Micro rhizome formation of temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) and genetic stability analysis to repeated sub cultured plantlets

PEMBENTUKAN RIMPANG MIKRO SECARA IN VITRO DAN
ANALISIS KESTABILAN GENETIK ANTAR SUB-KULTUR
TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

DELVI MARETTA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORAMSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pembentukan Rimpang Mikro
secara In vitro dan Analisis Kestabilan Genetik antar Sub-kultur Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Oktober 2010
Delvi Maretta
NRP A151060131

i

ABSTRACT
DELVI MARETTA. Micro Rhizome Formation of Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) and Genetic Stability Analysis to Repeated Sub-cultured
Plantlets. Under direction of DARDA EFENDI, SANDRA ARIFIN AZIZ and
DODO RUSNANDA SASTRA.
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) was used to be propagated from
rhizome. High propagul weight will produce high yield. The use of big sized
rhizome for seedling will reduce its use for consumption and processing purposes.
Therefore, in vitro micro rhizome could be used as propagul alternative for the
propagation of temulawak because of its simplicity and high multiplication in
shorter time.
Plantlet from repeated sub-cultures induced to form micro rhizome. High
rate shoot multiplication caused somaclonal variation. In plants propagation,
somaclonal variation was not desired because seed uniformity was very important.

Therefore, genetic stability of plantlets for get true to type seed from the use of
repeated sub-culture in vitro shoot for micro rhizome formation must be studied.
This research used RFLP and sequencing method to find the genetic stability
of plantlet among sub-cultures generations. RFLP method was used to mother
plant’s DNA and plantlet’s DNA from 3rd, 4th, 5th and 12th sub-cultures.
Sequencing analysis was used to mother plant’s and 12th sub-cultures plantlet
DNA. In vitro micro rhizome formation research consisted of three studies : 1)
The effect of physical of media (liquid and solid medium) and sucrose (30, 60, 90,
120 gL-1); 2) The effect of the strength of MS medium (half and full strength) and
sucrose (30, 60, 90, 120 gL-1) ; 3) The effect of level of BAP (0, 1, 2, 3 mgL-1)
and sucrose (30, 60, 90, 120 gL-1) to plantlet growth and micro rhizome
formation. Cultures were incubated in the dark for 16 hours day-1.
Electrophoresis band of DNA temulawak in RFLP analysis with restriction
enzymes MBo1, Taq1 and Alu1 showed the same pattern between 5 samples
DNA. There is possibility of genetic stability of temulawak plantlet between
generation 3rd, 4th, 5th, and 12th sub-cultures and mother’s plants DNA. Homology
result of sequencing DNA also showed genetic stability for 300 bp DNA. There
is genetic sequence equality between DNA mother plants sequence at base
number 61-361 and DNA plantlet 12th sub-culture at base sequence number 61361.
Micro rhizomes of temulawak was formed in liquid half and full strength

MS. Interaction BAP and sucrose have significant effect on rhizomes formation at
18 weeks after planting. The higher frequency of rhizomes formation was
enhanced in medium with BAP 1 and 2 mgL-1 on sucrose concentration 60, 90,
120 gL-1. The increased of sucrose concentration also had positive effect to higher
number, diameter and weight of micro rhizomes 8 weeks after acclimatization.
Keywords : RFLP, sequencing, BAP, sucrose

ii

RINGKASAN
DELVI MARETTA. Pembentukan Rimpang Mikro secara In Vitro dan Analisis
Kestabilan Genetik antar Sub-Kultur Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.).
Dibimbing oleh DARDA EFENDI, SANDRA ARIFIN AZIZ dan DODO
RUSNANDA SASTRA.
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah tumbuhan obat asli
Indonesia dan berbagai penelitian telah mengungkapkan khasiat temulawak.
Khasiat temulawak terutama disebabkan oleh kandungan senyawa berwarna
kuning golongan kurkuminoid dan minyak atsiri yaitu xanthorrizol. Selama ini
pembibitan temulawak masih menggunakan bibit yang berasal dari rimpang.
Semakin tinggi bobot rimpang bibit temulawak yang ditanam semakin tinggi hasil

yang diperoleh, akan tetapi pemakaian rimpang bibit berukuran besar untuk
memperoleh hasil panen yang tinggi menyebabkan kebutuhan bibit cenderung
besar, sehingga dapat mengurangi jumlah rimpang untuk konsumsi atau untuk
olahan.
Teknik in vitro adalah teknologi yang dapat diterapkan untuk memenuhi
kebutuhan bibit berupa rimpang mikro. Rimpang mikro dapat ditanam secara
langsung tanpa proses aklimatisasi, penyimpanan dan transportasi rimpang mikro
untuk bibit lebih mudah. Percobaan pembentukan rimpang mikro telah dilakukan
terhadap tanaman jahe, temuputih dan kunyit tetapi belum dilakukan pada
temulawak. Untuk itu perlu dilakukan penelitian pembentukan rimpang mikro
temulawak secara in vitro.
Rimpang mikro diinduksi dari tunas-tunas in vitro hasil sub-kultur berulang
dapat menyebabkan penyimpangan genetik tanaman. Oleh karena itu penggunaan
tunas in vitro untuk induksi rimpang mikro temulawak sebagai sumber bibit harus
memperhatikan kestabilan genetik plantlet hasil multiplikasi berulang supaya bibit
yang dihasilkan true to type. Dengan kemajuan biologi molekuler, kestabilan
genetik plantlet antar generasi sub-kultur dapat diketahui dengan pendekatan
marka DNA.
Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan jumlah tahapan sub-kultur
yang tetap mempertahankan kestabilan genetik plantlet temulawak serta

mempelajari pengaruh bentuk fisik media (media cair dan padat), komposisi
media (komposisi media MS konsentrasi penuh dan setengah konsentrasi),
konsentrasi BAP dan sukrosa terhadap pertumbuhan eksplan dan pembentukan
rimpang mikro temulawak pada kultur in vitro.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengembangan Teknologi Industri
Agro dan Biomedika (LAPTIAB) BPPT, di Kawasan Puspiptek, Serpong
berlangsung dari bulan Oktober 2008–Mei 2010. Penelitian ini mengaplikasikan
metode RFLP dan sequensing untuk melihat kestabilan genetik plantlet antar
generasi sub-kultur yang akan digunakan sebagai bahan tanaman pada percobaan
pembentukan rimpang mikro. Metode RFLP menggunakan DNA tanaman induk
dan plantlet dari sub-kultur ke-3, ke-4, ke-5 dan ke-12 dengan enzim restriksi
Taq1, MBo1 dan Alu1 sedangkan analisis sequen menggunakan DNA dari
tanaman induk dan DNA plantlet sub-kultur ke-12. Penelitian pembentukan
rimpang mikro terdiri dari tiga percobaan secara berseri yaitu 1) Percobaan I :
Pengaruh bentuk fisik media (cair dan padat) dan sukrosa (30, 60, 90, 120 gL-1);
iii

2) Percobaan II : Pengaruh komposisi media MS (media MS konsentrasi penuh
dan ½ konsentrasi) dan sukrosa (30, 60, 90, 120 gL-1) dan 3) Percobaan III :
Pengaruh BAP (0, 1, 2, 3 mgL-1) dan sukrosa (30, 60, 90, 120 gL-1), terhadap

pertumbuhan dan pembentukan rimpang mikro temulawak. Percobaan II akan
dilakukan berdasarkan hasil dari Percobaan I sedangkan Percobaan III akan
dilakukan berdasarkan hasil dari Percobaan I dan II. Ketiga percobaan
menggunakan rancangan faktorial acak lengkap. Data dianalisis dengan sidik
ragam dan jika berbeda nyata akan dilakukan uji lanjut DMRT pada taraf
kesalahan 5 %. Dilakukan persemaian terhadap rimpang mikro dan aklimatisasi
terhadap plantlet yang memiliki rimpang mikro serta analisis bahan aktif terhadap
rimpang mini yang dipanen setelah aklimatisasi.
Analisis kestabilan genetik dengan metode RFLP menghasilkan gambar
elektroforasi dengan pola pita yang sama. Ketiga enzim memotong DNA kelima
tanaman sampel pada posisi yang sama. Hal tersebut berarti kemungkinan besar
terdapat kestabilan genetik plantlet antar sub kultur in vitro temulawak.
Produk PCR yang berhasil di-sequensing dengan kualitas baik berukuran
300 bp untuk kedua sampel tanaman. Sequen DNA tanaman induk mulai dari
urutan basa nomor 61–361, sedangkan sequen DNA plantlet sub-kultur ke-12 dari
urutan basa nomor 58–358. Hasil homologi kedua sequen tersebut menunjukkan
urutan basa 100% sama. Hal ini berarti tahapan sub-kultur yang berulang hingga
12 kali dapat mempertahankan kesamaan genetik sebesar 300 bp.
Hasil sidik ragam percobaan I menunjukkan induksi pembentukan rimpang
mikro lebih dipengaruhi oleh faktor tunggal bentuk fisik media. Rata-rata induksi

rimpang mikro lebih banyak pada media cair (1.22 per plantlet) dibandingkan
pada media padat (0.33 per plantlet). Pada media cair ukuran plantlet semakin
tinggi (korelasi -0.99*), daun yang lebih luas dan akar yang lebih panjang
menghasilkan jumlah rimpang mikro yang semakin sedikit.
Berdasarkan percobaan I maka media cair digunakan pada percobaan II.
Sampai 18 MSP pembentukan rimpang mikro tidak dipengaruhi oleh faktor
tunggal komposisi media atau sukrosa maupun interaksi keduanya. Media MS ½
konsentrasi dapat digunakan untuk pembentukan rimpang mikro karena secara
ekonomi lebih murah dan tidak berbeda nyata dengan media MS konsentrasi
penuh.
Berdasarkan hasil dua percobaan sebelumnya maka pada percobaan III
media yang digunakan adalah media cair MS ½ konsentrasi. Pada percobaan ini
interaksi BAP dan sukrosa berpengaruh nyata terhadap jumlah rimpang pada 18
MSP. Hasil uji lanjut menunjukkan interaksi BAP 2 mgL-1 dan sukrosa 120 gL-1
membentuk rimpang mikro nyata terbanyak yaitu 2 rimpang mikro per plantlet.
Konsentrasi sukrosa yang semakin tinggi, pada media tanpa BAP serta dengan
penambahan BAP 1 dan 2 mgL-1 jumlah rimpang mikro yang terbentuk semakin
banyak. Sebaliknya pada media dengan penambahan BAP 3 mgL-1 jumlah
rimpang akan semakin sedikit. Hasil interpretasi nilai korelasi menyatakan bahwa
rimpang mikro berjumlah lebih banyak dan berukuran besar dipanen dari tunastunas yang berukuran kecil.

Persemaian rimpang mikro yang dipotong dari plantlet induk pada media
arang sekam menghasilkan 100% rimpang mikro bertunas pada 1 minggu setelah
semai (MSS). Rimpang mikro yang berasal dari perlakuan dengan konsentrasi

iv

sukrosa 120 gL-1 menunjukkan ukuran plantlet yang tertinggi pada kisaran 13.5–
15.5 cm .
Aklimatisasi dilakukan terhadap plantlet dari perlakuan yang memiliki
rimpang mikro pada 12 MSP. Setelah 8 MST diperoleh rimpang mini pada setiap
plantlet dari semua perlakuan yang diaklimatisasi. Seratus persen rimpang mikro
yang diaklimatisasi mengalami peningkatan ukuran. Terdapat pertambahan
jumlah rimpang sebesar 89.29% (5.3 rimpang mini per tanaman) dan ukuran
diameter sebesar 47.68% (rata-rata berdiameter 0.99 cm). Bobot kering rimpang
mini sebesar 8.73% dari bobot basahnya. Proses pengeringan rimpang mini
menyebabkan penyusutan bobot hingga 91.27%. Rimpang mini berwarna kuning,
memiliki ubi akar, berbau khas temulawak dan hanya terdiri dari rimpang primer.
Warna kuning pada rimpang menandakan adanya kandungan kurkumin pada
rimpang. Hasil analisa bahan aktif dengan metode HPLC menunjukkan rimpang
mini menghasilkan kurkumin sebesar 0.17 mg/g dan xanthorrizol sebesar 7.88

mg/g.
Kata kunci : RFLP, sequen, BAP, sukrosa

v

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

vi

PEMBENTUKAN RIMPANG MIKRO SECARA IN VITRO DAN
ANALISIS KESTABILAN GENETIK ANTAR SUB-KULTUR
TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)


DELVI MARETTA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Agronomi dan Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
vii

Judul Tesis

Nama
NRP

: Pembentukan Rimpang Mikro secara In vitro dan Analisis

Kestabilan Genetik antar Sub-Kultur Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.)
: Delvi Maretta
: A151060131

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Darda Efendi, MSi
Ketua

Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS
Anggota

Dr. Ir. Dodo Rusnanda Sastra, MSi
Anggota

Mengetahui
Ketua Program Studi
Agronomi

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS

Tanggal Ujian : 1 Oktober 2010

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Lulus :

viii

PRAKATA
Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya
sehinggga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini merupakan hasil
dari percobaan pembentukan rimpang mikro temulawak secara in vitro yang
dilaksanakan sejak bulan Oktober 2008 hingga Mei 2010 di Laboratorium
Pengembangan Teknologi Agro dan Biomedika, Kawasan Puspiptek Serpong.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Darda Efendi, MSi,
Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS dan Dr. Ir. Dodo Rusnanda Sastra, MSi selaku
pembimbing yang telah memberikan saran dan arahan selama penulis
melaksanakan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Terima kasih juga
penulis ucapkan untuk Direktur Pusat Teknologi Produksi Pertanian, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi beserta jajarannya, rekan-rekan sekerja di
Bidang Teknologi Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultura, teman-teman yang
telah banyak membantu di LAPTIAB selama penelitian berlangsung, serta kepada
Pusbindiklat yang telah mendanai studi penulis. Tak lupa penulis ucapkan terima
kasih pada seluruh keluarga, mama, papa (alm), suami dan ananda tercinta atas
do’a, dukungan dan pengertian selama penulis menjalani studi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2010
Delvi Maretta

ix

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang, 20 Maret 1979 dari ayah Sapuan dan Ibu
Kurma. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2006 penulis
menikah dengan Chan Jayadi dan dikaruniai satu putri bernama Alma Nurwasita.
Tahun 1997 penulis lulus dari SMU Muhammadiyah Yogyakarta. Di tahun
yang sama penulis terseleksi menjadi mahasiswi IPB melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB pada Program Studi Hortikultura – Jurusan Budidaya
Pertanian Fakultas Pertanian.
Setahun lulus dari IPB, tahun 2002 penulis diterima di Badan Pengkajian
Penerapan Teknologi di Bidang Teknologi Produksi Tanaman Pangan dan
Hortikultura yang sebelumnya pernah bekerja di PT Pangansari Utama – Timika
Papua. Pada tahun 2006 penulis kembali melanjutkan studi di IPB pada Program
Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB setelah penulis menerima beasiswa
Program Peningkatan Keterampilan dan Pendidikan dari Pusat Pembinaan,
Pendidikan dan Pelatihan BPPT.

x

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................

xii

DAFTAR GAMBAR.................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................

xv

PENDAHULUAN
Latar Belakang..................................................................................
Tujuan ..............................................................................................
Hipotesis...........................................................................................

1
4
4

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Temulawak.............................................................
Potensi dan Kegunaan Temulawak....................................................
Propagasi Tanaman Temulawak........................................................
Kultur Jaringan Tanaman ..................................................................
Keragaman Somaklonal dalam Kultur Jaringan Tanaman..................
Analisis Kestabilan Genetik dengan Penanda DNA...........................
Mikropropagasi Tanaman Zingiberaceae...........................................
Pembentukan Organ Bawah Tanah secara In vitro.............................
Zat Pengatur Tumbuh Golongan Sitokinin ........................................
Sumber Karbon Tanaman dalam Kultur In vitro................................

5
6
7
8
9
10
10
12
13
14

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu............................................................................
Bahan dan Alat .................................................................................
Metodologi
Pengujian Kestabilan Genetik antar Generasi Plantlet...................
Pembentukan Rimpang Mikro secara In vitro...............................
Pelaksanaan Pengujian Kestabilan Genetik antar Generasi Plantlet ...
Pelaksanaan Percobaan Pembentukan Rimpang Mikro......................

15
15
16
16
20
22

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Kestabilan Genetik dengan Metode RFLP .......................
Pengujian Kestabilan Genetik dengan Analisis Sequen .....................
Kondisi Umum Tanaman pada Percobaan .........................................
Pengaruh Bentuk Fisik Media dan Sukrosa terhadap Pembentukan
Rimpang Mikro.................................................................................
Pengaruh Komposisi Media MS dan Sukrosa terhadap Pembentukan
Rimpang Mikro.................................................................................
Pengaruh BAP dan Sukrosa terhadap Pembentukan Rimpang Mikro.
Persemaian, Aklimatisasi dan Pasca Aklimatisasi .............................
Pembahasan ......................................................................................

36
39
43
49

SIMPULAN .................................................................................................

53

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................

54

LAMPIRAN.................................................................................................

61

26
29
32
33

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Luas panen, produksi dan produktivitas temulawak tahun 2000 s.d
2005 di Indonesia..............................................................................

7

2. Rata-rata jumlah induksi rimpang mikro dan ukuran plantlet (15 MSP) 33
3. Nilai korelasi daun hijau dan daun mati pada 13, 14, 15 MSP ...........

35

4. Rata-rata tinggi plantlet, jumlah tunas dan daun hijau pada 12 MSP..

37

5. Korelasi panjang daun, jumlah daun mati, tinggi plantlet, panjang akar,
dan jumlah tunas dengan jumlah rimpang mikro pada 18 MSP.......... 40
6. Korelasi panjang daun, jumlah daun mati, tinggi plantlet, panjang akar,
dan jumlah tunas dengan diameter rimpang mikro pada 18 MSP....... 41
7. Uji lanjut pengaruh faktor tunggal sukrosa pada pra-aklimatisasi 12, 15
dan 18 MSP ...................................................................................... 41
8. Tinggi dan jumlah daun bibit temulawak berasal dari rimpang mikro

43

9. Pertambahan ukuran rimpang mikro dari plantlet umur 12 MSP setelah
aklimatisasi selama 8 minggu............................................................ 45
10. Kandungan bahan aktif dalam rimpang mini .....................................

47

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Bagan alir penelitian .........................................................................

19

2. Pembengkakan pada bagian basal (A) dan pembentukan rimpang
mikro (B) ..........................................................................................

24

3. Struktur rimpang temulawak .............................................................

25

4. Kondisi tunas in vitro pada sub-kultur ke-4 (A) dan sub-kultur kee-7
(B) saat 4 minggu setelah sub-kultur .................................................

26

5. Hasil elektroforasi total genom dan produk PCR ...............................

27

6. Elektroforasi hasil pemotongan DNA dengan enzim Taq1 ................

28

7. Elektroforasi hasil pemotongan DNA dengan enzim MBo1 dan Alu1

29

8. Elektroforasi produk PCR genom plantlet SK 12 (1) dan genom
tanaman induk (2) .............................................................................

30

9. Homologi hasil sequensing DNA tanaman induk dan plantlet SK 12

31

10. Pembengkakan pada bagan basal plantlet di media cair .....................

33

11. Jumlah tunas rata-rata pada media padat dan media cair....................

35

12. Pertambahan jumlah daun hijau dan daun mati pada media padat (A)
dan media cair (B).............................................................................

35

13. Plantlet mati pada 18 MSP. Perlakuan media cair dengan sukrosa
30 gL-1 (A) dan perlakuan media padat dengan sukrosa 90 gL-1(B) ...

36

14. Induksi rimpang pada perlakuan komposisi media ½ MS (A) dan
perlakuan media MS konsentrasi penuh (B) ......................................

37

15. Grafik pertambahan daun hijau dan mati pada media dengan sukrosa
30 gL-1(A), 60 gL-1(B), 90 gL-1 (C) dan 120 gL-1(D) .........................

38

16. Grafik jumlah rimpang mikro pada media tanpa BAP dan dengan
BAP 1, 2, dan 3 mgL-1 ......................................................................

39

17. Rimpang mikro dari perlakuan 90 gL-1 tanpa BAP (A) dan rimpang
dari perlakuan sukrosa 120 gL-1 dengan BAP 1 mgL-1 (B) ................

42

xiii

18. Warna kuning pada rimpang mikro yang dibelah ..............................

43

19. Rimpang mikro yang bertunas di persemaian 1 MSS.........................

43

20. Bibit yang berasal dari persemaian rimpang mikro berumur 5 MSS ..

44

21. Pengaruh konsentrasi sukrosa terhadap jumlah, diameter dan bobot
basah rimpang mini setelah 8 MST aklimatisasi ................................

45

22. Rimpang mini yang dipanen setelah 8 MST ......................................

46

23. Rimpang mini, ubi akar dan perakaran dari tanaman yang dipanen
setelah 8 minggu aklimatisasi............................................................

46

24. Skema pembentukan rimpang mikro, rimpang mini dan bibit............

48

xiv

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1. Tabel komposisi media Murashige and Skoog................................... 61
2. Tabel rekapitulasi sidik ragam Percobaan I untuk peubah yang
diamati di dalam botol....................................................................... 62
3. Tabel rekapitulasi sidik ragam Percobaan I untuk peubah yang
diamati saat pra-aklimatisasi ............................................................. 64
4. Tabel rekapitulasi sidik ragam Percobaan II untuk peubah yang
diamati di dalam botol....................................................................... 65
5. Tabel rekapitulasi sidik ragam Percobaan II untuk peubah yang
diamati saat pra-aklimatisasi ............................................................. 67
6. Tabel rekapitulasi sidik ragam Percobaan III untuk peubah yang
diamati di dalam botol....................................................................... 68
7. Tabel rekapitulasi sidik ragam Percobaan III untuk peubah yang
diamati saat pra-aklimatisasi ............................................................. 70
8. Tabel rekapitulasi sidik ragam pertumbuhan plantlet yang
diaklimatisasi pada umur 12 MSP ..................................................... 71
9. Tabel rekapitulasi sidik ragam pertumbuhan plantlet yang
diaklimatisasi pada umur 15 MSP ..................................................... 72
10. Tabel rekapitulasi sidik ragam pertumbuhan plantlet yang
diaklimatisasi pada umur 18 MSP .................................................... 73

xv

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Saat ini penggunaan obat tradisional mendapatkan perhatian secara global.
Populasi penduduk yang telah menggunakan obat ini di negara China 40%, di
Chili 71% dan di Columbia 40. Di India, 65% penduduknya menerapkan
Ayurveda dan memanfaatkan tanaman obat untuk memenuhi kebutuhan
pengobatan (WHO 2003). Tahun 2000 total pasar herbal dunia mencapai 20 miliar
USD yang terdistribusi ke Eropa 34%, Amerika Utara 22 %, Asia 39% dan
wilayah lainnya 5% (Indofarma 2005).
Indonesia memiliki keragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah
Brazilia yang meliputi 28,000 jenis tumbuhan berguna. Dari jumlah tersebut 1,200
jenis merupakan tumbuhan obat (Setiyono et al. 2000). Tumbuhan obat tersebut
akan sangat bermanfaat bagi peningkatan devisa negara dan peningkatan
perekonomian rakyat jika dibudidayakan dan diolah menjadi obat dan kosmetik
yang bermutu yang dapat menembus perdagangan dunia (Sumaryono 2005).
Pangsa pasar Indonesia dalam perdagangan obat tradisional masih tertinggal jauh
dari Malaysia dan Thailand. Diperkirakan pada tahun 2010 pangsa pasar obat
tradisional domestik akan meningkat menjadi Rp 7.2 triliun dari 2.0 triliun pada
tahun 2003, kecenderungan yang sama akan terjadi juga di pasar global (Deptan
2005).
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah tumbuhan obat asli
Indonesia yang memiliki banyak khasiat dan potensi untuk dikembangkan.
Khasiat temulawak terutama disebabkan oleh kandungan senyawa berwarna
kuning golongan kurkuminoid dan minyak atsiri yaitu xanthorrizol. Kurkuminoid
berkhasiat menetralkan racun, menghilangkan rasa nyeri sendi, meningkatkan
sekresi empedu, menurunkan kadar kolestrol dan trigliserida darah, sedangkan
xanthorrizol berkhasiat mengobati kanker payudara, paru-paru, ovarium,
antibakteri pencegah rusaknya email gigi (Sidik 2006).
Salah satu variabel dalam keberhasilan budidaya tanaman obat adalah
teknik pembibitan baik secara konvensional maupun secara modern atau
bioteknologi (Sumaryono 2005). Selama ini pembibitan temulawak masih

2
menerapkan teknik sederhana dengan menggunakan bibit yang berasal dari
rimpang yang sudah cukup tua dari tanaman yang dipanen ketika berumur
sembilan bulan atau lebih. Semakin tinggi bobot rimpang bibit temulawak yang
ditanam maka semakin tinggi hasil yang diperoleh (Djakamihardja et al. 1985).
Penggunaan rimpang bibit berbobot 40g menghasilkan produksi rimpang per
tanaman lebih tinggi dibandingkan penggunaan rimpang bibit berbobot lebih
rendah (Kasiran 2008), akan tetapi pemakaian rimpang bibit berukuran besar
untuk memperoleh hasil panen yang tinggi menyebabkan kebutuhan bibit
cenderung besar, sehingga dapat mengurangi jumlah rimpang untuk konsumsi
atau untuk olahan. Oleh karena itu, perlu suatu teknik pengadaan bibit temulawak
yang sehat dan berkualitas serta hemat pemakaian bahan tanaman.
Aplikasi teknik meregenerasikan sel tanaman atau organ menjadi tanaman
lengkap secara in vitro adalah teknologi yang dapat diterapkan untuk memenuhi
kebutuhan bibit. Bibit yang dihasilkan dapat berupa plantlet atau rimpang mikro.
Tyagi et al. (2006) dan Anisuzzaman et al. (2008) menyatakan bahwa rimpang
mikro dapat ditanam secara langsung tanpa proses aklimatisasi sehingga
penyediaan bibit tidak terhalang masa dormansi. Penyimpanan dan transportasi
rimpang mikro untuk bibit dapat dilakukan lebih mudah karena ukurannya yang
relatif kecil. Dengan menggunakan bibit rimpang mikro maka hasil panen tidak
berkurang akibat sebagian digunakan untuk bibit. Rimpang mikro juga dapat
dimanfaatkan untuk usaha konservasi plasma nutfah sehingga masa penyimpanan
lebih lama dan lebih efisien.
Bibit berupa plantlet dapat diperoleh dengan menginduksi multiplikasi tunas
in vitro dengan cara sub-kultur berulang, sedangkan rimpang mikro dapat
diinduksi dari tunas in vitro. Sub-kultur berulang dapat menyebabkan
penyimpangan genetik tanaman. Lee (2005) melaporkan 3% populasi bibit pisang
yang diproduksi secara in vitro mengalami variasi somaklonal karena diperoleh
melalui multiplikasi tunas dengan sub-kultur berulang. Oleh sebab itu tunas in
vitro atau rimpang mikro temulawak sebagai bibit harus memperhatikan
kestabilan genetik antar generasi sub-kultur supaya bibit yang dihasilkan seragam.
Dengan kemajuan biologi molekuler, kestabilan genetik plantlet antar
generasi sub-kultur dapat diketahui dengan pendekatan marka DNA. Pencirian

3
keragaman somaklonal menjanjikan akurasi dan efisiensi yang tinggi karena
perbedaan genetik dapat dilihat pada tingkat DNA sehingga tidak dipengaruhi
lingkungan dan dapat dilakukan pada tahap awal pertumbuhan tanaman. Diantara
teknik molekular berdasarkan pada polimorfisme gen secara langsung adalah
Restricted Fragment Length Polymorphism (RFLP) dan analisis sequen. Analisis
RFLP menggunakan enzim restriksi tertentu untuk melihat polimorfisme genom
tanaman sedangkan pada analisis sekuen polimorfisme dilihat dari urutan basa
sequen DNA dari fragmen tertentu suatu genom tanaman.
Induksi rimpang mikro merupakan pembentukan organ secara in vitro
melalui jalur organogenesis yang terjadi apabila sel-sel dari suatu eksplan
membelah kemudian berdiferensiasi membentuk suatu organ. Menurut Wattimena
(2006) jalur regenerasi ditentukan oleh genotip, jenis dan umur eksplan, zat
pengatur tumbuh, media, suhu dan penyinaran. Pada tanaman yang membentuk
organ umbi atau rimpang, induksi akan berlangsung pada kondisi-kondisi tertentu
yang memengaruhinya. Salisbury dan Ross (1992) menyatakan bahwa
pembentukan organ penyimpanan akan diinduksi oleh sukrosa dan zat pengatur
tumbuh yang ditambahkan pada media. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk
studi pembentukan rimpang mikro diantaranya pada tanaman jahe (Rahmawati et
al. 2003, Tyagi et al. 2006), temuputih (Anisuzzaman et al. 2008), kunyit
(Shirgurkar et al. 2001), tetapi belum dilakukan pada temulawak. Untuk itu perlu
dilakukan penelitian pembentukan rimpang mikro terhadap temulawak.
Pembentukan rimpang mikro sangat dipengaruhi oleh konsentrasi BAP
(Benzyaminopurine) dan sukrosa pada media. Rahmawati et al. (2003)
menyatakan bahwa kultur in vitro jahe pada media MS dengan konsentrasi BAP 5
mgL-1 menunjukkan eksplan yang berimpang sebesar 87.5% pada 6 MST,
selanjutnya pada 7-8 MST mengalami penurunan. Sukrosa juga memiliki peran
penting terhadap pembentukan rimpang mikro. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa pembentukan rimpang mikro menghendaki sukrosa dengan
konsentrasi tinggi. Semakin tinggi sukrosa maka jumlah kultur yang berimpang
semakin banyak. Pada pembentukan rimpang mikro temuputih terbaik pada media
MS dengan sukrosa 60 gL-1 (Anisuzzaman et al. 2008), pembentukan rimpang

4
mikro Curcuma aromatica Salisb L pada media dengan konsentrasi sukrosa 60-90
gL-1 (Nayak 2000).
Penelitian ini akan mengaplikasikan metode RFLP dan analisis sequen
untuk menentukan jumlah tahapan sub-kultur yang tetap mempertahankan
kestabilan genetik plantlet antar generasi. Selanjutnya plantlet akan digunakan
sebagai bahan tanaman untuk percobaan pembentukan rimpang mikro secara in
vitro.

Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menentukan jumlah tahapan sub-kultur yang tetap mempertahankan
kestabilan genetik plantlet antar generasi yang akan digunakan untuk
induksi rimpang mikro temulawak menggunakan marka molekuler RFLP
dan analisis sequen.
2. Mempelajari pengaruh bentuk fisik media (media cair dan padat),
komposisi media (komposisi media MS konsentrasi penuh dan setengah
konsentrasi), konsentrasi BAP dan sukrosa terhadap pertumbuhan eksplan
dan pembentukan rimpang mikro temulawak pada kultur in vitro.

Hipotesis
1. Terdapat kestabilan genetik antar generasi plantlet hasil multiplikasi subkultur ke-3, 4, 5 dan 12 yang akan digunakan untuk induksi rimpang mikro
temulawak secara in vitro
2. Terdapat pengaruh interaksi kondisi fisik media dan konsentrasi sukrosa
terhadap pertumbuhan eksplan dan pembentukan rimpang mikro
temulawak secara in vitro.
3. Terdapat pengaruh interaksi komposisi media dan konsentrasi sukrosa
terhadap pertumbuhan eksplan dan pembentukan rimpang mikro
temulawak secara in vitro.
4. Terdapat pengaruh interaksi konsentrasi BAP dan konsentrasi sukrosa
terhadap pertumbuhan eksplan dan pembentukan rimpang mikro
temulawak secara in vitro.

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Temulawak
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) termasuk ke dalam suku
Zingiberaceae yang merupakan tanaman terna tahunan (perennial) yang tumbuh
merumpun. Tinggi tanaman ini berkisar 1.5–2 m yang merupakan tanaman
tertinggi diantara kerabat semarganya. Batangnya tersusun atas upih-upih daun.
Jumlah daun per batang 6–8 helai dengan bentuk helai jorong agak melonjong
(oblong elliptic). Pada sisi kiri kanan ibu tulang daun biasanya terdapat tanda
semacam pita memanjang berwarna merah keunguan. Pembungaannya muncul
langsung dari rimpang (Exantha) dengan tinggi bunga 40–60 cm. Bagian atas
pembungaan terdiri dari daun pelindung yang membentuk kantung-kantung.
Daun-daun pelindung pada ujung pembungaann berwarna merah lembayung dan
bersifat mandul. Kantung-kantung daun pelindung yang lain mengandung 3–5
kuntum bunga yang mekar satu per satu secara bergiliran. Bunga berwarna kuning
(Prana 1985).
Rimpang temulawak berukuran besar terbagi menjadi dua bagian yaitu
rimpang induk yang berbentuk bulat panjang dengan warna kuning tua atau coklat
kemerahan dan pada bagian dalamnya berwarna jingga kecoklatan. Dari rimpang
induk keluar rimpang kedua yang berukuran lebih kecil dengan jumlah 3–7 buah.
Anak rimpang ini tumbuh ke arah samping dan berwarna lebih muda dan berbau
khas temulawak serta rasanya pahit agak pedas. Ujung akar membengkak
membentuk umbi kecil. Klasifikasi botani temulawak termasuk kedalam :
(Syamsuhidayat dan Hutapea 1991) :
Kingdom : Plantae
Divisi

: Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae
Kelas

: Monocotyledonae

Ordo

: Zingiberales

Famili

: Zingiberaceae

Genus

: Curcuma

Spesies

: Curcuma xanthorrhiza Roxb

6
Potensi dan Kegunaan Temulawak
Temulawak merupakan salah satu bahan baku obat tradisional yang potensi
untuk dikembangkan. Impor temulawak oleh negara-negara Eropa sangat kecil
dibandingkan dengan impor kunyit, tetapi penggunaannya sebagai obat di dalam
negeri lebih banyak dibandingkan kunyit (Nurdjannah et al. 1994). Temulawak
lebih banyak diproduksi, dikonsumsi dan diperdagangkan secara lokal tetapi
antara tahun 1934-1938 kurang lebih 10 ton irisan kering temulawak diekspor
setiap tahun dari Indonesia ke Belanda dan Jerman (Indofarma 2000).
Rimpang merupakan bagian dari tanaman temulawak yang banyak
dimanfaatkan terutama untuk obat. Produk setengah jadi dari tanaman temulawak
adalah simplisia, pati, minyak dan ekstrak, sedangkan produk industrinya adalah
makanan/minuman, kosmetika, sirup, instan, bedak, tablet dan kapsul (Deptan
2005).
Menurut Hadi (1985) temulawak dikenal sebagai obat tradisional yaitu
sebagai obat gangguan saluran cerna, penyakit kuning dan lainnya. Rimpang
temulawak mengandung 0.1-0.3% kurkumin yang dapat menurunkan kadar
kolesterol dalam darah dan hati. Kurkumin bersifat antihepatotoksik sehingga
rimpang temulawak juga sering digunakan untuk mengobati beberapa penyakit
hati. Selanjutnya dijelaskan bahwa temulawak mempunyai sifat merangsang
produksi empedu dari sel hati dan mensekresikannya ke kandung empedu dan
usus halus serta merangsang sekresi pankreas. Dengan adanya rangsangan
tersebut maka temulawak dapat dimanfaatkan sebagai obat untuk beberapa
penyakit saluran cerna yaitu pada kelainan hati kandung empedu, pankreas dan
usus halus. Soenarjo (1985) menyatakan bahwa temulawak dapat digunakan
sebagai obat untuk memperbaiki kerja fisiologi/metabolik dan meningkatkan
kesuburan pada wanita maupun ternak betina.
Pada masyarakat Indonesia rimpang temulawak seringkali dimanfaatkan
untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan serta pada masa
pemulihan. Diketahui tujuh manfaat temulawak yaitu memperbaiki nafsu makan,
memperbaiki fungsi pencernaan, memelihara fungsi hati, pereda nyeri sendi dan
tulang, menurunkan lemak darah serta sebagai antioksidan yang mampu
membantu penghambatan penggumpalan darah (Badan POM 2006).

7
Tabel 1. Luas panen, produksi dan produktivitas temulawak tahun 2000 s.d
2005 di Indonesia
Tahun

Luas panen (m2)

Produksi (kg)

Produktivitas (kg/m2)

2000
2001
2002
2003
2004
2005

6,014,696
5,612,786
5,075,686
6,844,951
10,548,033
16,574,255

5,674,042
6,089,077
7,173,513
11,761,984
16,666,504
22,582,041

0,94
1,08
1,41
1,72
1,58
1,67

Sumber : Departemen Pertanian (www.deptan.go.id)

Semakin banyaknya pemanfaatan temulawak di kalangan masyarakat
mendorong perluasan lahan panen dan produksi tanaman temulawak di Indonesia.
Dari tahun 2000-2005 luas panen temulawak semakin meningkat yang diikuti
dengan peningkatan produktivitas (Tabel 1). Hal ini didukung pula dengan
dicanangkannya oleh Pemerintah Republik Indonesia Gerakan Nasional Minum
Temulawak (GNMT) tepatnya pada tanggal 14 Juli 2005. Tujuan gerakan ini
diantaranya untuk meningkatkan penggunaan temulawak secara luas oleh
masyarakat dan menjadikannya produk unggulan Indonesia yang dapat bersaing
di seluruh dunia (Info POM-Republika 2006).

Propagasi Tanaman Temulawak
Selama

ini

tanaman

temulawak

diperbanyak

menggunakan

organ

vegetatifnya yaitu rimpang karena tanaman ini tidak pernah membentuk buah.
Meskipun tanaman ini mampu menghasilkan bunga tetapi serbuk sari bersifat
abortif yang berdinding sangat tipis dan mudah sekali pecah serta kesuburan
serbuk sarinya sangat rendah yaitu antara 0–2%, sehingga penyerbukan alami atau
buatan akan sangat sulit membentuk buah dan biji (Prana 1985). Umumnya
perbanyakan tanaman temulawak menggunakan rimpang yang sudah cukup tua
dari tanaman yang berumur sembilan bulan atau lebih. Rimpang yang dipakai
untuk bibit dapat dengan cara stek rimpang induk atau rimpang cabang (Wahid
dan Soediarto 1985). Prana (1985) menyatakan bahwa rimpang temulawak
mengalami dormansi beberapa bulan saat musim kemarau. Rimpang yang dorman
akan tanggap terhadap perubahan kelembaban yang ditunjukan dengan bertunas

8
segera ketika musim hujan. Rimpang temulawak yang mulai bertunas inilah yang
dapat digunakan sebagai bibit. Hasil panen yang diperoleh pada umumnya
tergantung pada kesuburan tanah serta besar kecilnya bibit yang ditanam.
Semakin tinggi bobot rimpang bibit yang dipakai maka semakin tinggi hasil yang
diperoleh (Djakamihardja et al. 1985).

Kultur Jaringan Tanaman
Kultur jaringan adalah suatu prosedur untuk menumbuhkan jaringan
tanaman (kalus, sel, protoplas) dan organ (batang, akar, embrio) pada kondisi
aseptik atau disebut juga dengan kultur in vitro. Perbanyakan tanaman secara in
vitro disebut mikropropagasi tanaman (Hartmann 1997). Mikropropagasi secara
umum dapat diartikan sebagai usaha meregenerasikan tanaman dalam media
aseptik dan memperbanyaknya hingga menghasilkan tanaman sempurna
(Gunawan 1992).
Regenerasi tanaman menggunakan metode kultur jaringan dapat dicapai
dengan menumbuhkan bagian tanaman yang bersifat meristematik secara
langsung melalui pembentukan tunas adventif atau tidak langsung melalui
pembentukan kalus terlebih dahulu (Armini et al. 1991). Regenerasi tanaman
secara langsung atau tidak langsung tersebut akan melalui salah satu dari dua
proses yaitu organogenesis atau embrio somatik. Organogenesis adalah proses
pembentukan salah satu organ tunas atau akar sedangkan embrio somatik adalah
pembentukan struktur bipolar yang terdiri dari meristem pucuk dan akar (Phillips
dan Hubstenberger 1995) .
Kemampuan meregenerasikan sel atau organ secara in vitro menjadi
tanaman lengkap banyak membantu memecahkan masalah pembibitan yang
secara konvensional sulit dicapai (Gunawan 1992). Pada tahun 1994, Vasil
melaporkan bahwa metode kultur jaringan digunakan kurang lebih oleh 600
perusahaan untuk memproduksi lebih dari 500 juta tanaman dari 50 ribu varietas
tanaman. Menurut Hartmann (1997) metode kultur jaringan tanaman memiliki
kelebihan antara lain dapat digunakan untuk memperbanyak tanaman tertentu
dalam jumlah besar. Tanaman yang diperbanyak dengan cara ini antara lain
tanaman yang secara alami lambat memperbanyak diri, tanaman yang tidak dapat

9
diperbanyak secara generatif dan tanaman yang banyak diminta pasar dalam
waktu singkat. Perbanyakan dengan teknik in vitro ini dapat juga digunakan untuk
memperoleh tanaman yang bebas patogen, tanaman yang mempunyai sifat yang
sama dengan induknya dan memungkinkan penyediaan tanaman sepanjang tahun.

Keragaman Somaklonal dalam Kultur Jaringan Tanaman
Kultur jaringan pada mulanya untuk membuktikan teori totipotensi sel
dimana sel dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman lengkap. Pada
perkembangan selanjutnya teknik ini dipakai dalam propagasi tanaman secara in
vitro untuk menghasilkan bibit tanaman yang sama dengan induknya dan seragam
disebut dengan istilah true to type (Gunawan 1992). Pada kenyataannya dalam
propagasi in vitro terdapat ketidakstabilan somatik sekalipun terjadi dalam
frekuensi yang rendah (Wattimena dan Mattjik 1992).
Istilah variasi somaklonal diperuntukkan bagi regeneran dari perbanyakan in
vitro yang mengalami perubahan epigenetic yang muncul pada tanaman hasil
perbanyakan kultur jaringan (Larkin dan Scowcroft 1981 dalam Wattimena dan
Mattjik 1991). Salah satu penyebab terjadinya variasi somaklonal adalah
penggunaan zat pengatur tumbuh pada media perbanyakan dalam kurun waktu
yang lama (Jayasankar 2005). Bairu et al. (2006) melaporkan bahwa zat pengatur
tumbuh menyebabkan variasi somaklonal pada pisang Cavendish secara tidak
langsung sejalan dengan peningkatan multiplikasi. Makin tinggi tingkat
multiplikasi maka akan semakin besar variasi yang terjadi. Biswas et al. (2009)
menyatakan bahwa BAP konsentrasi tinggi dapat menginduksi terjadinya variasi
somaklonal pada mikropropagasi strawberi.
Sumber eksplan untuk mikropropagasi in vitro juga mempengaruhi
terjadinya variasi somaklonal. Menurut Borchetia et al. (2009) propagasi in vitro
tanaman Camellia spp dengan eksplan tunas aksilar menghasilkan klon yang true
to type. Bhatia et al. (2009) menyatakan bahwa klon tanaman gerbera hasil
perbanyakan in vitro yang berasal dari eksplan tunas pucuk tidak menunjukkan
adanya variasi somaklonal. Begitu pula menurut Minano et al. (2009) pada
mikropropagasi tanaman krisanthemum, sedangkan menurut Biswas et al. (2009)

10
induksi variasi somaklonal tanaman strawberi secara in vitro paling efektif
diperoleh dari sumber eksplan tunas meristem.

Analisis Kestabilan Genetik dengan Penanda DNA
Kestabilan genetik diartikan sebagai tampilan konsisten sebuah karakter dari
sebuah genotipe pada berbagai lingkungan atau waktu (Fernandez 1991). Variasi
somaklonal merupakan ketidakstabilan somatik yang dapat berlanjut pada kultur
in vitro

meskipun perbanyakan tanaman selalu dilakukan secara vegetatif

(Wattimena dan Mattjik 1992). Terdapat perbedaan antar variasi dan mutasi.
Variasi merupakan perubahan fenotip antar generasi sedangkan mutasi lebih
mengarah pada keberadaan perubahan susunan genetik yang kadang tidak
terekspresikan secara fenotipik (Jayasankar 2005).
Kemajuan teknologi penanda DNA berkembang sangat pesat sejalan dengan
perkembangan fasilitas mesin PCR yang semakin canggih. Teknologi ini dapat
diaplikasikan untuk fingerprinting genotip dalam penentuan kemurnian benih
(Kumar 1999). Penggunaan teknologi penanda DNA sangat efisien untuk
menentukan keberadaan variasi somaklonal ataupun kestabilan genetik tanaman
yang diperbanyak secara in vitro. Penanda RAPD (Random amplified
polymorphic DNA) digunakan untuk mengetahui kestabilan genetik klon tanaman
apel hasil mikropropagasi (Modgil et al. 2005), mengetahui keberadaan variasi
somaklonal pada plantlet pisang hasil multiplikasi berulang (Bairu 2006) serta
mendeteksi variasi somaklonal pada 9 generasi sub-kultur plantlet

strawberi

hingga aklimatisasi (Minano 2009). Teknik AFLP (Amplified Fragment Length
Polymorphism) dapat mendeteksi 99% keseragaman genetik klon hasil
mikropropagasi Echinacea purpurea (Chuang

et al. 2009). Penanda RFLP

(Restriction Fragment Length Polymorphisms) telah digunakan untuk mengetahui
kesamaan genetik antar aksesi pisang dan pendugaan keanekaragaman genetik
tanaman melon (Silberstein 1997) dan tanaman pisang (Ning 2007)

Mikropropagasi Tanaman Zingiberaceae
Regenerasi dan multiplikasi tunas secara in vitro yang diistilahkan dengan
mikropropagasi telah banyak dilakukan pada tanaman famili zingiberaceae

11
diantaranya kencur, jahe, kunyit, dan temulawak. Seswita (1996) melaporkan
bahwa aplikasi kultur jaringan tanaman kencur (Kaempferia galanga L. Seedling)
pada media cair lebih baik daripada media padat. Kultur tanaman kencur dengan
eksplan dari mata tunas pada media MS cair dengan penambahan BA 1 mgL-1 dan
IAA 1 mgL-1 selama dua minggu terbentuk rata-rata 10.2 tunas. Proses
aklimatisasi menggunakan media tanah saja atau campuran tanah dan pupuk
kandang (1:1) memberikan persentase keberhasilan yang cukup tinggi yaitu 7080%.
Gati et al. (1989) menyatakan bahwa eksplan jahe merah (Zingiber
officinale Rosc) yang ditanam pada media dasar MS yang diperkaya dengan BAP
dapat membentuk kalus yang kompak kemudian membentuk tunas adventif dan
akhirnya membentuk tanaman lengkap. Pemakaian BAP 10 mgL-1 dan NAA 0.1
mgL-1 efektif merangsang penumbuhan tunas adventif secara tidak langsung.
Setiap tunas adventif yang terbentuk dapat dikembangkan secara sempurna
dengan melakukan sub kultur dalam medium baru yang mengandung kinetin 1
mgL-1, masing-masing mata tunas dapat membentuk lebih dari satu tunas adventif.
Ikeda dan Tanabe (1989) melaporkan bahwa tanaman jahe yang dikulturkan
secara pada medium dasar MS dengan penambahan 11 uM BA dan 0.6 uM NAA
menghasilkan rata-rata 5 tunas dan 15.3 akar. Khatun et al. (2003) melaporkan
bahwa kultur ujung pucuk jahe secara in vitro pada media MS dengan
penambahan 2.5 mgL-1 BAP dan 0.5 mgL-1 kinetin dapat diperoleh 22 tunas per
eksplan dimana waktu yang dibutuhkan untuk induksi tunas selama 26 hari dan
induksi akar selama 30 hari. Seratus persen plantlet yang dihasilkan dapat tumbuh
di lapang tanpa proses aklimatisasi.
Rahman (2004) menyatakan bahwa eksplan tunas rimpang kunyit (Curcuma
longa Linn) berukuran 1 cm 100% dapat beregenerasi pada media dasar MS
dengan penambahan 2 mgL-1 BA, dengan jumlah tunas rata-rata 14.5 dan tinggi
rata-rata tunas 6.2 cm. Pada media ½ MS dengan penambahan IBA 0.2 mgL-1
100% tunas in vitro dapat berakar dengan jumlah akar rata-rata 15.4 dan panjang
rata-rata 6.3 cm. Riansyah (2007) melaporkan bahwa multiplikasi in vitro tunas
kunyit pada media MS diperkaya dengan BAP 1-3 mgL-1 tidak memberikan hasil
yang berbeda nyata pada jumlah tunas, daun dan akar, yang berarti penambahan

12
BAP 1 mgL-1 dapat dipilih untuk multiplikasi tunas, pertumbuhan daun dan
meningkatkan jumlah akar kunyit. Penambahan IBA dengan konsentrasi 0.25
mgL-1 berpengaruh nyata terhadap pertambahan panjang akar in vitro tunas
kunyit.
Mukhri et al. (1985) melaporkan bahwa tunas in vitro temulawak yang
ditanam pada media Ringe dan Nitsch (RN) yang diperkaya dengan 1 mgL-1 BA
dan 1 mgL-1 NAA akan membentuk akar. Jika tunas ditanam pada media RN
dengan penambahan 10 mgL-1 BA dan 15 mgL-1 NAA maka akan terbentuk kalus.
Djajanegara dan Zatnika (1996) melaporkan bahwa tunas dari rimpang temulawak
adalah sumber eksplan yang paling responsif dalam pembentukan kalus dan kalus
akan tumbuh optimum pada media Gamborg B5 dengan penambahan 1.0 mgL-1
2,4D.

Pembentukan Organ Bawah Tanah secara In vitro
Percobaan pembentukan organ bawah tanah secara in vitro telah banyak
dilakukan terhadap berbagai jenis tanaman, diantaranya kentang, bawang merah,
jahe, dan lili. Pembentukkan organ tersebut pada masing-masing tanaman
membutuhkan kondisi media dan lingkungan tumbuh tertentu. Rahmawati (2007)
melaporkan hasil percobaan pembentukan umbi mikro bawang merah dapat
terjadi pada media MS padat ditambah dengan sukrosa 30 gL-1 dan tanpa
penambahan ZPT dengan penyinaran selama 16 jam, penambahan retardan SADH
berpengaruh pada penurunan jumlah umbi mikro yang terbentuk.
Rahmawati et al. (2003) menyatakan bahwa kultur in vitro jahe pada media
MS dengan konsentrasi gula 50% selama 2-6 minggu memperlihatkan
kecenderungan penurunan jumlah daun. Semakin tinggi konsentrasi gula maka
semakin besar persentase tunas yang membentuk rimpang. Rout et al. (2001)
mengemukakan bahwa pembentukan rimpang mikro jahe terjadi pada media MS
dengan penambahan 4.44 uM BA, 5.71 uM IAA dan 3-8% (w/v) sukrosa selama
8 minggu. Perlakuan penyinaran selama 24 jam menunjukkan jumlah rimpang
yang terbentuk lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan penyinaran kurang
dari 24 jam, sedangkan penggunaan sumber karbohidrat berupa sukrosa sangat

13
membantu dalam pembentukan rimpang dibandingkan sumber karbohidrat dari
jenis lain.

Zat Pengatur Tumbuh Golongan Sitokinin
Hormon didefinisikan sebagai senyawa organik bukan nutrisi yang aktif
dalam jumlah kecil (10-6-10-5 mM) yang disintesiskan pada bagian tertentu
tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman yang akan
menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis. Hormon
seringkali diistilahkan sebagai zat pengatur tumbuh tanaman (ZPT) karena istilah
tersebut mencakup zat endogen maupun zat eksogen yang dapat mengubah
pertumbuhan tanaman (Wattimena 1988).
Dalam kultur jaringan, dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat
penting adalah sitokinin dan auksin. Zat pengatur tumbuh ini akan mempengaruhi
pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Interaksi dan
perimbangan antar ZPT yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel
secara endogen akan menentukan arah perkembangan suatu kultur (Gunawan
1992).
Sitokinin adalah ZPT yang merupakan turunan dari adenin, yang
dikarakterisasi karena kemampuannya menginduksi pembelahan sel dalam
jaringan. Semua sitokinin memiliki rantai samping yang kaya akan karbon dan
hidrogen, yang menempel pada nitrogen yang menonjol dari puncak cincin purin.
Setiap sitokinin bisa ditemukan dalam bentuk basa bebas atau sebagai nukleosida
yang gugus ribosanya melekat pada atom nitrogen pada kedudukan 9 (Salisbury
dan Ross 1992).
Sitokinin disintesis pada ujung akar dan biji yang sedang berkembang.
Transportasinya melalui jaringan xylem dari akar ke tajuk bersamaan dengan air
dan mineral yang diserap oleh akar (Taiz dan Zeiger 2004). Pengaruh fisiologis
sitokinin antara lain memicu pembelahan sel, mendorong morfogenesis, memicu
pertumbuhan tunas lateral, memicu pembesaran ukuran daun, menunda senescens,
mendorong pembukaan stomata daun dan mendorong pembentukan kloroplas
(Davies