KONSEP MULTIKULTURAL DAN ETNISITAS PRIBUMI DALAM PENELITIAN SENI | Ganap | Humaniora 1058 2053 2 PB
Humaniora, Vol. 24, No. 2 Juni 2012: 156 - 167
VOLUME 24
HUMANIORA
No. 2 Juni 2012
Halaman 156 - 167
KONSEP MULTIKULTURAL DAN ETNISITAS PRIBUMI
DALAM PENELITIAN SENI
Victor Ganap*
ABSTRACT
Traditional arts are essentially public cultural expressions, not individual expressions. They are
bound by the characteristics of their respective cultures which bring with them their local wisdom.
While multiculturalism acknowledges the equality of all oral traditions that have been embedded in
every indigenous ethnicity, any research conducted on traditional arts should appropriately be carried
out by researchers who belong to the corresponding cultural groups and have a life time experience
within their own primordiality. Therefore, new concepts introduced in research into traditional arts
based on multiculturalism and indigenous ethnicity play an important role in maintaining truthful
corroboration of the research outcome.
Keywords: multiculturalism, indigenous ethnicity, traditional arts
ABSTRAK
Pada hakikatnya seni tradisi merupakan sebuah ekspresi kultural sebagai subjek kolektif yang
terikat oleh karakteristik ranah budaya masing-masing sehingga identitas dan nilai kearifan lokalnya
turut terbawa serta. Pandangan multikultural yang menjunjung tinggi kesetaraan budaya mengakui
eksistensi tradisi lisan yang melekat pada setiap etnisitas pribumi sehingga penelitian terhadap seni
tradisi selayaknya dilakukan oleh peneliti pribumi yang memiliki pengalaman seumur hidup terhadap
ikatan primordial budayanya. Untuk itu, konsep baru dalam penelitian seni berdasarkan konsep
multikultural dan etnisitas pribumi memiliki arti penting terhadap pencapaian tingkat kebenaran dan
kesahihan hasil penelitian.
Kata Kunci: multikultural, etnisitas pribumi, seni tradisi
PENGANTAR
Penelitian seni pada hakikatnya merupakan
penelitian terapan yang menggunakan pendekatan multidisiplin, baik dalam bentuk perancangan karya seni maupun penelitian fungsional secara tekstual dan kontekstual. Apabila
penelitian perancangan menghasilkan karya seni
yang dipublikasikan melalui pergelaran, pameran,
atau penayangan, penelitian fungsional menghendaki publikasi dalam berkala ilmiah. Selama
ini, menurut pengamatan, penelitian seni di
Indonesia belum mampu menggali jati diri dan
memanfaatkan potensi seni tradisi secara maksimal karena perilaku para peneliti yang kurang
produktif dalam meneliti kekayaan budaya
Nusantara. Tidaklah mengherankan apabila
* Jurusan Musik, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta
156
Victor Ganap - Konsep Multikultural dan Etnisitas Pribumi dalam Penelitian Seni
kekayaan budaya dan keunikan seni tradisi
Nusantara justru menjadi objek material para
peneliti asing, yang relatif lebih mudah untuk
memperoleh sumber dana yang memadai, dilengkapi dengan perangkat instrumen penelitian
yang canggih. Fenomena ini berdampak pada
langkanya hasil penelitian dari para peneliti
Indonesia yang diterbitkan dalam berkala ilmiah
internasional. Sementara itu, berkala ilmiah
internasional, seperti Bijdragen tot de Taal-, Landen Volkenkunde, yang terbit di Leiden lebih
banyak memuat artikel tentang seni tradisi
Nusantara yang ditulis oleh para peneliti Barat
dengan hasil penelitian mereka yang superfisial
dan diragukan kesahihannya.
Selain itu, dalam melakukan penelitian seni
tradisi, peneliti Indonesia juga masih bergantung
pada metode dan teknik Barat sehingga substansinya itu sendiri cenderung terabaikan,
terpinggirkan, bahkan tersingkirkan. Para peneliti
umumnya mengacu pada pemikiran Barat yang
positivistik sehingga hasil penelitian mereka
hanya menyentuh kulit luarnya saja dan tidak
mampu berkomunikasi secara mendalam dengan
roh seni tradisi itu sendiri. Para peneliti juga terikat
menggunakan metode Barat menurut tradisi bacatulis, yang bertolak belakang dengan tradisi lisan
budaya Nusantara. Para peneliti terobsesi pada
kadar kesahihan teknik Barat melalui pendekatan
etic yang lebih mengandalkan pada analisis
sepihak tanpa mampu membangun komunikasi
dua arah dengan para narasumber di lapangan.
Penelitian seni juga tidak memperoleh
dukungan konseptual dari paradigma pendidikan
seni yang mengadaptasi estetika Barat dalam
membedakan dimensi verbal, kinestetik, sonoris,
dan visual sehingga memunculkan dikotomi
antara pendidikan seni tari, seni musik, dan seni
rupa. Sementara itu, seni tradisi memiliki sosok
yang lebih terintegrasi dalam berbagai bentuk
simbolis yang terkadang tidak dapat dianalisis
secara akademik. Seni tradisi tidak mengenal
dikotomi antara tari, drama, dan musik seperti
halnya di Barat karena seni tradisi yang digelar
merupakan suatu kesatuan dimensi verbal,
kinestetik, sonoris, dan visual yang tidak
terpisahkan. Dalam konteks yang lebih luas
pengaruh Barat telah menjadikan kita sebagai
masyarakat yang biculture, bilingual, dan bimusicality.
Selama ini diyakini bahwa para peneliti dari
mana pun yang hendak meneliti karya seni Barat
dapat memanfaatkan tradisi baca-tulis Barat yang
dituangkan dalam berbagai bentuk simbolis
berupa aksara, sketsa, atau notasi. Para peneliti
dapat memberikan interpretasi terhadap gaya
komposisi Ludwig van Beethoven melalui analisis
karya sonata, konserto, dan simfoninya sebagai
sebuah critical biography. Namun, peneliti tidak
akan dapat begitu saja menyimpulkan karya seni
yang menggunakan tradisi lisan karena penelitian
tersebut membutuhkan paradigma multikultural
dan etnisitas pribumi.
KONSEP MULTIKULTURAL
Pemikiran yang mendukung penelitian seni
tradisional didasarkan pada konsep multikultural,
yang mengakui akan kesetaraan seni tradisi pada
semua kelompok etnik di dunia, menghargai
kearifan lokal mereka masing-masing, seperti
terangkum dalam pertanyaan John Blacking,
seorang profesor sosial antropologi pada Queen’s
University of Belfast, Irlandia Utara tentang
seberapa musikalkah manusia? Ia meneliti peran
musik dalam masyarakat dan kebudayaan, dan
sebaliknya peran masyarakat dan kebudayaan
dalam musik, yang dituangkan ke dalam teorinya
yang mengatakan bahwa musik merupakan bunyi
yang disusun secara manusiawi (Blacking
1974:3). Penelitian yang dilakukannya pada suku
Venda di Transvaal, Afrika Selatan telah membuka
mata hatinya dan membalikkan pandangannya
selama ini terhadap superioritas musik Barat.
Sebagai seorang humanis, ia menempatkan
unsur manusiawi di atas segalanya sehingga
setelah mengenal seni tradisi suku Venda, ia
menemukan mata rantai yang terputus antara
teknik analisis musik Barat dengan konsepkonsep estetik yang sarat dengan berbagai nilai
manusiawi di luar dunia Barat. Sebagai bentuk
157
Humaniora, Vol. 24, No. 2 Juni 2012: 156 - 167
apresiasi terhadap penemuan teorinya itu, ia
memperoleh penghargaan sebagai The John
Danz Professor yang diundang untuk memberikan
presentasinya di hadapan warga kampus
University of Washington dan komunitas Pacific
Northwest di Seattle. Sejak Oktober 1961, penghargaan John Danz diberikan setiap tahun oleh
The University of Washington kepada ilmuwan
yang dianggap memiliki reputasi tentang penemuan dampak ilmu pengetahuan dan filsafat terhadap persepsi manusia secara rasional. Teori
John Blacking pada akhirnya meletakkan dasar
bagi prinsip multikultural seni tradisi yang menempatkan aspek manusiawi sebagai intisari dari hasil
karya seni secara universal.
Konsep multikultural juga menunjukkan
bagaimana kepakaran dalam bidang musik
Nusantara di Indonesia dapat disinergikan melalui
sebuah forum komunikasi antarperguruan tinggi
seni. Pada awalnya tradisi yang mapan dari Seni
Tari, Karawitan, dan Pedhalangan (Teater
Boneka) Jawa, Sunda, dan Bali mendasari
berdirinya lembaga pendidikan seni yang pertama
di Yogyakarta dan Surakarta melalui pertimbangan keberadaan Kraton Kasultanan Yogyakarta
dan Kasunanan Surakarta sebagai center of
excellence budaya Jawa yang adiluhung, dilengkapi dengan berbagai sumber kajian berupa
data sejarah dalam bentuk prasasti, babad,
manuskrip, dan relief sebuah seni istana. Dalam
perkembangan selanjutnya, kajian Karawitan
Jawa, Sunda, dan Bali diperluas dengan kajian
etnomusikologi yang dirintis USU Medan melalui
bantuan The Ford Foundation. Langkah ini diikuti
oleh lembaga pendidikan tinggi seni sebagai
pengembangan kajian karawitan, yang kemudian
berkonotasi timbulnya dikotomi antara seni istana
dan seni kerakyatan. Itu sebabnya konsep multikultural ingin meniadakan dikotomi tersebut
melalui cara pandang bahwa setiap seni tradisi
yang berada di Nusantara memiliki derajat yang
sama. Kadar estetika seni istana gaya Yogyakarta dan Surakarta sejajar dengan seni tradisi
158
kerakyatan gaya Banyumasan, Semarangan,
Jawatimuran, bahkan dengan berbagai seni
tradisi kerakyatan lainnya yang membentang dari
Aceh hingga Papua. Estetika musik gamelan
Jawa, Sunda, dan Bali setara dengan Gondang
Sabangunan Batak Toba, Talempong Minangkabau, Gamolan Pekhing Lampung Barat,
Gambang Kromong Betawi, gamelan Saronén
Madura, Tingkilan Kalimantan, Ganrang Pa’balle
Makassar, Orkes Bambu Minahasa, Totobuang
Maluku, Sasando Timor, dan Tifa Papua. Kesetaraan itu didasarkan pada keunggulan
aksentuasi pada tiap seni tradisi ditinjau dari unsur
akustika, organologi, koreografi, ornamentasi,
dan makna monumental yang secara simbolis
terkandung di dalamnya. Dengan demikian,
konsep multikultural dengan cara pandang
kesetaraan estetika harus menjiwai pemikiran dan
langkah setiap peneliti dalam melakukan penelitian seni tradisi Nusantara agar peneliti dapat
menggali kearifan lokal objek material yang ditelitinya di lapangan dan menggunakan metodologi
yang tepat guna.
KONSEP ETNISITAS PRIBUMI
Penelitian seni sebagai penelitian terapan
pada hakikatnya merupakan sebuah proses
perancangan karya seni yang novelti hasil
kreativitas manusia. Kreativitas itu sendiri dikatakan sebagai kemampuan manusia untuk menghasilkan sesuatu yang bersifat novelti dan tepat
guna. Menurut teori implikasi sistem perspektif
Mihaly Csikszentmihalyi, profesor psikologi
University of Chicago, Illinois, penelitian yang
menstimulasi kelahiran sebuah karya seni atau
hasil penelitian yang novelti merupakan sebuah
proses yang hanya dapat terjadi apabila terdapat
interaksi antara peneliti menurut latar belakang
pribadinya dengan ranah budayanya dan masyarakat pendukungnya di lapangan, seperti yang
tergambar dalam bagan alir berikut (Sternberg
1999:315).
Victor Ganap - Konsep Multikultural dan Etnisitas Pribumi dalam Penelitian Seni
Bagan Penelitian Seni
Ranah budaya merupakan komponen dasar
kreativitas karena tidak mungkin memperkenalkan
variasi baru tanpa merujuk pada suatu ranah
budaya yang telah ada. Pemikiran yang novelti
tidak akan lahir begitu saja tanpa tersedianya
objek, aturan, representasi tertentu menurut
tradisinya masing-masing karena tanpa aturan
tidak akan ada pengecualian dan tanpa tradisi
tidak akan ada orisinalitas. Menurut Csikszentmihalyi, kreativitas dapat terjadi apabila peneliti
ingin membuat perubahan pada ranah budayanya, perubahan yang ditransmisikan melalui
dimensi waktu. Para peneliti yang mempunyai
kecenderungan untuk melakukan perubahan
dapat disebabkan oleh latar belakang pribadinya
atau karena mereka memiliki posisi yang menguntungkan dalam ranah budayanya sehingga
mereka memiliki akses dan lingkungan sosial
yang lebih baik dalam memberikan peluang dan
waktu yang lebih luas untuk bereksperimentasi.
Peneliti seni, seperti koreografer Bagong
Kussudiardjo, komponis Ismail Marzuki, sastrawan Umar Kayam, dan pelukis Affandi, telah
mampu membangun laboratorium mereka dan
berkonsentrasi pada pemikiran ide dasar penciptaan karya seni dan penelitian seni mereka
karena mereka hidup dalam lingkungan budaya
dengan tradisi kehidupan para penari, pemusik,
dan perupa sehingga memungkinkan mereka
untuk berbagi wawasan dan dievaluasi oleh
sejawat mereka. Demikian pula peneliti seni
seperti koreografer Huriah Adam, komponis
Nahum Situmorang, sastrawan J.E. Tatengkeng,
dan pelukis Amri Yahya hidup dalam lingkungan
budaya tradisi Minangkabau, Batak, Sangihe, dan
Palembang sehingga memungkinkan mereka
untuk menampilkan kandungan kearifan lokal
masing-masing dalam karya seni hasil penelitian
mereka.
Namun, hasil penelitian berupa gagasan yang
novelti akan cepat terlupakan dan perubahan
yang ingin dilakukan melalui penelitian seni tidak
dapat dilanjutkan kecuali memperoleh asesmen
dan validasi dari sekelompok masyarakat yang
berkompeten memutuskan apakah gagasan itu
layak untuk dimasukkan ke dalam ranah budaya
mereka. Kelompok itu mewakili lapangan dalam
ranah budaya peneliti seni, seperti kelompok para
dosen seni, kritik seni, editor jurnal seni, kurator
galeri dan musium seni, serta pimpinan sekolah
seni, pusat kesenian, taman budaya, dan yayasan seni, yang berhak menentukan kelayakan
sebuah karya seni dan hasil penelitian yang
menjadi milik ranah budaya mereka.
Fenomena interaksi antara ranah budaya,
latar belakang pribadi peneliti, dan masyarakat
lapangan dalam teori implikasi sistem perspektif
Csikszentmihalyi memberikan landasan teoretis
yang kokoh bagi konsep etnisitas pribumi bagi
setiap peneliti dalam melakukan penelitian seni
tradisi di mana pun, termasuk seni tradisi Nusantara. Selanjutnya, untuk penguatan koroborasi,
berikut ini dibahas berbagai hasil penelitian seni
tradisi Nusantara yang telah dilakukan oleh
peneliti pribumi dan peneliti non-pribumi agar
mendapatkan pembenaran tentang arti penting
159
Humaniora, Vol. 24, No. 2 Juni 2012: 156 - 167
konsep multikultural dan etnisitas pribumi yang
diperoleh dari hasil penelitian mereka.
PENELITIAN DISERTASI
Pembahasan ini merupakan rangkuman hasil
penelitian Hibah Kompetensi Bidang Etnomusikologi yang didanai DP2M Dikti tahun 2010.
Pembahasan meliputi hasil penelitian disertasi
Victor Ganap, Mauly Purba, Muhammad Takari,
Perry Rumengan, Takashi Shimeda, dan Marc
Benamou, dilanjutkan dengan pembahasan hasil
penelitian bidang ilmu dari Victor Ganap, Bronia
Kornhauser, Antonio Pinto Da França, Rustim
Satie, Idawati Armand, Sukotjo, dan Zulkarnain
Mistortoify yang mencerminkan bobot kepakaran
dari para penelitinya.
Disertasi berjudul “Krontjong Toegoe:
Sejarah Kehadiran Komunitas dan Musiknya di
Kampung Tugu, Cilincing, Jakarta Utara” tahun
2006 ditulis oleh Victor Ganap, peneliti yang lahir
dan dibesarkan di Jakarta, bergelar doktor dengan
predikat cum laude dari Universitas Gadjah
Mada, sebagai Guru Besar Musikologi pada
Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta.
Peneliti mengetengahkan fenomena sebuah
komunitas Kristiani yang minoritas di Kampung
Tugu yang mampu bertahan hidup di sana selama
lebih dari tiga setengah abad lamanya. Peneliti
melalui pendekatan etnisitas pribumi antara
sesama etnik kawasan Timur yang berdomisili di
Jakarta telah berhasil membuktikan bahwa
kehadiran komunitas Tugu terkait erat dengan
kedatangan bangsa Portugis di Malaka dan
Maluku sepanjang abad keenam belas. Komunitas Tugu bukanlah berasal dari kelompok kreolis
Portugis di Sunda Kelapa atau kelompok mardijkers asal Bengali dan Coromandel di Batavia,
melainkan kelompok pelaut Portugis asal Goa,
India yang melarikan diri dari Maluku bersama
anak istri mereka asal Bandaneira ketika VOC
menyerang pulau Banda pada awal abad ketujuh
belas. Kapal mereka karam di pantai Cilincing,
lalu ditangkap oleh VOC dan dibuang ke Kampung
Tugu. Mereka mampu menghidupi diri melalui
patronasi masyarakat perkotaan Batavia terhadap
keahlian mereka dalam membawakan musik
160
Moresco dan Cafrinho Portugis, yang mereka
namakan Krontjong Toegoe, sebagai bentuk
generik musik keroncong Indonesia saat ini, selain
mampu menjual hasil karya dari keahlian mereka
membuat gitar Portugis cavaquinho yang mereka
namakan sebagai kroncong ukulele. Keahlian
mereka kemudian ditiru oleh komunitas Indies di
Batavia sebelum menyebar ke kota besar lainnya
di pulau Jawa. Komunitas Tugu saat ini bergabung
dalam Ikatan Keluarga Besar Tugu dipimpin oleh
Andre Juan Michiels, yang mengangkat peneliti
sebagai anggota kehormatan IKBT.
Disertasi berjudul “Musical and Functional
Change in the Gondang Sabangunan Tradition
of the Protestant Toba Batak 1860s-1990s, with
Particular Reference to the 1980s-1990s” tahun
1998 ditulis oleh Mauly Purba, peneliti pribumi
Batak bergelar doktor dari Monash University
sebagai Guru Besar Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara.
Peneliti mengungkapkan fenomena proses
marginalisasi adat suku Batak yang dilakukan
oleh Gereja dalam upaya menghapus tradisi
paganisme yang dianggap tidak sesuai dengan
ajaran Kristiani yang masuk ke tanah Batak awal
dekade 1850-an melalui para misionaris Calvinist
Rheinische Missionsgesellschaft dari Wuppertal,
Jerman. Sejak pelarangan diberlakukan tahun
1864 timbul konflik antara Gereja dengan
masyarakat Parmalim di Hutatinggi, Tapanuli
Utara, yang dipimpin Raja Mulia Naipospos
karena mereka tidak mau meninggalkan Adat
Hasipelebeguan berupa pemujaan terhadap para
Debata seperti Mula Jadi Na Bolon dan Batara
Guru, selain pemujaan terhadap roh para leluhur
mereka. Ketika saat ini masyarakat Parmalim tetap
menjunjung tinggi Adat Hasipelebeguan dipimpin
Raja Marnangkok Naipospos, Gereja Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP) menetapkan
kebijakan inkulturasi yang merangkul budaya
tradisi setempat dan mengadaptasi nyanyian
rakyat ke dalam ibadah liturgi Gereja. Saat ini
seni tradisi Gondang Sabangunan dan tarian
Tortor telah diterima sebagai bagian yang integral
dari ibadah liturgi Gereja HKBP. Peneliti dengan
etnisitas pribuminya berhasil menguraikan bagai-
Victor Ganap - Konsep Multikultural dan Etnisitas Pribumi dalam Penelitian Seni
mana proses Adat Hasipelebeguan menjadi
faktor pemersatu antara Gereja dan Tradisi Batak
setelah mengalami transformasi dari aturan para
misionaris Barat menuju wawasan inkulturasi
kearifan lokal sehingga tercapai rekonsiliasi
antara pemuka agama dan pemuka adat Batak.
Disertasi berjudul “Fungsi dan Bentuk Komunikasi Dalam Lagu dan Tari Melayu di Sumatera
Utara” tahun 2010 ditulis oleh Muhammad Takari,
peneliti pribumi Melayu Deli, bergelar doktor dari
Universiti Malaya, sebagai Lektor Kepala pada
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara.
Peneliti dengan etnisitas pribumi Melayu Deli
berhasil menggali sejarah keberadaan rumpun
bangsa Melayu pada kawasan induk, kawasan
diaspora, dan kawasan rasial yang mendiami
ketiga samudera di dunia. Melalui berbagai kasus
keberadaan seni tradisi Melayu di Sumatra Utara
terjadi penyempitan pengertian jati diri rumpun
Melayu dari wawasan seni budaya menuju
wawasan kebangsaan, sehingga berpotensi
menimbulkan gesekan politik antara Indonesia
dan Malaysia, seperti yang terungkap dalam
pepatah Melayu, kalau sudah lupa diri, alamat
bala menimpa negeri. Peneliti sepakat bahwa
terjadinya dominasi teori Barat menyebabkan
sistem pendidikan seni dan para peneliti seni
kurang memahami warisan seni budayanya
sendiri (Takari 2010:693).
Disertasi berjudul “Musik Vokal Etnik Minahasa” tahun 2007 ditulis oleh Perry Rumengan,
peneliti pribumi Minahasa, bergelar doktor dengan
predikat cum laude dari Universitas Gadjah
Mada, sebagai Lektor Kepala pada Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Manado.
Peneliti dengan etnisitas pribuminya berhasil
menemukan modus generik musik tradisi Minahasa yang sempat tergerus dilanda oleh proses
diatonisasi lagu rakyat, nyanyian ibadah liturgi
Gereja, dan lagu populer. Etnik Minahasa layak
memperoleh sebutan sebagai the singing society,
karena gemar bernyanyi dalam berbagai acara
dan kesempatan bersosialisasi, meski tidak jarang
harus diakrabi dengan minuman. Kekayaan
repertoar tari dan lagu, serta keberadaan grup
paduan suara dan ensambel musik bambu yang
tidak terhitung jumlahnya mencerminkan ke-
unggulan dan kekayaan etnik seni tradisi Minahasa, dibandingkan dengan kelompok etnik
lainnya di Sulawesi Utara. Di lain fihak, penelitian
ini juga merisaukan peradaban musikal etnik
Minahasa yang demikian alami itu, telah menimbulkan pandangan masyarakat bahwa
lembaga pendidikan seni yang formal tidak diperlukan dalam proses pembelajaran berkesenian.
Disertasi berjudul “Power of Voice: the Penan
Song and Aesthetics of Excretion and/or
Expression” tahun 1991, ditulis dalam bahasa
Jepang oleh Takashi Shimeda, peneliti nonpribumi bergelar doktor dari Osaka University, saat
ini sebagai Guru Besar pada Osaka Kyoiku
University. Selama di lapangan, peneliti memilih
untuk berdiam pada keluarga Dayak sehingga
dapat mengamati kehidupan mereka secara
langsung dalam berburu di hutan dan menanam
padi di ladang berbukit. Peneliti memiliki perilaku
multikultural ditinjau dari kehati-hatiannya dalam
menggunakan istilah “tradisi” yang hanya dapat
dinyatakan atas persetujuan komunitas yang
ditelitinya. Peneliti dalam kapasitas etnisitas nonpribumi menyadari bahwa penelitian disertasinya
membutuhkan jangka waktu yang panjang selama delapan tahun sejak 1983 yang difokuskan
pada etnik Dayak Penan Belaga di Serawak dan
Dayak Penan Benaluy di Kalimantan Timur. Hasil
penelitian berupa temuan tentang kekayaan
tradisi lisan mereka dalam kuantitas repertoar
nyanyian rakyat dan resitasi yang tidak terhitung
jumlahnya, mencerminkan keunggulan tradisi
etnik Dayak Penan dalam berekspresi melalui
suara manusia. Namun, sebagaimana halnya
dengan musik vokal di manapun, tradisi Penan
juga mengalami perubahan yang cepat atau
bahkan tidak terhindar dari bahaya kepunahan.
Seni tradisi etnik Dayak Penan lebih banyak
didasarkan pada ideologi mereka, bukan dalam
bentuk pertunjukan atau berupa prosedur mengenai tata cara untuk menggelar pertunjukannya.
Proses adaptasi terhadap melodi lagu-lagu Jawa
atau Melayu semakin terbuka meski tetap
dinyanyikan secara improvisasi menurut bahasa
dan estetika cara membawakannya. Peneliti
mengakui bahwa perubahan dapat terjadi dalam
kontinuitas seni tradisi Dayak Penan, namun
161
Humaniora, Vol. 24, No. 2 Juni 2012: 156 - 167
kearifan lokal mereka dapat tetap dipertahankan,
bukan dari pengetahuan peneliti yang terkubur
dalam cara berpikir yang modern, melainkan
melalui proses defamiliarisasi seni budaya peneliti,
sambil bangkit dan memberikan penyegaran terhadap konsep-konsep berkesenian yang selama
ini telah dimiliki dan diyakini kebenarannya.
Disertasi berjudul “Rasa in Javanese Musical
Aesthetics” tahun 1998 ditulis oleh Marc Benamou, peneliti nonpribumi bergelar doktor dari
University of Michigan, ketika itu sebagai Lecturer
pada University of Alberta. Objek material yang
ditelitinya adalah rasa, sebuah unsur seni tradisi
Jawa yang identik dengan istilah Portugis
coração, tetapi berbeda dengan interpretasi
menurut pengertian Barat. Penelitian disertasi ini
dilakukan selama dua belas tahun sejak tahun
1986 diawali dengan proses pembelajaran
bahasa Jawa, tembang Jawa, dan gamelan Jawa,
sebagai modal dasar dalam memahami estetika
Jawa. Peneliti merumuskan pengertian rasa
dalam kosakata bahasa Inggris sebagai affect,
mood, feeling, dan intuition sambil mengutip
Groneman bahwa menulis tentang gamelan Jawa
adalah lebih pada proses bagaimana musiknya
diproduksi daripada didengarkan. Disertasi
menunjukkan bahwa peneliti hanya memperoleh
pemahaman dalam tataran persepsi tentang rasa
dari berbagai pengalaman mendengarkan, merujuk pada konsep universalitas berupa benang
merah yang terbentang antara musik Barat dan
gamelan Jawa, serta berabad-abad lamanya
tradisi Jawa memperoleh kontak dengan budaya
Belanda. Namun, peneliti tetap tidak memperoleh
pengalaman estetika dalam berekspresi karena
rasa dalam gamelan Jawa itu bukan diperoleh
dari pengetahuan dan keterampilan, melainkan
dari turunnya “wahyu” kepada peneliti.
Disertasi doktor yang telah dibahas di atas
merupakan hasil penelitian ilmu humaniora yang
meliputi wilayah Sumatra Utara, DKI Jakarta,
Jawa Tengah, Serawak dan Kalimantan Timur,
serta Sulawesi Utara, yang dilakukan oleh peneliti
pribumi maupun nonpribumi. Semua peneliti memiliki perilaku multikultural yang mendorong
mereka untuk meneliti seni tradisi yang bukan
berasal dari ranah budayanya. Peneliti nonpribumi
162
menyadari konsekuensi prosedur yang anomali
terhadap topik penelitian yang mereka tetapkan,
apapun latarbelakang permasalahannya. Penelitian ilmu humaniora memang berbeda dengan
penelitian ilmu eksakta maupun ilmu rekayasa,
mengingat objek materialnya yang manusiawi dan
non artefak sebagai intangible heritages. Dari
pembahasan di atas nampak bahwa kapasitas
etnisitas pribumi telah membedakan hasil penelitian yang dicapai meski dalam tataran sebuah
disertasi sekalipun.
PENELITIAN BIDANG ILMU
Victor Ganap, peneliti pribumi Jakarta asal
Sangihe, melalui Hibah Kompetensi penelitian
kelompok bidang Seni tahun 2010 meneliti arti
penting konsep multikultural dan etnisitas pribumi
dalam penelitian seni tradisi Nusantara. Peneliti
tidak lahir dan dibesarkan di Kepulauan Sangihe,
namun memiliki modal sosial karena hidup bersama orang tua asal Sangihe dan menguasai
bahasa daerah serta adat istiadat Sangihe dari
pergaulan dan ikatan primordial antarkomunitas
Sangihe di Jakarta hingga 1979 sebelum hijrah
ke Yogyakarta. Status peneliti dalam upaya untuk
menemukan koroborasi terhadap konsep etnisitas pribumi secara khusus meneliti makna simbolis
seni tradisi tagonggong dan mbawalas msamper
yang hingga kini tetap hidup di kalangan masyarakat Kepulauan Sangihe. Waditra tagonggong
adalah sejenis single headed membranophone
yang ditabuh dengan jari atau menggunakan stick
bambu mengiringi resitasi yang disebut msambo
yang mengandung mantra berupa pemujaan
kepada I Ghnggona Langi Duatang Saruluang,
Tuhan Penguasa Langit dan Pencipta Alam
Semesta. Selain itu, tagonggong juga digunakan
dalam berbagai upacara lainnya, seperti upacara
perkawinan, perkabungan, naik rumah baru, peluncuran perahu, menjemput tamu, menanam
padi, pesta panen, lomba perahu hias, dan
mengiringi berbagai tarian tradisi. Adapun seni
bernyanyi berbalas-balasan disebut mbawalas
msamper, salah satu identitas budaya etnik
Sangihe yang dilombakan di seluruh Kepulauan
Sangihe. Setiap grup kesenian msamper dipimpin
oleh seorang pangaha yang bertindak sebagai
Victor Ganap - Konsep Multikultural dan Etnisitas Pribumi dalam Penelitian Seni
kondaktor merangkap mayoret karena mbawalas
msamper lazimnya digelar dalam sebuah prosesi,
sehingga dapat disebut sebagai sebuah marching
choir. Seni mbawalas msamper harus disajikan
dalam empat tema lagu, yaitu tema religius, tema
sosial, tema kebangsaan, tema kedaerahan.
Ratusan lagu dalam album repertoar mbawalas
msamper telah dihimpun dalam membawakan
tema-tema di atas yang mereka ciptakan sendiri
dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah
Sangihe. Fakta yang fenomenal adalah ciptaan
lagu garapan mereka terhadap tema kebangsaan
menghasilkan lagu dengan syair yang berjiwa
patriotisme dan nasionalisme yang tinggi, suatu
fenomena sosial yang sangat menarik karena
secara geografis masyarakat Kepulauan Sangihe
berada di wilayah paling utara kepulauan Nusantara yang jauh dari pusat kekuasaan. Tidaklah
berlebihan untuk dikatakan bahwa kesenian
mbawalas msamper tidak saja menunjukkan
musikalitas Oceania penduduk Kepulauan
Sangihe dalam bernyanyi, mencipta lagu, dan
berimprovisasi, melainkan juga memperlihatkan
ekspresi jiwa dan semangat kecintaan pada
tanah air yang tidak pernah tergoyahkan. Lagi
pula, jiwa patriotisme masyarakat Kepulauan
Sangihe sebagai bangsa Indonesia telah terbukti
melalui kesetiaan mereka terhadap Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada saat
meletusnya pemberontakan Permesta di
Sulawesi Utara tahun 1957 silam. Secara geografis, Kepulauan Sangihe telah mengukir
sejarah sebagai wilayah yang berbatasan dengan
Filipina, namun tidak pernah terbetik sedikit pun
keinginan masyarakatnya untuk bergabung
dengan berbagai kelompok etnik di Mindanao,
Filipina selatan. Slogan yang berbunyi Somah
kai Khag menjadi ungkapan rasa syukur masyarakat Kepulauan Sangihe kepada Yang Maha
Kuasa atas nikmat yang diberikan kepada
mereka.
Pada tahun 1973 Bronia Kornhauser melakukan penelitian tentang keroncong di Indonesia,
setelah UNESCO pada tahun 1971 merekam
Krontjong Toegoe dalam berbagai koleksi Musik
Dunia. Hasil penelitiannya berupa esai berjudul
“In Defence of Kroncong” dalam Studies in
Indonesian Music yang diterbitkan Monash
University tahun 1978 dan selama ini menjadi
sumber rujukan utama tentang keroncong. Meski
penelitian itu hanya menghasilkan data deskriptif
dalam bentuk transkripsi musikologi dan organologi keroncong, informasinya jauh lebih lengkap
dari artikel yang ditulis oleh Judith Becker dan
Ernst Heins dalam Asian Music edisi tahun 1976.
Pemanfaatan narasumber pribumi Jacobus Quiko
menjadi kunci keberhasilan peneliti dalam mengungkap sejarah keberadaan musik dan komunitas
Krontjong Toegoe (Kornhauser 1978:176).
Sebelum Kornhauser, pada tahun 1970
Kampung Tugu juga pernah didatangi oleh
Antonio Pinto Da França, Konsul Portugal di
Jakarta untuk melakukan penelitian pelacakan
terhadap peninggalan Portugis di seluruh kepulauan Nusantara. Hasil penelitian itu dituangkan
ke dalam buku yang diterbitkan oleh Calouste
Gulbenkian Foundation di Lisbon berjudul
Portuguese Influence in Indonesia. Penelitian ini
dapat dikategorikan sebagai quasi pribumi
karena objek materialnya adalah penduduk
Kampung Tugu yang sebagian warga seniornya
masih dapat berbahasa Portugis cristão dari abad
keenam belas sebagai lingua franca di Asia
Tenggara sehingga terjalin komunikasi yang baik
meski terdapat perbedaan kosakata dengan
bahasa Portugis modern. Data terpenting yang
dihasilkan peneliti adalah pembenaran repertoar
Moresco dan Cafrinho yang memang familiar di
Portugal sebagai mornas, lagu rakyat Cabo Verde
di Afrika yang menjadi embrio musik keroncong
Indonesia. Demikian pula, lagu buaian Nina Bobo
yang populer di Indonesia berasal dari kata
menina dalam bahasa Portugis yang berarti gadis
cilik. Peneliti mendapati bahwa meski di bawah
pengaruh Belanda selama lebih dari tiga abad
lamanya, penduduk Kampung Tugu tetap memiliki kebanggaan mewarisi kekayaan musikal
dan darah keturunan Portugis yang kental (Da
França, 1970:22).
Rustim Satie, peneliti pribumi Minangkabau
dari ISI Padang Panjang, meneliti “Tradisi
Bagurau Saluang Dendang di Minangkabau”
dalam tesis Universitas Gadjah Mada tahun 2010.
Saluang Dendang adalah salah satu bentuk
pertunjukan kesenian tradisi Minangkabau untuk
hiburan yang digelar di tempat umum, melibatkan
163
Humaniora, Vol. 24, No. 2 Juni 2012: 156 - 167
partisipasi penonton, dan didukung para kelompok pagurau dari berbagai Nagari di Sumatra
Barat. Pertunjukannya melibatkan seorang anak
dendang, lazimnya perempuan, dan seorang
tukang saluang laki-laki. Interaksi antara anak
dendang dan pagurau menjadikan kesenian ini
sebagai salah satu sarana komunikasi masyarakat Minangkabau. Hadirnya unsur permainan
(game) dalam kesenian ini juga menimbulkan
dampak faktor ekonomi melalui sistem auction
dalam melayani pilihan lagu dari pagurau yang
mampu membayar lebih banyak nominalnya
kepada anak dendang sehingga mereka harus
mampu menghafal gurindam atau pantun
Minangkabau yang tidak terhitung jumlahnya agar
dapat melayani permintaan pagurau semalam
suntuk. Secara akustik musikal, saluang yang
tidak lagi mampu mendukung intensitas suasana
yang meriah digantikan organ elektrik yang mampu membuat hingar bingar ruang publik. Pada
hakikatnya seni tradisi Minangkabau tidak terlepas dari pengaruh sistem patriarkat kelompok
alim ulama, cerdik pandai, dan para datuk dalam
menetapkan surau, dangau, dan lapau untuk
proses pembentukan jatidiri laki-laki Minangkabau
dalam kegiatan mengaji, bekerja di ladang, dan
bersosialisasi di warung kopi. Adat Minangkabau
yang melarang pemuda lajang untuk bersantai di
rumah menyebabkan banyak yang memilih
rantau dan meninggalkan kampung halaman,
karena di kampung secara adat mereka belum
berguna bagi keluarga. Garis keturunan matrilineal lebih memilih pemuda Minangkabau yang
telah berpengalaman di rantau sebagai jodoh
yang layak dipinang. Sebaliknya, bagi laki-laki
Minangkabau yang telah berkeluarga dan mapan
ekonominya, tradisi Bagurau Saluang Dendang
merupakan ajang untuk memperlihatkan dominasi maskulinitas mereka di luar lingkungan
rumah dan keluarga.
Idawati Armand, peneliti pribumi Melayu Riau
dari Akademi Kesenian Melayu Riau, meneliti
“Estetika Cengkok dalam Irama Syair Melayu di
Pekanbaru” dalam tesis Universitas Gadjah Mada
tahun 2010. Irama syair Melayu merupakan unsur
musikal dalam sastra kuno Melayu yang pelantunannya mengandung seni qira’ah sesuai
164
karakteristik budaya Melayu yang Islami. Keunikannya terletak pada syairnya yang profan
dalam menggambarkan kepahlawanan dan dunia
percintaan versi Melayu yang dibacakan secara
divina a cappella menggunakan berbagai cengkok Melayu yang ad libitum dan melismatik.
Namun, harus diyakini bahwa budaya Melayu
tetap bersumber dari adat Melayu yang sebenarbenarnya adat, bukan sekedar adat yang diadatkan karena adat yang bersendikan Syarak dan
Kitabullah. Apabila syair itu menggunakan
instrumen pengiring, nilai Islaminya tetap terjaga
dalam orkestrasi yang untuned percussion
berupa improvisasi permainan gendang bebano
dan gong Melayu membawakan melodi maqam
Arab melalui akordion. Etnisitas pribumi Idawati
tampak melalui kepiawaiannya melantunkan syair
Melayu bagaikan qori’ah yang membawakan
Qalam Ilahi. Melalui penelitian ini terlihat bahwa
syair Melayu yang profan dengan musiknya yang
berkualitas divina surgawi bertolak belakang
dengan musik Qasidah, Nasyid atau Barzanji
yang membawakan syair dalam bentuk dzikir atau
shalawat Nabi, namun dengan iringan ensambel
musik Barat yang profan.
Sukotjo, peneliti pribumi Betawi dari ISI
Yogyakarta, meneliti “Kontinuitas dan Keberadaan Musik Gambang Kromong sebagai Dampak
Kedatangan Masyarakat Baru dan Pariwisata”
dalam tesis Universitas Gadjah Mada tahun 1999.
Menurut Sukotjo, Gambang Kromong pada awalnya merupakan pengiring drama tradisi Lenong
Betawi yang digelar di bawah patronasi komunitas
Tionghoa di wilayah Tangerang dan dikenal
dengan sebutan Cina Benteng. Pengaruhnya
terlihat melalui waditra sejenis rebab asal Cina
pada orkstrasi Gambang Kromong seperti tehyan
dan kongahyan, selain waditra jutao, dan sukong
sebagai pembawa melodi. Gambang Kromong
sebagai ensambel diperkenalkan pertama kali
pada tahun 1880 di Batavia oleh seorang Bek
(Lurah) di Senen bernama Teng Tjoe. Sukotjo
dengan kapasitas etnisitas pribumi Betawi memahami bahwa ensambel Gambang Kromong
merupakan musik dari tradisi lisan. Ensambel
sebagai pengiring memberikan peranan yang
lebih dominan kepada pesindhen sebagai daya
Victor Ganap - Konsep Multikultural dan Etnisitas Pribumi dalam Penelitian Seni
tarik utama agar mampu berkembang sebagai
seni wisata kota Batavia sekitar tahun 1930-an
dalam mendukung kampanye Mooi Indie
pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah DKI
Jakarta juga hendaknya dapat memberlakukan
Gambang Kromong sebagai intangible heritage
dalam kemasan seni wisata agar tidak mengalami
kepunahan di tengah derasnya arus urbanisasi
kota Jakarta.
Zulkarnain Mistortoify, peneliti pribumi
Madura dari ISI Surakarta, meneliti “Gamelan
Saronèn: Musik Prosesi Kerakyatan Madura”,
dalam tesis Universitas Gadjah Mada tahun 1998.
Selaku peneliti pribumi, ia sadar bahwa musik
tradisi Madura berada di bawah bayang-bayang
keunggulan musik gamelan Jawa dan gamelan
Bali sehingga merasa perlu untuk meneliti dan
mengangkat berbagai kearifan lokal Madura yang
selama ini cenderung terpendam. Penelitian yang
dilakukan bertitik tolak dari tradisi Karapan Sapi
di Madura yang telah dikenal luas. Faktor ekonomi
sangat dominan dalam menentukan skala dari
peristiwa budaya yang terbagi atas Kerrabhân
Kènè yang bersifat kerakyatan, dan Kerrabhân
Rajâ yang disponsori dunia usaha. Peneliti
menyadari arti penting alunan gamelan Saronèn
dalam peristiwa di atas, sebagai pelengkap dari
pesta rakyat Madura. Tugas utama gamelan
Saronèn adalah sebagai marching band yang
mengiringi sapi karapan pada acara arak-arakan
dalam rangka pamer kekuatan peserta dari
masing-masing sapi yang akan dilombakan.
Kelompok gamelan Saronèn yang diundang
untuk mengiringi sapi dalam pesta Kerrabhân
Rajâ merupakan sebuah penghargaan dan
menjadi tolok ukur prestasi yang dicapai kelompok
tersebut. Persaingan yang terjadi mendorong
setiap kelompok gamelan Saronèn untuk mempersiapkan penampilan mereka secara profesional.
SIMPULAN
Seni tradisi Nusantara yang didukung oleh
kekayaan budaya etnik masing-masing tentunya
membutuhkan perhatian para peneliti pribumi
untuk menggali dan menemukan berbagai
kearifan lokal dengan berbekal metodologi yang
berimbang antara pendekatan etic dan emic.
Peneliti seni hendaknya dapat memberlakukan
seni tradisi sebagai warisan budaya yang bernilai
tinggi melalui pemuliaan terhadap kearifan lokal
dan tradisi lisan budaya Nusantara. Penelitian
Hibah Kompetensi tahun 2010 telah membuktikan
bahwa konsep multikultural dan etnisitas pribumi
harus dimiliki dan melekat pada setiap peneliti
seni tradisi, sebagai modal dasar untuk menjamin
bahwa hasil penelitiannya akan memiliki kedalaman nilai dan makna serta derajat kesahihan yang
tinggi. Peneliti yang berperilaku multikultural dan
memiliki kapasitas sebagai etnisitas pribumi dalam
melakukan penelitian dengan objek yang bersifat
humaniora atau seni tradisi merupakan sebuah
conditio sine qua non yang tidak dapat disubstitusi atau direkayasa melalui penggunaan
instrumen metodologi atau perangkat teknologi
secanggih apapun.
Penelitian disertasi memiliki perbedaan
dengan penelitian bidang ilmu dalam konteks figur
peneliti dan kurun waktu penelitian. Penelitian
disertasi umumnya dilakukan secara mandiri
dalam kurun waktu yang panjang, sedangkan
penelitian bidang ilmu dapat dilakukan secara
mandiri atau berkelompok dalam kurun waktu
yang relatif singkat. Peneliti yang tidak memiliki
kapasitas etnisitas pribumi dalam melakukan
penelitian dengan objek yang bukan berasal dari
ranah budayanya sendiri membutuhkan tenggang
waktu penelitian yang lebih panjang untuk
mempersiapkan diri dalam proses preliminari,
seperti menguasai bahasa lokal, memahami adat
istiadat, keyakinan, dan kearifan lokal, merebut
sejauh mungkin tradisi lisan mereka melalui
pengalaman berkehidupan bersama dengan
masyarakatnya, yang di dalamnya termasuk
keberuntungan jika dapat mengawini perempuan
lokal. Peneliti nonpribumi yang melakukan penelitian tidak melalui proses preliminari tersebut di
atas, baik untuk penelitian disertasi maupun
penelitian bidang ilmu, hasil penelitiannya hanya
bersifat deskriptif dengan kandungan materi yang
superfisial, mencerminkan orientasi bagi kepentingan karier peneliti di komunitasnya sendiri,
namun sama sekali tidak memiliki arti penting
apapun sebagai sebuah catatan etnografi bagi
komunitas seni tradisi yang ditelitinya.
165
Humaniora, Vol. 24, No. 2 Juni 2012: 156 - 167
Seni tradisi manapun tentunya diharapkan
oleh masyarakat pendukungnya agar tetap lestari
dalam arti dapat diwariskan secara turun temurun
kepada para ahli waris mereka, sehingga generasi
yang sekarang dan generasi selanjutnya tidak
akan tercerabut dari dari budayanya. Tema
Ethnomusicology Beyond Disciplines yang
dicanangkan dalam Simposium Etnomusikologi
sedunia di Wesleyan University tahun 2008 patut
diperhatikan melalui penerapan falsafah Tradition
and Modernity berupa isu pelestarian dan
pengembangan yang berjalan bersama-sama.
Tema ini diilhami dari teori J. Maquet, seperti yang
dikutip oleh Graburn dalam bukunya Ethnic and
Tourist Arts, bahwa di satu sisi seni tradisi patut
dijaga kemurnian martabat dan jatidirinya oleh
masyarakat pendukungnya sebagai art by
destination, yaitu seni yang dihasilkan oleh suatu
kelompok masyarakat dan dinikmati hanya oleh
kelompoknya itu sendiri. Namun, di sisi lain, seni
tradisi dapat dikembangkan sebagai kitsch seni
wisata untuk menghidupi masyarakat pendukungnya sebagai art by acculturation and metamorphosis, yaitu seni yang dihasilkan oleh suatu
kelompok masyarakat dan dapat dinikmati oleh
kelompok masyarakat lainnya secara luas
(Soedarsono 1999:82).
Peran seni dalam industri pariwisata memiliki
posisi yang amat strategis, yakni dalam bentuk
seni pertunjukan tradisional dan industri kerajinan
cinderamata. Gusti Astika dan Sri Samiati et al.
seperti yang dikutip Budi Purnomo dalam Jurnal
Humaniora Vol. 23/2/2011 merumuskan klasifikasi
bahasa pelayanan pariwisata yang mencakup
elemen seni tradisi, yaitu (1) pelayanan informasi
tentang calendar of events Taman Budaya atau
Pusat Kesenian untuk kesempatan menikmati
seni pertunjukan dan hiburan, (2) pengamatan
proses pembuatan industri kerajinan seperti kerajinan batik, wayang kulit, dan waditra gamelan,
serta (3) pelayanan memperoleh harga yang
pantas untuk pembelian cinderamata pada
berbagai sentra kerajinan (Purnomo 2011:187).
Di lain pihak, seni wisata menjadi bagian dari
program pemberdayaan budaya dalam bentuk
pelestarian jangka pendek terhadap seni tradisi
agar terhindar dari kepunahan, melalui kebijakan
otonomi yang dimiliki setiap daerah.
166
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional yang
telah mendanai penelitian Hibah Kompetensi
bidang Seni tahun 2010. Penghargaan yang tulus
kepada para peneliti dari Universitas Sumatera
Utara, Institut Seni Indonesia Surakarta, Institut
Seni Indonesia Padang Panjang, Akademi
Kesenian Melayu Riau, dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta atas partisipasi dan dukungan
mereka yang begitu besar, sehingga penelitian
ini mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga
Provinsi Sulawesi Utara, Bupati Kepala Daerah
Kabupaten Kepulauan Sangihe, TVRI Stasiun
Manado, dan Harian Metro Manado.
DAFTAR RUJUKAN
Armand, Idawati. 2010. “Estetika Cengkok dalam Irama
Syair Melayu di Pekanbaru, Riau”. Tesis Universitas
Gadjah Mada.
Benamou, Marc. 1998. “Rasa in Javanese Musical Aesthetics”. Ph.D. Dissertation University of Michigan.
Blacking, John. 1974. How Musical Is Man? The John
Danz Letures. Seattle: University of Washington
Press.
Csikszentmihalyi, Mihaly. 1999. “Implications of a
Systems Perspective for the Study of creativity” in
Handbook of Creativity, ed. Robert J. Sternberg.
Cambridge: Cambridge University Press, pp.313335.
França, Antonio Pinto Da. 1970. Portuguese Influence in
Indonesia. Lisbon: Calouste Gulbenkian Foundation.
Ganap, Victor. 2006. “Krontjong Toegoe: Sejarah
Kehadiran Komunitas dan Musiknya di Kampung
Tugu, Cilincing, Jakarta Utara”. Disertasi Universitas
Gadjah Mada.
Kornhauser, Bronia. 1978. “In Defence of Kroncong” in
Studies in Indonesian Music, ed. Margaret Kartomi.
Melbourne: Centre of Southeast Asian Studies,
Monash University, pp.104-183.
Merriam, Alan P. 1974. The Anthropology of Music.
Bloomington, Indiana: Northwestern University
Press.
Mistortoify, Zulkarnain. 1998. “Gamelan Saronèn: Musik
Prosesi Kerakyatan Madura”. Tesis Universitas
Gadjah Mada.
Victor Ganap - Konsep Multikultural dan Etnisitas Pribumi dalam Penelitian Seni
Nattiez, Jean-Jacques. 1990. Music and Discourse: Toward
a Semiology of Music, trnsl. Carolyn Abbate. New
Jersey: Princeton University Press.
Purba, Mauly. 1998. “Musical and Functional Change in
the Gondang Sabangunan Tradition of the Protestant
Toba Batak 1860s-1990s, with Particular Reference
to the 1980s-1990s”. Ph.D. Dissertation Monash
University.
Purnomo, Budi. 2011. “Tourism-Service Language: A
Cross-Cultural Perspective on Politeness”, Humaniora Vol.23 No.2. Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada, hal.185-198.
Rumengan, Perry. 2007. “Musik Vokal Etnik Minahasa”.
Disertasi Universitas Gadjah Mada.
Satie, Rustim. 2010. “Tradisi Bagurau Saluang Dendang
di Minangkabau”. Tesis Universitas Gadjah Mada.
Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan dan Pariwisata.
Yogyakarta: Badan Penerbit ISI-Yogyakarta.
Shimeda, Takashi. 1991. “Power of Voice: The Penan
Song and Aesthetics of Excretion and/or Expression”. Ph.D. Dissertation Osaka University.
Sukotjo. 1999. “Kontinuitas dan Keberadaan Musik
Gambang Kromong sebagai Dampak Kedatangan
Masyarakat Baru dan Pariwisata”. Tesis Universitas
Gadjah Mada.
Takari, Muhammad. 2010. “Fungsi dan Bentuk Komunikasi dalam Lagu dan Tari Melayu di Sumatera Utara”.
Disertasi Universiti Malaya.
167
VOLUME 24
HUMANIORA
No. 2 Juni 2012
Halaman 156 - 167
KONSEP MULTIKULTURAL DAN ETNISITAS PRIBUMI
DALAM PENELITIAN SENI
Victor Ganap*
ABSTRACT
Traditional arts are essentially public cultural expressions, not individual expressions. They are
bound by the characteristics of their respective cultures which bring with them their local wisdom.
While multiculturalism acknowledges the equality of all oral traditions that have been embedded in
every indigenous ethnicity, any research conducted on traditional arts should appropriately be carried
out by researchers who belong to the corresponding cultural groups and have a life time experience
within their own primordiality. Therefore, new concepts introduced in research into traditional arts
based on multiculturalism and indigenous ethnicity play an important role in maintaining truthful
corroboration of the research outcome.
Keywords: multiculturalism, indigenous ethnicity, traditional arts
ABSTRAK
Pada hakikatnya seni tradisi merupakan sebuah ekspresi kultural sebagai subjek kolektif yang
terikat oleh karakteristik ranah budaya masing-masing sehingga identitas dan nilai kearifan lokalnya
turut terbawa serta. Pandangan multikultural yang menjunjung tinggi kesetaraan budaya mengakui
eksistensi tradisi lisan yang melekat pada setiap etnisitas pribumi sehingga penelitian terhadap seni
tradisi selayaknya dilakukan oleh peneliti pribumi yang memiliki pengalaman seumur hidup terhadap
ikatan primordial budayanya. Untuk itu, konsep baru dalam penelitian seni berdasarkan konsep
multikultural dan etnisitas pribumi memiliki arti penting terhadap pencapaian tingkat kebenaran dan
kesahihan hasil penelitian.
Kata Kunci: multikultural, etnisitas pribumi, seni tradisi
PENGANTAR
Penelitian seni pada hakikatnya merupakan
penelitian terapan yang menggunakan pendekatan multidisiplin, baik dalam bentuk perancangan karya seni maupun penelitian fungsional secara tekstual dan kontekstual. Apabila
penelitian perancangan menghasilkan karya seni
yang dipublikasikan melalui pergelaran, pameran,
atau penayangan, penelitian fungsional menghendaki publikasi dalam berkala ilmiah. Selama
ini, menurut pengamatan, penelitian seni di
Indonesia belum mampu menggali jati diri dan
memanfaatkan potensi seni tradisi secara maksimal karena perilaku para peneliti yang kurang
produktif dalam meneliti kekayaan budaya
Nusantara. Tidaklah mengherankan apabila
* Jurusan Musik, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta
156
Victor Ganap - Konsep Multikultural dan Etnisitas Pribumi dalam Penelitian Seni
kekayaan budaya dan keunikan seni tradisi
Nusantara justru menjadi objek material para
peneliti asing, yang relatif lebih mudah untuk
memperoleh sumber dana yang memadai, dilengkapi dengan perangkat instrumen penelitian
yang canggih. Fenomena ini berdampak pada
langkanya hasil penelitian dari para peneliti
Indonesia yang diterbitkan dalam berkala ilmiah
internasional. Sementara itu, berkala ilmiah
internasional, seperti Bijdragen tot de Taal-, Landen Volkenkunde, yang terbit di Leiden lebih
banyak memuat artikel tentang seni tradisi
Nusantara yang ditulis oleh para peneliti Barat
dengan hasil penelitian mereka yang superfisial
dan diragukan kesahihannya.
Selain itu, dalam melakukan penelitian seni
tradisi, peneliti Indonesia juga masih bergantung
pada metode dan teknik Barat sehingga substansinya itu sendiri cenderung terabaikan,
terpinggirkan, bahkan tersingkirkan. Para peneliti
umumnya mengacu pada pemikiran Barat yang
positivistik sehingga hasil penelitian mereka
hanya menyentuh kulit luarnya saja dan tidak
mampu berkomunikasi secara mendalam dengan
roh seni tradisi itu sendiri. Para peneliti juga terikat
menggunakan metode Barat menurut tradisi bacatulis, yang bertolak belakang dengan tradisi lisan
budaya Nusantara. Para peneliti terobsesi pada
kadar kesahihan teknik Barat melalui pendekatan
etic yang lebih mengandalkan pada analisis
sepihak tanpa mampu membangun komunikasi
dua arah dengan para narasumber di lapangan.
Penelitian seni juga tidak memperoleh
dukungan konseptual dari paradigma pendidikan
seni yang mengadaptasi estetika Barat dalam
membedakan dimensi verbal, kinestetik, sonoris,
dan visual sehingga memunculkan dikotomi
antara pendidikan seni tari, seni musik, dan seni
rupa. Sementara itu, seni tradisi memiliki sosok
yang lebih terintegrasi dalam berbagai bentuk
simbolis yang terkadang tidak dapat dianalisis
secara akademik. Seni tradisi tidak mengenal
dikotomi antara tari, drama, dan musik seperti
halnya di Barat karena seni tradisi yang digelar
merupakan suatu kesatuan dimensi verbal,
kinestetik, sonoris, dan visual yang tidak
terpisahkan. Dalam konteks yang lebih luas
pengaruh Barat telah menjadikan kita sebagai
masyarakat yang biculture, bilingual, dan bimusicality.
Selama ini diyakini bahwa para peneliti dari
mana pun yang hendak meneliti karya seni Barat
dapat memanfaatkan tradisi baca-tulis Barat yang
dituangkan dalam berbagai bentuk simbolis
berupa aksara, sketsa, atau notasi. Para peneliti
dapat memberikan interpretasi terhadap gaya
komposisi Ludwig van Beethoven melalui analisis
karya sonata, konserto, dan simfoninya sebagai
sebuah critical biography. Namun, peneliti tidak
akan dapat begitu saja menyimpulkan karya seni
yang menggunakan tradisi lisan karena penelitian
tersebut membutuhkan paradigma multikultural
dan etnisitas pribumi.
KONSEP MULTIKULTURAL
Pemikiran yang mendukung penelitian seni
tradisional didasarkan pada konsep multikultural,
yang mengakui akan kesetaraan seni tradisi pada
semua kelompok etnik di dunia, menghargai
kearifan lokal mereka masing-masing, seperti
terangkum dalam pertanyaan John Blacking,
seorang profesor sosial antropologi pada Queen’s
University of Belfast, Irlandia Utara tentang
seberapa musikalkah manusia? Ia meneliti peran
musik dalam masyarakat dan kebudayaan, dan
sebaliknya peran masyarakat dan kebudayaan
dalam musik, yang dituangkan ke dalam teorinya
yang mengatakan bahwa musik merupakan bunyi
yang disusun secara manusiawi (Blacking
1974:3). Penelitian yang dilakukannya pada suku
Venda di Transvaal, Afrika Selatan telah membuka
mata hatinya dan membalikkan pandangannya
selama ini terhadap superioritas musik Barat.
Sebagai seorang humanis, ia menempatkan
unsur manusiawi di atas segalanya sehingga
setelah mengenal seni tradisi suku Venda, ia
menemukan mata rantai yang terputus antara
teknik analisis musik Barat dengan konsepkonsep estetik yang sarat dengan berbagai nilai
manusiawi di luar dunia Barat. Sebagai bentuk
157
Humaniora, Vol. 24, No. 2 Juni 2012: 156 - 167
apresiasi terhadap penemuan teorinya itu, ia
memperoleh penghargaan sebagai The John
Danz Professor yang diundang untuk memberikan
presentasinya di hadapan warga kampus
University of Washington dan komunitas Pacific
Northwest di Seattle. Sejak Oktober 1961, penghargaan John Danz diberikan setiap tahun oleh
The University of Washington kepada ilmuwan
yang dianggap memiliki reputasi tentang penemuan dampak ilmu pengetahuan dan filsafat terhadap persepsi manusia secara rasional. Teori
John Blacking pada akhirnya meletakkan dasar
bagi prinsip multikultural seni tradisi yang menempatkan aspek manusiawi sebagai intisari dari hasil
karya seni secara universal.
Konsep multikultural juga menunjukkan
bagaimana kepakaran dalam bidang musik
Nusantara di Indonesia dapat disinergikan melalui
sebuah forum komunikasi antarperguruan tinggi
seni. Pada awalnya tradisi yang mapan dari Seni
Tari, Karawitan, dan Pedhalangan (Teater
Boneka) Jawa, Sunda, dan Bali mendasari
berdirinya lembaga pendidikan seni yang pertama
di Yogyakarta dan Surakarta melalui pertimbangan keberadaan Kraton Kasultanan Yogyakarta
dan Kasunanan Surakarta sebagai center of
excellence budaya Jawa yang adiluhung, dilengkapi dengan berbagai sumber kajian berupa
data sejarah dalam bentuk prasasti, babad,
manuskrip, dan relief sebuah seni istana. Dalam
perkembangan selanjutnya, kajian Karawitan
Jawa, Sunda, dan Bali diperluas dengan kajian
etnomusikologi yang dirintis USU Medan melalui
bantuan The Ford Foundation. Langkah ini diikuti
oleh lembaga pendidikan tinggi seni sebagai
pengembangan kajian karawitan, yang kemudian
berkonotasi timbulnya dikotomi antara seni istana
dan seni kerakyatan. Itu sebabnya konsep multikultural ingin meniadakan dikotomi tersebut
melalui cara pandang bahwa setiap seni tradisi
yang berada di Nusantara memiliki derajat yang
sama. Kadar estetika seni istana gaya Yogyakarta dan Surakarta sejajar dengan seni tradisi
158
kerakyatan gaya Banyumasan, Semarangan,
Jawatimuran, bahkan dengan berbagai seni
tradisi kerakyatan lainnya yang membentang dari
Aceh hingga Papua. Estetika musik gamelan
Jawa, Sunda, dan Bali setara dengan Gondang
Sabangunan Batak Toba, Talempong Minangkabau, Gamolan Pekhing Lampung Barat,
Gambang Kromong Betawi, gamelan Saronén
Madura, Tingkilan Kalimantan, Ganrang Pa’balle
Makassar, Orkes Bambu Minahasa, Totobuang
Maluku, Sasando Timor, dan Tifa Papua. Kesetaraan itu didasarkan pada keunggulan
aksentuasi pada tiap seni tradisi ditinjau dari unsur
akustika, organologi, koreografi, ornamentasi,
dan makna monumental yang secara simbolis
terkandung di dalamnya. Dengan demikian,
konsep multikultural dengan cara pandang
kesetaraan estetika harus menjiwai pemikiran dan
langkah setiap peneliti dalam melakukan penelitian seni tradisi Nusantara agar peneliti dapat
menggali kearifan lokal objek material yang ditelitinya di lapangan dan menggunakan metodologi
yang tepat guna.
KONSEP ETNISITAS PRIBUMI
Penelitian seni sebagai penelitian terapan
pada hakikatnya merupakan sebuah proses
perancangan karya seni yang novelti hasil
kreativitas manusia. Kreativitas itu sendiri dikatakan sebagai kemampuan manusia untuk menghasilkan sesuatu yang bersifat novelti dan tepat
guna. Menurut teori implikasi sistem perspektif
Mihaly Csikszentmihalyi, profesor psikologi
University of Chicago, Illinois, penelitian yang
menstimulasi kelahiran sebuah karya seni atau
hasil penelitian yang novelti merupakan sebuah
proses yang hanya dapat terjadi apabila terdapat
interaksi antara peneliti menurut latar belakang
pribadinya dengan ranah budayanya dan masyarakat pendukungnya di lapangan, seperti yang
tergambar dalam bagan alir berikut (Sternberg
1999:315).
Victor Ganap - Konsep Multikultural dan Etnisitas Pribumi dalam Penelitian Seni
Bagan Penelitian Seni
Ranah budaya merupakan komponen dasar
kreativitas karena tidak mungkin memperkenalkan
variasi baru tanpa merujuk pada suatu ranah
budaya yang telah ada. Pemikiran yang novelti
tidak akan lahir begitu saja tanpa tersedianya
objek, aturan, representasi tertentu menurut
tradisinya masing-masing karena tanpa aturan
tidak akan ada pengecualian dan tanpa tradisi
tidak akan ada orisinalitas. Menurut Csikszentmihalyi, kreativitas dapat terjadi apabila peneliti
ingin membuat perubahan pada ranah budayanya, perubahan yang ditransmisikan melalui
dimensi waktu. Para peneliti yang mempunyai
kecenderungan untuk melakukan perubahan
dapat disebabkan oleh latar belakang pribadinya
atau karena mereka memiliki posisi yang menguntungkan dalam ranah budayanya sehingga
mereka memiliki akses dan lingkungan sosial
yang lebih baik dalam memberikan peluang dan
waktu yang lebih luas untuk bereksperimentasi.
Peneliti seni, seperti koreografer Bagong
Kussudiardjo, komponis Ismail Marzuki, sastrawan Umar Kayam, dan pelukis Affandi, telah
mampu membangun laboratorium mereka dan
berkonsentrasi pada pemikiran ide dasar penciptaan karya seni dan penelitian seni mereka
karena mereka hidup dalam lingkungan budaya
dengan tradisi kehidupan para penari, pemusik,
dan perupa sehingga memungkinkan mereka
untuk berbagi wawasan dan dievaluasi oleh
sejawat mereka. Demikian pula peneliti seni
seperti koreografer Huriah Adam, komponis
Nahum Situmorang, sastrawan J.E. Tatengkeng,
dan pelukis Amri Yahya hidup dalam lingkungan
budaya tradisi Minangkabau, Batak, Sangihe, dan
Palembang sehingga memungkinkan mereka
untuk menampilkan kandungan kearifan lokal
masing-masing dalam karya seni hasil penelitian
mereka.
Namun, hasil penelitian berupa gagasan yang
novelti akan cepat terlupakan dan perubahan
yang ingin dilakukan melalui penelitian seni tidak
dapat dilanjutkan kecuali memperoleh asesmen
dan validasi dari sekelompok masyarakat yang
berkompeten memutuskan apakah gagasan itu
layak untuk dimasukkan ke dalam ranah budaya
mereka. Kelompok itu mewakili lapangan dalam
ranah budaya peneliti seni, seperti kelompok para
dosen seni, kritik seni, editor jurnal seni, kurator
galeri dan musium seni, serta pimpinan sekolah
seni, pusat kesenian, taman budaya, dan yayasan seni, yang berhak menentukan kelayakan
sebuah karya seni dan hasil penelitian yang
menjadi milik ranah budaya mereka.
Fenomena interaksi antara ranah budaya,
latar belakang pribadi peneliti, dan masyarakat
lapangan dalam teori implikasi sistem perspektif
Csikszentmihalyi memberikan landasan teoretis
yang kokoh bagi konsep etnisitas pribumi bagi
setiap peneliti dalam melakukan penelitian seni
tradisi di mana pun, termasuk seni tradisi Nusantara. Selanjutnya, untuk penguatan koroborasi,
berikut ini dibahas berbagai hasil penelitian seni
tradisi Nusantara yang telah dilakukan oleh
peneliti pribumi dan peneliti non-pribumi agar
mendapatkan pembenaran tentang arti penting
159
Humaniora, Vol. 24, No. 2 Juni 2012: 156 - 167
konsep multikultural dan etnisitas pribumi yang
diperoleh dari hasil penelitian mereka.
PENELITIAN DISERTASI
Pembahasan ini merupakan rangkuman hasil
penelitian Hibah Kompetensi Bidang Etnomusikologi yang didanai DP2M Dikti tahun 2010.
Pembahasan meliputi hasil penelitian disertasi
Victor Ganap, Mauly Purba, Muhammad Takari,
Perry Rumengan, Takashi Shimeda, dan Marc
Benamou, dilanjutkan dengan pembahasan hasil
penelitian bidang ilmu dari Victor Ganap, Bronia
Kornhauser, Antonio Pinto Da França, Rustim
Satie, Idawati Armand, Sukotjo, dan Zulkarnain
Mistortoify yang mencerminkan bobot kepakaran
dari para penelitinya.
Disertasi berjudul “Krontjong Toegoe:
Sejarah Kehadiran Komunitas dan Musiknya di
Kampung Tugu, Cilincing, Jakarta Utara” tahun
2006 ditulis oleh Victor Ganap, peneliti yang lahir
dan dibesarkan di Jakarta, bergelar doktor dengan
predikat cum laude dari Universitas Gadjah
Mada, sebagai Guru Besar Musikologi pada
Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta.
Peneliti mengetengahkan fenomena sebuah
komunitas Kristiani yang minoritas di Kampung
Tugu yang mampu bertahan hidup di sana selama
lebih dari tiga setengah abad lamanya. Peneliti
melalui pendekatan etnisitas pribumi antara
sesama etnik kawasan Timur yang berdomisili di
Jakarta telah berhasil membuktikan bahwa
kehadiran komunitas Tugu terkait erat dengan
kedatangan bangsa Portugis di Malaka dan
Maluku sepanjang abad keenam belas. Komunitas Tugu bukanlah berasal dari kelompok kreolis
Portugis di Sunda Kelapa atau kelompok mardijkers asal Bengali dan Coromandel di Batavia,
melainkan kelompok pelaut Portugis asal Goa,
India yang melarikan diri dari Maluku bersama
anak istri mereka asal Bandaneira ketika VOC
menyerang pulau Banda pada awal abad ketujuh
belas. Kapal mereka karam di pantai Cilincing,
lalu ditangkap oleh VOC dan dibuang ke Kampung
Tugu. Mereka mampu menghidupi diri melalui
patronasi masyarakat perkotaan Batavia terhadap
keahlian mereka dalam membawakan musik
160
Moresco dan Cafrinho Portugis, yang mereka
namakan Krontjong Toegoe, sebagai bentuk
generik musik keroncong Indonesia saat ini, selain
mampu menjual hasil karya dari keahlian mereka
membuat gitar Portugis cavaquinho yang mereka
namakan sebagai kroncong ukulele. Keahlian
mereka kemudian ditiru oleh komunitas Indies di
Batavia sebelum menyebar ke kota besar lainnya
di pulau Jawa. Komunitas Tugu saat ini bergabung
dalam Ikatan Keluarga Besar Tugu dipimpin oleh
Andre Juan Michiels, yang mengangkat peneliti
sebagai anggota kehormatan IKBT.
Disertasi berjudul “Musical and Functional
Change in the Gondang Sabangunan Tradition
of the Protestant Toba Batak 1860s-1990s, with
Particular Reference to the 1980s-1990s” tahun
1998 ditulis oleh Mauly Purba, peneliti pribumi
Batak bergelar doktor dari Monash University
sebagai Guru Besar Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara.
Peneliti mengungkapkan fenomena proses
marginalisasi adat suku Batak yang dilakukan
oleh Gereja dalam upaya menghapus tradisi
paganisme yang dianggap tidak sesuai dengan
ajaran Kristiani yang masuk ke tanah Batak awal
dekade 1850-an melalui para misionaris Calvinist
Rheinische Missionsgesellschaft dari Wuppertal,
Jerman. Sejak pelarangan diberlakukan tahun
1864 timbul konflik antara Gereja dengan
masyarakat Parmalim di Hutatinggi, Tapanuli
Utara, yang dipimpin Raja Mulia Naipospos
karena mereka tidak mau meninggalkan Adat
Hasipelebeguan berupa pemujaan terhadap para
Debata seperti Mula Jadi Na Bolon dan Batara
Guru, selain pemujaan terhadap roh para leluhur
mereka. Ketika saat ini masyarakat Parmalim tetap
menjunjung tinggi Adat Hasipelebeguan dipimpin
Raja Marnangkok Naipospos, Gereja Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP) menetapkan
kebijakan inkulturasi yang merangkul budaya
tradisi setempat dan mengadaptasi nyanyian
rakyat ke dalam ibadah liturgi Gereja. Saat ini
seni tradisi Gondang Sabangunan dan tarian
Tortor telah diterima sebagai bagian yang integral
dari ibadah liturgi Gereja HKBP. Peneliti dengan
etnisitas pribuminya berhasil menguraikan bagai-
Victor Ganap - Konsep Multikultural dan Etnisitas Pribumi dalam Penelitian Seni
mana proses Adat Hasipelebeguan menjadi
faktor pemersatu antara Gereja dan Tradisi Batak
setelah mengalami transformasi dari aturan para
misionaris Barat menuju wawasan inkulturasi
kearifan lokal sehingga tercapai rekonsiliasi
antara pemuka agama dan pemuka adat Batak.
Disertasi berjudul “Fungsi dan Bentuk Komunikasi Dalam Lagu dan Tari Melayu di Sumatera
Utara” tahun 2010 ditulis oleh Muhammad Takari,
peneliti pribumi Melayu Deli, bergelar doktor dari
Universiti Malaya, sebagai Lektor Kepala pada
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara.
Peneliti dengan etnisitas pribumi Melayu Deli
berhasil menggali sejarah keberadaan rumpun
bangsa Melayu pada kawasan induk, kawasan
diaspora, dan kawasan rasial yang mendiami
ketiga samudera di dunia. Melalui berbagai kasus
keberadaan seni tradisi Melayu di Sumatra Utara
terjadi penyempitan pengertian jati diri rumpun
Melayu dari wawasan seni budaya menuju
wawasan kebangsaan, sehingga berpotensi
menimbulkan gesekan politik antara Indonesia
dan Malaysia, seperti yang terungkap dalam
pepatah Melayu, kalau sudah lupa diri, alamat
bala menimpa negeri. Peneliti sepakat bahwa
terjadinya dominasi teori Barat menyebabkan
sistem pendidikan seni dan para peneliti seni
kurang memahami warisan seni budayanya
sendiri (Takari 2010:693).
Disertasi berjudul “Musik Vokal Etnik Minahasa” tahun 2007 ditulis oleh Perry Rumengan,
peneliti pribumi Minahasa, bergelar doktor dengan
predikat cum laude dari Universitas Gadjah
Mada, sebagai Lektor Kepala pada Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Manado.
Peneliti dengan etnisitas pribuminya berhasil
menemukan modus generik musik tradisi Minahasa yang sempat tergerus dilanda oleh proses
diatonisasi lagu rakyat, nyanyian ibadah liturgi
Gereja, dan lagu populer. Etnik Minahasa layak
memperoleh sebutan sebagai the singing society,
karena gemar bernyanyi dalam berbagai acara
dan kesempatan bersosialisasi, meski tidak jarang
harus diakrabi dengan minuman. Kekayaan
repertoar tari dan lagu, serta keberadaan grup
paduan suara dan ensambel musik bambu yang
tidak terhitung jumlahnya mencerminkan ke-
unggulan dan kekayaan etnik seni tradisi Minahasa, dibandingkan dengan kelompok etnik
lainnya di Sulawesi Utara. Di lain fihak, penelitian
ini juga merisaukan peradaban musikal etnik
Minahasa yang demikian alami itu, telah menimbulkan pandangan masyarakat bahwa
lembaga pendidikan seni yang formal tidak diperlukan dalam proses pembelajaran berkesenian.
Disertasi berjudul “Power of Voice: the Penan
Song and Aesthetics of Excretion and/or
Expression” tahun 1991, ditulis dalam bahasa
Jepang oleh Takashi Shimeda, peneliti nonpribumi bergelar doktor dari Osaka University, saat
ini sebagai Guru Besar pada Osaka Kyoiku
University. Selama di lapangan, peneliti memilih
untuk berdiam pada keluarga Dayak sehingga
dapat mengamati kehidupan mereka secara
langsung dalam berburu di hutan dan menanam
padi di ladang berbukit. Peneliti memiliki perilaku
multikultural ditinjau dari kehati-hatiannya dalam
menggunakan istilah “tradisi” yang hanya dapat
dinyatakan atas persetujuan komunitas yang
ditelitinya. Peneliti dalam kapasitas etnisitas nonpribumi menyadari bahwa penelitian disertasinya
membutuhkan jangka waktu yang panjang selama delapan tahun sejak 1983 yang difokuskan
pada etnik Dayak Penan Belaga di Serawak dan
Dayak Penan Benaluy di Kalimantan Timur. Hasil
penelitian berupa temuan tentang kekayaan
tradisi lisan mereka dalam kuantitas repertoar
nyanyian rakyat dan resitasi yang tidak terhitung
jumlahnya, mencerminkan keunggulan tradisi
etnik Dayak Penan dalam berekspresi melalui
suara manusia. Namun, sebagaimana halnya
dengan musik vokal di manapun, tradisi Penan
juga mengalami perubahan yang cepat atau
bahkan tidak terhindar dari bahaya kepunahan.
Seni tradisi etnik Dayak Penan lebih banyak
didasarkan pada ideologi mereka, bukan dalam
bentuk pertunjukan atau berupa prosedur mengenai tata cara untuk menggelar pertunjukannya.
Proses adaptasi terhadap melodi lagu-lagu Jawa
atau Melayu semakin terbuka meski tetap
dinyanyikan secara improvisasi menurut bahasa
dan estetika cara membawakannya. Peneliti
mengakui bahwa perubahan dapat terjadi dalam
kontinuitas seni tradisi Dayak Penan, namun
161
Humaniora, Vol. 24, No. 2 Juni 2012: 156 - 167
kearifan lokal mereka dapat tetap dipertahankan,
bukan dari pengetahuan peneliti yang terkubur
dalam cara berpikir yang modern, melainkan
melalui proses defamiliarisasi seni budaya peneliti,
sambil bangkit dan memberikan penyegaran terhadap konsep-konsep berkesenian yang selama
ini telah dimiliki dan diyakini kebenarannya.
Disertasi berjudul “Rasa in Javanese Musical
Aesthetics” tahun 1998 ditulis oleh Marc Benamou, peneliti nonpribumi bergelar doktor dari
University of Michigan, ketika itu sebagai Lecturer
pada University of Alberta. Objek material yang
ditelitinya adalah rasa, sebuah unsur seni tradisi
Jawa yang identik dengan istilah Portugis
coração, tetapi berbeda dengan interpretasi
menurut pengertian Barat. Penelitian disertasi ini
dilakukan selama dua belas tahun sejak tahun
1986 diawali dengan proses pembelajaran
bahasa Jawa, tembang Jawa, dan gamelan Jawa,
sebagai modal dasar dalam memahami estetika
Jawa. Peneliti merumuskan pengertian rasa
dalam kosakata bahasa Inggris sebagai affect,
mood, feeling, dan intuition sambil mengutip
Groneman bahwa menulis tentang gamelan Jawa
adalah lebih pada proses bagaimana musiknya
diproduksi daripada didengarkan. Disertasi
menunjukkan bahwa peneliti hanya memperoleh
pemahaman dalam tataran persepsi tentang rasa
dari berbagai pengalaman mendengarkan, merujuk pada konsep universalitas berupa benang
merah yang terbentang antara musik Barat dan
gamelan Jawa, serta berabad-abad lamanya
tradisi Jawa memperoleh kontak dengan budaya
Belanda. Namun, peneliti tetap tidak memperoleh
pengalaman estetika dalam berekspresi karena
rasa dalam gamelan Jawa itu bukan diperoleh
dari pengetahuan dan keterampilan, melainkan
dari turunnya “wahyu” kepada peneliti.
Disertasi doktor yang telah dibahas di atas
merupakan hasil penelitian ilmu humaniora yang
meliputi wilayah Sumatra Utara, DKI Jakarta,
Jawa Tengah, Serawak dan Kalimantan Timur,
serta Sulawesi Utara, yang dilakukan oleh peneliti
pribumi maupun nonpribumi. Semua peneliti memiliki perilaku multikultural yang mendorong
mereka untuk meneliti seni tradisi yang bukan
berasal dari ranah budayanya. Peneliti nonpribumi
162
menyadari konsekuensi prosedur yang anomali
terhadap topik penelitian yang mereka tetapkan,
apapun latarbelakang permasalahannya. Penelitian ilmu humaniora memang berbeda dengan
penelitian ilmu eksakta maupun ilmu rekayasa,
mengingat objek materialnya yang manusiawi dan
non artefak sebagai intangible heritages. Dari
pembahasan di atas nampak bahwa kapasitas
etnisitas pribumi telah membedakan hasil penelitian yang dicapai meski dalam tataran sebuah
disertasi sekalipun.
PENELITIAN BIDANG ILMU
Victor Ganap, peneliti pribumi Jakarta asal
Sangihe, melalui Hibah Kompetensi penelitian
kelompok bidang Seni tahun 2010 meneliti arti
penting konsep multikultural dan etnisitas pribumi
dalam penelitian seni tradisi Nusantara. Peneliti
tidak lahir dan dibesarkan di Kepulauan Sangihe,
namun memiliki modal sosial karena hidup bersama orang tua asal Sangihe dan menguasai
bahasa daerah serta adat istiadat Sangihe dari
pergaulan dan ikatan primordial antarkomunitas
Sangihe di Jakarta hingga 1979 sebelum hijrah
ke Yogyakarta. Status peneliti dalam upaya untuk
menemukan koroborasi terhadap konsep etnisitas pribumi secara khusus meneliti makna simbolis
seni tradisi tagonggong dan mbawalas msamper
yang hingga kini tetap hidup di kalangan masyarakat Kepulauan Sangihe. Waditra tagonggong
adalah sejenis single headed membranophone
yang ditabuh dengan jari atau menggunakan stick
bambu mengiringi resitasi yang disebut msambo
yang mengandung mantra berupa pemujaan
kepada I Ghnggona Langi Duatang Saruluang,
Tuhan Penguasa Langit dan Pencipta Alam
Semesta. Selain itu, tagonggong juga digunakan
dalam berbagai upacara lainnya, seperti upacara
perkawinan, perkabungan, naik rumah baru, peluncuran perahu, menjemput tamu, menanam
padi, pesta panen, lomba perahu hias, dan
mengiringi berbagai tarian tradisi. Adapun seni
bernyanyi berbalas-balasan disebut mbawalas
msamper, salah satu identitas budaya etnik
Sangihe yang dilombakan di seluruh Kepulauan
Sangihe. Setiap grup kesenian msamper dipimpin
oleh seorang pangaha yang bertindak sebagai
Victor Ganap - Konsep Multikultural dan Etnisitas Pribumi dalam Penelitian Seni
kondaktor merangkap mayoret karena mbawalas
msamper lazimnya digelar dalam sebuah prosesi,
sehingga dapat disebut sebagai sebuah marching
choir. Seni mbawalas msamper harus disajikan
dalam empat tema lagu, yaitu tema religius, tema
sosial, tema kebangsaan, tema kedaerahan.
Ratusan lagu dalam album repertoar mbawalas
msamper telah dihimpun dalam membawakan
tema-tema di atas yang mereka ciptakan sendiri
dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah
Sangihe. Fakta yang fenomenal adalah ciptaan
lagu garapan mereka terhadap tema kebangsaan
menghasilkan lagu dengan syair yang berjiwa
patriotisme dan nasionalisme yang tinggi, suatu
fenomena sosial yang sangat menarik karena
secara geografis masyarakat Kepulauan Sangihe
berada di wilayah paling utara kepulauan Nusantara yang jauh dari pusat kekuasaan. Tidaklah
berlebihan untuk dikatakan bahwa kesenian
mbawalas msamper tidak saja menunjukkan
musikalitas Oceania penduduk Kepulauan
Sangihe dalam bernyanyi, mencipta lagu, dan
berimprovisasi, melainkan juga memperlihatkan
ekspresi jiwa dan semangat kecintaan pada
tanah air yang tidak pernah tergoyahkan. Lagi
pula, jiwa patriotisme masyarakat Kepulauan
Sangihe sebagai bangsa Indonesia telah terbukti
melalui kesetiaan mereka terhadap Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada saat
meletusnya pemberontakan Permesta di
Sulawesi Utara tahun 1957 silam. Secara geografis, Kepulauan Sangihe telah mengukir
sejarah sebagai wilayah yang berbatasan dengan
Filipina, namun tidak pernah terbetik sedikit pun
keinginan masyarakatnya untuk bergabung
dengan berbagai kelompok etnik di Mindanao,
Filipina selatan. Slogan yang berbunyi Somah
kai Khag menjadi ungkapan rasa syukur masyarakat Kepulauan Sangihe kepada Yang Maha
Kuasa atas nikmat yang diberikan kepada
mereka.
Pada tahun 1973 Bronia Kornhauser melakukan penelitian tentang keroncong di Indonesia,
setelah UNESCO pada tahun 1971 merekam
Krontjong Toegoe dalam berbagai koleksi Musik
Dunia. Hasil penelitiannya berupa esai berjudul
“In Defence of Kroncong” dalam Studies in
Indonesian Music yang diterbitkan Monash
University tahun 1978 dan selama ini menjadi
sumber rujukan utama tentang keroncong. Meski
penelitian itu hanya menghasilkan data deskriptif
dalam bentuk transkripsi musikologi dan organologi keroncong, informasinya jauh lebih lengkap
dari artikel yang ditulis oleh Judith Becker dan
Ernst Heins dalam Asian Music edisi tahun 1976.
Pemanfaatan narasumber pribumi Jacobus Quiko
menjadi kunci keberhasilan peneliti dalam mengungkap sejarah keberadaan musik dan komunitas
Krontjong Toegoe (Kornhauser 1978:176).
Sebelum Kornhauser, pada tahun 1970
Kampung Tugu juga pernah didatangi oleh
Antonio Pinto Da França, Konsul Portugal di
Jakarta untuk melakukan penelitian pelacakan
terhadap peninggalan Portugis di seluruh kepulauan Nusantara. Hasil penelitian itu dituangkan
ke dalam buku yang diterbitkan oleh Calouste
Gulbenkian Foundation di Lisbon berjudul
Portuguese Influence in Indonesia. Penelitian ini
dapat dikategorikan sebagai quasi pribumi
karena objek materialnya adalah penduduk
Kampung Tugu yang sebagian warga seniornya
masih dapat berbahasa Portugis cristão dari abad
keenam belas sebagai lingua franca di Asia
Tenggara sehingga terjalin komunikasi yang baik
meski terdapat perbedaan kosakata dengan
bahasa Portugis modern. Data terpenting yang
dihasilkan peneliti adalah pembenaran repertoar
Moresco dan Cafrinho yang memang familiar di
Portugal sebagai mornas, lagu rakyat Cabo Verde
di Afrika yang menjadi embrio musik keroncong
Indonesia. Demikian pula, lagu buaian Nina Bobo
yang populer di Indonesia berasal dari kata
menina dalam bahasa Portugis yang berarti gadis
cilik. Peneliti mendapati bahwa meski di bawah
pengaruh Belanda selama lebih dari tiga abad
lamanya, penduduk Kampung Tugu tetap memiliki kebanggaan mewarisi kekayaan musikal
dan darah keturunan Portugis yang kental (Da
França, 1970:22).
Rustim Satie, peneliti pribumi Minangkabau
dari ISI Padang Panjang, meneliti “Tradisi
Bagurau Saluang Dendang di Minangkabau”
dalam tesis Universitas Gadjah Mada tahun 2010.
Saluang Dendang adalah salah satu bentuk
pertunjukan kesenian tradisi Minangkabau untuk
hiburan yang digelar di tempat umum, melibatkan
163
Humaniora, Vol. 24, No. 2 Juni 2012: 156 - 167
partisipasi penonton, dan didukung para kelompok pagurau dari berbagai Nagari di Sumatra
Barat. Pertunjukannya melibatkan seorang anak
dendang, lazimnya perempuan, dan seorang
tukang saluang laki-laki. Interaksi antara anak
dendang dan pagurau menjadikan kesenian ini
sebagai salah satu sarana komunikasi masyarakat Minangkabau. Hadirnya unsur permainan
(game) dalam kesenian ini juga menimbulkan
dampak faktor ekonomi melalui sistem auction
dalam melayani pilihan lagu dari pagurau yang
mampu membayar lebih banyak nominalnya
kepada anak dendang sehingga mereka harus
mampu menghafal gurindam atau pantun
Minangkabau yang tidak terhitung jumlahnya agar
dapat melayani permintaan pagurau semalam
suntuk. Secara akustik musikal, saluang yang
tidak lagi mampu mendukung intensitas suasana
yang meriah digantikan organ elektrik yang mampu membuat hingar bingar ruang publik. Pada
hakikatnya seni tradisi Minangkabau tidak terlepas dari pengaruh sistem patriarkat kelompok
alim ulama, cerdik pandai, dan para datuk dalam
menetapkan surau, dangau, dan lapau untuk
proses pembentukan jatidiri laki-laki Minangkabau
dalam kegiatan mengaji, bekerja di ladang, dan
bersosialisasi di warung kopi. Adat Minangkabau
yang melarang pemuda lajang untuk bersantai di
rumah menyebabkan banyak yang memilih
rantau dan meninggalkan kampung halaman,
karena di kampung secara adat mereka belum
berguna bagi keluarga. Garis keturunan matrilineal lebih memilih pemuda Minangkabau yang
telah berpengalaman di rantau sebagai jodoh
yang layak dipinang. Sebaliknya, bagi laki-laki
Minangkabau yang telah berkeluarga dan mapan
ekonominya, tradisi Bagurau Saluang Dendang
merupakan ajang untuk memperlihatkan dominasi maskulinitas mereka di luar lingkungan
rumah dan keluarga.
Idawati Armand, peneliti pribumi Melayu Riau
dari Akademi Kesenian Melayu Riau, meneliti
“Estetika Cengkok dalam Irama Syair Melayu di
Pekanbaru” dalam tesis Universitas Gadjah Mada
tahun 2010. Irama syair Melayu merupakan unsur
musikal dalam sastra kuno Melayu yang pelantunannya mengandung seni qira’ah sesuai
164
karakteristik budaya Melayu yang Islami. Keunikannya terletak pada syairnya yang profan
dalam menggambarkan kepahlawanan dan dunia
percintaan versi Melayu yang dibacakan secara
divina a cappella menggunakan berbagai cengkok Melayu yang ad libitum dan melismatik.
Namun, harus diyakini bahwa budaya Melayu
tetap bersumber dari adat Melayu yang sebenarbenarnya adat, bukan sekedar adat yang diadatkan karena adat yang bersendikan Syarak dan
Kitabullah. Apabila syair itu menggunakan
instrumen pengiring, nilai Islaminya tetap terjaga
dalam orkestrasi yang untuned percussion
berupa improvisasi permainan gendang bebano
dan gong Melayu membawakan melodi maqam
Arab melalui akordion. Etnisitas pribumi Idawati
tampak melalui kepiawaiannya melantunkan syair
Melayu bagaikan qori’ah yang membawakan
Qalam Ilahi. Melalui penelitian ini terlihat bahwa
syair Melayu yang profan dengan musiknya yang
berkualitas divina surgawi bertolak belakang
dengan musik Qasidah, Nasyid atau Barzanji
yang membawakan syair dalam bentuk dzikir atau
shalawat Nabi, namun dengan iringan ensambel
musik Barat yang profan.
Sukotjo, peneliti pribumi Betawi dari ISI
Yogyakarta, meneliti “Kontinuitas dan Keberadaan Musik Gambang Kromong sebagai Dampak
Kedatangan Masyarakat Baru dan Pariwisata”
dalam tesis Universitas Gadjah Mada tahun 1999.
Menurut Sukotjo, Gambang Kromong pada awalnya merupakan pengiring drama tradisi Lenong
Betawi yang digelar di bawah patronasi komunitas
Tionghoa di wilayah Tangerang dan dikenal
dengan sebutan Cina Benteng. Pengaruhnya
terlihat melalui waditra sejenis rebab asal Cina
pada orkstrasi Gambang Kromong seperti tehyan
dan kongahyan, selain waditra jutao, dan sukong
sebagai pembawa melodi. Gambang Kromong
sebagai ensambel diperkenalkan pertama kali
pada tahun 1880 di Batavia oleh seorang Bek
(Lurah) di Senen bernama Teng Tjoe. Sukotjo
dengan kapasitas etnisitas pribumi Betawi memahami bahwa ensambel Gambang Kromong
merupakan musik dari tradisi lisan. Ensambel
sebagai pengiring memberikan peranan yang
lebih dominan kepada pesindhen sebagai daya
Victor Ganap - Konsep Multikultural dan Etnisitas Pribumi dalam Penelitian Seni
tarik utama agar mampu berkembang sebagai
seni wisata kota Batavia sekitar tahun 1930-an
dalam mendukung kampanye Mooi Indie
pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah DKI
Jakarta juga hendaknya dapat memberlakukan
Gambang Kromong sebagai intangible heritage
dalam kemasan seni wisata agar tidak mengalami
kepunahan di tengah derasnya arus urbanisasi
kota Jakarta.
Zulkarnain Mistortoify, peneliti pribumi
Madura dari ISI Surakarta, meneliti “Gamelan
Saronèn: Musik Prosesi Kerakyatan Madura”,
dalam tesis Universitas Gadjah Mada tahun 1998.
Selaku peneliti pribumi, ia sadar bahwa musik
tradisi Madura berada di bawah bayang-bayang
keunggulan musik gamelan Jawa dan gamelan
Bali sehingga merasa perlu untuk meneliti dan
mengangkat berbagai kearifan lokal Madura yang
selama ini cenderung terpendam. Penelitian yang
dilakukan bertitik tolak dari tradisi Karapan Sapi
di Madura yang telah dikenal luas. Faktor ekonomi
sangat dominan dalam menentukan skala dari
peristiwa budaya yang terbagi atas Kerrabhân
Kènè yang bersifat kerakyatan, dan Kerrabhân
Rajâ yang disponsori dunia usaha. Peneliti
menyadari arti penting alunan gamelan Saronèn
dalam peristiwa di atas, sebagai pelengkap dari
pesta rakyat Madura. Tugas utama gamelan
Saronèn adalah sebagai marching band yang
mengiringi sapi karapan pada acara arak-arakan
dalam rangka pamer kekuatan peserta dari
masing-masing sapi yang akan dilombakan.
Kelompok gamelan Saronèn yang diundang
untuk mengiringi sapi dalam pesta Kerrabhân
Rajâ merupakan sebuah penghargaan dan
menjadi tolok ukur prestasi yang dicapai kelompok
tersebut. Persaingan yang terjadi mendorong
setiap kelompok gamelan Saronèn untuk mempersiapkan penampilan mereka secara profesional.
SIMPULAN
Seni tradisi Nusantara yang didukung oleh
kekayaan budaya etnik masing-masing tentunya
membutuhkan perhatian para peneliti pribumi
untuk menggali dan menemukan berbagai
kearifan lokal dengan berbekal metodologi yang
berimbang antara pendekatan etic dan emic.
Peneliti seni hendaknya dapat memberlakukan
seni tradisi sebagai warisan budaya yang bernilai
tinggi melalui pemuliaan terhadap kearifan lokal
dan tradisi lisan budaya Nusantara. Penelitian
Hibah Kompetensi tahun 2010 telah membuktikan
bahwa konsep multikultural dan etnisitas pribumi
harus dimiliki dan melekat pada setiap peneliti
seni tradisi, sebagai modal dasar untuk menjamin
bahwa hasil penelitiannya akan memiliki kedalaman nilai dan makna serta derajat kesahihan yang
tinggi. Peneliti yang berperilaku multikultural dan
memiliki kapasitas sebagai etnisitas pribumi dalam
melakukan penelitian dengan objek yang bersifat
humaniora atau seni tradisi merupakan sebuah
conditio sine qua non yang tidak dapat disubstitusi atau direkayasa melalui penggunaan
instrumen metodologi atau perangkat teknologi
secanggih apapun.
Penelitian disertasi memiliki perbedaan
dengan penelitian bidang ilmu dalam konteks figur
peneliti dan kurun waktu penelitian. Penelitian
disertasi umumnya dilakukan secara mandiri
dalam kurun waktu yang panjang, sedangkan
penelitian bidang ilmu dapat dilakukan secara
mandiri atau berkelompok dalam kurun waktu
yang relatif singkat. Peneliti yang tidak memiliki
kapasitas etnisitas pribumi dalam melakukan
penelitian dengan objek yang bukan berasal dari
ranah budayanya sendiri membutuhkan tenggang
waktu penelitian yang lebih panjang untuk
mempersiapkan diri dalam proses preliminari,
seperti menguasai bahasa lokal, memahami adat
istiadat, keyakinan, dan kearifan lokal, merebut
sejauh mungkin tradisi lisan mereka melalui
pengalaman berkehidupan bersama dengan
masyarakatnya, yang di dalamnya termasuk
keberuntungan jika dapat mengawini perempuan
lokal. Peneliti nonpribumi yang melakukan penelitian tidak melalui proses preliminari tersebut di
atas, baik untuk penelitian disertasi maupun
penelitian bidang ilmu, hasil penelitiannya hanya
bersifat deskriptif dengan kandungan materi yang
superfisial, mencerminkan orientasi bagi kepentingan karier peneliti di komunitasnya sendiri,
namun sama sekali tidak memiliki arti penting
apapun sebagai sebuah catatan etnografi bagi
komunitas seni tradisi yang ditelitinya.
165
Humaniora, Vol. 24, No. 2 Juni 2012: 156 - 167
Seni tradisi manapun tentunya diharapkan
oleh masyarakat pendukungnya agar tetap lestari
dalam arti dapat diwariskan secara turun temurun
kepada para ahli waris mereka, sehingga generasi
yang sekarang dan generasi selanjutnya tidak
akan tercerabut dari dari budayanya. Tema
Ethnomusicology Beyond Disciplines yang
dicanangkan dalam Simposium Etnomusikologi
sedunia di Wesleyan University tahun 2008 patut
diperhatikan melalui penerapan falsafah Tradition
and Modernity berupa isu pelestarian dan
pengembangan yang berjalan bersama-sama.
Tema ini diilhami dari teori J. Maquet, seperti yang
dikutip oleh Graburn dalam bukunya Ethnic and
Tourist Arts, bahwa di satu sisi seni tradisi patut
dijaga kemurnian martabat dan jatidirinya oleh
masyarakat pendukungnya sebagai art by
destination, yaitu seni yang dihasilkan oleh suatu
kelompok masyarakat dan dinikmati hanya oleh
kelompoknya itu sendiri. Namun, di sisi lain, seni
tradisi dapat dikembangkan sebagai kitsch seni
wisata untuk menghidupi masyarakat pendukungnya sebagai art by acculturation and metamorphosis, yaitu seni yang dihasilkan oleh suatu
kelompok masyarakat dan dapat dinikmati oleh
kelompok masyarakat lainnya secara luas
(Soedarsono 1999:82).
Peran seni dalam industri pariwisata memiliki
posisi yang amat strategis, yakni dalam bentuk
seni pertunjukan tradisional dan industri kerajinan
cinderamata. Gusti Astika dan Sri Samiati et al.
seperti yang dikutip Budi Purnomo dalam Jurnal
Humaniora Vol. 23/2/2011 merumuskan klasifikasi
bahasa pelayanan pariwisata yang mencakup
elemen seni tradisi, yaitu (1) pelayanan informasi
tentang calendar of events Taman Budaya atau
Pusat Kesenian untuk kesempatan menikmati
seni pertunjukan dan hiburan, (2) pengamatan
proses pembuatan industri kerajinan seperti kerajinan batik, wayang kulit, dan waditra gamelan,
serta (3) pelayanan memperoleh harga yang
pantas untuk pembelian cinderamata pada
berbagai sentra kerajinan (Purnomo 2011:187).
Di lain pihak, seni wisata menjadi bagian dari
program pemberdayaan budaya dalam bentuk
pelestarian jangka pendek terhadap seni tradisi
agar terhindar dari kepunahan, melalui kebijakan
otonomi yang dimiliki setiap daerah.
166
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional yang
telah mendanai penelitian Hibah Kompetensi
bidang Seni tahun 2010. Penghargaan yang tulus
kepada para peneliti dari Universitas Sumatera
Utara, Institut Seni Indonesia Surakarta, Institut
Seni Indonesia Padang Panjang, Akademi
Kesenian Melayu Riau, dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta atas partisipasi dan dukungan
mereka yang begitu besar, sehingga penelitian
ini mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga
Provinsi Sulawesi Utara, Bupati Kepala Daerah
Kabupaten Kepulauan Sangihe, TVRI Stasiun
Manado, dan Harian Metro Manado.
DAFTAR RUJUKAN
Armand, Idawati. 2010. “Estetika Cengkok dalam Irama
Syair Melayu di Pekanbaru, Riau”. Tesis Universitas
Gadjah Mada.
Benamou, Marc. 1998. “Rasa in Javanese Musical Aesthetics”. Ph.D. Dissertation University of Michigan.
Blacking, John. 1974. How Musical Is Man? The John
Danz Letures. Seattle: University of Washington
Press.
Csikszentmihalyi, Mihaly. 1999. “Implications of a
Systems Perspective for the Study of creativity” in
Handbook of Creativity, ed. Robert J. Sternberg.
Cambridge: Cambridge University Press, pp.313335.
França, Antonio Pinto Da. 1970. Portuguese Influence in
Indonesia. Lisbon: Calouste Gulbenkian Foundation.
Ganap, Victor. 2006. “Krontjong Toegoe: Sejarah
Kehadiran Komunitas dan Musiknya di Kampung
Tugu, Cilincing, Jakarta Utara”. Disertasi Universitas
Gadjah Mada.
Kornhauser, Bronia. 1978. “In Defence of Kroncong” in
Studies in Indonesian Music, ed. Margaret Kartomi.
Melbourne: Centre of Southeast Asian Studies,
Monash University, pp.104-183.
Merriam, Alan P. 1974. The Anthropology of Music.
Bloomington, Indiana: Northwestern University
Press.
Mistortoify, Zulkarnain. 1998. “Gamelan Saronèn: Musik
Prosesi Kerakyatan Madura”. Tesis Universitas
Gadjah Mada.
Victor Ganap - Konsep Multikultural dan Etnisitas Pribumi dalam Penelitian Seni
Nattiez, Jean-Jacques. 1990. Music and Discourse: Toward
a Semiology of Music, trnsl. Carolyn Abbate. New
Jersey: Princeton University Press.
Purba, Mauly. 1998. “Musical and Functional Change in
the Gondang Sabangunan Tradition of the Protestant
Toba Batak 1860s-1990s, with Particular Reference
to the 1980s-1990s”. Ph.D. Dissertation Monash
University.
Purnomo, Budi. 2011. “Tourism-Service Language: A
Cross-Cultural Perspective on Politeness”, Humaniora Vol.23 No.2. Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada, hal.185-198.
Rumengan, Perry. 2007. “Musik Vokal Etnik Minahasa”.
Disertasi Universitas Gadjah Mada.
Satie, Rustim. 2010. “Tradisi Bagurau Saluang Dendang
di Minangkabau”. Tesis Universitas Gadjah Mada.
Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan dan Pariwisata.
Yogyakarta: Badan Penerbit ISI-Yogyakarta.
Shimeda, Takashi. 1991. “Power of Voice: The Penan
Song and Aesthetics of Excretion and/or Expression”. Ph.D. Dissertation Osaka University.
Sukotjo. 1999. “Kontinuitas dan Keberadaan Musik
Gambang Kromong sebagai Dampak Kedatangan
Masyarakat Baru dan Pariwisata”. Tesis Universitas
Gadjah Mada.
Takari, Muhammad. 2010. “Fungsi dan Bentuk Komunikasi dalam Lagu dan Tari Melayu di Sumatera Utara”.
Disertasi Universiti Malaya.
167