MEMBANGKITKAN KESADARAN SABILILLAH

MEMBANGKITKAN KESADARAN SABILILLAH
Oleh Haedar Nashir
Muhammadiyah generasi awal tumbuh antara lain karena semangat atau ruh
jihad fiy-sabilillah dari para pem Dahlan sebagai pendiri bahkan memberikan uswah
hasanah atau keteladanan dala impinnya, yang kemudian menular kepada segenap
warganya. Kyai Haji Ahmad m membangkitkan dan mempraktikkan Sabilillah itu.
Dalam hal pemikiran, Kyai Dahlan mengerahkan segala kemampuan (badlul juhdi),
sehingga menorehkan gerakan tajdid atau pembaharuan, yang kemudian menjadi label
Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid di negeri ini. Dalam hal berkorban melalui
hartabenda (jihad bi al-mal), Kyai dengan ikhlas merelakan perabotan rumahnya
untuk dibelanjakan guna merintis kesuksesan dakwah amal usaha Muhammadiyah.
Tenaganya pun dikerahkan untuk kepentingan tabligh ke berbagai daerah, sehingga
Cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di sejumlah daerah seperti di Garut,
Pekajangan, selain di Karesidenan Jogjakarta. Lebih jauh lagi, Kyai tak gentar
mempertaruhkan jiwanya (jihad bi an-nafs) ketika diancam untuk dibunuh kalau
datang ke Banyuwangi, yang ternyata beliau datang pula sehingga di sana kemudian
berdiri Cabang Muhammadiyah. Semua itu tiada lain karena ruh Sabilillah tertanam
kokoh dalam jiwa Kyai Dahlan, yang kemudian dikembangkan dan dipraktikkan pula
oleh para murid dan penerusnya di belakang hari.
Sabilillah atau Sabilullah ialah “huwa at-thariq al-muwashil ila maa yardhahu-llahu min kulli ‘amalin adzina-llahu bihi li-‘la-i kalimatihi wa tanfidzi hukamihi”,
yakni jalan yang membawa pada keridhaan Allah berupa segala amalan yang

diidzinkan allah untuk memuliakan kalimat (agama)-Nya dan melaksanakan hukumhukum-Nya. Apapun yang kita lakukan seperti rapat, pertemuan, diskusi, mujahadah,
mencari dan mengajarkan ilmu, mendatangi dan melayani umat, menjalankan tugastugas organisasi, mendermakan harta, berkiprah dalam politik yang bermoral dan
memperjuangkan idealisme, mengembangkan dan mengelola amal usaha dengan
amanah, menggiatkan bisnis untuk kemaslahatan keluarga dan umat, berdakwah amar
makruf nahi munkar, dan berbagai kegiatan yang dilakukan dengan semangat mencari
ridha dan karunia Allah meruipakan Sabilillah atau jihad fiy-sabilillah. Tak ada yang
sia-sia dan merugi jika semua yang dilakukan itu bersemangatkan Sabilillah, bahkan
yang ada adalah keburuntungan baik di dunia maupun di akhirat. Tak ada paksaan dan
keterpaksaan dalam menggerakkan Muhammadiyah maupun aktivitas dakwah untuk
mrmulisksn Islam dan umat Islam jika semua diniati dan berada dalam bingkai
Sabilillah.
Kini ruh Sabilillah tampaknya harus dibangkitkan kembali, ditanamkan,
dimasyarakatkan, dan digerakkan di seluruh lingkungan Persyarikatan
Muhammadiyah. Tidak kecuali bagi mereka yang mengelola dan berada di amal usaha
Muhammadiyah, bahwa berkiprah di situ bukanlah semata-mata mencari nafkah
apalagi sekadar untuk meniti karis diri sendiri, namun lebih ideal lagi sebagai jalan
Sabilillah menuju pada raihan Ridha Allah. Jika hanya mencari nafkah dan mobilitas
diri, maka yang diperoleh sekadar itu, selebihnya hampa belaka. Demikian halnya
bagi para pimpinan Muhammadiyah di berbagai lini, termasuk di Majelis, Lembaga,
Badan, dan organisasi otonom, semua kiprah yang dilakukan semestinya dibingkai

oleh ruh Sabilillah. Jika semangatnya Sabilillah, maka berat maupun ringan, ada
fasilitas lengkap atau tidak, menyenangkan atau tidak menyenangkan, akan dilakukan
sepenuh hati dengan tanpa mendhalimi diri sendiri. Tak akan ada sikap mudah patah
arang, kecewa, merasa rugi dan diperas, apalagi lari dari tanggungjawab karena selalu
ada tujuan utama dan mulia yakni meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan
1

limpahan ridha Allah. Hanya karena ingin memperoleh simpati atau penghargaan
manusia, tidak sedikit orang bersungguh-sungguh bahkan menggunakan segala
ikhtiar, masakan untuk memperoleh keridhaan Allah berkiprah asal-asalan, minimal,
dan mudah patah semangat. Di mana jiwa jihad kita?
Diakui zaman semakin materialistik, segala hal diukur dan dihitung dengan
materi, dengan uang. Tak ada uang atau materi, tak ada keringat, apalagi pengabdian
dan pengorbanan. Bahkan untuk menentukan pilihan politik pun sekarang ini apa-apa
selalu harus ada uangnya, sehingga politik uang merajalela dengan sumber dana yang
tidak jelas, bahkan mungkin banyak yang subhat dan haram. Celakanya, mereka yang
menduduki kursi kekuasaan seperti para anggota DPR, DPRD, dan kursi-kursi empuk
lainnya, pun cenderung bermain dan mempermainkan uang, sehingga kasus demi
kasus korupsi serta siasat menggunakan uang rakyat secara akal-akalan makin marak.
Itulah zaman ketika uang telah memperdaya manusia, telah menjadi sesuatu yang

diagung-agungkan, dipuja laksana dewa. Takl sedikit orang jatuh dan menjatuhkan
diri sendiri demi uang. Repotnya lagi mereka yang seharusnya memperoleh amanat
publik untuk menggunakan uang guna kepentingan kemaslahatan orang banyak dan
kemuliaan hidup, malah mempersulit dan menahannya sehingga urusan umat
tersumbat. Dalam suasana hidup yang serba dipenjara uang seperti itu maka perlu ada
kebangkitan penyadaran jihad Sabilillah agar kita wajar dalam memandang materi dan
bahkan memanfaatkan materi untuk jalan meraih kemuliaan hidup, untuk izzul Islam
wal muslimin secara halal dan baik.
Zaman sekarang juga suatu era ketika pertimbangan-pertimbangan rasional
demikian diagungkan, sehingga orang tidak akan melakukan sesuatu yang tanpa
pamrih, yang bersifat metafisik, yang ukhrawi, yang spiritual, yang ruhaniah, hanya
karena tidak masuk dalam standar efektivitas dan efisiensi rasional. Semua ikhtiar
secara jelimet dikalkulasi dengan rasio yang instrumental, sehingga sering melupakan
pertolongan Allah. Ikhtiar dan do’a sering tidak bersenyawa karena manusia modern
terlalu menisbahkan diri pada rasio semata. Aklibatnya hidup menjadi kehilangan
sukma ruhaniah, kehilangan ruh Ilahi, yang ada adalah robot. Orang kemudian
menjadi serba ragu, bahkan tidak sedikit yang melarikan diri atau melakukan sesuatu
secara minimal, karena menurut rasio tidaklah masuk di akal, terutama akal
instrumental seperti kerja mesin, padahal hidup itu multidimensi. Dalam keadaan
seperti itu maka organisasi-organisasi dakwah sering kehilangan idealisme yang

bersifat melampaui, sehingga gerak organisasi menjadi kering. Orang rasional lebih
suka seminar dan olah intelektual, pada saat yang sama takut dan selalu berhitung
untuk turun ke tengah-tengah umat di bawah, karena dianggap tidak efektif dan tidak
efisien dari sudut pandang nalar instrumental. Pertimbangan rasional memang harus,
tetapi jika terlalu instrumental maka biasanya melemahkan semangat untuk berkiprah
yang penuh tantangan dan pengorbanan, akhirnya hidup menjadi serba mencari aman
dan terkesan cengeng. Kyai Dahlan tentu akan membatalkan datang ke Banyuwangi
jika nalarnya serba instrumental.
Muhammadiyah dan segenap pimpinan, kader, dan warganya kini memerlukan
energi baru yang bernama virus atau ruh Sabilillah. Mari kita gerakkan aktivitasaktivitas Persyarakiatan, kegiatan-kegiatan keumatan dan kebangsaan dengan
semangat Sabilillah. Mari setiap orang di Muhammadiyah menggerakkan diri dan
saling membangkitkan kesadaran untuk belajar berkorban dengan yang dimiliki
secara optimal untuk tercapainya tujuan membangun masyarakat Islam yang sebenarbenarnya, sehingga Islam menjadi rahmatan lil-‘alamin. Bagi yang memiliki harta
dengan harta, bagi yang berilmu dengan ilmu, yang memiliki kekuatan tenaga denga n
tenaga, bagi yang memiliki kekuasaan politik dengan otoritas, dan berbagai potensi

2

diri dapat digerakkan secara bersama-sama dalam wadah Muhammadiyah sebagai
Gerakan Islam. Jika semangat dasarnya Sabilillah maka insya Allah semua orang di

Muhammadiyah akan memberikan yang optimal untuk menebar rahmatan lil-‘alamin
melalui organisasi yang sama-sama kita cintai ini. Mari, sekali lagi, kita berjihad fiysabilillah melalui Muhammadiyah, insya Allah pahalnya akan dipetik di dunia dan
akhirrat. Bangkitkan lagi ruh Sabilillah di Muhammadiyah melalui etos beramal
ilmiah, berilmu amaliah, berfastabiqul khairat, dan siapa menanam mengetam!

Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 07-2002

3