BAHAN DAN METODA Persiapan tanaman induk

ISSN 1410-1939

  

RESPON ANTERA KEDELAI KULTIVAR MERUBETIRI TERHADAP

PEMBERIAN PUTRESCINE PADA KULTUR IN VITRO

[THE RESPONSE OF ANTHERS OF SOYBEAN CV. MERUBETIRI ON THE

IN VITRO APPLICATION OF PUTRESCINE]

  

Zulkarnain

Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi

Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat – Jambi 36361

  

Telp./Fax: 0741-583051

Email: dr.zulkarnain@yahoo.com

Abstract

  

This study was carried out at the Plant Biotechnology Laboratory, Agricultural Faculty, University of Jambi

from February through to September 2006 with the aim of obtaining the concentration of putrescine that was

effective for embryogenesis induction on soybean anther culture. The investigation consisted of various

concentrations of putrescine (0, 2,5, 5,0, 7,5 and 10,0 mM) that were tested on media with two different

composition of plant growth regulators, i.e. 20 M 2,4-D + 10 M kinetin and 20 M 2,4-D + 20 M kinetin.

Anthers were obtained from floral buds sizing 2,5 – 3,5 mm from soybean cultivar Merubetiri (results of first

and second year of study), cultured on solid MS medium supplemented with vitamins and 30% sucrose.

  • -2 -1

    Cultures were placed on racks in culture room with 16-h photoperiod and light intensity of 50 µmol m sec .

    o Temperature was set at 24

C. Each trial consisted of 5 replicates, and each replicate consisted of one – 26

  

culture flasks with 10 anthers obtained from the same floral bud. Response showed by the anthers of soybean

cv. Merubetiri cultured on solid MS medium supplemented with various concentration of putrescine and 20

M 2,4-D + 10 M kinetin or 20 M 2,4-D + 20 M kinetin, was in the form of callus proliferation within 4 to

20 days following culture initiation. Callus proliferation was preceded by a swollen on the surface of anthers,

followed by changing in color from light green to brownish. Following this, anther wall turned into

amorphous shape, before finally was covered by a white, creamy, brownish, light green and/or dark green

callus mass. Initially, the callus showed friable or compact structure, but following two weeks of proliferation

the majority of callus showed compact structure with embryogenic callus properties. Among putrescine levels

tested, the best callus proliferation occurred on the concentration of 2,5 M; when the concentration of

putrescine exceeded 2,5 M, callus proliferation will be significantly inhibited.

  Key words: polyamine, anther culture, tissue culture, Glycine max, plant breeding.

  PENDAHULUAN yang diperoleh masih di bawah produksi rata-rata.

  Oleh karenanya diperlukan suatu terobosan tekno- Kedelai (Glycine max) adalah salah satu komo- logi untuk memperbaiki mutu genetik tanaman ke- ditas pertanian yang penting di Indonesia, terma- delai yang diusahakan di daerah ini agar memiliki suk bagi Propinsi Jambi. Komoditas ini menjadi sifat toleransi yang tinggi terhadap kondisi ling- penting bagi Propinsi Jambi sebagai salah satu ko- kungan yang ada. moditas andalan dalam pembangunan pertanian se- Pemuliaan kedelai untuk memperbaiki mutu jak beberapa tahun belakangan ini. Melalui pro- genetik merupakan alternatif yang perlu dikaji, gram Agropolitan Propinsi Jambi tanaman kedelai khususnya melalui pemanfaatan bioteknologi le- diusahakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, wat regenerasi tanaman haploid melalui kultur an- tepatnya di Desa Rantau Makmur, Desa Simpang tera yang telah terbukti mampu mempercepat pro- dan beberapa desa lain di sekitarnya dengan total ses seleksi dan pelepasan varietas baru pada se- luas areal tanam lebih-kurang 22.000 ha. Namun jumlah spesies tanaman pertanian, seperti Oryza

  (Lentini et al., 1995; Aryan, 2002), Triticum demikian, keterbatasan kondisi lingkungan yang sativa sebagian terdiri atas lahan pasang-surut menyebab- aestivum (Touraev et al., 1996), Brassica napus kan produksi kedelai yang dicapai tidak maksi- (Lichter, 1982), Populus sp. (Hyun et al., 1986), mum. Di beberapa lokasi memang diperoleh hasil Malus domestica (Höfer et al., 1999), Anemone yang memuaskan, sementara di lokasi lain hasil sp., Zantedeschia sp. and Delphinium sp. (Custers Percobaan ini disusun menurut Rancangan Acak Lengkap sederhana yang terdiri atas 5 ulang-

  Rancangan percobaan

  (103 kPa) pada suhu 121

  . Pertumbuhan dan perkembangan kultur diamati selama kurun waktu 8 minggu.

  s

  Lama pencahayaan (fotoperiodesitas) adalah 16 jam per hari yang diperoleh dari lampu fluorescen- ce dengan intensitas 50 µ mol m

  o C.

  Antera yang telah dikulturkan selanjutnya dipe- lihara di dalam ruang kultur dengan suhu 25  1

  Lingkungan kultur

  Bahan tanaman yang digunakan sebagai eks- plan adalah antera yang diperoleh dari tunas bunga muda. Setelah disterilkan dengan alkohol 70% se- lama lebih-kurang 10 detik, kelopak dan mahkota bunga dibuang dengan hati-hati, lalu antera dipi- sahkan dari filamen untuk selanjutnya dikulturkan pada media yang telah disiapkan.

  Eksplan

  Variabel yang diuji pada percobaan ini adalah putrescine yang dicobakan pada konsentrasi 0, 2,5, 5,0, 7,5 dan 10,0 mM pada medium dengan zat pengatur tumbuh 20 M 2,4-D + 10 M kinetin (PA) dan medium dengan 20 M 2,4-D + 20 M kinetin (PB) untuk induksi pembentukan kalus em- briogenik.

  o C selama 20 menit.

   agar sebanyak 8 g, yang dilarutkan dengan pemanasan sebelum medium tersebut dibagi-bagi ke dalam botol kultur dan disterilkan dengan oto- klaf pada tekanan 1.1 kg cm

  Medium kultur yang digunakan adalah medium dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962) yang di- lengkapi dengan vitamin dan sukrosa. Sebanyak 10 mL dari masing-masing larutan stok dimasuk- kan ke dalam gelas piala berisi lebih-kurang 200 mL air suling dan aduk secara konstan. Selanjut- nya ditambahkan sukrosa sebanyak 30 g, dan volu- me larutan dijadikan 1 L dengan penambahan air suling. Kemasaman medium ditetapkan 5,8  0,02 dengan menambahkan NaOH 1 M atau HCl 0,5 M. Untuk membuat medium padat digunakan Bacto Bitek

  Medium kultur

  • 1

  Benih tanaman kedelai dikecambahkan dan di- tumbuhkan di dalam polybag untuk mempermudah pemeliharaan dan mengendalikan pertumbuhan ta- naman. Selanjutnya polybag ditempatkan di tem- pat terbuka di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Desa Mendalo Darat. Pemeli- haraan tanaman mengikuti prosedur kultur teknik yang umum dilakukan, yakni penyiraman air, pem- berantasan hama dan penyakit serta pemupukan untuk mendapatkan tanaman yang sehat.

  Penanaman bahan induk dilakukan setiap 3

  Kedelai sebagai tanaman induk pada penelitian ini adalah kultivar Merubetiri yang diperoleh dari Balai Penelitian dan Pengkajian Teknologi Perta- nian (BPPTP), Jambi, yang sudah diuji daya adap- tasinya di daerah pasang-surut Desa Rantau Rasau, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Propinsi Jambi.

  BAHAN DAN METODA Persiapan tanaman induk

  Hasil-hasil penelitian sebagaimana dikemuka- kan di atas melandasi hipotesis bahwa poliamin dapat digunakan pada kultur antera kedelai untuk memacu proliferasi kalus embriogenik yang diha- rapkan dapat meregenerasikan embrio somatik dan tanaman lengkap. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi putrescine yang dapat menginduksi embriogenesis mikrospora maupun proliferasi kalus embriogenik dan perkembangan embrio dari kalus embriogenik pada kultur antera kedelai kultivar Merubetiri dalam sistem in vitro.

  Telah diketahui bahwa keberhasilan regenerasi tanaman haploid dari kultur antera sangat tergan- tung pada kapasitas embriogenik kalus yang dire- generasikan, yang pada gilirannya nanti akan me- regenerasikan embrio somatik melalui embrioge- nesis. Banyak faktor yang mempengaruhi keber- hasilan regenerasi kalus embriogenik dan embrio- genesis somatik, salah satu di antaranya adalah ke- hadiran poliamin alifatik di dalam medium kultur (Chi et al., 1994; Bajaj dan Rajam, 1996; Rajam, 1997). Pada kultur in vitro wortel, Feier et al. (1984) melaporkan bahwa pemberian poliamin be- rupa putrescin ke dalam medium kultur dapat me- ngembalikan embriogenesis yang mengalami ham- batan oleh zat penghambat tumbuh. Sementara itu Yadav dan Rajam (1997) mengemukakan bahwa putrescin dapat meningkatkan embriogenesis so- matik pada kultur jaringan terong, di mana pada konsentrasi 0,5 mM putrescin meningkatkan rege- nerasi embrio somatik hingga enam kali lipat.

  Lupinus spp. (Bayliss et al., 2002), Albizzia lebbeck (Gharyal et al., 1983) dan Peltophorum pterocarpum (Rao dan De, 1987).

  1997), Cajanus cajun (Kaur dan Bhalla, 1998),

  Jurnal Agronomi Vol. 12 No. 1, Januari - Juni 2008 et al. , 2001), Medicago sativa (Zagorska et al.,

  • – 4 minggu guna menjamin ketersediaan bahan eks- plan (tunas bunga) yang cukup selama penelitian. Selain itu, pernanaman ini juga sebagai upaya memperbanyak koleksi benih untuk digunakan se- bagai bahan perbanyakan berikutnya.
    • 2
    • 1
    • – 18 hari setelah tanam. Pembentukan kalus diawali oleh terjadinya pem- bengkakan pada permukaan antera, yang diikuti oleh perubahan warna dari hijau muda menjadi ke- coklatan. Dalam perkembangan selanjutnya din- ding antera menjadi tidak rata (amorf), dan akhir- nya antera diselimuti massa kalus (Gambar 1).

  Zulkarnain: Respon Antera Kedelai Kultivar Merubetiri terhadap Putrescine pada Kultur In vitro.

  (FPLSD) (Fisher, 1966) pada ta-raf  = 0,05.

  2,5 mM 46,00 a 46,50 a 46,25 5,0 mM 45,50 a 12,50 b 29,00 7,5 mM 24,40 bc 8,50 b 16,45 10,0 mM 13,00 c 10,50 b 11,75

  10 M kinetin 20 M 2,4-D + 20 M kinetin 0,0 mM 27,50 b 23,50 b 25,50

  Putrescine Zat pengatur tumbuh Rata-rata 20 M 2,4-D +

  Tabel 1. Pengaruh tingkat konsentrasi putrescine pada medium dengan dua komposisi zat pengatur tumbuh yang berbeda terhadap persentase antera yang membentuk kalus.

  Putrescine yang diberikan pada medium nyata mempengaruhi persentase antera yang meregene- rasikan kalus, baik pada medium dengan 20 M 2,4-D + 10 M kinetin (P = 0,00) maupun 20 M 2,4-D + 20 M kinetin (P = 0,00). Persentase an- tera yang membentuk kalus tertinggi diperlihatkan oleh putrescine 2,5 mM yang berbeda nyata dari perlakuan lainnya. Akan tetapi, peningkatan kon- sentrasi putrescine hingga 10,0 mM cenderung me- nekan laju proliferasi kalus. Berdasarkan komposi- si medium, antera yang dikulturkan pada medium dengan 20 M 2,4-D + 10 M kinetin lebih ba- nyak meregenerasikan kalus daripada medium de- ngan 20 M 2,4-D + 20 M kinetin (Tabel 1).

  Pada kultur yang tidak membentuk kalus, war- na antera berubah dari hijau menjadi putih atau coklat dan tidak berkembang lebih lanjut. Persentase antera membentuk kalus

  M 2,4-D + 20 M kinetin) yang dilengkapi dengan putrescine 0, 2,5, 5,0, 7,5 dan 10,0 mM, adalah berupa proliferasi kalus yang ter- jadi dalam kurun waktu 5

  Respon yang diperlihatkan oleh antera kedelai cv. Merubetiri yang dikulturkan pada medium MS (Murashige dan Skoog, 1962) padat dengan dan tanpa zat pengatur tumbuh (20 M 2,4-D + 10 M kinetin dan 20

  HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

  Di samping itu, hasil pengamatan juga disaji- kan dalam bentuk visual berupa foto-foto perkem- bangan eksplan yang dikulturkan dan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan kegiatan penelitian. Objek-objek, baik makroskopik maupun mikrosko- pik direkam menggunakan kamera digital (Nikon Coolpix 900E), untuk selanjutnya citra yang dida- pat diedit menggunakan perangkat lunak Adobe PhotoDeluxe Home Edition 3.0 (Adobe Systems Incorporated, 1998).

  Fisher’s Protected Least Significant Different

  an. Setiap ulangan terdiri atas 5 wadah kultur (ca- wan Petri) yang di dalam masing-masing wadah dikulturkan 8 hingga 10 antera yang berasal dari tunas bunga yang sama. Pengamatan terhadap per- tumbuhan dan perkembangan eksplan dilakukan setiap minggu selama 8 minggu percobaan.

  Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Untuk melihat pengaruh perlaku- an putrescine yang diberikan, data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan analisis ra- gam. Sedangkan untuk melihat perbedaan penga- ruh antar perlakuan, dilakukan uji lanjut dengan uji

  Analisis statistik dan penyajian data

  4. Kecepatan pembentukan kalus (dalam hari), yang diukur berdasarkan pengamatan secara visual terhadap lamanya waktu antara inisiasi kultur sampai kalus pertama kali terlihat ber- proliferasi di permukaan antera.

  3. Sifat embriogenik v.s. non embriogenik. Kalus embriogenik yang berproliferasi dari antera ta- naman legum dicirikan oleh teksturnya yang halus dengan struktur yang remah dan berwar- na putih kehijauan (Zulkarnain et al., 2005).

  2. Karakteristik kalus, yang diamati secara visual terhadap keadaan kalus yang diregenerasikan, seperti warna (putih, hijau, transparan), tekstur (halus, licin, kasar), dan struktur (remah, kom- pak).

     

  % x ntera seluruh a rkalus antera be erkalus eksplan b 100

  1. Jumlah eksplan yang membentuk kalus (%), yang ditentukan dengan menghitung jumlah antera yang meregenerasikan kalus dibagi de- ngan jumlah keseluruhan antera yang dikultur- kan, dengan rumus:

  Data yang dikumpulkan pada percobaan ini adalah dari peubah-peubah sebagai berikut:

  Pengumpulan data

  Rata-rata 31,28 20,30 - FPLSD 0,05 14,22 17,09 Angka-angka di dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata menurut uji FPLSD pada taraf  = 0,05.

  Jurnal Agronomi Vol. 12 No. 1, Januari - Juni 2008

  Gambar 1. Karakteristik kalus yang terbentuk pada perlakuan putrescine pada medium dengan 20 M 2,4-D + 10 M kinetin (A) dan 20 M 2,4-D + 20 M kinetin (B). Waktu muncul kalus

  Kecepatan pembentukan kalus pada perlakuan putrescine tidak memperlihatkan adanya pola pe- ngaruh yang spesifik, baik pada medium yang di- lengkapi dengan 20

  M 2,4-D + 10 M kinetin maupun pada medium dengan 20 M 2,4-D + 20 M kinetin (Tabel 2). Hasil perhitungan sidik ra- gam menunjukkan tidak adanya pengaruh yang nyata dari berbagai tingkat konsentrasi putrescine, baik pada medium dengan 20 M 2,4-D + 10 M kinetin (P = 1,19) maupun pada medium dengan 20 M 2,4-D + 20 M kinetin (P = 1,19). Dari da- ta yang dikumpulkan terungkap bahwa rentang waktu yang dibutuhkan untuk inisiasi proliferasi kalus pada perlakuan putrescine berkisar antara 4 hingga 20 hari setelah inisiasi kultur.

  Tabel 2. Pengaruh tingkat konsentrasi putrescine pada medium dengan dua komposisi zat pengatur tumbuh yang berbeda terhadap waktu pembentukan kalus (hari).

  Putrescine Zat pengatur tumbuh Rata-rata 20 M 2,4-D +

  M kinetin 20 M 2,4-D + 20 M kinetin 0,0 mM 3,54 4,50 4,02

  2,5 mM 5,09 4,56 4,83 5,0 mM 3,83 2,35 3,09 7,5 mM 4,23 2,61 3,42 10,0 mM 2,53 2,80 2,67 Rata-rata 3,84 3,36 - FPLSD 0,05 2,14 2,90 -

  Warna kalus Pada awal pembentukannya, sebagian besar ka- lus yang berproliferasi memiliki warna kecoklatan.

  Namun pada perkembangan selanjutnya warna ka- lus tersebut berubah menjadi lebih terang. Baik kalus yang terbentuk pada medium dengan 20

  M 2,4-D + 10 M kinetin maupun yang terbentuk pa- da medium dengan 20 M 2,4-D + 20 M kinetin tidak memperlihatkan tampilan warna yang ber- beda secara signifikan. Demikian pula pada perla- kuan berbagai tingkat konsentrasi putrescine, war- na kalus yang terbentuk tidak menunjukkan perbe- daan yang nyata antar perlakuan. Ringkasan hasil pengamatan terhadap warna kalus yang terbentuk pada berbagai konsentrasi putrescine pada kedua macam media disajikan pada Tabel 3.

  Struktur kalus Sebagaimana disajikan pada Tabel 3, struktur kalus bervariasi dari kompak hingga remah. Struk- tur yang kompak (Gambar 2A) mendominasi ka- rakteristik kalus yang diregenerasikan. Hanya se- bagian kecil kalus yang diregenerasikan memiliki struktur yang remah (Gambar 2B).

  Pembahasan

  Semua kalus yang terbentuk berproliferasi dari dalam antera, baik itu muncul dari celah/lekukan dinding antera maupun didahului oleh pecahnya dinding antera. Hal ini menunjukkan adanya pelu- ang bahwa kalus tersebut beregenerasi dari mikro- spora yang berada di dalam antera. Jika demikian adanya, maka kemungkinan besar tingkat ploidi kalus yang didapatkan pada penelitian ini adalah sama sebagaimana halnya dengan tingkat ploidi mikrospora, yaitu haploid. Namun demikian, hal ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut dengan me- meriksa dan menghitung secara langsung jumlah kromosomnya di bawah mikroskop. Cara lain

  Zulkarnain: Respon Antera Kedelai Kultivar Merubetiri terhadap Putrescine pada Kultur In vitro.

  Kalus hijau kekuningan berstruktur remah dan kalus coklat muda ber- struktur kompak, ukur- an > 12 kali antera. 5,0 mM Hijau tua, hijau kekuningan, dan sebagian kecil berwarna putih.

  Upaya meningkatkan kapasitas embriogenik kalus pada sejumlah spesies tanaman dengan memberikan poliamin alifatik dari luar (eksogen) telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian terhadap peranan poliamin dalam proses perkem- bangan tanaman kini telah mengarah pada peman- faatannya untuk meningkatkan embriogenesis so- matik pada sejumlah tanaman pertanian penting (Chi et al., 1994; Bajaj dan Rajam, 1996; Rajam, 1997). Pada kultur in vitro wortel, Feier et al. (1984) melaporkan bahwa pemberian poliamin be- rupa putrescine ke dalam medium kultur dapat me- ngembalikan embriogenesis yang mengalami ham- batan oleh zat penghambat tumbuh. Sementara itu Yadav dan Rajam (1997) mengemukakan bahwa perlakuan putrescine dapat meningkatkan embrio- genesis somatik pada kultur jaringan tanaman te- rong, di mana pada konsentrasi 0,5 mM putrescine meningkatkan regenerasi embrio somatik hingga enam kali lipat.

  Putrescine (Put-diamine) adalah poliamin ali- fatik yang banyak tersebar di dalam sel-sel tanam- an. Senyawa ini diketahui memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan berbagai peristiwa perkembangan pada tanaman, mulai dari pertum- buhan dan diferensiasi sel sampai respon terhadap cekaman lingkungan (Rajam et al., 1985; Evans dan Malberg, 1989; Galston dan Kaur-Sawhney, 1990; Tiburcio et al., 1993; Rajam, 1997). Senya- wa-senyawa poliamin alifatik juga telah dinyata- kan sebagai grup baru dari zat pengatur tumbuh (Galston dan Kaur-Sawhney, 1990; Bagni dan Torrigiani, 1992).

  M kinetin) menghasilkan kalus de- ngan ciri-ciri embriogenik, khususnya pada tanam- an legum, yaitu kompak, berwarna hijau muda atau putih dan memperlihatkan adanya struktur berupa nodul pada permukaannya (Zulkarnain et al., 2005).

  terbatas pada proliferasi kalus. Pengujian putres- cine pada dua komposisi zat pengatur tumbuh yang berbeda (20 M 2,4-D + 10 M kinetin dan 20 M 2,4-D + 20

  vitro meskipun respon yang diperlihatkan masih

  Pada penelitian ini terungkap, bahwa pemberi- an poliamin alifatik berupa putrescine nyata mem- pengaruhi perkembangan antera dalam kultur in

  Kalus hijau dan kuning kehijauan berstruktur remah, dan kalus coklat berstruktur kompak. Ukuran kalus tidak me- lebihi 5 kali antera.

  Umumnya kalus memi- liki struktur yang kom- pak. 10,0 mM Sebagian ber- warna hijau, ku- ning kehijauan dan sebagian coklat muda.

  7,5 mM Kalus berwarna coklat muda dan hijau.

  Sebagian besar remah, globular, menyerupai kapsul atau tentakel, ukuran > 12 kali antera.

  2,5 mM Sebagian besar hijau kekuning- an dan kuning, sebagian coklat muda.

  yang dapat ditempuh adalah dengan menginduksi embriogenesis dari massa kalus. Diharapkan em- brioid dapat terbentuk dari sel-sel kalus yang ha- ploid dan berkembang menjadi tanaman lengkap.

  Kalus coklat muda ber- struktur kompak, dan kalus hijau kekuningan berstruktur remah.

  Medium dengan 20 M 2,4-D + 20 M kinetin Putrescine Warna kalus Keterangan 0,0 mM Bervariasi dari coklat muda hingga kuning kehijauan.

  Umumnya kompak, hanya sebagian kecil berstruktur remah.

  Struktur kompak. 10,0 mM Sebagian besar coklat muda, se- bagian kecil hijau.

  7,5 mM Sebagian besar berwarna coklat.

  Sebagian besar remah dengan ukuran lebih dari 12 kali ukuran antera.

  5,0 mM Hijau gelap, hi- jau, hijau keku- ningan dan putih.

  Sebagian besar remah, globular atau menyeru- pai kapsul dan tentakel. Rata-rata lebih dari 12 kali ukuran antera.

  Struktur kompak, ukur- an tidak melebihi 5 kali ukuran antera. 2,5 mM Coklat muda, kuning kehijau- an, hijau dan putih.

  Medium dengan 20 M 2,4-D + 10 M kinetin Putrescine Warna kalus Keterangan 0,0 mM Coklat muda dan hijau keku- ningan

  Tabel 3. Warna kalus yang terbentuk pada medium dengan berbagai tingkat konsentrasi putrescine.

  Warna kalus yang putih dengan struktur yang kompak memperlihatkan adanya kapasistas em- briogenik dari massa kalus yang bersangkutan. Hal ini telah dibuktikan oleh sejumlah peneliti, ba- ik pada tanaman non-legum mapun pada tanaman legum. Sebagai contoh, pada kultur in vitro ta- naman Bixa arellana, Sha-Valli-Khan et al. (2002) menemukan bahwa kombinasi NAA + BAP meng- hasilkan kalus berwarna putih dengan struktur re-

  Jurnal Agronomi Vol. 12 No. 1, Januari - Juni 2008

  Gambar 2. Kalus dengan struktur kompak yang mendominasi semua perlakuan putrescine (A), kalus dengan struktur remah yang dijumpai pada sebagian kecil perlakuan putrescine (B). mah dan permukaan mengkilap, yang kemudian tuk mendapatkan kalus dengan sifat-sifat embrio- berkembang menjadi kalus berwarna putih dengan genik ada kalanya sangat lama. Di samping itu, struktur kompak, sebelum akhirnya meregenerasi- faktor-faktor seperti hormon tanaman, hara dan kan struktur globular berwarna hijau. Pembentuk- kondisi lingkungan harus dioptimasi terlebih dahu- an struktur globular berwarna hijau ini merupakan lu agar embriogenesis dapat berlangsung. tanda-tanda awal dari embriogenesis sebagaimana dilaporkan oleh Sudhersan dan Abo-El Nil (2002) dan Zulkarnain (2005) pada kultur in vitro Swain-

  KESIMPULAN sona formosa. Pembentukan kalus berwarna putih

  dan kompak yang berakhir pada embriogenesis ju- Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini ga dilaporkan oleh Tang et al. (2000) pada kultur dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

  in vitro Pinus taeda, dan oleh Fulzele dan Satdive

  1. Pemberian poliamin alifatik berupa putrescine (2003) pada kultur in vitro Nothapodytes foetida. hingga konsentrasi 2,5 M dapat memacu pro-

  Namun demikian, sifat jaringan tanaman legum liferasi kalus pada antera yang dikulturkan baik yang rekalsitran (Van Doorne et al., 1995) kiranya pada medium dengan kinetin konsentrasi tinggi perlu menjadi bahan pertimbangan dalam meng- M) maupun konsentrasi rendah (10 M).

  (20 upayakan egenerasi tanaman secara in vitro. Namun proliferasi kalus mengalami hambatan

  Bila dikaitkan dengan penelitian-penelitian se- bila konsentrasi putrescine melebihi 2,5 M. belumnya, regenerasi kalus berwarna putih dan

  2. Waktu munculnya kalus sebagai akibat pembe- kompak pada penelitian ini mengandung implikasi rian putrescine pada kedua macam media (ki- besarnya peluang untuk mendapatkan tanaman ha-

  M dan kinetin 10 M) tidak memper- netin 20 ploid melalui embriogenesis dari massa kalus yang lihatkan adanya perbedaan yang signifikan. diduga terdiri atas sel-sel haploid. Dengan mela-

  3. Karakteristik kalus yang diregenerasikan, baik kukan modifikasi pada sejumlah faktor lingkung- pada medium dengan kinetin 10 M maupun an, terutama komposisi medium, diharapkan rege- kinetin 20 M secara umum adalah sama, de- nerasi kedelai haploid secara in vitro dapat diwu- ngan karakteristik embriogenik. judkan. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dike- mukakan oleh Taji et al. (2002), bahwa embrioge- nesis somatik memiliki arti penting di dalam tek-

DAFTAR PUSTAKA

  nik kultur jaringan untuk memproduksi tanaman seragam dalam jumlah besar. Akan tetapi proses

  Adobe Systems Incorporated. 1998. Adobe Photodeluxe

  ini dibatasi oleh banyak hal karena embrio somatik

  Home Edition 3.0. Seattle, USA, Adobe Systems

  hanya akan berkembang dari dalam massa kalus Incorporated. yang embriogenik, dan waktu yang dibutuhkan un-

  Zulkarnain: Respon Antera Kedelai Kultivar Merubetiri terhadap Putrescine pada Kultur In vitro.

  Sudhersan, C. dan M. AboEl-Nil. 2002. Somatic embryogenesis on Sturt's desert pea (Swainsona formosa ). Scientific Correspondence 83: 1074-1076.

  Wiley and Sons, Inc, New York. Rajam, M. V., L. H. Weinstein dan A. W. Galston.

  1985. Prevention of a disease by specific inhibition of fungal polyamine biosynthesis. Proceedings of the National Academy of Sciences, USA 82.

  Rao, P. V. dan D. N. De. 1987. Haploid plants from in vitro anther culture of the leguminous tree, Pelto- phorum pterocarpum (DC) K. Hayne (Copper pod).

  Plant Cell, Tissue and Organ Culture 11: 167- 177.

  Sha-Valli-Khan, P. S., E. Prakash dan K. R. Rao. 2002.

  Callus induction and plantlet regeneration in Bixa arellana L., an annatto-yielding tree. In Vitro Cellular and Developmental Biology - Plant 38: 186-290.

  Taji, A., P. Kumar dan P. Lakshmanan. 2002. In Vitro Plant Breeding. New York, Haworth Press, Inc. Tang, K., E. Zhao, Q. Hu, J. Yao dan A. Wu. 2000. A simple and efficient procedure to improve plant regeneration from protoplast isolated from long-term cell-suspension cultures of indica rice. In Vitro Cell.

  Lichter, R. 1982. Induction of haploid plants from isolated pollen of Brassica napus. Zeitschrift für Pflanzenphysiologie 105: 427-434.

  Dev. Biol. - Plant 36: 361-365.

  Tiburcio, A. F., J. L. Campos, X. Figueras dan R. T.

  Besford. 1993. Recent advances in understanding functions during plant development. Plant Growth Regulation 12: 331-340.

  Touraev, A., A. Indrianto, I. Wratschko dan O. Vicente.

  1996. Efficient microspore embryogenesis in wheat (Triticum aestivum L.) induced by starvation at high temperature. Sexual Plant Reproduction 9: 209-215. Van Doorne, L. E., L. E. Marahal dan R. C. Kirkwood.

  1995. Somatic embryogenesis in pea (Pisum sativum L.): effect of explant, genotype and culture condition. Ann. Appl. Biol. 126: 169-174. Yadav, J. S. dan M. V. Rajam. 1997. Spatial distribution of free and conjugated polyamines in leaves of

  Murashige, T. dan F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and bio assays with tobacco tissue cultures. Physiologia Plantarum 15: 473-497. Rajam, M. V. 1997. Polyamines, pp. 343-374. Dalam M. N. V. Parasad [ed.]. Plant Ecophysiology. John

  1995. Androgenesis of highly recalcitrant rice genotypes with maltose and silver nitrate. Plant Science 161: 677-683.

  Aryan, A. P. 2002. Production of double haploids in rice: anther vs. microspore culture. Prosiding The Importance of Plant Tissue Culture and Biotechnology in Plant Sciences di Armidale, University of New England Press. pp. 201-208. Bagni, N. dan P. Torrigiani. 1992. Polyamines: a new class of growth substances, pp. 264-275. Dalam C.

  Custers, J., M. Visser, R. Snijder, K. Litovkin dan L. v.

  M. Karssen, L. C. Van Loon dan D. Vreugdenhil [eds.]. Progress in Plant Growth Regulation. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, The Netherlands. Bajaj, S. dan M. V. Rajam. 1996. Polyamine accumulation and near loss of morphogenesis in long-term callus cultures of rice. Restoration of plant regeneration by manipulation of cellular polyamine levels. Plant Physiology 112: 1343-1348. Bayliss, K. L., J. M. Wroth dan W. A. Cowling. 2002.

  Production of multicellular microspores of Lupinus species: first step toward haploid lupin embryos.

  Prosiding The Importance of Plant Tissue Culture and Biotechnology in Plant Sciences di Armidale,

  University of New England Press. pp. 145-157. Chi, G.-L., W.-S. Lin, J. E. E. Lee dan E.-C. Pua. 1994.

  Role of polyamines on de novo somatic embryogenesis from cotyledones of Brassica campestris spp. pekinensis (Lour.) Olsson in vitro.

  Plant Cell Reports 13: 323-329.

  d. Geest. 2001. Model plants pave the way to haploid technology; microspore embryogenesis in ornamentals. Laporan Penelitian Plant Research International B.V., Wageningen, The Netherlands.

  Lentini, Z., P. Reyes, C. P. Martínez dan W. M. Roca.

  Evans, P. T. dan R. L. Malberg. 1989. Do polyamines have a role in plant development? Annual Review of Plant Physiology and Plant Molecular Biology 140: 33-36.

  Fisher, R. A. 1966. The Design of Experiment. New York, Hafner. Fulzele, D. V. dan R. K. Satdive. 2003. Somatic embryogenesis, plant regeneration, and the evaluation of camptothecin content in Nothapodytes foetida. In Vitro Cellular and Developmental Biology - Plant 39: 212-216.

  Galston, A. W. dan R. Kaur-Sawhney. 1990. Polyamines in plant physiology. Plant Physiology 94: 406-410. Gharyal, P. K., A. Rashid dan S. C. Maheshwari. 1983.

  Production of haploid plantlets in anther cultures of Albizzia lebbeck L. Plant Cell Reports 2: 308-309. Höfer, M., A. Touraev dan E. Heberle-Bors. 1999.

  Induction of embryogenesis from isolated apple microspores. Plant Cell Reports 18: 1012-1017. Hyun, S. K., J. H. Kim, E. W. Noh dan J. I. Park. 1986.

  Induction of haploid plants of Populus species, pp. 413-418. Dalam L. A. Withers dan P. G. Alderson [eds.]. Plant Tissue Culture and its Agricultural Application. Butterworths, London.

  Kaur, P. dan J. K. Bhalla. 1998. Regeneration of haploid plants from microspore culture of pigeon pea (Cajanus cajun L.). Indian Journal of Experimental Biology 36: 736-738.

  Solanum melongena L. associated with differential morphogenetic capacity: efficient somatic embryogenesis with putrescine. Journal of Experimental Botany 48: 1537.

  Jurnal Agronomi Vol. 12 No. 1, Januari - Juni 2008

Zagorska, N., B. Dimitrov, P. Gadeva dan P. Robeva. of Swainsona formosa, pp. 261-268. Dalam I.

  1997. Regeneration and characterisation of plants Bennet, E. Burn, H. Clarke dan J. McComb [eds.]. obtained from anther culture of Medicago sativa L. 'Contributing to a Sustainable Future'. Proceeding of In Vitro Cellular and Developmental Biology - the Australian Branch of the International Plant. 33. Association for Plant Tissue Culture and Biotechnology, Perth, Western Australia, 21 - 24

  Zulkarnain, J. A. Smith dan A. Taji. 2005. Proline: a September 2005, pp. 261-268. biochemical indicator for the embryogenic potential