JANGAN TERLALU CEPAT CURIGA

JANGAN TERLALU CEPAT CURIGA

Masyarakat kita memang terlalu cepat dalam mengambil kesimpulan dalam melihat
sesuatu persoalan. Tanpa melihat dan mempelajari persoalan itu secara rasional dan benar.
Karean itulah ---mungkin--- kita selalu dikibuli atau dipecundangi oleh para pelaku yang
melakukan aktivitas itu. Contoh terakhir adalah, ketika sejumlah tokoh partai politik
berkumpul di rumah Amien Rais, beberapa waktu yang lalu. Seluh media massa memblow up
dan memberitakan secara vulgar. Demikian pula, yang tidak senang dengan pertemuan itu
mengomentarinya bermacam-macam. Padahal pertemuan seperti itu telah berlangsung dua
kali di tempat tokoh-tokoh politik juga. Pertemuan pertama dan kedua berlangsung di
kediaman Ahmad Tirtosudiro dan Jusuf Kalla. Dan tidak ada yang membesar-besarkan
apalagi mempersoalkan.
Mungkin, yang jadi persoalan adalah karena pertemuan ketiga itu bertempat dirumah
dinas Amien Rais, yang notabene adalah Ketua MPR. Dilihat dari sisi apapun nuansa
politisnya mungkin lebih kental. Apalagi bulan Agustus yang akan datang, akan berlangsung
sidang tahunan MPR. Dalam sidang tahunan itu apapun bisa terjadi. Menolak laporan
pertanggungjawaban Presiden Megawati, lalu menaikkan Hamzah Haz sebagai presiden
pengganti Megawati dsb. Masalah itulah yang membuat ketakutan sebagian pihak. Di sisi
lain ada yang melihat, pertemuan itu dalam rangka Pemilihan Umum tahun 2004. Di mana
---kemungkinan--- partai-partai yang berbasis Islam akan mengajukan Amien Rais sebagai
calon Presiden.

Berbagai kesimpulan, pendapat dan komentar dalam melihat pertemuan itu, sah-sah
saja adanya. Tidak perlu dicurigai apalagi dijadikan komoditas politik dalam rangka
menembak lawan atau dalam rangka melakukan politik balas dendam. Padahal kalau kita lihat
ke belakang atau kita telusuri sejarah perjalanan bangsa ini, tidak ada masalah yang tidak
dibicarakan secara bersama-sama. Menurut DR. Joko Suryo, dosen sejarah Fakultas Ilmu
Budaya, UGM bahwa memang ada hubungan yang menarik antara para tokoh pergerakan
Nasionalis Islam dengan tokoh-tokoh Nasionalis Sekuler. Kedua komponen itu merupakan
para pemimpin bangsa. Hubungan keduanya diawali pada awal abad XX. Gabungan antara
keduanya merupakan fenomena historis. Awal abad XX menurut beliau, merupakan awal
lahirnya kepemimpinan nasional. Keduanya muncul bersama-sama dan itu merupakan
representasi kesadaran bangsa.
Tantangan waktu itu adalah tatanan politik kolonial. Tatanan tadi akan dibongkar,
didekonstruksi. Islam dan nasional sama-sama punya arah ke sana. Mereka berdua ingin
merdeka dari belenggu kolonial. Perbedaan keduanya terletak pada penggunaan agama
sebagai sebagai dasar gerakan. Golongan nasionalis Islam memakai agama sebagai spirit bagi
pergerakan itu, sementara kaum sekuler hanya menggunakan kebangsaan saja, tanpa
melibatkan unsur agama dalam mencapai tujuannya. Tapi keduanya punya tujuan sama, yakni
Indonesia merdeka. SDI (Sarikat Dagang Islam) lahir tahun 1905, didirikan oleh H.
Samanhudi. Kemudian diikuti oleh Budi Utomo tahun 1908. Kedua organisasi ini merupakan
cikal bakal partai politik di masa depan. Kedua pergerakan ini punya tujuan yang sama, hanya

berbeda pada ciri khasnya.Kemudian disusul oleh Muhammadiyah yang menitikberatkan
pada gerakan sosial, pendidikan dan pemurnian agama.
Pergerakan-pergerakan ini kemudian berujud sebagai partai politik pada antara tahun
1920-1930 dengan munculnya Partai Nasionalis Indonesia dan Partai Syarikat Islam
Indonesia. Politisi Islam berkumpul dan bergerak melalui PSII, sedangkan kaum Nasionalis
sekuler bergerak melalui Partai Nasionalis Indonesia. Muncul juga waktu itu Partai Komunis
Indonesia. Pergerakan ini terus menerus bersama dengan perjalanan bangsa Indonesia.
Pada zaman Jepang, lanjut Joko Suryo, representasi pergerakan ini diwakili dengan
empat serangkai, Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantoro dan KH Mas Mansyur. Mereka ini
merupakan tokoh bangsa Indonesia di zaman Jepang. Jepang tahu bahwa realitas masyarakat
Indonesia ini adalah golongan Islam dan Nasionalis. Kedua golongan ini merupakan sokoguru
bangsa Indonesia.

Zaman persiapan kemerdekaan juga diwarnai dengan munculnya tokoh-tokoh yang
berasal dari golongan Nasional dan Islam. Menjelang kemerdekaan muncullah apa yang
dinamakan dengan Piagam Jakarta. Tapi atas permintaan golongan dari Indonesia Timur,
ketujuh kata yang ada di Piagam Jakarta dicoret, demi persatuan Indonesia. Dinamika ini
berjalan terus sampai Indonesia merdeka. Pada zaman Kemerdekaan mereka yang pada
zaman Jepang tergabung dalam MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) membentuk dirinya
menjadi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Kalangan nasionalis tetap

menggunakan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
Dalam masa-masa inilah konsep tentang Negara Islam, yang merupakan format
kenegaraan yang dicita-citakan oleh Masyumi muncul. Negara Islam merupakan bentuk
negara ideal yang ingin dituju dan dibentuk oleh politisi Masyumi. Tapi kaum nasional lebih
menekankan dan mencita-citakan negara kebangsaan. Pada tahun 1955 dilakukan Pemilu
pertama. Ada empat partai besar yang mendapat suara banyak dari rakyat. Keempat partai
tersebut ialah PNI, Masyumi, NU dan PKI. NU memisahkan diri dari Masyumi pada tahun
1952.
Dinamika ini berkembang hingga tahun 1959 ketika Dekrit Presiden dikeluarkan
karena konstituante tidak mampu untuk membentuk dasar negara. Dasar negara waktu itu
akan diisi dengan Islam atau tetap Pancasila sesuai dengan UUD 1945. Karena situasi genting
waktu itu, Presiden mendekritkan untuk kembali ke UUD 1945. Dari masa inilah dimulainya
era demokrasi terpimpin.
Pada zaman Orde Baru, ujar Joko Suryo, demi stabilitas, dilakukan politik massa
mengambang. Partai politik hanya mempunyai kepanjangan tangan sampai ke Kabupaten.
Partai-partai disederhanakan menjadi tiga partai; PPP, Golkar, PDI. Nampak di sini bahwa
para pemimpin Islam dimasukkan dalam PPP. Sementara yang nasionalis ke PDI. Rekruitmen
Ketua Partai pun banyak dicampurtangani oleh Pemerintah. Pemerintah atau negara pada
zaman Orde Baru sangat kuat. Pada zaman Orde Baru tampak bahwa kehidupan politik
menjadi sesuatu yang tidak menggairahkan, dibanding dengan era-era sebelumnya. Hal ini

dilakukan demi pembangunan ekonomi.
Kepemimpinan politik pada saat Orde Baru merupakan kepemimpinan yang lemah.
Hal ini karena pemimpin yang muncul bukan pemimpin yang muncul dari rakyat. Melainkan
drop-dropan pemerintah. Mereka yang muncul alami akan segera dipotong oleh pemerintah.
Pada era reformasi sekarang, para pemimpin Islam mendirikan partai-partai Islam. Ini
merupakan kelanjutan dari periode-periode sebelumnya. Jadi bila dikaji lebih jauh ada
semacam benang merah yang mengaitkan antara mereka yang berjuang di awal abad XX
dengan para politisi Islam sekarang. Ada kaitan dan kontinyuitas dalam melakukan
perjuangan pergerakan. Dan pada masa era reformasi ini juga tampak pula bahwa ada dua
kecenderungan besar dalam bangsa Indonesia: golongan Islam dan Nasionalis. Tepatnya
Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler. Ini merupakan dua unsur utama bangsa Indonesia.
Dalam pandangan DR. Suhartono yang juga dosen Sejarah pada Fakultas Ilmu
Budaya UGM, memang hubungan pemimpin Islam Nasionalis dan Nasionalis Sekuler dalam
perkembangan sejarah menunjukkan grafik turun-naik tau pasang-surut. Pada zaman
penjajahan mereka bekerjasama dan mempunyai tujuan yang sama; yakni masyarakat yang
bebas dari penjajahan. Tetapi setelah tujuannya tercapai mereka mencari jalan sendiri-sendiri.
Secara umum mereka bekerja sama ketika mendapat tantangan yang sama, yakni pemerintah
kolonial Belanda. Setelah tujuan itu tercapai mereka ingin mengisi kemerdekaan ini dengan
caranya sendiri. Pada saat inilah mereka bersimpang jalan.
Pasang surut hubungan tokoh dan kekuatan Islam ini diakui juga oleh Agus Purnomo,

SIP. Menurut beliau, pasang surut tokoh dan kekuatan Islam khsususnya di Indonesia selalu
diwarnai dengan muatan politik. Pertemuan para tokoh Islam dan politisi muslim beberapa
waktu lalu dikediaman Amien Rais, menurut pandangan Agus Purnomo, menjadikan
permualaan jalan politik yang menarik. “Baru akhir-akhir ini politisi dan tokoh-tokoh Islam
bisa berkumpul.” Ujarnya. Logika orang awam, lanjutnya, bisa menimbulkan berbagai
macam pertanyaan. Pertemuan itu mungkinkah hanya sekedar silaturahmi atau ada rencana
lain?

Selama ini menurut Agus Purnomo, memang kita banyak dirugikan oleh perpecahan
partai. Di mana dulu partai Islam (PPP) sempat menduduki rating kedua. Hal tersebut
menunjukkan bahwa partai Islam memang partai yang besar. Lain halnya dengan sekarang,
perpecahan partai muncul kembali, apalagi partai Islam sekarang cukup banyak. “Semoga
dengan berkumpulnya tokoh-tokoh Islam itu, menjadikan langkah yang lebih baik bagi
perkembangan Islam di Indonesia." tegasnya.
Fahri Hamzah, MA, mendukung pertemuan semacam itu. Menurut, Ketua
Departemen Komunikasi dan Jaringan DPP Partai Keadilan ini, sudah seharusnya tokohtokoh Islam itu bertemu dan membicarakan masalah-masalah bangsa. Sekarang ini bangsa
kita diambang kehancuran. Dan setiap pertemuan harus melahirkan siapa diantara tokoh umat
Islam yang bisa menjadi pemimpin puncak. Karena kita ini akan menghadapi ancaman besar,
terutama dibidang politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.
Umat islam sebagai mayoritas anak bangsa, sangat mungkin untuk membikin kaukus

Islam untuk bisa memenangkan satu proses kepemimpinan nasional di masa mendatang.
Dengan menyatunya umat Islam dalam kaukus, bangsa ini akan merasa aman. Karena
menurut Fahri, kalau mayoritas umat Islam bersatu, otomatis bangsa Indonesia akan bersatu.
Dan itu yang akan membawa keamanan sejati bagi rakyat Indonesia. “Oleh karena itu orang
harus merasa lapang dada kalau di suatu hari tokoh umat Islam akan memimpin negeri ini.
Kalau tidak terjadi berarti mengingkari sejarah umat Islam.” Ujarnya. Jadi pertemuan itu tidak
salahkan? (im, ton, mur, wan, nafi)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 13 2002