Komersialisasi Pendidikan Di Indonesia: Suatu Tinjauan Dari Aspek Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya

49

ragam
Komersialisasi Pendidikan di Indonesia: Suatu Tinjauan dari
Aspek Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Irawaty A. Kahar
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Perpustakaan
Tingginya tingkat pendidikan dan tingginya taraf kebudayaan rakyat akan menjadi
barometer bagi pertumbuhan bangsa dan negara yang bersangkutan. Akan tetapi
bagaimana orang dapat, mencapai pendidikan tinggi apabila biaya pendidikan tersebut
mahal yang hanya dapat dinikmati oleh masyarakat golongan ekonomi mapan saja

Pendahuluan
Maraknya komersialisasi pendidikan
dibicarakan pada akhir-akhir ini membuat
penulis sangat antusias untuk membahasnya
lebih jauh. Berbagai opini pro dan kontra
yang dilontarkan oleh masyarakat melalui
tulisan-tulisan di media massa yang
merupakan suatu fenomena, di antaranya
pada harian Kompas edisi Selasa, 3 Mei

20051, menulis bahwa begitu memprihatinkan
pendidikan Indonesia.
Sistem pendidikan nasional dalam
praktiknya masih jauh dari apa yang
diharapkan serta yang digagaskan bahkan kini
ada kecenderungan bahwa dunia pendidikan
kita akan terjebak ke arah komersialisasi,
bahwa pendidikan sebagai komoditas yang
bisa diperjual belikan, kemudian Achmad F.
Syaifudin menuliskan2 bahwa selama ini
pendidikan kita masih berorientasi pada
hasil ketimbang proses, sementara Lidus
Yardi3 menyebutkan bahwa pendidikan
yang mahal pun di Indonesia masih jauh
dari mutu, sehingga tidak salah jika
kemudian timbul “Industrialisasi” dan
“komersialisasi” di dunia pendidikan saat ini.
Pernyataan-pernyataan yang dibuat pada media
massa di atas menunjukkan gambaran bahwa
komersialisasi pendidikan menjadi sorotan

masyarakat. Di samping itu fakta di lapangan
memperlihatkan lembaga-lembaga pendidikan
tinggi dengan status yang kurang jelas
tumbuh subur terutama di kota besar.
Dengan berbagai cara mereka mengiklankan
1

Kompas 3 Mei 2005. Diragukan, Komitmen
Penguasa Memajukan Rakyat
2
Kompas 17 September 2004. Menghargai
kerja keras Bisa Dibangun Lewat Pendidikan
3
Lidus Ardi .File//C\My doc…\Artikel
pendidikan. Net Work-Mengkritisi Pendidikan

HISTORISME

dan menawarkan program pendidikan untuk
mendapatkan gelar seperti MBA (Magister

Bisnis Administration), MM (Magister
Management)
tanpa
melalui
proses
pembelajaran. Lembaga seperti ini telah
“melacurkan” karena lebih mementingkan
keuntungan dari pada mutu sehingga dapat
membunuh idealisme pendidikan Indonesia.
Seiring dengan itu juga muncul sekolahsekolah dengan program dan perlengkapan
yang serba mahal mulai dari tingkat taman
kanak-kanak sampai pada tingkat perguruan
tinggi seperti Perguruan Al-Azhar dan
Perguruan Tinggi Pelita Harapan di Jakarta
yang hanya dinikmati oleh masyarakat
golongan ekonomi mapan. Meskipun
dampak dari pendidikan mahal ini tidak
seburuk program pendidikan yang hanya
menawarkan gelar saja, praktik semacam
itu telah mengotori dunia pendidikan antara

keluarga mampu dan tidak mampu.
Fenomena dan fakta pendidikan di
atas merupakan suatu masalah yang lambat
laun secara politik bakal menumbuh suburkan
culture
capitalism
maupun
ideologi
neoliberilsm di lembaga pendidikan kita
dengan modus klasik “komersialisasi
pendidikan”. Kondisi itu tentu akan mendorong
menurunnya mutu pendidikan nasional serta
merusak
budaya
bangsa
tanpa
menghiraukan lagi nilai-nilai moral, dan
dari segi sosial pendidikan mahal tidak
mengangkat strata sosial masyarakat yang
kurang mampu.

Sehubungan dengan itu perlu
dipertanyakan apa yang menjadi faktor
penyebab terjadinya komersialisasi dalam
pendidikan kita dan mengapa ini terjadi.
Apakah memungkinkan masyarakat

IRAWATY A. KAHAR
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara

50

RAGAM
mempunyai gagasan serta gambaran
tentang sosok pendidikan yang lebih baik,
lebih sesuai dengan sistem yang diinginkan
yang disebut sebagai sistem pendidikan
yang lebih “pantas, lebih santun”, progresif
dan sebagainya. Untuk menjawab pertanyaan
penulis akan melakukan serangkaian

pembahasan dari berbagai aspek dan
paradigma yaitu: aspek politik, ekonomi,
sosial dan budaya.

Komersialisasi Pendidikan
Komersialisasi pendidikan dapat
bermakna memperdagangkan pendidikan,
karena menurut kamus, kata komersial atau
commercialize berarti memperdagangkan.
Adapun istilah “komersialisasi pendidikan”.
Sekarang
ini
istilah
komersialisasi
pendidikan mengacu pada dua pengertian
yang berbeda, yaitu:
1. Komersialisasi
pendidikan
yang
mengacu lembaga pendidikan dengan

program serta perlengkapan mahal.
Pada pengertian ini, pendidikan hanya
dapat dinikmati oleh sekelompok
masyarakat ekonomi kuat, sehingga
lembaga seperti ini tidak dapat disebut
dengan istilah komersialisasi karena
mereka memang tidak memperdagangkan
pendidikan. Pemungutan biaya yang
tinggi adalah untuk menfasilitasi jasa
pendidikan
serta
menyediakan
infrastruktur pendidikan yang bermutu,
seperti menyediakan fasilitas teknologi
informasi, laboratorium dan perpustakaan
yang baik, serta memberikan kepada para
guru atau dosen gaji menurut standar.
Sisa anggaran yang mereka peroleh,
mereka tanamkan kembali bentuk
infrastruktur pendidikan. Komersialisasi

pendidikan jenis ini tidak akan
mengancam
idealisme
pendidikan
nasional atau idealisme Pancasila, akan
tetapi perlu dicermati juga, karena
dapat menimbulkan pendiskriminasian
dalam pendidikan nasional.
2. Komersialisasi
pendidikan
yang
mengacu kepada lembaga pendidikan
yang hanya mementingkan uang

HISTORISME

pendaftaran dan uang kuliah saja, tetapi
mengabaikan
kewajiban-kewajiban
pendidikan.4 komersialisasi pendidikan ini

biasanya, dilakukan oleh lembaga atau
sekolah-sekolah
yang
menjanjikan
pelayanan pendidikan tetapi tidak sepadan
dengan uang yang mereka pungut. Pada
lembaga atau sekolah yang seperti ini,
laba atau selisih anggaran yang
diperoleh tidak ditanam kembali ke
dalam
infrastruktur
pendidikan,
melainkan
dipergunakan
untuk
memperkaya atau menghidupi pihakpihak yang tidak secara langsung
bekerja menyajikan pelayanan di
lembaga tersebut. Pihak-pihak tersebut
adalah anggota yayasan atau badan
amal pendidikan yang menguasai

lembaga pendidikan. Itu hal yang lebih
berbahaya lagi, komersialisasi jenis
kedua ini dapat pula melaksanakan
praktik pendidikan untuk maksud
memburu gelar akademik tanpa melalui
proses serta mutu yang telah ditentukan
sehingga dapat membunuh idealisme
pendidikan Pancasila. Hal tersebut jelas
tercantum di dalam Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada bab 1 pasal
1 yang berbunyi: pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak yang
mulia

serta
keterampilan
yang
diperlukan dirinya, masyarakat bangsa
dan negara5. Dalam bab tersebut jelas
dinyatakan bahwa pendidikan itu harus
melalui proses belajar dan berakhlak
mulia, mungkin ini kurang terdapat
dalam komersialisasi pendidikan jenis
kedua di atas.
4
Muchtari Buchtari. Komersialisasi Idealisme
Bukan Tabu. 2001.
5
Depdiknas. Undang Undang no.20 Tahun
2003 Sistem Pendidikan Nasional.

IRAWATY A. KAHAR
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara

51

ragam
Aspek-Aspek yang Memunculkan
“Komersialisasi” Pendidikan
a. Aspek Politik
Pendidikan
yang
merupakan
kebutuhan dasar manusia dan yang harus
dipenuhi oleh setiap manusia juga memiliki
aspek politik karena dalam pengelolaan
harus berdasarkan ideologi yang dianut
negara. Adapun ideologi pendidikan kita
adalah ideologi demokrasi Pancasila, yaitu
setiap warga negara mendapat kebebasan
dan hak yang sama dalam mendapat
pendidikan. Dalam Pembukaan UUD 45
pada alinea ke-4 , hal ini pun tercermin ada
kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa.
Atas dasar itu sudah seharusnya pemerintah
dalam menetapkan setiap kebijakan pendidikan
merujuk pada ideologi negara. Akan tetapi
dalam kenyataannya melalui pemerintah
mengeluarkan peraturan (PP) No. 61 Tahun
1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi
sebagai Badan Hukum, pemerintah telah
memberikan otonomi pada perguruan tinggi
dalam mengelola pendidikan lembaganya
termasuk pencarian dana bagi biaya
operasionalnya. Akibatnya muncul tempattempat pendidikan dengan biaya mahal dan
tidak terjangkau oleh golongan ekonomi
lemah, sehingga hak masyarakat untuk
mendapatkan hak yang sama memperoleh
pendidikan jauh dari kenyataan. Tanpa
disadari dunia pendidikan kita yang
berlandaskan Pancasila telah masuk ke
dalam mesin giling ideologi kapitalisme
yang lumat dalam mekanisme pasar serta
kurang menghiraukan kaum lemah,
malahan menjadi komoditas yang sangat
mahal nilainya. Kuasa uang begitu mudah
memasuki arena pendidikan kita yang
mengalahkan moralitas pendidikan itu
sendiri. Diakui pendidikan membutuhkan
uang tetapi uang bukanlah segala-galanya
untuk meraih pendidikan atas kondisi yang
demikian, strata sosial, harkat dan martabat
mereka tetap berada di bawah. Apabila
pendidikan tetap mahal dan dikomersialisasikan,
masyarakat yang kurang mampu tidak akan
dapat meningkatkan status sosial mereka, dan
ironisnya komersialisasi pendidikan ini
didukung oleh tatanan sosial dan diterima
oleh masyarakat.

HISTORISME

Akibat longgarnya sanksi sosial
dan kurangnya kontrol pemerintah,
komersialisasi pendidikan tumbuh subur
serta membentuk social gap atau
diskriminasi dalam pendidikan antara
masyarakat yang mampu dengan yang tidak
mampu.
b. Aspek Budaya
Budaya bangsa kita mengagungkan
gelar akademis dan sebagai contoh
dihampir setiap dinding rumah yang
keluarganya berpendidikan selalu terpajang
foto wisuda anggota keluarga lulusan dari
universitas manapun. Hal ini menunjukkan
bahwa bangsa kita masih menganut budaya
yang degree minded.
Budaya
berburu
gelar
ini
berkembang pada lembaga pemerintah yang
mengangkat atau mempromosikan pegawai
yang memiliki gelar sarjana tanpa terlebih
dahulu diteliti dan dites kemampuan
akademik mereka. Ironisnya program
pendidikan seperti ini banyak diminati oleh
pejabat-pejabat. Dengan komersialisasi
pendidikan berarti ideologi kapitalisme
telah masuk kampus. Ideologi ini
memberikan kebebasan pada individu atau
kelompok untuk berusaha, sementara
intervensi pemerintah harus berkurang.6
Akibat masuknya ideologi ini akan dapat
menggeser pendidikan demokrasi Pancasila
kalau pemerintah tidak cepat tanggap dalam
hal ini.
c. Aspek Ekonomi
Ekonomi sudah pasti kita akan
membicarakan aspek ekonomi terkait
dengan masalah biaya. Biaya pendidikan
nasional seharusnya menjadi tanggung
jawab pemerintah, akan tetapi dengan
keluarnya UU No. 20 Tahun 2003 pada bab
XIV pasal 50 ayat 6 dinyatakan bahwa
perguruan tinggi menentukan kebijakan dan
memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan
lembaganya.7 Hal ini menunjukkan ketidak
mampuan pemerintah membiayai pendidikan
nasional, khususnya pendidikan tinggi yang
dulu mendapat subsidi dari pemerintah
6
httpp://www. Kebangkitan Neo Liberalisme.
com/cetak//06603/228/022.htm.
7
Ibid.

IRAWATY A. KAHAR
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara

52

RAGAM
sebanyak 75% dan 25% lagi berasal dari
biaya masyarakat termasuk dana SPP.
Namun subsidi 75% dicabut dan kemudian
pemerintah memberikan status BHMN
(Badan Hukum Milik Negara) kepada
beberapa perguruan tinggi negeri agar
mengelola keuangannya masing-masing.
Berbagai program pendidikan
ditawarkan oleh pengelola perguruan tinggi
untuk memaksimalkan potensi intuisinya
dalam
mencari
sumber
pendanaan.
Beberapa perguruan tinggi ternama seperti
UI, ITB, UGM, IPB, dan USU membuka
jalur khusus dalam penerimaan mahasiswa
baru dengan tarif mulai dari Rp.15 juta
sampai dengan Rp.150 juta.8 Hal ini terjadi
akibat dari lepasnya tanggung jawab
pemerintah dalam membiayai pendidikan
sehingga berdampak pada komersialisasi
pendidikan di perguruan tinggi negeri
(berstatus BHMN), yang tentu saja
menguntungkan. Alasan untuk menciptakan
pendidikan yang bermutu perlu biaya besar
dan mahal bagi kalangan masyarakat yang
kehidupan ekonominya lemah, maka status
BHMN akan menjadi momok yang
menakutkan. Sebagai contoh di Perguruan
Tinggi Swasta Pelita Harapan yang
memungut biaya puluhan juta rupiah per
semester, ini menyediakan berbagai fasilitas
terutama teknologi informasi serta tenaga
pengajar yang bertaraf internasional.
Tampaknya perguruan tinggi serupa ini
disediakan khusus bagi kalangan atas dan
mahasiswa disiapkan benar-benar mampu
bersaing
dalam
era
globalisasi.
Komersialisasi pendidikan jenis ini perlu
didukung karena kita harus menyadari
bahwa masyarakat kita terdiri dari berbagai
segmen
ekonomi yang berbeda.
Menyediakan perguruan tinggi dengan
biaya mahal dan bertaraf internasional
berarti kita telah menarik masyarakat yang
mempunyai kemampuan dalam finansial
untuk menyekolahkan anak mereka di
dalam negeri dan tidak lagi harus ke luar
negeri. Ini akan mencegah masuknya devisa
negara kita ke negara asing dan sangat
membantu perekonomian indonesia.

8

Ibid, Lidus Yardi, Loc.cit

HISTORISME

d. Aspek Sosial
Aspek sosial terkait dengan dari
hubungan dengan manusia. Pendidikan
sangat menentukan perubahan strata sosial
seseorang, yaitu semakin tinggi pendidikan
seseorang, akan semakin meningkat pula strata
sosialnya, begitu juga sebaliknya. Sesuai
dengan pendapat Kartono (1997: 97)9 yang
menyatakan: tingginya tingkat pendidikan dan
tingginya taraf kebudayaan rakyat akan
menjadi barometer bagi pertumbuhan bangsa
dan negara yang bersangkutan. Akan tetapi
bagaimana
orang
dapat,
mencapai
pendidikan tinggi apabila biaya pendidikan
tersebut mahal dan hanya dapat dinikmati
oleh masyarakat golongan ekonomi mapan
saja. Bagaimana dengan masyarakat
golongan ekonomi lemah? Berapa banyak
penduduk Indonesia yang tidak dapat
melanjutkan pendidikan karena kekurangan
biaya. 80% wilayah Indonesia terdiri dari desa
yang sebagian besar penduduknya tidak
mampu untuk bersekolah tinggi, dan rata-rata
pendidikan mereka hanya tingkat SD dan
SLTP. Hal ini tentu akan membuat nasib
mereka makin terpuruk.
Kendala yang dihadapi dalam
dunia pendidikan kita saat ini tak lain
disebabkan oleh beberapa hal yang sangat
urgen dan sangat mendasar bagi
masyarakat, seperti:
1. Tingginya biaya pendidikan menyebabkan
masyarakat kurang mampu tidak dapat
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi. Hal ini berakibat pada kehidupan sosial
mereka dalam masyarakat, sebab kondisi ini
menyulitkan mereka untuk dapat
berkompetisi secara global melalui
pendidikan. Untuk mengatasi hal ini
masyarakat yang kurang mampu harus
diberi jalan untuk mendapat pendidikan
yang lebih tinggi dengan konsekuensi
memberikan subsidi 20% dari anggaran
APBN, menggalakkan Gerakan Orang
Tua Asuh (GNOTA), pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang ditujukan
bagi perusahaan yang ada di Indonesia
untuk mengeluarkan 1% dari keuntungan
mereka per tahun bagi dana pendidikan.
9
Kartini kartono. Tinjauan Politik
Mengenai Sistem Pendidikan Nasional ,Jakarta:
Pradnya Paramita,1997, Hal. 97.

IRAWATY A. KAHAR
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara

53

ragam
2.

Mengejar dan mengagungkan gelar
akademis telah menjadi budaya di
tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Hal ini mengakibatkan masyarakat
melakukan berbagai upaya untuk
mendapatkan gelar akademis tersebut
seperti jalan pintas tanpa melalui proses
pembelajaran dengan mengandalkan
uang sehingga praktik komersialisasi
pendidikan semakin subur. Budaya ini
harus diberantas dengan cara adanya
kebijakan pemerintah yang tegas untuk
menutup lembaga pendidikan yang telah
melakukan kecurangan pendidikan yang
dapat mengurangi kualitas mutu
pendidikan. Di samping itu lembagalembaga pemerintah maupun swasta
yang ada harus tegas untuk tidak
merekrut atau mempromosikan mereka
yang memperoleh gelar akademis
melalui jalan pintas tersebut, dan
diharapkan juga adanya sebuah kotrol
sosial dari masyarakat.

Kesimpulan dan Solusi
1. Seperti yang telah disebutkan, pengertian
komersialisasi pendidikan mengacu pada
dua hal yaitu komersialisasi dalam arti:
a. Memungut biaya mahal dengan
fasilitas pendidikan yang mewah,
lengkap, tenaga pengajar berkualitas
dan bertaraf Internasional
b. Komersialisasi didasarkan pada
pengambilan keuntungan semata
untuk mencapai hasil dan gelar
dengan jalan pintas tanpa melalui
proses pembelajaran. Dari kedua
jenis komersialisasi itu, maka
komersialisasi
jenis
kedua
dianggap tidak berkualitas yang
akan berpengaruh pada sumber
daya manusia yang dihasilkan
kelak. Oleh sebab itu perlu dibentuk
tim pengawas independen dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut.
2. Munculnya komersialisasi pendidikan
adalah sebagai akibat dari pelepasan
tanggung jawab pemerintah yang telah
mencabut subsidi pembiayaan terutama
pada perguruan tinggi dan pemberian
hak otonomi serta status BHMN pada
perguruan tinggi negeri. Hal ini

HISTORISME

3.

mengakibatkan ideologi kapitalisme
mulai merebak di dalam dunia
pendidikan yang pada akhirnya lebih
mengutamakan keuntungan bagi pihakpihak tertentu saja. Komersialisasi di
perguruan tinggi negeri boleh-boleh
saja asalkan mutu pendidikan tetap
dipertahankan dan pola akses masuk
anak didik untuk masuk perguruan
tinggi negeri jangan sampai diubah.
Komersialisasi di perguruan tinggi negeri
dengan jalur khususnya bertujuan untuk
mengumpulkan modal untuk membiayai
pendidikan mereka. Akan bisa positif bila
dalam pelaksanaannya, uang tersebut
diputarkan dengan cara penanaman
modal di bursa atau sertifikat Bank
Indonesia, obligasi/swasta yang dapat
memberikan keuntungan hingga dapat
dipergunakan Universitas. Dengan cara
seperti ini modal pokok tidak terpakai (seperti
Jamsostek). Untuk operasionalnya: harus ada
Fund Manager yang duduk di Universitas
yang ahli dalam pemutaran dan mencari
saluran dana yang dapat memberikan
keuntungan untuk membiayai universitas.
Fund manager letaknya di bawah rektor
yang diangkat oleh rektorat, dan ia harus
mempunyai
staf
sendiri
bukan
merupakan pekerjaan sambilan.

Daftar Pustaka
Ardi,

Lidus. File//C.\My doc.\Artikel
Pendidikan. Net Work-Mengkritisi
Pendidikan Mahal. Ht.
Buchori, muchtar. Komersialisasi idealisme
Bukan tabu. Yogyakarta: Kanisius. 2001
Depdiknas. Undang Undang no.20 Tahun
2003 Sistem Pendidikan Nasional
Httpp://www. Kebangitan Neo Liberalisme.
Com/cetak//06603/228/022htm
Kartono, Kartini. Tinjauan Politik Mengenai
Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:
Pradnya Paramita. 1997
Kompas. 3 Mei 2005. Diragukan Komitmen
Penguasa Memajukan Rakyat
Laksono. Menghargai Kerja keras Bisa
Lewat Pendidikan. Harian Kompas 17
september 2004

IRAWATY A. KAHAR
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara