Kajian Eksternal tentang Implementasi Program Rumatan Opioid (PTRO) di Indonesia

Kajian E sternal tentang
Implementasi Program Terapi
Ru matan Opioid (PTRO) di Indonesia

2011
"the good for the many rather than the best for a few"

Laporan akh ir

12

Kojian Eksrernol tenrang Implementasl Program Terapi Rumatan Opioid (PTRO) di Indanesia 2011

Kajian Eksternal tentang
Implementasi Program
Terapi Rumatan Opioida (PTRO)
di Indonesia

LAPORAN AKHIR

Katalog Dalam terbitan . Kementrian Kesehatan RI

616.979 .2
Ind
Indonesia. Kementrian Kesehatan RI. Direktorat
k
Jenderal Bina Upaya Kesehatan
Kajian eksternal tentang implementasi Program
Terapi Rumatan Oploid (PTRO) di Indonesia,-Jakarta : Kementrian Kesehatan RI. 2012
ISBN 978-602-235-114-8
1. Judul
I. HUMAN IMMUNODEFICIENCY
VIRUS - PREVENTION AND CONTROL
II. ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY
SYNDROME - PREVENTION AND CONTROL
III. ANTIRETROVIRAL
IV. OPIOID - RELATED DISORDERS
V. Methadone
VI. PROGRAM EVALUATION

Daftar lsi


Daftar lsi ....................... ...... ..... .. .. ..... .. ... ........ ... .. ..... .. .... ..... .. ... ... ..... .... . iii
Singkatan dan Istilah ..... ... .... ... .. ......................... ....... ... .. .... ................... . v
Ringkasan Eksekutif ... ... .. .. .... ....... ..................... ......... .......................... vii
1.

2.

Pendahuluan .. .. .. .... ......... ..... .. .................... ............ .... .................... 1
A.

Latar Belakang dan Konteks ........ ........ .......... .......................... 1

B.

Kajian .......... ....... ....... ..... ................... ... ...... .. .. .. ..... .. .. ... ....... ... 10

Temuan ........... .... ........... ...... ........... ... .. ...... ...................... .... ..... .. . 13
A.

Kehadiran, Kebutuhan, Perekrutan dan Pemahaman PTRO .. 13


B.

Dampak Positif dari PTRO .................. .. .... ...... ...................... .. 18

C.

Persoalan Jender ........ ........................ ....... .... ............... .. ...... . 19

D.

Kendala dalam Mengikuti Pengobatan .. .... .. .. ........................ 19

E.

Kendala untuk Mempertahankan Pengobatan: Protokol .. .. .. 23

F.

Masalah Pengobatan ...... .. ................ .. ........ .. .... ................ .. .. . 29


G.

Masalah Staf .... ..... ...... ............ ... ........ ... ..................... ... ... ... ... 32

H.

Infrastruktur: Variasi Mutu Fasilitas Program .. .......... .. ........ .. 36

I.

Koordinasi dan Integrasi Layanan .. .... .. .... .. .. .................... .. .. . 36

J.

Pasca Perawatan .... ...................... ... .... ..... ... .... ..................... .. 37

K.

Riset dan Evaluasi .... .. .. .. ................ ........................................ 38


L.

Pemangku Kepentingan : Pendekatan Lintas Sektor
Pemerintah ....... ...... .... ... .... ... .... ..... ... .... ... ... .... ... ..... ... .... .... .... 38

M. Pelatihan Kerja ........ ................. .. .. .. .... .... ... .... .. .. .. ...... ... ... ...... 40

3.

N.

Masalah Peradikan Pidana dan Lingkungan Tertutup ...... ..... 40

O.

Aspek HIV .......... ........ .. ................. .. .......... .. ................... .... .... 41

Rekomendasi .. ..... .. ..... ...................... ... .... .... .. ..... ..................... .... . 43


Referensi .. ...... ... .... .......... ........ .... ............... ........ ........................... ..... . 47
Lampiran 1. Daftar Nama Anggota Tim ...... ................ .......... .. .......... .. 49

Kojian Ekscernal tentang Implemencasi Program Terap' Rumatan Opiaid (PTRO) di IndaneslO 201J

iii

Singkatan dan Istilah

ART

Antiretrovirol therapy atau terapi antiretroviral

HIV

Human immunodeficiency virus

IMS

Infeksi Menular Seksual atau sexually transmitted infections

(STI)

KTS

Konseling dan Tes HIV Sukarela atau Voluntary Counselling
and Testing (VeT)

Lapas

Lembaga Pemasyarakatan

LASS

Layanan alat suntik steril; disebut juga Layanan jarum dan
alat suntik steril (LJASS) atau Needle and syringe programme
(NSP)

LSM

Lembaga Swadaya lV1asyarakat


NGO

Non-Government Organization
atau
Organisasi
pemerintah (termasuk LSM, lembaga profesi)

OST

Opioid Substitution Therapy atau terapi pengganti opioida

non

Oi Indonesia lebih dikenal dengan program terapi rumatan
opioida, disingkat PTRO.
Penasun Pengguna napza suntik atau people who inject drugs (PWIO)
PKM

Puskesmas


PTRO

Program Terapi Rumatan Opioida, terdiri dari PTRM (Program
Terapi Rumatan Metadon) dan PTRB (Program Terapi Rumatan
Buprenorfin)

Rutan

Rumah Tahanan Negara

RS

Rumah Sakit

RSJ

Rumah Sakit Jiwa

STBP


Survei Terpadu Biologis dan Perilaku atau Integrated Biological
and Behavioural Surveillance (IBBS)

TB

Tuberkulosis

THO

Take Home Dose atau Oosis Bawa Pulang

Kojian Ek;rernal rentOng Implementosr Progrom Terapi Rumoton Oprord (PTRO) di IndoneslO 2011

V

Kajian Eksternal tentang Implementasi
Program Terapi Rumatan Opioida (PTRO)
di Indonesia


Ringkasan Eksekutif
Penggunaan napza suntik masih menjadi salah satu pendorong utama
laju epidemi HIV di Indonesia . Menurut Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia dan mitra, pada tahun 2009 terdapat sekitar
105.000 orang penasun di Indonesia, 49,6% dari jumlah itu hidup
dengan HIV. Jumlah penasun mencapai 28% dari jumlah keseluruhan
orang yang hidup dengan HIV-AIDS (ODHA) di Indonesia. Penyuntikan
napza yang tidak aman telah berkontribusi secara signifikan terhadap
epidemi HIV di Indonesia. Menanggapi hal itu, Pemerintah Indonesia
telah mengadopsi dan memperluas cakupan program pengurangan
dampak buruk (harm reduction programme), termasuk melaksanakan
program terapi rumatan opioida (PTRO) dengan meresepkan dan
menyediakan metadon atau buprenorfin. Sampai dengan Maret 2011,
terdapat 68 klinik metadon yang dikelola pemerintah yang melayani
2.540 pasien aktif dan sekitar 3.000 pasien aktif menerima buprenorfin
melalui klinik-klinik swasta.
Kajian eksternal tingkat nasional mengenai PTRO di Indonesia
merupakan langkah penting untuk meningkatkan pemahaman atas
situasi terkini PTRO di Indonesia, memperkuat PTRO dan membantu
Indonesia memperluas jangkauan untuk mencapai sasaran Akses
Universal. Tujuan dari kajian eksternal ini adalah: (i) mengukur kemajuan
dan dampak dari PTRO di Indonesia sejak dicanangkan pada tahun
2003 ; (ii) memberikan rekomendasi untuk peningkatan mutu PTRO
dan; (iii) mempromosikan PTRO di kalangan pembuat kebijakan dan
pemangku kepentingan dalam rangka mendapatkan dukungan untuk
pengembangan program pengurangan dampak buruk, dan khususnya
untuk mencapai PTRO yang bermutu .

Kajian Ekstemo( tentang Implementasi Program Terapi Rumatan Opioid (PTRO) di Indonesia 2011

vi i

Kajian ini dilaksanakan dari 6 hingga 15 Juni 2011 oleh 2 orang konsultan
asing, satu tim yang terdiri dari 19 anggota dari Indonesia, dan 1
relawan asing. Tiga protokol wawancara dikembangkan, yaitu untuk
penyedia layanan PTRO, pasien PTRO, dan kelompok diskusi terarah
(FGD) dengan pemangku kepentingan. Antara tanggal 7 dan 10 Juni, 6
tim yang terdiri dari 22 orang mengunjungi 8 provinsi: Sumatera Utara,
DKI Jakarta, Banten, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Bali dan Sulawesi Selatan . Tim tersebut mengumpulkan data di
42 lokasi yang meliputi rumah sakit (RS), puskesmas, klinik buprenorfin,
lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan negara (Rutan),
pemangku kepentingan, dan pasien PTRO. Setiap tim menuliskan
laporan sebagai hasil dari kunjungan lapangan mereka, yang menjadi
dasar penyusunan laporan ini. Untuk menjamin konsistensi pelaporan
telah disiapkan kerangka laporan .

Temuan

Data yang dikumpulkan oleh tim dari berbagai lokasi menunjukkan
bahwa jumlah pasien aktif yang mengakses layanan PTRO dan
pemanfaatan layanan PTRO masih rendah. Tim juga menemukan
bukti bahwa sangat tidak terpenuhinya permintaan di berbagai pusat
pelayanan. Beberapa program PTRO juga membatasi jangkauannya hal
ini berdampak serius pada perekrutan pasien baru . Ditemukan sangat
sedikit perempuan yang mengikuti PTRO dan tidak ditemukan program
yang spefisik jender. Kurangnya pemahaman tentang PTRO di kalangan
penasun, LSM, dan tokoh masyarakat terlihat di beberapa lokasi kajian
yang kemudian menyebabkan timbulnya informasi yang salah tentang
PTRO.
Dalam kajian ini ditemukan berbagai variasi yang signifikan dalam
pelaksanaan program di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, meskipun
telah ada Pedoman Nasional. Beragamnya penafsiran dan implementasi
mempengaruhi berbagai aspek program PTRO, yang memberikan andil
pada buruknya capaian secara keseluruhan. Kemampuan staf dan
kepemimpinan PTRO sangat beragam namun kajian ini juga mencatat
adanya sejumlah staf dan atasan yang insipiratif. Banyak staf memiliki
pemahaman yangterbatas mengenai pengurangan dampak buruk (harm
reduction) dan kurang memiliki pengetahuan yang mendalam seputar
kom pleksitas ketergantungan napza sebaga i kond isi medis beru la ng ya ng
VIIi

Kajian Eksternal [entang Implemen[asi Program Terapi Rumatan Opioid (PTRO) d, Indanes/G 2011

kronis. Mempertahankan perawatan PTRO jangka panjang (perawatan
12 bulan direkomendasikan seeara internasional untuk hasil eapaian
yang lebih baik, namun beberapa pakar mendukung adanya perawatan
yang lebih lama berdasarkan kebutuhan klinis pasien, termasuk mereka
yang terinfeksi HIV) umumnya tidak dipahami seeara luas. Penilaian
terhadap fasilitas layanan menemukan bahwa kualitas fasilitas layanan
tersebut sangat bervariasi dan terdapat bukti yang berkenaan dengan
kesulitan menempatkan layanan PTRO di fasilitas kesehatan lainnya.
Di beberapa lokasi, penghalang fisik yang memisahkan antara staf dan
pasien terlalu berlebihan, sementara berkumpulnya pasien setelah
perawatan dianggap sebagai masalah di beberapa layanan PTRO.
Kendala lain yang menghalangi perawatan juga diidentifikasi, mulai dari
biaya yang terlalu tinggi untuk pengobatan buprenorfin harian (yang
bervariasi antara Rp 40.000,- - Rp 125.000,- per pasien per hari; harga
lebih rendah umumnya untuk dosis yang tidak memadai) atau harga
yangtinggi untuk program terapi rumatan metadon bagi sebagian pasien
(berkisar antara Rp 3.000,- sampai Rp 15.000,- per pasien per hari).
Beberapa pasien PTRO harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk
berangkat dan pulang dari klinik dengan biaya yang harus ditanggung
sendiri oleh pasien, sementara jam buka pelayanan yang terbatas di
beberapa lokasi berdampak serius pada mereka yang bekerja.
Beberapa temuan positif terkait perawatan di antaranya: puskesmas
dipandang sebagai tempat yang lebih coeok untuk PTRO dan
pemanfaatannya lebih baik; di beberapa lokasi, pasien yang memerlukan
perawatan jangka panjang diakomodasi dan; sejumlah besar pasien, staf
dan pemangku kepentingan bersikap positif terhadap manfaat utama
dan manfaat ganda terhadap perawatan bagi penasun dan keluarganya.
Kendati demikian, ditemukan berbagai tantangan berkaitan dengan
keseluruhan perawatan: dosis metadon dan buprenorfin seeara umum
tidak memadai; harga buprenorfin yang mahal berakibat pada dosis
terapi yang rendah (tidak adekuat); pandangan beberapa staf yang lebih
menyarankan berhenti mengonsumsi obat (abstinensia), termasuk
PTRO, sebagai tujuan utama pelayanan; di beberapa klinik PTRO,
khususnya puskesmas, terjadi kekurangan staf, sementara beberapa
klinik lainnya kelebihan staf; tingginya tingkat pengangguran di kalangan
pasien dapat berkontribusi terhadap kekambuhan; dan tingginya jumlah
pasien putus obat (drop out) di beberapa tempat dengan perpindahan
yang eukup tinggi antara klinik metadon dan buprenorfin; dan juga
antar klinik metadon sendiri.
Kajian Eksternal tentang Implementasi Program Terapi Rumatan Opioid (PTRO) di Indonesia 2011

ix

Protokol dosis PTRO yang dibawa pulang (Take Home Doses, THD)
kadang-kadang ditengarai sebagai terlalu longgar, terlalu ketat, atau
diabaikan. Namun, adapula fleksibilitas kreatif yang mengesankan dan
membesarkan hati. Pengawasan oleh keluarga dan pendamping dapat
menjadi aspek penting dalam THD namun kadang-kadang persyaratan
yang tidak realistis menghambat pelaksanaannya. Beberapa klinik
memiliki panduan yang tidak memadai untuk mengencerkan metadon
THD, sementara beberapa klinik tidak mematuhi pedoman nasional
ketika memasukkan pasien ke PTRO.
Sementara beberapa klinik memberikan peluang yang baik bagi
pelaksanaan perawatan terpadu, ditemukan pula rujukan yang tidak
konsisten atau hubungan yang lemah dengan pelayanan sosial dan
pelayanan kesehatan (termasuk program layanan alat suntik steril,
LASS, dan pelayanan psikiatri). Sebagian besar klinik berkeberatan
untuk menyediakan LASS dan ini mungkin karena tidak dipahaminya
bukti-bukti yang meyakinkan dari upaya ini dalam mencegah HIV.
Ditemukan juga kurangnya akses terhadap vaksinasi hepatitis B bagi
penasun dan pemeriksaan hepatitis Cjarang dijumpai. Pendekatan antar
sektor pemerintah dan kerja sama LSM ditemukan di beberapa daerah
provinsi dengan dibentuknya Kelompok Kerja Pengurangan Dampak
Buruk (Pokja Harm Reduction). Keberadaan pokja tersebut dapat
membantu pelaksanaan dan peningkatan kinerja pelayanan penurunan
dampak buruk. Kendatipun demikian, model berhenti konsumsi obat
tetap menjadi pendekatan yang paling populer untuk menangani
ketergantungan obat dibanding mengakui bahwa berhenti obat, bagi
banyak penasun, dianggap sulit dicapai, namun masih menjadi pilihan
yang diinginkan dalam hirarki pengurangan dampak buruk . Terdapat
kebutuhan akan pelatihan kerja di kalangan pasien PTRO, namun
persoalan semacam ini juga banyak ditemukan di kalangan kaum muda
pada umumnya.
Diakui bahwa lapas di Indonesia telah melebihi kapasitas daya tampung,
kekurangansumberdaya,dan banyakdijumpai praktik berisikotinggi yang
mengarah pada penularan HIV di kalangan warga binaan. Kendatipun
demikian, beberapa lapas benar-benar menawarkan metadon kepada
sebagian warga binaan, walaupun ditemukan hambatan akses yang
serius di beberapa lokasi.

X

KaJlan Eksternal tentang Implementasi Program Tempi Rumatan Oploid (prRO) dllndoneslO 2011

Kajian ini menemukan bahwa banyak penasun yang menerima PTRO
telah terinfeksi HIV. Biaya yang terkait dengan penapisan perawatan
HIV dianggap sangat tinggi oleh sebagian pasien. Kematian yang tinggi
dari HIV dan TB sering dijumpai. Bagi staf yang terlibat perawatan,
dukungan, dan pengobatan HIV, kesadaran mengenai PTRO tampaknya
masih rendah.

Rekomendasi

1.

Tantangan yang berat dan rendahnya cakupan PTRO di Indonesia saat
ini (2,4% pada saat dilaksanakannya kajian) telah diakui dan harus
dijawab. Penanganan hal ini akan menurunkan biaya pengobatan
secara keseluruhan, pemberian terapi antiretroviral (ART), dan
sistem peradilan pidana. Cakupan PTRO hendaknya ditargetkan
mencapai 40% dari jumlah orang dengan ketergantungan opioida
padatahun 2015 (sesuai dengan resolusi Sidang Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa) dengan:
a)

Menjamin dosis terapi optimal (direkomendasikan dosis
metadon yang lebih tinggi, yakni 2: 60 mg setiap hari, dan
untuk pasien yang terinfeksi HIV dilakukan penyesuaian dosis
metadonyanglebihtinggi) menjadi penting; merekomendasikan
dosis buprenorfin yang lebih tinggi 8-16 mg per hari; dan
meningkatkan retensi dengan memberikan dosis terapi
yang terjangkau, pemberantasan yang lebih serius terhadap
penggunaan opioida ilegal dan meminimalkan hambatan
finansial untuk meningkatkan perekrutan lebih banyak pasien
PTRO;

b)

Memasukkan buprenorfin ke dalam farmakope nasional untuk
mengurangi biaya (yang saat ini sangat tinggi), mendorong
produksi nasional dan meningkatkan ketersediaannya;

c)

Meningkatkan jumlah lokasi PTRO dengan lebih memilih
puskesmas yang dapat membuatkan resep dan menyediakan
buprenorfin dan metadon;

d)

Memastikan lokasi klinik PTRO yang tepat dan mudah diakses
oleh pasien yang mencari pengobatan;

e)

Memastikan jam layanan memenuhi kebutuhan pasien,
khususnya bagi pasien pekerja, sehingga membuat PTRO lebih
menarik bagi kehidupan yang produktif;

Kajian Eksternal centang Implementasl Program Terapi Rumatan Opiaid (PTRO) di Indanesia 2011

xi

f)

Menyediakan hot/ine telepon nasional untuk diseminasi
informasi dan rujukan mengenai lokasi LASS dan PTRO yang
dekat dengan rumah pasien;

g)

Penekanan lebih besar pad a penyediaan Jayanan penting
seperti PTRO, LASS, terapi antiretroviral, serta konseling dan tes
HIV sukarela bagi banyak orang, daripada penyediaan layanan
yang sempurna bagi sedikit orang;

h)

Melakukan
upaya-upaya
khusus
untuk
meningkatkan
ketersediaan dan mutu PTRO, di lingkungan lapas; meningkatkan
jejaring dengan klinik PTRO dan prosedur rujukan untuk
membantu warga binaan menerima PTRO setelah be bas;

i)

Memastikan adanya informasi teratur mengenai ketersediaan
PTRO dan dapat diakses oleh seluruh penasun, pendamping,
dan masyarakat untuk mengatasi kesalahpahaman atau
kesalahan persepsi mengenai metadon (seperti dosis, lama
pengobatan, dan kepatuhannya).

2.

Melatih dan memperkuat petugas pendamping dalam program
pencegahan HIV sehingga mereka dapat memberikan penyuluhan
dasar dan rujukan bagi pasien yang mencari pengobatan dan
selanjutnya mengintegrasikan program penanggulangan dan
pencegahan HIV.

3.

Dosis bawa pulang PTRO hendaknya tersedia bagi semua pasien
yang telah stabil, bekerja, tidak memakai obat-obatan terlarang
dan memiliki dukungan keluarga dan dukungan pendamping
sebagaimana dipersyaratkan dalam Pedoman Nasional (2009).
Pemahaman tentang kebijakan THD yang baik disertai dengan
pemantauan dan pemeriksaan pasien secara berkala oleh klinik
PTRO, dapat mendorong dan menjamin kehidupan yang lebih sehat
dan produktif bagi mereka yang menerima PTRO. Ciptakan sistem
akreditasi yang teratur bagi seluruh klinik dan penyedia pelayanan
PTRO .

4.

Tingkatkan pengetahuan dan kapasitas petugas melalui program
pelatihan penyegaran internal (dengan menggunakan pelatihdengan
keahlian tingkat regional dan internasional) yang dikombinasikan
dengan penguatan upaya mentoring untuk mengatasi miskonsepsi
dan kesalahpahaman tentang PTRO (seperti rendahnya dosis,

xii

Kojion Ekoternol ten tong Implementosi Program Terapi Rl.lmoton Opioid (PTRO) di iョ、ッ・セェ@

2011

kurangnya ketrampilan penyuluhan, dosis bawa pulang} yang
membawa dampak pada penyediaan layanan.
5.

Diperlukan suatu sistem untuk menyediakan pelatihan dan
pengembangan kapasitas berkelanjutan bagi semua staf dalam
meresepkan dan mengeluarkan PTRO. Sebagai bagian dari program
pelatihan, pengembangan jaringan nasional guna membantu
sebagian besarstafdalam menggunakan berbagaiteknologi berbasis
internet (seperti konferensi jarak jauh atau, VolP dan e-mail) yang
akan mempromosikan dan menjamin komunikasi yang sering dan
teratur, memutakhirkan dan menjawab berbagai permasalahan
tertentu yang terkait dengan PTRO. Sebagai bagian dari berbagi
informasi dengan staf PTRO, bangun suatu sistem, yang tersedia
di situs web, untuk penyebaran laporan twiwulan oleh penyedia
pelayanan metadon dan buprenorfin mengenai jumlah: pasien
yang dalam layanan, dosis median, dan tingkat retensi.

6.

Bila data online tersedia sistem komputerisasi pelaporan pusat yang
sudah ada dari mereka yang menerima PTRO hendaknya diaktifkan
kembali.lni akan benar-benar meningkatkan kemutakhiran program
dan memantau cakupannya.

7.

Meningkatkan upaya advokasi di berbagai tingkatan (yakni tingkat
pembuat kebijakan, sektor penegakan hukum dan kesehatan,
masyarakat dan pemuka agama) dan membangun suatu kampanye
pemasaran sosial nasional yang mencakup pentingnya PTRO dan
LASS dengan menggunakan berbagai media sosial guna dapat
dilakukan mengubah sikap terhadap epidemi HIV karena ini terkait
dengan penasun dan meningkatkan pemahaman atas pengurangan
dampak buruk. Kampanye tersebut dapat menggunakan teknologi
IT baru dan alat komunikasi media sosial. Meningkatnya visibilitas
kampanye seperti itu bisa memberikan kontribusi terhadap
pengurangan stigma yang terkait dengan ketergantungan obat dan
pengobatan narkoba.

8.

Peningkatan skala PTRO hendaknya disertai dengan peningkatan
bermakna dari program LASS. Target nasional hendaknya tidak
kurang dari 100 jarum suntik dan tabung per klien per tahun (kisaran
antara 100-200 dianggap sebagai cakupan medium). Ketersediaan
jarum dan tabung steril sangat penting bagi upaya pencegahan HIV

Kajian Ekslernal tenlang Implementasi Program Terapi Rumalon Opioid (PTRO) di IndoneslO 2011

xiii

agar memiliki dampak yang maksimal . LASS dapatjuga memberikan
andil pada pencegahan infeksi hepatitis C. Untuk mencapai tujuan
ini, program LASS dan PTRO perlu didorong agar terhubung dan
terpadu .
9.

Layanan buprenorfin di bawah sektor swasta memerlukan regulasi
pemerintah dan pemantauan yang lebih luas untuk meminimalkan
penyimpangan dan penyalagunaan yang ada saat ini.

10. Klinik PTRO perlu terhubung dan terintegrasi erat dengan pelayanan
kesehatan lain untukmengatasi berbagai kondisi kesahatan berganda
serius yang berdampak pada penasun . Skrining HIV dan TB sukarela
pad a saat mereka masuk program layanan dan kemudian rujukan
dan tindak lanjut (setidaknya setahun sekali) hendaknya dijadikan
persyaratan sebagai bagian dari syarat pelaporan bagi seluruh
program PTRO. Penyedia layanan PTRO hendaknya didorong untuk
mengembangkan hubungan dengan pelayanan kesehatan lain
untuk menangani berbagai permasalahan, termasuk pencegahan
dan penanganan IMS. Vaksin Hepatitis B dan informasi serta
penyuluhan mengenai Hepatitis C, serta masalah asupan makanan
dan pengurangan konsumsi alkohol untuk mempromosikan hati
yang sehat, hendaknya ditawarkan untuk menjamin tercapainya
kesehatan yang lebih ba ik bagi para penasun.
11. Rekrut lebih banyak penasun perempuan dalam PTRO. Ini dapat
dicapai melalui: menetapkan sasaran akses; implementasi dari
projek demonstrasi untuk pensun perempuan (termasuk PTRO
dalam lingkungan lapas perempuan); pengembangan lingkungan
yang ramah perempuan dengan merekrut staf perempuan yang
berkualitas (termasuk dokter perempuan) baik di lokasi atau
di layanan rujukan. Penyedia perawatan antenatal hendaknya
dididik mengenai penggunaan obat-obatan dan kehamilan dan
menawarkan rujukan ke PTRO.
12. Kementerian Kesehatan bekerjasamadengan mitra mengembangkan
konsensus epidemiologi dengan perwakilan dari instansi kesehatan
masyarakat utama dan ahl i epidemiologi terkemuka Indonesia
untuk mengembangkan dan memanfaatkan metodologi terstandar
guna memperbaiki perkiraan jumlah penasun saat ini di Indonesia .
Angka perkiraan baru ini akan membantu pembuat kebijakan dalam

xiv

Kajian Eksternal tenrDng Implementasi Program Tempi Rumatan Opiold (PTRO) dl Indoneslo 2011

penanggulangan HIV secara keseluruhan dalam meningkatkan skala
intervensi yang efektif seperti PTRO dan Layanan Alat Suntik Steril
(LASS) dalam rangka pencegahan HIV. Angka perkiraan tersebut
hendaknya direvisi setiap tiga tahun.
13. Memperkuat kapasitas unit-unit teknis di Kementerian Kesehatan
yang bertanggung jawab atas pengelolaan, pelaporan dan
pemantauan PTRO; tingkatkan sumber daya dan personil di unit
dan bentuk dewan penasihat yang akan memantau implementasi
laporan dan rekomendasi ini.
14. Laporan ini hendaknya diterbitkan dalam Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris dan disebarluaskan kepada pemangku kepentingan
terkait setelah diterbitkan menjadi buku laporan.

Kajian Ekscemal tentang Implementasl Program Terapi Rumalan Opioid (PTRO) di Indonesia 2011

XV

1. Pendahuluan
A. Latar Belakang dan Konteks
Terapi Pengganti Opioida (OST atau PTRO) memainkan peranan penting
dalam upaya mengendalikan menyebaran HIV di kalangan pengguna
napza suntik (penasun) . Pengobatan ini didukung oleh berbagi bukti
ilmiah yang sangat mengesankan . Yang penting dalam kajian ini,
terdapat bukti yangjelas bahwa bawa program terapi rumatan metadon
(PTRM) menurunkan jumlah infeksi HIV secara bermakna di kalangan
penyuntik heroin.! PTRM telah diuji dalam lingkungan masyarakat
namun beberapa evaluasi juga telah dilaksanakan di lingkungan lapas
dan telah menunjukkan manfaat yang sama seperti program-program
masyarakat.
Terlepas dari adanya bukti kuat untuk PTRO, implementasi program ini
sering bersifat problematik. Masalah yangjuga muncul di banyak negara
lain . Oi sebagian besar negara -kecuali di beberapa negara- cakupan
PTRO sangat rendah . Pada praktek klinis, dosis yang diberikan sering
tidak optimal dan tidak mencapai dosis terapi untuk meningkatkan
retensi dan menekan pemakaian opioida terlarang. Pembatasan durasi
pengobatan sering diterapkan untuk mendapatkan masa pengobatan
yang terlalu singkat. Banyak negara yang mencoba menggunakan
Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) untuk mengendalikan HIV
dengan memakai model klinis ("terbaik untuk sedikit orang")' dan
bukan model kesehatan masyarakat ("baik untuk banyak orang").
Perlunya memberikan PTRO kepada penasun di lingkungan lapasjrutan
diabaikan di sebagian besar negara .
Banyak dijumpai ketidakjelasan tujuan pengobatan. Biaya tinggi PTRO
dialami pasien berpenghasilan rendah juga banyak dijumpai. Peranan
layanan kesehatan primerdalam penyediaan pelayanan PTROtidakselalu
jelas bagi seluruh pemangku kepentingan. Penasun sering diperlakukan
dengan kurang baik dan upaya mereka untuk menyampaikan keluhan
dapat berakibat mundurnya mereka dari pengobatan secara terpaksa .
Pencapaian berhenti obat (abstinensia) sering dilihat sebagai tujuan
yang sah. Kekuatan ekonomi yang luar biasa dari pasar heroin dan pasar
gelap metadon dan buprenorfin sering diabaikan . Terapi antiretroviral

Kajian Eksternal tentong Implementasi Program Teropi Rumatan Opioid (PTRO) di Indonesia 2011

1

(ART) secara keseluruhan jarang diberikan kepada penasun terinfeksi
HIV yang menerima PTRO. Ada pandangan bahwa penasun tidak patuh
dengan pengobatan ARV namun kajian global menunjukkan temuan
bahwa kepatuhan secara umum sama dengan yang dilaporkan untuk
populasi yang lain dengan riwayat pajanan seksual yang mengunakan
ART.2 Hasil yang lebih baik ditemukan pada penasun yang menerima
PTRO dan dukungan psikososial.

1.

Sejarah Penggunaan Narkoba Suntik di Indonesia

Indonesia memiliki sejarah panjang pembudidayaan dan penggunaan
obat-obatan terlarang, dengan penggunaan obatan-obatan tercatat
sejak tahun 1960-an.3 Kendatipun demikian, dalam 15 tahun terakhir,
jumlah orang yang menyuntikan napza (penasun) di Indonesia telah
tumbuh dengan cepat. Pada tahun 1997 terdapat sekitar 30.000-40.000
pengguna jarum suntik (penasun) di Indonesia. 4 Menurut perkiraan
terkini yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan mitra pada
tahun 2009, terdapat sekitar 105.000 (73 .633 - 201.131) penasun di
Indonesia. 5
Hampir setengah dari penasun di Indonesia tinggal di Pulau Jawa.
Sebagian besar pengguna napza, termasuk penasun, berusia antara
15-24 tahun. 6 Mayoritas terbesar penasun adalah laki-Iaki, namun data
surveilans mengindikasikan juga pengguna perempuan dalam jumlah
yang signifikan . Pada tahun 2006, Kementerian Kesehatan menemukan
bahwa hampir 10% penasun adalah perempuan. 6 Sementara surveilans
perilaku biologis terpadu atau STBP tahun 2007 menemukan bahwa
antara 1-8% populasi penasun adalah perempuan. 7
Indonesia juga dihadapkan pada masalah epidemi HIV di kalangan
penghuni lapas, sebagian besar karena keadaan yang penuh sesak
dan praktek injeksi yang tidak higienis dalam lingkungan tertutup.
Oi Indonesia, ada 378 lapas dan rumah tahanan. Tiga belas lapas
digunakan secara ekslusif bagi narapidana pelaku pelanggaran terkait
napza. Jumlah populasi narapidana dalam lapas yang melebihi kapasitas
secara konstan berubah. Pada tahun 2006, populasi lapas diperkirakan
berjumlah 100.000. Ini dianggap dua kali lipat dari kapasitas lapas
yang seharusnya. 6 Pada tahun 2010, sebuah kajian di kalangan 900
narapidana laki-Iaki dan 402 narapidana perempuan dari 241apas di 13
2

KOJion EkscernoicentClnq ImpiementDSI Proqrom Terapl Rumoton Opiold (PTRO) d, lndone>fo 2011

provinsi, ditemukan bahwa di antara narapidana laki-Iaki, 36% dihukum
karena kasus pelanggaran terkait narkotika (25% di antaranya adalah
pengguna napza), sementara di kalangan narapidana perempuan 59%
dihukum karena pelanggaran terkait napza (37% di antaranya adalah
pengguna napza). Proporsi lebih tinggi terdapat pada perempuan
dibanding laki-Iaki dari mereka yang menggunakan napza suntik dan
ditangkap karena kasus penyalahgunaan napza (92% vs 64%).8 Pada
tahun 2006, dilaporkan bahwa di antara tahanan yang dihukum karena
pelanggaran napza, 20-30% melaporkan menyuntik saat di dalam lapas,
sementara lebih dari setengahnya melaporkan melakukan kegiatan
seksual. 6

2.

Sejarah HIV dan Penasun di Indonesia

Penyuntikan obat-obatan yang tidak aman berkontribusi secara
signifikan terhadap epidemi HIV di Indonesia. Kasus HIV pertama yang
disebabkan oleh penggunaan narkoba suntik di Indonesia diidentifikasi
pada tahun 1991, namun kasus penasun yang terinfeksi HIV dalam
jumlah besar mulai terdeteksi pada tahun 1999. 9 Sebelum tahun 2000,
infeksi HIV yang disebabkan karena penggunaan jarum suntik kurang
dari 1%.10 Pada saat kajian ini dilakukan, menurut laporan kasus HIV dan
AIDS jalur utama yang meningkatkan epidemi HIV adalah pemakaian
bersama jarum suntik yang terkontaminasi di kalangan pengguna
napza suntik (52,6%), diikuti oleh hubungan seks heteroseksual yang
tidak aman (37,2%), hubungan seks sesama jenis (4,5%) dan transmisi
perinatal (1,4%).11.
DataSurveiTerpadu Biologi dan Perilaku (STBP)tahun 2007 menunjukkan
bahwa epidemi HIV di kalangan penasun dan selanjutnya peningkatan
HIV melalui penularan heteroseksual, mungkin terkait erat dengan
besarnya hubungan seksual yang tidak aman. Pemakaian kondom yang
tidak konsisten dengan dengan semua jenis pasangan dilaporkan oleh
sebagian besar penasun di kota yang disurvei pada tahun 2006. Data
tahun 2009 menunjukkan bahwa di kalangan penasun tidak banyak
penggunaan kondom yang konsisten dengan pasangan t etap dan
dilaporkan hanya dilakukan oleh 5-18% respondenY
Antara 38% dan 59% penasun di enam kota tempat pengumpulan
data perilaku seksual (2006) memiliki pasangan seksual tetap dan 20Kajian EXsternal ten lang Impiementosl Program Teropi RumatCJn Opiaid (PTRO) dllndonesia 2011

3

60% memiliki memiliki pasangan tidak tetap . Selain itu, 9% hingga
54% penasun laki-Iaki dilaporkan berhubungan seksual dengan wanita
penjaja seks komersial (WPS) pada tahun sebelumnya. Dari STBP 2007
diperkirakan bahwa penasun melakukan 380.000 hubungan seks tidak
aman dengan wanita pekerja seks pada tahun sebelumnya, sebuah
angka yang hampir sama besarnya dengan jumlah wanita pekerja seks
di Indonesia. 7
Penasun perempuan khususnya rentan terhadap infeksi HIV melalui
penularan seksual: sebuah kajian pada tahun 2009 menemukan bahwa
29% perempuan yang menyuntikkan napza menjual seks. Angka ini
mungkin di bawah perkiraan karena adanya stigma spesifik jender
yang melekat pada pengguna napza perempuan dan adanya stigma
tentang penggunaan napza di kalangan pekerja seks. Survei yang sama
menemukan bahwa 5% dari penasun pria menjajakan seksY
Prevalensi HIV nasional di kalangan penasun di Indonesia adalah
tertinggi di Asia TenggaraY Surveilans pad a tahun 2009 menemukan
bahwa 52,5% penasun positif HIV.1SPrevalensi hepatitis C-yang menjadi
indikasi kuat kerentanan HIV di kalangan penasun- diperkirakan 80%
dari penasun pada tahun 2006. 16 Satu kajian yang dilakukan terhadap
633 pasien HIV dengan riwayat penggunaan narkoba suntik menemukan
bahwa 87,7% terinfeksi hepatitis CY Nampaknya terdapat variasi
regional yang signifikan dalam tingkat infeksi HIV di kalangan penasun.
STBP 2007 menemukan bahwa prevalensi HIV di Surabaya, Medan dan
Jakarta 55-56%, sementara di Bandung, prevalensinya 43%. 7
Data surveilans yang ada mengindikasikan bahwa sekitar 7% dari
penasun dengan HIV positif adalah perempuan -sebuah angka yang
sepadan dengan proporsi perempuan dalam populasi penasun. 18
Kendatipun demikian, data lain menunjukkan bahwa perempuan yang
menyuntikan napza menjadi penyokong porsi yang tidak proporsional
terhadap infeksi HIV di kalangan populasi penasun: 57% penasun
perempuan positif HIV, lebih besar di banding pada penasun laki-Iaki
yang angkanya 52%Y
Sebuah studi yang dilaksanakan pada tahun 2010 untuk menentukan
prevalensi HIV dan sifilis di kalangan narapidana perempuan dan lakilaki menemukan bahwa tingkat infeksi HIV di kalangan narapidana yang
memakai napza menjadi hal yang patut menjadi perhatian. Prevalensi

4

Kajlan £k5ternal rentang Implementasi Program Teropi Rumatan Opiaid (PTROI dllndonesia 2011

HIV adalah 12% pada penasun perempuan dan 8% pada penasun lakilaki. 8

3.

Penanganan HIV dan Penasun di Indonesia

UU dan Kebijakan
Indonesia seeara  resmi telah mengadopsi kesembilan intervensi utama 
bagi  penasun  sebagaimana  ditetapkan  dalam  WHO/UNODC/UNAIDS 

Technical Guide for countries to set targets for universal access to HIV
prevention, treatment and care for injecting drug users tahun 2009. 19
Dokumen utama yang memperihatkan respons Indonesia terhadap HIV 
di kalangan  penasun  adalah: 
a)   Strategi  Nasional  Penanggulangan  HIV/AIDS  (2003­2007),  yang 
dikembangkan  oleh  Komisi  Penanggulangan  AIDS  Nasional, 
menyebutkan  penasun  sebagai  kelompok  rentan  yang  dijadikan 
sasaran  intervensi. 
b)   Strategi  Nasional  Penanggulangan  HIV/AIDS  dan  Penyalahgunaan 
Napza  di  Lapas/Rutan  di  Indonesia  2005­2009  memasukkan 
pengertian  dan  gagasan  pengurangan  dampak  buruk  dalam 
lingkungan  tertutup.  Kebijakan  mengusulkan  suatu  paket 
komprehensif peneegahan dan perawatan HIVtermasuk komunikasi 
perubahan perilaku melalui pendidikan sebaya, penyediaan kondom, 
penyediaan pemutih, pengobatan adiksi termasuk PTRO,  konseling 
dan  testing  sukarela  (KTS),  serta  perawatan  dan  pengobatan  bagi 
narapidana yang hidup dengan  HIV. 
e)   Reneana  Aksi  Nasional  Penanggulangan  HIV  dan  AIDS  2007­2010, 
yang  difokuskan  pada  peneegahan  penularan  seksual  melalui 
pertukaran jarum suntik dan peneegahan penularan seksual melalui 
hubungan seks tidak aman. 
d)   Kebijakan  Nasional  Penanggulangan  HIV  dan  AIDS  melalui 
Pengurangan  Dampak  Buruk  Penggunaan  Narkotika,  Psikotropika 
dan  Zat  Adiktif,  Keputusan  Menteri  Koordinator  Kesejahteraan 
Rakyat  I\lomor  02  tahun  2007,  dikeluarkan  Januari  2007,  oleh 
Menteri  Koordinator  Kesejahteraan  Rakyat  sebagai  Ketua  Komisi 
Penanggulangan  AIDS  Nasional  (KPAN).  Dokumen  ini  seeara  resmi 
menerima pengurangan  dampak buruk. 

Kajian Eksternal tentang Implementasi Program Terapi Rumatan OpiDid (PTRO) di Indonesia 2011

5

e)

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 494/
Menkes/SK/VII/2006 tentang Penetapan Rumah Sakit dan Satelit
Uji Coba Pelayanan Terapi Rumatan Metadon serta Pedoman
Program Terapi Rumatan Metadon.

f)

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 350/
Menkes/SK/IlI/2008 tentang Penetapan Rumah Sakit Pengampu
dan Satelit Program Terapi Rumatan Metadon serta Pedoman
Program Terapi Rumatan Metadon.

g)

Di bawah UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, seluruh
pengguna narkoba diwajibkan melapor ke fasilitas kesehatan. Bila
mereka selanjutnya ditangkap karena penggunaan dan pemilikan
narkoba, mereka memiliki dua kesempatan untuk menjalani
pengobatan sebelum dirujuk ke sistem peradilan pidana.

h)

Peraturan Pemerintah (PP Nomor 25 tahun 2011) tentang Wajib
Lapor Pecandu Narkotika ke Fasilitas Kesehatan. Manfaat potensial
dari peraturan ini adalah " men dorong" pengguna aktif untuk
mengakses perawatan secepatnya.

Pelayanan Rumatan Metadon
Indonesia mulai menawarkan program terapi rumatan metadon (PTRM)
melalui pelayanan kesehatan pemerintah pada tahun 2003. Antara
tahun 2003 dan 2005, Kementerian Kesehatan melaksanakan dua
proyek pilot, satu di Jakarta dan lainnya di Bali dengan bantuan teknis
dan finansial dari WHO. Pada tahun 2004, klinik di Bali memperluas
pelayanannya bagi narapidana di Lapas Kerobokan. Dua proyek pilot
ini melayani sekitar 300 orang populasi pengguna napza. Evaluasi
program yang dilakukan menemukan berkurangnya penggunaan napza
terlarang dan perilaku menyuntik, menurunnya depresi, meningkatnya
produktivitas, dan kualitas hidup. Perluasan metadon dimulai tahun
2006. 20
Sampai dengan Maret 2011, terdapat 68 klinik PTRM yang melayani
2.540 pasien aktif, yang melibatkan sejumlah besar provinsi, rumah
sakit dan pusat layanan kesehatan primer. Saat ini Indonesia memiliki 9
klinik PTRM di lapas dan 5 klinik PTRM di rutan. Kendatipun demikian,
sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1, jumlah pasien per klinik
telah menurun secara tetap dari 55 pada tahun 2006 menjadi 38 pada
6

Kajlan £ksternal tentang ImplementQ" Program Terapl Rumatan Oplold (PTRO) di Indonesia 2011

tahun 2011. Skala ekonomi yang lebih besar diperlukan jika PTRO ingin
menjadi lestari di Indonesia.

Methadone Maintenance Program
- Patients

_ Average/clinic
2545

2549

2086

1910
1268
607
55
11 Clinics
(2006)

58
22 Clinics
(2007)

64
30 Clinics
(2008)

44
48 Clinics
(2009)

42
61 Clinics
(2010)

38
68 Clinics

(by June 2011)

Gambar 1. Jumlah pasien PTRM aktif vs jumlah klinik (2006-2011)

Menurut STBP 2007, PTRM mencakup penasun dalam jumlah yang
signifikan di berbagai kota di Indonesia -mulai dari 17% di Jakarta sampai
88% di Malang- namun Laporan Akses Universal 2010 menunjukan
bahwa jumlah layanan PTRO per 1.000 penasun hanya 0,2. STBP 2007
juga mencatat bahwa sebagian besar dari mereka yang menerima
PTRM pada tahun lalu masih menyuntik pada minggu terakhir dan
berspekulasi bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh pasokan metadon
yang tidak teratur di lokasi distribusi, dosis yang tidak memadai, atau
keduanya. 7 Perhatian terhadap perilaku menyuntik setelah dimulainya
PTRO hendaknya bergerak lebih jauh dari hanya meragukan apakah hal
ini masih terjadi. Pada sebagian besar pasien, frekuensi injeksi turun
dengan cepat setelah masuk program PTRM dan terus menurun seiring
dengan semakin lamanya pasien dalam terapi. 21
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian metadon dosis tinggi (80100 mg/hari) dibanding dengan pemberian dosis sedang (40-50 mg/
hari), hasilnya adalah bahwa dosis tinggi berhubungan bermakna
dengan sampel urin pasien yang positif mengandung opioida. 22 Dosis
dan lamanya perawatan memiliki dampak yang berarti pada frekuensi
penyuntikan.

KOJlon Eksternol tentDng Implementosi Pragram Tempi Rumotan Opiaid (PTRO ) di indonesia 2011

7

Tabel 1. Akses ke PTRM, akses ke Program LASS dan pengetahuan
perilaku berisiko berdasarkan presentase, 2007

Persentase (%)

Medan

Jakarta

Bandung

Semarang

Malang

Surabaya

57

17

47

50

88

60

100

97

91

92

99

95

4

30

1

2

3

3

96

73

66

98

96

33

Menerima
PTRM tahun
lalu
Menyuntik
napza minggu
lalu
Mengetahui
HIV dapat
ditularkan
melalui
berbagi jarum
Menerima
jarum dari
LASS dalam
minggu lalu
Sumber: STBp, 2007

Penyediaan Buprenorjin

Penyediaan terapi substitusi buprenorfin di Indonesia dimulai tahun
2002. Program ini secara ekslusif ditawarkan di tempat praktek swasta.
Terdapat sekitar 3.000 pasien buprenorfin dalam program ini. Pada
tahun 2011, WHO melaporkan bahwa ada lebih dari 50 praktisi terlatih
yang menawarkan buprenorfin, walaupun kajian pada tahun 2007
melaporkan bahwa ada sekitar 300 dokter di seluruh wilayah Indonesia
yang memiliki izin untuk meresepkan bupernorfin dengan sertifikasi
yang didapatkan dengan mengikuti sesi pelatihan singkat. 20 Buprenorfin
dikelola oleh asosiasi profesi dan Badan POM. Sebelumnya, buprenorfin
masuk dalam UU Psikotropika, namun pada tahun 2009, obat tersebut
dimasukkan pada kategori 3 dalam UU Narkotika, yang memberikan
8

KojlOn Eksterno l tentonq Implemen to,i Program Terop i Rumo taT1 Opioid (PTRO) dl lndoneslo 2011

kewenangan bagi Kementerian Kesehatan untuk mengoordinasikan
program buprenorfin.

Program Layanan Alat Suntik Steril (LASS)

Program LASS di Indonesia dimulai pada tahun 1998 dan hingga kini
cakupannya tetap rendah. Antara tahun 2007 dan 2009, jumlah lokasi
LASS per 1.000 penasun adalah 1,2, dan jumlah jarum dan alat suntik
yang didistribusikan oleh Program LASS per pengguna jarum suntik
per tahun adalah 8,3Y STBP 2007 menunjukkan bahwa proporsi
penasun yang menerima jarum bersih/steril melalui program LASS
pada minggu terakhir bervariasi antara 98% di Medan sampai 33% di
Surabaya. 7 Secara keseluruhan, data tersebut menunjukkan bahwa
program tersebut lebih berhasil di wilayah negara yang menjangkau
penasun dalam proporsi yang bersar, namun sedikit penasun individual
tersebut akan menerima peralatan jarum suntik steril yang memadai
untuk mendapatkan dampak yang besar terhadap penularan HIV. Jelas,
pendistribusian peralatan jarum suntik steril perlu ditingkatkan secara
substansial dan dengan cepat bila Indonesia mengharapkan penurunan
penyebaran HIV dari dan di kalangan penasun.

Terapi Anti Retroviral (ART)

Menurut laporan, jumlah orang yang menerima terapi antiretroviral
adalah 15.442 (2009) dan jumlah orang yang membutuhkan ART
menurut Panduan WHO 2010 adalah 70.000 orang; cakupan program
ART, dengan demikian, hanya 21%.24 Pada tahun 2006, penasun masih
mengambil porsi tiga persen saja dari jumlah keseluruhan penerima
ARV nasional walaupun mereka merepresentasikan 46 persen dari
seluruh infeksi HIV di Indonesia pada saat itU. 25 Ada beberapa pusat
PTRO yang menawarkan ART dan hubungan antara PTRO dan pusat
kesehatan yang menawarkan ART kurang baik. Ada beberapa bukti
bahwa ART dapat berkontribusi pada penurunan insidensi penyebaran
HIV di kalangan penasun .26 Manfaat dari ART menghilang pada pasien
positif HIV yang pada saat bersamaan juga terinfeksi hepatitis B dan/
atau hepatitis C karena dalam derajat tertentu penurunan kematian
terkait HIV digantikan oleh peningkatan dalam jumlah kematian akibat
penyakit hatiY
Kajian Eksternal tentang Implementosl Program Terapi Rumatan Opiaid (PTRO) di Indonesia 201l

9

B. Kajian
1.

Tujuan Umum Kajian

Berdasarkan kesepakatan dan konsensus antara Kementerian Kesehatan
dan mitra yang terlibat dalam PTRO, kajian teknis eksernal program
terapi substitusi opioida -khususnya PTRM tetapi termasuk juga
buprenorfin-akan berguna dalam rangka terus memperkuat PTRO di
Indonesia dan mendukung perluasannya untuk mencapai target Akses
Universal.

2.

Tujuan Khusus

a)

Menilai kemajuan dan dampak yang ditimbulkan oleh program
PTRO di Indonesia sejak tahun 2003.

b)

Mengusulkan
berkua Iitas.

c)

Mengangkat profil PTRO di kalangan pembuat kebijakan dan
pemangku kepentingan dalam rangka mendapatkan dukungan
mereka untuk perluasan program pengurangan dampak buruk
napza, khususnya menuju PTRO yang bermutu.

rekomendasi

bagi

perluasan

PTRO

yang

3. Metodologi

Dari tanggal 6-15 Juni 2011, dua konsultan dan seorang relawan asing
bersama sebuah tim beranggotakan 19 orang di Indonesia melakukan
kajian ekstenal PTRO.
Kajian terhadap dokumen yang relevan
dilakukan. Tiga Protokol Wawancara (Instrumen Pengumpulan Data)
dikembangkan: satu instrumen untuk penyedia layanan PTRO; satu
instrumen untuk warancara dengan pasien PTRO dan satu instrumen
untuk diskusi kelompok terarah dengan para pemangku kepentingan
utama. Draft Protokol Wawancara dikembangkan sebelum 6 Juni,
dan tim kemudian bertemu untuk mendiskusikan, mempertajam,
dan memfinalisasikan instrumen tersebut. Antara tanggal 7 Juni
dan 10 Juni, enam tim yang terdiri dari 22 anggota, mengunjungi 8
provinsi yaitu: Sumatera Utara, DKI Jakarta, Banten, Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Selatan.
Secara keseluruhan, tim mengumpulkan data di 42 lokasi yang
10

/(o]lon Eksternal tentang Impiementosi Program Tempi Rumatan Oploid {PTRO} di IndoneslQ 701!

meliputi rumah sakit, Puskesmas, pembuat resep buprenorfin, lapasj
rutan, pemangku kepentingan dan pasien PTRO. Setelah kunjungan
lapangan, masing-masing tim menuliskan laporan hasil kunjungan . Tim
kemudian bertemu untuk mendiskusikan temuan dan bersama-sama
mengembangkan kerangka laporan, yang selanjutnya menjadi dasar
bagi laporan ini. Tim juga mengembangkan presentasi mengenai hasil
temuan dan rekomendasi dan ini dipresentasikan di kepada Menteri
Kesehatan pada 14 Juni 2011.

Kajian Ekstemal ten tang ImpJementasl Program Terapi Rumatan Opioid (PTRO) dllndonesia 2011

11

,

12

i60mg
metadon) atau
(S-16mg
buprenorfin)

Rata-rata
durasi
pengobatan
PTRO

% pas len
PTRO yang
tela h
menerlma
terapl selama
min. 6 bulan
terus
menerus

Kllnlk PTRM masyarakat
RS Soetomo,
Su rabaya

46

30

11

4 bulan

10.5

PKM Jagir, Surabaya

28

50

40

5 bulan

68

RSJ Menur, Surabaya

21

10-30

14

6 bulan

68

Puskesmas Ubud,
Bal i

16

61-62

50

18 bulan

80

RS Sanglah, Bali

65

60-80

80

2 tahun

100

RSKO, Jakarta

70

80

Puskesmas Kramat
Jati, Jakarta

104

>100

Puskesmas
Cibodasari, Banten

28

>100

RS Adam Malik,
Medan

122

PKM Tanjung
Morawa, Medan

29

40

PKM Kassi Kassi,
Makassar

56

57

35

RS Wahidin,
Makassar

6

55

16.6

PKM Jumpandang
Baru, Ma kassa r

39

37

RS Sarjito,
Yogyakarta

4

63

50

RS Ghrasia,
Yogyakarta

1

80

100

PKM Gedongtengen,
Yogyakarta

14

77

64.2

PKM Manahan, Solo

40

36

10.5

RS Murwardi, Solo

10

65

50

14

Kajian Eksternal tentang Implementasi Program Terapl Rumatan Opiald (PTRO) di IndoneSia 2011

Jumlah
paslen
aktif

Rata-rata
dosls

maintenance
dalam 3
bulan
terakhlr (mgl

" paslen yang
menerlma dosls
maintenance
sesual
rekomendasl
(>60 mg
meta donI atau
(8-16mg
buprenorfinl

Rata-rata
durasl
pengobatan
PTRO

" paslen
PTROyang
telah
menerlma
terapi selama
min. 6 bulan
terus
menerus

35

N/A

100

0

minimum 6
bulan

100

PTRM dl Lapas
Lapas Kerobokan,
Bali

34

51

Lapas Narkotika
Cipinang, Jakarta

31

80

Lapas Pemuda
Tangerang, Banten

32

100

30

2

Ghrasia Lapas
Narkotika,
Yogyakarta
Rutan Tanjung
Gusta, Medan

Kllnlk Buprenorftn
Denpasar
Medan

100-150

0

Makassar

50-60

Surabaya

30-35

2

0

Klinik BMT Dr.
Sugianto, Jakarta

40

2

0

BMT RSKO , Jakarta

150

6

0

3.

0

Terbatas atau tidak adanya
perekrutan pasien

pendampingan

dan

buruknya

Banyak dari klinik yang dikunjungi melaporkan terbatasnya kapasitas
pendampingan dan merasa bahwa ini menurunkan kemauan pasien
untuk mendatang klinik. Di Jakarta, tim pengkaji menemukan bahwa
pengembangan jejaring sangat penting bagi semua klinik, khususnya
peranan pekerja pendamping dalam menjangkau pasien potensial
PTRM. Di Makassar, pemangku kepentingan mencatat kurang adanya
koordinasi dengan LSM yang bergerak di bidang pengurangan dampak
buruk dalam merujuk pasien. LSM yang didukung oleh Global Fund
to fight AIDS, Tuberculosis and Malaria (GFATM) dianggap lemah
khususnya dalam merekrut pasien untuk layanan PTRM sementara
Kajion Ehtemo/ tentong/mp/ementasf Program Tempi Rumaton Op;oid (PTRO) di Indonesia 2011

15

beberapa program LSM yang didukung oleh Badan Narkotika Nasional
(BNN) ditemukan memiliki kesalahpahaman konsep yang serius
mengenai PTRO dan pengobatan HIV. Oi Makassar, klinik PTRM Rumah
Sakit Wahidin melaporkan bahwa tidak memiliki hubungan dengan
program LASS (NSP) atau program penjangkauan LSM. Oi Yogyakarta/
Solo, tim menemukan bahwa bahwa klinik itu sendiri tidak efektif dalam
merekrut pasien dan melaporkan bahwa mereka tidak tahu bagaimana
cara mempromosikan pelayanan mereka dan cara menarik pasien .
Oi Surabaya, RSJ Menur melaporkan bahwa mereka mengiklankan
program metadon mereka melalui presentasi di seminar ilmiah, namun
mereka tidak memiliki hubungan dengan LSM yang bergerak di bidang
pengurangan dampak buruk.

4.

Terbatasnya pemahaman terhadap PTRO

Tim pengkaji sering menemukan bukti kurangnya pemahaman di
kalangan staf PTRO, penasun, LSM, dan pemuka masyarakat tentang
PTRO. Secara khusus, terdapat kesalahpahaman konsep mengenai
lamanya pengobatan yang cukup dan variasi yang sangat beragam
terkait dengan kepercayaan terhadap manfaat metadon dosis tinggi
jangka panjang. Tim pengkaji mengidentifikasi permasalahan ini di
hampir semua kelompok responden yang diwawancarai dari staf,
pasien, sampai LSM

Dokumen yang terkait

KAJIAN TENTANG PELUANG DAN TANTANGAN PROGRAM SERTIFIKASI PUSTAKAWAN DI INDONESIA

2 42 83

KAJIAN TENTANG PELUANG DAN TANTANGAN PROGRAM SERTIFIKASI PUSTAKAWAN DI INDONESIA

0 7 15

PENGARUH KONSELING TERHADAP PENURUNAN KECEMASAN PADA PASIEN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI Pengaruh Konseling Terhadap Penurunan Kecemasan Pada Pasien Program Terapi Rumatan Metadon Di Puskesmas Manahan Solo.

0 0 15

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KETERATURAN TERAPI RUMATAN METADON DI KLINIK PROGRAM TERAPI Hubungan Antara Tingkat Depresi dengan Keteraturan Terapi Rumatan Metadon di Klinik Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) Puskesmas Manahan Surakarta.

0 2 14

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KETERATURAN TERAPI RUMATAN METADON DI KLINIK PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON Hubungan Antara Tingkat Depresi dengan Keteraturan Terapi Rumatan Metadon di Klinik Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) Puskesmas Manahan

0 0 19

HUBUNGAN KADAR KORTISOL DENGAN FUNGSI KOGNITIF PADA PENGGUNA OPIOID RUMATAN METADON DI RSUD DR.MOEWARDI SURAKARTA.

0 0 7

KAJIAN TENTANG PELUANG DAN TANTANGAN PROGRAM SERTIFIKASI PUSTAKAWAN DI INDONESIA

0 1 13

Hubungan Kadar Kortisol Dengan Fungsi Kognitif Pada Pengguna Opioid Rumatan Metadon di Rsud Dr Moewardi Surakarta BAB 0

0 0 15

Hubungan kadar kortisol dengan fungsi kognitif pada pengguna opioid rumatan metadon di RSUD Dr.Moewardi Surakarta.

0 1 14

KEIKUTSERTAAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI KOTA SEMARANG BERDASARKAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO 57 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON - Unika Repository

0 0 14