Aspek Sosial Budaya dalam kesehatan

Pengaruh Unsur Teknis & Sosial-Budaya Dalam Produksi Film
April 9, 2011 · by Kusen Dony Hermansyah

· in Produksi Film. · Edit

“ Bikin film itu gampang ! Seru lagi !“. Mungkin kita pernah mendengar atau membaca
sebuah slogan tentang membuat film. Setelah kita bisa mencoba membuat film
dikarenakan slogan itu. Ada beberapa orang yang setuju dengan slogan itu, tapi mungkin
akan lebih banyak yang tidak setuju karena setelah menjalani berbagai rintangan dan
kesulitan mendera.

“ Bikin film itu susah, tau ! Perlu ini, perlu itu belum lagi kalo kurang duit “.

Pernyataan kritis itu benar. Slogan yang menyebutkan bahwa membuat film itu
gampang adalah sangat menyesatkan ! Membuat film bisa saja menjadi arena yang
menyenangkan ataupun menjadi arena rekreasi, tapi kalau sudah bicara kata gampang,
sepertinya perlu ada yang harus dibenahi cara berpikirnya.

Memang harus diakui bahwa untuk membuat film memang bisa langsung mengambil
kamera, lalu shoot. Apakah itu akan jadi film ? Jawabannya : Ya ! Kita bisa membuat film
dengan hanya mengambil gambar dengan handycam yang kita punya. Tapi nanti dulu,

film yang seperti apa ? Dokumentasi pernikahan, dokumentasi ulang tahun, film mainmain atau apa ? Lalu bagaimana kalau ingin membuat film seperti The Dark Night,
Laskar Pelangi ataupun film Ayat-Ayat Cinta, apakah bisa dibuat dengan cara seperti
itu ? Sebagian besar pembuat film akan menjawab : Tidak !

Namun ada beberapa hal yang harus kita perhatikan sebelum lebih jauh membahas
tentang pembuatan film, yaitu adanya dua aspek dasar yang mempengaruhi pembuatan
film : aspek teknis dan aspek sosial-budaya.

ASPEK TEKNIS

Aspek teknis sepertinya akan selalu dikesampingkan tatkala kita sudah merasa bahwa
kamera kita bisa digunakan. Padahal seyogyanya sebelum shooting, kita membaca

terlebih dahulu manual book dari kamera tersebut, sehingga dapat diketahui kelebihan
dan kelemahannya. Selain itu kita juga memeriksa tripod yang akan digunakan apakah
ada yang harus diperbaiki atau tidak.

Apakah cukup sampai disitu ?

Tentu saja tidak sebab harus dipahami bahwa proses sebuah film tidak berhenti di

shooting semata, namun masih ada proses editing, proses mixing suara maupun
eksebisi atau penayangan yang masing-masing proses tersebut memiliki teknologinya
sendiri.

Maksud dari aspek ini contohnya seperti apa sih ?

Saat shooting, ketika kita tidak mengecek lebih dulu peralatan yang kita akan pakai
maka kalau tidak terjadi apa-apa maka kita wajib mensyukurinya. Namun apakah kita
akan selalu seberuntung itu ? Bagaimana kalau kita lupa membawa kaset ? Bagaimana
kalau kameranya kita anggap rusak karena tidak bisa merekam ? Bagaimana kalau salah
satu kaki tripodnya tidak bisa dipanjangkan ? Kita harus memahami bahwa ada
beberapa tipe handycam yang penggunanya diharuskan menunggu sampai suhu di
dalam kameranya stabil. Atau misalnya kita harus memberi pelumas di engsel-engsel
tripodnya dan lain sebagainya.

Saat pasca shooting film. Seharusnya saat mempersiapkan keseluruhannya, kita
seharusnya juga mempersiapkan mesin editing maupun mesin untuk mixing suara
bahkan sampai mempersiapkan alat untuk mepresentasikannya seperti proyektor video
ataupun monitor televisinya. Bila tidak disiapkan dari awal, bagaimana kalau tiba-tiba
kita kekurangan hard drive ? Bagaimana kalau mesin-mesin itu ternyata tidak bisa

digunakan ? Bagaimana kalau kita tidak familiar dengan software-nya ? Oleh karena itu
kita harus dapat menguasai secara mendasar baik hardware maupun software-nya.

ASPEK SOSIAL-BUDAYA

Aspek sosial-budaya harus diwaspadai dan jangkauannya jauh lebih luas.Artinya bahwa
yang harus kita perhatikan adalah dari muali unsur sosiologi, psikologi, antropologi,

politik, ekonomi dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar kita sebagai pembuat
film menyadari bahwa sesempurna apapun persiapan dan produksi yang kita lakukan,
tidak jarang akan sanat dipengaruhi oleh sosial-budaya dimana kita memroduksi film
kita.

Contohnya ?

Dekat rumah kita, tinggalah seseorang yang sangat terpandang dan terkenal. Jalan di
depan rumahnya adalah satu-satunya jalan yang harus kita lewati. Untuk sampai dari
rumah ke jalan raya berjarak 1.5 km. Hingga pada suatu saat sang tokoh tersebut
meninggal dunia dan jalan di depan rumahnya dipasangi tenda. Padahal kita harus
sampai di lokasi shooting ½ jam lagi, maka mau tidak mau kita harus berjalan kaki dari

rumah sampai di jalan raya untuk dapat angkutan.

Contoh lain, kita hendak shooting dokumenter tentang suatu suku di suatu tempat yang
sangat menjaga kebersihan wilayahnya. Karena kebiasaan kita yang sembarangan, kita
memperlakukan wilayah itu seperti di rumah kita sendiri. Alhasil, kita dilarang untuk
mengambil gambar di wilayah itu, syukur kalau kita tidak dihukum dengan hukum adat.

Contoh lain lagi, kita sudah menghitung dengan teliti biaya dan waktu yang dibutuhkan
untuk produksi. Si Pulan sudah dianggap cocok sebagai pemain dan tinggal menjalankan
shooting saja. Hari pertama shooting adalah pengambilan foto Pulan dengan ayamnya,
sebab foto tersebut akandigantung di ruang tamu yang menjadi setting tempat tokoh
kita. Ternyata Si Pulan memiliki phobia dengan ayam, sehingga waktu shooting satu hari
yang seharusnya bisa untuk mengambil beberapa adegan, jadi digunakan hanya untuk
menyiasati agar Pulan bisa berfoto dengan ayam.

Penjabarannya, terkadang kita bisa mengantisipasi banyak hal yang bersifat sosialbudaya. Namun ada kalanya kita pasrah dan mencari solusi lain agar jadwal produksi
kita tidak tersendat atau lebih panjang.