Pendidikan Keimanan Bagi Usia Dewasa Awal Menurut Perspektif Islam

(1)

Abstrak

Salah satu tugas dan tanggungjawab orang tua adalah menanamkan keimanan. Iman merupakan sesuatu yang abstrak dan letaknya dalam hati. Namun, buah iman dapat direfleksikan dalam bentuk tingkah laku pada diri seseorang yang menyatu dalam kepribadian. Kepribadian sempurna adalah kepribadian yang selaras antara iman dan amal, antara hati dan tingkah laku. Karenannya, Allah swt tidak hanya menghukumi manusia dari tingkah laku yang terlihat semata, tetapi juga apa yang tersirat dalam hatinya. Secara sadar orang tua harus membimbing dan mengarahkan pertumbuhan fitrah anak kearah titik maksimal perkembangannya. Potensi beriman dan beragama merupakan salah satu fitrah manusia sebagai anugrah dari Allah Swt. Untuk itu, inti dari proses pendewasaan anak terletak pada keimanan, yakni mengikat anak dengan dasar-dasar iman, mengajari dan membiasakan melaksanakan syari’at Islam.

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian yaitu: Bagaimana pendidikan keimanan bagi usia dewasa awal menurut perspektif Islam? Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis konsep pendidikan keimanan bagi usia dewasa awal menurut perspektif Islam. Agar tujuan utama tercapai, perlu diketahui hal-hal sebagai berikut: pandangan Islam terhadap pendidikan keimanan bagi usia dewasa awal, ciri-ciri perkembangan usia dewasa awal dilihat dari segi fisik, psikis, intelektual, emosi, sosial dan agama, berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan kepribadian usia dewasa awal, pola pendidikan keimanan yang efektif dan sesuai untuk usia dewasa awal.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kepustakaan tentang pendidikan usia dewasa awal dalam keluarga perspektif Islam. Sumber data yang digunakan berasal dari berbagai referensi baik buku maupun jurnal ilmiah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan keimanan pada usia dewasa awal dalam perspektif Islam yaitu membiasakan melaksanakan rukun Islam dan dasar-dasar syari’at lainnya dalam kehidupan sehari-hari sebagai perwujudan iman. Dalam pendidikan keimanan ini, yang ditanamkan dalam diri anak bukanlah iman yang hanya sekedar pengakuan dalam hati (tashdiq) dan pengakuan secara lisan (iqrar) semata, namun harus dibuktikan melalui amal perbuatan. Dan sebagai sebuah sistem, pendidikan keimanan ini harus memperhatikan berbagai komponennya, baik dari segi tujuan, anak didik, metode, maupun materi yang digunakan.


(2)

A. Latar Belakang Masalah

Keluarga merupakan salah satu mata rantai kehidupan paling esensial dalam perjalanan hidup manusia, tempat dimana pertama kali seorang anak menginjakkan kakinya dalam mengarungi kehidupan. Dibawah asuhan ayah bundanya, seorang anak mulai mengenal diri dan lingkungannya. Bagi anak, orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utama. Pertama, karena dengan orangtualah sang anak pertama kali melakukan interaksi, dan kedua, karena pengaruh orangtua amat mendasar dalam perkembangan kepribadian seorang anak. Anak merupakan cerminan orang tuanya,1 sebab dari orang tualah sang anak mulai pertama memperoleh pengetahuan, keterampilan, minat, nili-nilai emosi, sikap dan moral. Karena itu, kualitas orangtua dan lingkungan keluarga sangat dominan dalm pembentukan jiwa anak, juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian seorang anak.2

Tujuan pendidikan dalam keluarga (rumah tangga) adalah agar anak mampu berkembang secara maksimal meliputi seluruh aspek perkembangannya, baik jasmani, akal, maupun rohaninya. Dengan perkembangan yang optimal tersebut diharapkan akan terbentuk kedewasaan anak dalam segala aspeknya. Akhirnya anak akan mampu berperan sebagai anggota msyarakat yang baik juga sanggup mempertanggungjawabkan segala prilakunya sebagai hamba Allah. Untuk itu, orang tua harus secara sadar menciptakan lingkungan yang dapat menjamin berkembangnya seluruh potensi dan kemampuan seorang anak. Tanggungjawab terbesar bagi orang tua dalam keluarga adalah menanamkan sendi-sendi agama, utamanya keimanan kepada anaknya.

1

Ronald C. Johnson, Child Psychology, Behavior and Development, John Wiley, Inc., New York, 1969, hal. 343.

2

Francis J. Di Vesta & George G. Thompson, Education Psycology, Meredith Corporation, New York, 1970, hal. 71.


(3)

Tak ada satupun keburukan dan kerugian

amal perbuatan yang baik. Allah Swt

“Demi masa. Kecuali orang menasehati sup menetapi kesa Ayat di atas mengis azab Allah dapat tercapai pendidikan individu yang membawa manusia pada Kedua pendidikan keluarga. manusia pada sikap saling ketika menghadapi kesulitan.

Ketiga bentuk pendidikan formal, pendidikan informal, mengandalkan hanya

fenomena kemerosotan seratus persen pendidikan diharapkan serta merupakan lembaga pedidikan

pendidikan di suatu schooling sebuah proses transfer

3

Depag RI, Al-Qur’an 4

Abdurrahman An

(Terjmhan. Shihabuddin), Gema Insani P

5

Ahmad Tafsir,

satupun yang dapat menyelamatkan seorang anak kerugian kecuali dengan keimanan kepada Allah

yang baik. Allah Swt. berfirman dalam surat al-‘Ashr ayat 1

masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam orang-orang yang beriman dan beramal sholeh ati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehat

kesabaran”.3

atas mengisyaratkan bahwa keselamatan manusi dari dapat tercapai melalui tiga macam pendidikan, ya individu yang membawa manusia pada keimanan dan manusia pada amal shaleh dalam menjalani kehidupan pendidikan keluarga. Ketiga, pendidikan masyarakat ya

sikap saling pesan dalam kebenaran dan saling memberi menghadapi kesulitan.4

bentuk pendidikan tersebut dapat dilaksanakan melalui n informal, maupun non formal. Untuk itu, kita hanya pada pendidikan formal ketika menghadapi

kemerosotan moral pada generasi muda saat ini. Mempercayakan pendidikan agama ke sekolah bukanlah penyel

serta merupakan tindakan berbahaya.5 Tanggungjawab pedidikan formal sangatlah terbatas. Proses yang

suatu schooling system tak lebih dari pada pengajaran fer ilmu pengetahuan dan keahlian dalam kerangka

Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, 1971.

man An-Nahlawi, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah

uddin), Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hal. 27.

afsir, Pendidikan Agama Dalam Keluarga, Rosdakarya, Bandung, 1

2

seorang anak (manusia) dari kepada Allah yang diiringi

‘Ashr ayat 1-3:

benar dalam kerugian. sholeh serta nasehat nasehat menasehati supaya manusi dari kerugian dan pendidikan, yakni; pertama, keimanan dan ketundukan kehidupan sehari-hari. masyarakat yang membawa

saling memberi kekuatan

dilaksanakan melalui pendidikan itu, kita tidak dapat menghadapi berbagi ini. Mempercayakan bukanlah penyelesaian yang Tanggungjawab dan peranan yang terjadi dalam pada pengajaran belaka, dalam kerangka

tekno-Sekolah dan Masyarakat


(4)

struktur yang ada.6 Akibatnya, pendidikan agama di sekolah hanyalah sekedar membantu pendidikan agama yang ada dalam keluarga, dan biasanya hanya bersifat kognitif saja.

Memang, jarang sekali orang tua menyadari bahwa kunci pendidikan di sekolah ada pada pendidikan agama dalam rumah tangga, dan inti pendidikan rumah tangga adalah pendidikan keimanan.7 Tugas dan tanggungjawab orang tua memang tidak ringan, sebab menanamkan keimanan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Iman merupakan sesuatu yang abstrak dan letaknya dalam hati. Namun, buah iman dapat direfleksikan dalam bentuk tingkah laku pada diri seseorang yang menyatu dalam kepribadian.

Kepribadian sempurna adalah kepribadian yang selaras antara iman dan amal, antara hati dan tingkah laku. Karenannya, Allah swt tidak hanya menghukumi manusia dari tingkah laku yang terlihat semata, tetapi juga apa yang tersirat dalam hatinya. Sebab, sikap-sikap psikologis biasanya mendahului tingkah laku lahir manusia. Intensi untuk berbuat ataupun tidak melakukan perbuatan merupakan gambaran dari kesan praktis yang dianggap bagian dari pada tingkah laku itu sendiri.8

Menurut teori Bloom dkk, pembinaan pendidikan harus mencakup tiga macam ranah (domain), yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik).9 Oleh karena itu, pembinaan keberagamaan pun harus mempertimbangkan keseimbangan dan keharmonisan perkembangan ketiga aspek tersebut. Pembinaan aspek jasmani sebagai bagian dari ranah psikomotor teraktualisasikan dalam berbagai bentuk ibadah ritual, seperti shalat, berwudhu, mengurus jenazah dan sebagainya. Pengembangan ranah kognitif pun telah banyak diajarkan di sekolah-sekolah.

6

Azumrdi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,

Logos, Jakarta, 1999, hal. 3

7

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Rosdakarya, Bandung, 1991, hal. 187

8

Abdurrahman Saleh Abdullah,Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, Rineka Cipta, Jakarta, 1982, hal. 84

9

Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Rosdakarya, Bandung, 1999, hal 124


(5)

Misalnya, pengetahuan Disamping kedua ranah perhatian serius, yakni beragama yang intinya ada dapat di ajarkan di sekolah. dan keterampilannya, tetapi qalbu atau hati tidak

berhak mendapatkan pahala dalam surat al-Baqarah ayat 284:

Kepunyaan Allah bumi. Dan jika

kamu menyembunyikannya, dengan kamu

yang dikehendaki Allah Maha K

Sabda Rasulullah saw:

ىﻮﻧﺎﻣ ءﺮﻣا ﻞﻜﻟ ﺎﻤﻧاو

Dari Umar r.a

perbuatan hanya dihitung hanyalah sesuai

Muslim).10

10

Muhammad bin

bab Iman Hadits ke 53, Daar El Fikr, Kairo, 19

pengetahuan tentang shalat beserta rukun dan s kedua ranah tersebut, terdapat ranah ketiga yang mesti serius, yakni domain afektif. Aspek ini mencakup

ntinya ada pada iman. Iman inilah yang mesti ditan ajarkan di sekolah. Dalam aspek iman ini, yang dibina bukan

nnya, tetapi ruhani atau qalbunya. Apapun yang tersimpan dapat terdeteksi dari luar. Namun, dari aspek

mendapatkan pahala maupun siksa dari Allah SWT, firman Baqarah ayat 284:

Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat

kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Sabda Rasulullah saw:

ﻰﻠﺻ ﷲ ل ﻮﺳر نا ﮫﻨﻋ ﷲ ﻲﺿر ﺮ

ﯿﻨﻟ ﺎﺑ لﺎﻤﻋﻻا

ىﻮﻧﺎﻣ ءﺮﻣا ﻞﻜﻟ ﺎﻤﻧاو

Umar r.a bahwsannya Rasulullah saw bersabda: perbuatan hanya dihitung jika disertai dengan niat, dan untuk hanyalah sesuai dengan apa yang diniatkannya”. (H.R.

Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari, Shah

Daar El Fikr, Kairo, 1981 M, hal. 34

4

dan syarat-syaratnya. yang mesti mendapat mencakup masalah sikap mesti ditanamkan dan tak dibina bukan intelektual yang tersimpan dalam aspek inilah manusia SWT, firman Allah Swt

langit dan apa yang ada di di dalam hatimu atau membuat perhitungan Allah mengampuni siapa dikehendaki-Nya; dan

ﻤﻋ ﻦﻋ

ﻰﻠﺻ ﷲ ل ﻮﺳر نا ﮫﻨﻋ ﷲ ﻲﺿر ﺮ

ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ

:

ﯿﻨﻟ ﺎﺑ لﺎﻤﻋﻻا

bersabda: “Segala amal dan untuk setiap orang (H.R. Bukhari dan


(6)

Dengan demikian, tanggung jawab setiap insan berada pada tingkahlaku lahir beserta niatnya. Untuk itu, tanggungjawab orang tua adalah membimbing anak-anaknya agar iman yang telah bersemi dalam jiwa mereka dapat berbuah menjadi tingkah laku mulia.

Secara umum, tanggungjawab orang tua muslim adalah mendewasakan seorang anak. Artinya, secara sadar orang tua harus membimbing dan mengarahkan pertumbuhan pitrah (kemampuan dasar) anak kearah titik maksimal perkembangannya. Potensi beriman dan beragama merupakan salah satu fitrah manusia sebagai anugrah dari Allah Swt.11 Untuk itu, inti dari proses pendewasaan anak terletak pada keimanan, yakni mengikat anak dengan dasar-dasar iman, mengajari dan membiasakan melaksanakan syari’at Islam.

Pendidikan keimanan inilah yang menjadi kunci keberhasilan pendidikan secara keseluruhan, baik dalam rumah tangga, sekolah, maupun masyarakat. Selama ini, seorang anak sering hanya dibekali pengetahuan agama yang kognitif saja, sedangkan penanaman dasar-dasar keimanan hanyalah selogan semata, ungkapan tanpa realitas. Akibatnya, anak mempunyai pengetahuan banyak dan berotak cerdas, namun mempunyai tingkah laku yang tak sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Sering kita lihat, semakin banyak anak yang tidak lagi hormat pada guru maupun orang tuanya di rumah. Bahkan sering kita baca di media massa, seorang anak yang tega membunuh orang tuanya hanya karena persoal salah paham semata. Dan tragis lagi hal itu terjadi dalam keluarga beridentitas muslim.

Memang, zaman telah berubah. Putaran dan pergantian masa berlalu begitu cepat. Suasana lingkungan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa dampak besar terhadap perubahan nilai-nilai masyarakat, juga dalam kehidupan beragama. Untuk itulah, orang tua harus memberikan bekal yang cukup pada anaknya. Tidak hanya bekal materi belaka, namun yang terpenting adalah bekal keimanan. Apabila orang tua hanya memberikan bekal seadanya, dikhawatirkan kelak saat anak-anak menghadapi zaman yang semakin rumit tak

11

Ibrahim Muhammad Atho’, Thuruq Tadris al-Tarbiyah al Islamiyah, Maktabah al Nahdiyah, Kairo, 1996, hal. 211


(7)

6

akan mampu mengarungi rona kehidupan. Bisa jadi mereka bahkan terbawa arus yang menjauhkannya dari sendi-sendi agama. Selaras dengan hal itu, Rasulullah Saw. pernah mengingatkan:

ﻢﻜﻧﺎﻣز ﺮﯿﻏ ﻦﻣﺰﻟ نﻮﻗﻮﻠﺨﻣ ﻢﮭﻧﺎﻓ ﻢﻛدﻻوااﻮﻤﻠﻋ

“Didiklah anak-anak kalian, karena mereka itu dijadikan buat menghadapi zaman yang sama sekali berbeda dengan zaman kalian.12

Pendidikan masa mendatang memang sangat berbeda dengan pendidikan masa kini ataupun masa sebelumnya. Namun, di mana dan kapanpun, iman haruslah tetap dijadikan dasar pendidikan.13 Bekal iman pulalah yang diberikan Luqman al-Hakim pada anaknya ketika melakukan proses pendidikan.14 Dalam wasiatnya, Luqman menempatkan tauhid (keimanan) sebagai perioritas pertama dan utama, baru kemudian pendidikan akhlak dan sosial kemasyarakatan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwasannya pendidikan keimanan merupakan inti yang mendasari segi-segi pendidikan lainnya. Keberhasilan pendidikan keimanan akan berdampak terhadap pendidikan akhlak dan juga pendidikan sosial. Dengan keimanan yang benar, seorang anak akan taat melaksanakan perintah Allah swt., menghormati orang tua, guru, dan selalu menampakkan akhlak mulia dalam lingkup pergaulannya.

Melihat begitu pentingnya pendidikan keimanan, maka hendaknya pendidikan tersebut sudah dimulai sejak masih dalam kandungan ibunya. Bahkan bisa lebih dini lagi yakni saat memilih dan menentukan jodoh (pendamping hidup). Saat seorang anak menginjak dewasapun mereka masih memerlukan bimbingan dan dukungan dari orang tua serta keluarganya.15 Pendidikan tidak boleh berhenti hanya karena seorang anak telah dianggap dewasa. Pendidikan

12

Athiyah al Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam,Bulan Bintang, Jakarta, hal. 35

13

Fadhil al- Jamali,Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam, Golden Terayon Press, Jakarta, 1993, hal. 45. Dan Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama Dalam Keluarga, hal.73

14

Lihat al-Qur’an surat Luqman ayat 12-19

15

Mustofa Abdul Hamid, Al-Usroh Fi al Islam, Maktabah Daar al-Arwalah, Kairo, 1961, hal. 13


(8)

keimanan harus dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan, sebab iman merupakan sesuatu yang mudah berubah. Iman, yang letaknya di dalam hati-sebagaimana suasana hati selalu tidak stabil dan mudah berubah. Sifat hati manusia senantiasa bolak balik, tidak tetap. Kadang bersih, kuat iman, bercahaya, lemah lembut. Namun, suatu saat bisa berubah menjadi kotor, lemah iman, gelap gulita, buta akan sebuah kebenaran.16 Karenanya, iman yang ada di hati haruslah diberi pembinaan yang terus menerus. Pendidikan Islam yang berintikan keimanan merupakan proses pendidikan yang tidak mengenal batas umur dan jenis kelamin17 Hadits tersebut mengacu pada hadis Rasulullah Saw, sebagai berikut:

ﻦﺑا ﺲﻧا ﻦﻋ

لﺎﻗ ﮫﻨﻋ ﻲﺿر ﻚﻟﺎﻣ

:

ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﷲ لﻮﺳر لﺎﻗ

ﻢﻠﺳو

:

ﻢﻠﺴﻣ ﻞﻛ ﻰﻠﻋ ﺔﻀﯾﺮﻓ ﻢﻠﻌﻟا ﺐﻠظ

“Dari Anas bin Malik r.a berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap orang Islam” ( H. R. Ibnu Majah)18

Dalam lingkup pendidikan keluarga inilah, peran orang tua sangat mendasar. Mereka dituntut untuk tetap mengarahkan anak-anaknya ketika kembali kerumah orang tuanya, baik ketika anak telah menamatkan pendidikannya maupun karena putus sekolah. Tanggungjawab pendidikan yang sebelumnya dilakukan bersama-sama dengan pendidikan formal, secara otomatis akan kembali menjadi tanggungjawab orang tua sepenuhnya. Demikian pula jika seorang anak masih tinggal dengan orang tuannya ketika dia sudah berkeluarga maupun sudah bekerja (mandiri). Orang tua tak bisa berlepas tangan begitu saja terhadap pendidikan keimanan anak-anaknya. Mengapa anak yang telah dewasa masih perlu bimbingan orang tuanya? Hal tersebut dikarenakan, pendidikan

16

Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an, Gema Insani Press, Jakarta, 1999, hal, 87

17

Ibnu Musthafa,Keluarga Islam Menyongsong Abad 21, Al-Bayan, Bandung, 1993, hal. 98

18

Abi Abdul Muhammad bin Yazid al-Qozwiny Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz I, Maktabah Dahlan, Jakarta, Muqaddimah Bab IV, hal. 81


(9)

keimanan merupakan pendidikan kedewasaan seorang anak. dimana mereka mulai

Ruang lingkup Tanggungjawab orang menutup mata. Itulah Allah dalam surat al-Syu’

“Dan berilah peringatan kepada kerabat Dalam ayat

diperintahkan untuk memberi anak, isteri, menantu

tanggungjawab seorang tanggungjawab untuk diperlukan. Apalagi ketika mereka masih termasuk

masih berkewajiban membimb berfirman dalam al-Qur’an surat At

Hai orang-orang api neraka ya malaikat-malaikat terhadap apa

mengerjakan apa yang diperintahk

merupakan pendidikan yang berkesinambungan dan tidak seorang anak. Apalagi seorang anak yang lagi menginjak dimana mereka mulai belajar bertanggungjawab pada dirinya sendiri.

lingkup pendidikan keluarga memang

orangtua terhadap anak baru akan berakhir apabila Itulah batas akhir tanggungjawabnya sebagaimana

Syu’araa’ayat 214:

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”. ayat tersebut di atas, tersirat bahwasannya seorang

untuk memberi peringatan pada seluruh kerabat dekatnya, nantu maupun keluarga dekatnya yang lain. Artinya,

seorang tua telah terlepas saat anaknya menikah, untuk selalu mengingatkan dalam berbuat kebaikkan alagi ketika seorang anak Sudah dewasa namun belum termasuk anggota inti keluarga orang tuanya, sehingga berkewajiban membimbing mereka dalam menigkatkan keimanan.

Qur’an surat At-Tahrim ayat 6:

orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;

malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka

mengerjakan apa yang diperintahkan.

8

dan tidak dibatasi oleh lagi menginjak dewasa, ada dirinya sendiri.

memang sangat luas. berakhir apabila di telah sebagaimana diperintahkan

kerabatmu yang terdekat”. bahwasannya seorang muslim

kerabat dekatnya, baik lain. Artinya, meskipun ya menikah, namun kebaikkan masih tetap namun belum menikah, sehingga orangtuanya menigkatkan keimanan. Allah

dan keluargamu dari dan batu; penjaganya tidak mendurhakai Allah mereka dan selalu


(10)

Ali bin Abi Thalib menafsirkan kata ”jagalah” dengan “didik” dan “ajarilah”, sedangkan Ibnu Abbas menafsirkan kata tersebut dengan “ajak dan suruhlah” keluargamu untuk beramal dan beribadah kepada Allah Swt. Serta hindarkan dan jauhkan mereka dari perbuatan maksiat.19 Sementara itu, Syekh Ismail Al-Buruzawiy, Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i dan Abu ja’far Muhammad bin Jarir al Thabari memberikan penafsiran terhadap ayat tersebut bahwasannya setiap mukmin berkewajiban untuk membimbing diri dan keluarganya melalui jalan pendidikan dan do’a agar terhindar dari murka Allah, baik di dunia maupun di akhirat.20Dalam ayat tersebut tersirat adanya kewajiban orang tua untuk mendidik putra putrinya dengan memberi teladan yang baik dan juga membiasakannya hidup dalam petunjuk agama. Orang tuanya juga akan memilihkan lingkungan yang baik, sehingga ia akan menjadi manusia yang selamat dunia akhirat.21

Tak diragukan lagi bahwa kewajiban orang tua dalam mendidik keluarganya ternyata tidak mengenal batas waktu, usia, maupun tempat. Selama anak masih menjadi anggota keluarganya, maka orang tua tetap memiliki kewajiban membimbing dan mendidiknya. Namun, pandangan tersebut akan jauh berbeda jika kita melihat definisi pendidikan yang dikemukakan para ahli saat ini. Dengan pandangan bahwa pendidikan adalah usaha orang dewasa untuk mendewasakan anak yang belum dewasa, maka secara otomatis pendidikan akan berhenti jika sang anak telah dianggap dewasa. Tanggungjawab orang tua juga telah selesai jika seorang anak telh dewasa menurut persepsi orang tua masing-masing.

Sebagian orang tua menganggap tanggungjawabnya selesai jika sang anak telah dinikahkan dan dianggap mampu bertanggungjawab terhadap diri dan keluarganya. Ada pula orang tua yang menganggap anaknya telah dewasa ketika

19

Abu al Fida Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim Jilid IV, Daar al Fikr, Beirut, 1986, hal. 392

20

Lihat Syekh Ismail al-Buruzawiy,Tafsir Ruh al-Bayan Jilid X,Daar al Fikr, Beirut,tt, hal. 85

21

Muhammad Ali Quthb, Sang Anak Dalam Naungan Pendidikan Islam, Diponegoro, Bandung, 1993, hal. 59


(11)

10

anak tersebut mendapatkan pekerjaan karena dianggap mampu mencukupi dirinya sendiri. Dengan anggapan bahwa anaknya telah dewasa. Itulah maka orang tua tak mau lagi turut campur terhadaap problema dan pendidikan anak.

Berbagai fenomena di atas, menjadikan sebagian orang tua merasa bingung dalam menerapkan pendidikan dan tanggungjawabnya pada anak yang mulai berangkat dewasa. Hal tersebut dikarenakan setiap orang tua mempunyai penilaian tersendiri akan kedewasaan anak-anak mereka. definisi kedewasaan yang dikemukakan para ahli saat ini, memang sebanyak persepsi orang tua atas kedewasaan anak mereka. pada prinsipnya, kedewasaan tidak dapat diukur hanya dari umur seseorang. Tak jarang anak yang fisiknya telah dewasa secara biologis, namun psikisnya masih kekanak-kanakan. Untuk itulah, kedewasan haruslah dilihat dari bebagai segi.

Kedewasaan secara fisik ditandai dengan berhentinya pertumbuhan fisiknya di masa akhir remaja. Sementara itu, dewasa psikis harus dilihat dari sikap mental, sosial, akhlak dan keagamaannya. Kedewasaan psikis ini salah satunya ditandai dengan telah selesainya pembentukkan kepribdian seseorang. Menurut ilmu pendidikan, seseorang telah dikatakan dewasa jika ia telah benar-benar matang secara jasmani dan rohani, secara fisik dan psikis.22 Sedangkan menurut hukum, seseorang dianggap dewasa apabila telah berumur 21 tahun, sehat pikiran ataupun telah menikah. Batas usia 21 tahun ditetapkan sebagai batas kedewasaan, sebab dalam usia tersebut seseorang sudah dapat dikenai hukum.23 Dalam usia tersebut anak jug telah mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara, juga telah melakukan kewajiban dan tanggungjawab secara hukum tanpa tergantung pada orang tuanya.24 Sementar itu, dari segi agama seseorang di

22

Umar Hasyim, Mendidik Anak Shaleh,Bina Ilmu, Surabaya, 1993, hal. 128

23

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 5

24

F.J. Monks, Psikology Perkembangan (terjmhn. Siti Rahayu Haditomo), Gema Insani Press, Yogyakarta, 1999, hal.290.


(12)

katakan dewasa apabila telah menjadi baligh dengan ditandai oleh direalisasikan secara konsekuen dalam kehidupan sehari-hari.25

Menurut Elizabeth B. Hurlock, kedewasaan seseorang mulai memasuki usia dewasa awal adalah sebagai berikut:

Masa dewasa adalah periode yang paling panjang dalam masa kehidupan. Dimulai dari masa dewasa awal (early adulthood) yang terbentang sejak terjadinya kematangan secara hukum (18 tahun) sampai kira-kira usia40 tahun,dialami sekitar 20. Selanjutnya, masa setengah baya yang dimulai ketika usia 40 tahun dan berakhir saat usia 60 tahun. Juga dialami sekitar 20 tahun. Dan akhirnya masa tua (old age) yang di mulai sejak berakhirnya masa setengah baya sampai seseorang meninggal dunia.26

Elizabeth Lee Vincent, memberi batasan bagi usia dewasa awal yang dimulai pada usia 21 tahun sampai awal empat puluhan.27 Para pakar psikologi di Indonesia pada umumnya mematok usia 21 tahun sebagai batas seseorang memasuki wilayah kedewasaan. Zakiah Daradjat mengatakan bahwa masa remaja berakhir saat seseorang memasuki usia 21 tahun, namun untuk kematangan beragama beliau memperpanjangnya hingga usia 24 atau 25 tahun.28

Dengan adanya definisi di atas, kedewasaan manakah yang paling tepat digunakan oleh orang tua dalam menerapkan pendidikan kepada anak-anaknya? Harus bagaimanakah model pendidikan keimanan diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya yang lagi menginjak usia dewasa? Mengacu dari berbagai fenomena tersebut, akan sangat menarik apabila diadakan penelitian lebih lanjut dalam bentuk tesis, dengan judul: Pendidikan Keimanan bagi Usia Dewasa Awal menurut perspektif Islam (Early Adulthood, 18-30 Tahun).

25

Jalaluddin Rahmat, Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Modern,Rosdakarya, Bandung, 1992, hal. 13

26

Elizabeth B Hurlock,op.cit,.hal 290

27

Elizabeth Lee Vincen dan phylips C. Martin, Human psycological Development, he Ronald Press Comp, 1961, hal.

28


(13)

12

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan di atas, maka rumusan masalah penelitian yaitu: Bagaimana pendidikan keimanan bagi usia dewasa awal menurut perspektif Islam?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah berupaya menjawab berbagai permasalahan yang menjadi inti kajian dalam tulisan ini, yakni: untuk menganalisis konsep pendidikan keimanan bagi usia dewasa awal menurut perspektif Islam. Agar tujuan utama tercapai, perlu diketahui hal-hal sebagai berikut: pandangan Islam terhadap pendidikan keimanan bagi usia dewasa awal, ciri-ciri perkembangan usia dewasa awal dilihat dari segi fsik, psikis, intelektual, emosi, sosial dan agama, berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan kepribadian usia dewasa awal, pola pendidikan keimanan yang efektif dan sesuai untuk usia dewasa awal.

Adapun kegunaan hasil penelitian yaitu bagi para orang tua ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan pendidik muslim, khususnya bagi mereka yang memiliki generasi penerus berusia dewasa awal (18-30 tahun). Dikarenakan kelangkaan literatur tentang pedidikan keimanan bagi usia dewasa awal, maka tulisan ini juga diharapkan dapat memperkaya khazanah perpustakaan sebagai penunjang keberhasilan pendidikan Islam.

D. Kerangka Pemikiran

Pendidikan (pedagogy) merupakan kegiatan membimbing anak manusia menuju kedewasaan dan kemandirian29 dengan jalan mengembangkan kemampuan dasar anak tersebut sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan bakat yang dibawanya.30 Berbagai potensi yang ada pada manusia , baik fisik, akal, maupun psikis, akan senantiasa berkembang secara terus menerus. Proses

29

Kartini Kartono, Pengantar Mendidik Teoritis:Apakah Pendidikan Masih diperlukan?, CV. Mandar Maju, Bandung, 1992, hal. 22

30


(14)

pertumbuhan dan perkembangan pembuahan dan berlangsung

yang difirmankan Allah Swt dalam surat

“Dialah yang menciptakan sesudah itu dari

seorang anak,

kepada masa dewasa, kemudian dibiarkan kamu hidup l diantara kamu

supaya kamu memahaminya. Para psikologi gabungan yang komplek

(hereditas) meliputi pembawaan, (potensi religius).33

dikembangkan dan dikelola. namun tetap membawa potensi

Pengembangan tanggungjawab orang

apakah akan menjadi Nasrani, peran lingkungan keluarga demikian, pembwaan,

watak serta kepribadian seorang anak.

31

Hadari Nawawi,

32

Francis J.Di Vesta d

33

Kartini Kartono,

34

Subina Hadisubro Bandung, 1994, hal.65

dan perkembangan dalam diri seseorang dimulai sejak berlangsung terus sampai manusia menutup usia. yang difirmankan Allah Swt dalam surat al- Mukmin ayat 67:

yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya

kepada masa dewasa, kemudian dibiarkan kamu hidup lagi sampai tua, dan kamu ada yang diwafatkan sebelum itu.(Kami berbuat

kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan memahaminya.

psikologi berpendapat bahwa proses perkembangan komplek antara bakat lahir dan kondisi lingkungan. meliputi pembawaan, potensi-potensi fisik dan psikis,

33

Fitrah yang termasuk potensi dasar dan dikelola. Sebab, meski sifat fitrah laksana kertas namun tetap membawa potensi-potensi yang berasal dari kedua orang

Pengembangan potensi fitrah yang ada pada diri

orang tuanya. Ibu bapaknyalah yang akan menentukan menjadi Nasrani, Yahudi dan Majusi atau Muslim sejati. lingkungan keluarga sangat berpengaruh pada diri seorang

pembwaan, lingkungan dan pola asuh orang tua akan watak serta kepribadian seorang anak.

wawi, Pendidikan Dalam Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1993 Francis J.Di Vesta dan George G. Thompson, op. Cit.,hal.70

Kartini Kartono, Psikologi Anak,Mandar Maju, Bandung, hal. 241 Hadisubroto, Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Modern,

dimulai sejak terjadinya menutup usia.31 Demikianlah

kemudian dari setetes mani, dilahirkannya kamu sebagai supaya kamu sampai kepada masa dewasa, kemudian dibiarkan kamu hidup lagi sampai tua, dan itu.(Kami berbuat demikian) ukan dan supaya kamu perkembangan merupakan lingkungan.32 Bakat lahir dan psikis, dan fitrah

dasar masih harus laksana kertas putih bersih, berasal dari kedua orang tua.34

diri anak menjadi akan menentukan dia, Muslim sejati. Di sinilah seorang anak. Dengan tua akan meembentuk

baya, 1993, hal. 59


(15)

14

Menurut pakar psikologi, kepribadian merupakan suatu mekanisme yang mengendalikan dan mengarahkan sikap dan prilaku seseorang.35 kepribadian terbentuk melalui semua pengalaman dan nilai-nilai yang diserap anak dalam pertumbuhannya, terutama pada tahun-tahun pertama usianya. Jika nilai-nilai agama banyak masuk ke dalam pembentukan kepribdian seseorang, tingkah lakunya akan diarahkan dan di kendalikan oleh nilai-nilai agama. Di sinilah letak pentingnya pengalaman dan pendidikan agama (keimanan) pada masa-masa pertumbuhan dan perkembangan seorang anak

Menurut Zakiah Daradjat, proses pembentukan kepribadian seseorang terjadi dalam masa yang panjang, sejak masih berada dalam kandungan sampai usia kurang lebih 21 tahun.36 Di usia dewasa muda inilah, kepribadian seseorang sudah mulai memperlihatkan karakteristik masing-masing. Untuk itu, dalam usia dewasa muda diperlukan usaha pendidikan dan pembinaan keimanan yang berkesinambungan agar terbentuk kepribadian muslim yang di dambakan. Tepatlah Islam yang telah mempormulasikan adanya konsep belajar sepanjang hayat (livelong learning) yang mengacu pada sunnah Rasulullah Saw.:

ﻟا اﻮﺒﻠطا

ﺪﺤﻠﻟا ﻰﻟا ﺪﮭﻤﻟا ﻦﻣ ﻢﻠﻌ

“Tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang lahat” (H.R. Ibn Abd al-Baar).37

Dalam hadits tersebut, Rasulullah mengajurkan untuk menuntut ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat. Dengan demikian, lembaga yang paling memungkinkan untuk melaksanakan anjuran tersebut bukanlah sekalah formal saja, tetapi juga pendidikan keluarga. Dalam keluarga, seorang anak belajar secara terus menerus untuk mengembangkan kepribadiannya. Tempat menuntut ilmu yang di mulai dari al-Mahad serta berakhir di al-lahd, berada dalam

35

Zakiah Daradjat, Keluarga Muslim Dalam Msyarakat Modern, Rosdakarya, Bandung, 1994, hal. 64

36

Ibid, hal. 65

37


(16)

lingkungan keluarga, yakni lingkungan pertama yang dikenal seorang manusia dan lingkungan terakhir yang mengantarnya ke liang lahat.

Kata al-mahddiartikan sebagai tempat tidur (ayunan bayi)38. Baihaqi A.K. menafsirkan kata al-mahd sebagai tanah dataran rendah, hamparan, atau ayunan. Dengan pengertian tersebut al-mahd bisa juga berarti rahim ibu sebuah ayunan dan buaian pertama dan ekslusif seorang bayi.39 Dasar inilah yang digunakan sebagai rujukan sebuah teori pendidikan yang mengatakan bahwa anak sudah mulai mampu menerima pendidikan jauh sebelum dia lahir ke dunia. Tentu saja, bukan dalam arti secara aktif menuntut ilmu, tetapi ia telah dapat merespon segala stimulus edukatif yang diberikan orang tuanya. Proses pendidikan tersebut akan berlangsung secara terus menerus sampai seorang bayi berangsur menjadi kanak-kanak dan manusia dewasa, yang pada akhirnya akan masuk ke liang lahat.

Dengan adanya perubahan dan perkembangan pada diri manusia, maka sudah sewajarnya jika pendidikan yang diberikan orang tua pada anaknya juga mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan fisik, emosi, intelektual, dan keagamaan seorang anak. Inilah prinsip terpenting dalam Islam.

Iman adalah kepercayaan dalam hati, meyakini, dan membenarkan adanya Allah Swt. serta membenarkan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Keimanan ini dianggap sempurna jika benar-benar diyakini dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan dibuktikan melalui perbuatan. Dengan demikian, pendidikan keimanan merupakan kegiatan membimbing seorang anak ke arah kedewasaan dan kemandirian disertai dengan keimanan yang sempurna. Yakni keimanan yang tidak sekedar tashdiq (pengakuan dalam hati) dan iqrar (pengakuan dalam bentuk ucapan), namun harus disertai dengan amal perbuatan.40 Proses pendidikan keimanan ini berlangsung secara berkesinambungan dan disesuaikan dengan tahap perkembangan seorang anak. Pendidikan keimanann bagi anak usia 0 – 6 tahun,

38

Attabik Ali Ahmad Zuhdi Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yayasan Ali Maksum,Krapyak, 1998, hal. 1852.

39

Baihaqi A.K. ,Pendidikan Agama Dalam Keluarga Bagi Anak Prenatal,op. Cit.,hal. 26-27.

40

Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi; Telaah atas Metode dan Pemikiran Teologis Sayyid Quthb, Sunan Gunung Djati Press, Bandung, 1999, hal. 110


(17)

16

tidaklah sama dengan pola yang harus diberikan pada anak usia 6- 12 tahun. demikian pula bentuk pendidikan keimanan anak usia remaja 13 – 18 tahun tidak boleh disamakan begitu saja dengan pola pendidikan usia dewasa awal (18 – 30 tahun). untuk itu pendidikan keimanan yang diberikan orang tua pada anaknya harus dilakukan secara bertahap.

Ketika seorang anak masih berada dalam ayunan ibunda, pola pendidikan sepenuhnya berada pada tangan ibunya. Bisikan-bisikan kalbu seorang ibu akan memberikan respon dalam diri anak. Maka, pada tahap ini pendidikan keimanan hendaknya bertujuan agar anak mampu menghayati suasana kehidupan religius dalam kelurganya.41 Pada tahap berikutnya, pendidikan diarahkan agar anak mampu melafalkan kata-kata religius, mengucapkan ayat-ayat pendek, dan menggunakan do’a pada situasi yang tepat. Di masa ini, metode yang diberikan masih bersifat kongkrit, bahkan kadang-kadang masih diperlukan metode paksaan untuk membiasakan anak menjalankan syari’at agama. Selanjutnya pada saat menginjak usia remaja pendidikan keimanan diarahkan pada pembentukan kepribadian yang di dalamnya terjalin niali-nilai keimanan, sehingga dapat menjadi pengarah dan pengendali perilakunya. Pada masa akhir kanak-kanak inilah pendidikan keimanan harus lebih intensif, sebab di saat itu anak menghadapi perubahan yang cepat pada dirinya dan tidak jarang membawa kegoncangan emosi.42 Ketika anak sudah melewati masa remaja, orang tua pun tidak boleh terlepas tangan begitu saja dalam pendidikan keimanannya. Meninggalkan masa remaja yang ceria untuk memasuki periode dewasa yang serius dapat menjadi problem tersendiri bagi seorang anak. Di sinilah peran orang tua sangat diharapkan. Mereka dapat berperan banyak dalam memeperteguh dan meningkatkan keyakinan serta keimanan yang di miliki usia dewasa muda. Sangat penting bagi orang tua untuk selalu meluruskan jiwa pemuda agar terbangun akhlak mulia disertai keimanan yang selalu meningkat.43 Dengan demikian, saat sang anak memasuki usia dewasa ia akan lebih siap dalam menghadapi segala

41

Djawad Dahlan,Pendidikan Agama Dalam Keluarga, (editor Ahmad Tafsir), hal. 89

42

Zakiah Daradjat, Op. Cit.,hal. 101.

43Muhammad Abdul Qadir Ahmad,Thurq Ta’lim al Tarbiyah al Islamiyah, Maktabah al-Nahdhah al Misriyyah, Kairo,.1981, hal. 24.


(18)

problem yang akan ditemuinya saat mengarungi kehidupan, sehingga ia menjadi seorang muslim sejati.

Masa setelah remaja atau dewasa awal adalah fase perkembangan saat seorang remaja mulai memasuki masa dewasa (18-30 tahun). Saat menginjak usia dewasa muda, proses perkemabangan organ-organ jasmaniah tertentu, meskipun sangat lamban, masih berlangsung hingga kira-kira usia 24 tahun.44 Pemuda pemudi dalam usia ini bukan lagi anak-anak yang dapat kita nasehati dan di didik dengan mudah, dan bukan pula orang dewasa yang dapat dilepaskan untuk bertanggungjawab atas pembinaan pribadinya.45 Di usia ini mereka adalah manusia yang sedang berjuang mencapai kedudukan sosial, bertarung dengan berbgai problema hidup guna memastikan diri dan mencari pegangan untuk ketentraman batin dalam menghadapi perjuangan hidup.

Banyak tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui usia dewasa muda dan itu bukanlah tugas yang ringan. Diantaranya, mereka mulai memasuki kehidupan berumah tangga yang di dahului dengan memilih jodoh yang cocok. Mereka mulai dituntut secara sungguh-sungguh untuk menjadi orang tua muda dalam lingkungan keluarga dan anggota masyarakatnya.46 Mereka juga harus mulai menerima tanggungjawab kewarganegaraan maupun tuntutan sosial yang berlaku di masyarakat. Akhirnya mulailah mereka berpikir tentang tanggungjawab sosial, moril, ekonomi, maupun keagamaan. Perspektif keagamaannya menjadi luas, nilai-nilai kehidupan mulai timbul, pengetian pun mulai diperdalam hingga akan muncullah tanggungjawab kepribadian dan kewanitaan yang dewasa.47

Karena demikian beratnya tugas yang mesti dijalankan oleh anak yang menginjak usia dewasa, maka tidak jarang pada usia ini mereka mengalami kegoncangan jiwa dan ketidakstabilan dalam beragama. Terkadang, mereka sangat tekun dalam menjalankan ibadah, namun dilain waktu terlihat enggan melaksanakannya, bahkan terkadang menunjukkan sikap seolah-olah anti

44

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan,Rosdakarya, Bandung, 1995, hal. 51.

45

Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hal. 152

46

Abdul Wahib dan Mustaqim, Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal.51

47


(19)

18

agama.48 sebuah kekecewaan hidup yang dialaminya dapat membawa akibat terhadap sikap beragamanya. Untuk itu, orang tua tidak cukup hanya memikirkan materi pendidikan yang akan diberikan saja, namun jauh lebih penting adalah adanya pendekatan dan pemahaman yang mendalam terhadap mereka secara individu. barulah setelah itu dipikirkan cara dan metode pendidikan keimanan yang sesuai bagi mereka, sehingga dapat membuat mereka semakin istiqamah dan mantap dalam beragama.

Dari sinilah seorang anak akan menjadi pribadi yang mempunyai kesadaran beragama matang, sebab aagama telah menjadi pusat kehidupan dan mewarnai seluruh aspek kepribadiannya. Agama bukan hanya melandasi tingkah laku yang nampak belaka, tetapi juga mewarnai sikap, pemikiran, kemauan dan i‘tikad yang ada dalam dirinya.49 kepribadian muslim sejati inilah yang dicita-citakan oleh Islam dan menjadi tujuan pendidikan keimanan bagi usia dewasa awal (18-30 tahun).

Tidaklah mudah menentukan cara atau metode pendidikan keimanan bagi usia dewasa awal. Metode yang selama ini diterapkan di masa kanak-kanan dan remaja, misalnya melalui disiplin, paksaan, cerita, dan keteladanan, tak tepat lagi bagi mereka. metode paksaan hanya akan membuat usia dewasa awal lebih berontak, karena paksaan sangat bertentangan dengan kondisi jiwanya yang menginginkan kebebasan. Menurut Zakiah Daradjat, ada beberapa metode yang tidak boleh diabaikan, di antaranya:

1. Pemahaman dan pendekatan secara mendalam tentang kepribadian anak. Pemahaman orang tua terhadap perkembangan fisik, emosi,dan agama seorang anak di masa ini merupakan tindakan yang bijaksana. Metode ancaman dan hukuman tak dapat lagi diterapkan pada mereka, sebab dikhawatirkan mereka akan bersikap lebih memberontak. Yang terbaik adalah menunjukkan sikap empati, ikut merasakan dan

48

Zakiah Daradjat,Ilmu Jiwa Agama, hal. 153

49

Abdul Azis Ahyadi, Psikologi Agama- Kepribadian Muslim Pancasila, Sinar Baru Algesindo, Jakarta, 1995, hal. 49.


(20)

memahami problema ya merupakan solusi pada m 2. Pembinaan

bukanlah hal Terlebih lagi memerlukan

adalah memberikan segala apa ya

terbukalah keagamaan. Nahl ayat 125:

“Serulah pelajaran

pula. Sesungguhnya tentang

mengetahui orang 3. Mendekatkan

yang dapat

setiap kejadian yang dialami, Hal tersebut

pengetahuan

tak punya pengaruh diketahuinya

memahami apa yang dirasakan seorang anak. Bersimpati problema yang mereka alami serta menyadari bahwa merupakan sesuatu yang sulit bagi mereka. barulah kita solusi pada mereka sesuai dengan ketentuan agama.

Pembinaan dengan cara konsultasi (komunikasi). Membina bukanlah hal mudah, sebab yang dibina adalah jiwa ya

Terlebih lagi terhadap jiwa yang ada pada usia dewasa memerlukan sikap bijaksana dalam membinanya. Yang adalah memberikan kesempatan pada mereka untuk

segala apa yang dirasanya (release of tension). Dengan demikian, terbukalah hati mereka dalam menerima saran dan nasehat keagamaan. Metode inilah yang dianjurkan oleh Al-Qur’an Nahl ayat 125:

“Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan pula. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang paling tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Mendekatkan agama pada kehidupan sehari-hari. Salah

dapat dilakukan adalah dengan mencari hikmah dan

setiap kejadian yang dialami, juga hikmah dari setiap ketentuan agama. tersebut dimaksudkan agar jangan sampai pengertian pengetahuan agama yang dimiliki anak hanyalah sekedar

punya pengaruh apapun dalam kehidupannya. Aturan diketahuinya haruslah dirasakan manfaatnya bagi mereka.

anak. Bersimpati atas menyadari bahwa semua itu barulah kita kemukakan (komunikasi). Membina keimanan jiwa yang tak terlihat. usia dewasa muda, membinanya. Yang terpenting untuk menumpahkan Dengan demikian, akan dan nasehat-nasehat Qur’an surat

An-dengan hikmah dan dengan cara yang baik ng paling mengetahui dan Dialah yang lebih orang yang mendapat petunjuk”.

hari. Salah satu usaha hikmah dan manfaat dari tiap ketentuan agama. sampai pengertian dan sekedar ilmu belaka, ya. Aturan agama yang bagi mereka. hal ini


(21)

20

memerlukan cara dan pendekatan yang bijaksana serta sungguh-sungguh dari orang tuanya.

Berbagai pendekatan (metode) di atas dapat diterapkan bagi pembinaan keimanan usia dewasa muda. Dengan menggunakan pendekatan tersebut, orang tua dapat menetapkan tujuan pendidikan keimanan maupun cara-cara merealisasikannya. Menurut seorang ulama, Syekh Ismail Haqqi al-Buruswy, iman terlindungi oleh lima benteng, yakni keyakinan, keikhlasan, menuaikan fardhu, menunaikan yang sunnah, dan sopan santun (adab, akhlak).50 Untuk itu setiap bentuk pendidikan keimanan diharapkan usaha guna memperkokoh kelima benteng keimanan tersebut, sehingga iman tetaap teguh dan kuat dalam kalbu seorang anak. Untuk memperkokoh kelima benteng keimanan tersebut, dapat dilakukan melalui tiga macam pembinaan pribadi, yang meliputi pembinaaan hati, ibadah, dan akhlak.

Ketika seorang anak telah memasuki usia dewasa, dihrapkan mereka telah memiliki kepribadian muslim sejati, yakni muslim yang tak tergoyahkan lagi dalam mengimani dan meyakini dua kalimah syahadah. Sebab itu, usia ini merupakan masa yang tepat untuk beralih kepada keinsyafan dan keyakinan yang abadi.51 Namun, keyakinan ini bukanlah sebagai titik akhir kedewasaan seorang muslim. Sebab, iman haruslah tetap dibina dan ditingkatkan secara terus menerus, sebab mencapai sebuah keimanan yang mantap memerlukan perjuangan yang berat.

Salah satu cara agar keyakinan dan keimanan dapat meresap dalam hati seorang muslim adalah dengan jalan menumbuhkan rasa cinta, takut, maupun berharap kepada Allah Swt. Dengan demikian, saat disebut asma Allah dan dibacakan ayat-ayat Allah, akan bergetarlah hati seorang mukmin dan semakin bertambah mantaplah keyakinannya. Untuk menumbuhkan perasaan tersebut, peran orang tua yang terpenting adalah menyiapkan sarana dan menciptakan

50

Syekh Ismail Haqqi Al-Buruswiy, Tafsir Ruh Al Bayan I, Daar al Fikr, Beirut, tt, hal. 203

51


(22)

lingkungan yang da

Kondisi, dimana kehadiran diketahui.

Selain itu, untuk Allah, maka dapat juga Allah berfirman dalam Al

“Maka,

dan bersyukurlah nikmat

Apabila kita

diperintahkan untuk berzikir beriman. Karenanya,

dirinya belumlah menjadi perintah yang seharusnya dirinya beriman. Zikir Allah secara mendalam, berdiiri, duduk, maupun seseorang selalu merasa inilah yang mampu

sehingga dapat terhindar dari segala perbuatan keji dan munkar. Dengan dzikrullah

Kondisi iman seperti ini

hanya dalam hati, namun juga dibarengi den menjauhi segala larangan

52

Ahmad Tafsir,

apat menunjang terwujudnya kondisi keimanan dimana kehadiran Allah telah dapat dirasakan bukan

itu, untuk dapat memperkuat keyakinan dalam hati dapat juga dilakukan dengan memperbanyak zikir Allah berfirman dalam Al-Baqarah ayat ayat 152:

“Maka, ingatlah kepada-ku, niscaya Aku ingat pula dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu nikmat-Ku”.

kita perhatikan ayat di atas, akan terlihat untuk berzikir (ingat) kepada Allah hanylah orang Karenanya, orang yang melalaikan zikir kepada Allah belumlah menjadi orng beriman secara benar. Sebab, zikir

seharusnya telah ditunaikan oleh orang-orang yang Zikir merupakan kondisi batin, dimana hati selalu mendalam,52 terus menerus, dan sebanyak-banyaknya

maupun berbaring. Ingat secara mendalam inilah selalu merasa melihat Allah ataupun diliht oleh Allah

mampu menjadikan seseorang selalu merasa diawasi sehingga dapat terhindar dari segala perbuatan keji dan munkar.

dzikrullah berarti telah menjadikan Allah sebagai

seperti ini hanya akan didapatkan jika zikir yang dilakukan , namun juga dibarengi dengan mengerjakan seluruh perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.

afsir, Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Modern,hal. 136

keimanan tersebut. bukan hanya sekedar

dalam hati akan kehadiran k zikir kepada Allah.

ingat pula kepada kamu janganlah kamu mengingkari

terlihat bahwa yang hanylah orang-orang yang kepada Allah menandakan Sebab, zikir adalah suatu orang yang mengaku hati selalu ingat pada banyaknya, baik tatkala inilah yang membuat oleh Allah Swt. Kondisi diawasi oleh Allah,

sebagai raja di hati. yang dilakukan tidak gan mengerjakan seluruh perintah dan


(23)

22

Pilar kedua dari iman, yakni kaikhlasan, akan dapat terwujud jika keyakinan telah mantap di hati seorang anak. Untuk menumbuhkan keikhlasan ini, seorang anak harus dibiasakan mengerjakan segala sesuatu hanya karena Allah semata, bukan karena pamrih atau takut kepada orang tua. Dalam Al-Qur’an pun Allah swt. Telah memerintahkan manusia agar ikhlas, karena ikhlas itu berkaitan dengan kemurnian tauhid (keimanan) dan pelurusan arah tujuan beribadah.

Yusuf al-Qardhawy berpendapat bahwa ikhlas adalah menunggalkan tujuan dalam ketaatan hanya kepada Allah Yang Maha Besar53. Yang dimaksud ketaatan adalah taqarrub kepada Allah tanpa tujuan lain, misalnya kepura-puraan di hadapan makhluk untuk mendapatkan pujian di tengah masyarakat ataupun keinginan disanjung orang lain. Sikap ikhlas akan menjauhkan seseorang dari perbuatan ujub dan riya’, yakni mencari keridhaan manusia bukan keridhaan Allah tatkala melakukan amal-amal dunia dan akhirat.

Riya’ termasuk kedurhakaan hati yang sangat berbahaya terhadap diri dan amal, juga termasuk dosa besar yang dapat merusak seluruh amal kebaikan. Demikian berbahayanya riya’, sehingga diharapkan bagi orang tua agar berupaya menjauhkan anak mereka dari sikap tersebut dengan jalan menumbuhkan serta memperkuat keikhlasan di hati seorang anak. Sikap ikhlas, akan menghasilkan buah yang baik bagi jiwa dan kehidupan, misalnya ketenangan jiwa, kekuatan rohani, keteguhan hati, dan keistiqomahan dalam beramal dan beribadah.

Benteng iman yang ketiga dapat diperkokoh dengan jalan mengerjakan seluruh perintah Allah swt. Baik yang wajib maupun yang sunnah. Di sinilah peran orang tua diperlukan untuk selalu mengingatkan dan memberi dorongan semangat ketika seorang anak berada dalam kondisi keimanan yang lemah. Beribadah dengan mengerjakan seluruh perintah-Nya akan menjadi pupuk yang subur bagi jiwa manusia untuk sampai pada keyakinan dan keimanan yang benar.

Keyakinan, keikhlasan, dan ibadah yang benar akan menghasilkan buah amal shaleh dan akhlak yang mulia. Akhlakul karimah inilah benteng terdepan

53


(24)

sebagai pelindung keimanan seseorang. Pendidikan keimanan bagi anak dewasa muda pun harus diarahkan guna memperkuat benteng akhlak mulia ini. Dengan demikian, anak akan menjadi manusia yang selalu bertingkah laku mulia, baik sebagai pribadi, anggota masyarakat, maupun selaku hamba Allah swt.

Dalam meneguhkan akhlakul karimah pada diri seorang anak, orang tua harus dapat melakukan hal-hal, diantaranya:

1. Sebagai pengembangan akhlak terhadap diri, orang tua dapat menumbuhkan kepercayaan pada diri seorang anak. Keragu-raguan terhadap diri sendiri hanya akan melahirkan bangsa yang lemah. Mereka tidak sadar bahwa dirinya memiliki derajat dan martabat yang tinggi. Mereka tidak sadar bahwasannya Allah telah memberinya potensi untuk mengembangkan kreativitas dan menemukan kebenaran.54 di usia inilah waktu paling tepat bagi orang tua untuk menanamkan pendidikan akhlak antara pria dan wanita dewasa (suami istri) yang terangkum dalam bimbingan pra nikah. Menurut psikologi perkembangan, anak usia 18 – 30 tahun mulai memasuki tahap kematangan. Artinya, pada fase ini merek sudah mempunyai kematangan dalam bertindak, bersikap, dan mengambil keputusan untuk menentukan masa depannya sendiri. Oleh karenanya, proses edukasi dapat dilakukan dengan memberi pertimbangan dalam menentukan teman hidupnya yang memiliki ciri ideal dalam aspek agama, ekonomi, dan sosial. Hal ini dikarenakan nantinya teman hidup tersebut akan menjadi calon bapak, ibu, ataupun pendidik yang bertanggungjawab atas pendidikan generasi masa depan.

2. Sebagai seorang anak yang mulai dewasa, orang tua berkewajiban membantu mereka mempersiapkan diri agar diterima secara baik sebagai anggota masyarakat. Misalnya, dengan mengembangkan bakat dan kreativitas anak agar menjadi manusia yang produktif bagi lingkungannya, bisa juga dengan mengarahkan anak untuk berwiraswasta

54

Chatib Thoha, Kapita Selekta Pendidikaan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 33


(25)

24

atau menciptakan lingkungan kerja buat dirinya maupun orang lain. Dengan diterimanya mereka sebagai bagian dari masyarakat, maka anak tersebut akan berusaha menunjukkan sikap dan perilaku mulia sebagai cerminan kepribadiannya yang matang.

Sebenarnya, masih banyak upaya yang dapat dilakukan orang tua dalam memperkuat dan meningkatkan keimanan seorang anak. Yang terpenting bagi dewasa awal adalah adanya usaha pembinaan keimanan secara berkesinambungan. Dengan demikian, keimanan yang telah di capai melalui proses pendidikan sebelumnya akan secara terus menerus mendapatkan penguatan

(reinforcement). Setelah kedewasaan anak tercapai, maka dalam pribadinya akan terbentuk pandangan hidup bernafaskan Islam yang dapat dipergunakan sebagai pedoman dan bekal saat mengarungi kehidupan. Saat kondisi ini telah tercapai, maka yang diperlukan bukan lagi proses pendidikan, namun proses belajar yang disebut sebagai pembentukan diri. Proses pembentukan diri ini dapat berlangsung dalam diri seseorang sepanjang hayat.

Uraian dalam kerangka pemikiran di atas dapat dipahami hal-hal sebagai berikut:

1. Pembinaan dan pendidikan keimanan dalam rumah tangga dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan sesuai degan usia dan tahap perkembangan seorang anak. Dengan pembinaan ini diharapkan akan terbentuk kepribadian muslim dalam diri anak saat menginjak usia dewasa. 2. Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan kepribadian usia dewasa

muda. Selain pembawaan, bakat, dan fitrah yang dibawa seorang annak, lingkungan juga sangat berpengaruh pada dirinya. Dan juga pola asuh yang diberikan oleh orang tua semenjak pra natal sampai usia remaja sangat mempengaruhi kepribadian anak. Untuk itulah diperlukan pembinaan yang lebih intensif saat anak memasuki usia dewasa muda. Dengan demikian, harapan akan terbentuknya kepribadian muslim di usia dewasa muda akan lebih mudah untuk diwujudkan.


(26)

3. Pendidikan keimanan bagi usia dewasa muda dapat dilakukan dengan jalan memperkuat benteng keimanan yang telah dimiliki anak. Upaya pembinaan kkeimanan tersebut meliputi:

a. Pembinaan terhadap hati

b. Pembinaan ibadah, baik wajib maupun sunnah c. Pembinaan akhlak usia dewasa muda.

Dengan pendidikan keimanan yang terpadu inilah akan diharapkan terwujudnya manusia dewasa yang berkepribadian muslim sejati.

E. Metode Penelitian

Jenis peneltian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kepustakaan tentang pendidikan usia dewasa awal dalam keluarga perspektif Islam. Sumber data yang digunakan berasal dari berbagai referensi baik buku maupun jurnal ilmiah.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam proses penelitin ini adalah sebagai berikut:

1. Menguraikan tentang pandangan Islam terhadap pendidikan keimanan. 2. Mendeskripsikan ciri-ciri perkembangan anak usia dewsa awal.

3. Mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kepribadian usia dewasa awal

4. Untuk mengetahui pola pendidikan keimanan yang dianggap efektif bagi usia dewasa awal

Dari hasil penelitian ini, akan dideskripsikan pendidikan keimanan yang dianggap efektif bagi usia dewasa awal. Pola pendidikan keimanan dalam keluarga ini meliputi tujuan, metode dan materi pendidikan.


(27)

26

F. Sistematika Pembahasan

Pembahasan dalam thesis ini dimulai dari bab I sebagai pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.

Dalam bab II dibahas tentang pandangan Islam tentang konsep pendidikan keimanan yang didasarkan pada sumber al-Qur’an dan hadist Rasululla saw. Dan para ahli pendidikan Islam. Sebagai contoh praktis akan diungkapkan pula bagaimana Rasulullah mendidik para generasi muda saat itu. Dari penjelasan tersebut diharapkan dapat diketahui pola-pola dasar yang digunakan oleh Rasulullah dalam pendidikan keimanan bagi para sahabatnya yang masih muda saat itu. Apakah contoh-contoh pendidikan keimanan dari Rasulullah masih banyak dilakukan oleh para orang tua dalam mendidik anak-anaknya saat ini ataukah tidak.

Bab III membahas tentang ciri-ciri perkembangan usia dewasa awal, yang meliputi deskripsi fisik, intelektual, psikis, emosi, sosial dan agama. Perkembangan dalam berbagai segi ini akan membentuk sebuah kepribadian dalam diri usia dewasa awal. Namun, kepribadian yang terbentuk tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhinya sangat diperlukan guna mengetahui metode yang cocok dan paling efektif bagi pembinaan keimanan usia dewasa muda, sesuai dengan kondiisi fisik, psikis, emosi dan keagamaan anak usia muda. Dengan pembahasan ini diharapkan dapat diperoleh pola pendekatan terbaik bagi orang tua dalam membantu usia dewasa awal ketika menghadapi berbagai problem hidupnya.

Bab IV berisi analisis dan pembahasan hasil penelitian tentang pendidikan keimanan bagi anak-anak berusia dewasa muda dalam perspektif Islam. Dengan penelitian ini diharapkan dapat diketahui pendidikan keimanan yang sesuai dengan ajaran Islam. Untuk itu, sangat penting pula diungkapkan adanya berbagai faktor yang menyebabkab keberhasilan maupun kegagalan dalam pendidikan


(28)

keimanan tersebut. Dengan pembahasan ini diharapkan dapat ditemukan solusi terbaik dalam mengatasi kegagalan penidikan keimanan selama ini.

Terakhir guna penyempurnaan dalam penelitian ini, maka dalam bab V berisi kesimpulan dan implikasi penelitian.


(29)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Pendidikan Islam

Beragam arti dan definisi pendidikan telah dikemukakan oleh para pakar pendidikan. Meskipun rumusan tentang pendidikan tersebut sangat bergantung pada subyektifitas masing-masing perumus, namun sebagai langkah awal untuk memahami sebuah konsep, definisi masih tetap diperlukan.

Pendidikan (education: Inggris; education: Latin) menurut Jamil Shaliba adalah pengembamgan fungsi-fungsi psikis melalui latihan sehingga mencapai kesempurnaannya sedikit demi sedikit.1

Sedangkan Ahmad D. Marimba pun mengajukan definisi bahwasanya pendidikan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.2

Meskipun definisai pendidikan di atas sangat beragam, namun pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Salah satunya adalah bahwa pendidikan merupakan sebuah proses yang mempunyai tujuan, sasaran, ataupun target tertentu.3 Sebagai sebuah proses, pendidikan tidak hanya terbatas pada pengembangan pribadi anak didik secara sadar oleh pendidik, sebagaimana definisi yang dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba. pendidikan juga merupakan proses seseorang menuju kesempurnaan diri yang di pengaruhi oleh berbagai hal, seperti lingkungan alam, kebudayaan, maupun seluruh pengalaman hidupnya.4 Dalam hal ini, Ahmad Tafsir menyatakan bahwa kehidupan ini adalah sebuah pendidikan mencakup keseluruhan proses kegiatan yang dilakukan oleh manusia, baik secara sengaja, akibat pengaruh lingkungan maupun pendidikan yang

1

Jamil Shaliba, Al Mu’jam al Falsafi jilid I, Daar al kitab al lubnani, Kairo, 1978, hal. 266

2

Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, Al Ma’arif, Bandung, 1980 cet. Ke 4, hal. 19

3

Abdurrahman an-Nahlawi, Ushul al Taarbiyah al Islamiyah wa Asalibuha fi al Bayt wa al Madrasah wa al Mujtama,Daar al Fikr, Damaskus, 1979, hal. 12

4


(30)

dilakukan oleh diri sendiri

pengembangan pribadi dalam semua aspekn

Dalam Islam,

untuk menandai makna

ta’dib.istilah “tarbiyah”

( ﻮﺑﺮﯾ - ﺎﺑر ) yang “rabiya-yarba” ( Ketiga, kata “rabba

memimpin, mendidik, sampai lepas masa kanak “tarbiyah” yang berarti bertahap atau membuat Kata al-Rabb ini bentuk pelakunya digunakan bagi ada.9

Firman Allah yang

dalam surat Al-Isra’ayat 24:

“Dan rendahkanlah saying, dan ucapkanlah

sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil Abdurrahman

tarbiyah dalam ayat seluruh bakatnya, serta

5

Ahmad Tafsir, Pendid

6

Abi Fadl Jamal al Diin

Jilid I, Daar al Shadr, Beirut, 1990

7

Ibid, hal. 401

8

Al Raghib al Isfahani, 189

9

Hery Noer Aly, Ilmu Pen

diri sendiri .Dengan demikian, pengertian pendidikan n pribadi dalam semua aspeknya.5

slam, sekurang-kurangnya terdapat tiga istilah yang menandai makna atau konsep pendididkan, yakni tarbiyah, “tarbiyah” berakar pada tiga kata. Pertama, kata “rabba

yang berati tumbuh,bertambah atau berkembang.

” ( ﻰﺑﺮﯾ– ﻲﺑر ) yang juga berarti tumbuh dan berkembang

rabba – yarubbu” ( بﺮﯾ – بر ) yang berarti mendidik, menjaga, dan memelihara. Bisa juga berarti

masa kanak-kanak.7 Kata al Rabb ( بﺮﻟا )juga berasal ng berarti mengantarkan sesuatu kepada kesempurnaanya

membuat sesuatu menjadi sempurna secaraa berangsur ini bentuk asal (mashdar) yang di pinjam (musta’ar

pelakunya digunakan bagi Allah Swt. dalam pengertian mengurus dan

Allah yang menjadi landasan penggunaan istilah tarbiyah Isra’ayat 24:

rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan dan ucapkanlah : “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil

rrahman An-Nahlawi berpendapat bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah memelihara fitrah anak dan

serta mengarahkannya agar menjadi baik dan sempurna

Pendidikan Dalam Perspektif Islam, hal. 26

mal al Diin Muhammad bin M. Ibn Mandzur al Afriki al Mishri, Daar al Shadr, Beirut, 1990, hal. 79

Isfahani, Mu’jam al Mufradat alfazh al Qur’an, Daar al Fikr,

Ilmu Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999, hal. 4

pengertian pendidikan adalah

istilah yang di gunakan

tarbiyah, ta’lim, dan

rabba-yarbu” berkembang.6 Kedua, kata ) yang juga berarti tumbuh dan berkembang .

berarti memperbaiki, juga berarti mengasuh )juga berasal dari kata kesempurnaanya secara secaraa berangsur-angsur.8

musta’ar) untuk bentuk Allah Swt. dalam pengertian mengurus dan segala yang

istilah tarbiyah terdapat

dengan penuh kasih kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”

yang dimaksud dengan anak dan menumbuhkan dan sempurna secara

al Mishri, Lisan al-‘Arab


(31)

30

bertahap.10 Berbeda dengan pendapat di atas, Abdul Fatah Jalal mengatakan bahwa maksud tarbiyah dalam ayat di atas adalah pendidikan yang berlangsung pada fase pertama pertumbuhan manusia, yakni pada fase bayi dan anak-anak.11 Dengan demikian pengertian tarbiyah terbatas pada pemeliharaan, pengasuhan, dan pengasihan seorang anak manusia semasa kecil saja, dan bimbingan yang di berikan setelahnya bukan termasuk dalam pengertian pendidikan (tarbiyah).

Sementara itu, Syeh Muhammad al Naquib al Attas tidak menerima penggunaan kata tarbiyah untuk menandai konsep pendidikan jika yang di maksud pendidikan dalam Islam adalah sesuatu yang khusus bagi manusia. Menurut pendapatnya, kata tarbiyah mengandung arti “menghasilkan, mengembangkan, membesarkan, atau menjadikan bertambah dalam pertumbuhan”. Penerapan katatersebut tidak terbatas hanya pada manusia, tetapi dapat digunakan bagi spesies – spesies lain seperti binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun batu-batuan mineral.12 Dari berbagai pendapat di atas, tampaklah bahwa penggunaan kata istilah tarbiyah untuk memaknai arti pendidikan masih merupakan masalah controversial di kalangan para tokoh pendididkan islam.

Untuk menjembatani silang pendapat tersebut, Abdul Fatah Jalal menawarkan istilah ta’lim untuk menunjukan konsep pendidikan dalam Islam. Menurutnya, ta’lim adalah proses pembentukan pengetahuan, pemahaman, pengertian, dan tanggung jawab sehinggga terjadi penyucian atau pembersihan diri manusia dari segala kotoran dan menjadikannya berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya .13 Istilah “ta’lim” berasal dari kata” ﻢﻠﻋ “ yang berarti mengajarkan, memberikan, atau menstransfer pengertian, pengetahuan, maupun keterampilan.14

10

Abdurrahman an-Nahlawi, op.cit.,hal. 13

11

Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam (terj). Hery Noer Aly dari Min Al Ushul Tarbawiyah fi al Islam, Diponegoro, Bandung, 1988, hal. 28

12

Syeh M. Al Naquib al Attas, Konsep Pendidikaan Dalam Islam, (terj. Haidar Bagir dari

The Concept of Education of Islam), Bandung, Mizan, 1984, hal. 64

13

Abdul Fatah Djalal, Min al Ushul Al Tarbiyah fi al Islam, Daar al Kutub al Mishriyyah, Beirut, 1977, hal. 17

14

Abi al Fadhl Jamal al Din M. Ibn Mandzur al Afriki, Lisan al Arab Jilid II, op.cit., hal. 419


(32)

Dengan istilah

terkandung di dalamnya menjadi lebih luas, 1. Dalam ta’lim terdapat

manusia lahir sampai fungsi pendengaran, Allah surat An Nahl:78

“Dan Allah mengelu

mengerti sesuatu pun, dan dia member dan hati supaya kamu bersyukur”. Pengembangan

ayat di atas merupakan di harapkan mampu

dewasa. Dengan demikian, mencangkup fase bayi,

2. Proses ta’lim tidak domain kognisi belaka, afeksi. Ruang lingkup ayat 151, sebagai berikut:

istilah ta’lim ini, maka konsep-konsep pendidikan terkandung di dalamnya menjadi lebih luas, yakni:

terdapat proses pembelajaran secara terus menerus lahir sampai menutup usia, melalui proses pengembangan pendengaran, pengelihatan, dan hati. Pengertian ini digali Allah surat An Nahl:78

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut bumi dalam keadaan tidak mengerti sesuatu pun, dan dia memberi kamu pendengaran,

dan hati supaya kamu bersyukur”.

Pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, pengelihatan,

merupakan tanggung jawab orang tua sewaktu anak masih mampu mengembangkannya secara mandiri saat menginjak Dengan demikian, ta’lim merupakan proses pe

mencangkup fase bayi, kanak-kanak, remaja, maupun setelah dewasa. ta’lim tidak hanya berhenti pada pencapaian pengetahuan

kognisi belaka, tetapi juga menjangkau wilayah psikomotor Ruang lingkup ta’lim ini di dasarkan pada firman Allah ayat 151, sebagai berikut:

konsep pendidikan yang

terus menerus sejak pengembangan

fungsi-ini digali dari firman

rkan kamu dari perut bumi dalam keadaan tidak kamu pendengaran, pengelihatan,

pengelihatan, dan hati dalam anak masih kecil dan saat menginjak usia proses pendidikan yang maupun setelah dewasa.

pengetahuan dalam wilayah psikomotor maupun firman Allah Al Baqarah


(33)

32

“Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”.

Dari ayat tersebut tersirat, bahwa pendidikan tilawah Al-Qur`an tidak hanya terbatas pada kemampuan membaca secara harfiah saja, tetapi lebih luas dari itu, yakni, membaca dengan perenungan yang sarat akan pemahaman, sehingga melahirkan sebuah tanggungjawab moral terhadap ilmu yang di perolehnya melalui apa yang di baca dan mengertinya. Dari pemahaman ayat ini, Abdul fatah Jalal mengartikan ta’lim sebagai proses pemberian pengetahuan, pemahaman, dan penanaman amanat sehingga terjadi tazkiyah atau pembersihan diri yang menjadikan manusia berada dalam kondisi memungkinkan untuk menerima hikmah serta mempelajari apapun yang bermanfaat baginya dan belum di ketahuinya.15 melalui pendididkan semacam inilah Rasulullah telah sukses mengantarkan para sahabatnya mencapai tingkat al Hikmah melalui proses

tazkiyah(penyucian diri). Pada kondisi inilah antara ilmu, perkataan dan perilaku seseorang telah terintegrasi secara kokoh dalam kepribadiannya.

Selain istilah tarbiyah dan ta’lim, konsep pendidikan dalam islam dapat juga menggunakan istilah ta’dib sebagaimana diusulkan oleh Muhammad al Naquib al-Attas. Istilah ta’dib berasal dari kata “ بدا “ yang berarti tata karma atau budi pekerti yang luhur.16Menurut Naquib al Attas, adaba mengandung pengertian pengenalan dan pengakuan tentang hakekat bahwa pengaturan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan derajat tingkatannya, serta tempat seseosrang yang tepat dalam hubunganya dengan hakekat (sesuatu) menurut kapasitas dan potensi jasmani, intelektual, maupun rohani seseorang. Pengenalan berarti menemukan tempat yang tepat sehubungan dengan yang di

15

Abdul Fatah Jalal, Min al Ushul al Tarbawiyah fi al Islam, Daar al Kutub al Mishriyah, Beirut, 1977, hal 17-29

16


(34)

kenali, sedangkan pengakuan berarti tindakan (amal) yang lahir sebagai akibat dari penemuan tempat yang tepat dari apa yang dikenali tersebut.17

Dengan demikian, pengertian ta’dib menurut Naquib al Attas merupakan sebuah proses disiplin tubuh, jiwa, dan ruh terhadap pengenalan dan pengakuan secara berangsur dalam diri manusia yang pada akhirnya dapat membimbingnya kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam dirinya18 jadi, dalam konsep ta’dib,terkadang adanya perpaduan antara ilmu dan amal sekaligus. Oleh karenanya, dalam konsep ini, tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk menghasilkan manusia-manusia yang baik, berbudi pekerti, dan bertingkah laku sesuai dengan kedudukan mereka di sisi Tuhannya dan di antara mahluk-mahluk Allah lainnya. Pendidikan dalam pengertian ta’dib adalah meresapkan dan menanamkan adat pada manusia. Adab, menurut Naquib al Attas adalah apa yang setepatnya terterapkan dalam diri manusia dan di harapkan mampu melakukanya dengan baik untuk kepentingan hidupnya di dunia dan di akhirat.19

Apabila mengacu pada definisi pendidikan secara luas sebagaimana dikemukakan Ahmad Tafsir, yakni pengembangan pribadi dalam seluruh aspeknya (jasmani, akal, dan hati), maka pengertian pendidikan dalam Islam ekuivalen dengan pengertian tarbiyah dalam konsep Abdurrahman an-Nahlawi, atau ta’lim dalam konsep Abdul Fatah Jalal maupun ta’dib dalam konsep M. al-Naquib al-Attas.

Dalam keseluruhan konsep pendidikan di atas, terlihat bahwa pendidikan merupakan sebuah aktivitas atau usaha yang di lakukan seseorang agar tercapai perkembangan maksimal yang positif dalam diri manusia. Sebagai sebuah aktivitas, pendidikan tentunya mencakup berbagai macam usaha dan kegiatan yang menunjang tercapainya perkembangan pribadi yang optimal. Usaha atau kegiatan yang dimaksud dapat berbentuk pengajara, pembiasaan, pemberian contoh dan teladan, pemberian hadiah dan pujian, maupun pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman hidup seseorang.20Dengan demikian,

17

Syeh M. Al Naquib al Attas, op.cit., hal. 62

18

Ibid., hal. 36

19

M. Al Naquib al Attas, Ta’lim al Islamy-Ahdafuh wa Maqasiduh,t.p., tth.,hal. 56

20


(35)

34

individu yang telah mencapai usia dewasa pun masih memerlukan pendidikan guna penyempurnaan kepribadianya, meskipun proses pendidikanya lebih bersifat mendidik diri sendiri.

Pendidikan, selain dimaknai sebagai sebuah aktivitas, dapat juga di pandang sebagai sebuah system. Pendidikan sebagai sebuah system, tidak lain merupakan suatu totalitas fungsional yang terarah pada satu tujuan. Setiap sub system yang ada dalam system, tersusun dan tak dapat dipisahkan dari rangkaian unsur-unsur (Komponen-Komponenya) yang berhubungan secara dinamis dalam satu kesatuan.21

Sebagai sebuah sistem, pendidikan merpakan satu kesatuan antara berbagai komponennya, yakni :

1. Tujuan

Tujuan pendidikan adalah orientasi yang dipilih oleh pendidik dalam membimbing dan mengarahkan anak didiknya.22Tujuan mempunyai nilai penting dalam setiap kegiatan interaksi edukatif, sebab tujuan dapat memberikan arah yang jelas dan pasti kemana kegiatan pendidikan akan dibawa oleh seorang pendidik.23Sebagai pihak berkepentingan dalam mengarahkan proses pendidikan, tujuan pendidikan biasanya ditentukan oleh pendidik sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam hidupnya. Dengan kata lain, tujuan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari tujuan hidup si pendidik. Oleh karena itu, apabila dalam proses pendidikan terlihat adanya perbedaan tujuan, maka hal tersebut disebabkan oleh tujuan hidup masing-masing pendidik.

Pendidikan baru akan mempunyai tujuan yang jelas apabila seorang pendidik sadar akan tujuan hidupnya. Apabila seorang pendidik tidak menentu dalam mengenali tujuan hidupnya, maka arah dan prilaku mendiiknya akan tidak jelas, sehingga tujuan pendidikan yang akan dicapai menjadi kabur. Oleh karenanya, sebelum melakukan kegiatan mendidik seseorang hendaknya sudah memiliki hierarki (prioritas) nilai-nilai dalam hidupnya.

21

Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 22

22

Hery Noer Aly, op.cit., hal. 54

23


(1)

104

beragama (fitrah), pola asuh orang tua, lingkungan maupum pendidikan agama yang diterimanya sejak lahir hingga usia remaja.

Usia dewasa awal dengan berbagai karakteristik yang melingkupinya memerlukan strategi khusus dalam menghadapinya. Saat memberikan pendidikan keimanan pun diperlukan satu pola pendidikan yang tepat bagi perkembangan pribadi mereka. Pada prinsipnya, proses pendidikan ini didasarkan pada konsep rukun iman, rukun islam dan Ihsan yang dimaknai tidak sekedar pengetahuan kognitif dan ibadah ritual semata. Dengan pemahaman ini, maka apapun yang dilakukan seseorang mukmin harus bernilai dunia-akhirat.

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian maka direkomendasikan hal-hal sebagai berikut, yaitu:

1. Kepada para orangtua dalam keluarga sebaiknya menanamkan keimanan kepada anak-anaknya sejak dini, sebab masa dewasa awal sudah mengalami masa pencarian identitas diri yang bvanyak dipengaruhi masa kecilnya.

2. Kepada para ahli pendidikan sebaiknya menggunakan prinsip-prinsip ajaran Islam dalam mengembangkan teori pendidikan Islam.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Azis Ahyadi, Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila, Sinar Baru Algesindo, Jakarta, 1995.

Abdul Azis El Qussyi, Ilmu Jiwa- Prinsip-prinsip dan Implementasinya Dalam Pendidikan (terj. Zakiah Daradjat), Bulan Bintang, Jakarta, 1974

Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam (terj). Hery Noer Aly dari Min Al Ushul Tarbawiyah fi al Islam, Diponegoro, Bandung, 1988

Abdul Fattah al Maghrib, al Firqul Kalamiyah al Islamiyah, Daar al Taufiq, Kairo, 1987 Abdul Wahib dan Mustaqim, Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.

Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam Jilid 2, Pustaka Amani, Jakarta, 1999

Abdullah Zakiy al Kaaf dan Maman Abdul Djalil, Mutiara Ilmu Tauhid, Pustaka Setia, Bandung, 1999

Abdurrahman Abdul Khalid, Garis Pemisah antara Kufur dan Iman, (terj. Wardana), Bumi Aksara, Jakarta, 1996

Abdurrahman Al-Baghdadi, Sistem Pendidkan Islam di Masa Khilafah Islam, al-Izzah, Jawa Timur, 1996

Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah dan Masyarakat (Terjmhan. Shihabuddin), Gema Insani Press, Jakarta, 1995.

Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, Rineka Cipta, Jakarta, 1982.

Abi Abdul Muhammad bin Yazid al-Qozwiny Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz I, Maktabah Dahlan, Jakarta.

Abi Fadl Jamal al Diin Muhammad bin M. Ibn Mandzur al Afriki al Mishri, Lisan al-‘Arab Jilid I, Daar al Shadr, Beirut, 1990

Abu al Fida Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim Jilid IV, Daar al Fikr, Beirut, 1986.

Afif Muhammad, Islam Mazhab Masa Depan, Pustaka Hidayah, Bandung, 1998

___________, Dari Teologi ke Ideologi; Telaah atas Metode dan Pemikiran Teologis Sayyid Quthb, Sunan Gunung Djati Press, Bandung, 1999.

Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, Al Ma’arif, Bandung, 1980

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Rosdakarya, Bandung, 1991. _________, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Rosdakarya, Bandung, 1999.


(3)

__________, Pendidikan Agama Dalam Keluarga, Rosdakarya, Bandung, 1995. Al Imam Aba Al Fida’ Al Hafidz Ibn Katsir Al Damasyqy, Tafsir Al-Qur’an al Adhim

Ibnu Katsir Jilid I,, Daar al Fikr, Beirut, 1992M/1416 H

Al Raghib al Isfahani, Mu’jam al Mufradat alfazh al Qur’an, Daar al Fikr, Beirut, tt.

Ali Abdul Hakim Mahmud, Pendidikan Ruhani (terj. Abdul Hayyi al Katani dari Al Tarbiyah al Ruuhiyah) Gema Insani Press, Jakarta, 2000

Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1979

AM. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran : Landasan Islamisasi, Mizan, Bandung, 1993, hal. 35.

Anwar Prabu Mangkunegara, Perkembangan Intelegensi Anak dan Pengukuran IQ, Angkasa, Bandung, 1993

Asy Syaikh Ja’far Subhani, Al Milal wa al Nihal, Penerbit Al Hadi Pekalongan, 1997 Athiyah al Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta.

Attabik Ali Ahmad Zuhdi Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yayasan Ali Maksum,Krapyak, 1998.

Azyumrdi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Logos, Jakarta, 1999.

Badruddin Ibn Jama’ah al Kanaani, Mutakallimfi Adab al Alim wa al Muta’alim, Daar al Kutub al Ilmiyah, Beirut, tt.,

Baihaqi A.K. ,Pendidikan Agama Dalam Keluarga Bagi Anak Prenatal.

Chatib Thoha, Kapita Selekta Pendidikaan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996. Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an, Gema Insani Press, Jakarta, 1999. Darley dan Kinchla, Psycology, Division of Simun& Schuster, Inc, New Jersey, 1981 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, 1971.

Djawad Dahlan,Pendidikan Agama Dalam Keluarga, (editor Ahmad Tafsir).

Elizabeth B. Hurlock, Developmental Psychology A Life Span Approach, Mc. Graw Hil Book, New York, 1980

Elizabeth Lee Vincent dan Phylips C. Martin, Human Psycologycal Development, The Ronald Press Comp., New York, 1961

F.J. Monks, Psikology Perkembangan (terjm. Siti Rahayu Haditomo), Gema Insani Press, Yogyakarta, 1999.

Fadhil al-Jamali, Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam, Golden Terayon Press, Jakarta, 1993.


(4)

Francis J. Di Vesta & George G. Thompson, Education Psycology, Meredith Corporation, New York, 1970.

H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis berdasar Pendekatan Interdisipliner. Bumi Aksara, Jakarta, 1993

Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1993.

Harun Nasution, Islam Di tinjau dari Beragai Aspeknya Jilid 2,UI Press, Jakarta, 1986 Hasan Gaos, Psikologi Agama II, Diktat Kulih IAIN SGD Bandung, tth

Henry L. Roediger dan Elizabeth D. Capald, Psycology,Little Brown Comp.,Boston, 1984 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999

Ibn Majah, Sunan Ibnu Majah Juz I Bab Muqadimah, Thaha Putra, Semarang, tth Ibn Qayyim al Jauziyah,Tafsir Ibn Qayyim, Daar al Falah, Jakarta, 2000

Ibnu Musthafa, Keluarga Islam Menyongsong Abad 21, Al-Bayan, Bandung, 1993.

Ibrahim Muhammad Atho’, Thuruq Tadris al-Tarbiyah al Islamiyah, Maktabah al Nahdiyah, Kairo, 1996.

Imam al Ghazali, Ihya Ulumuddin Jilid I, Maktabah Usaha Keluarga, Semarang,tt. Imam al Tumudzi, Sunan al Turmudzi juz 4, Penerbit Dahlan, Indonesia, tth. Imam Muslim, Shahih Muslim Juz I Bab Iman, Daar al Ihya al Kutub al Arabiyah,

Indonesia, tth.

J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi (terj. Kartini Kartono), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999

Jalaluddin Rahmat, Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Modern,Rosdakarya, Bandung, 1992.

Jalaluddin, Mempersiapkan Anak Sholeh Telaah Pendidikan terhadap Sunnah Rasulullah, Grafindo, Persada, Jakarta, 1996

________, Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996

Jamil Shaliba, Al Mu’jam al Falsafi jilid I, Daar al kitab al lubnani, Kairo, 1978.

Kartini Kartono, Pengantar Mendidik Teoritis: Apakah Pendidikan Masih diperlukan?, CV. Mandar Maju, Bandung, 1992.

____________, Psikologi Anak,Mandar Maju, Bandung. Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Mizan, Bandung, 1990

M. A.Hadi al Misri, Manhaj dan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah (terj. As’adalah Yasin), Gema Insani Press, Jakarta, 1992


(5)

M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, Mizan, Bandung, 2000

Muhammad Abdul Qadir Ahmad,Thurq Ta’lim al Tarbiyah al Islamiyah, Maktabah al-Nahdhah al Misriyyah, Kairo,.1981.

Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 1997

Muhammad Ali Hadi Al Afifi, Ushul al Tarbiyah wa ilm al Nafsi, Al Fajaluh Al Jadidi, Kairo, tth

Muhammad Ali Quthb, Sang Anak Dalam Naungan Pendidikan Islam, Diponegoro, Bandung, 1993.

Muhammad Athiyah Al Abrasyi, Dasar-Dsar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1970

Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al Bukhari, Shahih Bukhari Juz I, Daar al Fikr, Kairo, 1981

Muhammad Munir Jimbaz, Karakter Orang Sukses Dunia Akhirat(terj. AM Basamalah dari al Muflihun), Pustaka al Kautsar, Jakarta

Muhammad Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993

Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Mendidik Anak Bersama Rasulullah (terj.

Kuswandani dari Manhaj al Tarbiyah al Nabawiyah li al Thifl), Al Bayan, Bandung, 2000

Muhammad Thalib, Praktek Rasulullah saw. Mendidik Anak (bidang aqidah dan Ibadah) Irsyad Baitus Salam, Bandung, 2000

Muhammad Usman Najati, Al-Qur’an dan Psikologi, (terj. Ade Asnawi dari Al Qur’an wa ilm l Nafs, Aras Pustaka, Jakarta, 2001.

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan,Rosdakarya, Bandung, 1995.

Mustofa Abdul Hamid, Al-Usroh Fi al Islam, Maktabah Daar al-Arwalah, Kairo, 1961. Nashir Ibn Abdul Karim al Aql, Prinsip-prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wa al Jama’ah

(Terj.) Gema Press, Jakarta

Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997

Omar Muhammad al Toumy al Syaibani,Falsafah Pendidikan Islam, (terj. Hasan Langgulung dari Falsafah al Tarbiyah al Islamiyah),Bulan Bintang, Jakarta, 1979 Ronald C. Johnson, Child Psychology, Behavior and Development, John Wiley, Inc., New

York, 1969.

Rupet C. Lodge, Philisophy of Education, Herer and Brother, New York, 1974

S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, PT. Ikhtiar Baru Van Hoves, Jakarta 1990


(6)

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997. Sarlito Wirwan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi,Bulan Bintang, Jakarta, 1976 Singgih D. Gunarsa, Dasar dan Teori Perkembangan Anak, Gunung Mulia, Jakarta 1989 Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Rineka Cipta, Jakarta, 1995 Soesilowindradini, Psikologi Perkembangan Masa Remaja, Usaha Nasional, Surabaya, tth Subina Hadisubroto, Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Modern, Rosdakarya, Bandung,

1994.

Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Andi Offset, Yogyakarta, 1993

Syahminan Zaini, Tinjauan Analisis tentang Iman, Islam dan Amal, Kalam Mulia, Malang 1984

Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Rineka Cipta, Jakarta, 2000

Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Rosda Karya, Bandung, 2000 Syeh M. Al Naquib al Attas, Konsep Pendidikaan Dalam Islam, (terj. Haidar Bagir dari

The Concept of Education of Islam), Bandung, Mizan, 1984

Syekh Ismail Haqqi Al-Buruswiy, Tafsir Ruh Al Bayan I, Daar al Fikr, Beirut, tt.

Thoha Abdul al Afifi, Hak Orang Tua pada Anak dan Hak Anak pada Orang Tua(terj. Zeid Husein), Daar el Fikr Indonesia, Jakarta, 1990

Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid (terj. Hasan Basori dari al Tauhid li al Shaffi al Tsani al ‘Ali), Darul Haq, Jakarta

Umar Hasyim, Mendidik Anak Shaleh,Bina Ilmu, Surabaya, 1993. Whitherington, Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991. Winarno Surakhmad, Psikologi Pemuda,Jemmars, Bandung, 1980 Woodworth, Psychology, Mc. Millan, New York, 1995

Yusran Amani,Ilmu Tauhid, LISK, Jakarta, 1996

Yusuf al-Qardhawy, Niat dan Ikhlas (terj), Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2000. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.

___________, Keluarga Muslim Dalam Msyarakat Modern, Rosdakarya, Bandung, 1994. Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1995