BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanah Longsor 2.1.1. Pengertian Tanah Longsor - Hubungan Faktor Koordinasi dan Motivasi Kerja Petugas Penanggulangan Bencana terhadap Kesiapsiagaan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanah Longsor

2.1.1. Pengertian Tanah Longsor

  Undang-Undang RI No.24 Tahun 2007, menyatakan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar. (Depkes RI (2007). Tanah longsor adalah salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut.

  Tanah longsor terjadi karena ada gangguan kestabilan pada tanah./batuan penyusun lereng.(Ramli,2010).

2.1.2. Penyebab, Gejala dan Wilayah Rawan Terjadi Tanah Longsor

  Tanah longsor terjadinya disebabkan karena runtuhnya tanah secara tiba-tiba atau pergerakan tanah atau bebatauan dalam jumlah besar secara tiba-tiba atau berangsur yang umumnya terjadi didaerah terjal yang tidak stabil. Faktor lain yang memengaruhi terjadinya bencana ini adalah lereng yang gundul dan bebatuan yang rapuh. Hujan deras adalah pemicu utama terjadinya tanah longsor. Tetapi tanah longsor dapat juga disebabkan oleh gempa atau aktifitas gunung berapi, ulah manusia pun bisa menjadi penyebab tanah longsor, seperti penambangan tanah, pasir, dan batu yang tidak terkendali.

  Menurut Ramli (2010), Proses pemicu longsoran dapat antara lain karena Peningkatan kandungan air dalam lereng, sehingga terjadi akumulasi air yang merenggang ikatan antar butir tanah dan akhirnya mendorong butir-butir tanah untuk longsor, Getaran pada lereng akibat gempa bumi ataupun ledakan, penggalian, getaran alat/kendaraan, Peningkatan beban yang melampaui daya dukung tanah atau kuat geser tanah, Pemotongan kaki lereng secara secara sembarangan yang mengakibatkan lereng kehilangan gaya penyangga. Gejala umum terjadinya tanah longsor meliputi muncul retakan-retakan dilereng yang sejajar dengan arah tebing, Muncul air secara tiba-tiba dari permukaan tanah dilokasi baru, air sumur disekitar lereng menjadi keruh, tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan. wilayah- wilayah yang rawan akan terjadinya tanah longsor meliputi pernah terjadi tanah longsor di daerah tersebut, berada pada daerah yang terjal dan gundul, merupakan daerah aliran air hujan, tanah tebal atau sangat gembur pada lereng yang menerima curah hujan tinggi

2.1.3. Dampak

  Bencana tanah longsor mempunyai dampak terhadap kesehatan diantaranya terjadinya krisis kesehatan, yang menimbulkan : (1) Korban massal; bencana yang terjadi dapat mengakibatkan korban meninggal dunia, patah tulang, luka-luka, trauma dan kecacatan dalam jumlah besar,.

  (2) Pengungsian; pengungsian ini dapat terjadi sebagai akibat dari rusaknya rumah-rumah mereka atau adanya bahaya yang dapat terjadi jika tetap berada dilokasi kejadian. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat resiko dari suatu wilayah atau daerah dimana terjadinya bencana (Depkes RI, 2007).

  Tanah dan material yang berada dilereng dapat runtuh dan mengubur manusia, binatang, rumah, kebun, jalan, dan semua yang berada di jalur longsornya tanah. Kecepatan luncur tanah longsor, terutama pada posisi yang terjal, bisa mencapai 75 kilometer per jam, sulit untuk menyelamatkan diri dari tanah longsor,tanpa pertolongan dari luar.

2.2. Petugas Penanggulangan Bencana Tanah Longsor

  Undang-Undang No. 24 tahun 2004 menyebutkan ada tiga unsur pelaku penyelenggaraan penanggulangan bencana yaitu terdiri unsur pemerintah, masyarakat, dan lembaga asing. Unsur pemerintah mempunyai peran meliputi : pengurangan resiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan, perlindungan masyarakat dari dampak bencana, penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standart pelayanan minimum, pemulihan kondisi dari dampak bencana, pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan dan belanja Negara yang memadai, pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai, pemeliharaan arsip/ dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana. Unsur masyarakat mempunyai peran meliputi : Menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara keseimbangan, keserasian keselarasan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup, melakukan kegiatan penanggulangan bencana, dan memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan bencana. Unsur lembaga asing mempunyai peran meliputi ikut serta dalam kegiatan penanggulangan bencana dan mendapatkan jaminan perlindungan dari pemerintah terhadap para pekerjanya, melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana baik secara sendiri-sendiri, bersama-sama, atau bersama- sama dengan mitra kerja dari Indonesia dengan memperhatikan latar belakang sosial, budaya, dan agama masyarakat setempat.

2.3. Pengurangan Resiko Bencana Tanah Longsor

  Pemerintahan daerah dalam perspektif penyelenggaraan upaya pengurangan resiko bencana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Ini relevan, apabila dikaitkan dengan fungsi pemerintah yaitu memberikan perlindungan kepada masyarakat, termasuk didalamnya melakukan upaya dampak terhadap resiko bencana. Hal ini merupakan amanat 2 (dua) aturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

  Pemerintah daerah sebagai penyelenggara pemerintahan hendaknya memiliki kepekaan dalam mengantisipasi terjadinya bencana, utamanya pada saat sebelum terjadinya bencana yaitu pengurangan resiko bencana yang bertumpu pada 3 (tiga) faktor yaitu pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Ditinjau dari jenis bencana yang terjadi serta dampaknya, situasi dan kondisi kebencaan di negeri kita saat ini cukup mengkhawatirkan. Oleh sebab itu, diperlukan upaya yang serius dari pemerintah daerah untuk melakukan langkah yang konkrit dalam melindungi masyarakatnya apabila terjadi kondisi kedaruratan, karena lokus dari bencana berada pada wilayah kerja pemerintah daerah Kabupaten/Kota, Kecamatan atau Desa/Kelurahan tergantung dari skala dan kriteria bencana yang terjadi.

  Aparat bersama-sama masyarakat dalam rangka membangun kesiapsiagaan menuju terwujudnya budaya siaga bencana melalui rencana aksi daerah dalam pengurangan resiko bencana. Hal ini bertujuan untuk membangun kesamaan gerak dan langkah dalam pengurangan resiko bencana atau peningkatan pemahaman dan penyamaan persepsi melalui penguatan kapasitas pemerintah daerah yang berpijak kepada penguatan kebijakan, prosedur, personil dan kelembagaan, yang dijabarkan melalui: 1.

  Penguatan kebijakan dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diarahkan kepada sosialisasi dan harmonisasi kebijakan penanggulangan bencana di daerah, agar kebijakan dari tingkat nasional dapat dijalankan secara operasional di daerah.

  2. Penguatan prosedur dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diarahkan kepada bagaimana pedoman, panduan dan juknis dapat diimplementasikan sehingga memiliki daya dorong inisiasi yang tinggi dari setiap pemangku kepentingan di daerah.

  3. Penguatan personil dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diarahkan kepada peningkatan kapasitas aparatur pemda dalam mendukung penyelenggaraan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan.

  4. Penguatan kelembagaan dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diarahkan untuk mendorong pembentukan BPBD di Kabupaten/Kota dan peningkatan status hukum/aturan perundang-undangan di daerah, terkait kelembagaan BPBD di provinsi/kabupaten/kota, seperti status dari peraturan Gubernur/Bupati/Walikota sebagai dasar pembentukan BPBD menjadi peraturan daerah.

  Pemerintah Daerah melalui Pengurangan Resiko Bencana (PRB) mampu memprakarsai dan menumbuhkembangkan sumber daya guna memberikan dukungan terhadap penyelenggaraan utusan di bidang penanggulangan bencana dengan fokus terhadap upaya pengurangan resiko bencana. Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diarahkan kepada peningkatan pemahaman untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat serta membudayakan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Upaya ini membutuhkan sumber daya yang memadai serta waktu yang panjang, sehingga kedepan Pengurangan resiko bencana merupakan bagian investasi pemerintah daerah di masa yang akan datang. Sebagaimana investasi tentu tidak dapat dinikmati hasilnya segera/ bersifat instan tetapi dirasakan pada masa yang akan datang yaitu dapat melindungi atau mengamankan aset daerah dan aset negara yang sulit dihitung nilainya. Menyadari akan hal tersebut, maka pemahaman kesadaran, kepedulian dan tanggung jawab akan pentingnya upaya Pengurangan Resiko Bencana (PRB) hendaknya dari waktu ke waktu harus selalu ditingkatkan, agar tidak berdampak merugikan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.

  Qanun Aceh Barat No 13 Tahun 2012 tentang penanggulangan bencana telah mengatur tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana yaitu pra bencana, saat bencana dan pasca bencana. Pasal 17 dari qanun tersebut menyatakan tentang pentingnya pemberian pelatihan dan pendidikan untuk memberikan kesiapan bagi petugas penanggulangan bencana yang meliputi pra bencana, saat bencana dan pasca bencana sehingga petugas dapat meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kepedulian, kemampuan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Adapun pelatihan dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat yang ada di desa yaitu : penilaian resiko kerentanan dan kemampuan masyarakat serta pemetaan ancaman, analisa tanda dan suara peringatan bencana, dan pertolongan pertama pada gawat darurat

2.4. Kesiapsiagaan

2.4.1. Tindakan Kesiapsiagaan

  Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Tujuannya adalah untuk mengurangi dampak negatif dari bencana. Kesiapsiagaan bencana merupakan proses dari penilaian, perencanaan dan pelatihan untuk mempersiapkan sebuah rencana tindakan yang terkoordinasi dengan baik (Undang-Undang No.24 Tahun 2007).

  Berdasarkan LIPI (2006), Ada 7 (tujuh) stakeholder yang berkaitan erat dengan kesiapsiagaan bencana, yaitu : individu dan rumah tangga, instansi pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan bencana, komunitas sekolah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi non pemerintah (Ornop), kelembagaan masyarakat, kelompok profesi dan pihak swasta. Dari ke tujuh stakeholders tersebut, rumah tangga, pemerintah dan komunitas sekolah disepakati sebagai stakeholders utama dan empat stakeholders lainnya sebagai stakeholders pendukung dalam kesiapsiagaan bencana.

  Kesiapsiagaan bencana mencakup langkah-langkah untuk memprediksi, mencegah dan merespon terhadap bencana. Koordinasi lintas sektoral diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan berikut seperti yang telah disebutkan oleh LIPI-UNESCO/ISDR (2006), bahwa ruang lingkup kesiapsiagaan dikelompokkan kedalam empat parameter yaitu pengetahuan dan sikap (knowledge and attitude), perencanaan kedaruratan (emergency planning), sistem peringatan (warning system), dan mobilisasi sumber daya. Pengetahuan lebih banyak untuk mengukur pengetahuan dasar mengenai bencana alam seperti ciri-ciri, gejala dan penyebabnya. Perencanaan kedaruratan lebih ingin mengetahui mengenai tindakan apa yang telah dipersiapkan menghadapi bencana alam. Sistem peringatan adalah usaha apa yang terdapat di pemerintahan/masyarakat dalam mencegah terjadinya korban akibat bencana dengan cara tanda-tanda peringatan yang ada. Sedangkan mobilisasi sumber daya lebih kepada potensi dan peningkatan sumber daya di pemerintahan/masyarakat seperti keterampilan-keterampilan yang diikuti, dana dan lainnya.

  Federasi Internasional Palang Merah dalam Keeney (2006), menyatakan kesiapsiagaan meliputi pertama adalah meningkatkan sistem tanggap darurat bencana di tingkat lokal, nasional dan internasional untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Hal ini mencakup antara lain: pengembangan sistem peringatan dini dan rencana evakuasi untuk mengurangi potensi korban jiwa dan kerusakan fisik, pendidikan dan pelatihan yang ditunjuki oleh pejabat di sektor publik dan swasta, pelatihan personil tanggap darurat, dan pembentukan kebijakan tanggap bencana, dengan prosedur operasional, perjanjian organisasi yang saling berkolaborasi, dan adanya sebuah standart pelayanan. Ke-dua adalah memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana lokal dengan mendukung kegiatan berbasis masyarakat. Pendidikan dan persiapan untuk meminimalkan resiko dapat dilakukan melalui media massa, program sekolah, dan pameran kesehatan. selain itu, kesiapsiagaan bencana lokal meliputi pengajaran pertolongan pertama dan cardiopulmonary resusitasi (CPR) untuk anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dan untuk kesiapsiagaan dalam respon bencana.

  Kesiapsiagaan menghadapi bencana merupakan suatu aktivitas lintas sektor yang berkelanjutan. Kegiatan itu membentuk suatu bagian yang tak terpisahkan dalam sistem nasional yang bertanggungjawab untuk mengembangkan perencanaan dan program pengelolaan bencana (pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respons, rehabilitasi, dan atau rekonstruksi) di Indonesia dikenal dengan Bakornas PB. Satu hal terpenting untuk memastikan mutu dan efektivitas program kesiapsiagaan bencana dan kedaruratan adalah melakukan koordinasi, penilaian dan evaluasi secara hati-hati terhadap program-program yang telah disiagakan untuk memastikan bahwa program tersebut dapat dioperasikan secara efektif.

  Pan American Health Organization (PAHO, 2006), menyebutkan Penanganan pelayanan kesehatan untuk korban cedera dalam jumlah besar diperlukan segera setelah terjadinya bencana tanah longsor. Oleh karena itu dibutuhkan kesiagaan untuk pertolongan pertama dan pelayanan kedaruratan dalam beberapa jam pertama. Banyaknya korban jiwa yang tidak tertolong karena minimnya sumber daya lokal, termasuk transportasi yang tidak dimobilisasi segera. Sumber daya lokal sangat menentukan dalam penanganan korban pada fase darurat.Tanggungjawab sektor kesehatan pada saat bencana praktis mencakup semua aspek operasi normal pra-bencana. Semua departemen teknis dan layanan penunjang dilibatkan pada saat terjadinya bencana besar. Kesiapsiagaan harus ditujukan pada semua kegiatan kesehatan dan sektor lainnya dan tak bisa dibatasi pada aspek yang paling terlihat dari pengelolaan korban massal dan layanan kegawatdaruratan saja. Pelaksanaan tugas penanganan kesehatan akibat bencana di lingkungan Dinas Kesehatan dikoordinasi oleh unit yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan dengan surat keputusan (Depkes RI, 2007).

  Berdasarkan LIPI-UNESCO dan PAHO dalam penelitian ini peneliti melihat kesiapsiagaan dari tiga indikator yaitu pengetahuan, sikap dan pelatihan.

  Sebagaimana kerangka aksi hyogo 2005-2015 yang dikutip oleh Astuti dan Sudaryanto (2010), menyatakan salah satu prioritas kesiapsiagaan dalam upaya mencegah kematian dan kerugian harta benda adalah pentingnya kesiapsiagaan petugas melalui peningkatan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan/pelatihan untuk membangun sebuah budaya keselamatan dan ketangguhan di semua tingkat dari kecamatan sampai kepada kabupaten kota. Pengetahuan yaitu hasil dari tahu, dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007). Sikap yaitu reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. (Notoatmodjo, 2007). Pelatihan merupakan bagian dari suatu proses pendidikan, yang tujuannya untuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan khusus seseorang atau kelompok orang. (Notoatmodjo, 1992). Pendidikan dan pelatihan kebencanaan merupakan salah satu upaya penanggulangan bencana pada tahap kesiapsiagaan bencana. (Renstra BNPB 2010-2014). pelatihan kebencanaan sangat diperlukan baik untuk petugas maupun untuk masyarakat yang bakal terkena bencana. (Soehatman,2010). Pelatihan yang diperlukan berkaitan dengan penanggulangan bencana misalnya:

  1. Pelatihan mengenai manajemen resiko bencana, diharapkan petugas memiliki wawasan mengenai manajemen bencana termasuk perundang-undangannya sehingga mampu mengembangkannya dilingkungan masing-masing, mampu menyusun dan menilai suatu analisa resiko bencana.

  2. Pelatihan mengenai penanganan suatu bencana menurut jenisnya, misalnya bencana banjir, longsor, gempa bumi, tsunami, bencana industri, atau bencana sosial.

  3. Teknik melakukan pertolongan seperti resque atau penyelamatan lainnya.

  4. Teknik bantuan medis (P3K) dan bantuan medis lainnya.

  5. Pelatihan mengenai prosedur penanggulangan bencana yang meliputi mitigasi bencana, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan rehabilitasi dan rekonstruksi.

  6. Pelatihan mengenai sistem informasi dan komunikasi bencana.

  7. Pelatihan manajemen logistik bencana.

  8. Pelatihan standar pelayanan minimal kesehatan bencana dan pengungsi.

2.4.2. Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Upaya Penanggulangan Bencana Tanah Longsor

a) Kesiapsiagaan Pra Bencana

  Ada beberapa hal yang harus dilakukan masyarakat dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana tanah longsor, antara lain :

  1. Tidak menebang atau merusak hutan 2.

  Melakukan penanaman tumbuh-tumbuhan berakar kuat, seperti nimbi, bambu, akar wangi, lamtoro dan sebagainya pada lereng-lereng yang gundul

  3. Membuat saluran air hujan 4.

  Membangun dinding penahan di lereng-lereng yang terjal

5. Memeriksa keadaan tanah secara berkala 6.

  Mengukur tingkat kederasan hujan Ada beberapa cara yang dapat dilakukan masyarakat untuk menghindari korban jiwa dan harta akibat tanah longsor, diantaranya :

  1. Membangun pemukiman jauh dari daerah yang rawan 2.

  Bertanya pada pihak yang mengerti sebelum membangun 3. Membuat peta ancaman.

  4. Melakukan deteksi dini

b). Kesiapsiagaan Saat Bencana

  Ada beberapa tindakan yang harus dilakukan masyarakat saat tanah longsor terjadi, diantaranya :

  1. Segera keluar dari daerah longsoran atau aliran runtuhan/puing kebidang yang

  lebih stabil

  

2. Bila melarikan diri tidak memungkinkan, lingkarkan tubuh anda seperti bola

  dengan kuat dan lindungi kepala anda.posisi ini akan memberikan perlindungan terbaik untuk badan anda.

c). Kesiapsiagaan Pasca Bencana

  Ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan masyarakat setelah tanah longsor terjadi, diantaranya :

  1. Hindari daerah longsoran, dimana longsor susulan dapat terjadi 2.

  Periksa korban luka dan korban yang terjebak longsor tanpa langsung memasuki daerah longsoran

  3. Bantu arahkan SAR kelokasi longsor 4.

  Bantu tetangga yang memerlukan bantuan khusus anak-anak, orang tua, dan orang cacat

  5. Dengarkan siaran radio lokal atau televise untuk informasi keadaan terkini 6.

  Wapada akan adanya banjir atau aliran reruntuhan setelah longsor 7. Laporkan kerusakan fasilitas umum yang terjadi kepada pihak yang berwenang

  8. Periksa kerusakan pondasi rumah dan tanah disekitar terjadinya longsor 9.

  Tanami kembali daerah bekas longsor atau daerah sekitarnya untuk menghindari erosi yang telah merusak lapisan atas tanah yang dapat menyebabkan banjir bandang 10. Mintalah nasehat pada ahlinya untuk mengevaluasi ancaman dan teknik untuk mengurangi resiko tanah longsor.

2.4.3. Kesiapsiagaan Pemerintah Setempat dalam Upaya Penanggulangan Bencana Tanah Longsor

  Pan American Health Organization (PAHO,2006), menyatakan bahwa tujuan khusus dari upaya kesiapsiagaan bencana adalah menjamin bahwa sistem, prosedur, dan sumber daya yang tepat siap ditempatnya masing-masing untuk memberikan bantuan yang efektif dan segera bagi korban bencana sehingga dapat mempermudah langkah-langkah pemulihan dan rehabilitasi layanan. Peraturan pemerintah No. 21 Tahun 2008, tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana menyatakan bahwa beberapa instansi yang terlibat dalam penanggulangan bencana antara lain kementerian kesehatan, kementerian sosial, kementerian pekerjaan umum, kepolisian RI, Badan SAR Nasional, Dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kesiapsiagaan pemerintahan setempat yang terkait dalam upaya penanggulangan bencana tanah longsor antara lain sebagai berikut :

A. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

  Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) pembentukannya berdasarkan Permendagri Nomor 46 Tahun 2008 tentang pedoman organisasi dan tata kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah: 1.

  Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan badan nasional penanggulangan bencana terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara.

  2. Menetapkan standarisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan.

  3. Menyusun menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana 4.

  Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana.

  5. Melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya.

  6. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana.

  7. Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang 8.

  Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.

  9. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mempunyai fungsi: 1. merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif, dan efisien.

  2. Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.

  Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 10 Tahun 2008 telah menetapkan struktur organisasi komando tanggap darurat bencana tingkat Kabupaten/Kota sebagai berikut:

Gambar 2.1 Struktur Organisasi Komando Tanggap Darurat

  kda/Walikota Ka. BPBD Kab/Kota Dinas/lembaga/ Organisasi terkait

  Sekretaris Seksi Seksi Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi

  Pencegahan Dan Mitigasi Kedaruratan & Logistik Sumber: Ket : : Garis Komando. : : Garis Koordinasi PP BNPB No. 10 Tahun 2008

B. TNI/POLRI

  TNI/Polri melalui pendekatan Pembinaan Teritorialnya membantu Pemerintah Daerah dalam rangka memulihkan kembali keadaan seperti sebelumnya, berpartisipasi aktif menangani Bencana alam bersama-sama dengan komponen bangsa lainnya sehingga dapat membantu meringankan beban kehidupan sosial masyarakat secara lahir batin dari akibat yang ditimbulkan Bencana. Pembinaan teritorial menciptakan ruang, alat dan kondisi juang yang tangguh, bersentuhan langsung dengan geografi, demografi dan kondisi sosial, maka penanggulangan bencana alam ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan aparatur Negara beserta masyarakat yang ada diwilayah saling membantu sehingga dapat menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan penanggulangan bencana. Agar dalam setiap pelaksanaan penanggulangan bencana alam dapat berjalan dengan lancar dan berhasil dan berdayaguna, maka setiap aparatur negara baik dari pemerintah daerah, aparat TNI, Kepolisian, ormas dan masyarakat perlu memahami tentang organisasi penanggulangan bencana dengan tugas dan fungsinya.

  Undang-Undang RI No. 34 tahun 2004, TNI dan Polri bertugas melaksanakan operasi militer perang (OMP) serta operasi militer selain perang (OMSP), didalam tugas operasi militer selain perang salah satunya adalah membantu menanggulangi akibat bencana alam. Melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana diwilayah baik dalam tahap pra bencana, saat tangggap darurat, pasca bencana terjadi secara terpadu serta mencakup kegiatan, pencegahan, penyelamatan, rehabilitasi, dan rekonstruksi sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh BPBD Provinsi dan/atau petunjuk kepala BPBD provinsi, dalam rangka penyelenggaraan penanggulangan bencana pada dasarnya langkah-langkah kegiatan untuk semua macam bencana adalah sama dan dilaksanakan melalui tahap-tahap pra bencana, saat tanggap darurat, pasca bencana. Perawatan kesehatan masyarakat dapat menggunakan fasilitas kesehatan TNI yang ada satuan tugas pada daerah bencana serta fasilitas kesehatan umum/Rumah Sakit yang tersedia di daerah.

C. Dinas Kesehatan (Puskesmas Kecamatan)

  Puskesmas mempunyai peran memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat khususnya bagi korban bencana alam sehingga memberikan pelayanan kesehatan dengan baik. Penanganan bencana bidang kesehatan pada prinsipnya tidak dibentuk sarana prasarana secara khusus, tetapi menggunakan sarana prasarana yang telah ada, hanya intensitas kerjanya ditingkatkan dengan memberdayakan semua sumber daya pemerintah Kabupaten/Kota serta masyarakat dan unsur swasta sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.

  Pelayanan kesehatan pada saat terjadinya bencana dan pemenuhan kebutuhan sarana kesehatan, tenaga kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan yang tidak dapat diatasi oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, maka Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota terdekat harus memberikan bantuan, selanjutnya secara berjenjang merupakan tanggungjawab Dinas Kesehatan dan Pusat.

  Kabupaten/Kota berkewajiban membentuk satuan tugas kesehatan yang mampu mengatasi masalah kesehatan pada penanganan bencana di wilayahnya secara terpadu dan berkoordinasi dengan Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB.). Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sehubungan dengan penanganan masalah bencana di tingkat kecamatan diantaranya :

a). Pra-Bencana; Kepala Puskesmas Melakukan Kegiatan : 1.

  Membuat peta geomedik daerah rawan bencana.

  2. Membuat jalur evakuasi.

  3. Mengadakan pelatihan.

  4. Inventarisasi sumber daya sesuai dengan potensi bahaya yang mungkin terjadi.

  5. Menerima dan menindaklanjuti informasi peringatan dini (Early Warning System ) untuk kesiapsiagaan bidang kesehatan.

  6. Membentuk tim kesehatan lapangan yang tergabung dalam Satgas.

b). Saat Bencana; Kepala Puskesmas di Lokasi Bencana Melakukan Kegiatan : 1.

  Beserta staf menuju lokasi bencana dengan membawa peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan triase dan memberikan pertolongan pertama.

  2. Mengirimkan tenaga dan perbekalan kesehatan serta ambulans/alat transportasi lainnya ke lokasi bencana dan tempat penampungan pengungsi

  3. Membantu melaksanakan perawatan dan evakuasi korban serta pelayanan kesehataan pengungsi

  4. Melaporkan kepada Kadinkes Kabupaten/Kota tentang terjadinya bencana.

  5. Melakukan Initial Rapid Health Assessment (Penilaian Cepat Masalah Kesehatan Awal).

  6. Menyerahkan tanggung jawab pada Kadinkes Kabupaten/Kota apabila telah tiba di lokasi bencana.

7. Apabila kejadian bencana melampaui batas wilayah kecamatan, maka sebagai penanggung jawab adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

c). Pasca Bencana; Kepala Puskesmas di Kecamatan Melakukan Kegiatan : 1.

  Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar di penampungan dengan mendirikan Pos Kesehatan lapangan

  2. Melaksanakan pemeriksaan kualitas air bersih dan pengawasan sanitasi lingkungan.

  3. Melaksanakan surveilans penyakit menular dan gizi buruk yang mungkin timbul.

  4. Segera melapor ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bila terjadi KLB penyakit menular dan gizi buruk.

  5. Memfasilitasi relawan, kader dan petugas pemerintah tingkat kecamatan dalam memberikan KIE kepada masyarakat luas, bimbingan kepada kelompok yang berpotensi mengalami gangguan stress pasca trauma, memberikan konseling pada individu yang berpotensi mengalami gangguan stress pasca trauma.

  6. Merujuk penderita yang tidak dapat ditangani dengan konseling awal dan membutuhkan konseling lanjut, psikoterapi atau penanganan lebih spesifik.

D. Dinas Pekerjaan Umum

  Dinas pekerjaan umum mempunyai peran menyelenggarakan penanggulangan bencana terkait bidang pekerjaan umum menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Tahap pra-bencana

  Tahap pra bencana kegiatan pencegahan/mitigasi bencana dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan dalam bentuk penegakan hukum/ peraturan pemerintah pusat dan daerah dalam pembangunan fisik dilapangan yang bertujuan untuk mengurangi dampak kerugian yang terjadi bila terjadi suatu bencana seperti dengan mematuhi rencana tata ruang dan tata bangunan yang telah ditetapkan. Kesiapsiagaan dilakukan untuk memastikan upaya-upaya cepat dan tepat yang perlu ditempuh dalam menghadapi situasi darurat pada saat kejadian bencana seperti antara lain dengan pemasangan dan pengujian sistem peringatan dini untuk pengamatan gejala bencana dan penyediaan serta penyiapan bahan, barang dan peralatan untuk pemenuhan kebutuhan dalam rangka pemulihan prasarana dan sarana bidang ke-PU-an.

2. Tahap Tanggap Darurat

  Tahap tanggap darurat dukungan yang diberikan dalam kegiatan penyelamatan/evakuasi korban bencana adalah dengan penyediaan dan pengoperasian peralatan yang diperlukan untuk mendukung dan memberikan akses bagi pelaksanaan kegiatan pencarian dan penyelamatan/evakuasi korban bencana beserta harta bendanya dilokasi dan keluar dari lokasi bencana. Pelaksanaan kegiatan tanggap darurat utamanya dilakukan untuk memulihkan kondisi dan fungsi prasarana dan sarana, khususnya bidang ke-PU-an yang rusak akibat bencana yang bersifat darurat/sementara namun harus mampu mencapai tingkat pelayanan minimal yang dibutuhkan, dan menyediakan berbagai sarana yang diperlukan bagi perawatan dan penampungan sementara para pengungsi/masyarakat korban bencana.

3. Tahap Pasca Bencana

  Tahap pasca bencana kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilaksanakan harus diupayakan untuk melibatkan peran serta warga masyarakat. bantuan dari pemerintah diutamakan berupa stimulan yang diharapkan akan dapat mendorong tumbuhnya kewasdayaan warga masyarakat. Pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi diutamakan bagi prasarana dan sarana bidang ke- PU-an dan rumah tinggal bagi warga masyarakat miskin/ yang tidak mampu dengan pendekatan tridaya dalam pelaksanaannya.

E. Dinas Sosial

  Dinas sosial mempunyai peran menyelenggarakan kesejahtraan sosial di daerah bencana, yang pada saat kejadian bencana, pasca bencana dan tanggap darurat menjadi faktor penting mengurangi resiko korban bencana yang meninggal dunia dan luka-luka. Hal ini memungkinkan karena pada saat kejadian bencana infrastruktur dasar dan sarana pelayanan publik menjadi rusak dan tidak berfungsi. hanya sentuhan relawan dan masyarakat sekitar yang dekat daerah bencana alam yang dapat mengurangi meningkatkan jumlah korban bencana.

  Undang-Undang No.11 Tahun 2009 tentang kesejahtraan sosial menjelaskan peran sumber daya manusia dalam penanganan bencana alam pada saat kejadian bencana dan tanggap darurat antara lain :

  1) Mengkondisikan tempat penampungan sementara

  Menentukan tempat penampungan bagi korban bencana merupakan upaya penting dalam setiap penanganan bencana. Peran ini dapat dilakukan apabila SDM kesejahteraan sosial memiliki pemahaman dan pengetahuan membaca peta rawan bencana dan jalur evakuasi penanganan bencana.

  2) Menyediakan data korban

  Data korban merupakan informasi berharga bagi outsider untuk melakukan berbagai langkah tindakan penanganan bencana alam. keakuratan jumlah korban hidup dan meninggal serta keberadaan korban, akan mengurangi meningkatnya jumlah korban meninggal dan luka-luka. Oleh karena itu kemampuan melakukan pendataan korban perlu didukung oleh keterampilan dan kemampuan menggunakan berbagai media komunikasi.

  3) Melakukan koordinasi penyediaan kebutuhan bagi korban

  Menyiapkan berbagai kebutuhan bagi korban bencana alam, tidak hanya sebatas penyediaan dapur umum. Kebutuhan specific laki-laki dan perempuan serta balita menjadi bagian penting dalam upaya dalam mengurangi meningkatnya jumlah korban. Kebutuhan lain yang juga sangat diperlukan adalah sarana air bersih dan keperluan mandi cuci dan kakus (MCK). berbagai kebutuhan tersebut memerlukan pemahaman dan kemampuan melihat situasi serta mengkoordinasikan dengan para pihak terkait.

  4) Memberikan pelayanan psikososial

  Peran yang sangat penting bagi SDM kesejahtraan sosial dan memerlukan keahlian khusus adalah pelayanan psikososial. Peran ini sangat diperlukan mengingat banyak korban bencana alam yang umumnya mengalami trauma dan menghadapi kasus-kasus gangguan stress.

  5) Melakukan kegiatan evakuasi bagi korban bencana

  Melakukan pertolongan dan mengevakuasi korban adalah dua hal yang berbeda tapi dapat dilakukan bersama-sama. Inti dari tindakan ini adalah upaya menyelematkan korban dengan menghindari tempat/daerah yang dapat menimbulkan kerugian bagi korban bencana. Namun demikian, tindakan yang ceroboh dapat menimbulkan akibat kematian/kecacatan tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi SDM kesejahtraan sosial.

F. Search And Rescue (SAR)

  Pencarian dan pertolongan (Search and Rescue) atau disingkat SAR meliputi usaha dan kegiatan mencari, menolong, dan menyelamatkan jiwa manusia yang hilang atau dikhawatirkan hilang atau menghadapi bahaya dalam musibah pelayaran dan/atau penerbangan, atau bencana atau musibah lainnya.

  Search and Rescue (SAR) melakukan siaga selama 24 jam secara terus menerus

  untuk melakukan pemantauan musibah pelayaran dan/atau penerbangan, atau bencana atau musibah lainnya. SAR melaksanakan siaga didukung dengan peralatan deteksi dini, telekomunikasi dan sistem informasi beserta sarana penunjangnya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2006 SAR melakukan operasi meliputi:

  a. Segala upaya dan kegiatan SAR sampai dengan evakuasi terhadap korban, sebelum diadakan penanganan berikutnya; b. Rangkaian kegiatan SAR terdiri atas 5 (lima) tahap yaitu tahap menyadari, tahap persiapan, tahap perencanaan, tahap operasi, dan tahap akhir penugasan.

G. Ormas (Organisasi Masyarakat)

  Organisasi yaitu kelompok orang yang bekerjasama, dan selanjutnya berkembang menjadi proses pembagian kerja, dan akhirnya terbentuklah sebuah sistem yang kompleks (Sulistyani, 2003). Organisasi masyarakat dalam penelitian ini yang bertugas dalam melakukan penanggulangan bencana tanah longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah terbentuk dalam Badan Koordinasi Antar Kampung (BKAD), yang diresmi oleh Surat Keputusan Bupati Aceh Tengah. Badan koordinasi antar kampung mempunyai tugas mencari, menolong, dan menyelamatkan jiwa manusia yang hilang atau dikhawatirkan hilang atau menghadapi bahaya dalam musibah tanah longsor, banjir dan sebagainya. Badan koordinasi antar kampung mempunyai fungsi sebagai berikut:

  1. Mengkoordinasikan kejadian yang sedang dialami serta bantuan yang diperlukan.

  2. Hubungi instansi yang terkait untuk meminta bantuan sesuai kebutuhan.

  3. Bantuan instansi terkait dapat diminta kepada pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Pusat, termasuk lembaga/Instansi/Militer/Polisi.

2.5. Faktor - faktor yang Memengaruhi Kesiapsiagaan Petugas Penanggulangan Bencana Tanah Longsor

2.5.1. Koordinasi

2.5.1.1. Pengertian Koordinasi

  Koordinasi adalah sebuah bentuk rekapitulasi gagasan-gagasan yang berasal dari individu-individu. Gabungan gagasan-gagasan tersebut dapat terjadi ketika dua orang atau lebih datang berkumpul dan saling membagi inti pemikiran dan pengalaman mereka untuk menjamin adanya sebuah interaksi atau kombinasi yang harmonis (Manion, 2005). Koordinasi adalah upaya menyatu padukan berbagai sumberdaya dan kegiatan organisasi menjadi suatu kekuatan sinergis, agar dapat melakukan penanggulangan masalah kesehatan masyarakat akibat kedaruratan dan bencana secara menyeluruh dan terpadu sehingga dapat tercapai sasaran yang direncanakan secara efektif dan efisien secara harmonis.

  Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, yang perlu dipahami tentang koordinasi adalah, satu dari fungsi-fungsi manajemen, koordinasi dapat dilakukan oleh berbagai pihak yang memiliki tugas/fungsi/tanggung jawab dibidang yang bersesuaian, yang berada dalam posisi/kedudukan yang setara (horizontal) maupun dalam posisi/kedudukan yang tidak setara. Dalam melaksanakan koordinasi, terdapat unsur/pihak yang mengkoordinasikan (koordinator) dan ada unsur/pihak yang dikoordinasikan, namun masih dalam kepentingan yang sama. Dalam kaitan ini, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menjalankan fungsi koordinasi atau sebagai koordinator. Koordinasi dilakukan dengan lembaga pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat, dunia usaha, lembaga internasional dan pihak-pihak lain. Dalam koordinasi terdapat pembagian kerja yang benar, peningkatan efisiensi,ketepatan waktu, efisiensi pendanaan, terciptanya kerangka kerja dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang menjadi perhatian bersama, serta dapat mengurangi kesenjangan, dan dapat terhindari adanya duplikasi dalam pelaksanaan kegiatan/pelayanan. Dalam koordinasi terdapat sinergi kemampuan potensi dan sumberdaya nasional dari semua sumber/komponen (pemerintah dan non- pemerintah), baik dari dalam maupun luar negeri. Koordinasi mengandung keselarasan dan kerjasama dari orang-orang/ organisasi/lembaga/pihak untuk mencapai tujuan. Hasil koordinasi adalah hasil kerja secara kolektif/bersama, meskipun secara formal koordinator lebih dominan memegang tanggung jawab.

  Menurut Terry dalam bukunya, Principle of Management yang dikutip Handayaningrat (2002), koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron atau teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Menurut tinjauan manajemen, koordinasi menurut Terry meliputi :

  1. Jumlah usaha baik secara kuantitatif, maupun secara kualitatif

  2. Waktu yang tepat dari usaha-usaha tersebut

  3. Directing atau penentuan arah usaha-usaha tersebut Berdasarkan defenisi di atas maka dapat disebutkan bahwa koordinasi memiliki syarat-syarat yakni :

  1. Sense of Cooperation, perasaan untuk saling bekerja sama, dilihat per bagian.

  2. Rivalry, dalam organisasi besar, sering diadakan persaingan antar bagian, agar saling berlomba

  3. Team Spirit, satu sama lain per bagian harus saling menghargai.

  4. Esprit de Corps, bagian yang saling menghargai akan makin bersemangat. Selanjutnya koordinasi memiliki sifat-sifat sebagai berikut : 1.

  Koordinasi adalah dinamis, bukan statis.

  2. Koordinasi menekankan pandangan menyeluruh oleh seorang manajer dalam kerangka mencapai sasaran.

  3. Koordinasi hanya meninjau suatu pekerjaan secara keseluruhan.

  Berdasarkan pengertian di atas dapat dijelaskan koordinasi adalah tindakan seorang pimpinan untuk mengusahakan terjadinya keselarasan, antara tugas dan pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang atau bagian yang satu dengan bagian yang lain. Koordinasi diartikan sebagai suatu usaha ke arah keselarasan kerja antara anggota organisasi sehingga tidak terjadi kesimpang siuran, tumpang tindih. Hal ini berarti pekerjaan akan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

  Berdasarkan pengertian para pakar di atas peneliti menyimpulkan bahwa koordinasi merupakan proses pengintegrasian tujuan dan aktivitas di dalam suatu perusahaan atau organisasi agar mempunyai keselarasan di dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, pengkoordinasian dimaksudkan agar para manajer mengkoordinir sumber daya manusia dan sumber daya lain yang dimiliki organisasi tersebut. Kekuatan suatu organisasi tergantung pada kemampuannya untuk menyusun berbagai sumber dayanya dalam mencapai suatu tujuan.

2.5.1.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Koordinasi

  Menurut Hasibuan (2006), berpendapat bahwa faktor-faktor yang memengaruhi koordinasi sebagai berikut:

a). Kesatuan Tindakan

  Koordinasi pada hakekatnya memerlukan kesadaran setiap anggota organisasi atau satuan organisasi untuk saling menyesuaikan diri atau tugasnya dengan anggota atau satuan organisasi lainnya agar anggota atau satuan organisasi tersebut tidak berjalan sendiri-sendiri. Oleh sebab itu konsep kesatuan tindakan adalah inti dari pada koordinasi. Kesatuan dari pada usaha, berarti bahwa pemimpin harus mengatur sedemikian rupa usaha-usaha dari pada tiap kegiatan individu sehingga terdapat adanya keserasian di dalam mencapai hasil. Kesatuan tindakan ini adalah merupakan suatu kewajiban dari pimpinan untuk memperoleh suatu koordinasi yang baik dengan mengatur jadwal waktu dimaksudkan bahwa kesatuan usaha itu dapat berjalan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.

  Menurut penelitian Bustari (2008), tentang kolaborasi lintas sektoral dalam kesiapsiagaan bencana di Kabupaten Aceh Tamiang yang memperoleh hasil bahwa Kesatuan tindakan diperlukan agar kegiatan dapat dilakukan bersama-sama sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.

b). Komunikasi

  Komunikasi merupakan salah satu dari sekian banyak kebutuhan manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya. “Perkataan komunikasi berasal dari perkataan communicare, yang mempunyai arti berpartisipasi ataupun memberitahukan”. Komunikasi sangat penting dalam suatu organisasi karena dengan komunikasi partisipasi anggota akan semakin tinggi dan pimpinan memberitahukan tugas kepada karyawan harus dengan komunikasi. Dengan demikian komunikasi merupakan hubungan antara komunikator dengan komunikan dimana keduanya mempunyai peranan dalam menciptakan komunikasi. Komunikasi tidak dapat dipisahkan dari koordinasi, karena komunikasi, sejumlah unit dalam organisasi akan dapat dikoordinasikan berdasarkan rentang dimana sebagian besar ditentukan oleh adanya komunikasi.

  Komunikasi bertujuan merubah tingkah laku manusia melalui proses penerimaan informasi yang diterima. Ilmu komunikasi, yaitu suatu upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas azas-azas, dan atas dasar azas-azas tersebut disampaikan informasi serta dibentuk pendapat dan sikap. Komunikasi merupakan suatu hal perubahan suatu sikap dan pendapat akibat informasi yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Sehingga dari uraian tersebut terlihat fungsi komunikasi, adalah sebagai berikut :

  1.Mengumpulkan dan menyebarkan informasi mengenai kejadian dalam suatu lingkungan.

  2. Menginterpretasikan terhadap informasi mengenai lingkungan

  3. Kegiatan mengkomunikasikan informasi, nilai dan norma sosial dari generasi yang satu ke generasi yang lain.

  Berdasarkan pengertian komunikasi yang telah diuraikan dapat dijelaskan komunikasi merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk merubah sikap dan perilaku orang lain dengan melalui informasi atau pendapat atau pesan atau idea yang disampaikannya kepada orang tersebut.

  Menurut penelitian Bustari (2008) tentang kolaborasi lintas sektoral dalam kesiapsiagaan bencana di Kabupaten Aceh Tamiang yang memperoleh hasil bahwa komunikasi memiliki korelasi secara signifikan terhadap kesiapsiagaan petugas penanggulangan bencana disebabkan komunikasi yang disampaikan dalam bentuk informasi. Informasi diperlukan agar segala sesuatu yang disampaikan sebelum bencana, saat dan sesudah bencana dapat dipersiapkan.

c) Pembagian Kerja

  Organisasi bertujuan untuk mencapai tujuan bersama dimana individu tidak dapat mencapainya sendiri. Sekelompok orang yang berkerja bersama secara kooperatif dan dikoordinasikan dapat mencapai hasil lebih daripada dilakukan perseorangan. Dalam suatu organisasi, tiang dasarnya adalah prinsip pembagian kerja (Division of labor). Prinsip pembagian kerja maksudnya jika suatu organisasi diharapkan untuk dapat berhasil dengan baik dalam usaha mencapai tujuannya, maka hendaknya lakukan pembagian kerja. Dengan pembagian kerja ini diharapkan dapat berfungsi dalam usaha mewujudkan tujuan suatu organisasi. Pembagian kerja adalah perincian tugas dan pekerjaan agar setiap individu dalam organisasi bertanggung jawab untuk melaksanakan sekumpulan kegiatan yang terbatas.

  Pembagian kerja menyebabkan kenaikan efektifitas secara dramatis, karena tidak seorangpun secara fisik mampu melaksanakan keseluruhan aktifitas dalam tugas–tugas yang paling rumit dan tidak seorang pun juga memiliki semua keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan berbagai tugas. Oleh karena itu perlu diadakan pemilahan bagian–bagian tugas dan membagi baginya kepada sejumlah orang. Pembagian pekerjaan yang dispesialisasikan seperti itu memungkinkan orang mempelajari keterampilan dan menjadi ahli pada fungsi pekerjaan tertentu.

  Peneltian Bustari (2008), tentang kolaborasi lintas sektoral dalam kesiapsiagaan bencana di Kabupaten Aceh Tamiang yang memperoleh hasil bahwa pembagian kerja memiliki korelasi secara signifikan terhadap kesiapsiagaan petugas penanggulangan bencana. Pembagian kerja diperlukan untuk mengetahui pekerjaan apa yang harus dilakukan oleh masing-masing petugas yang terkait agar pekerjaaan yang dilakukan tidak terjadi tumpang tindih.

d. Disiplin

  Setiap organisasi yang kompleks harus bekerja secara terkoordinasi, agar masing-masing dapat menghasilkan hasil yang diharapkan. Koordinasi adalah usaha penyesuaian bagian-bagian yang berbeda-beda agar kegiatan dari pada bagian-bagian itu selesai pada waktunya, sehingga masing-masing dapat memberikan sumbangan usahanya secara maksimal agar diperoleh hasil secara keseluruhan, untuk itu diperlukan disiplin.

  Menurut Rivai (2005), menyatakan pengertian disiplin kerja adalah suatu alat yang digunakan para manajer untuk berkomunikasi dengan karyawan agar mereka bersedia untuk mengubah suatu perilaku serta sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan organisasi dan norma-norma sosial yang berlaku. Jadi jelasnya bahwa disiplin menyangkut pada suatu sikap dan tingkah laku, apakah itu perorangan atau kelompok yang untuk tunduk dan patuh terhadap peraturan suatu organisasi.