Pengembangan Kriteria Rancangan Hidraulika Pada Pemanfaatan Air Limpasan untuk Air Baku di Kawasan Perumahan

PENGEMBANGAN KRITERIA RANCANGAN HIDRAULIKA
PADA PEMANFAATAN AIR LIMPASAN UNTUK AIR BAKU
DI KAWASAN PERUMAHAN

HABIB KRISNA WIJAYA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Kriteria
Rancangan Hidraulika Pada Pemanfaatan Air Limpasan untuk Air Baku di
Kawasan Perumahan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Juli 2014

Habib Krisna Wijaya
NIM F451110101

RINGKASAN
HABIB KRISNA WIJAYA. Pengembangan Kriteria Rancangan Hidraulika Pada
Pemanfaatan Air Limpasan untuk Air Baku di Kawasan Perumahan. Dibimbing
oleh PRASTOWO dan ASEP SAPEI.
Urbanisasi yang terjadi di kota-kota besar mengakibatkan meningkatnya
kebutuhan akan ruang di daerah perkotaan seperti untuk perumahan.
Perkembangan kota-kota yang pesat sebagai akibat dari perpindahan penduduk
dari desa ke kota menyebabkan terjadinya peningkatan pembangunan perumahan.
Konsekuensi dari kegiatan pembangunan tersebut adalah terjadinya perubahan
tata guna lahan menjadi lahan terbangun. Perubahan tata guna lahan ini
menimbulkan dampak yang cukup signifikan terhadap kondisi hidrologis lahan.
Ketika terjadi hujan, dengan adanya kawasan terbangun maka kemungkinan
terjadinya limpasan di kawasan tersebut akan meningkat sebanding dengan
besarnya intensitas hujan yang terjadi. Pada intensitas hujan yang tinggi, kondisi
ini dapat menyebabkan terjadinya genangan atau bahkan banjir sebagai akibat

kurangnya daerah resapan air dan kondisi sistem drainase yang kurang memadai.
Pada penelitian ini dikembangkan rancangan hidraulika untuk perencanaan
saluran drainase di area perumahan dengan melihat kondisi lahan terbangun,
luasan daerah tangkapan air, tingginya curah hujan dan sistem drainase yang ada.
Pada penelitian dilakukan analisis kriteria rancangan hidraulika untuk
pengendalian air limpasan sehingga nantinya air limpasan dapat digunakan
sebagai salah satu alternatif sumber air di perumahan. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah (i) menentukan koefisien drainase sistem drainase perumahan
dan (ii) menentukan kriteria rancangan hidraulika sistem drainase perumahan
dalam upaya pemanfaatan air limpasan sebagai salah satu alternatif sumber air
baku.
Penelitian dilakukan di perumahan Bogor Nirwana Residance sejak bulan
Maret 2013 hingga bulan Maret 2014. Metode penentuan koefisien drainase di
perumahan dilakukan berdasarkan nilai debit limpasan yang diperoleh dari metode
rasional dan luas lahan. Dari hasil yang diperoleh dikembangkan nomogram
penentuan koefisien drainase, berdasarkan besarnya intensitas hujan dan nilai
koefisien limpasan. Pengembangan kriteria rancangan hidraulika dilakukan
dengan mempertimbangkan karakteristik saluran, kecepatan aliran, debit,
kemiringan, dan kekasaran saluran. Perhitungan lebar dasar saluran (B) dan
kedalaman air (h) di saluran dilakukan dengan metode trial and error dan

mengacu pada kriteria rasio B/h untuk perencanaan saluran yang telah ditetapkan
DPU (1986).
Hasil analisis menunjukkan nilai koefisien drainase di lokasi penelitian
berkisar 0.088-0.110 m3/det.ha dari debit limpasan 0.43-0.54 m3/det pada kawasan
perumahan dengan luas lahan berkisar 4.80-4.93 ha, topografi 2.2-4.1 %, RTH 1737 % dan KDB 33.0-67.3 %, serta jumlah curah hujan rencana 144.61 mm. Dari
hasil analisis tersebut kemudian kriteria rancangan hidraulika dikembangkan ke
dalam bentuk nomogram. Ada dua nomogram yang dihasilkan antara lain
nomogram penentuan koefisien draianse dan nomogram penentuan lebar dasar (B)
dan kedalaman air (h) di saluran untuk perencanaan saluran drainase. Nomogram
yang dihasilkan saling terkait dan dapat diterapkan dengan mudah dan sistematis

dalam perencanaan saluran drainase di perumahan untu memperoleh suatu
rancangan hidraulika yang sesuai.
Kata kunci: air limpasan, koefisien drainase, kriteria rancangan hidraulika,
nomogram, sistem drainase perumahan

SUMMARY
HABIB KRISNA WIJAYA. Development of Hydraulic Design Criteria in
Reusing Runoff as Raw Water in Residential Area. Supervised by PRASTOWO
dan ASEP SAPEI.

Urbanization is considered as one of the important factor of population
increased in the big cities. High number of population caused increasing of
residential demand and its affected land use change. Residential area absorbed
less rainfall than agriculture land and forest, so rainfall with high intensity could
not well infiltrate and became runoff or even flood in a shorter time. The
objectives of this research were: (i) to analyse drainage coefficient of residential
drainage system; and (ii) to analyse criteria of hydraulic design for drainage
system in residential area so runoff could be controled and be used as an
alternative source of raw water in housing area.
The research was conducted in Bogor Nirwana Residence from March 2013
to March 2014. The drainage coefficient was analyzed based on runoff discharge
(rational method) and surface of residential area (ha). Drainage coefficient
determination was developed on nomogram, according to rainfall and runoff
coefficient on each location. Development of hydraulics design criteria has been
done based on the characteristics of channel, water velocity on channel that was
permitted, discharge, channel slope, and channel roughness. The base width (B)
and depth (h) of channel were determined by trial and error method, based on
Ministry of Public Work regulation (DPU 1986) about b/h value ratio for channel
design (KP-03).
The result showed that drainage coefficient was about 0.088-0.110 m3/s.ha

of 0.43-0.54 m3/s discharge runoff with characteristics of residential drainage on
land area with ranged from 4.80 to 4.93 ha, green open space (RTH) 17-37% and
base building coefficient (KDB) from 33.0-67.3%, topography of 2.2-4.1%, and
rainfall were 144.6 mm. Hydraulic design criteria was identified based on these
drainage coefficients and the results were developed in nomogram. Interrelated
nomogram can be applied easily and systematically for designing drainage
channels in residential area, to obtain an optimum drainage systems.
Key words:

drainage coefficient, hydraulic design criteria, nomogram, residential
drainage system, water runoff

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGEMBANGAN KRITERIA RANCANGAN HIDRAULIKA
PADA PEMANFAATAN AIR LIMPASAN UNTUK AIR BAKU
DI KAWASAN PERUMAHAN

HABIB KRISNA WIJAYA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA.


Judul Tesis : Pengembangan Kriteria Rancangan Hidraulika Pada Pemanfaatan
Air Limpasan untuk Air Baku di Kawasan Perumahan
Nama
: Habib Krisna Wijaya
NIM
: F451110101

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Prastowo, MEng.
Ketua

Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS.
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Teknik Sipil dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Satyanto K. Saptomo, STP., MSi.

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

Tanggal Ujian: 19 Mei 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema tesis yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini berjudul ”Pengembangan
Kriteria Rancangan Hidraulika Pada Pemanfaatan Air Limpasan untuk Air Baku
di Kawasan Perumahan”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Sains pada Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
membantu dalam perencanaan sistem jaringan drainase untuk perumahan yang

berwawasan lingkungan. Dengan segala kerendahan hati, ucapan terima kasih dan
penghargaan disampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu
penyusunan tesis ini, antara lain kepada:
1. Dr. Ir. Prastowo, M.Eng. selaku ketua komisi pembimbing yang telah
memberikan pengetahuan, arahan dan bimbingannya yang sangat bermanfaat
bagi penyusunan tesis ini.
2. Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS. selaku anggota komisi pembimbing atas
bimbingan dan arahannya serta pengetahuan yang diberikan.
3. Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA selaku penguji luar pada ujian tesis atas
arahan dan bimbingannya serta masukanya untuk perbaikan tesis.
4. Dr. Satyanto Krido Saptomo, S.TP., M.Si. selaku ketua Program Studi
Pascasarjana Teknik Sipil dan Lingkungan atas masukan yang diberikan.
5. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas Beasiswa
Unggulan P3SWOT yang diberikan dan bantuan biaya penelititan melalui
program penelitian BOPTN.
6. PT. Graha Andrestama Propertindo (Bogor Nirawana Residence) atas izin dan
bantuannya yang diberikan selama penelitian lapang.
7. Balai Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian, Laboratorium
Agrohidromet Cimanggu Bogor atas bantuan kebutuhan data penelitian.
8. Bapak (alm) Muso Hartoyo, Ibu Hj. Siti Sundari beserta kakak-kakak dan

keluarga tercinta atas segala doa, motivasi, kasih sayang, kesabaran, dan
perhatian yang diberikan.
9. Rekan-rekan Pascasarjana khususnya Pascasarjana SIL 2011 (Nasir, Farid,
Dwinata, Rantau, Angga, Puji, Lisma, Helena, Ifah, Yasmin) dan rekan-rekan
summer and winter course Indonesia-Japan 2012 atas persahabatan, masukan,
dan motivasi semangatnya.
10. Keluarga besar yayasan Forum Indonesia Muda, khususnya regional Bogor
atas kekeluargaannya.
Disadari bahwa penulisan tesis ini masih banyak kekurangan, oleh
karenanya kritik dan saran sangat diharapkan untuk penyempurnaan penulisan
selanjutnya. Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014
Habib Krisna Wijaya

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xv


DAFTAR GAMBAR

xv

DAFTAR LAMPIRAN

xvi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
3
3
4

2 TINJAUAN PUSTAKA

4

Analisis Hidrologi
Sistem Jaringan Drainase
Pemanfaatan Air Limpasan
3 METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian
Alat dan Bahan
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem Drainase Perumahan
Analisis Hidrograf Saluran Koletor
Analisis Debit Limpasan
Pengembangan Rancangan Hidraulika
Pemanfaatan Air Saluran Drainase
5 SIMPULAN DAN SARAN

4
11
15
19

19
19
19
20
22

22
26
27
30
37
37

Simpulan
Saran

37
38

DAFTAR PUSTAKA

39

LAMPIRAN

43

RIWAYAT HIDUP

59

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Nilai koefisien limpasan (C) untuk metode rasional
Persaman hubungan tebal hujan (mm) dan lama hujan (jam)
Variasi koefisien drainase pada lahan pertanian
Unsur geometis penampang saluran persegi dan trapesium
Tinggi jagaan minimum untuk saluran pasangan
Hubungan antara nilai Q, h dan b/h untuk saluran drainase
Data penggunaan lahan keseluruhan BNR
Pembagian area cluster perumahan BNR tahap 2
Luas dan jenis penggunaan lahan di lokasi penelitian
Karakterisitik saluran drainase di lokasi penelitian
Hasil analisis dan pengukuran debit saluran pada beberapa waktu
kejadian hujan
Hasil analisis debit limpasan dan koefisien drainase pada masingmasing blok
Periode Ulang Hujan (PUH) di lokasi penelitian
Hasil analisis debit rancangan dan koefisien drainase
Hasil analisis kriteria rancangan hidraulika di lokasi penelitian
Hasil evaluasi saluran drainase BNR
Hasil analisis kualitas air

7
9
11
14
15
15
22
23
23
25
26
28
30
31
32
36
37

DAFTAR GAMBAR
1 Efek perubahan tutupan lahan terhadap debit puncak (Q) terhadap
waktu (t) (Butler dan John 2004)
2 Dimensi bendung/selat ukur persegi empat (Mori 2006)
3 Pola jaringan drainase (Feyen 1980)
4 Bentuk potongan melintang saluran terbuka (Suripin 2004)
5 (a) Penampang melintang saluran berbentuk persegi panjang dan (b)
saluran berbentuk trapesium
6 Diagram alir penelitian
7 Pembagian DTA dan trase saluran drainase
8 Hidrograf debit saluran kolektor pengukuran tanggal 19 April 2013
9 Kurva hubungan koefisien drainase dengan curah hujan
10 Kurva hubungan koefisien drainase dengan debit limpasan
11 Kurva hubungan debit hasil pengukuran (QO) dan debit hasil
perhitungan teoritis (QS)
12 Nomogram penentuan koefisien drainase
13 Nomogram penentuan kriteria rancangan hidraulika untuk saluran
drainase dengan pasangan beton
14 Nomogram penentuan kriteria rancangan hidraulika untuk saluran
drainase dengan pasangan batu

6
10
12
14
15
21
24
27
28
29
30
33
34
35

DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai reduced mean, reduced standard deviation, dan reduced varaite
pada metode distribusi Gumbel (Suripin 2004)
2 Kriteria mutu kualitas air berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 82
tahun 2001 tentang Pengelolaan dan pengendalian Kualitas Air
3 Peta lokasi penelitian
4 Peta topografi lokasi penelitian
5 Data iklim hasil pengukuran dengan Automatic Weather Station (AWS)
stasiun Muara, Puslitbang Pertanian tahun 2006-2013
6 Data curah hujan hasil pengukuran dengan Automatic Rainfall Record
(ARR) dan data pengukuran debit
7 Hasil perhitungan curah hujan (Xi) dengan metode Gumbel
8 Pola jaringan drainase di lokasi penelitian
9 Hidrograf saluran kolektor ketika pengukuran
10 Tipikal harga koefisien kekasaran Manning (n) yang sering digunakan
11 Nomogram penentuan kriteria rancangan hidraulika untuk saluran
drainase untuk debit maksimum 1 m3/det

44
45
46
47
48
49
53
55
56
57
58

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Urbanisasi yang terjadi di kota-kota besar mengakibatkan meningkatnya
kebutuhan akan ruang di daerah perkotaan seperti daerah perumahan. Di negara
berkembang seperti Indonesia, masalah tersebut juga terjadi di setiap kota
besarnya. Tingkat urbanisasi yang terjadi di Indonesia dari tahun 2000 sebesar
40% dan diperkirakan mencapai 60% pada tahun 2025 (sekitar 160 juta jiwa)
(Bank dunia 2003 dalam Arif 2014). BPS (2014) mengemukakan bahwa dari total
jumlah penduduk Indonesia sebesar 237.641.326 jiwa pada tahun 2010 dan
sebagian besar tinggal di daerah perkotaan. Saat ini jumlah penduduk perkotaan
seluruhnya diperkirakan mencapai hampir 110 juta jiwa dengan pertumbuhan
sekitar 3 juta jiwa per tahun. Perkembangan kota-kota yang pesat sebagai akibat
dari perpindahan penduduk dari desa ke kota menyebabkan terjadinya kebutuhan
tempat tinggal di setiap daerahnya. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan
BPS, kekurangan hunian di Indonesia hingga 2010 telah mencapai 13.6 juta unit.
Jumlah kekurangan rumah rakyat ini akan terus bertambah dan kondisi ini dapat
mengakibatkan terjadinya laju pembangunan daerah hunian seperti kawasan
perumahan yang tinggi (BAPPENAS 2014). Konsekuensi dari kegiatan
pembangunan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari
lahan terbuka menjadi lahan terbangun.
Pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan penyediaan sarana
dan prasarana perkotaan yang memadai mengakibatkan pemanfaatan lahan
perkotaan menjadi tidak teratur. Pemanfatan lahan perkotaan yang tidak teratur
inilah yang menyebabkan permasalahan drainase di perkotaan menjadi sangat
kompleks. Perubahan tata guna lahan yang diakibatkan oleh pertumbuhan kota
dan perkembangan sektor pembangunan menimbulkan dampak yang cukup
signifikan terhadap luas tutupan lahan dan peningkatan debit limpasan (runoff)
ketika hujan. Ketika terjadi hujan dengan intensitas yang besar, debit limpasan
yang terjadi dapat meningkat sebanding dengan besarnya perubahan tutupan lahan.
Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya genangan atau bahkan banjir sebagai
akibat kurangnya daerah resapan air ke dalam tanah dan kondisi sistem drainase
yang tidak baik. Untuk mencegah terjadinya luapan air ke badan jalan/pemukiman,
maka diperlukan perencanaan saluran drainase yang sesuai di setiap kawasan yang
akan dibangun. Seperti yang diungkapkan Suripin (2004) bahwa pembangunan
sistem drainase merupakan tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air baik
yang berasal dari air hujan maupun kelebihan air dari suatu kawasan/lahan
sehingga fungsi kawasan yang akan dibangun tidak terganggu.
Pembangunan saluran draianse di daerah perkotaan merupakan bagian dari
penyediaan sarana dan prasarana perkotaan. Departemen Pekerjaan Umum (DPU
1986) telah membuat kriteria perencanaan saluran drainase (KP-03) sebagai
standar perencanaan saluran di Indonesia. Perencanaan yang dibuat didasarkan
pada beberapa kriteria, antara lain jenis perkerasan saluran, kecepatan maksimum
yang diizinkan, perbandingan kedalaman air dan lebar dasar saluran, kemiringan
saluran, dan besarnya debit saluran. Feyen (1980) juga menerangkan metode
perencanaan desain hidraulika untuk saluran drainase, namun untuk daerah lahan

2
pertanian dengan jenis saluran tanah berbentuk trapesium. Selain itu, McCuen
(1998) dan TxDOT (2002) juga menjelaskan metode yang dapat digunakan dalam
perencanaan desain saluran hidraulika. Metode yang diterapkan memiliki kriteriakriteria rancangan yang berbeda-beda dan saling terkait serta memiliki nilai
kisaran masing-masing di setiap kriterianya sehingga terkadang menimbulkan
kesulitan dalam aplikasi perencanaan saluran di lapang.
Berbagai metode telah dilakukan untuk setiap jenis dan bentuk saluran
sehingga dapat diterapkan dalam perencanaan hidraulika saluran. Khususnya
untuk daerah perkotaan/perumahan, ada beberapa kendala penerapan sistem
drainase di lapang yaitu kesesuaian perencanaan dengan aplikasi pengerjaan di
lapang sehingga dapat terjadi ketidaksesuaian penerapan saluran drainase yang
baik di setiap lokasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk menguji
kriteria pengembangan rancangan hidraulika yang sesuai sehingga memudahkan
ketika pengerjaan lapang.
Berkaitan dengan sistem drainase, konsep pengelolaan drainase yang umum
dilakukan di daerah pemukiman adalah mengalirkan secepatnya air di saluran
drainase ke saluran drainase utama/outlet pembuangan. Hal ini tidak sesuai
dengan prinsip pengelolaan air yang berkelanjutan, dimana air limpasan yang
dibuang harusnya dapat lebih dimanfaatkan terlebih dahulu atau ditampung di
kolam penampungan seperti reservoir. Pemanfaatan air tersebut berkaitan dengan
kondisi lahan yang terbangun, dengan melihat luasan daerah tangkapan air, curah
hujan, penggunaan lahan, dan sistem drainase yang ada, maka volume air
limpasan yang dapat dimanfaatkan dapat diperkirakan. Curah hujan dengan
volume yang besar, terutama di areal yang terbangun seperti perumahan, sampai
saat ini masih kurang dimanfaatkan dan terbuang ke saluran utama untuk
selanjutnya dialirkan ke sungai. Oleh karena itu, selain dikembangkan
perencanaan saluran drainase yang sesuai, juga perlu dikembangkan rancangan
hidraulika pemanfaatan air limpasan di area terbangun seperti perumahan dengan
memanfaatkan saluran drainase yang ada hingga mampu mengalirkan air menuju
reservoir yang direncanakan.

Perumusan Masalah
Pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan penyediaan sarana
dan prasarana perkotaan yang memadai mengakibatkan pemanfaatan lahan
perkotaan menjadi tidak teratur. Pemanfatan lahan perkotaan yang tidak teratur ini
lah yang menyebabkan permasalahan drainase di perkotaan menjadi sangat
kompleks. Pada area pemukiman penduduk, seperti pembangunan perumahan,
telah menyebabkan perubahan tata guna lahan di dalam kawasan pemukiman.
Ketika hujan, lahan pemukiman yang mengalami perubahan tata guna lahan
tentunya akan mengalami perubahan pola aliran air permukaan di setiap lahan
terbangunnya dan menimbulkan terjadinya limpasan air. Air limpasan ini
harusnya dapat dimanfaatkan lebih optimal sebagai air baku dan tidak dibuang ke
saluran drainase utama atau ke badan air penerima seperti sungai. Air limpasan ini
dapat ditampung pada kolam penampungan sebagai sumber air perumahan
melalui saluran drainase perumahan. Air limpasan tersebut dapat dikelola dengan
baik melalui perencanaan sistem drainase yang sesuai. Untuk dapat mengalirkan

3
aliran air tersebut sampai ke suatu penampungan, dibutuhkan rancangan
hidraulika yang memiliki koefisien drainase yang sesuai untuk setiap sistem
drainase.
Analisis dalam penelitian ini dilakukan terhadap kriteria rancangan
hidraulika dalam pengendali air limpasan untuk perencanaan pemanfaatan air
sebagai alternatif air baku di perumahan. Pemanfaatan air tersebut berkaitan
dengan konservasi lahan yang akan dibangun. Dengan melihat luasan daerah
tangkapan air, curah hujan, tata guna lahan, topografi lahan, dan sistem drainase
yang ada, maka diupayakan air limpasan tersebut dapat lebih dimanfaatkan.
Berdasarkan pada kerangka pemikiran ini, akan diperoleh komponen hasil dari
nilai koefisien drainase yang mampu mengalirkan air limpasan untuk berbagai
tipe drainase di dalam perumahan, dan kriteria rancangan hidraulika yang sesuai
dalam pemanfaatan air limpasan. Pola pemikiran ini diharapkan dapat
mewujudkan pemanfaatan air di suatu wilayah.
Pada pengembangan kriteria desain hidraulika yang dimaksud adalah
pengembangan suatu perangkat yang dapat digunakan untuk mendukung
pemanfaatan sumberdaya air sesuai keperluannya yang secara teknis dapat dan
layak dikerjakan. Parameter rancangan dihitung berdasarkan kinerja drainase
saluran permukaan di lokasi penelitian, yang selanjutnya dikembangkan menjadi
suatu model rancangan hidraulika saluran drainase di perumahan yang nantinya
dapat diterapkan dengan mudah dan sistematis dalam perancangan saluran
drainase di perumahan lain untuk memperoleh suatu rancangan hidraulika yang
sesuai.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, tujuan
dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menentukan koefisien drainase sistem drainase perumahan;
2. Menganalisis kriteria rancangan hidraulika sistem drainase perumahan dalam
upaya pemanfaatan air limpasan sebagai alternatif sumber air baku.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan agar semua pihak yang berkepentingan dapat
memperoleh data tentang kriteria rancangan hidraulika pengendalian air limpasan
dan upaya yang dapat dilakukan dalam pengendalian air limpasan tersebut.
Manfaat lain yang dapat diperoleh antara lain:
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dalam melakukan
pengendalian air limpasan di suatu pemukiman dan dapat digunakan sebagai
acuan dasar dalam melakukan perencanaan saluran di area perumahan;
b. Dapat digunakan sebagai pedoman dan acuan bagi pengembang perumahan
dan instansi yang terkait dalam merancang saluran drainase yang sesuai;
c. Dapat sebagai masukan untuk pengembangan kajian ilmiah maupun studi
lanjutan tentang pengendalian air limpasan dalam suatu pemukiman.

4
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada analisis hidrologi pada daerah tangkapan air
(DTA) di area perumahan. Pengembangan kriteria rancangan hidraulika dilakukan
untuk aliran saluran terbuka dengan penampang saluran berbentuk persegi dan
jenis saluran pasangan beton dan batu.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Analisis Hidrologi
Curah Hujan
Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses
hidrologi. Pada daerah perkotaan, intensitas hujan yang tinggi dapat
mengakibatkan terjadinya genangan/luapan air karena karena sebagaian besar
wilayah terbangun tidak mampu meresapkan air ke dalam tanah dan fasilitas
drainase yang ada tidak didesain untuk intensitas hujan yang tinggi (Suripin
2004). Intensitas hujan merupakan curah hujan jangka pendek yang dinyatakan
dalam curah hujan per satuan waktu. Besarnya intensitas hujan berbeda-beda
disebabkan oleh lamanya hujan turun (Mori 2006).
Hujan rencana diperlukan dalam mentukan besarnya hujan efektif yang
terjadi sehingga terjadinya limpasan. Hujan rencana ditentukan berdasarkan data
curah hujan harian maksimum tahunan yang dinyatakan dengan mm/hari.
Kumpulan data tersebut terdiri dari angka-angka yang satu sama lain tidak saling
bergantung (random variable). Pengolahan data secara statistik diperlukan untuk
mendapatkan extreme rainfall sebagai hujan rencana yang merupakan
kemungkinan tinggi hujan yang terjadi dalam kala ulang tertentu sebagai hasil dari
rangkaian analisis hidrologi yang biasa disebut analisis frekuensi curah hujan
(Mori 2006). Analisis frekuensi yang dilakukan dengan menggunakan teori
probability distribution berdasarkan persamaan distribusi yang sesuai (McCuen
1941; Desramaut 2008). Analisis frekuensi dapat dilakukan dengan teori
probability distribution, salah satu diantaranya adalah metode distribusi Gumbel
(Harto 1993). Analisis frekuensi hujan digunakan sebagai peramalan hidrologis
yang diharapkan menghasilkan besaran suatu peristiwa hidrologi (hujan, banjir,
dll) dalam batasan waktu tertentu. Metode Gumbel digunakan untuk menganalisis
distribusi kejadian hujan yang terbesar (nilai ekstrim). Sistematis perhitungan
hujan rencana dengan metode distribusi Gumbel dilakukan secara bertahap.
Metode ini digunakan untuk analisis data maksimum, misal untuk analisis
frekuensi banjir (Suripin 2004).
Pengelolaan data hujan secara statistik dilakukan untuk mendapatkan
curah hujan ekstrim, yaitu angka perkiraan hujan harian maksimum yang
dianggap terjadi satu kali dalam periode ulang (return period) yang telah
direncanakan. Periode ulang hujan (PUH) adalah interval waktu rata-rata dimana
suatu peristiwa hujan akan terjadi disamai atau dilampaui satu kali setiap tahun
dalam periode ulangnya. Analisis data hujan untuk menentukan curah hujan
ekstrim pada periode tertentu digunakan plotting position Weibul sebagai berikut.

5
T = 

!!!

(1)

!

dimana T adalah periode ulang, N adalah banyaknya data (jumlah tahun
pengamatan) dan m adalah nomor urut data, dengan urutan dari besar ke kecil.
Dalam melakukan perhitungan hujan rencana dengan metode Gumbel, untuk masa
ulang T mendasarkan atas karakteristik dari penyebaran (distribusi) dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
(2)

!! =   ! + !. !!

dimana !! adalah curah hujan rencana (mm/hari), ! adalah curah hujan
maksimum rata-rata (mm/hari), !! adalah standar deviasi nilai variat, dan K
adalah faktor probabilitas. Nilai rata-rata curah hujan maksimum digunakan untuk
mengetahui besaran nilai yang mewakili keseluruhan penyebaran data dihitung
dengan persamaan berikut:
!!

X = 

(3)

!

! adalah tinggi hujan harian maksimum rata-rata selama n tahun, Xi
adalah nilai data hujan maksimum yang terjadi, ∑X adalah jumlah tinggi hujan
harian maksimum selama n tahun, dan n adalah jumah tahun pencatatan data
hujan. Apabila penyebaran data sangat besar terhadap nilai rata-rata, maka nilai
standar deviasi (Sd) akan besar, akan tetapi apabila penyebaran data sangat kecil
terhadap nilai rata-rata, maka Sd akan kecil. Standar deviasi dihitung dengan
persamaan:
!! !! !

Sd =  

(4)

!!!

Faktor probabilitas (K) di dapat melalui persamaan berikut:
K = 

!!! !!!

(5)

!!

dimana !! adalah reduced mean yang tergantung jumlah data n, !! adalah
reduced standard deviation yang tergantung juga pada jumlah data n, dan !!!
adalah reduced variate yang dapat dihitung dengan persamaan (6). Nilai reduced
mean, reduced standard deviation, dan reduced varaite yang digunakan pada
metode distribusi Gumbel disajikan Lampiran 1.
!!! = −ln − ln

!! !!
!!

(6)

 

Dalam analisis frekuensi, data hidrologi baik data hujan maupun data debit
aliran sangat jarang dijumpai seri data yang sesuai dengan sebaran curah hujan
normal, sehingga perlu dilakukan analisis secara statistik untuk mendapatkan pola
sebaran yang sesuai. Jenis sebaran Gumbel memiliki kriteria nilai Cs ≤ 1.14 dan
Ck ≤ 5.40. Coefficient of skewness (Cs) merupakan derajat kemencengan atau
penyimpangan kesimetrian suatu distribusi, sedangkan Coefficient of kurtosis (Ck)
merupakan kepuncakan (peakedness) distribusi. Jika dirumuskan dalam suatu
persamaan adalah sebagai berikut (Soewarno 1995):
Cs =  

!
!
!
!

!! !! !
!! !! !

!

 .

!!
!!! !!!

(7)

6
Ck =  

!
!
!
!

!! !! !
!! !! !

!

 .

!!
!!! !!! !!!

(8)

Debit Limpasan (runoff)
Limpasan adalah bagian dari presipitasi yang terdiri atas gerakan gravitasi
air dan nampak pada saluran permukaan dari bentuk permanen maupun terputusputus. Faktor-faktor yang mempengaruhi volume total air limpasan yaitu faktor
iklim yang terdiri dari banyaknya presipitasi dan evapotranspirasi serta faktor
karakterisitk daerah pengaliran (Seyhan 1990). Faktor meteorologi utama yang
berpengaruh pada air limpasan yaitu karakteristik hujan, yang meliputi intensitas
hujan, durasi hujan dan distribusi curah hujan, sedangkan karakteristik daerah
tangkapan air (DTA) yang berpengaruh besar pada air limpasan yaiu luas dan
bentuk DTA, topografi dan tata guna lahan. Daerah tangapan air dalam suatu area
yang sempit akan menyebabkan laju limpasan lebih rendah dibanding pada DTA
yang padat dalam luasan yang sama. Kondisi tutupan lahan dapat mempengaruhi
jumlah debit limpasan dan daya tahan tanah terhadap air sehingga dapat
meningkatkan laju limpasan atau peningkatan debit puncak (Mori 2006). Ilustrasi
perubahan tutupan lahan di daerah perkotaan disajikan pada Gambar 1.

Rural

Sub urban

Urban
Gambar 1 Efek perubahan tutupan lahan terhadap debit puncak
(Q) terhadap waktu (t) (Butler dan John 2004)
Gambar 1 mengilustasikan bagaimana perubahan debit puncak limpasan
yang terjadi di setiap daerah. Pada daerah rural yang sebagian besar lahan terbuka
dan belum banyak terdapat area bangunan akan menghasilkan debit limpasan (Q)
yang lebih rendah ketika terjadi hujan, yang ditunjukkan pada bentuk hidrograf di
setiap daerahnya. Sedangkan berturut-turut pada daerah sub-urban dan urban
yang mengalami peningkatan daerah terbangun akan menghasilkan debit puncak
limpasan (Q) yang lebih besar ketika terjadi hujan dengan intensitas yang sama.

7
Hal ini menunjukkan setiap daerah terbangun memiliki peningkatan debit puncak
limpasan yang berbeda. Banyaknya lahan terbangun mengakibatkan tingginya
debit puncak limpasan yang terjadi ketika hujan.
Air limpasan permukaan (surface runoff) merupakan bagian dari hujan dan
menjadi perhatian pada perencanaan saluran drainase, yang merupakan gabungan
antara air limpasan di atas lahan, aliran-aliran pada cekungan, dan aliran bawah
permukan (subsurface runoff) (Suripin 2004). Kapasitas suatu bangunan yang
harus menampung debit limpasan dapat disebut sebagai debit rancangan.
Bangunan dan saluran dirancang untuk menampung debit air limpasan yang
terjadi dalam periode ulang tertentu (Schwab et al. 1981). Untuk menduga
besarnya debit puncak limpasan dapat digunakan metode rasional. Dasar yang
melatarbelakangi metode rasional adalah jika curah hujan dengan intensitas hujan
yang terjadi secara terus menerus, maka laju debit limpasan langsung (direct
runoff) akan bertambah sampai mencapai waktu konsentrasinya. Kemudian waktu
konsentrasi akan tercapai ketika seluruh bagian daerah aliran air telah
memberikan kontribusi aliran di outlet.
Penentuan debit limpasan dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung (Seyhan 1990). Pengukuran tidak langsung debit limpasan dilakukan
secara teoritis. Analisis debit limpasan secara teoritis dapat dilakukan dengan
metode rasional. Metode rasional digunakan untuk menentukan debit puncak
dengan persamaan sebagai berikut (Feyen1980; Dhakal et al. 2012):
!=

!"#"$

(9)

!"#

dimana Q adalah debit limpasan (m3/det), I adalah intensitas hujan dalam durasi
lamanya waktu hujan (mm/jam), C adalah koefisien limpasan, dan A adalah luas
area (ha). Nilai koefisien limpasan (C) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Nilai koefisien limpasan (C) untuk metode rasional
Deskripsi lahan/karakter permukaan
Atap
Perkerasan
Aspal dan beton
Batu bata, paving
Area business
Perkotaan
Pinggiran
Perumahan
Rumah tunggal
Rumah multiunit, terpisah
Rumah multiunit, tergabung
Halaman, tanah berpasir
Datar, 2%
Rata-rata, 2-7%
Halaman, tanah berat
Datar, 2%
Rata-rata, 2-7%
Taman tempat bermain
Sumber: Suripin (2004)

Koefisien limpasan (C)
0.75 – 0.95
0.70 – 0.95
0.50 – 0.70
0.70 – 0.95
0.50 – 0.70
0.30 – 0.50
0.40 – 0.60
0.60 – 0.75
0.05 – 0.10
0.10 – 0.15
0.13 – 0.17
0.18 – 0.22
0.20 – 0.35

8
Koefisien limpasan didefinisikan sebagai nisbah aliran antara puncak
aliran permukaan terhadap intensitas hujan. Koefisien limpasan untuk metode
rasional disajikan pada Tabel 1. Perhitungan koefisien limpasan setiap sub
catchment area (DTA) yang memiliki lebih dari satu jenis tata guna lahan
menggunakan rumus koefisien limpasan rata-rata tertimbang sebagai berikut
(Suripin 2004; Dhakal et al. 2012).
C! =

!!! !! !!!

!!"!#$

(10)

dimana !! adalah koefisien limpasan rata-rata tertimbang, !! adalah nilai
koefisien limpasan pada penggunaan lahan, !! adalah luas lahan pada pengunaan
lahan (ha), dan !!"!#$ adalah luas total lahan (ha).
Intensitas hujan (I) adalah kedalaman air hujan persatuan waktu. Sifat
umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya cenderung
makin tinggi dan makin besar periode ulangnya maka semakin tinggi pula
intensitasnya. Intensitas hujan diperoleh dengan cara melakukan analisis data
hujan baik secara statistik maupun secara empiris. Biasanya intensitas hujan
dihubungkan dengan durasi hujan jangka pendek misalnya 5 menit, 30 menit, 60
menit dan jam-jaman. Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia dan hanya
ada data hujan harian, maka intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus
Mononobe.
!=

!!" !" !/!
!"

!

(11)

dimana I adalah intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam), R24 adalah
hujan rencana dalam satu hari (mm), dan t adalah lamanya waktu hujan (jam).
Dari persamaan (11), metode rasional tersebut dikembangkan berdasarkan asumsi
bahwa hujan yang terjadi mempunyai intensitas seragam dan merata di seluruh
lahan DTA selama paling sedikit sama dengan waktu konsentrasi sebagai lamanya
hujan. Pada penentuan lama waktu hujan, dapat digunakan persamaan hasil
penelitian Darmadi (1990) yang menjelaskan hubungan tebal dan lama hujan di
beberapa lokasi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia. Analisis hubungan
tebal hujan (TH) dan lama hujan (LH) dapat dilakukan dengan mengikuti caracara sebagai berikut:
1. Dipilih satu buah stasiun pengukur hujan otomatik yang terdapat dalam suatu
DAS;
2. Apabila terdapat beberapa stasiun pengukur hujan yang berdekatan, maka
cukup dipilih satu buah stasiun pengukuran hujan otomatik, dan;
3. Apabila dalam suatu hari terdapat lebih dari satu kejadian hujan tunggal,
maka data kejadian pada hari tersebut tidak dipilih untuk dasar analisis.
Darmadi (1990) membuat analisis hubungan tebal hujan dan lama hujan
DAS berdasarkan data hujan tunggal harian untuk lama hujan 2, 3, 4, 5, dan 6 jam
yang dikumpulkan selama periode 10 tahun. Hasil analisis tersebut menghasilkan
persaman hubungan tebal hujan dan lama hujan pada beberapa DAS seperti yang
disajikan pada Tabel 2.

9
Tabel 2 Persaman hubungan tebal hujan (mm) dan lama hujan (jam)
No.
1
2
3
4
5
6

Nama DAS
Cimanuk
Cisanggarung
Citanduy
Cisadane
Progo dan Elo
Sampean, Kalibaru, Sanen, dan
Bedadung

Persamaan Hubungan
Tebal Hujan (TH) dan Lama Hujan (LH)
TH = 4.522 [LH] – 2.138
TH = 2.915 [LH] + 2.084
TH = 4.437 [LH] – 1.666
TH = 3.979 [LH] + 6.700
TH = 3.266 [LH] + 4.924
TH = 4.441 [LH] – 7.060

Selain itu, Kirpich (1940) dalam Suripin (2004) juga menyatakan waktu
konsentrasi (tc) adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan yang jatuh untuk
mengalir dari titik terjauh sampai ke tempat keluarnya aliran air (outlet) dalam
suatu DTA (titik kontrol). Diasumsikan bahwa jika lamanya waktu hujan sama
dengan waktu konsentrasi maka setiap bagian lahan DTA keseluruhan telah
menyumbangkan aliran (debit puncak) terhadap titik kontrol. Pada daerah
perkotaan seperti perumahan, lahan area DTA yang dimaksud sebagai muka aspal
dijalanan atau genting rumah sebagai lahan permukaan terbangun. Waktu
konsentrasi dihitung dengan persamaan berikut.
!! =

!.!"!!!

!.!"#

!"""!"

(12)

 

dimana tc adalah waktu konsentrasi (jam), L panjang saluran utama dari hulu
sampai penguras (km), S adalah kemiringan rata-rata saluran utama (m/m).
Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sebagian besar berupa lahan
bukan perumahan, waktu konsentrasi dapat dihitung dengan membedakan menjadi
dua komponen, yaitu (1) waktu limpasan permukaan (to dalam menit) sebagai
lamanya waktu yang diperlukan air untuk mengalir di permukaan lahan sampai
saluran terdekat, dan (2) waktu limpas saluran (td dalam menit) sebagai waktu
yang diperlukan air untuk mengalir di dalam saluran drainase sampai muara
DAS/titik keluar. Waktu konsentrasi yang dihitung merupakan waktu
penjumlahan kedua komponen tersebut, sehingga (Suripin 2004):
tc = to + td

(13)

dengan;
!! =
!! =

!

!3.28!"!

!!
!"!

!
!

!

 

(14)
(15)

dimana n adalah angka kekasaran Manning, S adalah kemiringan lahan (m/m), L
adalah panjang linasan aliran di atas permukaan lahan (m), Ls adalah panjang
lintasan di dalam saluran/sungai (m), dan V adalah kecepatan aliran di dalam
saluran (m/det).
Menurut Suripin (2004), debit limpasan berhubungan dengan dimensi
saluran. Perhitungan dimensi saluran didasarkan pada debit yang harus ditampung
oleh saluran (Qs dalam m3/det) yang harus lebih besar atau sama dengan debit
rencana yang diakibatkan oleh hujan rencana (QT dalam m3/det). Atau dengan
kata lain, kapasitas debit rancangan yang akan dibuat (QS) harus lebih besar dari

10
debit aktual dari setiap kejadian hujan/hujan rencana (QT)
QS ≥ QT

(16)

Disamping penghitungan debit limpasan dengan metode rasional,
dilakukan pengukuran langsung debit di saluran drainase dengan menggunakan
sekat ukur (bendung) persegi empat. Menurut Mori (2006), debit di saluran yang
dilengkapi sekat ukur persegi empat dapat dihitung dengan persamaan:
Q  =  Kbh!/!
K = 107.1 +

(17)
!..!!
!

!

!!! !

!

!"

+ 14.2 − 25.7

+ 2.04

!
!

(18)

dimana Q adalah debit air di saluran (m3/menit), b adalah lebar mercu (m),
h adalah tinggi muka air di atas mercu (m), K adalah koefisien debit, B adalah
lebar saluran (m), dan D adalah tinggi dasar saluran ke mercu bendung (m).
Penentuan nilai koefisien debit (K) pada sekat ukur persegi empat dapat
menggunakan persamaan (18). Dimensi bendung/sekat ukur persegi empat yang
digunakan untuk pengukuran debit saluran disajikan pada Gambar 2. Untuk
penggunaan sekat ukur untuk dapat digunakan pada sekat ukur persegi nilai lebar
saluran (B) antara 0.50 m hingga 6.30 m; tinggi dasar saluran ke mercu bendung
(D) antara 0.15 m hingga 5.50 m; lebar mercu (b) antara 0.15 m hingga 5.00 m;
nilai

!"
!!

> 0.06; dan tinggi air di atas mercu (h) antara 0.03 m hingga 0.45 ! m.
B
b

h
D

Gambar 2 Dimensi bendung/selat ukur persegi
empat (Mori 2006)
Koefisien Drainase
Koefisien drainase adalah laju pengaliran rata-rata air lebih yang dapat
dipindahkan oleh sistem drainase ke muka air yang lebih rendah setelah jenuh
selama 24 jam dengan satuan volume per waktu di setiap luasan (m3/det.ha).
Koefisien drainase dipengaruhi oleh sifat hujan, topografi, sifat tanah, serta
kondisi hidrologi permukaan dan bawah permukaan. Nilai limpasan bervariasi di
sepanjang saluran drainase. Nilai koefisien drainase diperoleh melalui persamaan
(19) (Feyen 1980).
! = ! ! !

(19)

dimana Q adalah debit limpasan lahan (m3/det), A adalah luas area lahan drainase
pada titik yang dihitung (ha), dan q adalah nilai koefisien drainase yang
didefenisikan sebagai desain spesifik/unit limpasan (m3/det.ha).

11
Nilai koefisien drainase untuk drainase lapang dan drainase utama sering
direncanakan dengan frekuensi yang berbeda. Pengaruh perbedaan ini
menunjukkan bahwa koefisien drainase untuk drainase utama secara normal
berbeda dengan desain debit rancangan untuk drainase lapang. Tabel 3
memberikan gambaran nilai koefisien drainase untuk lahan datar pada lahan
pertanian yang datar, dengan luasan antara 10.000-25.000 ha.
Tabel 3 Variasi koefisien drainase pada lahan pertanian
Negara/penggunaan lahan
1. Netherlands’ (padang rumput/
budidaya campuran; tadah hujan)
2. Yugoslavia (padang rumput/
budidaya campuran; tadah hujan)
3. Sudan (kapas; irigasi alur)
4. Jepang (sawah tergenang)
5. Tanzania (gula tebu; irigasi curah)
Sumber: Feyen (1980)

CH (mm)
1x5 tahun
24-48 jam
31-44

Kemiringan
lahan (%)

Koefisien
drainase
(m3/det/ha)

0.05-0.20

0.001-0.0013

52-64

0.25-0.50

0.0035

64-90
80-115
145-165

0.05-0.10
0.05-0.20
0.20

0.004
0.005
0.007

Sistem Jaringan Drainase
Komponen Jaringan Drainase
Sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang
berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu area
sehingga area tersebut dapat difungsikan secara optimal. Drainase yaitu suatu cara
pembuangan kelebihan air yang tidak diinginkan pada suatu daerah, serta caracara penangggulangan akibat yang ditimbulkan oleh kelebihan air tersebut.
Bangunan sistem drainase terdiri dari saluran penerima (interseptor drain),
saluran pengumpul (colector drain), saluran pembawa (conveyor drain), saluran
induk (main drain) dan badan air penerima (receiving waters). Prasarana drainase
berfungsi untuk mengalirkan air permukaan ke badan air (sumber air permukaan
dan bawah permukaan tanah) dan atau bangunan resapan. Selain itu juga
berfungsi sebagai pengendali kebutuhan air permukaan dengan tindakan untuk
memperbaiki daerah becek, genangan air dan banjir (Suripin 2004).
Smedema dan Rycroft (1983) mengklasifikasikan saluran drainase menjadi
tiga yaitu field drain, collector, dan main drain. Penentuan pengalokasian saluran
tersebut berdasarkan kemiringan lahan. Sistem drainase lapangan (field drain)
adalah jaringan drainase yang mengumpulkan air dari air tanah melalui bidang
mengalir untuk mendorong debit limpasan menuju saluran pembuangan. Sistem
drainase utama (main drain) adalah sistem jaringan drainase pengangkut air
limpasan yang menerima air dari jaringan drainase lapangan, limpasan air
permukaan dan aliran air tanah yang akan membawa aliran air menuju titik outlet.
Sistem drainase utama terdiri dari beberapa kolektor saluran air dan kanal drainase
utama. Saluran kolektor akan mengumpulkan air dari saluran lapangan (field
drain) dan membawanya ke saluran utama untuk pembuangan. Saluran kolektor
dapat berupa saluran terbuka atau pipa saluran air. Ilustrasi layout jaringan

12
drainase disajikan pada Gambar 3.
Bila diklasifikasikan macam-macam saluran drainase yang dimanfaatkan
sebagai saluran pembuangan air dibedakan menjadi tiga tipe saluran, antara lain
dapat dibedakan menjadi:
1. Saluran air tertutup;
a. Drainase bawah tanah tertutup, yaitu saluran yang menerima air limpasan
dari daerah yang diperkeras maupun yang tidak diperkeras dan
membawanya ke sebuah pipa keluar di sisi tapak (saluran permukaan
atau sungai), ke sistem drainase kota;
b. Drainase bawah tanah tertutup dengan tempat penampungan pada tapak,
dimana drainase ini mampu menampung air limpasan dengan volume dan
kecepatan yang meningkat tanpa menyebabkan erosi dan kerusakan pada
tapak.
2. Saluran air terbuka;
Merupakan saluran yang mengalirkan air dengan suatu permukaan bebas.
Pada saluran air terbuka ini jika ada sampah yang menyumbat dapat dengan
mudah untuk dibersihkan, namun bau yang ditimbulkan dapat mengurangi
kenyamanan. Menurut asalnya, saluran dibedakan menjadi :
a. Saluran alam (natural), meliputi selokan kecil, kali, sungai kecil dan
sungai besar sampai saluran terbuka alamiah;
b. Saluran buatan (artificial), seperti saluran pelayaran, irigasi, parit
pembuangan, dan lain-lain.
3. Saluran air kombinasi, dimana air limpasan dikumpulkan pada saluran
drainase permukaan, sementara air limpasan dari daerah yang diperkeras
dikumpulkan pada saluran drainase tertutup.

(a) Natural System

(b) Parrarel Grid System

Gambar 3 Pola jaringan drainase (Feyen 1980)
Faktor-faktor Rancangan Hidraulika Saluran Drainase
Hidraulika merupakan ilmu terapan yang menggambarkan penyaluran dan
pengendalian dari gerakan air dan gaya yang ditimbulkannya (Hodges 1996).
Hidraulika dibedakan dalam dua bidang, yaitu hidrostatika yang mempelajari zat

13
cair pada keadaan diam dan hidrodinamika yang mempelajari zat cair yang
bergerak. Pada zat cair yang bergerak, perilaku air yang dipelajari adalah aliran
pada saluran tertutup dan terbuka. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat
diartikan bahwa rancangan hidraulika merupakan suatu perancangan teknis
mengenai perilaku aliran air secara mikro maupun makro baik pada saluran
tertutup maupun pada saluran terbuka (Butler dan John 2004). Menurut Schwab et.
al. (1966), dalam rancangan hidraulika perlu diperhatikan beberapa faktor untuk
mendapatkan saluran drainase yang ideal, antara lain:
1. Lokasi saluran harus cukup rendah dari areal asal air limpasan;
2. Kapasitas saluran harus mampu menampung air limpasan yang menuju ke
arah saluran;
3. Kemiringan dinding saluran sedemikian rupa sehingga tidak mudah terjadi
longsor atau pengikisan dinding saluran;
4. Kecepatan aliran sedemikian rupa sehingga erosi atau pengendapan pada
dasar saluran dapat dihindarkan.
Pemahaman tentang hidraulik diperlukan dalam sistem drainase dalam
rangka untuk menentukan ukuran yang sesuai dari komponen sistem tersebut, baik
pada saluran tertutup maupun saluran terbuka. Hal ini juga diperlukan dalam
analisis dan pemodelan sistem dalam rangka untuk memprediksi hubungan antara
laju rata-rata aliran dan kedalaman aliran untuk berbagai jenis aliran dan kondisi
aliran.
Saluran terbuka dapat berupa saluran alam (natural channel) seperti sungaisungai kecil di daerah hulu (pegunungan) hingga sungai besar di muara, dan
saluran buatan (artificial channel), seperti saluran drainase di tepi jalan, saluran
irigasi, saluran pembuangan, saluran untuk membawa air ke pembangkit listrik
tenaga air dan saluran untuk supply air minum. Saluran buatan dapat berbentuk
segitiga, trapesium, segi empat, bulat, setengah lingkaran, dan bentuk tersusun
seperti disajikan pada Gambar 4 (Suripin 2004).

Gambar 4 Bentuk potongan melintang saluran terbuka (Suripin 2004)
Perancangan Hidraulika Saluran Drainase
Dalam pengembangan saluran untuk aliran yang dianggap debitnya konstan,
penentuan nilai kecepatan aliran (Vs) dilakukan dengan menggunakan rumus
Manning. Persamaan kecepatan aliran Manning ditunjukkan pada persamaan (20)
(Butler dan John 2004).
!

!! = !!/! ! !/!
!

(20)

14
dimana n adalah nilai koefisien kekasaran Manning, R adalah jari-jari hidraulik
saluran (m), dan S adalah kemiringan saluran (m/m). Nilai koefisien kekasaran
Manning berdasarkan tipe dan jenis bahan saluran disajikan pada Lampiran 10.
Umumnya saluran drainase di perumahan berbentuk persegi empat atau trapesium
yang ditunjukkan pada Gambar 5 sebagai bentuk dimensi saluran terbuka.

(a)

(b)

Gambar 5 (a) Penampang melintang saluran berbentuk persegi panjang dan (b)
saluran berbentuk trapesium
Untuk mengetahui debit pada saluran terbuka (Qs) secara tidak langsung
dilakukan dengan mengukur kecepatan aliran (Vs) dan luas penampang aliran
(AS) menggunakan rumus debit sebagai berikut.
(21)

!! = !! !!!
!

!! = !!  !  !!/! ! !/!

(22)

!

Bentuk penampang hidraulika saluran sangat bergantung pada ukuran unsur
geometri pada salurannya dimana bentuk tersebut mempengaruhi jumlah air yang
dapat dialirkan. Debit aliran berhubungan dengan kecepatan aliran. Debit
maksimum dicapai jika kecepatan aliran maksimum. Kemampuan mengalirkan air
pada suatu penampang saluran akan meningkat sesuai dengan peningkatan jari-jari
hidraulik atau berkurangnya keliling basah. Penampang saluran yang memiliki
keliling basah lebih kecil dapat mengalirkan air secara maksimal. Penampang ini
disebut penampang hidraulik terbaik (Chow 1992). Unsur-unsur geometris dalam
penentuan penampang saluran terbaik disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Unsur geometris penampang saluran persegi dan trapesium
Unsur Geometris
Luas penampang (A)
Keliling basah (P)

Rumus
Segi Empat
B.h
! + 2ℎ
B. h
 
! + 2ℎ

Trapesium
! + !. ℎ ℎ

! + 2ℎ 1 + ! !
! + !. ℎ ℎ
Jari-jari hidraulik, R (m)
 
! + 2ℎ 1 + ! !
! + !. ℎ ℎ
Kedalaman hidraulik (d)

! + 2!ℎ
Lebar puncak (B)
B
! + 2!ℎ
A
A
Kedalaman rata-rata (dm)
!
!
Sumber: Chanson (2004); Butler dan John (2004); Suripin (2004)

Satuan
m2
m
m
m
m
m

15
Harga minimum untuk tinggi jagaan/freeboard (W dalam meter) pada
saluran primer dan sekunder berkaitan dengan debit rencana saluran. Menurut
USDA-NRCS (2001), freeboard merupakan jarak vertikal antara elevasi
permukaan air maksimum sebagai antisiasi disain saluran dengan dinding batas
bagian atas pada saluran. Besarnya jagaan tergantung dari besarnya kapasitas
saluran. Kapasitas saluran dihitung berdasarkan luas area yang memerlukan
drainase, periode ulang yang dipilih dan lama penggenang yang masih ditolerir
(Chow 1992). Tinggi jagaan minimum untuk saluran pasangan ditentukan
berdasarkan debit rencana yang terjadi (QT dalam m3/det) (DPU 1986) yang
ditunjukan pada Tabel 5.
Tabel 5 Tinggi jagaan minimum untuk saluran pasangan
Debit, Q (m3/det)
< 0.5
0.5 – 1.5
1.5 – 5.0
5.0 – 10.0
10.0 – 15.0
> 15.0
Sumber: DPU (1986)

Tinggi Jagaan, W (m)
0.20
0.20
0.25
0.30
0.40
0.50

Untuk perencanaan saluran drainase yang sesuai dengan jumlah debit,
maka perencanaan yang sesuai dapat mengacu pada nilai hubungan antara Q, h,
dan b/h sebagai berikut (DPU 1986).
Tabel 6 Hubungan antara nilai Q, h, dan b/h untuk saluran drainase
Q (m3/det)
< 0.5
0.5 – 1.1
1.1 – 3.5
> 3.5
Sumber: DPU (1986)

h (m)
< 0.50
0.5 – 0.75
0.75 – 1.00
> 1.00

b/h
1
2
2.5
3

Pemanfaatan Air Limpasan
Kualitas Air Saluran Drainase
Penggunaan lahan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan
kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan (Arsyad 1989). Menurut Viessman
et al. (1989), perubahan penutupan lahan memberikan pengaruh yang