M01686

ANTESENDEN DAN KONSEKUENSI ANTISIPASI PASAR
MASA DEPAN: STUDI EMPIRIS USAHA BATIK DI JAWA
TENGAH
Sony Heru Priyanto
Fakultas Pertanian dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana

Jony O. Haryanto
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Agung Podo Moro University

Roos Kities Andadari
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana

Maria Rio Rita
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana
sonecid@yahoo.com, roos.kities@staff.uksw.edu, maria.riorita@staff.uksw.edu

ABSTRACT
Batik is an Indonesian cultural products. To deal with the ASEAN Economic Community, batik
entrepreneurs need to have the anticipation of future markets to increase their competitiveness. The aim of
this study, first to know the effect of the background of entrepreneurs and entrepreneurship to anticipate
future business. Second, to determine the consequences of future anticipation of the extra effort, customer

value and market performance. Third, to know the process of entrepreneurship formation. For the first and
second purpose of the studies, this research uses the positivistic paradigm by applying descriptive
explanatory method. Population taken from three locations: Lasem, Pekalongan and Solo in Central Java,
taken 50 businessmen respectively, employing quota sampling technique. Techniques of analysis using
structural equation modeling. For the third goal, researchers use the paradigm of phenomenology by
applying qualitative descriptive technique. It has been depth-observed for 6 participants from three
locations.The results demonstrated that the background and entrepreneurial of businesses positively affect
future anticipation. Meanwhile, anticipation of future positively affected the extra effort, customer value
and market performance. This research also produced finding that entrepreneurial learning process in
batik employers occurs through 3 learning process they are through parents, become employees and also
through direct experience to be an entrepreneur. This is referred to as a hybrid entrepreneurship. Further
research should be directed to investigate the role of information technology in anticipating of the future
and examine the role of hybrid entrepreneurship learning process, studied from various aspects
Keywords:

entrepreneurship, entrepreneur
entrepreneurship, SEM

background,


anticipation

of

the

future,

hybrid

Batik merupakan produk budaya Indonesia. Untuk menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN,
pengusaha batik perlu memiliki antisipasi pasar masa depan untuk meningkatkan daya saingnya. Penelitian
ini bertujuan, pertama untuk mengetahui pengaruh latar belakang dan kewirausahaan pengusaha batik pada
antisipasi masa depan. Kedua, untuk mengetahui konsekuensi antisipasi masa depan terhadap upaya ekstra,
nilai pelanggan dan kinerja pasar. Ketiga, untuk mengetahui proses terbentuknya kewirausahaan. Penelitian
ini menggunakan paradigma positivistik dengan menerapkan jenis penelitian deskriptif eksplanasi untuk
tujuan penelitian pertama dan kedua. Populasi diambil dari 3 lokasi yaitu Lasem, Pekalongan dan Solo Jawa
Tengah, masing-masing diambil 50 pengusaha, dengan menggunakan teknik pengambilan sampel kuota.
Teknik analisis menggunakan model persamaan struktural. Sedangkan untuk tujuan ketiga, digunakan
paradigma fenomenologi dengan menerapkan teknik deskriptif kualitatif. Telah diamati secara mendalam

6 partisipan dari 3 lokasi penelitian tersebut diatas.Temuan menunjukkan bahwa latar belakang dan
kewirausahaan pelaku usaha berpengaruh positif terhadap antisipasi masa depan. Antisipasi masa depan
mempengaruhi secara positif usaha ekstra, nilai pelanggan dan kinerja pasar. Riset ini juga menghasilkan
temuan bahwa proses pembelajaran kewirausahaan pada pengusaha batik terjadi melalui 3 proses
pembelajaran yaitu melalui orang tua, menjadi pegawai dan melalui pengalaman langsung menjadi
pengusaha. Hal inilah yang disebut sebagai kewirausahaan hibrida. Penelitian mendatang perlu diarahkan
untuk meneliti peranan teknologi informasi dalam antisipasi masa depan serta meneliti peranan proses
pembelajaran kewirausahaan hibrida dilihat dari berbagai aspek
Kata kunci: kewirausahaan, latar belakang pengusaha, antisipasi masa depan, kewirausahaan hibrida, SEM

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Antisipasi masa depan merupakan persepsi pelanggan tentang semua kegiatan yang
dilakukan oleh perusahaan yang mencoba untuk memberikan solusi atas keinginan dan kebutuhan
pelanggan di masa yang akan datang. Mengingat masih terbatasnya penelitian dan literatur tentang
antisipasi masa depan maka digunakanlah pendekatan dari futuristik atau futurologi, yaitu ilmu
yang mempelajari tentang masa depan saat ini terus berkembang dan mendapatkan perhatian yang
mendalam dari para akademisi (Mello, et.al, 2009). Meskipun ilmu ini akan memberikan implikasi
yang sangat besar dalam dunia pemasaran, namun penelitian dan teori tentang masa depan masih
sangat jarang dibahas dalam ranah ilmu pemasaran.

Riset sebelumnya mengenai antisipasi masa depan, belum secara modelling meneliti kaitan
antara antisipasi masa depan dengan berbagai aspek sekaligus seperti upaya ekstra, nilai pelanggan
dan kinerja pasar. Penelitian Morales (2005) dan Cardoso (1965) hanya meneliti kaitan antara
upaya antispasi masa depan dan upaya ekstra. Sementara itu Destan, et.al (2006) hanya meneliti
kaitan antara antisipasi masa depan dan kinerja usaha. Flint, Blocker & Boutin (2011) meneliti
kaitan antara antisipasi masa depan dengan nilai dan kebutuhan pelanggan. Fontela, et al (2006)
menyarankan untuk meneliti menggunakan analisis trend dan ekstrapolasi serta model structural
terkait dengan antispasi masa depan untuk mengidentifikasi kejadian masa lalu dan (jika mungkin)
sebab-akibat dasar, dan dengan demikian mengembangkan asumsi tentang kelanjutan mereka ke
masa depan. Dalam konteks inilah, penelitian ini penting dilakukan.
Batik merupakan produk budaya Indonesia, yang berasal dari kreasi keraton pada jaman
kerajaan. Dahulu belum menjadi aktivitas bisnis, namun hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan
sandang para puteri keraton. Secara formal, UNESCO telah mengakui bahwa batik merupakan
brand produk Indonesia. Ini berarti batik adalah Indonesia. Brand ini merupakan salah satu
kekuatan untuk bermain di pasar dunia, khususnya Asean. Dengan adanya kesepakatan untuk
membentuk Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), batik harus menjadi salah satu andalan Indonesia
untuk masuk dan diperdagangkan di MEA.
Dengan kondisi global seperti sekarang ini, bagaimana Jawa Tengah menyikapinya? Jawa
Tengah merupakan salah satu propinsi yang populer di Indonesia sebagai penghasil batik.
Berdasarkan wilayah, di Jawa batik dikelompokkan dari wilayah produksinya yaitu Solo dan

Yogya serta wilayah di luar Solo dan Yogya. Batik yang dikerjakan di luar wilayah Solo dan
Yogya sering disebut sebagai batik pesisiran. Perbedaan antara ragam pesisiran dan non pesisiran
adalah pada sifat ragam hias dan warnanya.1 Di Jawa Tengah, hampir semua kabupaten bisa
menghasilkan batik, namun yang menonjol secara brand adalah Pekalongan, Solo dan Lasem.
Terkait dengan senjang penelitian mengenai antisipasi masa depan serta persoalan empiris
yang terjadi di usaha batik, belum ada riset yang meneliti mengenai antisipasi masa depan yang

1

Perbedaan batik Jawa Tengah dan Jawa Timur. www.kriyalea.com/perbedaan batik jawa tengah dan jawa timur.

terkait dengan antesenden maupun konsekuensinya, baik dari sisi subyek riset maupun obyek
risetnya. Untuk itulah riset ini dilakukan.
Tujuan Penelitian
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa belum banyak yang melakukan
riset yang mengkaitkan antara kewirausahaan, latar belakang pengusaha dan antisipasi masa depan
serta bagaimana kepemilikan terhadap antisipasi masa depan dikaitkan dengan upaya yang ekstra,
nilai pelanggan dan kinerja pasar. Penelitian ini bertujuan, pertama untuk mengetahui pengaruh
latar belakang dan kewirausahaan pengusaha batik pada antisipasi masa depan. Kedua, untuk
mengetahui konsekuensi antisipasi masa depan terhadap upaya ekstra, nilai pelanggan dan kinerja

pasar. Ketiga, untuk mengetahui proses terbentuknya kewirausahaan yang memungkinkan
pengusaha batik mampu mengantisipasi masa depan usahanya.
KAJIAN PUSTAKA
Antisipasi Masa Depan (Future Anticipation )
Adam (2008) menyatakan bahwa masa depan merupakan bagian perusahaan untuk
membentuknya. Hal ini diasumsikan sebagai sumber saat ini yang dapat digunakan untuk meraih
keuntungan dan daya saing bagi perusahaan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa menciptakan dan
membentuk masa depan merupakan hak setiap manusia maupun perusahaan. Hal ini berarti bahwa
perusahaan merupakan pembentuk dari masa depan. Fakta yang terjadi bahwa perusahaan
membelanjakan uang dan dana dalam jumlah yang besar untuk kegiatan penelitian dan
pengembangan dalam rangka untuk memberikan nilai unggul pelanggan di masa depan.
Perusahaan berlomba-lomba berinovasi dalam pengembangan produk dan jasa sebagai bagian dari
antisipasi masa depan. Apabila perusahaan tidak melakukan antisipasi masa depan maka mereka
hanya menunggu kematian mereka. Salah satu contoh yang menarik adalah Nokia yang merupakan
pemimpin pasar selama beberapa dekade dalam pasar telepon genggam. Dikarenakan Nokia tidak
memiliki kemauan yang kuat untuk melakukan inovasi yang merupakan kegiatan antisipasi masa
depan maka pada akhirnya Iphone dn Blackberry mengambil pasar Nokia secara signifikan.
De Roo (2009) menjelaskan bahwa masa depan merupakan kegiatan yang berhubungan
secara materi, sosial dan politik. Menyangkut sosial karena berkaitan dengan banyak orang untuk
memprediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Menyangkut materi karena

memerlukan banyak dana yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk mengidentifikasi tren di masa
yang akan datang. Dikatakan bersifat politik karena sebenarnya perusahaan menginginkan untuk
mendikte pasar guna meningkatkan daya saing mereka. Meskipun masa depan sangat kompleks
untuk diteliti namun hal ini tidak berarti masa depan tidak dapat diprediksikan. Banyak pemimpin
perusahaan di perusahaan multinasional seperti Pizza Hut atau United Color of Benetton
melakukan riset dengan melakukan pembicaraan bahkan tinggal bersama anak-anak muda selama
beberapa hari untuk memahami kebutuhan mereka saat ini sekaligus mencoba memahami
preferensi mereka di masa yang akan datang. Mereka melakukan hal ini untuk mencoba
memahami masa depan karena dengan memahami masa depan maka mereka dapat melakukan
serangkaian antisipasi untuk mendapatkan manfaat (Adam, 2008).

Berkaitan dengan antisipasi masa depan, Chang, et.al (2007) mengenalkan proses
pencarian pelanggan potensial melalui analisa kebutuhan di masa depan. Proses ini dimulai dari
penetapan profil pelanggan loyal dilanjutkan dengan pencarian pelanggan potensial dan akhirnya
berujung kepada pencarian pelanggan potensial melalui prediksi tentang kebutuhan mereka di
masa depan. Adapun gambar proses tersebut dapat dilihat dalam gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Proses Pencarian Pelanggan Potensial di Masa Depan (Chang et al., 2007)

Gambar 1 di atas menunjukkan pentingnya mengidentifikasi pola penjualan untuk produk

inti dan latar belakang pelanggan untuk memahami profil pelanggan loyal. Setelah itu perlu
dilakukan analisa terhadap pembeli potensial yang tidak pernah melakukan pembelian beserta
dengan karakteristik mereka untuk memahami peluang pembelian yang ada. Bagian terakhir
adalah menggunakan data yang ada saat ini untuk memahami peluang pembelian di masa depan
sehingga menghasilkan proyeksi terhadap pelanggan potensial. Analisa ini penting untuk UMKM
mengingat selama ini mereka jarang melakukan identifikasi terhadap pola penjualan maupun profil
pelanggan mereka (Haryanto, 2007). Dengan memahami pola penjualan dan profil pelanggan saat
ini yang dikombinasikan dengan antisipasi kebutuhan dan keinginan di masa depan maka peluang

untuk mengambil pasar potensial akan menjadi semakin besar yang berarti peningkatan kinerja
pemasaran UMKM tersebut.
Kewirausahaan dan Antisipasi Masa Depan
Apa yang membedakan pengusaha dari non-pengusaha adalah cara pandang mereka
terhadap dunia. Pengusaha sukses melihat kesempatan secara simultan, bersamaan dengan saat
memperhitungkan risiko dalam lingkungan perubahan terus-menerus. Aktivitas kewirausahaan
menekankan antisipasi dan seni eksplorasi di masa depan. Ada kaitan yang erat antara kepemilikan
kewirausahaan seseorang dengan kemampuan mereka dalam mengantisipasi masa depan.
Antisipasi masa depan disusun berbasis pada kemampuan diri pengusaha tersebut dalam hal kreasi,
keberanian, dan imaginasinya (http://magazine.startus.cc/entrepreneurial-anticipation/).
Ketika seorang pengusaha merebut pada kesempatan yang baru, kemungkinan pasar baru

diciptakan. Jika seorang pengusaha menciptakan produk baru, mereka akan menciptakan
kemungkinan produk komplementer dan meningkatkan permintaan untuk input menjadi produk
baru (tetapi juga dapat mengurangi permintaan barang lainnya). Jika seorang pengusaha
menemukan sebuah proses yang lebih baik untuk memproduksi produk yang sudah ada, ini juga
menciptakan peluang bagi pemasok masukan potensial. Dengan demikian, ini berarti setiap
aktivitas kewirausahaan, akan menciptakan peluang dimasa yang akan datang, yang
memungkinkan mereka mendapatkan peluang itu di masa yang akan datang (Holcombe, 2003).
Dari definisi-definisi mengenai kewirausahaan, tampak bahwa seseorang yang memiliki
kewirausahaan di satu sisi, dia akan memiliki kemampuan mengantisipasi masa depan. Sisi
lainnya, Schumpeter (1961) mengidentifikasikan bahwa seorang entrepreneur (wirausaha)
memiliki ciri inisiatif, memiliki tanggung jawab atau wewenang dan berpandangan ke depan
(berpengharapan = foresight). Lebih lanjut Schumpeter mengatakan bahwa entrepreneur berfungsi
mengkombinasikan faktor yang produktif untuk diolah. Kombinasi faktor ini dilakukan pada
kesempatan pertama sebelum orang lain menjalankannya. Pandangan ini serupa dengan pandangan
John Bernard Say.
Mc Clelland (1961) mengungkap bahwa kewirausahaan memiliki karakteristik seperti
moderate risk taking as function of skill, energetic and/or novel instrumental activity, individual
responsibility, knowledge of result of decision money as a measure result, anticipation of future
possibilities, organization skill. Kewirausahaan adalah seseorang yang memiliki tindakan kreatif
yang membangun nilai dari sesuatu yang tidak nampak sebelumnya. Hal tersebut merupakan upaya

pengejaran kesempatan tanpa peduli terhadap sumberdaya atau ketiadaan sumberdaya di
tangannya. Ini membutuhkan visi, kegemaran dan komitmen untuk memimpin yang lain mencapai
visi tersebut. Kewirausahaan juga membutuhkan kemauan untuk menghitung dan mengambil
resiko (Timmons, J.A., 1994; Lambing, et.al, 2000).
Seorang entrepreneur terlepas apakah dia bawaan sejak lahir atau dari proses pengembangan, pada
umumnya memiliki ciri-ciri:gemar berbisnis, tegar walaupun gagal, percaya diri, memiliki self
determination atau locus of control, mengelola resiko, perubahan dipandang sebagai kesempatan,
toleran terhadap banyaknya pilihan, inisiatif dan memiliki need for achievement, kreatif,
perfeksionis, memiliki pandangan luas, waktu adalah berharga, dan memiliki motivasi yang kuat

(Lambing, et.al, 2000). Stevenson (1983) mengkonseptualisasikan kewirausahaan sebagai suatu
pendekatan manajemen yang berkeinginan besar terhadap pengejaran kesempatan dan eksploitasi
kesempatan tanpa mempertimbangkan sumber daya yang sedang dikontrol.
Hipotesis 1. Kewirausahaan berpengaruh positif terhadap antisipasi masa depan

Latar Belakang Pengusaha dan Antisipasi Masa Depan
Menurut Hisrich dan Peters (1992), aspek personal terdiri dari childhood family
environment, education, personal value, age, dan work history yang secara bersama-sama menjadi
faktor pembentuk kewirausahaan seseorang. Dalam hal yang lain, aspek ini juga terkait dengan
kemampuan mereka dalam mengantisipasi masa depan.

Pendidikan sangat penting dalam mengembangkan dan meningkatkan stock of knowledge
dari wirausaha. Pendidikan ini penting tidak hanya ketika memasuki dunia usaha, namun secara
terus menerus perlu terus dikembangkan untuk mengatasi persoalan-persoalan bisnis yang terus
berkembang. Meskipun dalam kenyataannya pendidikan formal tidak selalu memenuhi upaya
membangun usaha baru – seperti yang ditunjukkan pengalaman dari usahawan sukses tetapi
sekolah formalnya terhenti Andrew Carnigie, William Durant, Henry Ford dan Williem Lear –
namun pendidikan menyediakan latar belakang yang baik. Yang lebih penting lagi sebenarnya
bukan hanya lamanya pendidikan itu ditempuh, tetapi seberapa berbobotkah kualitas pendidikan
tersebut sehingga bisa memperkaya diri seseorang (Hisrich dan Peters, 1992). Lee dan Tsang
(2001) mengatakan walaupun ada suksestori pengusaha yang drop out tetapi menjadi pengusaha
yang sukses, namun dengan semakin kompleksnya kondisi lingkungan bisnis dunia dibutuhkan
pendidikan agar supaya bisa menjadi pengusaha yang berkualitas. Tingkat pendidikan khususnya
untuk perusahaan besar berhubungan secara positif dengan pertumbuhan usaha. Cooper &
Dunkelberg (1987); Thompson (1986) melaporkan pengusaha di Canada dan Amerika Serikat
mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dibanding populasi secara umum. Robinson & Sexton
(1994) menemukan bahwa tingkat pendidikan berhubungan secara positif dengan pertumbuhan
usaha (Lee dan Tsang, 2001), orang yang berpendidikan lebih tinggi akan memiliki stock of
knowledge yang lebih luas dan informasi yang banyak, yang memampukan mereka mengenai
peluang serta melakukan antisipasi masa depan dalam menjalankan usahanya. Kurikulum
pendidikan yang didisain dengan tepat, akan memampukan peserta didik untuk mengintegrasikan
pengalaman masa lalu dan antisipasi masa depan dalam bentuk rencana aksi. Daily ecological
practices allow the student to make connection with past experiences and the future by setting
goal, delaying immediate gratification, anticipating future problem, learning from past
experiences and evaluating actions (Struss, 1992)
Umur. Hubungan antara umur dan keberhasilan wirausaha seseorang telah diteliti dengan
hati-hati. Dalam mengevaluasi hal tersebut, sangat penting untuk membedakan antara
entrepreneurial age dan chronological age. Entrepreneurial age diidentifikasikan sebagai
lamanya pengalaman usahanya. Sementara chronological age merujuk pada kapan seorang
wirausaha memulai usahanya. Pada umumnya, seorang wirausaha yang berhasil, mereka memulai
usahanya pada umur antara 22-25 tahun (Hisrich dan Peters, 1992). Terkait dengan hal ini, umur

juga mempengaruhi seseorang dalam mengantisipasi masa depan. Pertambahan umur sampai pada
level tertentu, memampukan mereka untuk melihat peluang dan mengantisipasi masa depan
Pengalaman kerja. Prestasi dan kondisi kerja masa lalu sangat menentukan seseorang dalam
proses mencerna masalah dan mengambil keputusan dalam kegiatan bisnisnya. Seseorang yang
sering gagal dalam usahanya menjadi seorang yang apatis dan fatalistik sehingga untuk memulai
sesuatu yang baru selalu ragu-ragu dan tidak berani. Mereka takut gagal dan takut menanggung
resiko bisnis. Motivasinya tidak berkembang karena pengalaman masa lalu yang buruk (Hisrich
dan Peters, 1992). Pengalaman pengusaha dibagi menjadi 3 komponen: enterpeneurial, industrial
dan manajerial. Pengalaman enterpeneurial menunjuk pada sejumlah keterlibatan ventura
sebelumnya dan peranan manajemen pada ventura yang lain (Stuart and Abbeti 1990:151).
Industrial mengarah pada industri dimana ventura ada. Managerial adalah pengalaman total dalam
manajemen tak peduli apa jenis industrinya. Studi baru-baru ini terfokus pada manajerial dan
industrial. Gasse (1982) menunjukkan bahwa pengalaman pengusaha dapat mempengaruhi secara
positif/ negatif terhadap pertumbuhan usaha. Pengalaman dahulu dapat membuat orang marah
ketika perubahan strategi yang buruk terjadi. Sebagai contoh Stuart and Abbeti (1990) melaporkan
dampak positif dari pengalaman manajerial.; Van de Van et al. (1984) dan Vesper (1980) masingmasing mengemukakan dampak positif dari pengalaman industrial; Dyke et al. (1992) melaporkan
dampak positif dari pengalaman industrial dan manajerial.; Dushcesnau dan Gartner (1990)
menggunakan konsep luasnya pengalaman manajerial yang menggabungkan keduanya dan
menemukan kombinasi itu mempunyai dampak yang sukses pada usaha. Tampaknya bukti yang
ada mendukung hubungan yang positif antara pengalaman dan performansi pengusaha (Lee dan
Tsang, 2001). Pengalaman kerja yang luas dan panjang akan mempengaruhi perilaku
kewirausahaan seseorang termasuk juga bagaimana mereka mengantisipasi masa depan (Watson
dan Scott, 1998).
Hipotesis 2. Latar belakang pengusaha mempengaruhi antisipasi masa depan

Antisipasi Masa Depan, Nilai Pelanggan, Kinerja Pemasaran dan Upaya Ekstra
Nilai pelanggan adalah persepsi pelanggan tentang perbedaan antara apa yang pelanggan
dapatkan dengan apa yang harus dikorbankan untuk mendapatkan pelayanan tersebut. Nilai
pelanggan membantu perusahaan untuk melebarkan inovasinya guna mendapatkan nilai pelanggan
yang dipersepsikan unggul (Kotler & Keller, 2009). Berkaitan dengan hal tersebut, maka pelaku
bisnis perlu membangun proposisi nilai pelanggan yang merupakan janji pelaku bisnis terhadap
nilai apa yang akan diberikan kepada pelanggan.
Flint, Blocker & Boutin (2011) menyatakan bahwa tentang persepsi pelanggan terhadap
nilai pelanggan yang diberikan oleh perusahaan merupakan faktor penting bagi perusahaan untuk
membangun hubungan emosional dengan pelanggan. Seringkali perusahaan menginvestasikan
banyak dana dan tenaga untuk mengantisipasi kebutuhan dan keinginan pelanggan di masa depan.
Namun hal ini menjadi tidak bermanfaat ketika usaha antisipasi tersebut tidak dihargai oleh
pelanggan karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka. Mereka melakukan
penelitian pada berbagai macam industri dan menemukan hasil bahwa persepsi tentang antisipasi

nilai pelanggan di masa depan yang mereka terima berpengaruh positif terhadap kepuasan
pelanggan maupun loyalitas pelanggan. Hal ini menunjukkan pentingnya bagi semua industri dan
UMKM untuk melakukan usaha antisipasi masa depan sehingga memberikan nilai pelanggan yang
unggul, memberikan kepuasan dan menciptakan loyalitas pelanggan.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Destan, et.al (2006) melakukan penelitian tentang
UMKM di Amerika Serikat untuk memahami pentingnya melakukan antisipasi terhadap masa
depan. Dalam kondisi persaingan yang terus bertumbuh sehingga menciptakan situasi yang
kompleks dan turbulen maka UMKM perlu melakukan terobosan dan inovasi untuk dapat
meningkatkan kinerja pemasaran mereka. Dengan melakukan aliansi strategis dengan para
pemangku kepentingan yang ada, terutama dengan pemasok dan pesaing akan membuat UMKM
memiliki keunggulan komparatif untuk melakukan antisipasi masa depan. Lebih lanjut Mische
(2009) menyatakan bahwa dengan berusaha untuk memahami masa depan akan membuat
keterkaitan antara kognitif yang akhirnya berhubungan ke keputusan pembelian pelanggan.
Apabila ada pelaku bisnis, yaitu perusahaan dan UMKM yang berusaha untuk mengantisipasi
masa depan maka hal tersebut akan dihargai oleh pelanggan (Morales, 2005). Hal ini dikarenakan
pelaku bisnis menempatkan pelanggan sebagai penggerak dalam bisnis mereka. Pelanggan yang
menghargai usaha ekstra ini akan memutuskan untuk melakukan pembelian dengan pelaku bisnis
tersebut. Hal ini dapat dijelaskan melalui teori persuasi dan attribution theory.
Antisipasi masa depan merupakan bagian dari strategi pemasaran pelaku bisnis untuk
persuasi bagi pelanggan. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian berkaitan dengan persuasi
perusahaan kepada konsumen (Cardozo, 1965; Friedstat dan Wright, 1994; Kirmani dan Wright,
1989; Campbell dan Kirmani, 2000). Sedangkan penelitian tentang attribution theory juga sudah
dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya (Folkes, 1988; Weiner, 2000). Meskipun demikian,
penelitian yang menggabungkan antara persuasi perusahaan dengan upaya ekstra masih sangat
terbatas (Morales, 2005).
Penelitian Morales (2005) tentang upaya ekstra yang dikeluarkan oleh perusahaan
merupakan penelitian yang pertama karena mengaitkan dengan motif netral dan persuasi. Hanya
saja, penelitian tentang upaya ekstra secara umum bukan merupakan hal baru. Cardozo (1965)
melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa pada kondisi tertentu, upaya (effort) dan harapan
(expectation) mempengaruhi evaluasi baik untuk produk dan pengalaman berbelanja. Ketika
harapan terhadap produk atau layanan rendah, maka subyek merangking produk dan pengalaman
dengan kurang baik. Pengeluaran untuk upaya yang tinggi memoderasi efek tersebut, dan bahkan
bersifat kebalikan untuk pengalaman berbelanja. Jelasnya, pengeluaran untuk upaya yang lebih
tinggi menghasilkan evaluasi inisial untuk produk yang lebih baik. Lebih lanjut, Cardozo (1965)
juga menunjukkan bahwa harapan mempengaruhi evaluasi dan kepuasan terhadap suatu produk
atau jasa. Harapan yang tinggi akan menyebabkan kepuasan lebih sulit tercapai karena seringkali
tidak dapat terpenuhi dengan baik oleh perusahaan atau penyedia jasa. Sementara harapan yang
rendah akan cenderung lebih dapat memuaskan konsumen karena relatif lebih mudah terpenuhi.
Salah satu teori utama yang digunakan dalam penelitian Morales (2005) adalah attribution
theory. Teori ini menyatakan bahwa konsumen akan menghargai perusahaan untuk upaya ekstra
secara umum. Pencarian atribut oleh konsumen akan mengikuti kegagalan atau hasil yang negatif

(Folkes, 1988). Tapi hal ini juga berlaku untuk kesuksesan atau hasil yang positif. Berkaitan
dengan hal ini, Weiner (1974) menyatakan bahwa ketika sebuah perilaku dapat dikendalikan, maka
manusia pada dasarnya memiliki respon moral dan emosional, misalnya seperti marah atau
sebaliknya perasaan berterima kasih yang akan memotivasi mereka untuk menghukum atau
memberikan penghargaan untuk itu. Jika dikaitkan dengan upaya ekstra perusahaan, maka
konsumen akan menghukum perusahaan yang gagal untuk bekerja keras dan memberikan
penghargaan untuk yang dapat bekerja dengan baik. Weiner (2000) menambahkan bahwa proses
pencarian atribut secara penuh merupakan bagian berkelanjutan dari pemikiran untuk perasaan
yang kemudian membawa pada suatu tindakan.
Teori kedua yang digunakan dalam penelitian Morales (2005) adalah equity theory yang
menggaris bawahi prinsip resiprositas (Adams 1965). Menurut teori ini, pada dasarnya manusia
memiliki kecenderungan untuk memberikan kebaikan (keuntungan) kepada orang yang berbuat
baik kepada mereka (Regan, 1971). Lebih lanjut dijelaskan bahwa manusia tidak mau memiliki
hutang kebaikan kepada orang lain. Jika dikaitkan dengan upaya ekstra, maka konsumen akan
membalas kebaikan (upaya ekstra yang diberikan oleh perusahaan) dengan cara membeli atau
paling tidak konsumen akan memiliki persepsi yang positif terhadap produk tersebut. Dalam teori
ini dijelaskan bahwa konsumen akan membalas kebaikan hanya jika mereka merasa mendapat
keuntungan secara langsung atau pribadi.
Adanya pertentangan antara equity theory (yang menyatakan bahwa konsumen hanya
membalas kebaikan jika mereka mendapat keuntungan secara langsung dan pribadi) dengan
attribution theory (yang menyatakan bahwa konsumen akan membalas kebaikan meskipun bersifat
umum) telah mendorong Morales (2005) untuk melakukan penelitian lanjutan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa konsumen tetap menghargai upaya ekstra perusahaan, meskipun bersifat
umum dan tidak mengena secara langsung atau pribadi untuk konsumen. Hasil lain yang didapat
adalah bahwa konsumen menghargai upaya ekstra yang dilakukan oleh perusahaan jika bermotif
netral dan bukan motif persuasi. Hasil lainnya adalah bahwa perasaan berterima kasih memediasi
upaya ekstra dan kemungkinan mengunjungi. Sementara perasaan bersalah semakin tinggi pada
kondisi upaya ekstra.
Berkaitan dengan pembujukan atau persuasi terhadap konsumen, maka Campbell dan
Kirmani (2000) telah melakukan identifikasi dan menguji faktor-faktor yang mempengaruhi
penggunaan pengetahuan persuasi oleh konsumen. Proposisi yang mereka ajukan adalah bahwa
ketika konsumen memiliki sumber daya yang tidak terbatas, maka pengetahuan persuasi akan
digunakan untuk mempengaruhi motif persuasi dan akan mempengaruhi evaluasi terhadap tenaga
penjual. Mereka mengadopsi Persuasion Knowledge Model (PKM) dengan postulasi utama bahwa
konsumen mengembangkan pengetahuan tentang persuasi dan menggunakan pengetahuan tersebut
untuk bersaing dengan bagian yang dipersuasi. Oleh karena penggunaan pengetahuan persuasi
tergantung pada aksesibilitas dari motif persuasi, maka konsumen tidak akan menghargai
perusahaan untuk upaya ekstra jika dilakukan dengan motif persuasi.
Studi Morales (2005) hanya diuji peningkatan upaya oleh perusahaan, meskipun dengan
kualitas yang tidak berubah. Hasilnya menunjukkan bahwa kemungkinan membeli konsumen akan
lebih tinggi untuk perusahaan dengan upaya ekstra, meskipun tidak ada peningkatan kualitas. Hal

ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Kirmani dan Wright (1989). Yang
mengkonseptualisasikan proses dimana biaya iklan yang dipersepsi berperan sebagai petunjuk
untuk kualitas. Folkes (1988) menekankan tentang pentingnya attribution theory dalam perilaku
konsumen. Proposisi yang diajukan adalah dengan memahami tentang persepsi konsumen dan
hubungan sebab-akibat yang merupakan pusat dalam perilaku konsumen, maka pemasar akan
dapat menggunakannya sebagai dasar dalam melakukan aktivitas pemasaran. Folkes menjelaskan
bahwa produk atau jasa dibeli oleh konsumen karena hubungan sebab-akibat tersebut. Sebagai
ilustrasi adalah ketika konsumen membeli deodorant yang dipercaya dapat meningkatkan
kehidupan sosial, sepatu atletik dapat meningkatkan kinerja, obat untuk meredakan sakit, dsb.
Dengan melakukan tinjauan literatur tentang attribution theory, Folkes ingin menunjukkan
bahwa attribution theory sangat kaya dan merupakan pendekatan yang dikembangkan dengan baik
berkaitan dengan isu-isu dalam perilaku konsumen. Penelitian-penelitian yang ada menerangkan
hubungan antara perilaku dan sikap konsumen. Misalnya, penelitian tentang atribusi
mengindikasikan kapan konsumen merekomendasikan produk ke konsumen lain dan kapan
mereka melakukan komplain terhadap masalah yang ada. Attribution theory sendiri sebenarnya
merupakan beberapa teori yang memiliki asumsi dasar yang sama. Menurut attribution theory,
manusia akan mencari penyebab untuk kejadian yang ada (Heider, 1958; Kelley, 1967). Jika
dikaitkan dengan upaya ekstra perusahaan, maka menurut attribution theory, konsumen akan
menghargai perusahaan untuk upaya ekstra yang diberikan kepada konsumen meskipun bersifat
umum.
Hasil penelitian Morales (2005) yang menjadi panduan dalam penelitian ini juga
mendukung attribution theory, yaitu bahwa konsumen menghargai perusahaan untuk upaya ekstra
yang diberikan kepada konsumen meskipun bersifat umum dan tidak menyentuh konsumen secara
langsung atau pribadi. Kruger , et.al (2004) menunjukkan bahwa upaya dari perusahaan sering
digunakan oleh konsumen untuk memahami kualitas produk atau layanan yang diberikan. Semakin
tinggi upaya perusahaan, maka semakin tinggi pula kualitas yang dipersepsikan. Sejalan dengan
Morales (2005), sekalipun sebenarnya tidak ada peningkatan kualitas, tapi jika perusahaan
memberikan upaya ekstra, maka hal tersebut akan membuat konsumen mempersepsikan produk
atau layanan perusahaan dengan lebih baik.
Hipotesis 3. Antisipasi masa depan mempengaruhi secara positif upaya ekstra
Hipotesis 4. Antisipasi masa depan mempengaruhi secara positif nilai pelanggan
Hipotesis 5. Antisipasi masa depan mempengaruhi secara positif kinerja pasar

METODE PENELITIAN
Untuk tujuan yang pertama dan kedua, penelitian ini menggunakan paradigma positivistic.
Jika ditinjau dari kegunaannya (purpose of study), penelitian ini termasuk penelitian deskriptif dan
penelitian eksplanatif karena bertujuan untuk karakteristik variabel dan hubungan antar variabel
dan berusaha mengerti lebih jauh hubungan antar variabel yang telah ada. Penelitian ini juga
bertujuan untuk menjelaskan penyebab dan dampak hubungan (Blaikie, 2000). Ditinjau dari tipe

penyelidikannya (type of investigation), penelitian ini merupakan penelitian kausalitas yang
bertujuan untuk menganalisis hubungan sebab akibat antara variabel terkait dengan future
anticipation seperti variabel kewirausahaan dan latar belakang pengusaha yang mempengaruhi
kinerja usaha batik, melalui pengujian hipotesa (Sekaran, 2000). Untuk tujuan yang ketiga,
digunakan paradigma fenomenologi dengan menerapkan teknik deskriptif kualitatif. Telah diamati
secara mendalam 6 partisipan dari 3 lokasi penelitian tersebut diatas. Data dikumpulkan dengan
menggunakan metode wawancara mendalam dan observasi langsung (naturalistic observation).
Penelitian ini dilakukan di tiga wilayah yang merupakan produsen batik seperti
Pekalongan, Lasem dan Solo, Propinsi Jawa Tengah. Ketiga lokasi ini dipilih mengingat wilayah
ini banyak terdapat UMKM Batik, baik yang sudah ekspor maupun yang belum melakukannya.
Data diperoleh dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD), Teknik Delphi. Kuesioner.
Observasi Wawancara Dokumentasi
Populasi dari penelitian ini adalah UMKM yang bergerak di usaha batik. Unit analisis dari
penelitian ini adalah pengusaha yang bertanggung jawab terhadap pemasaran, bisa pemilik,
pimpinannya, dan atau manajernya. Sampel yang akan digunakan sebagai unit analisis akan
diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling yang bertipe quota sampling.
Variabel-variabel yang terlibat dalam penelitian ini adalah variabel laten independen,
variabel laten dependen, variabel terukur/indikator/manifes, variabel eksogen dan variabel
endogen. Variabel laten independen dibentuk dari variabel terukur. Hubungan antara variabelvariabel tersebut bersifat rekrusif, artinya hubungan yang tidak bolak-balik tetapi hubungannya
searah. Ini berarti hubungannya adalah kausalitas. Variabel-variabel tersebut dapat dijelaskan dari
model penelitian yang akan diuji dalam penelitian ini seperti yang nampak dalam gambar dibawah.
NACH
RISK
INDP
ENTRE
CREA

1

INNO
AMM

1
Gender
Age

FA

Educ

AMB
AMTK
AMP

Expend
AMA
Experien
TrainB

BACKGRO

AMH

TrainNB
TrainAM

1

SosNet
SGov
Sass

Gambar 2. Antesenden Antisipasi Masa Depan terkait dengan Kewirausahaan dan Latar
Belakang Pengusaha
Keterangan:

ENTRE
BackGro
FA

: Entrepreurship (Kewirausahaan)
: Backgground (Latar belakang Pengusaha)
: Future Anticipation (Antisipasi Masa Depan)

FA1

FA2

FA3

FA4

FA5

FA6

FA7

FA8

FA

EE1
1

EE2
EE3

1

CV

EE

CV1
CV2

EE3

MP
MP1

MP2

MP3

MP4

1

MP5

MP6

Gambar 3. Konsekuensi Antisipasi Masa Depan
Keterangan:
FA
EE
CV
MP

: Future Anticipation (Antisipasi Masa Depan)
: Extra Effort (Upaya Ekstra)
: Customer Value (Nilai Pelanggan)
: Market Performance (Kinerja Pasar)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Profil UKM Batik Pekalongan
Selain kota Solo, salah satu kota yang memberikan pengaruh bagi Jawa Tengah adalah kota
Pekalongan. Sama seperti kota Solo, Pekalongan menjadi salah satu kota penghasil batik dan sudah
tidak asing lagi oleh banyak orang. Bahkan, hasil batik dari kota Pekalongan sudah diekspor
sampai ke negara Australia, Amerika Serikan, dan Timur Tengah.
Sejarah Batik Pekalongan sendiri sudah dimulai sejak tahun 1800 yang lalu. Memang, sulit
untuk memastikan dengan tepat kapan Batik Pekalongan mulai tercipta, akan tetapi sumber
mengatakan bahwa Batik Pekalongan berkembang signifikan setelah perang pada tahun 18251830 pada kerajaan Mataram (www.pesonabatik.site40.net). Makin lama Batik Pekalongan
semakin berkembang. Perkembangan Batik Pekalongan terjadi Pekalongan kota dan daerah
Buaran, Pekajangan, dan Wonopringgo. Batik Pekalongan diproduksi oleh rumah-rumah oleh
masyarakat kota Pekalongan. Berbeda dengan batik-batik dari kota atau daerah lain yang banyak
dikuasai oleh pengusaha dengan modal yang besar, Batik Pekalongan dikelola oleh masyarakat.
Atau dapat dikatakan industri Batik Pekalongan dikendalikan oleh pengusaha-pengusaha kecil di
kota Pekalongan.

Warna yang digunakan untuk membuat Batik Pekalongan adalah warna-warna cerah dan
berpadu dengan beragam motif sebagai tanda multicultural beragam budaya yang ada di kota
Pekalongan. Yakni budaya Cina, Melayu, Jepang, Belanda, dan Arab (www.indonesia.travel).
Motif-motif Batik Pekalongan dipengaruhi oleh budaya-budaya yang dahulu tinggal dikota ini.
Motif Batik Pekalongan dipengaruhi bunga Eropa, bunga Jepang, dan kaligrafi Arab. Namun
tentunya masih dipengaruhi oleh motif asli kota Pekalongan seperti motif yang bernama batik
Jlamprang. Keindahan Batik Pekalongan digambarkan dengan kemampuannya
mengkombinasikan tujuh warna yang berpadu menjadi satu dalam motif batik yang dihasilkan.

Profil UKM Batik Lasem
Batik Lasem merupakan batik yang berbeda dan unik bila dibandingkan dengan dua jenis
batik yang lain. Perbedaan dan keunikannya terletak pada sejarah yang mendasari terbentuknya
batik ini, termasuk motif-motifnya. Batik Lasem tercipta akibat dari pengaruh dua budaya dari dua
negara, yaitu budaya Jawa dan budaya Tionghoa yang berasal dari negara Cina. Berpadunya dua
budaya yang berbeda ini menghasilkan batik denganciri khas yang berbeda dan unik dibandingkan
dengan batik dari daerah yang lain.
Sejarah terciptanya Batik Lasem dimulai ketika seorang awak kapal yang dipimpin oleh
Laksamana Chengho dan istrinya untuk sementara tinggal di Kota Lasem. Lasem sendiri berada
di bagian Pantura atau pantai utara Pulau Jawa, Kabupaten Rembang. Mereka berdua yang
awalnya menggagas unsur budaya Tionghoa mulai digambar pada motif batik. Hingga saat ini,
motif Batik Lasem memiliki motif yang jauh berbeda dari yang lainnya. Tidak sama seperti batik
Forstenlanden atau batik bermotif kerajaan yang berasal dari kota Solo dan Yogyakarta, motifmotif pada Batik Lasem contohnya motif bambu, burung pheonix, kelelawar, naga, bunga seruni
dan teratai. Selain motif yang memadukan dua budaya dari dua negara tersebut, masih ada motif
lain yang menjadi motif andalan Batik Lasem. Motif tersebut ialah motif latoan dan batu pecah/
kricak (www.citilinkstory.com). Motif latoan adalah jenis tanaman yang banyak ditemui disekitar
pantai dan biasanya dikonsumsi sebagai salah satu hidangan urap. Sedangkan motif batu pecah
atau yang biasa disebut kricak merupakan motif yang diangkat dari sebuah sejarah masa kolonial
Belanda. Motif ini menggambarkan anak-anak muda pada masa kerja paksa yang bertugas
memecahkan batu untuk pembangunan jalan dari Anyer sampai Panarukan yang panjangnya 1000
km. Karena telah bekerja dengan keras dan adanya serangan penyakit malaria dan influenza
banyak dari pekerja yang meninggal. Akibatnya sebagai bentuk duka maka munculah motif batu
pecah pada Batik Lasem sebagai tanda kesedihan warga pada masa itu.
Salah satu motif batik yang terkenal dari Kota Lasem adalah Batik Tiga Negeri
(www.shnews.co). Batik ini terdiri dari tiga komposisi warna yaitu warna merah, biru, dan soga
(coklat). Ketiga warna ini adalah perwakilan dari tiga kota penghasil batik dan masing-masing
menggambarkan ciri khas masing-masing kota. Warna merah adalah warna dari kota Lasem,
warna biru berasal dari kota Pekalongan, dan soga (coklat) berasal dari kota Solo. Pewarnaan batik
dengan tiga warna berbeda ini tidak dilakukan di kota Lasem saja. namun dilakukan di tiga kota
yang berbeda sesuai asal warnanya. Batik Lasem adalah salah satu batik yang menunjukan bahwa

Indonesia tidak hanya mampu mengekspresikan budaya lokal. Akan tetapi mampu
mengkolaborasikan budaya dari Indonesai dan budaya negara lain yakni Cina melalui suku
Tionghoa yang saat ini menetap dibanyak penjuru Indonesia.
Profil UKM Solo
Menurut pengusaha yang paham tentang batik, walaupun semua cluster menghasilkan
batik namun ketiga wilayah batik di Jawa Tengah memiliki ciri produk yang berbeda. Sebagai
produk budaya, batik merefleksikan situasi lingkungan masyarakat. Walaupun sama-sama batik,
namun bila ditelusur ada perbedaan diantara ketiga batik dari Solo, Pekalongan dan Lasem. Untuk
wilayah Solo, dulunya penduduk yang terlibat dalam kegiatan batik merupakan abdi dalem yang
kemudian dilatih membuat batik untuk jarik dan selendang. Karena itu, di Solo motif batik banyak
berhubungan erat dengan motif batik yang sering dipakai keluarga kraton. Keraton adalah tempat
kedudukan penentu selera, baik di Jawa maupun di berbagai tempat lain di Nusantara. Hasil-hasil
terbaik dari perajin akan dipesan keluarga keraton dan akan digunakan sendiri. Hal ini berdampak
besar pada seni, terutama seni batik. Keraton dapat dikatakan berperan besar dalam menggerakkan
penyempurnaan seni batik (Tirta, 2009: 48)
Pengujian Model
Setelah dilakukan pengumpulan data serta dilanjutkan dengan pengolahan dan analisis data
dengan menggunakan SEM, diperoleh hasil penelitian sebagai berikut:
e1

NACH

e2

RISK

e3

INDP

e4

CREA

e5

INNO

.32
-.14
.48
.66
.63

ENTRE

.31
e6

Gender

e7

Age

e8

Educ

e9

Expend

e10

Experien

e11

TrainB

e12

TrainNB

e13

TrainAM

e14

SosNet

e15

SGov

e16

Sass

FA

.20
.14
.11
.22
.21
.56
.62
.76
.62
.76
.73

.31
Z1

BACKGRO

.68
.43
.57
.81
.64
.10

AMM

e18

AMB

e19

AMTK

e20

AMP

e21

AMA

e22

AMH

e23

Gambar 4. Hasil analisis antesenden antisipasi masa depan

Hypotheses
H1:
Kewirausahaan berpengaruh positif terhadap
antisipasi masa depan
H2:
Latar belakang pengusaha berpengaruh positif
terhadap antisipasi masa depan

t-value
2.51

(Un)/Supported
Supported

2.98

Supported

Kewirausahaan ternyata berpengaruh terhadap antisipasi masa depan pengusaha batik.
Secara bersama-sama, variabel pengukur seperti motivasi untuk selalu maju, independensi, kreatif
dan inovatif mempengari secara nyata antisipasi masa depan dengan nilai koefisien regresi sebesar
0.31. Untuk variabel pengukur risk taking (pengambilan resiko) bukan merupakan variabel
pengukur dari kewirausahaan karena pada umumnya pengusaha batik telah turun temurun
menjalankan usaha batik. Batik menjadi produk budaya sehingga hampir setiap orang yang ada
dalam lingkungan industri batik memiliki pengambilan resiko yang tinggi. Dengan kata lain,
variabel pengukur pengambilan resiko memiliki nilai yang relatif seragam, tidak menyebar secara
normal sehingga tidak menyebabkan variasi dalam variabel laten kewirausahaan. Untuk variabel
lainnya seperti keinginan untuk maju, independensi, kreatifitas dan inovasi merupakan pengukur
dari variabel laten kewirausahaan.
Sementara itu, untuk latar belakang pengusaha, seluruh dimensi atau variabel pengukur
signifikan, kecuali variabel pengukur umur dan pendidikan. Untuk variabel umur, tersebar secara
flat atau garis lurus sehingga tidak memenuhi asas normalitas. Sementara itu untuk variabel
pendidikan, mereka rata-rata berpendidikan rendah sehingga data tidak tersebar secara normal,
namun lebih mengumpul disatu lokasi. Dari hasil pengujian hipotesis diperoleh hasil bahwa latar
belakang pengusaha berpengaruh secara positif dan siginifikan terhadap antisipasi masa depan,
dengan koefisien regresi sebesar 0.31.
Nilai-nilai kewirausahaan seperti keinginan untuk maju, independensi, kreatif dan inovatif
mampu membuat seseorang untuk tidak pernah berhenti berimajinasi mengenai berbagai hal, tak
terkecuali mengenai berbagai hal terkait masa depan. Seperti dikatakan oleh Mc Clelland (1961)
bahwa seseorang yang memiliki kewirausahaan disatu sisi, mereka akan memiliki kemampuan
mengantisipasi di masa depan terkait dengan berbagai hal, termasuk didalamnya adalah antisipasi
masa depan pasarnya. Timmons, J.A., (1994) dan Lambing, et.al, (2000) mengatakan bahwa
kewirausahaan adalah seseorang yang memiliki tindakan kreatif yang membangun nilai dari
sesuatu yang tidak nampak sebelumnya. Hal tersebut merupakan upaya pengejaran kesempatan
tanpa peduli terhadap sumberdaya atau ketiadaan sumberdaya di tangannya. Mereka memiliki visi,
kegemaran dan komitmen untuk memimpin yang lain mencapai visi tersebut. Kewirausahaan juga
membutuhkan kemauan untuk menghitung dan mengambil resiko terkait kejadian yang akan
datang.
Jika seseorang memiliki kewirausahaan dan memiliki latar belakang yang memadai terkait
dengan usaha mereka, pengusaha akan mampu mengantisipasi masa depan dalam hal model atau
disain; mereka juga mampu mengantisipasi terkait dengan jenis, jumlah, sumber bahan baku dan
bahan penolong yang akan mereka butuhkan dan akan mereka beli; dilain hal, mereka juga akan

mampu melakukan pengelolaan terhadap tenaga kerja yang akan mereka gunakan terkait dengan
kualifikasi, kompetensi, jumlah, arah pengembangan sumber daya manusia dalam perusahaan
mereka; mereka juga mampu mengantisipasi masa depan terhadap kemungkinan persaingan yang
akan terjadi serta menyesuiakan diri terhadap kondisi persaingan tersebut; mereka juga akan
mampu merancang dan menetapkan harga yang memungkinkan konsumen puas dan loyal kepada
mereka serta mereka mampu menetapkana harga yang akan meningkatkan brand image dan brand
imagery, brand position dari produk dan perusahaannya.

Gambar 5. Hasil analisis konsekuensi antisipasi masa depan

Hypotheses
H3:
Future anticipation positively influences extra
effort
H4:
Future anticipation positively influences customer
value
H5:
Future anticipation positively influences market
performance

t-value
5.36

(Un)/Supported
Supported

4.10

Supported

3.15

Supported

Berdasarkan hasil analisis diatas ditemukan bahwa future anticipation (antisipasi masa
depan) berpengaruh positif terhadap extra effort. Pada hasil pengujian hipotesis 3 ditemukan
bahwa antisipasi masa depan yang dilakukan oleh perusahaan membuat perusahaan tersebut untuk
memberikan extra effort bagi pelanggannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Morales (2005) yang
menyatakan bahwa perusahaan yang meletakkan pelanggan sebagai focal point akan memberikan
upaya ekstra untuk pelanggannya. Perusahaan yang melihat antisipasi masa depan dengan melihat
faktor politik, sosial, ekonomi, budaya dan teknologi akan membuat perusahaan tersebut
melakukan upaya ekstra demi memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggannya.
Antisipasi masa depan juga berpengaruh positif terhadap customer value (nilai pelanggan)
Pada hasil pengujian hipotesis 4 ditemukan bahwa perusahaan yang melakukan antisipasi masa
depanm akan memberikan superior customer value kepada pelanggannya. Perusahaan tersebut
memahami akan perubahan selera pelanggan dan perubahan struktur masyarakat sehingga
perusahaan akan memberikan yang terbaik kepada pelanggannya yang tercermin dalam nilai
pelanggan. Penelitian ini sejalan dengan temuan dari Destan, Yaprak & Cavusgil (2006) yang
menyatakan bahwa semakin perusahaan tersebut berorientasi kepada masa depan maka semakin
bagus nilai pelanggan yang diberikan oleh perusahaan tersebut. Pengusaha batik yang memahami
masa depan akan memberikan superior customer value kepada pelanggannya melalui penciptaan
motif ataupun desain batik yang unik.
Selain hasil diatas, ditemukan pula antisipasi masa depan berpengaruh positif terhadap
market performance (kinerja pasar). Antisipasi masa depan yang dilakukan oleh perusahaan akan
dihargai oleh pelanggannya. Bentuk penghargaan dari pelanggan ini berupa kepuasan dan loyalitas
dari pelanggan kepada perusahaan. Hal ini tentunya memberikan dampak pembelian berulang
yang berarti kenaikan penjualan yang berujung kepada peningkatan keuntungan perusahaan.
Dengan demikian maka perusahaan yang dipersepsikan melakukan future anticipation akan
memberikan dampak positif kepada market performance perusahaan. Hal ini sejalan dengan
penelitian Flint et al., (2011) yang menyatakan bahwa future anticipation akan memberikan
pengaruh yang positif terhadap kepuasan dan loyalitas pelanggan. Loyalitas inilah yang nantinya
akan berujung kepada pembelian berulang sekaligus positive word of mouth kepada pelanggan
yang lain sehingga akan meningkatkan market performance.

SIMPULAN, SARAN, DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Thaler (2000) mengatakan bahwa ”the true entrepreneur does not live merely in the
context of the present. The entrepreneur and the enterprise exist now, but always with a view to
the context of the future. The implications of today’s decisions are realised tomorrow. Of course,
if the entrepreneurial context is shifted from the present to the future, all decision making becomes
more complicated and potentially less rational. It requires consideration of uncertain market
developments, undiscovered technologies, changing organisational patterns, and ever-shifting
financial options. By definition, the enterprise of the future is not available in the here and now to
be objectively analysed and rationally evaluated. The future is open only to the imagination. The
future is not yet written”.

Selanjutnya, Thaler mengatakan sebagian besar dari masa depan akan menjadi akibat
langsung dari keputusan tujuan yang diambil di masa sekarang. Prestasi dan peristiwa masa depan
dipengaruhi oleh antisipasi, interpretasi, dan visi masa kini. Jika konteks menetapkan batas
rasionalitas, sebagaimana dikatakan oleh Thaler (2000), masa depan konteks antisipasi akan
menempatkan batasan pada kemanjuran rasionalitas kewirausahaan. Konteks antisipasi
membutuhkan lebih dari kompetensi dalam rasionalitas; hal itu juga memerlukan kompetensi
dalam estetika pengambilan keputusan kewirausahaan. Apa yang dikatakan Thaler ini,
menunjukkan kaitan yang erat antara kemampuan kewirausahaan dan bagaimana mengantisipasi
masa depan.
Riset ini – dengan menggunakan model persamaan struktural – memperdalam pandangann
sebelumnya bahwa ada kaitan yang erat antara kewirausahaan, latar belakang pengusaha dengan
antisipasi masa depan. Kewirausahaan dan latar belakang pengusaha sangat mempengaruhi
kemampuan dalam mengantisipasi masa depan. Jika pengusaha memiliki kewirausanaan, mereka
akan mampu mengantisipasi masa depan dalam enam aspek. Sementara itu, latar belakang
keluarga juga mempengaruhi secara positif antisipasi masa depan pengusaha batik. Hasil lain
terkait dengan konsekuensi kepemilikan kemampuan mengantisipasi masa depan menun

Dokumen yang terkait

M01686

0 0 24