PROSES DAN FUNGSI RITUAL TIRAKATAN DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA MENANG KOTA KEDIRI PROPINSI JAWA TIMUR SEBUAH KAJIAN FOLKLOR SKRIPSI

  

PROSES DAN FUNGSI RITUAL TIRAKATAN

DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA

DESA MENANG KOTA KEDIRI PROPINSI JAWA TIMUR

SEBUAH KAJIAN FOLKLOR

SKRIPSI

  Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia

  Oleh Joko Nugroho

  NIM : 004114036

  

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007

  

PROSES DAN FUNGSI RITUAL TIRAKATAN

DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA

DESA MENANG KOTA KEDIRI PROPINSI JAWA TIMUR

SEBUAH KAJIAN FOLKLOR

SKRIPSI

  Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia

  Oleh Joko Nugroho

  NIM : 004114036

  

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007

  Motto

Tumandang marang Rogo

Kasunyatan ing Jiwo

  (Penulis)

  Halaman Persembahan Kupersembahkan untuk Dia

  

ABSTRAK

Nugroho, Joko. 2006. Proses dan Fungsi Ritual Tirakatan di Petilasan Sri Aji

Jayabaya Desa Menang Kota Kediri Propinsi Jawa Timur: Sebuah Kajian

Folklor. Skripsi Strata I (S-I). Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan

Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

  Penelitian ini membahas tentang Proses dan Fungsi Ritual Tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa Timur: Sebuah Kajian Folklor. Judul ini dipilih karena ketertarikan penulis terhadap peziarah yang datang untuk meminta berkah di Petilasan Sri Aji Jayabaya, bahkan ada yang tinggal hingga bertahun-tahun tanpa mendirikan rumah.

  Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan konteks sejarah dan budaya Kota Kediri, (2) mendeskripsikan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, (3) mendeskripsikan proses ritual tirakatan malam 1 Suro atau Muhharam di Petilasan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, serta (4) melacak dan menjelaskan fungsi proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri.

  Penelitian ini menggunakan pendekatan folklor sebagai pendekatan utama, sedangkan pendekatan analisis sastra, deskriptif historis, dan, etnografi sebagai pendekatan tambahan. Kerangka teori yang digunakan sebagai bahan referensi adalah teori proses ritual dan upacara keagamaan, serta fungsi-fungsi proses ritual. Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu: teknik studi pustaka, teknik observasi, teknik wawancara, serta teknik perekaman dan pengarsipan. Nara sumber dalam penelitian ini adalah juru kunci dan peziarah. Tempat penelitian adalah Petilasan Sri Aji Jayabaya.

  Hasil penelitian mengenai proses dan fungsi ritual ini menunjukkan bahwa (1) keberadaan Petilasan Sri Aji Jayabaya ini didukung sejarah raja Jayabaya yang memerintah kerajaan Kadiri (Kediri) antara tahun 1135 M. hingga tahun 1157 M..

  (2) proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya memang sudah mengalami beberapa pergeseran, namun tidak mengurangi tingkat kesakralannya, (3) proses ritual peringatan tanggal 1 Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya yang diprakarsai oleh Yayasan Hondodento pada akhirnya diyakini sebagai tradisi ritual masyarakat setempat, dan (4) Petilasan Sri Aji Jayabaya memiliki empat fungsi, yaitu: (i) fungsi spiritual dalam membina hubungan baik antara peziarah dengan Tuhan melalui perantara Sri Aji Jayabaya, (ii) fungsi sosial sebagai proses interaksi sosial di antara peziarah dan kontrol sosial bagi masyarakat Desa Menang, (iii) fungsi ekonomis, dengan dibukanya Petilasan Sri Aji Jayabaya sebagai tempat wisata ziarah ternyata berakibat pada penambahan pendapatan masyarakat Desa Menang, dan pedagang lain yang berjualan di sana, (iv) fungsi politik untuk mendapatkan simpati masyarakat luas (v) fungsi kultural selalu melekat pada kategori-kategori fungsi yang lain, yaitu: fungsi spiritual, sosiologis, ekonomis, dan politis.

  

ABSTRACT

Nugroho, Joko. 2006. Ritual Process and Function of Tirakatan in Petilasan

Sri Aji Jayabaya in Menang Village, Kediri City, East java: A Folklor Study.

  

Skripsi Strata I (S-I). Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra

Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

  This study discuses about the ritual process and function of Tirakatan of Petilasan Sri Aji Jayabaya, Menang Village, Kediri City, East Java: A Folklore Study. This topic is chosen because (1) the special study about this ritual has never been done before. (2) Folklore studies in Indonesia in recent days are still limited.

  The aims of this study are (1) to describe historical and cultural context of Kediri region, (2) to describe ritual processes of Tirakatan Jumat Legi and Selasa

  

Kliwon at Petilasan Sri Aji Jayabaya, Menang, Kediri, East Java, (3) to describe

  ritual process of Tirakatan malam 1 Suro at that place, and (4) teaching and explaining the ritual process function of Tirakatan at that place.

  This Study use folklore approach as the main approach besides literature analysis, describtive historical approach, and ethnography. The theoretical frameworks for this study are theories of ritual process, religious ritual, and functions of ritual process. This study uses the method of library research, observation, interview, and data recording. The informants are the key-keeper and the pilgrims. This study took place at the Petilasan Sri Aji Jayabaya.

  This study arrived at some conclutions as follows (1) the Petilasan Sri Aji

  

Jayabaya existence supported by the history of King Jayabaya that ruled Kadiri

  (Kediri) Kingdom between 1135 -1157 AD. (2) the ritual process have been modified, but it does not decrease the sacral value of the ceremony. (3) the ritual process of 1 Suro at the Petilasan Sri Aji Jayabaya that pioneered by Yayasan

  

Hondodento is recently believed as ritual tradition of the people of the

  community. (4) Petilasan Sri Aji Jayabaya has four main functions. (i) spirirtual function as the relation between the pilgrims and God, (ii) social function as social interaction process between the pilgrims and social control for the people of Menang Village (iii) Petilasan Sri Aji Jayabaya, as tourism object, is actually increasing gave economical benefit for the people of Menang Village and the traders, (iv) political function to get sympathy from major people, (v) the cultural function has always been attached to other categories of function, such as: spiritual function, social function, economic function, and political function.

KATA PENGANTAR

  Pujian penuh syukur pada Tuhan Yang Maha Esa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul fungsi dan proses ritual di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kota Kediri Propinsi Jawa Timur melaui tinjauan : teori foklor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sangat dalam kepada:

  • Dekan Fakultas Sastra Dr. Fr.B.Alip. M.Pd.,MA dan Ketua Jurusan Sastra Indonesia Drs. B.Rahmanto, M.Hum yang telah berkenan memberikan surat ijin penelitian.
  • Dosen pembimbing I Drs. Yoseph Yapi.Taum, M.Hum dan S.E. Peni Adji,

  S.S., M.Hum selaku dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan, koreksi bahasa, dan keleluasaan berproses bagi penulis dalam menyusun skripsi.

  • Dosen pembimbing akademis, Dra. Fr. Tjandra, M.Hum atas kemudahan dalam bimbingan KRS selama penulis kuliah.
  • Seluruh Dosen Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah mendidik penulis selama belajar di jurusan Sastra Indonesia dengan tekunnya.
  • Mbak Nik berdua, mbak Ros, dan seluruh Staf Pengajaran dan

  Administrasi Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta atas kesabarannya menghadapi kebandelan penulis.

  • Seluruh Staf Perpustakaan atas bantuan, pelayanan, dan kesabarannya melayani pengembalian buku yang sering tidak tepat waktu.
  • Bapak Heri Santoso yang telah memperkaya pengetahuan penulis tentang sejarah Indonesia dan atas revisi penerjemahan Bahasa Jawa Kromo ke Bahasa Indonesia yang memusingkan padahal bahasa Ibu penulis sendiri.
  • Para nara sumber penelitian baik juru kunci, tetua desa Menang, dan semua peziarah di Petilasan Sri Aji Jayabaya atas waktu dan kesabaran menanggapi pertanyaan penulis yang bertubi-tubi.
  • Bapak Bardi yang berkenan meminjamkan salinan manuskrip Babad

  Kediri yang telah lama penulis cari selama ini. Selamat atas diterbitkannya buku Babad Kediri.

  • Bapak Loo Jit Long dan Ibu Saminah yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang. Terima kasih juga untuk Mas Gun sekeluarga atas perhatian saat penulis kuliah. Kalian adalah keluarga terhebat yang pernah penulis miliki.
  • Valentina Yasis Poerwandri Anindita yang mengingatkan penulis untuk segera lulus karena umur yang sudah mulai merenta di Sastra Indonesia.
  • Dita yang selalu memberi dorongan dan Ernes yang selalu terganggu tidur malamnya karena penulis harus begadang tiap hari.
  • Mimi atas pinjaman printernya, lewat Anez.
  • Kawan-kawan begadang, Anez, Hepi, Brindel, Hendi, Ernes, Toni, Ginting, dan Muji atas transfer ilmunya selama ini.
  • Teman-teman Gassika yang semburat ke seleruh pelosok tanah air, kalian selalu ada di otakku, “One for all – All for One”.
  • Teman-teman di Sindo dan Bengkel Sastra yang telah memperkaya wawasan penulis dalam bidang jurnalistik dan teater.
  • Kelik, Ami, Hendro, Santi, Fifa, Ani, Sigit, Retno, Yeni, Eko, dan semua teman Sastra Indonesia angkatan 2000 lainnya yang telah atau belum lulus.
  • Bapak Wanto sekeluarga yang berkenan memberi tempat berteduh selama penulis menuntut ilmu di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
  • Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, atas curahan ide, wacana, dan, dukungan baik secara langsung ataupun tidak kepada penulis, terima kasih banyak dan mohon maaf jika ada kesalahan dalam mencantumkan nama. Semoga karangan yang sederhana ini akan ada gunanya, terlebih dapat bermanfaat untuk menambah gairah tulisan-tulisan tentang kekayaan folklor di Indonesia. Jika terdapat berbagai kelemahan dalam tulisan ini merupakan tanggungjawab penulis.

  

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL..…………………………………………………......... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.………………………......... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI.………………………................... iii HALAMAN MOTTO.………………………................................................. iv HALAMAN PERSEMBAHAN.………………………................................. v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .………………………………..….. vi ABSTRAK.…………………………………………………………..……… vii

  

ABSTRACT.…….………………………………………................................. viii

  KATA PENGANTAR..……………………………………..………………. ix DAFTAR ISI.…………………………………………...…………………… xii DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………… xvii

  BAB I PENDAHULUAN………………………...…………………………

  1 1.1 Latar Belakang………………………………………………………..

  1

  1.2 Rumusan Masalah…....……….………………………………………

  5

  1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………….………

  6 1.4 Manfaat Penelitian…..……………………………………………….

  6

  1.5 Tinjauan Pustaka………………...……………………………………

  7 1.6 Landasan Teori……………………………………………………….

  9

  1.6.1 Folklor………………………….………………………………

  9

  1.6.2 Teori Proses Ritual dan Upacara Keagamaan…….……………

  11

  1.6.3 Fungsi-fungsi Proses Ritual…………………………..………..

  16

  1.7 Metode Penelitian……………………………………………….……

  18

  1.7.1 Lokasi dan Nara Sumber Penelitian………………………..…

  19 1.7.2 Pendekatan……………………………………………………..

  19 1.7.3 Metode………………………………………...……………….

  19

  1.7.4 Teknik Penelitian………………………………………………

  20 1.7.4.1 Teknik Pengumpulan Data…………………………...

  20 1.7.4.1.1 Teknik Studi Pustaka…….......…………….

  21 1.7.4.1.2 Teknik Observasi…………………………..

  22 1.7.4.1.3 Teknik Wawancara………………………...

  25 1.7.4.1.4 Teknik Perekaman dan Pengarsipan……….

  27 1.7.4.2 Teknik Analisis Data………………………………...

  28 1.7.5 Instrumen Penelitian…………………………………………...

  29 1.8 Sistematika Penyajian………………………………………………...

  29 BAB II KONTEKS BUDAYA DAN SEJARAH KEDIRI..........................

  31 2.1 Pengantar..............................................................................................

  31 2.2 Topografi dan Demografi kota Kediri..................................................

  31 2.3 Mitos dan Sejarah Kota Kediri.............................................................

  34 2.3.1 Mitos di Kota Kediri...................................................................

  34 2.3.1.1 Prabu Kelono Sewandono..............................................

  35 2.3.1.2 Totok Kerot.....................................................................

  36 2.3.1.3 Muksanya Raja Jayabaya..……………………………..

  38 2.3.1.4 Dewi Kilisuci..................................................................

  40

  2.3.2 Sejarah Kota Kediri....................................................................

  41 2.4 Sejarah Sri Aji Jayabaya.......................................................................

  47 2.5 Konteks Sejarah dan Budaya di Petilasan Sri Aji Jayabaya………….

  50 2.5.1 Petilasan Sri Aji Jayabaya Sebelum dipugar....……… ……….

  51 2.5.2 Petilasan Sri Aji Jayabaya Setelah dipugar………..…………...

  53 BAB III PROSES RITUAL TIRAKATAN JUMAT LEGI DAN SELASA KLIWON DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA MENANG KOTA KEDIRI…………………………….................

  58 3.1 Pengantar……………………………………………………………..

  58 3.2 Persiapan Tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon…..……………...

  58 3.2.1 Tempat Upacara………...……………………………………...

  59 3.2.2 Saat Upacara…………………………………………………...

  60 3.2.3 Benda Upacara………….……………………………………...

  61 3.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara……………...

  63 3.3 Pelaksanaan Tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon…..…………..

  64 3.3.1 Proses Ritual Pribadi…………………………………………...

  64 3.3.1.1 Tempat Upacara……………………………………...

  64 3.3.1.2 Saat Upacara…………………………….…………...

  65 3.3.1.3 Benda Upacara…………………………..…………...

  66 3.3.1.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara…....

  67 3.3.2 Proses Ritual Syukuran………………………………………...

  71 3.3.2.1 Tempat Upacara……………………………………...

  72

  3.3.2.2 Saat Upacara…………………………………………

  72

  3.3.2.3 Benda Upacara………………………………..……...

  73

  3.3.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara……

  77 3.4 Rangkuman……………………………………………………… …..

  84 BAB

  IV PROSES RITUAL 1 SURO ATAU MUHHARAM DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA MENANG KOTA KEDIRI……………………………………………………………

  86 4.1 Pengantar……………………………………………………………..

  86 4.2 Persiapan Proses Ritual 1 Suro atau Muhharam……………………...

  87 4.2.1 Tempat Upacara…………………………...…………………...

  87 4.2.2 Saat Upacara…………………………………………………...

  88

  4.2.3 Benda Upacara…………………………………………………

  90 4.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara……………...

  92 4.3 Pelaksanaan Proses Ritual 1 Suro atau Muhharam…………………...

  93 4.3.1 Proses Ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya…………………...

  94 4.3.1.1 Tempat Upacara……………………………………...

  96 4.3.1.2 Saat Upacara………………………….……………...

  97 4.3.1.3 Benda Upacara………………………..……………...

  97

  4.3.1.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara…… 101

  4.3.2 Proses Ritual Di Sendang Tirtokamandanu…………………… 106

  4.3.2.1 Tempat Upacara……………………………………... 106

  4.3.2.2 Saat Upacara………………………………………… 106

  4.3.2.3 Benda Upacara………………………………………. 107

  4.3.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara…… 107

  4.4 Rangkuman…………………………………………………………...

  BAB V FUNGSI PROSES RITUAL TIRAKATAN DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA PAMENANG KEDIRI………………...

  5.1 Pengantar……………………………………………………………..

  5.2 Fungsi Spiritual……………………………………………………….

  5.3 Fungsi Sosiologis……………………………………………………..

  5.4 Fungsi Ekonomis……………………………………………………..

  5.5 Fungsi Politis………………………………………………………....

  5.6 Fungsi Budaya..................................................................................... Rangkuman…………………………………………………………...

  BAB VI PENUTUP……………………………………………...………… 6.1 Kesimpulan..………………………………………………………….

  6.2 Saran………………………………………………………………….

  110 112 112 112 115 116 119 122 125 127 127 129

  DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BIODATA PENULIS

DAFTAR LAMPIRAN

  LAMPIRAN 1 : DAFTAR PERTANYAAN LAMPIRAN 2 : DAFTAR NARA SUMBER LAMPIRAN 3 : FOTO PERSIAPAN PROSES RITUAL TIRAKATAN JUMAT

  LEGI DAN SELASA KLIWON LAMPIRAN 4 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL TIRAKATAN

  PRIBADI JUMAT LEGI DAN SELASA KLIWON LAMPIRAN 5 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL TIRAKATAN

  SYUKURAN JUMAT LEGI DAN SELASA KLIWON LAMPIRAN 6 : FOTO PERSIAPAN PROSES RITUAL 1 SURO LAMPIRAN 7 : FOTO ALAT MUSIK DALAM PROSES RITUAL 1 SURO LAMPIRAN 8 : FOTO PROSES RITUAL PEMBUKAAN DAN

  PEMBERANGKATAN PERARAKAN BENDA PUSAKA LAMPIRAN 9 : FOTO PERARAKAN BENDA PUSAKA MENUJU

  PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA LAMPIRAN 10 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL 1 SURO DI

  PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA LAMPIRAN 11 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL TABUR BUNGA

  DI PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA LAMPIRAN 12 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL CAOS DAHAR DI

  PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA LAMPIRAN 13 : FOTO PERARAKAN BENDA PUSAKA MENUJU

  SENDANG TIRTO KAMANDANU LAMPIRAN 14 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL 1 SURO DI SENDANG TIRTOKAMANDANU

  LAMPIRAN 15 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL TABUR BUNGA DI SENDANG TIRTO KAMANDANU

  LAMPIRAN 16 : FOTO PEZIARAH YANG BEREBUT AIR SENDANG DAN BUNGA KANTHIL DI SENDANG TIRTOKAMANDANU

  LAMPIRAN 17 : RANGKAIAN KEGIATAN ZIARAH 1 SURO 1939 DI DESA MENANG LAMPIRAN

  18 : SEJARAH SRI AJI JAYABAYA YANG DIBACAKAN PADA PROSES RITUAL 1 SURO

  LAMPIRAN 19 : DENAH PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA LAMPIRAN 20 : DENAH SENDANG TIRTOKAMANDANU

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Perkembangan teknologi di era globalisasi dewasa ini tidak menghambat kehidupan kebudayaan dan tradisi lisan di Indonesia. Hal ini terbukti dari masih banyaknya tempat-tempat yang dianggap keramat dan didatangi orang untuk berziarah. Tempat-tempat ziarah yang dianggap keramat itu dapat berupa sebuah gua, daerah gunung berapi, petilasan (makam leluhur atau orang suci), pohon besar, dan masih banyak lagi. Kedatangan peziarah mengunjungi tempat-tempat tersebut didorong berbagai macam alasan. Ada yang bertujuan untuk mencari kekayaan, sukses dalam pekerjaan, jodoh, menikmati suasana hening, dan masih banyak alasan lain dari tujuan peziarah tersebut.

  Berbagai macam alasan peziarah mendatangi tempat-tempat yang dianggap keramat itu sebenarnya memiliki hubungan erat dengan emosi keagamaan yang dimilikinya. Menurut Koentjaraningrat (1967: 218), emosi keagamaan adalah suatu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah menghinggapi seorang manusia dalam jangka waktu hidupnya, walaupun getaran itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik saja untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang berlaku serba religius.

  Perilaku manusia yang serba religius ini mendorong mereka untuk mendatangi tempat-tempat keramat yang dianggap sebagai tempat besemayamnya arwah leluhur atau dewa-dewi, juga kekuatan-kekuatan gaib yang ada pada benda tertentu, yang kebetulan tersimpan di tempat keramat itu. Maka tempat-tempat keramat itu pada saat-saat tertentu dijadikan sebagai pusat kegiatan keagamaan, seperti upacara-upacara persembahan kepada “Yang Maha Kuasa”.

  Tempat-tempat keramat yang dipercaya bersemayam tokoh leluhur yang pada masa hidupnya memiliki kharisma merupakan salah satu tempat favorit untuk didatangi peziarah, terlebih jika tokoh itu dimitoskan oleh pendukungnya dan dijadikan sebagai panutan perilaku kelompok orang tertentu. Tempat keramat yang didukung oleh keberadaan mitos yang kharismatis itu akan menjadi tempat ziarah dengan tujuan dan maksud tertentu. Ziarah yang dilakukan ini pada hakikatnya menyadarkan kondisi manusia sebagai pengembara di dunia yang

  1

  hanya mampir ngombe . Ziarah ke tempat-tempat keramat maksudnya sangat bervariasi dan salah satunya adalah untuk memperoleh restu leluhur yang dianggap telah lulus dalam ujian hidup (Subagya, 1981: 141).

  Salah satu tempat ziarah yang kharismatik adalah Petilasan Sri Aji Jayabaya yang terletak di Desa Menang, kecamatan Pagu, kabupaten Kediri, sekitar delapan kilometer arah utara dari pusat Kota Kediri. Kota Kediri berada di sebelah selatan Propinsi Jawa Timur. Selain Petilasan Sri Aji Jayabaya, di kota ini masih ada banyak tersimpan cerita dan tradisi lisan lainnya. Cerita dan tradisi lisan di Kota Kediri masih terlihat lestari, hal ini ditandai dengan banyaknya kegiatan-kegiatan religi dan kepercayaan masyarakat terhadap mitos serta hal-hal 1 gaib.

  

Mampir ngombe merupakan bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti singgah

untuk minum. Dalam kehidupan di dunia ini kebanyakan orang Jawa percaya bahwa manusia

menjalani hidup seperti halnya singgah untuk minum saja.

  Petilasan Sri Aji Jayabaya yang dipercaya orang menjadi tempat

  2

  muksanya Sri Aji Jayabaya, yaitu raja kerajaan Kediri yang memerintah sekitar tahun 1135 – 1157 M.. Jayabaya sangat dikenal masyarakat Indonesia oleh karena ramalan-ramalannya tentang hari depan Pulau Jawa (bangsa Indonesia) dari segala aspek. Ramalan Jayabaya yang sampai hari ini dianggap masih tetap relevan dan aktual bagi sebagian masyarakat Jawa, bisa disejajarkan dengan Nostradamus, "peramal" dari daratan Eropa.

  Tidak mengherankan jika situs yang dipagari tembok - bangunan baru - setinggi lima meter, dengan luas sekitar 25 meter persegi, dapat menjadi medan magnet bagi ribuan manusia pada setiap 1 Sura atau Muhharam. Tiap menjelang 1 Sura, masyarakat dari dalam dan luar Kota Kediri berbondong-bondong memadati

  3 Petilasan Sri Aji Jayabaya untuk meminta berkah.

  Tradisi lisan yang berkembang di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini bermula dari mimpi Warsodikromo (1860), tentang sebuah gundukan tanah yang telah menjadi rawa, di sana dulu pernah bertahta seorang raja Kediri yang tersohor yaitu Sri Aji Jayabaya. Atas petuah dalam mimpi itu penduduk mengadakan pencarian terhadap petilasan atau makam tersebut. Akhirnya, dengan dibantu oleh seorang ahli metaphisik, petilasan tersebut atau peninggalan kerajaan Kediri itu berhasil diketemukan. Letaknya di bawah naungan pohon kemuning. Dan mulai saat itu tempat yang dulunya hanya sebuah gundukan tanah, mulai ramai didatangi pengunjung untuk berziarah (Hondodento 1989: 8).

  2 3 Muksa berarti orang yang meninggal dan hilang bersama jasadnya Lihat juga http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/03-/daerah/dari25.htm

  Pada tahun 1975, keluarga besar Hondodento memugar petilasan Sri Aji Jayabaya yang terdiri dari Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan Sendang Tirtokamandanu. Bangunan Pamoksan Sri Aji Jayabaya yang dipugar meliputi,

  4

  5

  6 Loka Muksa , Loka Busana , serta Loka Makuta . Sebelumnya banyak juga di

  antara peziarah yang datang dan ingin memugar, namun belum ada satu pun dapat menyelesaikan pemugaran tersebut. Pemugaran yang dilakukan oleh keluarga besar Hondodento ini menjadikan Pamoksan Sri Aji Jayabaya makin ramai didatangi orang-orang untuk berziarah.

  Setelah keluarga besar Hondodento berhasil memugar Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan dilanjutkan dengan pemugaran Sendang Tirtokamandanu, sekitar satu kilo dari Pamoksan Sri Aji Jayabaya. Sendang ini konon digunakan untuk memandikan putra-putri raja Jayabaya sebelum mengunjungi pamuksan.

  Sendang Tirtokamandanu dan Pamoksan Sri Aji Jayabaya sekarang tidak hanya dipadati peziarah menjelang 1 Sura atau Muhharam saja, tetapi setiap malam Jumat Legi dan Selasa Kliwon juga ramai oleh kedatangan peziarah yang kebanyakan berasal dari luar Kota Kediri. Mereka datang dengan berbagai macam permintaan, ada yang meminta agar cepat mendapat jodoh, dagangan sukses, sembuh dari sakit, dan ada juga yang hanya ingin menikmati suasana sunyi.

  Setiap harinya ada saja peziarah yang datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya selain hari Jumat Legi, Selasa Kliwon, dan tanggal 1 Suro, bahkan terdapat beberapa orang yang tinggal bertahun-tahun tanpa mendirikan rumah dan hanya 4 bermukim di sekitar pendopo pamuksan atau sendang dengan perbekalan 5 Tempat Sri Aji Jayabaya muksa 6 Lambang tempat busana diletakkan Lambang tempat mahkota diletakkan

  seadanya. Keperluan sehari-hari untuk makan dan minum mereka menunggu kiriman dari saudara-saudaranya yang datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya setiap hari Jumat Legi atau Selasa Kliwon. Kejadian-kejadian tersebut mempertebal keingintahuan peneliti untuk mendalami keberadaan proses ritual dan fungsi tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa Timur.

  Melalui teori folklor, penelitian ini menitikberatkan pada permasalahan sebagai berikut: (1) konteks budaya dan sejarah Kota Kediri, (2) proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri, (3) proses ritual 1 Suro atau Muhharam di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri, (4) fungsi proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri.

  Peneliti berharap dengan kajian terhadap proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini dapat memberikan informasi lebih dalam tentang keberadaan salah satu tradisi lisan yang ada di masyarakat Kota Kediri, Propinsi Jawa Timur, dan sebagai wujud pelestarian satu dari sekian banyak tradisi lisan yang masih ada di negara Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang, masalah-masalah yang ingin dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

  1.2.1 Bagaimanakah konteks budaya dan sejarah Kota Kediri?

  1.2.2 Bagaimanakah proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri?

  1.2.3 Bagaimanakah proses ritual tirakatan 1 Suro atau Muhharam di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri?

  1.2.4 Apa fungsi proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri?

  1.3 Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri yang meliputi: 1.2.1 mendeskripsikan konteks budaya dan sejarah Kota Kediri, 1.2.2 mendeskripsikan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di

  Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri, 1.2.3 mendeskripsikan proses ritual tirakatan 1 Suro atau Muhharam di Petilasan

  Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri, 1.2.4 melacak dan menjelaskan fungsi proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri.

  1.4 Manfaat Penelitian

  1.4.1 Dalam bidang folklor, dapat menambah khazanah bacaan studi tentang proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kota Kediri.

  1.4.2 Dalam bidang wisata, studi ini dapat memperkenalkan salah satu lokasi wisata ziarah yang ada di Kota Kediri Propinsi Jawa Timur.

1.5 Tinjauan Pustaka

  Penelitian ini membahas Petilasan Sri Aji Jayabaya berkenaan dengan proses ritual tirakatan yang ada di sana. Nama Jayabaya memang tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya buku dan media cetak yang menuliskan tentang keberadaan Jayabaya terlebih tentang ramalan- ramalannya, baik itu dihubungkan dengan politik (ratu adil) atau pun keberadaan alam Indonesia, seperti buku Ramalan Sakti Prabu Jayabaya: Membuka Tabir

  

Tanda-tanda Jaman. Dalam buku ini secara garis besar berisi tentang isi ramalan

  Jayabaya yang dihubungkan dengan fenomena politik dan alam yang terjadi di Indoneisia (Purwadi, 2003). Soesetro dan Zein Al Arief (1999) juga menulis tentang ramalan Jayabaya yang dikaitkan dengan fenomena reformasi politik di Indonesia dalam bukunya yang berjudul Membuka Tabir Ramalan Jayabaya Di

7 Era Reformasi.

  Banyaknya tulisan mengenai Jayabaya terlebih tentang ramalan- ramalannya, hanya sedikit yang ditemui oleh peneliti, buku atau artikel yang menuliskan keberadaan Petilasan Sri Aji Jayabaya. Kebanyakan media cetak menulis berita atau artikel secara sepintas menyebutkan keberadaan Petilsan Sri Aji Jayabaya. tulisan itupun berkenaan dengan kegiatan proses ritual 1 Suro yang 7 diadakan oleh Yayasan Hondodento. Seperti dalam kutipan berikut: “Labuhan

  Lihat juga http://www.ikapi.or.id/portal/template/DetilLacak/id/879 yang diselenggarakan oleh Yayasan Hondodento itu merupakan salah satu rangkaian dalam upacara ziarah dan ritual yang dilakukan pada bulan Suro.

  Sebelumnya telah dilakukan di Komplek Candi peninggalan Prabu Jayabaya di

  8 daerah Mamenang Kediri”.

  Hingga saat ini peneliti hanya menemukan satu buku tentang keberadaan Petilasan Sri Aji Jayabaya. Buku itu ditulis dan diterbitkan oleh Yayasan Hondodento dengan judul Petilasan Sang Prabu Sri Aji Jayabaya. Secara garis besar isi buku ini mengenai hal ihwal pemugaran Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan Sendang Tirto Kamandanu di desa Menang. Jadi buku ini lebih banyak mengungkapkan tentang arsitektur bangunan dan dampak pemugaran dari Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan Sendang Tirtokamandanu bukan tentang proses ritual atau upacara keagamaan di Petilasan Sri Aji Jayabaya.

  Peneliti juga pernah menemukan satu judul artikel tentang petilasan Sri Aji

  9 Jayabaya. Judul artikel itu adalah Pamoksan Sri Aji Jayabaya ing Menang.

  Artikel ini ditulis oleh Suwarsono dalam majalah Jaya Baya. Majalah Jaya Baya adalah salah satu media cetak yang ada di Surabaya yang menggunakan Bahasa Jawa. Artikel ini berbicara tentang sejarah singkat dan daya tarik Petilasan Sri Aji Jayabaya bagi peziarah.

  Perbedaan penelitian Proses Dan Fungsi Ritual Tirakatan Di Petilasan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa Timur Sebuah Kajian Foklor ini adalah melanjutkan penelitian-penelitian yang sudah ada. Penelitian ini 8 akan mendeskripsikan secara terperinci tentang sejarah, proses ritual, dan fungsi 9 lihat juga http://www.indomedia.com/bernas/042001/10/UTAMA

  

Lihat juga hHttp://anulib.anu.edu.au/sasi/new/search_detailed.php?sn=156&in=3020&an=62530 proses ritual bagi pendukungnya. Jadi dalam penelitian ini tidak lagi berisi tentang arsitek dan daya tarik Petilasan Sri Aji Jayabaya saja namun berusaha mendeskripsikan tentang proses ritual tirakatan di Petilasan Sri AJj Jayabaya secara mendalam.

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Folklor

  Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1984: 2).

  Menurut Brunvand (dalam Danandjaja, 1984: 21) berdasarkan tipenya folklor dibagi menjadi tiga kelompok : (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), dan (3) floklor bukan lisan (non verbal

  folklore) (1) Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan.

  Bentuk-bentuk folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech), (b) ungkapan tradisional, (c) pertanyaan tradisional, (d) pertanyaan rakyat, (e) cerita prosa rakyat, dan (f) nyanyian rakyat.

  (2) Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Bentuk-bentuk folklor ini adalah kepercayaan rakyat dan permainan rakyat.

  (3) Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Bentuk-bentuk folklor ini dibagi menjadi dua subkelompok, yaitu yang berupa material atau yang bukan material.

  Dalam penelitian ini akan digunakan teori folklor sebagian lisan yang berbentuk kepercayaan rakyat. Kepercayaan rakyat atau yang sering kali juga disebut sebagai “takhyul” atau kini lebih dikenal sebagai folk belief (Danandjaja, 1984: 153).

  Dundes dalam Danandjaja (1984: 155) mendefinisikan folk belief sebagai ungkapan tradisional dari satu atau lebih syarat, dan satu atau lebih akibat; beberapa dari syarat-syaratnya bersifat tanda, sedangkan yang lainnya bersifat sebab.

  Takhyul mencakup bukan saja kepercayaan (belief), melainkan juga kelakuan (behavior), pengalaman-pengalaman (experiences), ada kalanya juga alat, dan biasanya juga ungkapan serta sajak (Bruvand dalam Danandjaja, 1984: 153).

  Lebih lanjut Danandjaja (1984), menambahkan bahwa takhyul menyangkut kepercayaan dan praktik (kebiasaan). Pada umumnya diwariskan melalui media tutur kata. Tutur kata ini dijelaskan dengan syarat-syarat, yang terdiri dari tanda-tanda (sigus) atau sebab-sebab (causes), dan yang diperkirakan akan ada akibatnya (result) (Danandjaja, 1984: 154).

  Berdasarkan maknanya, takhyul dibagi menjadi dua jenis, yaitu (a) hubungan asosiasi dan (b) ilmu gaib atau magic. Takhyul tersebut dapat dijelaskan melalui contoh takhyul berikut ini (1) Jika mendengar suara katak (tanda), maka akan turun hujan (akibat).

  (2) Jika kita memandikan kucing (sebab), maka akan turun hujan (akibat). Takhyul dalam contoh (1) adalah berdasarkan hubungan sebab akibat menurut hubungan asosiasi. Sedangkan takhyul yang kedua, yaitu perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja yang menyebabkan suatu “akibat”, adalah yang kita sebut ilmu gaib atau magic (Danandjaja, 1984: 154).

  Teori folk belief sebagai ungkapan tradisional dari satu atau lebih syarat dan satu atau lebih akibat digunakan untuk menjelaskan proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya dalam hubungannya dengan tanda-tanda atau sebab- sebab terciptanya tempat-tempat, alat-alat, waktu, dan orang yang memimpin upacara. Dan juga untuk menjelaskan akibat yang muncul setelah dilakukannya upacara keagamaan.

1.6.2 Teori Proses Ritual dan Upacara Keagamaan

  Menurut Koentjaraningrat (1967: 218) emosi keagamaan atau religious

  

emotion yaitu suatu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah menghinggapi

  seorang manusia dalam jangka waktu hidupnya, walaupun getaran itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik saja untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang berlaku serba religi.

  Kelakuan serba religi menurut tata kelakuan yang baku, disebut upacara keagamaan atau religious ceremonies atau rites. Menurut Van Gennep dalam Koentjaraningrat (1985: 32) proses ritual dan upacara keagamaan secara universal pada asasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat. Hal ini disebabkan karena selalu ada saat-saat di mana semangat kehidupan sosial itu menurun, dan sebagai akibatnya akan timbul kelesuan dalam masyarakat. Kelesuan inilah yang menyebabkan manusia membuat upacara keagamaan.

  Senada dengan Van Gennep, Robertson Smith mengatakan bahwa upacara religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama, mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu religi atau agama memang ada menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacara itu secara sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit pula yang hanya melakukannya setengah-setengah saja. Motivasi mereka tidak terutama untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan keagamaannya secara pribadi, tetapi juga karena mereka menganggap melakukan upacara itu sebagai suatu kewajiban sosial (Koentjaraningrat 1985: 24).