
esofagus yang lebih sempit dibandingkan dengan bagian kranial maupun kaudal.
Hal ini karena banyaknya lipatan mukosa, dan secara makroskopis diameter
esofagus lebih kecil di bagian medial. Keadaan ini diduga untuk membantu
memadatkan makanan yang masuk, agar ukurannya lebih sesuai sebelum masuk
ke proventrikulus. Lipatan mukosa membantu menyalurkan makanan dengan
dibantu adanya gerak peristaltik dari lapis muskularis esofagus.
Lapisan muskularis eksterna terdiri atas dua lapis otot, yaitu otot
longitudinal yang terletak di profundal dan otot sirkuler di superfisial. Gambaran
ini sama seperti pada burung coot (Batah et al 2012) Letak otot longitudinal dan
sirkuler berbeda dengan burung pemakan biji-bijian dan mamalia pada umumnya,
hal ini diduga berkaitan dengan mekanisme antiperistaltik pada saat regurgitasi
pellet terjadi. Otot penyusun esofagus di bagian kranial terdiri atas otot bergaris
melintang, adanya otot ini berhubungan dengan perilaku makan burung serak jawa
yang masih secara sadar mengendalikan proses menelan, otot bergaris melintang
ini berjalan sampai pertengahan esofagus bagian medial.
Secara makroskopis esofagus bagian kaudal memiliki ukuran diameter yang
lebih lebar dibandingkan bagian medial, dan memiliki konsistensi otot yang lebih
kaku karena tersusun dari lapisan otot yang cukup tebal. Mikroanatomi esofagus
bagian kaudal menunjukkan lapisan muskularis eksterna yang tebal.
Berkembangnya lapis muskularis di bagian ini berfungsi untuk menghasilkan
kontraksi yang cukup kuat untuk mendorong makanan masuk ke proventrikulus.
Proventrikulus merupakan lambung kelenjar yang berfungsi mencerna
makanan secara enzimatis. Proventrikulus terlihat menyatu dengan gizzard.
Morfologi interior lambung dalam keadaan kosong menunjukkan dinding mukosa
proventrikulus yang tebal karena banyak mengandung kelenjar. Proventrikulus
memiliki dua tipe kelenjar, yaitu kelenjar proventrikulus superfisialis di lamina
propria dan kelenjar proventrikulus profundus yang terletak di submukosa. Hasil
ini sesuai dengan laporan Catroxo et al. (1997) dan Batah et al. (2012). Kelenjar
proventrikulus superfisialis berbentuk tubular dan berfungsi menghasilkan mukus
untuk melindungi lapisan mukosa dari sekreta yang dihasilkan oleh kelenjar
proventrikulus profundus. Kelenjar ini tersusun atas sel utama yang menghasilkan
pepsinogen dan sel parietal yang menghasilkan asam hidroklorat (HCl) (Hamdi et
al. 2013). Pepsinogen akan diaktifkan menjadi enzim pepsin oleh HCl, enzim ini
merupakan enzim proteolitik yang mencerna protein menjadi lebih sederhana,
sehingga dapat diserap di usus halus (Ritchison 2006). Morfologi ini berkaitan
dengan perilaku makan burung serak jawa yang memerlukan banyak enzim untuk
mencerna dengan cepat makanan yang berupa daging. Ketebalan dinding
proventrikulus ini juga diduga merupakan adaptasi, agar proventrikulus dapat
berdistensi pada saat makanan masuk dengan ukuran yang cukup besar.

14

Menurut Fox (1995) asam lambung burung raptor diurnal dan burung hantu
memiliki pH 2.0-3.5. Kemampuan raptor diurnal dalam mencerna makanan lebih
baik dibandingkan burung raptor nokturnal, sehingga pada pellet burung serak
jawa masih ditemukan kerangka yang hampir lengkap dari mangsanya (Gambar 6).
Sisa kerangka hampir tidak ditemukan pada pellet burung raptor diurnal (Ordo
Falconiformes). Lapisan muskularis eksterna proventrikulus disusun oleh tiga
lapisan, yaitu dua lapisan otot longitudinal di superfisial dan profundal, serta otot
sirkuler yang terdapat diantara kedua otot longitudinal.
Gizzard burung serak jawa berbentuk menyerupai kubus, dengan lapisan
mukosa dan lapisan otot yang tebal serta terdapat penebalan lapisan otot sirkuler
yang tidak simetris di perbatasan proventrikulus dengan gizzard. Otot gizzard
yang tebal berfungsi untuk mencerna makanan secara mekanik agar tercampur
seluruhnya dengan enzim dari proventrikulus. Menurut Grimm dan Whitehouse
(1963) serta Stevens dan Hume (1995), gizzard juga berfungsi sebagai filter untuk
material yang tidak dapat dicerna dan merupakan tempat pembentukan pellet. Otot
tebal pada gizzard juga berfungsi untuk mendorong pellet yang telah terbentuk,
untuk dikembalikan menuju proventrikulus, yang selanjutnya akan melalui
esofagus dan keluar dari tubuh secara regurgitasi.
Mukosa gizzard dilapisi dengan sel epitel silindris sebaris dan dilapisi oleh
kutikula yang tipis. Kutikula tipis ditemui juga pada burung raptor lain, yaitu
burung elang tikus (Hamdi et al. 2013). Berbeda dengan burung pemakan bijibijian dan pemakan serangga yang memiliki kutikula tebal (Nurhidayanti 2002),
burung serak jawa tidak membutuhkan kutikula tebal karena pakannya berupa
daging, yang dapat secara cepat dicerna oleh enzim proteolitik. Burung pemakan
biji-bijian dan pemakan serangga memiliki kutikula tebal untuk melindungi
lapisan mukosa dari makanan yang keras, seperti kulit biji-bijian, atau
eksoskeleton serangga. Pencernaan pada burung pemakan biji-bijan maupun
burung pemakan serangga dibantu dengan adanya kerikil untuk membantu
menghancurkan makanan yang keras (Stevens dan Hume 1995; Hunter et al.
2008).
Kelenjar gizzard berbentuk tubular dan bertipe mukus, terletak di lamina
propria. Kelenjar ini berfungsi menghasilkan mukus pada saat pencernaan
mekanik terjadi. Kelenjar gizzard ditemukan dengan jumlah yang banyak.
Tipisnya kutikula pada mukosa gizzard burung serak jawa memungkinkan
terjadinya kerusakan akibat gesekan dengan makanan yang berupa tikus, sehingga
banyaknya jumlah kelenjar mukus diduga berfungsi untuk melindungi mukosa
dari kerusakan.
Muskularis eksterna gizzard terdiri atas otot longitudinal di profundal dan
otot sirkuler di superfisial. Otot-otot ini cukup tebal, terdiri atas otot polos, dan
terletak di profundal submukosa. Otot tebal ini mendukung fungsinya sebagai
lambung otot yang membutuhkan kontraksi kuat untuk mencerna makanan secara
mekanik dan sebagai pendorong pellet kembali ke proventrikulus pada saat proses
regurgitasi.

15

SIMPULAN
Morfologi esofagus dan lambung burung serak jawa mirip dengan
burung pada umumnya, namun tidak ditemukan adanya tembolok. Esofagus
memiliki kelenjar dengan jumlah yang banyak, berbentuk tubular dan bertipe
mukus. Kelenjar ini terletak tepat di profundal epitel mukosa dan berdistribusi di
sepanjang mukosa esofagus. Salah satu keunikan lain, yaitu lapisan muskularis
eksterna pada esofagus burung serak jawa, adalah letak otot longitudinal yang
berada di bagian profundal dan otot sirkulernya di bagian superfisial.
Proventrikulus memiliki dua buah kelenjar, yaitu kelenjar proventrikulus
superfisialis dan profundus. Kelenjar proventrikulus superfisialis berfungsi
menghasilkan mukus, dan kelenjar proventrikulus profundus menghasilkan
pepsinogen dan asam hidroklorat (HCl). Muskularis eksterna pada proventrikulus
tersusun atas tiga lapisan otot, dua lapisan otot longitud inal di bagian superfisial
dan profundal, serta otot sirkuler terdapat diantara kedua otot longitudinal.
Gizzard memiliki lapisan mukosa yang dilapisi dengan kutikula yang tipis, dan
terdapat penebalan lapisan otot sirkuler yang tidak simetris. Morfologi esofagus
dan lambung burung serak jawa (Tyto alba) secara makroskopis dan mikroskopis
sangat mendukung perilaku makan alaminya.

SARAN
Perlu dilakukan penelitian mengenai organ-organ pencernaan burung serak
jawa (Tyto alba) secara keseluruhan, seperti usus dan kelenjar asesoris dengan
pengamatan yang lebih mendalam, sehingga dapat menduga fungsi pencernaan
dengan lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Bachynski K, Harris MS. 2002. Tyto alba. [internet].[diunduh pada 2014 Januari
18].Tersedia pada: http://animaldiversity.ummz. umich.edu/accounts/Tyto_
alba/
Bastarache G. 2006. Owl pellet analysis activity. [internet]. [diunduh pada 2014
Feb13].Tersedia pada: http: //www.appstate.edu/~goodmanj/4401/labnotes/owl
pellets/owlpellets.html
Batah AL, Selman HA, Saddam M. 2012. Histological study for stomach
(proventriculus and ventriculus) of coot bird Fulica atra. IASJ. 4(1):9-16
Catroxo MHB, Lima MAI, Cappellaro CEMPDM. 1997. Histological aspects of
the stomach (proventriculus and gizzard) of the red-capped cardinal (Paroaria
gularis gularis). Rev Chil Anat. 15(1):19-27.
Cholewiak D. 2003. Strigiformes.[internet].[diunduh pada 2014 Feb 13]. Tersedia
pada: http://animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/Strigiformes/
[Deptan] Departemen Pertanian. 1996. Pedoman Pengembangbiakan Burung
Hantu, Tyto alba sebagai Predator Tikus di Areal Tanaman Perkebunan.
Jakarta (ID) : Deptan
Fox N. 1995. Understanding the Bird of Prey. Surrey (US): Hancock House.
Golser A. 2007. Birds of the World: A Photographic Guide. Ontario (US): Firefly
Books
Grimm RJ, Whitehouse WM. 1963. Pellet formation in a great horned owl :
roentgenographic study. Auk. 80(3) : 301-306

16

Hamdi H, El- Ghareeb AW, Zaher M, Abu-Amod F. 2013. Anatomical,
histological, and histochemical adaptation of the avian alimentary canal to their
food habits : II- Elanus caeruleus. IJSER. 4(10):1355-1364
Hunter B, Ashley W, Babak S, Al Dam. 2008. Avian Digestive System. Ontario
(US): University of Guelph.
Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods : Theory and Practice.
Ed ke – 2. Oxford (GB) : Pergamon Pr.
MacKinnon J, Phillipps K, Balen BV, Andres P, Rozendaal F. 2010. Burungburung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Rahardjaningtrah W,
Adikerana A, Martodiharjo P, Supardiyono EK, Balen BV, penerjemah;
Sumardipura S, Kartikasari A, editor. Bogor (ID): Burung Indonesia
Marti, C. 1992. Barn Owl. Di dalam: Poole A, Stettenheim P, Gill F, editor. The
Birds of North America, Volume ke-1. Philadelphia (US): The Academy of
Natural Sciences; Washington DC (US): The American Ornithologists' Union.
hlm 1-15.
Novelina S. 2009. Studi morfologi esofagus dan lambung burung walet linchi
(Collocalia linchi). Jurnal Kedokteran Hewan. 3(1):203-209.
Nurhidayanti W. 2002. Morfologi oesophagus dan lambung burung layang-layang
asia (Hirundo rustica). [skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor.
Parry-Jones J. 2001. Understanding Owl. Cincinnati (US) : David and Charles
Presiden Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999
tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta (ID): Sekretariat
Negara.
Ramsden D, Lewis A, Davies H, Reardon S, Ramsden FJ, Richard C, Winney P,
Askew N, Hann L, Wakeham K, Lewis C, Webb P, Begatta C, Ford L. 2010.
Sexing barn owl. [Internet]. [diunduh 2014 Feb 12]. Tersedia pada :
http://www.barnowltrust.org.uk/content_images/pdf/sexing_Barn_Owls_23.pdf.
Ritchison G. 2006. Digestive system : Food and Feeding Habit. [internet].
[diunduh pada 2014 Feb 13]. Tersedia pada:http://people.eku.edu/ ritchisong/
birddigestion.html
Rocha DOS, De Lima MAI. 1998. Histological aspects of stomach of burrowing
owl (Speotyto cunicularia, Molina, 1782). Rev Chil Anat. 16(2):191-197.
Rossi JR, Baraldi- Artoni SM, Oliveria D, Cruz C, Sagulal A, Pacheco MR, Arajo
MK. 2006. Morphology of oesophagus and crop of the partrigde Rhynchotus
rufescens (Tiramidae). Acta Sci Biol Sci. 28(2):165–168
Stevens CE, Hume ID. 1995. Comparative Physiology of the Vertebrate Digestive
System. Cambridge (EN): Cambridge Univ Pr.
Sukmantoro W, Irham M, Novarino W, Hasudungan F, Kemp N, Muchtar M.
2007. Daftar Burung Indonesia. Ed ke-2. Bogor : Indonesian Ornithologists’
Union
Yasin I. 2010. Pencernaan serat kasar pada ternak unggas. Jurnal Ilmiah Inkoma.
21(3):125-135
Zaher M, El-Ghareeb AW, Hamdi H, Abu-Amod F. 2012. Anatomical,
histological and histochemical adaptations of the avian alimentary canal to
their food habits: I-Coturnix coturnix. Life Science Journal. 9(3):253-275

17

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bekasi pada tanggal 9 Mei 1992, putra kedua dari pasangan
Atjep Noor Hidajat dengan Maizaharni. Penulis menempuh pendidikan sekolah
menengah pertama di SMPN 1 Sukanagara, Cianjur, kemudian meneruskan
pendidikan di SMAN 1 Cianjur, dan diterima sebagai mahasiswa Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 melalui jalur USMI.
Selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor, penulis pernah menjadi penanggung jawab cluster wild ornith di himpunan
profesi satwaliar FKH IPB, selain itu penulis juga pernah menjadi ketua dalam
kegiatan Ekspedisi II SATLI mengenai gajah sumatera di Taman Nasional Way
Kambas, Lampung. Penulis pernah menjadi pembicara pada learning grup
himpunan profesi hewan kesayangan dan satwa akuatik eksotik mengenai reptil.