KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PL

KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PLURALISME
KALIMANTAN BARAT
YUSRAN
F03112046

Program studi Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Unversitas Tanjungpura
Abstrak
Tulisan ini akan menjelaskan strategi yang dapat diterapkan akibat pluralisme
melalui sistem pendidikan Indonesia khusus di Kalimantan Barat. Keragaman
suku bangsa merupakan kekuatan bangsa dimiliki oleh provinsi Kalimantan
Barat. Kemampuan untuk mengelola keragaman suku bangsa yang besar sangat
diperlukan untuk mencegah terjadinya konflik dan perpecahan yang akan
mengganggu kesatuan bangsa. Konflik muncul dengan menggunakan simbol simbol etnis, agama, dan ras. Hal ini terjadi akibat akumulasi "tekanan" secara
mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh
sebagian masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pendidikan
multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep
pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,
secara khusus yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa,
agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan lain - lain. Pengenalan
budaya sangat diperlukan dari berbagai etnis di Kalimantan Barat, sebagai

faktor yang akan memperkuat perasaan kesatuan di Indonesia. Melalui
implementasi pendidikan multikultural diharapkan akan membantu siswa
mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan
nilai kepribadian. Sehingga konflik etnis yang terus melanda di Kalimantan Barat
dapat diredam dengan lahirnya generasi baru yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kesatuan dan keutuhan bangsa.
Kata kunci: pluralisme, pendidikan multikultural
PENDAHULUAN
Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun
dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian oleh
masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan serta diterapkan pada cara
hidup kita sendiri dengan cara berlaku yang akan kita ikuti selama hidup
(Ihromi,1996).
Indonesia merupakan negara yang mempunyai masyarakat yang multietnis,
memiliki kebudayaan dan masyarakat beragam. Di satu sisi Indonesia negara yang
plural, sehingga banyak sekali suku, budaya, adat istiadat, bahasa, dan agama.
Dengan sifat yang plural itu negara Indonesia timbul sebuah konflik karena lebih
sulit menjaganya dari pada ketentraman dan keamanan masyarakat yang homogen
sehingga terjadi di beberapa daerah. Sehingga pengenalan budaya dari berbagai
etnis di Indonesia sangat diperlukan, sebagai faktor yang akan memperkuat

perasaan kesatuan di Indonesia.
Konflik merupakan suatu gejala sosial yang melekat pada kehidupan
masyarakat. Banyak peristiwa kerusuhan yang melibatkan masyarakat dalam
sekala luas yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Sebagai contoh,

Kalimantan Barat (konflik etnis di Singkawang dan Sambas) yang kerap terjadi
dan dilakukan dalam rentang yang hampir berdekatan.
Peristiwa - peristiwa yang belum terselesaikan sampai sekarang disebabkan
karena persoalan - persoalan etnis dan persoalan agama, berbagai persoalan yang
menyangkut dengan kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang kemudian justru
berlanjut menjadi masalah yang besar karena dikait-kaitkan dengan persoalan
yang dianggap sangat sensitif, yaitu masalah SARA.
Indonesia di perkuat dengan simbol Bhinneka Tunggal Ika, yang maknanya
adalah pluralisme didalam kesatuan. Oleh karena itu, pluralitas masyarakat bangsa
Indonesia sebagai suatu realitas sosial budaya dan realitas sejarah harus dilihat
sebagai sesuatu yang seimbang. Dalam arti bahwa semua konsep, semua wancana,
dan semua realitas mengenai pluralitas suku-suku bangsa itu di tempatkan pada
tingkatan yang sederajat. Kompleksitas permasalahan kesukubangsaan tidak
direfleksikan oleh seberapa besar warga komunitas, tetapi lebih difokuskan pada
substansi masalah yang dihadapi dalam rangka menegakkan perasaan kebangsaan

dan semangat persatuan.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang ditunjukan kepada Indonesia
merupakan cita-cita bangsa Indonesia yang harus diperjuangkan dan diwujudkan
oleh segenap bangsa Indonesia. Mengenai persatuan nasional kerap kali bangsa
Indonesia diancam oleh berbagai pertentangan pendapat diberbagai kekuatan
sosial politik tertentu, jadi memang benar Bhineka Tunggal Ika harus
diperjuangkan secara terus menerus. Konflik juga kerap kali mewarnai upayaupaya dalam mewujudkan integrasi nasional. Dengan pluralisme itu, Indonesia
mudah sekali terjadi konflik, diakibatkan karena kurang kesadaran terhadap
simbol Bhineka Tunggal Ika yang menjunjung persatuan dan kesatuan.
Penerapan strategi pendidikan multikultural menjadi kian penting,
khususnya dalam upaya memberantas diskriminasi dan meminimalisasi konflik.
Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu
pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang
heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan.
Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan
demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan
menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.
Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh
permasalahan anatar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan.

Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka.
Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat
rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam
kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna
kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi
demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk
menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.
Pluralisme Budaya dan Konflik Etnis di Kalimantan Barat
Pluralisme adalah suatu kemajemukan yang dipandang sebagai dasar-dasar
perbedaan dari unsur-unsur yang membuat keragaman tersebut dapat diukur
berdasarkan kualitas ataupun kuantitas.

Ada 4 (empat) kelompok etnik utama di Kalimantan Barat: Dayak, Melayu,
Cina dan Madura. Dua kelompok etnik pertama merupakan penduduk aslimayoritas, sedangkan dua kelompok etnik berikutnya merupakan pendatangminoritas.
Bangsa melayu terdiri dari dari berbagai suku bangsa (etnis), jelas kelihatan
masing-masing etnis mengembangkan bahasa dan kebudayaannya sesuai dengan
kondisi geografis tempat mereka hidup. Proses ini telah terjadi ribuan tahun,
sehingga yang tampak pada masa kini seolah-olah tidak terdapat hubungan antara
suku bangsa dengan suku bangsa lain.
Istilah melayu dan dayak di Kalimantan Karat relatif unik kalau mengkaji

kepada sejarahnya, mereka yang disebut melayu dalam pengertian etnis itu ”tidak
ada”, kurang abad ke 18, seorang antropolog inggris menyebut “Orang Asli”
(indegan Ous People), yang memeluk agama islam adalah sebagai orang melayu.
Pada dasarnya “penduduk asli” Kalimantan Barat, baik Melayu maupun
dayak merupakan kelompok-kelompok kecil masyarakat yang masing-masing dari
padanya mengembangkan bahasa dan kebudayaan masing-masing. Cina dan
Madura merupakan kelompok minoritas atau pendatang yang memiliki
kecenderungan untuk mengusai ekonomi, politik dan sosial-kultural di wilayah
ini.
Secara sosiologis, pluralistis budaya ini sangat menyulitkan interaksi sosial
harmonis, sebaliknya cenderung menimbulkan konflik terbuka maupun tertutup.
Kalimantan Barat sebagai salah satu daerah yang dihuni oleh berbagai etnis tidak
terlepas dari persoalan tersebut. Mulai dari peristiwa Sanggau Ledo akhir 1996
hingga awal 1997 dan kerusuhan Sambas 1999 adalah sebuah contoh betapa
rentannya Kalimantan Barat terhadap konflik.
Menurut Koentjaraningrat (1982) sebenarnya telah mengingatkan bahwa
Kalimantan Barat menyimpan potensi konflik yang terpendam antar suku bangsa,
selain Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan
Sulawesi Tengah. Dalam pandangan Koejaningrat, selain daerah itu relatif
homogen juga karena tidak adanya kebudayaan dominan (dominant culture)

sebagai wadah pembauran (melting pot) dari masing-masing atau suku bangsa
yang hidup di daerah tersebut.
Konflik etnis di Kalimantan Barat diketahui bahwa telah terjadi konflik
etnis Madura dengan empat etnis di Kalimantan Barat mulai terjadi tahun 1993.
Dalam catatan Polda Kalbar (1999) sejak 1962 hingga 1999 sudah terjadi 14 kali.
Konflik tersebut terjadi antara komunitas Dayak dengan Tionghoa sebanyak 1 kali
1967, Dayak dengan Madura sebanyak 11 kali konflik, yakni pada tahun 1962,
1963, 1968, 1972, 1976, 1977, 1979, 1983, 1993, 1994, 1996-1997, dan Melayu
dengan Madura sebanyak dua kali yakni 1998 dan 1999. Konflik berikutnya tahun
2000 di kota Pontianak juga melibatkan etnis Melayu dan Madura.
Sejak konflik pertama hingga terakhir terjadi upaya memecahkan konflik
selalu dilakukan dengan cara membuat perjanjian damai dengan etnis yang
bertikai. Begitu konflik pertama terjadi penyelesaiannya segera dilakukan dengan
membuat perjanjian damai.
Salah satu sebab konflik adalah karena reaksi yang diberikan oleh satu atau
dua kelompok atau lebih dalam satu situasi yang berbeda-beda. Konflik juga
mudah terjadi apabila prasangka ini terlalu lama terdapat. Konflik ini dapat terjadi
karena :

a. Kurangnya pengetahuan dan pengertian akan hidup pihak yang lain.

b. Kepentingan perseorangan dan golongan.
c. Ketidakinsafan akan kerugian yang dialami masing-masing apabila
prasangka di pupuk.
Ada berbagai situasi, wacana publik, dan mekanisme sosial yang
menyebabkan Kalbar di satu saat mengalami kekerasan etnik, namun di saat lain
justru perdamaian etnik.
a. Sebelum, selama dan sesudah kejadiannya, kekerasan etnik tidak dapat
dipisahkan dengan perdamaian etnik;
b. Kekerasan etnik bukan merupakan eskalasi konflik etnik. Kekerasan etnik
memiliki sifat dan dinamikanya sendiri. Ia cenderung bersifat temporal,
situasional, dan lokal;
c. Kekerasan etnik bukan merupakan konsekuensi yang logis dan spontan
dari bekerjanya faktor-faktor kultural, institusional dan struktural dalam
satu periode kesejarahan yang panjang;
d. Dalam masyarakat ada profil kekerasan etnik yang secara inheren mampu
menghasilkan kekerasan etnik di satu pihak, dan perdamaian etnik di pihak
lain;
e. Dalam masyarakat dan negara ada situasi, wacana dan mekanisme sosial,
baik disadari atau tidak, untuk mencegah dan/atau mengatasi terjadinya
kekerasan etnik;

f. Aktor-aktor dalam masyarakat dan negara memiliki peran penting untuk
menerima atau menolak terjadinya kekerasan etnik;
Teori Pendidikan Multikultur
Menurut Sosiolog Universitas Indonesia Parsudi Suparlan,Multikulturalisme
adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan
multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan
budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya
pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat.
Menurut Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya
gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai perang dunia II.
Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan
perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari
kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena peningkatan
pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi
dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multikultur dalam
empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis
pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai
usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan
sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti

perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan
mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, riset dan
praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah
menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para
praktisi, dari pendidikan multikultur.

Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan
lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid,
apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi
seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.
Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang
mengakomodasi perbedaan - perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan
suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi
di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal
kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
Pendidikan multikultur merupakan sebuah model pengembangan wawasan
kebangsaan dalam dunia kependidikan. Pada penghujung abad 20, rasa persatuan
dan kesatuan atau semangat nasionalisme anggota masyarakat dari berbagai etnis
pada daerah tertentu tampak seperti tercabik-cabik karena konflik yang terjadi.
Paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu point dari

Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu
dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), nilai
keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Sehingga pada point ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan
multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan
empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi,
penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau
setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan seperti inkuisisi (pengadilan
negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan
hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.
Upaya untuk mewujudkan kedamaian dalam kehidupan di daerah rawan
konflik seperti Kalimantan Barat, internalisasi nilai-nilai seperti saling
memahami, saling menghargai, menghilangkan prasangka negatif serta
menjunjung tinggi nilai-nilai universal seperti nilai-nilai demokratis sejak dini,
merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Untuk menginternalisasi nilai-nilai itu, Kalbar membutuhkan pendidikan ini
bertujuan kelak setelah dewasa anak-anak dapat mengabaikan identitas etnisnya
untuk kedamaian hidup semua (Bank, 1993) dapat mengembangkan sikap yang
lebih demokratis serta mendapatkan kesempatan yang sama dalam kehidupan

masyarakat.
Konsep dasar pendidikan multikultur merupakan proses yang tujuan
utamanya adalah mengubah struktur sosial masyarakat melalui pengubahan kultur
sekolah yang diisi oleh beragama etnis maupun kelas sosial. Ada lima dimensi
pokok dalam pendidikan multikultur (Banks, 1993) yakni:
a.
b.
c.
d.
e.

Content integrations
Knowledge constructions process
Preduce reductions
Equality pedagogy
Empowering school culture

Integrasi isi berkenaan dengan upaya-upaya guru untuk memasukkan
informasi ke-etnis-an dalam pembelajaran, seperti memberikan contoh data
maupun informasi dari berbagai kebudayaan ras atau etnis sebagai ilustrasi dalam

menjelaskan konsep-konsep kunci dari mata pelajaran yang di ajarkan. Proses
konstruksi pengetahuan (knowledge constructions process) berkenaan dengan
prosedur bagaimana guru membantu siswa memahami materi pelajaran dan
bagaimana posisi individual dalam kelompok etnis dan kelas sosial berpengaruh
terhadap upaya memahami materi tersebut.
Dimensi pengurangan prasangka sosial dalam pendidikan multikultur
berkenaan dengan karakteristik sikap rasial siswa dan strategi-strategi yang dapat
digunakan untuk dapat membantu mereka menumbuhkan sikap dan nilai-nilai
demokratis. Dimensi keadilan pembelajaran (equality pedalogy) berkenaan
dengan upaya guru menfasilitasi sebagai kelompok etnis atau kelas sosial agar
mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan.
Kategori dimensi yang tumpang tindih. Namun pengkategorisasian seperti
ini sangat dibutuhkan untuk memperoleh konseptualisasi pendidikan multikultur.
Diantara kelima yang banyak mendapat poerhatian adalah dimensi integrasi isi
dan proses konstuksi pengetahuan dan dimensi prasangka sosial.
Pendidikan multikultur yang ditawarkan adalah pengeintegrasian pesan
multikultur dalam proses pendidikan di sekolah, kedua proses konstruksi
pengetahuan siswa, ketiga, pengurangan prasangka sosial antar etnis dikalangan
siswa, keempat, keadilan dalam pembelajaran dan kelima, pemberdayaan kultur
sekolah.
Konsep Pendidikan Multikultur
Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman
persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan
dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Pendidikan sudah seharusnya ditanamkan dalam membina generasi yang
memiliki nilai-nilai emotional yakni bagaimana ia bersikap terhadap orang-orang
berada di sekitar lingkungannya. Tidak ada paham siapa yang minoritas atau
mayoritas baik memiliki perbedaan warna kulit, ras, suku dan budaya.
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:
Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education)
dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan programprogram sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai
transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab
primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik sematamata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung
jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran
informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kelompok
etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan sematamata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini.
secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan
kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah
orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam
satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini
diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan
multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara
stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi

pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak
didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru"
biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah
memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk
mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap
tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits
kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan
bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan
secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam
beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh
situasi. Sehingga budaya di suatu daerah dapat dikenal oleh generasi muda dan
dipertahankan serta mudah di kenal oleh khalayak ramai dan menambah rasa
cintah air.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah)
meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan.
Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya
atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat
membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan.
Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai
pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa
pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan
mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang
ada pada diri anak didik.
Pendidikan Multikultur di Lingkungan Keluarga
Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia sudah
sepantasnya dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal
namun juga dapat di implementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun
dalam keluarga. Dalam Pendidikan non formal wacana ini dapat disosialisasikan
melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsive
multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras
suku, maupun agama antar anggota masyarakat.
Tak kalah penting wacana pendidikan multikultural ini dapat
diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi
sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling
efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap
anggota keluarga. Peran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih
responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan
terhadap perbedaan yang ada di lingkungan sekitar (agama, ras, golongan)
terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang paling efektif
dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem sosial yang lebih berkeadilan.
Pendidikan Multikultur di Lingkungan Formal
Berbicara tentang pendidikan multikultural, tak ubahnya kita membedah isi
perut Indonesia secara substansial. Dengan menggunakan perbedaan-perbedaan
kultural yang ada pada siswa, seperti beda etnis, agama, bahasa, jenis kelamin,

kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur, proses belajar dapat diaplikasikan secara
efektif dan mudah.
Dengan pendidikan multikultural, karakter siswa akan dilatih dan dibangun
untuk mampu bersikap demokratis, humanis dan menerima keragaman. Atau
dalam bahasa lain, “sambil menyelam minum air”. Artinya, selain mudah
memahami, menguasai dan mempunyai kompetensi yang baik terhadap mata
pelajaran, siswa juga diharapkan mampu untuk selalu bersikap dan menerapkan
nilai-nilai demokrasi, humanisme dan keragaman di dalam maupun luar sekolah.
Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan
dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini (PAUD),
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas
(SMA) maupun Perguruan Tinggi.
Adanya penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar di sekolah
bukan menggunakan bahasa daerah karena bahasa daerah dapat menimbulkan
kesenjangan antara siswa yang dapat menimbulkan salah penafsiran makna
linguistik.
Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus dirancang
khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam
kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran
yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan multikultural ini. Sebagai
contoh di Perguruan Tinggi, dari segi substansi, pendidikan multikultural ini dapat
dinitegrasikan dalam kurikulum yang berperspektif multikultural, misalnya
melalui mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan, Ilmu Sosial Budaya Dasar
(ISBD), Agama dan Bahasa.
Demikian juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat diintegrasikan dalam
kurikulum pendidikan seperti dalam OutBond Program, dan pada tingkat SD,
SMP maupun SMA/SMK pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam
bahan ajar seperti PKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui
model pembelajaran yang lain seperti melalui kelompok diskusi, kegiatan
ekstrakurikuler dan sebagainya.
KESIMPULAN
Kurikulum pendidikan di Indonesia saat ini masih bersifat sentralistik.
Dengan pendekatan multiskala, kurikulum tersebut tetap menjadi acuan, namun
dalam inplementasinya pada pendidikan sekolah di Kalimantan Barat, dimensi dimensi multikultural sudah seharusnya dimasukkan dalam kurikulum tersebut,
sehingga pendidikan di Kalimantan Barat memiliki ciri - ciri sendiri karena di
daerah tersebut sangat rawan konflik etnis, namun sistem pendidikan ini juga
tidak terlepas secara keseluruhan dari ciri - ciri pendidikan nasional.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan
multikultural di Kalimantan Barat adalah tidak adanya kebijakan yang
menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan
jenis kelamin, serta harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya,
antara lain mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga
memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat
beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam
pengambilan keputusan secara demokratis.

Kurikulum pendidikan seharusnya lebih mengajarkan bagaimana ada rasa
saling menghargai dengan menitikberatkan kegiatan-kegiatan yang mempunyai
nilai-nilai budaya daerah. Disamping mereka mengenal budaya sendiri akan tetapi
memberi rasa memiliki rasa memiliki dan mencintai kebudayaan tanpa ada rasa
perbedaan antara satu ras dengan yang lain.
Paradigma pendidikan multikultur sangat bermanfaat untuk membangun
kohesifitas, solidaritas dan intimitas di antara keragaman etnik, ras, agama,
budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan
spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada
peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain.
Penerapan pendidikan multikultur dengan cara kurikulum tersembunyi
(hidden curiculum) pada mata pelajaran tertentu. Dalam implementasinya,
paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip
berikut ini:
1. Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang
merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
2. Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada
penafsiran yang tunggal terhadap kebenaran sejarah.
3. Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan
sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
4. Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam
memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di pendidikan formal
sangat penting di terapkan di Kalimantan Barat karena di daerah ini banyak sekali
bahasa sehari-hari yang digunakan sebagai langkah untuk mencegah perbedaan
antara etnis tertentu.
Pendidikan multikultural harus bisa memfasilitasi proses belajar mengajar
yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan
diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan
perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini
menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif belaka.
Implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, diharapkan akan
membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda
suku, budaya dan nilai kepribadian. Sehingga konflik etnis yang terus melanda di
Kalimantan Barat dapat diredam dengan lahirnya generasi baru yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kesatuan dan keutuhan bangsa ini.
Adapun dampak yang ditimbulkan dengan adanya implementasi pendidikan
multikultur terhadap konflik etnis di Kalimantan Barat , maka dapat dirumuskan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Daerah Kalimantan Barat sangatlah rawan terhadap konflik sehingga
pentingnya suatu pendidikan multikultur yang berbasis lokal tanpa
mengurangi nilai-nilai dan tujuan pendidikan inasional.
2. Menerapan pendidikan multikultur untuk meredam konflik sangat
berrmanfaat dalam menumbukan generasi baru yang lebih menjunjung
nilai-nilai dan rasa kesatuan dalam kehidupan bhineka tunggal ika.

3. Sudah seharusnya pendidikan multikultur di ajarkan tidak hanya di
lingkungan formal akan tetapi ruang lingkungan memiliki pengaruh yang
sangat penting untuk membentuk karakter yang saling menghargai.
4. Pada lingkungan formal pendidikan multikultur dapat diimplementasikan
melalui kurikulum tersembunyi (hidden curicculum) dimana nilai-nilai
budaya daerah di ajarkan juga bersamaan pada kurikulum pendidikan
nasional.
Dalam terlaksananya pendidikan multikultur sudah seharusnya didukung
oleh beberapa aspek, yakni :
Perlu adanya koordinasi antara pemerintah dan masyarakat dalam
menyelesaikan konflik etnis di Kalimantan Barat.
2. Meninjau sejarah konflik etnis di Kalimantan Barat sehingga perlunya
peran dinas terkait untuk menerapkan pendidikan multikultur di
Kalimantan Barat saat ini.

1.

DAFTAR PUSTAKA
Banks, J.A (1993). Multicultural Education: Historical Development, Dimension,
and Practice. Review of Research in Education. vol. 19, edited by L.
Darling- Hammond. Washington, D.C.: American Educational Research
Association.
DEPAG RI dan IRD, Majalah: Inovasi Kurikulum: Kurikulum Berbasis
Multikulturalism, Edisi IV, Tahun 2003.
Ihromi. (1996). Pokok - pokok antropologi budaya. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Koentjaningrat. (1982). Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jogjakarta:
Djambatan.
Koentjaningrat. (1974). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia.
Kuper, Adam & Jessica Kuper. (2000). Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Paul Gorski, Six Critical Paradigm Shiifd For Multicultural Education and
The
Question
We
Should
Be Asking.
(online).
www.
Edchange.org/multicultural diakses Mei 2013).
Soedijarto. (2000). Pendidikan Nasional sebagai Wahana mencerdaskan
kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa.
Jakarta: CINAPS.
Stavenhagen, Rudolfo (1996). "Education for a Multikultural world", in
Jasque Delors (et all), Learning: the treasure within. Paris: UNESCO.
Sumarjo, Endro, dkk. (2000). Rekonstruksi Sosial di Sambas. Jakarta: Kerja
sama antara Sekretariat DP-KTI dengan Biro Perencanaan, Depdiknas
Tilaar, H. A. R, (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar
Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan
Nasional.
Zubaidi. (2005). Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar.