Makalah Sejarah Perkembangan and Aliran (1)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai satu kegiatan intelektual yang tidak boleh lepas dari tuntunan wahyu, ijtihad [1] memerlukan
perangkat kaidah atau metode, metode inilah yang kemudian di kenal dengan Ushul Fiqh. Meskipun
Ushul Fiqh sebagai satu disiplin ilmu baru tersusun secara sistematis pada abad kedua, namun dalam
peraktiknya ia telah tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya hukum fiqh
sebagai produk ijtihad. Para Fuqoha kalangan sahabat, seperti Ibnu Mashud, Ali Bin Abi Thallib, dan
Umar Bin Khatthab terkenal di antara orang- orang banyak melakukan ijtihad, yang dapat di pastikan
dalam ber ijtihad bukanya tanpa kaidah yang mengikat. Pada masa tabi’in praktik ijtihad menjadi lebih
luas dengan bnyaknya para tabi’in yang mengkhususkan diri untuk bertaqwa, sejalan dengan banyaknya
permasalahan yang harus di jawab. Mereka adalah murid- murid para sahabat dalam ilmu fiqh. Di
samping menyebarkan fatwa- fatwa sahabat panutanya, sesekali mereka yang di kirim ke berbagai daerah
itu juga mengadakan terobosan baru sesuai dengan tuntunan masyarakat di tempat masing- masing.
Penduduk Khufah yang sudah banyak mengenal kebudayaan dan peradaban itu, membuat para ahli fiqh
nya sering di hadapkan pada berbagai kasus yang beraneka ragam.
Untuk menjawab tantangan ini, mereka memperluas dan meningkatkan kegiatan ijtihad. Itu bukan
berarti mereka mengabaikan hadist. Hadist, bahkan Hadist Ahad [2] tetap mereka pegang sebagai sumber
hukum meskipun dengan seleksi yang ekstra ketat.Akibatnya jumlah hadist yang mereka anggap valid
menjadi lebih terbatas. Dengan mengecilnya jumlah hadist yang mereka pakai, peranan ijtihad menjadi
lebih besar. Beda dengan itu kondisi social di Hijaz yang belum banyak berhubungan dengan budaya luar.
Untuk menjawab permasalahan yang muncul. Hampir di rasa cukup dengan merujuk kepada teks- teks
Al- Qur’an, sunnah dan ijma [3] sahabat. Dengan demikian kebutuhan kepada ijtihad relative lebih kecil
di banding di Iraq. Dalam tulisan ini kita tidak bermaksud berbicara panjang lebar tentang bentuk masingmasing aliran tersebut. Yang hendak kita kemukakkan adalah, bahwa Ushul Fiqh masing- masing aliran
semakin jelas, sejalan dengan perkembangan ijtihad, baik dalam bentuk memahami sebagian teks- teks
ayat dan sunnah yang menurut tabiatnya tidak cepat dapat di tangkap pengertianya, maupun dalam
memecahkan masalah yang hukumya tidak terdapat dalam teks- teks dua sumber utama tersebut. [4]
B. Rumusan Masalah
Beberapa pokok permasalahan yang telah berhasil mengkonsepsikan persendian ide makalah ini,
antara lain seperti berikut:
a) Bagaimana perjalanan sejarah (Periodesasi) Ushul Fiqh?
b) Bagaimana Ushul Fiqh dibukukan?
c) Apa saja aliran-aliran Ushul Fiqh?
C. Tujuan Penulisan
1 Ijtihad: adalah memberikan segala kesanggupan (daya fikir) untuk memetik sesuatu hukum syara’ dari kitabullah dan sunah
Rasul. Kalau ijtihad itu dari pengertian nash, maka hasil ijtihad itu dikatakan qiyas atau ra’yu. Lebih lanjut di kamus fiqh dalam
dalam buku karangan M. Hasbiash Shiddieq, pengantar Ilmu Fiqh, hal 207.
2 Hadist Ahad: Adalah hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Oleh sejumlah orang yang tidak sampai pada batas
mutawattir dalam tiga masa. Lebih lanjut lihat dalam Drs. Chaerul Umam, Dkk, Ushul Fiqh 1,( Bandung: CV PUSTAKA SETIA,
2000).h. 69.
3 Ijma’: pengertian ijma’ secara etimologi ada 2 macam, yaitu: 1. Ijma berarti kesapakatan atau konsesus, 2. Ijma berarti tekad
atau niat., Sedangkan secara terminology Imam Al- Ghazali merumuskan: ijma adalah “Kesepakatan umat Nabi Muhammad SAW
secara khusus tentang suatu masalah agama”. Yaitu seluruh umat islam ,termasuk orang awam. Lebih detailnya lihat di dalam,
Ibid .h. 73- 74 dan Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997).h112- 115
4 Murtadha Muthahhari & M. Baqir Ash- Shadr, Pengantar Ushul Fiqh,(Ciputat: Pustaka Hidayah, 1993). H. 11-12.
Setelah tersetel pokok rumusan masalah di atas, penulis berhasil merumuskan kerangka tujuan
penulisan. Selain juga sebagai kewajiban tugas yang harus diselesaikan dengan profesional, juga sebagai
berikut:
a) Memberikan bantuan informasi tentang sejarah lahirnya (ilmu) ushul fiqh
b) Memberikan bantuan informasi tentang prosesi pembukuan (ilmu) ushul fiqh
c) Memberikan bantuan informasi tentang macam-macam aliran ushul fiqh
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh
1. Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan
a) Ushul Fiqh Masa Rasulullah saw.
Ushul fiqh baru lahir pada abad kedua hijriah. Pada abad ini daerah kekuasaan umat Islam
semakin luas dan banyak orang yang bukan arab memeluk agama Islam. Karena itu banyak
menimbulkan kesamaran dalam memahami nash, sehingga dirasa perlu menetapkan kaidah-kaidah
bahasa yang dipergunakan dalam membahas nash, maka lahirlah ilmu ushul fiqh, yang menjadi
penuntun dalam memahami nash.[5]
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih dahulu dibandingkan ushul fiqh
sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Kalau ada yang bertanya: “Dahulu mana ushul fiqh
dan fiqh?” tentu tidak mudah menjawabnya. Pertanyaan demikian sama dengan pertanyaan
mengenai mana yang lebih dahulu: ayam atau telor.
Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasannya
adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh merupakan bangunan yang didirikan
di atas pondasi. Karena itulah sudah tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh.[6] Kesimpulannya, tentu
harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.
Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan hukum secara
umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat, misalnya dihadapkan
terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat al-Qur’an atau mencari jawaban dari Rasulullah
saw., maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan
bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari al-Qur’an atau bertanya kepada Rasulullah saw.
Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu.
Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan
lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh.
Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah saw.
sendiri. Rasulullah saw. dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada
pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa
persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari.
Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian,
kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu
bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air
pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya
lalu mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak
mengulang, Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.”
Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah saw. menyatakan: “Bagimu dua
pahala.”
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika menemukan
air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan
demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah saw.
membenarkan hasil ijtihad dua sahabat tersebut.
b) Ushul Fiqh Masa Sahabat
5 A. Syafi’i Karim, Fiqh Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 45-46.
6 Muhammad Sa‘id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha (Beirut: Muassassah al-Risalah,
1994) 122-123.
Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah
saw. kepada masa Rasulullah saw. tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah saw.
masih hidup, sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu al-Qur’an,
sunnah, dan ra’yu (nalar).
Meninggalnya Rasulullah saw. memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasuskasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan
fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di
antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibn Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan
Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah saw.
sendiri. [7]
Periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya para
sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang mereka
gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusanrumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang. [8]
Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, para sahabat telah
mempraktikkan ijma’, qiyas, dan istishlah (maslahah mursalah) bilamana hukum suatu masalah
tidak ditemukan secara tertulus dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. [9] Pertama, khalifah biasa
melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum.
Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan
musyawarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan
kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang di kemudian hari diakui oleh
sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma’ yang
paling bisa diterima.
Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah.
Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk
menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah saw. Qiyas dilakukan
dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian
hukumnya disamakan.
Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal
sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam
pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahah tersebut dapat dilihat dalam
pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majlis dipandang
sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan di waktu paceklik, penggunaan
pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya.
Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh al-Qur’an
dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus pemahaman ayat iddah
dalam QS. al-Baqarah 228:
ت ي ةتةةرنب ةنصةن هبأ ةن نفرهسهه نةن ةثةلاةثةة قررروءء
ةوال نرمط ةل ن ةةقا ر
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru'”
Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haid. Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Utsman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di
atas dengan pengertian haid, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibn Umar mengartikannya
dengan suci. [10] Itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah saw., ushul fiqh pada era sahabat masih belum
menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumentasi untuk
mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan
7 Thaha Jabir Alwani, Source Methodology in Islamic Jurisprudence (Virginia: IIIT, 1994), 19.
8 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hal. 21.
9 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media, 2005), 17.
10 Musthafa Sa‘id al-Khinn. Atsar, 72.
sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih
bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakukan sahabat masih
terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai
kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi. [11]
c) Ushul Fiqh Masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada
sahabat. Pada masa tabi’in, metode istinbath menjadi semakin jelas dan meluas disebabkan
bertambah luasnya daerah Islam, sehingga banyak permasalahan baru yang muncul. Banyak para
tabi’in hasil didikan para sahabat yang mengkhususkan diri untuk berfatwa dan berijtihad, antara
lain Sa’id ibn al-Musayyab di Madinah dan Alqamah ibn al-Qays serta Ibrahim al-Nakha’i di Irak.
[12]
Metode istinbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istinbath sahabat. Hanya saja
pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting, yaitu:
1. Pemalsuan hadits
2. Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Irak (ahl al-ra’yi) dan
kelompok Madinah (ahl al-hadits).
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas disertai dengan
perbedaan kelompok ahli hukum (fuqaha) berdasarkan wilayah geografis.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga
menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan
tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Al-Qur’an dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan
rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ahl al madinah, fatwa ash shahabi, qiyas,
dan maslahah mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat. [13]
Masa tabi’in banyak yang melakukan istinbath dengan berbagai sudut pandang dan akhirnya
juga mempengarhi konsekuensi hukum dari suatu masalah. Contohnya; ulama fiqh Irak lebih
dikenal dengan penggunaan ar ra’yu, dalam setiap kasus yang dihadapi mereka mencari illatnya,
sehingga dengan illat ini mereka dapat menyamakan hukum kasus yang dihadapi dengan kasus
yang sudah ada nashnya. Adapun para ulama Madinah banyak menggunakan hadits-hadits
Rasulullah SAW, karena mereka dengan mudah melacak sunnah Rasulullah di daerah tersebut.
Disinilah awal perbedaan dalam mengistinbathkan hukum dikalangan ulama fiqh. Akibatnya,
muncul tiga kelompok ulama’, yaitu Madrasah al-Iraq, Madrasah Al-Kufah, Madrasah AlMadinah. [14] Pada perkembangan selanjutnya madrasah al-iraq dan madrasah al-kufah dikenal
dengan sebutan madrasah al-ra’yi, sedangkan madrasah al-Madinah dikenal dengan sebutan
madrasah al- hadits.
d) Ushul Fiqh Masa Imam-imam Mujtahid Sebelum Imam Syafi’i
Imam Abu Hanifah an-Nu’man, pendiri madzhab Hanafi menjelaskan dasar-dasar istinbath-nya
yaitu, berpegang kepada Kitabullah, jika tidak ditemukan di dalamnya, ia berpegang pada Sunnah
Rasulullah. Jika tidak didapati di dalamnya ia berpegang kepada pendapat yang disepakati para
sahabat. Jika mereka berbeda pendapat, ia akan memilih salah satu dari pendapat-pendapat itu dan
tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi pendapat sahabat. Dalam melakukan ijtihad, Abu
Hanifah terkenal banyak melakukan qiyas dan istihsan.
11 Muhammad al-Khudlary, Tarikh Tasyri’ al-Islamy (Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt), 114.
12 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, 17-18.
13 Abd. Rahman Dahlan, Op.Cit, 23.
14 Muhammad Ma’ruf Al-Dawalibi, Al-Madkhal ila ilm al-ushul al-Fiqh (Damaskus: Universitas Damaskus, Cet. II, 1959), hal. 93
Demikian pula Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, dalam berijtihad mempunyai
metode yang cukup jelas, seperti tergambar dalam sikapnya dalam mempertahankan praktik
penduduk Madinah sebagai sumber hukum. [15]
Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat menghargai amal orang-orang Madinah. Ketika
ada hadits Rasulullah saw. diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang
tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli Madinah, amal ahli
Madinah lah yang dipergunakan. Alasannya adalah bahwa amalan orang Madinah adalah
peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan mendapatkan petunjuk dari Rasulullah saw.
Amalan orang Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali sahabat yang tidak mungkin menyalahi
ajaran Rasulullah saw., yang selama sepuluh tahun hidup di Madinah.
Oleh karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam orang Mesir,
yang isinya mengajak Imam Laits untuk mempergunakan amalan orang Madinah. Akan tetapi
tawaran tersebut ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih setuju mengutamakan hadits, meskipun
hadits itu ahad.
Orang Irak, khususnya Imam Abu Hanifah mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas,
meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar hukum Islam. Penggunaan
istihsan oleh Imam Abu Hanifah tersebut ditentang ulama lain dan dipandang sebagai pemecahan
hukum berdasarkan hawa nafsu. Orang-orang Irak juga dikritik karena mempergunakan ra’yu
secara berlebihan. Sementara itu, bagi orang Irak mempergunakan petunjuk umum ayat dan ra’yu
lebih dirasa memadai dibandingkan mempergunakan riwayat dari Rasulullah saw., tetapi riwayat
tersebut tidak meyakinkan kesahihannya.
2. Pembukuan Ushul Fiqh
Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H204 H) tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi, dan membukukan Ushul Fiqh. Imam Syafi’i
banyak mengetahui tentang metodologi istinbath para imam mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, dan metode istinbath para sahabat, serta mengetahui di mana kelemahan dan
keunggulannya.
Imam Syafi’i menyusun sebuah buku yang diberinya judul al-Kitab dan kemudian dikenal dengan
sebutan al-Risalah yang berarti sepucuk surat. Dikenal demikian karena buku itu pada mulanya
merupakan lembaran-lembaran surat yang dikirimkan kepada Abdurrahman al-Mahdi (w. 198 H),
seorang pembesar dan ahli hadits ketika itu. Munculnya buku al-Risalah merupakan fase awal dari
perkembangan ushul fiqh sebagai satu disiplin ilmu.
Kandungan kitab al-risalah ini pada masa sesudah Imam Syafi’i menjadi bahan pembahasan para
ulama ushul fiqh secara luas. Pembahasan mereka ada yang berbentuk mensyarh (menjelaskan) secara
luas apa yang dikemukakan oleh imam Syafi’i dalam kitabnya itu, tanpa mengubah atau mengurangi
dari isi kitabnya itu. Juga ada yang melakukan pembahasan bersifat analisis terhadap pendapat dan
teori Imam Syafi’i, dengan mengemukakan aspek-aspek kekuatan dan kelemahan teori imam Syafi’i
dan terkadang mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan imam Syafi’i. Misalnya, ulama
Ushul fiqh dari kalangan Hanafi yang mengakui teori-teori Imam Syafi’i akan tetapi mereka
menambahkan metode atau teori lainnya yaitu istihsan dan ‘urf dalam mengistinbathkan hukum.
Disamping itu, ulama ushul fiqh malikiyyah juga melakukan hal yang sama, yaitu; Ijma’ Ahlul
Madinah (kesepakatan penduduk madinah). [16]
B. Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh
Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak berhenti, melainkan
berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal.
Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin
15 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, 18.
16 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos, 1996), hal. 10
(Syafi’iyyah) dan aliran fuqaha (Aliran Hanafiyah). Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga
aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut bisa
dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak lahir dari kalangan
Syafi’iyyah. Aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalahmasalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan
yang kuat, baik dari dalil naqli, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan madzhab, sehingga adakalanya
kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap
permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah.
Dalam aliran ini, mereka mempelajari ilmu ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu yang terlepas dari
pengaruh madzhab atau furu’, faktornya karena [17]:
Imam Syafi’i sendiri yang menetapkan bahwa dasar-dasar tasyri’ itu memang terlepas dari
pengaruh furu’.
Mereka berkeinginan untuk mewujudkan pembentukan kaidah-kaidah atas dasar-dasar yang kuat,
tanpa terikat dengan furu’ atau madzhab.
Mereka membuat penguat kaidah-kaidah yang telah dibuatnya dengan menggunakan berbagai
macam dalil, tanpa menghiraukan apakah kaidah tersebut memperkuat madzhab atau
melemahkannya.
Aliran Mutakakallimin lebih berorienntasi kepada hal-hal berikut, yakni; [18]
Analisis kasus-kasus
Formulasi kaidah-kaidah hukum (al-qawa’id)
Aplikasi qiyas yang disertai penalaran rasio sejauh mungkin
Mengkonstruksi isu-isu fundamental teori hukum tanpa terikat dengan fakta hukum yang kasuistis
dan pikiran hukum madzhab fiqh yang ada.
Semua pemikiran mereka, dapat dilihat dari hasil karya mereka, dalam bentuk tiga kitab, yang
kemudian dikenal dengan sebutan al-Arkan al-Tsalatsah yaitu sebagai berikut:
Kitab al-Mu’tamad, karya Abu Husain Muhammad ibn ‘Ali al-Bashriy (w. 412 H).
Kitab al-Burhan, karya al-Imam al-Haramain (w. 474 H).
Kitab al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, karya al-Ghazali (w. 500 H).
Al Mahsul karya fakhr al-Din Muhammad bin Umar al- Razi al-Syafi’i (w. 606 H). Kitab ini
diringkas oleh dua orang dengan judul;
Al-Hasil oleh Taj al-Din Muhammad bin Hasan al-Armawi (w. 656 H).
Al- Tahsil oleh Mahmud bin Abu Bakar Al-Armawi (w. 672 H). [19]
2. Aliran Fuqaha
Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama madzhab Hanafi.
Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh.
Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah
dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh. [20]
Di antara kitab-kitab standar dalam aliran fuqaha ini antara lain: kitab al-Ushul (Imam Abu Hasan
al-Karakhiy), kitab al-Ushul (Abu Bakar al-Jashash), Ushul al-Syarakhsi (Imam al-Syarakhsi),
Ta’shish an-Nadzar (Imam Abu Zaid al-Dabusi), dan al-Kasyaf al-Asrar (Imam al-Bazdawi).
3. Aliran Gabungan
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin
dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke
17 Muhammad Ma’shum Zein, Ilmu Ushul Fiqh (Jombang: Darul Hikmah, 2008), 39.
18 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011), 8.
19 Masykur Anhari, Ushul Fiqh (Surabaya: Diantama, 2008), hal. 10
20 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, 25.
dalam realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas
dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.
Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah. Dari
kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-Jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang
merupakan gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Kitab
tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi. Ada pula kitab Tanqih Ushul karya
Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul karya Imam alRazi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib, dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia
syarah sendiri dengan judul karya Shadr al-Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih
karya Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii dan Jami’ al-Jawami’ karya Taj al-Din al-Subki al-Syafi’i.
Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada pula yang memasukkan
Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul dan aliran khusus sebagai aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran Takhrij
al-Furu’ ‘ala al-Ushul dipandang berwujud berdasarkan dua kitab yang secara jelas menyebut istilah
tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’ ‘ala
al-Ushul karya al-Zanjani al-Hanafi. Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu
pokok bahasan ushul fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah
sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur
dalam Maqashid al-Syariah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu ushul fiqh dilihat dari sejarah dan perkembangannya, maka dapat dibagi secara umum menjadi
dua; yakni ushul fiqh sebelum pembukuan dan pembukuan ushul fiqh. Ushul fiqh sebelum pembukuan
dimulai dari masa Rasulullah SAW dilanjutkan generasi Sahabat, generasi Tabi’in, generasi imam
mujtahid sebelum Imam Syafi’i.
Pada Masa Rasululah SAW sendiri ushul fiqh sudah terbukti dengan peristiwa yang dialami oleh dua
sahabat sedang bepergian lalu tiba waktu shalat, lalu mereka hendak mengerjakan shalat akan tetapi tidak
ada air. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka
menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak.
Keduanya lalu mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak
mengulang, Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada
orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah saw. menyatakan: “Bagimu dua pahala.”
Pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda
pandangan dan berargumentasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum
mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang
dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang
dilakukan sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang
muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga
menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi,
dalam pada itu, selain merujuk Al-Qur’an dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum
yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ahl al madinah, fatwa ash shahabi, qiyas, dan maslahah
mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
Selanjutnya, pada masa Imam Mujtahid sebelum Imam Syaf’i adalah seperti pada masa Imam Malik
dengan alirannya (malikiyyah), dan Imam Hanafi dengan alirannya (hanafiyyah). Imam maliki
mempunyai metode ijtihad yang cukup jelas, seperti mempertahankan praktih penduduk madinah sebagai
sumber hukum. Sedangkan imam hanafi menjelaskan dasar-dasar istinbatnya yakni; berpegang kepada
Kitabullah, jika tidak ditemukan di dalamnya, ia berpegang pada Sunnah Rasulullah. Jika tidak didapati di
dalamnya ia berpegang kepada pendapat yang disepakati para sahabat. Jika mereka berbeda pendapat, ia
akan memilih salah satu dari pendapat-pendapat itu dan tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi
pendapat sahabat. Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah terkenal banyak melakukan qiyas dan istihsan.
Selanjutnya masa pembukuan ushul fiqh yakni pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga,
Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H-204 H) tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi,
dan membukukan Ushul Fiqh. Imam Syafi’i banyak mengetahui tentang metodologi istinbath para imam
mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan metode istinbath para sahabat, serta
mengetahui di mana kelemahan dan keunggulannya.
Aliran dalam ushul fiqh terbagi menjadi tiga, yakni; aliran mutakallimin (Syafi’iyyah), aliran fuqaha’
(hanafiyyah), dan aliran gabungan.
Aliran Mutakallimin; aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh
masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan
alasan yang kuat, baik dari dalil naqli, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan madzhab, sehingga
adakalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap
permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah.
Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama madzhab Hanafi.
Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh.
Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah
dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan
Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam
realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan
ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya dan itu dikatakan sebagai aliran gabungan.
B. Saran
Demikianlah makalah tentang Rukun dan Syarat sah pernikahan yang telah kami paparkan. Kami
menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami
harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi
pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khudlary, Muhammad, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt.
Alwani, Thaha Jabir, Source Methodology in Islamic Jurisprudence, Virginia: IIIT, 1994.
Anhari, Masykur, Ushul Fiqh, Surabaya: Diantama, 2008.
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011.
Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011.
Effendi, Satria dan M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos, 1996.
Karim, A. Syafi’i, Fiqh Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Ma’ruf Al-Dawalibi, Muhammad, Al-Madkhal ila ilm al-ushul al-Fiqh, Damaskus: Universitas Damaskus,
Cet. II, 1959.
Ma’shum Zein, Muhammad , Ilmu Ushul Fiqh, Jombang: Darul Hikmah, 2008.
Sa‘id al-Khin, Muhammad, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha, Beirut:
Muassassah al-Risalah, 1994.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai satu kegiatan intelektual yang tidak boleh lepas dari tuntunan wahyu, ijtihad [1] memerlukan
perangkat kaidah atau metode, metode inilah yang kemudian di kenal dengan Ushul Fiqh. Meskipun
Ushul Fiqh sebagai satu disiplin ilmu baru tersusun secara sistematis pada abad kedua, namun dalam
peraktiknya ia telah tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya hukum fiqh
sebagai produk ijtihad. Para Fuqoha kalangan sahabat, seperti Ibnu Mashud, Ali Bin Abi Thallib, dan
Umar Bin Khatthab terkenal di antara orang- orang banyak melakukan ijtihad, yang dapat di pastikan
dalam ber ijtihad bukanya tanpa kaidah yang mengikat. Pada masa tabi’in praktik ijtihad menjadi lebih
luas dengan bnyaknya para tabi’in yang mengkhususkan diri untuk bertaqwa, sejalan dengan banyaknya
permasalahan yang harus di jawab. Mereka adalah murid- murid para sahabat dalam ilmu fiqh. Di
samping menyebarkan fatwa- fatwa sahabat panutanya, sesekali mereka yang di kirim ke berbagai daerah
itu juga mengadakan terobosan baru sesuai dengan tuntunan masyarakat di tempat masing- masing.
Penduduk Khufah yang sudah banyak mengenal kebudayaan dan peradaban itu, membuat para ahli fiqh
nya sering di hadapkan pada berbagai kasus yang beraneka ragam.
Untuk menjawab tantangan ini, mereka memperluas dan meningkatkan kegiatan ijtihad. Itu bukan
berarti mereka mengabaikan hadist. Hadist, bahkan Hadist Ahad [2] tetap mereka pegang sebagai sumber
hukum meskipun dengan seleksi yang ekstra ketat.Akibatnya jumlah hadist yang mereka anggap valid
menjadi lebih terbatas. Dengan mengecilnya jumlah hadist yang mereka pakai, peranan ijtihad menjadi
lebih besar. Beda dengan itu kondisi social di Hijaz yang belum banyak berhubungan dengan budaya luar.
Untuk menjawab permasalahan yang muncul. Hampir di rasa cukup dengan merujuk kepada teks- teks
Al- Qur’an, sunnah dan ijma [3] sahabat. Dengan demikian kebutuhan kepada ijtihad relative lebih kecil
di banding di Iraq. Dalam tulisan ini kita tidak bermaksud berbicara panjang lebar tentang bentuk masingmasing aliran tersebut. Yang hendak kita kemukakkan adalah, bahwa Ushul Fiqh masing- masing aliran
semakin jelas, sejalan dengan perkembangan ijtihad, baik dalam bentuk memahami sebagian teks- teks
ayat dan sunnah yang menurut tabiatnya tidak cepat dapat di tangkap pengertianya, maupun dalam
memecahkan masalah yang hukumya tidak terdapat dalam teks- teks dua sumber utama tersebut. [4]
B. Rumusan Masalah
Beberapa pokok permasalahan yang telah berhasil mengkonsepsikan persendian ide makalah ini,
antara lain seperti berikut:
a) Bagaimana perjalanan sejarah (Periodesasi) Ushul Fiqh?
b) Bagaimana Ushul Fiqh dibukukan?
c) Apa saja aliran-aliran Ushul Fiqh?
C. Tujuan Penulisan
1 Ijtihad: adalah memberikan segala kesanggupan (daya fikir) untuk memetik sesuatu hukum syara’ dari kitabullah dan sunah
Rasul. Kalau ijtihad itu dari pengertian nash, maka hasil ijtihad itu dikatakan qiyas atau ra’yu. Lebih lanjut di kamus fiqh dalam
dalam buku karangan M. Hasbiash Shiddieq, pengantar Ilmu Fiqh, hal 207.
2 Hadist Ahad: Adalah hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Oleh sejumlah orang yang tidak sampai pada batas
mutawattir dalam tiga masa. Lebih lanjut lihat dalam Drs. Chaerul Umam, Dkk, Ushul Fiqh 1,( Bandung: CV PUSTAKA SETIA,
2000).h. 69.
3 Ijma’: pengertian ijma’ secara etimologi ada 2 macam, yaitu: 1. Ijma berarti kesapakatan atau konsesus, 2. Ijma berarti tekad
atau niat., Sedangkan secara terminology Imam Al- Ghazali merumuskan: ijma adalah “Kesepakatan umat Nabi Muhammad SAW
secara khusus tentang suatu masalah agama”. Yaitu seluruh umat islam ,termasuk orang awam. Lebih detailnya lihat di dalam,
Ibid .h. 73- 74 dan Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997).h112- 115
4 Murtadha Muthahhari & M. Baqir Ash- Shadr, Pengantar Ushul Fiqh,(Ciputat: Pustaka Hidayah, 1993). H. 11-12.
Setelah tersetel pokok rumusan masalah di atas, penulis berhasil merumuskan kerangka tujuan
penulisan. Selain juga sebagai kewajiban tugas yang harus diselesaikan dengan profesional, juga sebagai
berikut:
a) Memberikan bantuan informasi tentang sejarah lahirnya (ilmu) ushul fiqh
b) Memberikan bantuan informasi tentang prosesi pembukuan (ilmu) ushul fiqh
c) Memberikan bantuan informasi tentang macam-macam aliran ushul fiqh
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh
1. Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan
a) Ushul Fiqh Masa Rasulullah saw.
Ushul fiqh baru lahir pada abad kedua hijriah. Pada abad ini daerah kekuasaan umat Islam
semakin luas dan banyak orang yang bukan arab memeluk agama Islam. Karena itu banyak
menimbulkan kesamaran dalam memahami nash, sehingga dirasa perlu menetapkan kaidah-kaidah
bahasa yang dipergunakan dalam membahas nash, maka lahirlah ilmu ushul fiqh, yang menjadi
penuntun dalam memahami nash.[5]
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih dahulu dibandingkan ushul fiqh
sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Kalau ada yang bertanya: “Dahulu mana ushul fiqh
dan fiqh?” tentu tidak mudah menjawabnya. Pertanyaan demikian sama dengan pertanyaan
mengenai mana yang lebih dahulu: ayam atau telor.
Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasannya
adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh merupakan bangunan yang didirikan
di atas pondasi. Karena itulah sudah tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh.[6] Kesimpulannya, tentu
harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.
Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan hukum secara
umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat, misalnya dihadapkan
terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat al-Qur’an atau mencari jawaban dari Rasulullah
saw., maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan
bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari al-Qur’an atau bertanya kepada Rasulullah saw.
Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu.
Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan
lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh.
Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah saw.
sendiri. Rasulullah saw. dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada
pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa
persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari.
Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian,
kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu
bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air
pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya
lalu mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak
mengulang, Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.”
Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah saw. menyatakan: “Bagimu dua
pahala.”
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika menemukan
air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan
demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah saw.
membenarkan hasil ijtihad dua sahabat tersebut.
b) Ushul Fiqh Masa Sahabat
5 A. Syafi’i Karim, Fiqh Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 45-46.
6 Muhammad Sa‘id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha (Beirut: Muassassah al-Risalah,
1994) 122-123.
Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah
saw. kepada masa Rasulullah saw. tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah saw.
masih hidup, sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu al-Qur’an,
sunnah, dan ra’yu (nalar).
Meninggalnya Rasulullah saw. memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasuskasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan
fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di
antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibn Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan
Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah saw.
sendiri. [7]
Periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya para
sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang mereka
gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusanrumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang. [8]
Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, para sahabat telah
mempraktikkan ijma’, qiyas, dan istishlah (maslahah mursalah) bilamana hukum suatu masalah
tidak ditemukan secara tertulus dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. [9] Pertama, khalifah biasa
melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum.
Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan
musyawarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan
kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang di kemudian hari diakui oleh
sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma’ yang
paling bisa diterima.
Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah.
Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk
menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah saw. Qiyas dilakukan
dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian
hukumnya disamakan.
Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal
sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam
pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahah tersebut dapat dilihat dalam
pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majlis dipandang
sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan di waktu paceklik, penggunaan
pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya.
Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh al-Qur’an
dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus pemahaman ayat iddah
dalam QS. al-Baqarah 228:
ت ي ةتةةرنب ةنصةن هبأ ةن نفرهسهه نةن ةثةلاةثةة قررروءء
ةوال نرمط ةل ن ةةقا ر
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru'”
Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haid. Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Utsman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di
atas dengan pengertian haid, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibn Umar mengartikannya
dengan suci. [10] Itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah saw., ushul fiqh pada era sahabat masih belum
menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumentasi untuk
mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan
7 Thaha Jabir Alwani, Source Methodology in Islamic Jurisprudence (Virginia: IIIT, 1994), 19.
8 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hal. 21.
9 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media, 2005), 17.
10 Musthafa Sa‘id al-Khinn. Atsar, 72.
sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih
bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakukan sahabat masih
terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai
kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi. [11]
c) Ushul Fiqh Masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada
sahabat. Pada masa tabi’in, metode istinbath menjadi semakin jelas dan meluas disebabkan
bertambah luasnya daerah Islam, sehingga banyak permasalahan baru yang muncul. Banyak para
tabi’in hasil didikan para sahabat yang mengkhususkan diri untuk berfatwa dan berijtihad, antara
lain Sa’id ibn al-Musayyab di Madinah dan Alqamah ibn al-Qays serta Ibrahim al-Nakha’i di Irak.
[12]
Metode istinbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istinbath sahabat. Hanya saja
pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting, yaitu:
1. Pemalsuan hadits
2. Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Irak (ahl al-ra’yi) dan
kelompok Madinah (ahl al-hadits).
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas disertai dengan
perbedaan kelompok ahli hukum (fuqaha) berdasarkan wilayah geografis.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga
menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan
tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Al-Qur’an dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan
rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ahl al madinah, fatwa ash shahabi, qiyas,
dan maslahah mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat. [13]
Masa tabi’in banyak yang melakukan istinbath dengan berbagai sudut pandang dan akhirnya
juga mempengarhi konsekuensi hukum dari suatu masalah. Contohnya; ulama fiqh Irak lebih
dikenal dengan penggunaan ar ra’yu, dalam setiap kasus yang dihadapi mereka mencari illatnya,
sehingga dengan illat ini mereka dapat menyamakan hukum kasus yang dihadapi dengan kasus
yang sudah ada nashnya. Adapun para ulama Madinah banyak menggunakan hadits-hadits
Rasulullah SAW, karena mereka dengan mudah melacak sunnah Rasulullah di daerah tersebut.
Disinilah awal perbedaan dalam mengistinbathkan hukum dikalangan ulama fiqh. Akibatnya,
muncul tiga kelompok ulama’, yaitu Madrasah al-Iraq, Madrasah Al-Kufah, Madrasah AlMadinah. [14] Pada perkembangan selanjutnya madrasah al-iraq dan madrasah al-kufah dikenal
dengan sebutan madrasah al-ra’yi, sedangkan madrasah al-Madinah dikenal dengan sebutan
madrasah al- hadits.
d) Ushul Fiqh Masa Imam-imam Mujtahid Sebelum Imam Syafi’i
Imam Abu Hanifah an-Nu’man, pendiri madzhab Hanafi menjelaskan dasar-dasar istinbath-nya
yaitu, berpegang kepada Kitabullah, jika tidak ditemukan di dalamnya, ia berpegang pada Sunnah
Rasulullah. Jika tidak didapati di dalamnya ia berpegang kepada pendapat yang disepakati para
sahabat. Jika mereka berbeda pendapat, ia akan memilih salah satu dari pendapat-pendapat itu dan
tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi pendapat sahabat. Dalam melakukan ijtihad, Abu
Hanifah terkenal banyak melakukan qiyas dan istihsan.
11 Muhammad al-Khudlary, Tarikh Tasyri’ al-Islamy (Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt), 114.
12 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, 17-18.
13 Abd. Rahman Dahlan, Op.Cit, 23.
14 Muhammad Ma’ruf Al-Dawalibi, Al-Madkhal ila ilm al-ushul al-Fiqh (Damaskus: Universitas Damaskus, Cet. II, 1959), hal. 93
Demikian pula Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, dalam berijtihad mempunyai
metode yang cukup jelas, seperti tergambar dalam sikapnya dalam mempertahankan praktik
penduduk Madinah sebagai sumber hukum. [15]
Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat menghargai amal orang-orang Madinah. Ketika
ada hadits Rasulullah saw. diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang
tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli Madinah, amal ahli
Madinah lah yang dipergunakan. Alasannya adalah bahwa amalan orang Madinah adalah
peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan mendapatkan petunjuk dari Rasulullah saw.
Amalan orang Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali sahabat yang tidak mungkin menyalahi
ajaran Rasulullah saw., yang selama sepuluh tahun hidup di Madinah.
Oleh karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam orang Mesir,
yang isinya mengajak Imam Laits untuk mempergunakan amalan orang Madinah. Akan tetapi
tawaran tersebut ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih setuju mengutamakan hadits, meskipun
hadits itu ahad.
Orang Irak, khususnya Imam Abu Hanifah mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas,
meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar hukum Islam. Penggunaan
istihsan oleh Imam Abu Hanifah tersebut ditentang ulama lain dan dipandang sebagai pemecahan
hukum berdasarkan hawa nafsu. Orang-orang Irak juga dikritik karena mempergunakan ra’yu
secara berlebihan. Sementara itu, bagi orang Irak mempergunakan petunjuk umum ayat dan ra’yu
lebih dirasa memadai dibandingkan mempergunakan riwayat dari Rasulullah saw., tetapi riwayat
tersebut tidak meyakinkan kesahihannya.
2. Pembukuan Ushul Fiqh
Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H204 H) tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi, dan membukukan Ushul Fiqh. Imam Syafi’i
banyak mengetahui tentang metodologi istinbath para imam mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, dan metode istinbath para sahabat, serta mengetahui di mana kelemahan dan
keunggulannya.
Imam Syafi’i menyusun sebuah buku yang diberinya judul al-Kitab dan kemudian dikenal dengan
sebutan al-Risalah yang berarti sepucuk surat. Dikenal demikian karena buku itu pada mulanya
merupakan lembaran-lembaran surat yang dikirimkan kepada Abdurrahman al-Mahdi (w. 198 H),
seorang pembesar dan ahli hadits ketika itu. Munculnya buku al-Risalah merupakan fase awal dari
perkembangan ushul fiqh sebagai satu disiplin ilmu.
Kandungan kitab al-risalah ini pada masa sesudah Imam Syafi’i menjadi bahan pembahasan para
ulama ushul fiqh secara luas. Pembahasan mereka ada yang berbentuk mensyarh (menjelaskan) secara
luas apa yang dikemukakan oleh imam Syafi’i dalam kitabnya itu, tanpa mengubah atau mengurangi
dari isi kitabnya itu. Juga ada yang melakukan pembahasan bersifat analisis terhadap pendapat dan
teori Imam Syafi’i, dengan mengemukakan aspek-aspek kekuatan dan kelemahan teori imam Syafi’i
dan terkadang mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan imam Syafi’i. Misalnya, ulama
Ushul fiqh dari kalangan Hanafi yang mengakui teori-teori Imam Syafi’i akan tetapi mereka
menambahkan metode atau teori lainnya yaitu istihsan dan ‘urf dalam mengistinbathkan hukum.
Disamping itu, ulama ushul fiqh malikiyyah juga melakukan hal yang sama, yaitu; Ijma’ Ahlul
Madinah (kesepakatan penduduk madinah). [16]
B. Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh
Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak berhenti, melainkan
berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal.
Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin
15 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, 18.
16 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos, 1996), hal. 10
(Syafi’iyyah) dan aliran fuqaha (Aliran Hanafiyah). Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga
aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut bisa
dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak lahir dari kalangan
Syafi’iyyah. Aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalahmasalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan
yang kuat, baik dari dalil naqli, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan madzhab, sehingga adakalanya
kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap
permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah.
Dalam aliran ini, mereka mempelajari ilmu ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu yang terlepas dari
pengaruh madzhab atau furu’, faktornya karena [17]:
Imam Syafi’i sendiri yang menetapkan bahwa dasar-dasar tasyri’ itu memang terlepas dari
pengaruh furu’.
Mereka berkeinginan untuk mewujudkan pembentukan kaidah-kaidah atas dasar-dasar yang kuat,
tanpa terikat dengan furu’ atau madzhab.
Mereka membuat penguat kaidah-kaidah yang telah dibuatnya dengan menggunakan berbagai
macam dalil, tanpa menghiraukan apakah kaidah tersebut memperkuat madzhab atau
melemahkannya.
Aliran Mutakakallimin lebih berorienntasi kepada hal-hal berikut, yakni; [18]
Analisis kasus-kasus
Formulasi kaidah-kaidah hukum (al-qawa’id)
Aplikasi qiyas yang disertai penalaran rasio sejauh mungkin
Mengkonstruksi isu-isu fundamental teori hukum tanpa terikat dengan fakta hukum yang kasuistis
dan pikiran hukum madzhab fiqh yang ada.
Semua pemikiran mereka, dapat dilihat dari hasil karya mereka, dalam bentuk tiga kitab, yang
kemudian dikenal dengan sebutan al-Arkan al-Tsalatsah yaitu sebagai berikut:
Kitab al-Mu’tamad, karya Abu Husain Muhammad ibn ‘Ali al-Bashriy (w. 412 H).
Kitab al-Burhan, karya al-Imam al-Haramain (w. 474 H).
Kitab al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, karya al-Ghazali (w. 500 H).
Al Mahsul karya fakhr al-Din Muhammad bin Umar al- Razi al-Syafi’i (w. 606 H). Kitab ini
diringkas oleh dua orang dengan judul;
Al-Hasil oleh Taj al-Din Muhammad bin Hasan al-Armawi (w. 656 H).
Al- Tahsil oleh Mahmud bin Abu Bakar Al-Armawi (w. 672 H). [19]
2. Aliran Fuqaha
Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama madzhab Hanafi.
Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh.
Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah
dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh. [20]
Di antara kitab-kitab standar dalam aliran fuqaha ini antara lain: kitab al-Ushul (Imam Abu Hasan
al-Karakhiy), kitab al-Ushul (Abu Bakar al-Jashash), Ushul al-Syarakhsi (Imam al-Syarakhsi),
Ta’shish an-Nadzar (Imam Abu Zaid al-Dabusi), dan al-Kasyaf al-Asrar (Imam al-Bazdawi).
3. Aliran Gabungan
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin
dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke
17 Muhammad Ma’shum Zein, Ilmu Ushul Fiqh (Jombang: Darul Hikmah, 2008), 39.
18 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011), 8.
19 Masykur Anhari, Ushul Fiqh (Surabaya: Diantama, 2008), hal. 10
20 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, 25.
dalam realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas
dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.
Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah. Dari
kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-Jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang
merupakan gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Kitab
tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi. Ada pula kitab Tanqih Ushul karya
Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul karya Imam alRazi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib, dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia
syarah sendiri dengan judul karya Shadr al-Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih
karya Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii dan Jami’ al-Jawami’ karya Taj al-Din al-Subki al-Syafi’i.
Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada pula yang memasukkan
Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul dan aliran khusus sebagai aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran Takhrij
al-Furu’ ‘ala al-Ushul dipandang berwujud berdasarkan dua kitab yang secara jelas menyebut istilah
tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’ ‘ala
al-Ushul karya al-Zanjani al-Hanafi. Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu
pokok bahasan ushul fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah
sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur
dalam Maqashid al-Syariah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu ushul fiqh dilihat dari sejarah dan perkembangannya, maka dapat dibagi secara umum menjadi
dua; yakni ushul fiqh sebelum pembukuan dan pembukuan ushul fiqh. Ushul fiqh sebelum pembukuan
dimulai dari masa Rasulullah SAW dilanjutkan generasi Sahabat, generasi Tabi’in, generasi imam
mujtahid sebelum Imam Syafi’i.
Pada Masa Rasululah SAW sendiri ushul fiqh sudah terbukti dengan peristiwa yang dialami oleh dua
sahabat sedang bepergian lalu tiba waktu shalat, lalu mereka hendak mengerjakan shalat akan tetapi tidak
ada air. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka
menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak.
Keduanya lalu mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak
mengulang, Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada
orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah saw. menyatakan: “Bagimu dua pahala.”
Pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda
pandangan dan berargumentasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum
mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang
dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang
dilakukan sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang
muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga
menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi,
dalam pada itu, selain merujuk Al-Qur’an dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum
yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ahl al madinah, fatwa ash shahabi, qiyas, dan maslahah
mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
Selanjutnya, pada masa Imam Mujtahid sebelum Imam Syaf’i adalah seperti pada masa Imam Malik
dengan alirannya (malikiyyah), dan Imam Hanafi dengan alirannya (hanafiyyah). Imam maliki
mempunyai metode ijtihad yang cukup jelas, seperti mempertahankan praktih penduduk madinah sebagai
sumber hukum. Sedangkan imam hanafi menjelaskan dasar-dasar istinbatnya yakni; berpegang kepada
Kitabullah, jika tidak ditemukan di dalamnya, ia berpegang pada Sunnah Rasulullah. Jika tidak didapati di
dalamnya ia berpegang kepada pendapat yang disepakati para sahabat. Jika mereka berbeda pendapat, ia
akan memilih salah satu dari pendapat-pendapat itu dan tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi
pendapat sahabat. Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah terkenal banyak melakukan qiyas dan istihsan.
Selanjutnya masa pembukuan ushul fiqh yakni pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga,
Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H-204 H) tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi,
dan membukukan Ushul Fiqh. Imam Syafi’i banyak mengetahui tentang metodologi istinbath para imam
mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan metode istinbath para sahabat, serta
mengetahui di mana kelemahan dan keunggulannya.
Aliran dalam ushul fiqh terbagi menjadi tiga, yakni; aliran mutakallimin (Syafi’iyyah), aliran fuqaha’
(hanafiyyah), dan aliran gabungan.
Aliran Mutakallimin; aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh
masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan
alasan yang kuat, baik dari dalil naqli, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan madzhab, sehingga
adakalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap
permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah.
Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama madzhab Hanafi.
Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh.
Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah
dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan
Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam
realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan
ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya dan itu dikatakan sebagai aliran gabungan.
B. Saran
Demikianlah makalah tentang Rukun dan Syarat sah pernikahan yang telah kami paparkan. Kami
menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami
harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi
pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khudlary, Muhammad, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt.
Alwani, Thaha Jabir, Source Methodology in Islamic Jurisprudence, Virginia: IIIT, 1994.
Anhari, Masykur, Ushul Fiqh, Surabaya: Diantama, 2008.
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011.
Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011.
Effendi, Satria dan M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos, 1996.
Karim, A. Syafi’i, Fiqh Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Ma’ruf Al-Dawalibi, Muhammad, Al-Madkhal ila ilm al-ushul al-Fiqh, Damaskus: Universitas Damaskus,
Cet. II, 1959.
Ma’shum Zein, Muhammad , Ilmu Ushul Fiqh, Jombang: Darul Hikmah, 2008.
Sa‘id al-Khin, Muhammad, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha, Beirut:
Muassassah al-Risalah, 1994.