Racun Bagi Muda-mudi.

RACUN BAGI M UDA-M UDI
(terjemahan dari novel Baruang ka nu Ngarora karangan D.K. Ardiwinata)

N OVE L T E R JE MAH AN

Karya:
A.Y. HUDAYAT

Bandung
2009

PENGANTAR

Novel Baruang ka nu Ngarora karya D.K. Ardiwinata merupakan karya
monumental dalam khazanah kesusastraan Sunda. Novel tersebut diterbitkan
pertama kalinya pada tahun 1914 oleh Balai Pustaka. Karya ini telah dicetak
ulang dan diterbitkan kembali oleh beberapa penerbit. Namun demikian,
sepengatahuan penyusun, sampai saat ini karya ini belum diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia.
Dengan maksud utama memperkenalkan karya monumental dalam
bentuk novel pertama berbahasa Sunda ke khalayak luas, terutama khalayak

akademik, novel Baruang ka nu Ngarora tersebut penyusun terjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia. Novel terjemahan yang dimaksud diberi judul Racun
bagi Muda-Mudi.

Baik Baruang ka nu Ngarora maupun Racun bagi Muda-Mudi merupakan
objek-objek material yang dapat digunakan para mahasiswa program Studi
Sastra Daerah (Sunda) di lingkungan Fakultas sastra yang sedang menempuh
mata kuliah Telaah Sastra, Sosiologi Sastra, Analisis Wacana (naratif), Metode
Penelitian Sastra, dan mata kuliah lainnya yang relevan dengan kajian-kajian

budaya.

Kehidupan

masyarakat Sunda

akhir

abad


ke-18

yang

direpresentasikan di dalam karya ini tentu menjadi bagian penting untuk
banyak telaah dari disiplin ilmu-ilmu humaniora, terutama menyangkut
diskurus sosial yang tidak akan pernah usang menyentuh ranah-ranah
problematika kelas sosialnya.
Semoga karya terjemahan yang penulis susun ini dapat menjadi
bagian

yang mampu menumbuhkan minat banyak orang untuk kembali

“mengakrabi” khazanah Sastra Sunda.

Bandung, September 2009
Penyusun,
A.Y. Hudayat

DESKRIPSI SUMBER NOVEL YANG DITERJEMAHKAN


Judul Novel berbahasa Sunda : Baruang ka nu Ngarora
Karangan

: D.K. Ardiwinata

Penerbit

: Balai Pustaka

Tahun Terbit

: 1950

Cetakan

: ketiga

TERJEM AHAN
Judul Novel


: Racun bagi Muda-Mudi

Karangan

: A.Y. Hudayat

Tahun Penyusunan

: 2009

RACUN BAGI MUDA-MUDI
I
Malam Senin tanggal 14 bulan hapit 1291, di rumah Tuan Haji Abdul
Raup, di Kampung Pasar, tampak begitu hangat suasananya. Tidak seperti
biasanya. Sepertinya ada hal yang khusus. Tingkeban dibuka, lampu semuanya
dinyalakan, tampak begitu gemerlap cahayanya. Ruang utama rumah dilapisi
alketif. Di dapur orang-orang hilir mudik, sepertinya sedang mengurus
makanan. Orang yang melewati rumah tersebut banyak yang berhenti, sambil
berbicara di dalam hatinya: “Ada apa di rumah Tuan Haji; mengapa ramai?”

Malam itu bulan begitu terang, apalagi tanggal 14; tampak seperti siang
hari saja. Langit tampak bersih, bertabur bintang-bintang. Tentu akan membuat
senang hati bagi yang sedang kasmaran. Di jalan hilir mudik orang-orang yang
sedang jalan-jalan menikmati suasana malam; laki-laki dan perempuan; jalanjalan menyenangkan hati. Sebagian ada yang naik bendi atau dokar yang
dibuka kap atapnya. Terdengar suara cambuk, bunyi lonceng kudanya, serta
bunyi terompetnya, meminta jalan kalau-kalau ada yang tertubruk atau beradu
dengan dokal lainnya. Yang mempertunjukan kesenian pun tampak ramai,
seperti: tarawangsa, celempungan, dan badut.
Sekitar kira-kita pukul delapan, datanglah rombongan yang beriringan;
yang tampak paling depan ada yang membawa lampu, diikuti oleh Ibu Haji
Basinah yang memakai kerudung syal. Ia orang tua yang sudah termashur yang
biasa dipercaya untuk melamar karena keterampilan berbicara yang mantap,
dan rapi dalam bertutur. Di belakang Ibu Haji beriringan wanita yang tampak
berdandan perlente, seperti akan berlomba kecantikan. Terdengar bunyi tok-tak
selopnya, dan bunyi kainnya, dan menyebar harum minyak wanginya.
Sebagian ada yang membawa baki yang ditutupi renda dan kainnya. Di
belakang perempuan tersebut beriringan lelaki kurang lebih sepuluh orang.
Rombongan tersebut masuk ke rumah Tuan Haji Abdul Raup.
Tuan rumah, suami-istri menyambut menuju pintu. Kemudian para
tamu diterima masuk. Berjajar rapi kelompok perempaun dan kelompok lakilaki. Baki-baki digeserkan ke depan, ke hadapan tuan Haji dan Nyi Haji.

Saat itu datanglah para perempuan dari dalam, menyerahkan wadah
kinangan dan tempat meludahnya kepada para tamu perempuan dan wadah
rokok kepada para tamu laki-laki.
Setelah beristirahat sejenak, dan mereda keringatnya, berkatalah Ibu
Haji basinah, “Tuan Haji, maksud saya datang kemari, diutus oleh sang kakak,
Tuan Haji Samsudin untuk menyerahkan barang-barang tanda kasih dan
hormat, tanda rasa turut senang akan maksud mempertemukan putra kami
Ujang Kusen kepada putrimu, Nyi Rapiah. Ini yang satu baki Rp 250,- untuk
mas kawin, kalau yang satu baki lagi Rp 150,- untuk membantu hajat. Selain
itu, yang empat baki lagi adalah pakaian untuk Nyai Rapiah dan ada juga emas
dan intan sebesar biji padi, sekedar syarat, cukup lumayanlah.”
Haji Abdul Raup menjawab: “Wah, itu bukan lumayan lagi! Maksud
saya semula, jangan berlebihan seperti itu karena buka dengan yang lain. Kita

1

karena Allah saja. Bukankah kata orang tua, jangan mengadu kekayaan.
Ternyata Kang Haji mengajak sebenarnya.”
Kata Haji Basinah: “Ih, bukan begitu. Itu hanya karena kami sangat
merestui sekali, menandakan senangnya hati kami.”

Kata Nyi Haji Abdul Raup: “Terima kasih, Aceuk. Terima kasih, Kang
Haji, ada rasa saya untuk anak kami. Semoga saja semuanya mulus. Semua
orang tua senang melihatnya, senang pula mendengarnya.”
Haji Basinah menjawab: “Benar, Nyai Haji. Aceuk mendoakan semoga
rukun, sejahtera, panjang cerita, dijauhkan dari musibah dan didekatkan
rejekinya, banyak anak. Kapan waktunya yang sesuai dengan keinginan?”
Haji Abdul Raup menjawab, “kesepakatan kita tanggal 17 bulan depan.
Satu alasan karena saya belum sedia, dan alasan keduanya adalah itu bulan
yang cocok, sudah ditanyakan kepada Kyai Bojong!”
Haji Basinah berkata, “Benar, memang baiknya di bulan itu. Mari kita
sampaikan saja kepada kakakmu. Perkiraan saya, tidak akan sampai tidak
cocok.”
Setelah itu, datanglah beberapa orang membawa barang bawaannya
masing-masing, sebagian membaca teko dan cangkir. Pelayan tampak gesit, tak
tampak kekakuannya. Jamuan ringannya tampak warna-warni serta spesial
karena sengaja disediakan untuk itu.”
Kata tuan rumah, “Silahkah!”
Saat itu tampak para perempuan serempak. Para perempuan saling
bersaing duduk cantik. Yang muda-muda mencicipi sambil menunjukkan
perasaan ingin dianggap cantik, saling bersaing untuk mencicipi sesedikit

mungkin, takut ada yang memperhatikan.
Setelah selesai, para tamu berpamitan pulang. Mereka keluar rumah dan
pribumi mengantar sampai ke golodog.
Begitu tiba di rumah Haji Samsudin, Nyi Haji Basinah bercerita
sebagaimana yang dialaminya dan sesuai dengan apa yang Haji Abdul Raup
telah sampaikan. Tuan Haji Samsudin tampak begitu bergembira serta
bersepakat mengadakan kenduri tanggal 17 Rayagung.

2

II
“Punten!”
“Rampes! Siapa ya? Wah, Nyi Dampi! Ada dagangan apa yang anehaneh?”
“Macam-macam, juragan. Ada kain Solo, Jogja, pekalongan yang
bagus. Ada pula buatan Tasikmalaya dan Garut; bermacam-macam modelnya;
kemben pun rupa-rupa.
“Masuk saja ke rumah. Temui Si Nyai. Mudah-mudahan ada yang
disukainya.”
Kemudian Nyi Dampi masuk dari pintu dapur sambil menggendong
barang dagangannya, diikuti oleh seorang anak yang sama-sama membawa

buntelan barang. Mereka masuk ke pelataran tengah, kemudian masuk ke
kamar Nyi Rapiah.
Sudah beberapa lamanya Nyi Rapiah dilarang ke dapur sekalipun. Ia
dipingit di kamar karena akan dinikahkan. Sejak semula, sejak tumbuh remaja,
keluar rumah ia tidak diperbolehkan. Begitulah adat kebiasaannya.
Begitu Nyi Dampi melihat Nyi Rapiah, ia sampai bengong karena Nyi
Rapiah tampak sangat cantik, cahayanya keluar apalagi ia sudah lama tidak
bertemu. Dulu ia belum bisa mempercantik diri. Nyi Dampi berkata dalam
hatinya: “Pantas saja Aom Usman begitu tergoda ingin kepada Nyi Rapiah
yang begitu cantik ini.”
Kata Nyi Rapiah, “Duduklah, Embi! Membawa apa?”
Nyi Dampi menjawab, “Macam-macam, Lis. Ada kain, ada juga
kemben.”
“Coba saya lihat. Saya suka samping kebat ini. Berapa harganya?”
“Itu tidak kurang lagi, Rp 25,- membelinya pun Rp 22,50,-“
“Wah, koq mahal sekali? Bisa Rp 15,-?”
“tidak bisa, Lis. Harga belinya pun masih jauh. Dan ini Embi membawa
cincin markis, tampak begitu cantik. Cocok untuk dipakai oleh Eulis. Cobalah
pakai di jari manis.”
Nyai Rapiah pun mencobanya.

Nyi Dampi berkata, “Wah tampak manis, cocok sekali, menyatu.
Cincin cantik bertepatan dengan jemari yang manis lentik. Cobalah lihat
berliannya yang begitu berkilau, cahayanya warna-warni. Mirah delima yang
ditengahnya begitu cantik, cantik seperti terasa manis. Kulit kuning langsat
semakin tambah bercahaya oleh batang emas.
Nyi Rapiah berkata, “Wah, Embi bisa benar menyerasikannya. Berapa
ini harganya?”
“Kalau harganya Rp 25,-. Meskipun berliannya kecil-kecil, tapi bagus,
tak ada yang retak; mirah delima pun jenis yang bagusnya.”
“Ah, terlalu mahal, Embi. Tak punya uangnya. Apalagi, meskipun
jelek, kalau hanya cincin saya pun punya. Tapi kain itu, saya beli satu jika
boleh Rp 20,-“

3

“Boleh saja, Lis, saya murahkan. Ya anggap saja memberi sebagian.
Kepada yang lain tentu tidak akan diberikan. Kalau cincin itu, jika mau,
silahkan saja, jangan dibeli.”
“Jangan dibeli bagaimana?” Ngasih?”
“Iya, diberikan.”

“Ah, Embi ini suka becanda seperti kepada anak kecil saja.”
“Ih, bukan begitu. Sebenarnya Embi ini selain akan dagang, sambil
melaksanakan perintah Aom Usman kepada Nyai. Katanya ingin berkenalan.
Jika Nyai mau berkenalan dengan dia, silahkan cincin itu dipersembahkan
untuk Nyai. Sesungguhnya itu adalah kepunyaannya, bukan barang dagangan.”
Nyi Rapiah sesaat termenung dan diam tak menjawab. Setelah itu ia
pun berkata, “Siapa, Embi Aom Usman itu?”
“Ah, Nyai suka berpura-pura. Masa tidak tahu, dia itu putra juragan
Demang.”
“Ah, saya berani buta. Benar, saya belum berjumpa. Kalau namanya ya
saya suka mendengar.”
“Kalau dia tahu kepada Nyai.”
“Pantas saja karena laki-laki suka keluyuran.”
Setelah itu Nyi Dampi merogoh potret Aom Usman dari saku BH-nya.
Ia menyerahkan kepada Nyi Rapiah sambil melirik-lirik ke arah belakang,
kalau-kalau ada yang memperhatikan. Nyi Rapiah menerimanya sambil
tersenyum. Ia mengamatinya sambil kepalanya bergerak-gerak mengikuti
gerakan arah potert yang sengaja diubah-ubah. Ia berkata di dalam hatinya,
“Emh, apalagi aslinya, potretnya pun begitu tampannya. Cocok menjadi putra
menak. Ya inilah lelaki yang membuat perempuan tergila-gila.”
Pikiran Nyi Rapiah mulai goyah tergoda oleh yang tampan. Kalaulah
tidak takut oleh orang tuanya serta sudah nekat, tentulah ia akan nekat.
Kata Nyi Dampi, “Bagaimana, Lis, cocok?”
Nyi Dampi tersenyum sambil memberikan potret kepada Nyi Dampi.
“Kira-kiranya bagaimana, Lis?”
“Emh, Embi bukan bandingan saya.”
Nyi Dampi tersenyum sambil menutupi mulutnya serta berkata, “Wah,
Eulis, harus bagaimana? Menurut Embi sudah pasangan yang cocok sekali;
yang cantik dengan yang tampan.”
“Ih, bukan itu, Embi. Tapi Embi juga lebih tahu. Bukankah saya akan
bersuami. Bagaimana jadinya para orang tua jika saya berbuat hal yang tidak
pantas. Salahnya, mengapa tidak sejak dulu. Abah pun tentu akan mengijinkan,
kalau menang benar-benar ada maksud. Tapi yang namanya menak kepada
kaum jelata suka meremehkan dan menghina. Sekarang lanjutkan saja. Semoga
di akhirat bisa bertemu sukma dengan sukma. Adapun cincin ini, bukan tak
berterima kasih, tetapi saya merasa risi, takut diketahui orang tua. Lebih baik
kembalikan saja.”
Sementara itu, datanglah Nyi Haji Abdul raup ke kamar. Nyi Dampi
simbuk menyembunyikan potret. Ia takut kepergok oleh Nyi Haji. Kata Nyi
Haji, “Apa yang akan dibeli, Nyai?”
Kata Nyi Dampi, “Ini ingin kain seharga Rp 20,-“

4

“Silahkan, beli saja.”
Kain diambil Nyi Rapiah dan dibayar kontan oleh Nyi Haji.
Nyi Dampi cepat-cepat berpamitan pulang dan tampak gembira karena
menerima hasil berjualan kain yang labanya besar.

5

III
Pada suatu hari, kira-kira pukul lima sore, Aom Usman duduk di teras
belakang pada sebuah kursi malas ditemani beberapa orang temannya yang
masih muda. Sebagian adalah saudara dekatnya yang dijadikan teman untuk
ikut serta dalam segala kegemarannya.
Aom Usman itu adalah putra seorang menak besar serta kaya. Sekarang
masih membujang tapi sudah menempati rumah sendiri.
Aom Usman yang putra menak besar itu sekarang sedang tergila-gila
oleh Nyi Rapiah, anak haji Abdul Raup orang pasar.
Sementara itu datanglah Nyi Dampi tukang jualan barang yang disuruh
menemui Nyi Rapiah.
Aom Usman tampak terperanjak. Jantungnya berdetak kencang saat
Nyi Dampi datang. Ia ingin segera bertanya. Setelah Nyi Dampi duduk, ia pun
bertanya, “Bagaimana, Dampi?’
“Iya. Saya berserah diri, perkara perintah itu, tidak berhasil. Dia tidak
mau karena sekarang akan bersuamikan Ujang Kusen, anaknya Haji Samsudin
pasar. Malahan cincin ini terbawa lagi.”
Sesaat Aom Usman tercenung tak berkata karena kecewa, keinginannya
tidak terlaksana.
Setelah lama dan Nyi Dampi telah pergi, ia berkata kepada temantemannya, “Cobalah, sekarang apa yang harus diperbuat. Ternyata begitu
laporan Nyi Dampi.”
Kata R. Sastra, putra juragan Kanduruan, “Menurut saya, mudah saja.
Kita culik saja jika perempuannya mau.”
“Sipa orangnya yang berani memasuki rumahnya?’
“Ada. Saya punya kenalan. Namanya Abdullah, orang masih orang
pasar juga. Sepertinya dia punya banyak saudara karena bisa keluar masuk
rumah orang-orang kaya. Dalam acara-acara kenduri, ia pun tak ketinggalan
biasa membantu. Dia mudah sekali dijadikan comblang. Malah ketika saya
berpacaran dengan Nyi Sukmi, anak tukang warung yang diperempatan pasar
itu, dialah comblangnya. Cepat sekali melebihi Si Tumang yang menangkap
rusa hutan di bukit Laja.”
Aom Usman tertawa kemudian berkata, “Coba panggilkan Si Abdullah
untuk dimintai tolong.”
Seorang pengawal disuruh memanggil Si Abdullah. Kemudian ia cepatcepat pergi. Tak lama kemudian Si Abdullah datang diikuti oleh pengawal.
Dari kejauhan Aom Usman sudah memanggilnya. Ia pun menghampiri dan
menyembah, kemudian duduk bersila.
Kata Aom, “Abdullah, kamu disuruh datang kemari karena saya akan
meminta tolong kepada kamu. Saya sangat menginginkan Nyi Rapiah pasar itu.
Caranya bagaimana kamu saja. Jika sampai kamu bisa mendapatkannya,
tunggu saya balasan saya untuk kamu.”
Si Abdullah termenung seperti berpikir begitu dalam. Telunjukknya
diacungkan dan ditempelkan ke jidatnya sambil mengerutkan jidat. Tak lama
kemudian ia pun berkata, “Ah, gampang. Nanti saja ketika ngunduh mantu,

6

kita culik saja. Sekarang akan dikawinkan kepada Ujang Kusen. Kalau ke
rumahnya Haji Abdul Raup, saya tak bisa masuk karena terlalu beresiko
mendapat bentakan. Baru saja muncul, dia sudah berteriak, “Kamu akan apa
kemari? Jangan masuk.”
Aom Usman berkata sambil tersenyum, “Saya kira kamu sudah terkenal
jadi comlang perempuan.”
“Benar. Di pasar tak ada lagi yang menjadi comlang selain saya.”
“Baiklah. Sekarang pulang saja. Nanti jika sudah dekat waktunya kita
berunding lagi.”
“Baiklah. Saya siap menjalankan apa yang diperintahkan.”
“Ya.”
Si Abdullah pun pulang.
Adapun Aom Usman malam itu tak pergi ke mana-mana. Ia berdiam
diri saja di rumah. Teman-temannya diminta untuk menemaninya hingga
malam, seperti biasa saja. Kegiatannya dari pukul tujuh menabuh gamelan
hingga waktunya makan malam. Mereka berkumpul untuk makan bersama para
menaknya. Adapun sisa makanannya diserahkan kepada para pengawalnya.
Setelah selesai makan, mereka pun kembali bercakap-cakap. Semua
sama-sama mengeluarkan keahliannya dalam menghibur hari yang sedih. Ada
yang mendongeng, ada yang berbicara biasa saja, sebagian ada yang
berkelakar, sebagian menunjukkan kepandaiannya dalam gurauan memaki.
Yang tidak bisa berbicara, hanya menjadi orang yang ikut tertawa saja. Adapun
yang paling pandai melawak adalah Agan Suma putra juragan Rangga. Jika
sudah mulai berkelakar, semua tak ada yang diam. Lebih dari lawakan reog
dari bapa Eon orang Tasikmalaya.
Malam itu hingga pukul satu tak ada hentinya tertawa riang. Setelah
Aom Usman sudah mengantuk, barulah semuanya diijinkan pulang.

7

IV
Tanggal 17 Rayangung sudah dekat. Di rumah Haji Abdul Raup siang
malam sudah ramai. Berdatangan tamu dan orang-orang yang akan membantu.
Bacreuk terhampar di dua tempat. Satu tempat untuk laki-laki. Satu lagi
untuk perempuan. Tampak berkilauan wadah kinangan dan tempat ludahnya
dari kuningan, berjajar di ruang tengah. Teras pun ditambah dengan sosompang
agar menjadi luas dan ditutupi dengan kasang jinem. Di ruang tengah sudah
dihiasi oleh bermacam-macam pigura, cermin, dan jam. Tiang tengah dihiasi
seperti cara puade. Paturon sudah diberi puade, kelambunya kain tipis putih,
dari depannya dipakai kain kesumba, dan tirainya dengan sutra hijau. Bantal
putih tampak bersusun, bantal guling di kiri kanannya.
Di belakang tampak saung besar yang dipenuhi para pegawai, laki-laki
dan perempuan.
Tiga hari sebelum nikah pengantin lelaki sudah pindah, diantar oleh
wakil orang tuanya, diserahkan kepada calon mertuanya. Haji Andul Raup
menerima dengan senang hati. Kemudian ditempatkan dengan baik kamar yang
akan ditempatinya. Begitu diperhatikan dengan baik. Besok harinya, tampak
rombongan yang akan membantu memasak. Saung semakin penuh. Para
pekerja sampai ada yang di luar.
Para perempuan yang akan mencincang sudah berkerumun saling
bersaing dalam urusan dandanan. Nyi Haji tak henti menerima tamu yang
datang dan melayani yang menemuinya.
Malam hari sebelum acara pelaksanaan nikah, semakin banyak tamu,
terutama laki-laki, tampak penuh di rumah Haji Abdul Raup. Besan kali-laki
perempuan pun sudah ada di sana. Berjajar para pemuda, berkumpul para
orang tua, sesuka hati. Ada yang bercakap-cakap saling bersahutan, ada pula
yang berdiam diri. Yang menjadi pertunjukan saat itu adalah tembang. Adapun
di bagian belakang ramai oleh orang yang sibuk mengisi potrang dan
idagangan.
Dikisahkan keesokan harinya, tanggal 17 Rayagung, pukul tujuh
tambur ditabuh untuk mengingatkan undangan dan menghormat kepada setiap
tamu yang sudah datang.
Saat pukul 9 pengantin lelaki yang sudah didandani muncul dari rumah.
Ia dibendo ditotopong gadung, tepinya dihiasi warna emas, rapat seperti
blankon pangeran-pangeran Solo. Ujung iket di jidat dilipat, diselipkan intan
sebesar kacang. Bajunya memakai tali bandang emas, kain kebatnya
didodotkan, dicelana beludru sampai lutut, dibordil dengan benang emas. Ke
bawahnya memakai kaos dan sepatu. Keris emas terselip di pinggang, tampak
sabuk dua lapis. Epek sutra yang paling luar dibordil emas. Di telinga
bergelanjungan susumping di kanan kirinya. Mukanya memakai bedak.
Setelah itu, pengantin dinaikkan ke atas kuda daragem yang bagus.
Tingginya 8 dim; dipayungi oleh peyung kebesaran. Berangkatlah iring-iringan
menuju mesjid akan melaksanakan pernikahan.
Yang berada di bagian depan adalah tanji dan diikuti oleh pengantin.
Langkahnya menyamping dan tampak miring pula payung kebesarannya yang

8

tampak berwibawa seperti Pangeran Trenggono ketika akan menuju negara
Surabaya.
Di belakang pengantin, ada genjring Palembang diikuti oleh ir ingiringan yang mengikutinya, yaitu para undangan yang masih muda.
Bermacam-macam tingkahnya para pengiring. Ada yang menampilkan
ketampanannya, ada yang menampilkan dandanannya, sebagian tampak
bersemangat seperti akan maju ke medan perang. Adapun yang paling gagah
adalah Ujang Rapi. Ia memakai udeng kacirebonan, bajunya model putih
dengan kebawahan kain sutra. Memakai tarumpah bordil buatan Cianjur.
Payung bawat hitam yang terbuka sambil menjinjing kain bawahan sebelah,
memperlihatkan celana pangsi.
Tak sampai pukul sepuluh, pengantin sudah kembali ke rumah. Tampak
di rumah sudah penuh oleh orang-orang yang akan menghadapi hidangan.
Setiap yang mengantar ke mesjid ditempatkan di kamar yang masih kosong.
Adapun pengantin dibiarkan untuk berbenah diri, tidak diperintahkan untuk
berkumpul.
Setelah kyai berdoa, Haji Abubakar berdiri dekat pintu serta berkata
lantang. Katanya, “Perhatian untuk semua yang duduk di sini, semua handai
taulan dan sobat-sobat, saya mewakili yang empunya kenduri, bahwa ada
nazarnya, jika Si Nyai sampai kepada kepastian jodohnya, ingin mengadakan
arak-arakan nanti jam empat. Itu sebagai wujud rasa sayang kepada anak. Oleh
karena itu, saya mohon kepada semuanya, semoga sudi ikut dalam iringaniringan itu. Nanti pukul dua ditunggu sekali. Sekarang, dipersilahkan untuk
menyantap hidangan yang alakadarnya.”
Maka mereka pun mulai menyantap hidangan. Sebagian potrang dan
hidangan kemudian dibuntel oleh saputangan, tidak dimakan. Setelah selesai,
para tamu undangan kemudian pulang sambil menjinjing bingkisan. Haji Abdul
Raup berdiri di pintu, menyambut yang akan pulang, kemudian bersalaman
sambil meminta maaf. Tambur terus dimainkan menghormat kepada tamu
undangan yang pulang.
Dikisahkan setelah pukul dua, pengantin pria dan wanita sudah
didandani.
Ujang Kusen badannya dibedaki atal, mukanya pun dibedaki cukup
tebal; kemudian dipasangkan kain kebawahan berupa dodot seperti sewaktu
akan pergi ke mesjid. Tapi bedanya sekarang adalah ia tak memakai baju yang
dikenakan sebelumnya tapi memakai baju teratai saja, lengannya memakai
gelang dan dipasang kilat-bahu. Kepalanya tidak dipasangkan bendo tapi
mahkota.
Juru rias perempuan sibuk menghias Nyi Rapiah. Badannya dibedaki
atal, keningnya dihiasi, kemudian dibedaki; sanggulnya dipasangkan kembang
goyang dan dikenakan siger. Badannya memakai apok susu, memakai baju
tarate dan dipakaikan kain bawahan songket tabur; kaos dan selop
sebagaimana biasanya. Anting berlian seharga Rp 1000,- tampak berkilauan di
telinganya. Gelang berhiaskan intan di pergelangan kiri dan kanan; kilat bahu
emas duket, pending bertaburkan intan. Jemari dipenuhi cincin. Di dadanya
bertumpuk kalung tiga macam: kalung emping, susun, dan didinaran.

9

Setelah rapi, berdirilah Nyi Rapiah, dituntun oleh seorang tua. Para
perempuan mengiringinya. Ia pun didudukkan di atas kursi disandingkan
dengan Ujang Kusen di ruang tengah. Pakaian pengantin tampak gemerlap
membuat orang terpesona melihatnya.
Meski sudah dua hari dua malam, Ujang Kusen samasekali belum
bertemu dengan kekasihnya. Baru hari itu ia bisa melihat Nyi Rapiah. Itu pun
ia tak dapat melihatnya dengan jelas sebab menunduk seperti yang malu.
Meskipun tidak terlalu jelas, Ujang Kusen terkesiap melihat kecantikan Nyi
Rapiah. Hatinya bergetar karena sangat senangnya mempunyai istri cantik.
Nyi Rapiah pun demikian menyukai kepada suaminya sebab Ujang
Kusen bukanlah sembarang orang, tegap dan baik hati.
Pukul tiga orang-orang sudah berdatangan akan mengikuti arak-arakan.
Semua berdandan habis-habisan. Ada yang menaiki delman, bendi, dokar yang
dibuka kap penutupnya. Yang tidak terlalu kaya, menaiki dokar sewaan.
Tepat pukul empat, berangkatlah rombongan arak-arakan. Yang paling
depan tukang tambur dalam dokar, diikuti kereta pengantin yang ditarik dua
ekor kuda Sitni, sepasang. Kusir dan pembantunya berdandang mentereng.
Pengantin berdampingan di kursi belakang. Di kursi depan ada dua perempuan
yang dijadikan pendamping dari hasil memilih pemudi yang paling menarik
untuk mengipasi pengantin. Keduanya didandani begitu gemerlap. Di tempat
lopor ada lelaki memakai baju hitam, celana lepas hitam, menghadap i
pengantin.
Dari arah belakang kereta pengantin, berjejer kereta, bendi, dan dokar
yang mengiringi pengantin. Karena Tuan Haji Abdul Raup itu orang kaya dan
banyak sanak keluarganya dan sahabat-sahabatnya, maka banyak pula yang
mengikuti arak-arakan tersebut. hingga setengah enam arak-arakan tak
berhenti, mengelilingi kota, mengelilingi daerah. Di tiap perempatan jala n
penuh dengan orang-orang yang menyaksikan arak-arakan itu. Maklumlah
pesta besar, semua orang tahu.
Setelah setengah enam, pengantin pulang kembali. Mereka membenahi
diri. Yang mengantar pun pulang ke rumahnya masing-masing.
Diceritakan pulul tujuh malam, pengantin kembali didandani seperti
tadi dan ditempatkan di kursi di hadapan jamuan, menghadap adep-adep. Di
samping adep-adep berdiri tegap bokor kuningan setinggi setengah badan.
Di emper wayang golek berada id panggung, gamelan sudah
diselaraskan. Anak-anak menonton saling mendahului. Mereka ingin duduk
dekat kotak atau didepan dalang, maksudnya ingin sambil memainkan wayang.
Pukul delapan gamelan sudah dimainkan mengumpulkan orang-orang yang
akan menonton, mengundang dengan semangat orang yang akan datang.
Dari pukul delapan sampai pukul sembilan, berdatangan terus pria
wanita, tua-muda. Setiap yang datang para perempuan, selain anak kecil dan
yang hanya mendampingi, mereka memberikan uang dalam kotak kecil sambil
memberi sesuatu pula kepada Nyi Haji Abdul Raup. Adapun uang pemberian
mereka, kemudian dimasukkan ke dalam bokor yang setinggi setengah badan
itu. Di luar, Tuan Haji sudah memerintahkan dua tiga orang yang bertugas
untuk mempersilahkan duduk para tamu laki-laki.

10

Para tamu duduk rapi menghadap bacreuk; perempuan dengan
perempuan, laki-laki dengan laki-laki; yang sudah tua dengan yang sudah tua
juga; yang muda dengan yang muda. Dilihat dari luar, tampak sebagian besar
adalah perempuan, sebab lelaki banyak yang duduk di luar di atas kursi.
Betapa lucunya melihat tingkah orang yang berada di dalam. Seperti
dalam mimpi saja atau di sawarga loka saja. Patetebah yang begitu bercahaya
tersorot lampu berpuluh-puluh tampak terang benderang. Setiap yang hadir,
jika perempuan tampak seperti cantik, jika lelaki tampak tampan.
Begitu juga jika melihat kumpulan para pemudi, membuat terbengongbengong. Tampak mereka begitu cantik dan menarik, tampak semakin
bercahaya dengan pakaian yang begitu bagusnya dan tersorot cahaya lampu.
Seperti bukan dalam kenyataan saja. Jika sudah melihatnya, seperti melihat
bidadari dari kahyangan saja. Cahaya intan pada anting, penit i, liontin dan
gelang, semua tampak berkilau seperti beribu-ribu bintang ketika langit sedang
bersih dan tersorot cahaya bulan; cahaya lampu damar seperti bulannya.
Gelang emas tampak berkilauan di tangan yang kuning langsat yang sedang
digunakan untuk meraba sanggul atau menggaruk kepala. Seperti kilauan kilat
dalam kegelapan. Menggaruk bukannya gatal banyak kutu, itu adalah isyarat
melambai kepada orang di luar, meminta ditunggu untuk pulang.
Bermacam-macam pakaian, sutra, salahi, encit, dan batis polos. Jika
diamati seperti benar-benar kembang setaman yang berwarna-warni serta
sedang mekar-mekarnya. Bagaimana tidak menjadi pembangkit syahwat,
penarik birahi, jadi objek kesenangan tatapan mata para pemuda.
Dilihat sanggul, semakin membuat bimbang. Yang melacur ada yang
memakai poni, aya yang disanggul jucung mengikuti model nyonya-nyonya
Cina, jabingnya sama-sama tampak melebar, dan diselipi daun raniem atau
kembang gulo untuk pemikat para penonton, lelaki bujang, dan pereda amarah
suami.
Meskipun melihat para perempuan yang begitu menarik, tetapi ketika
melihat pengantin, semua kalah karena memang bintangnya pasar. Dapat
diibaratkan Nyi Rapiah itu seperti bintang timurnya. Adapun perempuan yang
lainnya adalah bintang yang banyaknya, semua tertutupi.
Setiap yang melihat tiada bosannya. Pengantinnya begitu menarik baik
lelaki maupun perempuan. Semua mengatakan, Nyi Rapiah dan Ujang Kusen
begitu cocok, yang cantik dengan yang tampan, apalagi sama-sama kaya.
Tentulah jadi bahan pembicaraan, seperti Rama dan Sinta.
Pengantin duduk berdampingan di kursi; dikipasi oleh dua perempuan
yang menarik serta telah berdandan habis-habisan. Pakaiannya seragam.
Tampak begitu lucu menambah sari untuk pengantin.
Dari belakang pengantin, paturon sudah dihiasi. Damar menyinari er
emas dan kaca. Cahayanya menyebar. Di dalam kamar, kelambunya putih,
seprei dan bantalnya putih. Tampak dari luar cahayanya remang-remang
tertutupi tirai sutra hijau dan tutup kelambu kesumba, membangkitkan lamunan
para pemuda.
Pukul sembilan, dalang baru memulai mendalang. Tak terkira serunya
karena dalangnya mahir, kekawinnya enak didengar, melawaknya

11

membangkitkan tawa. Panayagan ramai dengan senggak dan alok. Tukang
saron tak henti-hentinya melontarkan sesebred dan pantun, menambah semakin
menariknya wayang.
Penonton begitu rapat, pria-wanita, tua-muda. Maksudnya bukan hanya
menonton wayang saja, tapi ingin melihat pengantinnya. Begitu juga dengan
banyak lelaki dan janda yang melacur, selain menonton wayang dan pengantin,
juga menonton orang yang menonton.
Para pedagang berjualan hingga tepi jalan kanan dan kiri. Lampu
damarnya bersaing besar. Tak henti bunyi trang tring pedagang cendol dan
cingcau yang melayani pembeli. Tercium harum sate dan maranggi; tercium
pula asap bajigur dan bandrek. Anak-anak ramai menawarkan lepit dan rokok;.
Mereka saling menyelinap di antara orang banyak. Berjajar pedagang rebus
kacang tanah, sangray kacang tanah, ketan ditaburi parutan kelapa dan
pedagang lainnya.
Setelah pukul dua belas, pengantin dandanannya sudah ditanggalkan.
Penonton sudah mulai meninggalkan arena. Tamu undangan sudah banyak
yang pulang. Anak-anak tidur tak beraturan dekat kotak. Semakin malam
penonton semakin sedikit. Yang tersisa tinggal para orang tua saja yang gemar
menyimak kisahnya disesuaikan dengan ilmunya. Suara dalang sudah
terdengar parau. Tapi itu menambah perasaan haru bagi orang yang gemar
menonton. Panayagan sudah tak tampak ceria, akibatnya banyak penonton
yang mengantuk. Tukang gong sering dibentak dalang karena memukulknya
bukan pada waktunya. Sebagian penonton perempuan masih ada, tapi sorenya
yang tampak menawan, malam itu sudah tampak layu, terserang kantuk,
cahaya suram, bedak pun meluntur, apalagi cahaya damar sudah berkurang,
hanya tinggal remang-remang saja.
Lagu salendro semakin malam semakin membuat perasaan terkenang,
apalagi lagu ombak banyu meninabobokan anak yang sedang tidur, mengajak
bangun bagi yang sedang hampir tidur, mengiris hati bagi orang yang sedang
tergila-gila.
Di jalan yang sorenya banyak orang, saat itu tinggal pedagang rokok
dan takoah. Itu pun tinggal bekasnya saja. Adapun yang sudah menonton
duduk diselimuti samping, mendekati pedagang, tak bisa pulang, tertinggal
oleh temannya. Cahaya bulan semakin malam semakin terang. Bintang
bertaburan, cahaya kecilnya berkelip-kelip, cahaya besarnya tampak berkilau
terang membuat semakin menambah rindu terkenang akan orang yang pulang
setelah berkunjung kepada pacar. Ditambah lagi suara ayam yang bersahutan,
seperti mengucapkan selamat tinggal. Begitu membuat air mata terjatuh.
Meski yang menonton sudah sedikit, tapi wayang tetap dimainkan
karena ditonton oleh para orang tua dan yang gemar menonton. Pukul setengah
enam barulah gamelan dikebojirokan, membubarkan penonton.

12

V
Pada suatu sore ketika cuaca kebetulan sedang bagus, langit bersih tak
ada mendung. Matahari dirasakan sudah tidak panas sebab sudah hampir
menuju ufuk barat. Di seluruh hamparan langit yang tampak hanya awan putih
dan hitam saja, menaungi langit biru seperti sengaja dipadupadankan. Tampak
aneka rupa awan. Ada yang seperti orang yang sedang berdiri mengajak
terbang jauh ke awan kepada yang sedang jalan-jalan. Sebagian seperti gunung,
seperti pohon yang rindang, sebagain lagi tampak bergelombang seperti ombak
lautan. Itu semua membuat menggugah hati para pelaut. Ada pula yang
berjumput-jumput seperti pulau di tengah lautan.
Di pasar, tepatnya di perempatan jalan, orang berkerumunan; ada yang
membeli sesuatu ada pula yang sengaja jajan; sebagian hanya nongkrong saja
sambil melihat orang-orang yang sedang jalan-jalan.
Para pemuda yang telah berdandan berdatangan. Sebagian ada yang
akan diarak. Tak ketinggalan juga para perempuan nongkror dengan orangorang yang sedang jalan-jalan menikmati suasana. Sebagian memakai
gamparan, mengenakan kain bawahan menutupi sebagian bajunya, disanggul
dibulukbukeun, menunggu yang telah berjanji bertemu. Sebagian
berpenampilan sederhana, kemudian pergi ke pasar alasanannya akan
berbelanja, tapi tak memegang uang seperser pun.
Suara dokar terdengar melaju di jalan. Bendi orang-orang kaya dan
kereta kuda tuan-tuan berjalan-jalan menikmati udara segar karena sore yang
cerah oleh lembayung senja. Yang gemar naik kuda, berjalan-jalan menikmati
suasana, menunggang kuda yang sengaja jalannya sesekali dimiringkan,
menuruni jalan.
Dikisahkan pengantin, Ujang Kusen dan Nyi Rapiah saat itu berada di
teras depan menyaksikan orang-orang yang jalan-jalan. Lelakinya duduk di
tingkeban. Tampak dari luar hanya kepalanya saja, memakai totopong Solo uit
diportengkan. Bajunya kampret putih yang et lah disetrika dengan sangat
rapinya.
Adapun Nyi Rapiah berdiri di pintu, memakai baju encit, mengenakan
lasem kebawahannya, bersanggul dibalukbukeun tampak manis. Berkilau
liontin emas pada leher se
perti menyatu dengan kulit yan
g begitu
bercahayanya. Tampak dari jalan begitu bercahayanya. Maklumlah sorot
pengantin dan tepat di orang yang cantik. Meski pun jelek, pengantin selalu
tampak bercahaya.
Mengenai
Nyi
Rapiah,
sudah
ten
tu
memperhatikannya.
Menceritakannya pun tak akan bosan-bosannya. Begitu cantik membuat
terkesiap yang memandang. Badannya mulus dan seimbang, tidak terlalu tinggi
dan tidak terlalu pendek. Kulitnya kuning langsat, mukanya oval, jidatnya
melengkung sabit, matanya bulan menawan, hidungnya mancung, bibirnya
tipis merah dan sedikit keriting. Lengannya tampak berisi. Adapun orangnya
tampak pendiam, begitu anggun sebagai wanita.
Matahari semakin lama semakin tenggelam. Muncullah lembayung
senja yang cahayanya menyebar. Setiap yang terkena sinarnya, tampak seperti

13

emas. Dedaunan tampak berkilauan. Begitu pula dengan kembang kayu ambon
di tepi jalan besar, begitu indahnya, merah menyala, seperti sutra. Tersorot
lembayung tampak menarik tiada bandingannya. Tentunya, untuk pengantin,
sore itu bagi mereka begitu berkesan. Hingga akhir hayat pun tak akan lupa,
saat begitu saling mengasihinya, membangkitkan birahi dan mengundang
pesona. Keduanya semakin tertarik, semakin lama berdiam diri di muka teras
tersebut. Begitu juga dengan Ujang Kusen karena sambil memandang
kecantikan istrinya.
Tak lama kemudian datanglah bendi dari arah utara. Kapnya dibuka.
Penunggangnya seorang pria dan seorang lopornya. Kuda Sumba jantan hitam
legam. Kendalinya merah. Tampak dari kejauhan seperti bulan yang baru
muncul. Ternyata pria tersebut adalah Aom Usman yang mengenakan solo
doktor, dengan baju tariko ungu, kain bawahannya gerusan peupeus, tampak
putih bersih krah di leher dan rantai emas di dadanya.
Ketika sampai di dekat Nyi Rapiah, terlihat sedang berdiri di pintu, ia
kemudiam berdehem sambil tersenyum. Setelah Nyi Rapiah melihatnya bahwa
itu adalah Aom Usman, cepat-cepat ia masuk ke rumah kemudian ke dapur
sambil berpura-pura akan menemui ibunya.
Ujang Kusen setelah melihat tingkah Aom Usman dan istrinya seperti
itu, menjadi begitu marah. Mukanya memerah, badannya bergetar, hatinya
bergolak, panas serasa dibakar saja. Kalaulah Aom Usman ada di hadapannya,
mungkin sudah tertangkap basah perbuatan Aom Usman yang dengan sengaja
berbuat seperti itu di hadapan Ujang Kusen. Mentang-mentang putra menak,
tak ada samasekali sopan santunnya.
Ujang belum berani marah kepada istrinya karena baru bertemu,
keterlaluan! Apalagi ia belum tahu dengaan pasti dosanya. Ia membujuk diri
saja. Dalam pikirannya, “Jika Si Piah dan Aom Usman sudah berpacaran, tak
terduga sedikit pun. Kapan mereka bertemunya karena kebiasaan pasar, tak ada
gadis yang diumbar, apalagi tak ada sama sekali bekasnya. Yang menyukai
istri saya tentulah banyak karena jelas cantiknya. Si Piah pun tentu suka kepada
Aom Usman karena begitu tampannya. Maklumlah manusia, lelaki perempuan
sama-sama mempunyai syahwat. Lelaki melihat yang cantik tentu muncul
kesukaannya; perempuan melihat yang tampan tentu suka. Itu tidaklah salah.
Yang dilarang adalah dengan sengaja mengamat-amati agar timbul syahwat,
apalagi dengan praktiknya melakukan perbuatan jeleknya. Tapi yang membuat
sebal dari Aom Usman, dia sengaja berdehem sambil tersenyum. Merasa diri
anak menak. Ia tak menjaga perasaan. Tapi biarlah kalau hanya seperti itu.
Anggap sidekah saja.”
Ia teringat akan nasihat orang tuanya, jika sedang marah harus pindah
posisi: jika sedang duduk harus berdiri; jika sedang berdiri harus duduk atau
berjalan-jalan. Dan lagi amarah itu sama dengan api, penawarnya harus dengan
air, mandi, atau minum.
Nasihat itu ia laksanakan. Ia kemudian meminum air mentah. Turun ke
halaman, dan nongkrong di jalan besar. Ternyata amarahnya reda.

14

VI
Menurut adat kebiasaan, jika pengantin sudah tujuh malam berada di
rumah orang tua perempuan, harus diterima, dipindahkan ke rumah orang tua
lelaki. Nyi Rapiah pun demikian. Saat itu sudah lima malam; tersisa dua malam
lagi harus pindah. Karenanya, perasaan Tuan Haji Abdul Raup dan istrinya
begitu sedih karena anak yang begitu disayangnya; seumur hidup belum
merasa berpisah dengan orang tuanya. Malah sebelum mempunyai suami,
tidurnya pun sering bersama ayahnya. Bukan karena tidak mempunyai anak
lagi, tapi tidak ada anak yang disayang seperti Nyi Piah. Banyak sekali
perasaan khawatir Tuan Haji Abdul Raup; ia takut anaknya tidak betah, takut
suaminya tak terlalu sayang dibandingkan dengan sayangnya dia kepada
anaknya, terutama takut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. apalagi
anaknya begitu cantik. Ayahnya khawatir, anaknya tak kuat menahan nafsunya.
Itulah yang dikhawatirkannya. Ia merasa takut melebihi takutnya ketika
mencabut sembilu; takut melebihi takutnya menginjak lubang perangkap.
Tapi apa mau dikata karena lazimnya orang harus berkeluarga. Dan
lagi, orang tua tak akan bertunas. Akhirnya pasti akan terpisah. Karenanya, tak
ada lagi cara selain harus berpasrah kepada Yang Maha Suci karena Dia yang
memiliki. Apapun kehendaknya, tak akan ada yang dapat menghalangi.
Tetapi meskipun demikian, Tuan Haji Abdul Raup berpikir, saya
jangan berkurang ikhtiar. Anak tersebut harus dinasihati agar mengerti kepada
jalan yang benar karena perbuatan menurut kepada pengetahuannya. Kata lebe,
amal menuruti ilmu. Tak ada manusia yang sengaja menjalankan satu
perbuatan yang dirinya sendiri tidak begitu tahu. Lazimnya ijka pikiran
manusia dipenuhi oleh ilmu yang baik, perbuatannya pun akan benar.
Sebaliknya, manusia yang pengetahuannya hanya kepada jalan yang jelek,
perbuatannya pun akan jelek. Itu sebabnya, manusia harus dididik kepada jalan
kebaikan, harus bergaul dengan orang yang baik agar bisa mencontoh dan
mengikuti tingkah lakunya yang baik.
Kemudian Nyi Rapiah dan suaminya dipanggil. Tuan Haji Abdul Raup
duduk di atas tikar beludru, bersandar ke dipan. Di atasnya ada cermin besar.
Nyi Piah dan Ujang Kusen duduk di hadapan ayahnya. Ibunya pun ada di sana,
tak jauh dari mereka.
Haji Abdul Raup berkata, “Piah, dengarkan baik-baik, Abah akan
memberi nasihat. Sekarang kamu sudah mempunyai suami, sudah ada yang
wajib. Orang tua hanyalah tinggal status saja. Sebentar lagi kamu harus pindah,
mengikuti suamimu. Begitulah adatnya perempuan harus menurut kepada
suami. Jangankan dibawa ke tempat terang, meski dibawa ke lubang yang
sangat sempit sekalipun harus ikut. Karenanya, tak ada lagi yang dapat
dijadikan untuk menitipkan diri sekujur tubuh selain kepada suami, pengganti
orang tua. Jika tidak diindahkan, tidak menurut suami, tentu suami tak akan
menyayangi. Sebaliknya jika kamu manut, kasih sayang suami akan melebihi
kasih sayang orang tua. Tapi kamu tak akan mengindahkan suami jika kamu
tidak terlebih dahulu mengetahui ilmunya. Oleh karena itu, Abah akan
menasihati.

15

Ingatlah, janganlah kamu mempunyai hati yang takabur sebab akan
membuat diri menjadi sial.
Kata orang tua, “barangsiapa takabur, pasti akan dijatuhkan derajatnya
oleh Gusti Allah hingga ke bawah; sebaliknya yang rendah tentu akan
dijunjung.
Adapun untuk kamu, tertanam jalan takabur dari diri kamu karena
alasan pertama, ayah ibu bukanlah orang yang terlalu hina, orang lain
menyebutnya kaya, dihargai, dihormati. Alasan kedua, kamu mempunyai
wajah cantik. Ketiga, kamu merasa kaya karena anak orang kaya. Keempat,
kamu merasa sehat, segar bugar karena masih muda. Kelima, setidak-tidaknya
kamu pun mempunyai pengetahuan karena sejak kecil oleh orang tua dididik
mengaji, diajari berkerja. Keenam, karena ada amal ibadah mencontoh orang
tua, itu akan mendatangkan ketakaburan. Ketujuh, meski kamu bukan orang
yang berpangkat, tapi teman-teman sebayamu menghargaimu karena melihat
orang tuanya. Tapi kamu harus mengerti, Nyai, ketujuhnya tak ada yang bisa
dijadikan andalan sebab tak ada samasekali yang kekal.
Keturunan menak, jika tidak te
rimbangi oleh kekayaan dan
kepangkatan, tidak akan ada keagungannya. Malah jika bersuami mendapatkan
kaum jelata, turunannya akan menjadi rakyat biasa lagi.
Jika kita punya derajat jadi anak menak, atau anak orang yang pantas,
jangalah takabur. Malah harus sujud syukur kepada Yang Kuasa sebab itu
adalah derajat besar yang tak bisa diikuti oleh yang lain. Dan harus hati-hati
agar bisa mencari sandingannya, yaitu harta kekayaan dan pangkat.
Wajah cantik paling awet hanya lima belas tahun, apalagi jika banyak
anak; tak mencapai waktu itu pun sudah telanjur rusak. Wajah sudah mulai
kasar dan kusam, kulit kuning langsat jadi jelek, rambut tebal jadi tipis. Jadi,
jika kita selagi muda, sedang cantik, segeralah baktikan kepada suami agar
nantinya, saat kita sudah tak berdaya, suami tetap akan sayang. Sebab, selain
oleh kebaikan, ia ingat akan kesenangan yang dulu, saat mencinta, tak
tersentuh oleh siapapun.
Kekayaan pun janganlah dijadikan kebanggaan, tak akan dapat
dijadikan andalan karena banyak yang kaya mendadak jadi melarat.
Jika Abah sudah meninggal, mungkin kekayaan dibagi-bagi karena
kamu punya banyak saudara. Meskipun asalnya besar, jika sudah dibagi-bagi
tentu masing-masing akan terbagi sedikit saja. Apalagi kamu perempuan,
bagiannya hanya setengahnya dari lelaki; tentulah semakin kecil saja. Harta
warisan itu jarang bermanfaat.
Harta warisan itu bisa saja awet jika jatuh kepada orang yang tadinya
sudah mulai akan menjadi kaya. Adapun jalannya kaya haruslah dimulai
dengan jerih payah dulu; harus menyesuaikan diri, sandang pangan harus
diatur. Itulah yang jadi syarat dasar untuk menjadi kaya. Jika karta
kekayaannya datang sekaligus, jarang sekali yang mampu mengaturnya jika
belum ada dasarnya.
Begitu juga dengan kemampuan fisik yang segar bugar, jangan sekalikali dijadikan sombong. Tak akan seberapa tenaga perempuan, tak akan

16

mampu menanggung beban. Jika bukan dari suami, mungkin kamu akan hidup
susah.
Kepandaian dan juga amal yang ada pada diri kamu sedikit sekali;
dapat dikatakan tiak ada saja jika dibandingkan dengan orang lain. Kalaupun
yang benar-benar pandai pun jika tidak diikuti dengan tingkah laku yang baik,
biasanya tak akan ada harganya.
Selama Abah hidup, kepada kamu mungkin masih banyak yang
menghargai. Sebab kata peribahasa: bapa yang membawa harga. Jika Abah
sudah tidak ada, belum tentu karena kemulyaan biasanya ada waktunya, seperti
kedudukan juga. Adapun yang akan meneruskan harkat kepada kamu adalah
suami. Karenanya, kamu harus taat setia.
Jika kamu sudah mengerti bahwa yang tujuh perkara itu tak ada yang
bisa dijadikan sombong, silahkan segera rendahkan hati. Hati segera taklukan,
jangan tinggi hati karena keagungan ingin menandingi tingginya langit, apalagi
menghina kepada suami.
Selain itu, nasihat Abah, kami harus mengerti bahwa mempunyai suami
akan banyak sekali manfaatnya. Pertama, suami adalah pengganti ibu-bapak
yang akan mencukupi sandang pangan. Jika kamu menderita, tak ada lagi yang
akan memperjuangkannya selain suami. Dia tak akan merasa jijik oleh sesuatu
yang kotor, tak akan sayang akan harta benda untuk dipakai mengobati, tak
akan menyesal dan putus asa merasakan keletihan setelah merawat kamu dan
tak akan menggerutu karena kurang tidur kurang makan setelah merasakan
penderitaan kamu, asalkan kamu benar-benar setia kepada suami. Orang lain
tak akan ada seperti itu. Sahabat hanya suka jika sedang sehat, teman dalam
kegembiraan; jika untuk kesengsaraan, tak akan ada yang peduli selain suami.
Meski tidak dijalankan sendiri karena ada yang akan diurus, yang ruginya tentu
suami karena tetap sendiri.
Lazimnya manusia yang biasa mengalami kesusahan atau celaka, atau
aib. Tak akan ada yang peduli selain suami. Hanya suamilah yang bisa senasib
sependeritaan. Begitu juga dengan kesenangan, hanya suami yang pasti satu
hati. Karenanya orang tua menyebutkan, yang berumah tangga harus rukun,
senasib sepenanggungan.
Manusia itu lain dengan binatang. Kewajiban suami-istri harus
mempelajari ilmu yang akan bermanfaat. Untuk perempuan, ya suamilah yang
akan menuntunnya. Jika dia tidak bisa, wajib harus ihtiar, dilimpahkan kepada
yang lain.
Kata ulama, suami itu adalah ruang bersemayamnya taat kepada Yang
Sukma. Jelasnya, segala bakti istri kepada suami akan diganjar.
Abah sudah mencermati jalan-jalan yang akan membuat terpecah
rumah tangga, terutama masalah: 1. kejelekan, 2. kebodohan, 3. kemalasan.
Kejelekan menempati tiga ruang: dalam hati, dalam ucapan dan dalam
perbuatan.
Perbuatan yang paling jelek bagi istri teradap suaminya tak lain adalah
menduakan hati. Karenanya, Abah menasihati agar jangan sekali-kali sampai
seperti itu. Abah menitip telinga dan mata. Suami biarkan tenang pikirannya
dari jalan itu, begitu juga sampai mengetahui kamu berbuat hina atau

17

mendengar kabar tentang itu. Jangan sampai terjadi meskipun hanya sebatas
dugaan saja. Lazimnya, jika ada kabar tentu biasa akan ada buktinya. Begitu
juga dugaan suami banyak yang memang kejadian. Sehingga orang tua
mengungkapkan: setersembunyinya yang buang hajat. Jika istri sudah berdosa
seperti itu, meski awet jodohnya karena suami masih sayang, tentu akan awet
tapi hancur karena seumur hidupnya pikiran suaminya tetap berbekas. Dosa
yang lain akan ada maafnya, tapi yang satu ini, meski sampai mati pun,
dipasangkan nisan, ditutupi tanah merah, suami tak akan pernah lupa karena
begitu besarnya dosa kepada suami. Karenanya suka banyak orang yang
sampai tega karena itu.
Untuk menghindari petaka itu, tak ada lagi caranya selain jangan suka
menonton dan jangan bepergian sendirian tapi harus bersama suami.
Selain itu banyak lagi perbuatan jelek yang harus dihindarkan.
Terutama yang harus diingat, aj ngan ada tingkah laku kamu yang bisa
membuat susah atau aib kepada suami sebab semua orang harus dapat
menghindarkan penderitaan dan aib.
Ucapan atau perkataan yang disebut jelek yaitu setiap apa-apa yang
dapat membuat sakit hati atau menimbulkan aib. Sudah lazim yang berumah
tangga bertengkar. Tapi meski kamu sedang marah harus ingat jangan sampai
mengeluarkan perkataan yang menyebabkan sakit hati yang begi
tu
menyakitkan. Kata peribahasa: jangan karena lidah tak bertulang, bicara
semaunya saja. Di situlah kamu harus bisa menjaga lidah, menjalankan sopan
santun. Kata orang pandai: perkataan itu lebih tajam daripada pedang. Jika
badan terluka karena pedang, mudah sembuh kembali. Tapi hati yang terlukan
karena perkataan, sulit diobatinya. Kata orang tua: ucapan yang sudah
dilontarkan, bagaikan anak panah yang sudah melesat dari busur panahnya, tak
mungkin dapat ditangkap lagi. Karenanya, pantun pun sudah memperingatkan:
perkataan harus diukur, ucapan harus dipertimbangkan. Ingatlah, kamu jangan
menggunjing suami; jika sedang bertamu dijadikan kiriman, jika didatangi
tamu, dijadikan hidangan untuk tamu. Sesungguhnya bagi yang mengutamakan
keluhuran budi, jangankan menggunjing, memuji pun dihadapan orang lain
tidak pernah sebab memuji suami sama saja dengan memuji diri sendiri. Tentu
saja atas rahasia suami, jangan berani-berani membukanya. Banyak orang yang
celaka karena dibuka rahasianya oleh istrinya. Semua tak akan suka jika dihina.
Karenanya, hati-hatilah agar jangan berani-berani melontarkan ucapan yang
menghina suami.
Kejelekan hati pun banyak sekali. Cepat marah, ahli menghina,
sombong, pilih-pilih suami, menyombongkan status menak atau kekayaan,
berburuk sangka kepada suami, suka cemburu berat. Itu semua adalah
kejelekan yang ada dalam hati. Kikir pun masih termasuk kejelekan hati. Maka
haruslah ingat, kepada suami aj nganlah kikir. Bukankah jangankan harta
benda, diri pun suami yang punya. Kata orang tua: dengan suami harus
sekepemilikan.
Maka ingatlah, Nyai bahwa kejelekan terutama sekali dapat dikatakan
racun yang akan mematikan manusia. Untuk kebodohan dan kemalasan masih
ada pertimbangan dari suami. Jika sudah jelek maka tak ada yang tersisa sama

18

sekali kebaikannya. Namun, meskipun demikian, tak bisa diabaikan. Bodoh
dan malah harus dihindarkan. Sebab dalam semua perkara lebih baik yang
masalah terberat (utama), daripada dengan masalah biasa yang masih dapat
dimaklumi (maja dan nista). Yang nista adalah perbuatan yang jelek. Jika
perbuatan baik tapi bodoh serta malas disebut martabat maja. Yang utama
adalah yang sudah hilang ketiga-tiganya.
Jangan dianggap remeh tentang kebodohan. Itu akan mengurangi kadar
cinta. Jika istri tidak bisa memasak, suami akan berkurang kesenangannya.
Sudah jadi ungkapan: mempunyai istri itu ingin senang bersanding lahir batin,
senang hati dan enak jamuan makanannya. Harus tahu bahwa makanan enak
adalah pengikat rasa suami. Istri bodoh biasanya tak bisa mengurus rumah,
akibatnya suami tak betak di rumah. Istri itu disebut pamajikan, artinya tempat
berdiam, sama saja dengan rumah atau gudang, tempat suami menyimpan
rejeki dari hasil mencari nafkahnya. Jika istri tidak bisa mengaturnya, suami
asyik sengsara, akibatnya hilang rasa betahnya, dan akan habis kecintaanya.
Karenanya, ada ungkapan: memilih-milih pasangan, memindah-mindahkan
rasa. Istri akan dirasakan oleh suami. Jika tidak ada yang dia rasakan, ya akan
menjadi hancur. Istri bodoh tak akan bisa mengurus anak. Itu pun akan
berakibat pendek jodoh atau awet rajet. Istri bodoh tak akan bisa
menyenangkan hati suami. Jika suami sedang dirundung duka atau kesulitan,
gagal tak bisa menghibur.
Banyak sekali cacatnya istri yang bodoh. Maka inga