Pengaruh Fungsi Koordinasi Petugas Dinas Terkait Terhadap Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Di Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh

(1)

PENGARUH FUNGSI KOORDINASI PETUGAS DINAS TERKAIT TERHADAP KESIAPSIAGAAN PENANGGULANGAN

BENCANA DI KABUPATEN ACEH TENGAH PROPINSI ACEH

TESIS

Oleh

YUNASRI 107032103/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH FUNGSI KOORDINASI PETUGAS DINAS TERKAIT TERHADAP KESIAPSIAGAAN PENANGGULANGAN BENCANA

DIKABUPATEN ACEH TENGAH PROPINSI ACEH

T E S I S

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana Pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

YUNASRI 107032103/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PERNYATAAN

PENGARUH FUNGSI KOORDINASI PETUGAS DINAS TERKAIT TERHADAP KESIAPSIAGAAN PENANGGULANGAN BENCANA

DIKABUPATEN ACEH TENGAH PROPINSI ACEH

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, April 2013


(4)

JUDUL TESIS : PENGARUH FUNGSI KOORDINASI PETUGAS DINAS TERKAIT TERHADAP KESIAPSIAGAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI KABUPATEN ACEH TENGAH PROPINSI ACEH

Nama Mahasiswa : Yunasri Nomor Induk Mahasiswa : 107032103

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Manajemen Kesehatan Bencana

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Amri Amir, Sp.F(K), D.F.M, S.H, Sp.AK) (Abdul Muthalib, S.H, M.A.P Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 3 April 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Amri Amir,Sp.F (K), DFM, SH, SpAK Anggota : 1. Abdul Muthalib, S.H, M.A.P

2. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes 3. Siti Khadijah, S.K.M, M.Kes


(6)

ABSTRAK

Berdasarkan sebaran zona risiko tinggi dalam indeks resiko bencana di Indonesia, Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh termasuk zona beresiko tinggi bencana gempabumi, bencana letusan gunung berapi, resiko gerakan tanah, resiko hutan dan lahan serta resiko gedung. Kabupaten Aceh Tengah berdasarkan kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis juga sangat berpotensi adanya ancaman bencana maka diperlukan suatu upaya menyeluruh dalam upaya penanggulangan bencana, baik ketika bencana itu terjadi, sudah terjadi, maupun potensi bencana di masa yang akan datang. Dinas terkait yakni Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Palang Merah Indonesia (PMI), Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan POLRI merupakan dinas yang berhubungan langsung dalam penanggulangan bencana sehingga diperlukan koordinasi yang baik di antara dinas terkait tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fungsi koordinasi dinas terkait meliputi pendelegasian wewenang, pembagian kerja, koordinasi secara terencana, pengaturan penggunaan teknologi dan koordinasi dalam rincian tugas pokok terhadap kesiapsiagaan penanggulangan bencana di Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh. Jenis penelitian yang digunakan adalah explanatory research. Populasi penelitian sebanyak 818 responden dengan sampel sebanyak 117 responden. Pengumpulan data menggunakan kuesioner penelitian yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Analisis data dilakukan dengan uji univariat, uji bivariat dan uji multivariat.

Dari hasil penelitian diperoleh hasil uji bivariat menunjukkan bahwa koordinasi yang berhubungan dengan kesiapsiagaan penanggulangan bencana meliputi sub pendelegasian wewenang (p=0,001), pembagian kerja (0,058), koordinasi secara terencana (0,061), pengaturan penggunaan teknologi (p=0,001) dan koordinasi dalam rincian tugas pokok (0,001) sehingga variabel yang bernilai p<0,25 digunakan untuk uji multivariat. Hasil uji multivariat menunjukkan bahwa pendelegasian wewenang, pengaturan penggunaan teknologi dan koordinasi dalam rincian tugas pokok yang kurang baik lebih mendominasi dalam peramalan probabilitas petugas dinas terkait untuk ikut kesiapsiagaan

Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan agar koordinasi antar dinas terkait semakin ditingkatkan melalui komunikasi aktif, rapat-rapat antar instansi dan melalui pelatihan atau simulasi penanggulangan bencana.


(7)

ABSTRACT

Based on risk zone distribution in disaster risk index in Indonesia, Aceh Tengah Regency Aceh Province belongs earthquake disaster tall risky zone, volcano explosion disaster, soil movement risk, forest risk and tune with building risk. Acerh Tengah Regency based on geographical condition, geological, hidrologis and demographic also very potential disaster threat existence so need a efforts comprehensive in the effort disaster tackling, good when does that disaster happen, have happen, also potential disaster at that time. related official that is Regency Disaster Board (RDB), Indonesia Red Cross (IRC), Public Health Board, Social Official and Indonesia Police Corps is that official in disaster tackling so that is need coordination either in between related official.

This research aims to detect related official coordination function influence towards disaster prevention according authority delegation of authority, division of labor, coordination planning, technology use arrangement and coordination in main task details towards kesiapsiagaan disaster tackling at Aceh Tengah Regency Aceh Province. Research kind that used explanatory research. Population as much as 818 respondents with sample as much as 117 respondents. Data collecting has used questionnaires that tested validity and reliability. Data analysis to test univariate and bivariate test with analyze linear regression, correlation coefficient and hypothesis test.

Research result is got bivariate test result shows that coordination that alerteness disaster tackling covers sub authority delegation of authority (p=0,001, division of labor (0,058, coordinations according planning (0,061, technology use arrangements (p=0,001) and coordination in main task details (0,001) so that valuable variable p<0,25 used for test multivariat. Test result multivariat show that authority delegation of authority, technology use arrangement and coordination in main task details unfavourable more dominates in related official operator probability forecasting to comes alerteness.

Based on this research result is so suggested so that coordination delivers related official more is increased to pass communication, tightfitting deliver resort and pass training or disaster tackling simulation.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas seluruh berkatNya dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan dan menyusun Tesis ini dengan judul “Pengaruh Fungsi Koordinasi Petugas Dinas Terkait terhadap Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh.“ Penulisan tesis ini adalah merupakan salah satu syarat akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Strata 2 Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bimbingan, petunjuk, dorongan, dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S. selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(9)

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si. selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

5. Prof. dr. Amri Amir, Sp.F(K), DFM, S.H, Sp.Ak sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Abdul Muthalib, S.H., M.A.P sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dengan penuh perhatian dan kesabaran untuk membimbing, mengarahkan mulai pembuatan proposal hingga penulisan tesis ini selesai.

6. Kepala BPBD Kabupaten Aceh Tengah, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Aceh Tengah, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tengah, Ketua PMI Kabupaten Aceh Tengah dan Kapolres Aceh Tengah yang telah memberi izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

7. Bapak Bupati Aceh Tengah Ir. Nasaruddin, M.M yang telah memberi Tugas Belajar untuk melanjut pada program studi Strata 2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Kepala Dinas Kesehatan Aceh Tengah dr. Sukri Maha yang telah banyak memberi kemudahan dan kelonggaran selama penulis dalam pendidikan.

9. Seluruh dosen dan staf di lingkungan program studi Strata 2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

10.Kedua orangtua penulis yaitu Ayahanda Nasrul dan Ibunda Murtina atas dukungan dan doa yang tiada hentinya.


(10)

11.Isteri tercinta Sri Yunita Dewi dan putri - putraku tercinta M.Rheva Arif Afdilla, M.Dheva Andre Alfarisy dan Naila Khansa Nasywa, atas motivasi dan kesabaran serta doanya selama penulis menjalani pendidikan.

12.Seluruh rekan-rekan diprogram Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan yang telah memberikan dorongan dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata bahwa penulis menyadari dalam segala keterbatasan menyatakan bahwa tesis ini belum sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari segala kalangan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan semoga kiranya tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, April 2013 Penulis

Yunasri 107032103/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Medan pada tanggal, 14 Januari tahun 1974 yang diberi nama oleh orang tua yaitu Yunasri, anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan ayahanda Nasrul dengan ibunda Murtina dan penulis beragama Islam, bertempat tinggal di Jalan Malemdewa No.1 Takengon.

Pada tahun 1980 masuk pendidikan dasar di SD Negeri 1 Takengon Aceh Tengah, tamat pada tahun 1986. Pada tahun 1986 melanjut ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Takengon Aceh Tengah, tamat pada tanggal Tahun 1989. Pada tahun 1989 melanjut ke pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 9 Medan Sumatera Utara, tamat pada Tahun 1992.

Kemudian pada tahun 1992, penulis melanjut ke pendidikan S1 Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara Medan, tamat pada tahun 2002.

Penulis mulai bekerja sebagai tenaga medis di Puskesmas Blang Mancung Kabupaten Aceh Tengah pada tahun 2002 sampai tahun 2003, dan pada tahun 2003 sampai sekarang sebagai Kepala Puskesmas Celala Kecamatan Celala Kabupaten Aceh Tengah dan pada tahun 2004 pernah sebagai Team Medis Bencana Tsunami Aceh NAD, kemudian Team Siaga Bencana Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tengah dari tahun 2004 sampai sekarang dan Tenaga Penyuluh dan Medis di Bank BPTN Takengon Aceh Tengah tahun 2012 sampai dengan sekarang.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana, Fakultas Kesehatan


(12)

Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2010 dan menyelesaikan studi pada tahun 2013.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Hipotesis ... 10

1.5. Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Bencana ... 13

2.1.1.Definisi Bencana ... 13

2.1.2.Jenis-Jenis Bencana ... 14

2.1.3.Bencana di Kabupaten Aceh Tengah ... 19

2.2. Penanggulangan Bencana Alam ... 22

2.2.1.Strategi Penanggulangan Bencana ... 22

2.2.2.Langkah-Langkah Mitigasi Bencana ... 22

2.2.3.Tahap Penanggulangan Bencana ... 24

2.3. Kesiapsiagaaan ... 28

2.3.1.Definisi Kesiapsiagaan ... 28

2.3.2.Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesiapsiagaan ... 31

2.3.2.1. Pengetahuan Petugas ... 31

2.3.2.2. Sikap Petugas ... 33

2.3.2.3. Pendidikan Petugas ... 35

2.3.2.4. Tindakan Petugas ... 37

2.4. Koordinasi ... 39

2.4.1. Pengertian Koordinasi ... 40

2.4.2. Masalah-masalah dalam Koordinasi ... 47

2.4.3. Tipe-tipe Koordinasi ... 48

2.4.4. Sifat-sifat Koordinasi ... 50


(14)

2.4.6. Ciri-ciri Koordinasi ... 50

2.4.7. Tujuan Koordinasi ... 53

2.4.8. Standard Operating Procedure (SOP) dalam Koordinasi ... 54

2.4.9. Cara Koordinasi ... 55

2.5. Dinas Terkait Penanggulangan Bencana Daerah ... 55

2.6. Kerangka Konsep ... 58

BAB 3. METODE PENELITIAN... 59

3.1. Jenis Penelitian ... 59

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 59

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 59

3.2.2. Waktu Penelitian ... 59

3.3. Populasi dan Sampel ... 60

3.3.1. Populasi ... 60

3.3.2. Sampel ... 60

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 61

3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 62

3.5.1. Variabel Penelitian ... 62

3.5.2. Definisi Operasional ... 63

3.6. Metode Pengukuran ... 64

3.7. Metode Analisis Data ... 65

3.7.1. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 66

3.7.2. Analisis Univariat ... 69

3.7.3. Analisis Bivariat ... 69

3.7.4. Analisis Multivariat ... 70

BAB 4. METODE PENELITIAN... 71

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 71

4.2. Analisis Univariat... 73

4.2.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden ... 73

4.2.2. Gambaran Fungsi Koordinasi Petugas Dinas Terkait .... 76

4.2.3. Gambaran Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana ... 83

4.2.4. Gambaran Dinas Terkait ... 86

4.3. Analisis Bivariat ... 89

4.3.1. Hubungan Pendelegasian Wewenang dengan Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana ... 90

4.3.2. Hubungan Pembagian Kerja dengan Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana ... 90

4.3.3. Hubungan Koordinasi secara Terencana dengan Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana ... 91

4.3.4. Hubungan Pengaturan Penggunaan Teknologi dengan Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana ... 91


(15)

4.3.5. Hubungan Koordinasi dalam Rincian Tugas Pokok

dengan Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana ... 92

4.4. Analisis Multivariat ... 92

BAB 5. PEMBAHASAN ... 94

5.1. Hasil Analisis Deskripsi Penelitian ... 94

5.2. Koordinasi Petugas Dinas Terkait terhadap Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana... 96

5.3. Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Aceh Tengah ... 98

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

6.1. Kesimpulan ... 101

6.2. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103


(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1. Jenis Bencana Alam Berdasarkan Penyebabnya ... 13

3.1. Jumlah Responden Berdasarkan Dinas Terkait Penanggulangan Bencana di Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh ... 61

3.2. Definisi Operasional Variabel ... 63

3.3. Aspek Pengukuran Koordinasi Petugas Dinas Terkait dan Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana ... 64

3.4. Hasil Uji Validitas Instrumen Kuesioner Penelitian ... 67

3.5. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Kuesioner... 68

4.1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik Jenis Kelamin ... 73

4.2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik Umur ... 74

4.3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik Pendidikan... 74

4.4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik Dinas/Unit Kerja ... 75

4.5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik Terlibat Kesiapsiagaan ... 75

4.6. Gambaran Fungsi Koordinasi Petugas Dinas Terkait Sub Variabel Pendelegasian Wewenang ... 76

4.7. Distribusi Fungsi Koordinasi Petugas Dinas Terkait Sub Variabel Pendelegasian Wewenang ... 77

4.8. Gambaran Fungsi Koordinasi Petugas Dinas Terkait Sub Variabel Pembagian Kerja ... 77

4.9. Distribusi Fungsi Koordinasi Petugas Dinas Terkait Sub Variabel Pembagian Tugas ... 78

4.10. Gambaran Fungsi Koordinasi Petugas Dinas Terkait Sub Variabel Koordinasi secara Terencana... 79


(17)

4.11. Distribusi Fungsi Koordinasi Petugas Dinas Terkait Sub Variabel

Koordinasi secara Terencana... 80

4.12. Gambaran Fungsi Koordinasi Petugas Dinas Terkait Sub Variabel Pengaturan Penggunaan Teknologi ... 80

4.13. Distribusi Fungsi Koordinasi Petugas Dinas Terkait Sub Variabel Pengaturan Penggunaan Teknologi ... 81

4.14. Gambaran Fungsi Koordinasi Petugas Dinas Terkait Sub Variabel Koordinasi dalam Rincian Tugas Pokok ... 82

4.15. Distribusi Fungsi Koordinasi Petugas Dinas Terkait Sub Variabel Koordinasi dalam Rincian Tugas Pokok ... 83

4.16. Gambaran Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana ... 83

4.17. Distribusi Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana ... 86

4.18. Distribusi Frekuensi Dinas Terkait dengan Pendelegasian Wewenang ... 86

4.19. Distribusi Frekuensi Dinas Terkait dengan Pembagian Kerja ... 87

4.20. Distribusi Frekuensi Dinas Terkait dengan Koordinasi Secara Terencana 87 4.21. Distribusi Frekuensi Dinas Terkait dengan Pengaturan Penggunaan Teknologi ... 88

4.22. Distribusi Frekuensi Dinas Terkait dengan Koordinasi dalam Rincian Tugas Pokok ... 88

4.23. Distribusi Frekuensi Dinas Terkait dengan Kesiapsiagaan Penanggu- langan Bencana... 89

4.24. Distribusi Frekuensi Pendelegasian Wewenang dengan Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana ... 90

4.25. Distribusi Frekuensi Pembagian Kerja dengan Kesiapsiagaan Penanggu- langan Bencana... 90

4.26. Distribusi Frekuensi Koordinasi Secara Terencana dengan Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana ... 91


(18)

4.27. Distribusi Frekuensi Pengaturan Penggunaan Teknologi dengan Kesiap- siagaan Penanggulangan Bencana ... 91 4.28. Distribusi Frekuensi Koordinasi dalan Rincian Tugas Pokok dengan


(19)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1. Struktur Organisasi Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Kabupaten/Kota ... 57 2.2. Kerangka Konseptual Penelitian ... 58


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 107

2. Master Tabel Data Responden Penelitian ... 111

3. Output Hasil Olahan SPSS ... 126

4. Surat Ijin Penelitian dari S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat USU ... 151


(21)

ABSTRAK

Berdasarkan sebaran zona risiko tinggi dalam indeks resiko bencana di Indonesia, Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh termasuk zona beresiko tinggi bencana gempabumi, bencana letusan gunung berapi, resiko gerakan tanah, resiko hutan dan lahan serta resiko gedung. Kabupaten Aceh Tengah berdasarkan kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis juga sangat berpotensi adanya ancaman bencana maka diperlukan suatu upaya menyeluruh dalam upaya penanggulangan bencana, baik ketika bencana itu terjadi, sudah terjadi, maupun potensi bencana di masa yang akan datang. Dinas terkait yakni Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Palang Merah Indonesia (PMI), Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan POLRI merupakan dinas yang berhubungan langsung dalam penanggulangan bencana sehingga diperlukan koordinasi yang baik di antara dinas terkait tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fungsi koordinasi dinas terkait meliputi pendelegasian wewenang, pembagian kerja, koordinasi secara terencana, pengaturan penggunaan teknologi dan koordinasi dalam rincian tugas pokok terhadap kesiapsiagaan penanggulangan bencana di Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh. Jenis penelitian yang digunakan adalah explanatory research. Populasi penelitian sebanyak 818 responden dengan sampel sebanyak 117 responden. Pengumpulan data menggunakan kuesioner penelitian yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Analisis data dilakukan dengan uji univariat, uji bivariat dan uji multivariat.

Dari hasil penelitian diperoleh hasil uji bivariat menunjukkan bahwa koordinasi yang berhubungan dengan kesiapsiagaan penanggulangan bencana meliputi sub pendelegasian wewenang (p=0,001), pembagian kerja (0,058), koordinasi secara terencana (0,061), pengaturan penggunaan teknologi (p=0,001) dan koordinasi dalam rincian tugas pokok (0,001) sehingga variabel yang bernilai p<0,25 digunakan untuk uji multivariat. Hasil uji multivariat menunjukkan bahwa pendelegasian wewenang, pengaturan penggunaan teknologi dan koordinasi dalam rincian tugas pokok yang kurang baik lebih mendominasi dalam peramalan probabilitas petugas dinas terkait untuk ikut kesiapsiagaan

Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan agar koordinasi antar dinas terkait semakin ditingkatkan melalui komunikasi aktif, rapat-rapat antar instansi dan melalui pelatihan atau simulasi penanggulangan bencana.


(22)

ABSTRACT

Based on risk zone distribution in disaster risk index in Indonesia, Aceh Tengah Regency Aceh Province belongs earthquake disaster tall risky zone, volcano explosion disaster, soil movement risk, forest risk and tune with building risk. Acerh Tengah Regency based on geographical condition, geological, hidrologis and demographic also very potential disaster threat existence so need a efforts comprehensive in the effort disaster tackling, good when does that disaster happen, have happen, also potential disaster at that time. related official that is Regency Disaster Board (RDB), Indonesia Red Cross (IRC), Public Health Board, Social Official and Indonesia Police Corps is that official in disaster tackling so that is need coordination either in between related official.

This research aims to detect related official coordination function influence towards disaster prevention according authority delegation of authority, division of labor, coordination planning, technology use arrangement and coordination in main task details towards kesiapsiagaan disaster tackling at Aceh Tengah Regency Aceh Province. Research kind that used explanatory research. Population as much as 818 respondents with sample as much as 117 respondents. Data collecting has used questionnaires that tested validity and reliability. Data analysis to test univariate and bivariate test with analyze linear regression, correlation coefficient and hypothesis test.

Research result is got bivariate test result shows that coordination that alerteness disaster tackling covers sub authority delegation of authority (p=0,001, division of labor (0,058, coordinations according planning (0,061, technology use arrangements (p=0,001) and coordination in main task details (0,001) so that valuable variable p<0,25 used for test multivariat. Test result multivariat show that authority delegation of authority, technology use arrangement and coordination in main task details unfavourable more dominates in related official operator probability forecasting to comes alerteness.

Based on this research result is so suggested so that coordination delivers related official more is increased to pass communication, tightfitting deliver resort and pass training or disaster tackling simulation.


(23)

BAB1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah sebuah negeri yang rawan bencana. Sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah menjadi tempat terjadinya dua letusan gunung api terbesar di dunia. Tahun 1815 Gunung Tambora yang berada di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, meletus dan mengeluarkan sekitar 1,7 juta ton abu dan material vulkanik. Sebagian dari material vulkanik ini membentuk lapisan di atmosfir yang memantulkan balik sinar matahari ke atmosfir. Karena sinar matahari yang memasuki atmosfir berkurang banyak, bumi tidak menerima cukup panas dan terjadi gelombang hawa dingin. Gelombang hawa dingin membuat tahun 1816 menjadi “tahun yang tidak memiliki musim panas” dan menyebabkan gagal panen di banyak tempat serta kelaparan yang meluas. Dalam abad yang sama, gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Erupsi Krakatau diperkirakan memiliki kekuatan setara 200 megaton TNT, kira-kira 13.000 kali kekuatan ledakan bom atom yang menghancurkan Hiroshima dalam Perang Dunia II (BNPB, 2010).

Bencana yang paling memilukan terjadi pada awal abad XXI juga bermula dari Indonesia. Bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi tanggal 26 Desember 2004 di Aceh telah menyebabkan kerusakan berbagai fasilitas, harta benda maupun korban jiwa. Gempabumi ini memicu tsunami yang menewaskan lebih dari 225.000 jiwa di sebelas negara dan menimbulkan kehancuran hebat di banyak kawasan pesisir


(24)

di negara-negara yang terkena. Berdasarkan data RUPUSDALOPS BPBA Banda Aceh, jumlah korban bencana gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004 menelan korban jiwa sebanyak 165.708 jiwa meninggal, 37.063 jiwa hilang, sekitar 100.000 jiwa menderita luka berat dan ringan serta nilai kerusakan yang ditimbulkannya mencapai lebih dari Rp. 48 triliun (Iskandar, 2010).

Susunan tanah di kepulauan Indonesia tidak terikat kuat pada poros bumi, dan oleh sebab itu bencana alam seperti gempa tektonik yang mungkin terjadi di sekitarnya tidak berpengaruh banyak karena goncangan bencana tersebut tersalur ke berbagai selat di antara pulau. Dengan demikian, susunan lapisan tanah yang tidak terlalu padat ini sangat berpotensi terhadap bencana, katakanlah seperti tanah longsor. Di samping itu, berbagai aktivitas yang dilakukan manusia dengan tidak mengindahkan aspek kelestarian lingkungan dapat mengakibatkan terjadinya banyak daerah rawan bencana seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, dan hujan.

Ditinjau dari segi geologi, sebagian wilayah Indonesia merupakan daerah rawan bencana karena wilayah ini adalah tempat pertemuan antara dua rangkaian jalur pegunungan muda dunia yaitu sirkum Pasifik dan sirkum Mediteran. Sedangkan dilihat dari segi geografis, Indonesia berada pada posisi silang antara benua Asia dan Australia serta antara samudera Hindia dan samudera Pasifik yang membujur pada daerah tropis. Kondisi alam seperti inilah yang menyebabkan wilayah Indonesia rawan terhadap berbagai jenis bencana alam (BNPB, 2010).

Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Data bencana dari BAKORNAS PB menyebutkan bahwa antara tahun 2003-2005 telah


(25)

terjadi 1.429 kejadian bencana, di mana bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang paling sering terjadi yaitu 53,3 persen dari total kejadian bencana di Indonesia. Dari total bencana hidrometeorologi, yang paling sering terjadi adalah banjir (34,1 persen dari total kejadian bencana di Indonesia) diikuti oleh tanah longsor (16 persen). Meskipun frekuensi kejadian bencana geologi (gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi) hanya 6,4 persen, bencana ini telah menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang besar, terutama akibat gempa bumi yang diikuti tsunami di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara tanggal 26 Desember 2004 dan gempa bumi besar yang melanda pulau Nias Sumatera Utara pada tanggal 28 Maret 2005 (BNPB, 2010).

Sejak terjadinya tsunami di Aceh, bencana demi bencana terus melanda Indonesia. Gempa, banjir, longsor, badai dan bencana alam lainnya terus terjadi. Beberapa waktu lalu bencana alam juga terjadi di Balikpapan. Gempa bumi tektonik kuat yang mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tanggal 27 Mei 2006. Gempa bumi tersebut berkekuatan 5,9 skala Richter. United States Geological Survey melaporkan 6,2 pada skala Richter; lebih dari 6.000 orang tewas, dan lebih dari 300.000 keluarga kehilangan tempat tinggal (BNPB, 2010).

Selain bencana-bencana berskala besar yang pernah tercatat dalam sejarah, Indonesia juga tidak lepas dari bencana besar yang terjadi hampir setiap tahun yang menimbulkan kerugian tidak sedikit. Banjir yang hampir setiap tahun menimpa Jakarta dan wilayah sekitarnya kota-kota di sepanjang daerah aliran sungai Bengawan


(26)

Solo dan beberapa daerah lain di Indonesia menimbulkan kerugian material dan non-material senilai triliunan rupiah (Bakornas, 2010).

Demikian pula kekeringan yang semakin sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia, dan selain mengancam produksi tanaman pangan juga kian mempermiskin penduduk yang mata pencahariannya tergantung pada pertanian, perkebunan dan peternakan (Bakornas, 2010).

Bencana alam merupakan peristiwa luar biasa yang menimbulkan penderitaan luar biasa bagi yang mengalaminya. Bahkan, bencana alam tertentu menimbulkan banyak korban cedera maupun meninggal dunia. Bencana alam juga tidak hanya menimbulkan luka dan cedera fisik tetapi juga menimbulkan dampak psikologis atau kejiwaan. Hilangnya harta benda dan nyawa dari orang-orang yang dicintai membuat sebagian korban bencana mengalami stres atau gangguan jiwa. Hal tersebut sangat berbahaya terutama bagi anak-anak yang dapat terganggu perkembangan jiwanya (Kamadhis UGM, 2007).

Tampaknya bencana akan terus menghampiri negeri ini, karena Indonesia memiliki geografis dan geologis yang potensial terkena bencana alam sehingga dijuluki negeri cincin api. Dari perkiraan para ahli, saat ini terdapat 20 gunung yang tersebar di beberapa wilayah tengah menunjukkan tanda-tanda keaktifannya. Sebut saja salah satunya Anak Gunung Krakatau yang sekarang berstatus waspada. Bencana berdampak terhadap keberlangsungan hidup masyarakat. Tak hanya kerusakan dan kehilangan harta benda, korban jiwapun berjatuhan. Bencana gempa terhitung telah


(27)

merenggut ratusan ribu jiwa dan juga kerusakan infrastruktur yang mahadahsyat (Kamadhis UGM, 2007).

Untuk menghadapi peningkatan potensi dan kompleksitas bencana di masa depan dengan lebih baik, Indonesia memerlukan suatu rencana yang sifatnya terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh. Rencana ini menjadi salah satu bagian kesiapsiagaan penanggulangan bencana (BNPB, 2010).

Menghadapi bencana tersebut, Indonesia masih terus mengembangkan diri. Dipandang dari segi kelembagaan kapasitas ini meningkat jauh dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang mengamanatkan dibentuknya badan independen yang menangani bencana. Dengan berdirinya BNPB di tingkat pusat dan BPBD di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota, upaya penanggulangan bencana dapat dilaksanakan dengan lebih terarah, terpadu dan menyeluruh. Masih dibutuhkan kerja keras untuk mewujudkan instansi penanggulangan bencana yang independen, mampu berkoordinasi dengan baik dengan instansi-instansi lain, dijalankan oleh staf yang cukup dan kompeten, memiliki sumber daya dan alokasi anggaran yang memadai, dan didukung dengan kebijakan penanggulangan bencana yang bermutu tinggi (BNPB, 2010).

Melihat seringnya bencana alam yang sering terjadi di Indonesia maka melalui Peraturan Presiden RI Nomor 83 Tahun 2005 dibentuklah Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana yang disingkat BAKORNAS PB yang kemudian


(28)

diperbaharui dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 (PP No.83, 2007).

Peraturan Presiden RI Nomor 8 Tahun 2008 menegaskan terbentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana dengan tugas-tugas yang telah ditetapkan dalam peraturan. Untuk melaksanakan tugas penanggulangan bencana di daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang selanjutnya disebut BPBD yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PP No.8, 2008).

Sebagai lembaga koordinasi dan pelaksana BNPB (Dulu Bakornas PB) telah banyak terjun langsung menangani bencana di seluruh pelosok Indonesia. Bencana gempa dan tsunami Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 merupakan momentum penting yang menandai peran aktif masyarakat, baik lokal maupun yang datang dari propinsi lain serta masyarakat dan lembaga internasional dalam penanganan bencana (BNPB, 2010).

Secara kualitas hal ini masih bisa ditingkatkan, mengingat penanganan bencana didaerah masih lebih banyak bersifat responsif (bertindak ketika bencana telah terjadi) belum sepenuhnya preventif dengan melakukan antisipasi pengurangan risiko sebelum bencana terjadi (Bakornas, 2007).

BNPB dalam melaksanakan tugasnya menyelenggarakan fungsi antara lain : a. Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan


(29)

b. Pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh

Berdasarkan sebaran zona risiko tinggi yang dispasialkan dalam indeks risiko bencana di Indonesia, Kabupaten Aceh Tengah termasuk zona beresiko tinggi bencana gempabumi, bencana letusan gunung berapi, resiko gerakan tanah, resiko hutan dan lahan serta resiko gedung (BNPB, 2010).

Menghadapi bencana yang sering terjadi, selayaknya harus bahu-membahu membantu korban bencana, agar dapat melanjutkan hidup dan kehidupannya yang telah ditimpa musibah ini. Caranya adalah dengan memberikan bantuan moril dan materil. Bencana telah terjadi, hal yang terpenting adalah penanganan pasca bencana, yaitu penanganan korban tewas dan luka, penanganan pengungsi serta pengumpulan dan koordinasi penyaluran bantuan. Guna memulihkan kondisi korban dan daerah yang terkena bencana adalah dengan menangani para pengungsi dengan baik, serta rekonstruksi daerah yang terkena bencana (BNPB, 2010).

Pemerintah seharusnya menjamin korban selamat terbebas dari kelaparan dan serangan penyakit. Pemulihan psikologis korban bencana, terutama anak usia dini, sangat penting diberikan. Selanjutnya, pemerintah segera melakukan relokasi dan pembangunan infrastruktur kembali, serta perumahan yang mampu mendukung kehidupan yang layak (BNPB, 2010).

Di sinilah peran program pemberdayaan bisa memposisikan diri, baik sebelum maupun pasca terjadinya bencana. Program pemberdayaan dapat memberikan bimbingan dan arahan kepada masyarakat dalam melestarikan alam dan lingkungan


(30)

sekitarnya. Misalnya saja, melindungi hutan dari penebangan liar, pelestarian sungai, menciptakan lingkungan yang sehat, nyaman dan aman. Selain itu, program pemberdayaan juga dapat melakukan upaya antisipasi dan penyelamatan diri ketika bencana tiba.

Potensi ancaman bencana di Aceh tidak akan berkurang secara signifikan dalam tahun-tahun ke depan. Mengingat kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis Aceh maka diperlukan suatu upaya menyeluruh dalam upaya penanggulangan bencana, baik ketika bencana itu terjadi, sudah terjadi, maupun potensi bencana di masa yang akan datang. Konsekuensi dari kondisi geomorfologis dan klimatologis serta demografis, maka ancaman bahaya (hazard) di Aceh mencakup ancaman geologis, hidro-meteorologis, serta sosial dan kesehatan (BPBD Aceh, 2011).

Secara geologis, Aceh berada di jalur penunjaman dari pertemuan lempeng Asia dan Australia, serta berada di bagian ujung patahan besar Sumatera (Sumatera Fault/Transform) yang membelah pulau Sumatera dari Aceh sampai selat Sunda yang dikenal dengan patahan Semangko. Zona patahan aktif yang terdapat di wilayah Aceh adalah wilayah bagian tengah, yaitu di Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. Hal ini dapat menyebabkan Aceh mengalami bencana geologis yang cukup panjang (Profil Aceh Tengah, 2011).

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Tengah dibentuk berdasarkan Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 5 Tahun 2010 untuk melakukan


(31)

tugas penanggulangan bencana di kabupaten Aceh Tengah. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Aceh Tengah akan membangun koordinasi internal BPBD, pemerintah pusat dan masyarakat dalam menjalankan tugasnya (BPBD Aceh Tengah, 2010).

Koordinasi yang baik dan sinergi akan menghasilkan penanggulangan yang maksimal dan baik di masa yang akan datang. Koordinasi yang dimaksud adalah koordinasi BPBD dengan dinas terkait lainnya yang terlibat langsung dalam penanggulangan bencana yakni Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Palang Merah Indonesia (PMI) dan POLRI.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka yang menjadi rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh fungsi koordinasi petugas dinas terkait meliputi pendelegasian wewenang, pembagian kerja, koordinasi secara terencana, pengaturan penggunaan teknologi dan koordinasi dalam rincian tugas pokok terhadap kesiapsiagaan penanggulangan bencana di Kabupaten Aceh Tengah Propinsi Aceh.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh fungsi koordinasi petugas dinas terkait meliputi pendelegasian wewenang, pembagian kerja, koordinasi secara terencana, pengaturan penggunaan teknologi dan koordinasi dalam rincian


(32)

tugas pokok terhadap kesiapsiagaan penanggulangan bencana di Kabupaten Aceh Tengah Propinsi Aceh.

1.4. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh fungsi koordinasi petugas dinas terkait meliputi pendelegasian wewenang, pembagian kerja, koordinasi secara terencana, pengaturan penggunaan teknologi dan koordinasi dalam rincian tugas pokok terhadap kesiapsiagaan penanggulangan bencana di Kabupaten Aceh Tengah Propinsi Aceh.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam mengambil alternatif keputusan dan perumusan kebijaksanaan sebagai usaha untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Tengah khususnya yang terkait dengan penanggulangan bencana di Kabupaten Aceh Tengah Propinsi Aceh.

2. Sebagai bahan pemikiran yang didasari pada teori dan analisis terhadap kajian praktis dalam meningkatkan koordinasi petugas terkait dalam melakukan kesiapsiagaan penanggulangan bencana di Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh.

3. Sebagai bahan referensi penelitian dan rujukan tentang penanggulangan bencana bagi mahasiswa maupun pembaca umumnya. Hasil penelitian ini dapat dijadikan


(33)

sebagai bahan bacaan dan referensi perpustakaan hingga menjadi dasar pemikiran untuk pelaksanaan penelitian yang selanjutnya.


(34)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bencana

2.1.1. Definisi Bencana

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan. Sedangkan bencana alam artinya adalah bencana yang disebabkan oleh alam (Purwadarminta, 2006)

Menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian.

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh gejala-gejala alam yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan, kerugian materi, maupun korban manusia (Kamadhis UGM, 2007).


(35)

2.1.2. Jenis-Jenis Bencana Alam

Jenis-jenis bencana menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, antara lain:

1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

2. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit.

3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror (UU RI, 2007).

Bencana alam dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan penyebabnya yaitu bencana geologis, klimatologis dan ekstra-terestrial seperti terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Jenis Bencana Alam Berdasarkan Penyebabnya Jenis Penyebab Bencana

Alam

Beberapa contoh kejadiannya

Bencana alam geologis Gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, longsor/gerakan tanah, amblesan atau abrasi Bencana alam klimatologis Banjir, banjir bandang, angin puting beliung,

kekeringan, hutan (bukan oleh manusia) Bencana alam ekstra-terestrial Impact atau hantaman atau benda dari angkasa

luar Sumber : Kamadhis UGM, 2007

Bencana alam geologis adalah bencana alam yang disebabkan oleh gaya-gaya dari dalam bumi. Sedangkan bencana alam klimatologis adalah bencana alam yang


(36)

disebabkan oleh perubahan iklim, suhu atau cuaca. Lain halnya dengan bencana alam ekstra-terestrial, yaitu bencana alam yang disebabkan oleh gaya atau energi dari luar bumi, bencana alam geologis dan klimatologis lebih sering berdampak terhadap manusia.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2010), jenis-jenis bencana antara lain:

1. Gempa Bumi merupakan peristiwa pelepasan energi yang menyebabkan dislokasi (pergeseran) pada bagian dalam bumi secara tiba-tiba. Mekanisme perusakan terjadi karena energi getaran gempa dirambatkan ke seluruh bagian bumi. Di permukaan bumi, getaran tersebut dapat menyebabkan kerusakan dan runtuhnya bangunan sehingga dapat menimbulkan korban jiwa. Getaran gempa juga dapat memicu terjadinya tanah longsor, runtuhan batuan, dan kerusakan tanah lainnya yang merusak permukiman penduduk. Gempa bumi juga menyebabkan bencana ikutan berupa , kecelakaan industri dan transportasi serta banjir akibat runtuhnya bendungan maupun tanggul penahan lainnya.

2. Tsunami diartikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif dari dasar laut. Gangguan impulsif tersebut bisa berupa gempa bumi tektonik, erupsi vulkanik atau longsoran. Kecepatan tsunami yang naik ke daratan (run-up) berkurang menjadi sekitar 25-100 Km/jam dan ketinggian air.

3. Letusan Gunung Berapi adalah merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah "erupsi". Hampir semua kegiatan gunung api berkaitan


(37)

dengan zona kegempaan aktif sebab berhubungan dengan batas lempeng. Pada batas lempeng inilah terjadi perubahan tekanan dan suhu yang sangat tinggi sehingga mampu melelehkan material sekitarnya yang merupakan cairan pijar (magma). Magma akan mengintrusi batuan atau tanah di sekitarnya melalui rekahan-rekahan mendekati permukaan bumi. Setiap gunung api memiliki karakteristik tersendiri jika ditinjau dari jenis muntahan atau produk yang dihasilkannya. Akan tetapi apapun jenis produk tersebut kegiatan letusan gunung api tetap membawa bencana bagi kehidupan. Bahaya letusan gunung api memiliki resiko merusak dan mematikan.

4. Tanah Longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Tanah longsor terjadi karena ada gangguan kestabilan pada tanah/batuan penyusun lereng.

5. Banjir dimana suatu daerah dalam keadaan tergenang oleh air dalam jumlah yang begitu besar. Sedangkan banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba yang disebabkan oleh karena tersumbatnya sungai maupun karena pengundulan hutan disepanjang sungai sehingga merusak rumah-rumah penduduk maupun menimbulkan korban jiwa.

6. Kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air yang jauh dibawah kebutuhan air baik untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan.


(38)

7. Angin Topan adalah pusaran angin kencang dengan kecepatan angin 120 km/jam atau lebih yang sering terjadi di wilayah tropis diantara garis balik utara dan selatan, kecuali di daerah-daerah yang sangat berdekatan dengan khatulistiwa. Angin topan disebabkan oleh perbedaan tekanan dalam suatu sistem cuaca. Angin paling kencang yang terjadi di daerah tropis ini umumnya berpusar dengan radius ratusan kilometer di sekitar daerah sistem tekanan rendah yang ekstrem dengan kecepatan sekitar 20 Km/jam. Di Indonesia dikenal dengan sebutan angin badai. 8. Gelombang Pasang adalah gelombang air laut yang melebihi batas normal dan

dapat menimbulkan bahaya baik di lautan, maupun di darat terutama daerah pinggir pantai. Umumnya gelombang pasang terjadi karena adanya angin kencang atau topan, perubahan cuaca yang sangat cepat, dan karena ada pengaruh dari gravitasi bulan maupun matahari. Kecepatan gelombang pasang sekitar 10-100 Km/jam. Gelombang pasang sangat berbahaya bagi kapal-kapal yang sedang berlayar pada suatu wilayah yang dapat menenggelamkan kapal-kapal tersebut. Jika terjadi gelombang pasang di laut akan menyebabkan tersapunya daerah pinggir pantai atau disebut dengan abrasi.

9. Kegagalan Teknologi adalah semua kejadian bencana yang diakibatkan oleh kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam penggunaan teknologi atau industri.

10. Kebakaran adalah situasi dimana suatu tempat atau lahan atau bangunan dilanda api serta hasilnya menimbulkan kerugian. Sedangkan lahan dan hutan adalah


(39)

keadaan dimana lahan dan hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan lahan dan hutan serta hasil-hasilnya dan menimbulkan kerugian.

11.Aksi Teror atau Sabotase adalah semua tindakan yang menyebabkan keresahan masyarakat, kerusakan bangunan, dan mengancam atau membahayakan jiwa seseorang atau banyak orang oleh seseorang atau golongan tertentu yang tidak bertanggung jawab. Aksi teror atau sabotase biasanya dilakukan dengan berbagai alasan dan berbagai jenis tindakan seperti pemboman suatu bangunan/tempat tertentu, penyerbuan tiba-tiba suatu wilayah, tempat, dan sebagainya. Aksi teror atau sabotase sangat sulit dideteksi atau diselidiki oleh pihak berwenang karena direncanakan seseorang atau golongan secara diam-diam dan rahasia.

12.Kerusuhan atau Konflik Sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi huru-hara atau kerusuhan atau perang atau keadaan yang tidak aman di suatu daerah tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan, suku, ataupun organisasi tertentu. 13.Epidemi, Wabah dan Kejadian Luar Biasa merupakan ancaman yang diakibatkan

oleh menyebarnya penyakit menular yang berjangkit di suatu daerah tertentu. Pada skala besar, epidemi atau wabah atau Kejadian Luar Biasa (KLB) dapat mengakibatkan meningkatnya jumlah penderita penyakit dan korban jiwa. Beberapa wabah penyakit yang pernah terjadi di Indonesia dan sampai sekarang masih harus terus diwaspadai antara lain demam berdarah, malaria, flu burung, anthraks, busung lapar dan HIV/AIDS. Wabah penyakit pada umumnya sangat sulit dibatasi penyebarannya, sehingga kejadian yang pada awalnya merupakan kejadian lokal dalam waktu singkat bisa menjadi bencana nasional yang banyak


(40)

menimbulkan korban jiwa. Kondisi lingkungan yang buruk, perubahan iklim, makanan dan pola hidup masyarakat yang salah merupakan beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya bencana ini.

2.1.3. Bencana di Kabupaten Aceh Tengah

Kondisi topografi Kabupaten Aceh Tengah dinilai sangat rentan dengan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Tidak hanya bencana alam, Aceh Tengah juga rentan terhadap bencana non-alam, seperti hutan dan lahan yang disebabkan manusia. Koordinasi pencegahan dan kesiapsiagaan penanggulangan bencana sangat diperlukan dalam upaya mengelola tahapan bencana meliputi pra bencana saat tanggap darurat dan pasca bencana.

Potensi bencana gas beracun diindikasikan pada kawasan yang berdekatan dengan gunung berapi aktif. Dengan demikian kawasan dengan potensi rawan bahaya gas beracun adalah relatif sama dengan kawasan rawan letusan gunung berapi. Kawasan potensi rawan bahaya gas beracun tersebut adalah di Bener Meriah (G. Geureudong dan Bur Ni Telong), Pidie dan Pidie Jaya (G. Peut Sagoe), Aceh Besar (G. Seulawah Agam), dan Sabang (Cot. Simeuregun Jaboi).

Potensi bencana tanah longsor biasa terjadi di sekitar kawasan pegunungan atau bukit dimana dipengaruhi oleh kemiringan lereng yang curam pada tanah yang basah dan bebatuan yang lapuk, curah hujan yang tinggi, gempa bumi atau letusan gunung berapi yang menyebabkan lapisan bumi paling atas dan bebatuan berlapis terlepas dari bagian utama gunung atau bukit. Tanda tanda terjadinya longsor dapat ditandai dengan beberapa parameter antara lain keretakan pada tanah, runtuhnya


(41)

bagian bagian tanah dalam jumlah besar, perubahan cuaca secara ekstrim dan adanya penurunan kualitas landskap dan ekosistem.

Tanah longsor yang terjadi selama kurun waktu 2007-2009 di Aceh sebanyak 26 kali. Dampak kerusakan harta benda yang ditimbulkan diperkirakan mencapai 50-100 Miliar rupiah, kerusakan sarana dan prasarana 20–40 persen, sedangkan cakupan wilayah yang terkena longsor sangat luas 20–40 persen, serta berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat (terganggunya mata pencarian) sebesar 5–10 persen. Bencana tanah longsor yang berdampak pada masyarakat secara langsung adalah pada jalur jalan lintas tengah, yaitu yang terdapat di Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Gayo Lues, sekitar Takengon di Kabupaten Aceh Tengah, dan di sekitar Tangse – Geumpang Kabupaten Pidie.

Aceh memiliki tingkat kompleksitas hidro-meteorologis yang cukup tinggi. Dimensi alam menyebabkan Aceh mengalami hampir semua jenis bencana hidro-meteorologis seperti puting beliung, banjir, abrasi dan sedimentasi, badai siklon tropis serta kekeringan. Puting beliung terjadi di Aceh hampir merata di berbagai daerah terutama terjadi di pesisir yang berhadapan dengan perairan laut yang mengalami angin badai. Berdasarkan kejadian yang pernah terjadi sebelumnya adalah di Aceh Timur, Aceh Utara di pesisir timur dan Aceh Barat di pesisir barat. Namun, dari data kejadian 3 tahun terakhir (2006-2009) terjadi 30 kali bencana puting beliung di 14 kabupaten/kota. Kabupaten Aceh Utara terdata mengalami kejadian tertinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya.


(42)

Sumber kerentanan bencana banjir ini berasal dari pembalakan liar (illegal logging) di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS), pendangkalan sungai, rusak atau tersumbatnya saluran drainase, dan terjadinya perubahan fungsi lahan tanpa sistem tatakelola yang baik yang memperhatikan kapasitas DAS dalam menampung air. Kabupaten Aceh Utara mencatat kejadian tertinggi dibandingkan Kabupaten Kota lainnya.

Selain bencana yang disebabkan oleh fenomena alam, bencana juga dapat disebabkan oleh perilaku manusia antara lain karena kelalaian, ketidaktahuan, maupun sempitnya wawasan dari sekelompok masyarakat atau disebut bencana sosial. Bencana sosial dapat terjadi dalam bentuk , pencemaran lingkungan (polusi udara dan limbah industri) dan kerusuhan atau konflik sosial. Potensi rawan seperti hutan terjadi pada hutan-hutan yang dilalui jaringan jalan utama sebagai akibat perilaku manusia, terutama pada kawasan hutan pinus dan lahan gambut yang cenderung mudah mengalami pada musim kemarau. Indikasi potensi rawan hutan tersebut adalah di Aceh Besar, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Subulussalam, Aceh Singkil, dan Aceh Tengah.

Bencana sosial dapat juga muncul sebagai akibat bencana alam, baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun faktor manusia dalam memandang dan memanfaatkan sumberdaya alam (faktor antropogenik). Kejadian bencana sosial yang menonjol di Aceh adalah konflik yang berlatar belakang ideologi dan ekonomi, serta Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti penyakit menular dan atau tidak menular yang dipicu oleh perilaku manusia itu sendiri.


(43)

Isu bencana yang diuraikan di atas masih belum diantisipasi secara baik. Lokasi-lokasi rawan bencana yang disajikan dalam bentuk peta risiko bencana provinsi Aceh seperti peta risiko gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, angin puting beliung dan kekeringan dengan skala 1:50.000 masih dalam tahap proses penyelesaian yang diharapkan dapat selesai pada tahun 2011. Peta risiko bencana tersebut dibuat dengan skala 1:50.000 sehingga masih perlu didetilkan lagi dengan skala 1: 5000 dan disosialisasikan ke masyarakat, khususnya yang berdomisili pada daerah risiko bencana. Sementara itu, beberapa peta risiko bencana lainnya seperti peta risiko banjir, longsor, cuaca ekstrim dan hutan masih belum ada. Demikian juga dengan building code untuk daerah risiko gempa masih belum sempurna sehingga belum dapat disosialisasikan ke seluruh kabupaten/kota.

2.2. Penanggulangan Bencana Alam 2.2.1. Strategi Penanggulangan Bencana

1. Mengintegrasikan mitigasi bencana dalam program pembangunan yang lebih besar.

2. Pemilihan upaya mitigasi harus didasarkan atas biaya dan manfaat.

3. Agar diterima masyarakat, mitigasi harus menunjukkan hasil yang segera tampak. 4. Upaya mitigasi harus dimulai dari yang mudah dilaksanakan segera setelah

bencana terjadi.

5. Mitigasi dilakukan dengan cara meningkatkan kemampuan lokal dalam manajemen dan perencanaan.


(44)

2.2.2. Langkah-langkah Mitigasi Bencana

Penanggulangan bencana alam bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bencana dan dampak yang ditimbulkannya. Karena itu, dalam penanggulangannya harus memperhatikan prinsip-prinsip penanggulangan bencana alam.

Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan sejumlah prinsip penanggulangan yaitu:

1. Cepat dan Tepat

Yang dimaksud dengan prinsip cepat dan tepat adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan. Keterlambatan dalam penanggulangan akan berdampak pada tingginya kerugian material maupun korban jiwa.

2. Prioritas

Yang dimaksud dengan prinsip prioritas adalah bahwa apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.

3. Koordinasi dan Keterpaduan

Yang dimaksud dengan prinsip koordinasi adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung.

Yang dimaksud dengan prinsip keterpaduan adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung.


(45)

4. Berdaya Guna dan Berhasil Guna

Yang dimaksud dengan prinsip berdaya guna adalah bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.

Yang dimaksud dengan prinsip berhasil guna adalah bahwa kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.

5. Transparansi dan Akuntabilitas

Yang dimaksud dengan prinsip transparansi adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.

Yang dimaksud dengan prinsip akuntabilitas adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.

6. Kemitraan

Penanggulangan tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Kemitraan dalam penanggulangan bencana dilakukan antara pemerintah dengan masyarakat luas termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya. Bahkan, kemitraan juga dilakukan dengan organisasi atau lembaga di luar negeri termasuk dengan pemerintahannya.


(46)

7. Pemberdayaan

Pemberdayaan berarti upaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengetahui, memahami dan melakukan langkah-langkah antisipasi, penyelamatan dan pemulihan bencana. Negara memiliki kewajiban untuk memberdayakan masyarakat agar mengurangi dampak dari bencana.

8. Non Diskriminatif

Yang dimaksud dengan prinsip nondiskriminatif adalah bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak memberi perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras dan aliran politik apapun.

9. Non Proletisi

Yang dimaksud dengan prinsip proletisi adalah bahwa dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.

2.2.3. Tahap Penanggulangan Bencana

Badan Penanggulangan Bencana dan Daerah yang selanjutnya disebut BPBD adalah merupakan unsur pendukung dan pelaksana tugas dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang penanggulangan bencana dan perlindungan masyarakat terhadap bencana alam, non alam dan sosial.

Penanggulangan bencana adalah segala upaya kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan pencegahan, penjinakan (mitigasi), penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi, baik sebelum bencana, pada saat terjadinya bencana maupun setelah bencana dan menghindarkan dari bencana yang terjadi.


(47)

Upaya penanggulangan dampak bencana dilakukan melalui pelaksanaan tanggap darurat dan pemulihan kondisi masyarakat di wilayah bencana. Upaya penanggulangan dampak bencana tersebut dilakukan secara sistematis, menyeluruh, efisien dalam penggunaan sumberdaya dan efektif dalam memberikan bantuan kepada kelompok korban. Upaya penanggulangan dan pemulihan tersebut dilakukan dengan pendekatan secara utuh dan terpadu melalui tiga tahapan, yaitu tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi dalam pelaksanaan penanggulangan dampak bencana, yaitu:

1. Tahap Tanggap Darurat

Tahap ini telah selesai dilaksanakan oleh Pemerintah melalui BNPB, BPBD serta LSM dan masyarakat baik lokal maupun internasional juga beberapa instansi terkait di pusat. Tahap ini bertujuan membantu masyarakat yang terkena bencana langsung untuk segera dipenuhi kebutuhan dasarnya yang paling minimal. Sasaran utama dari tahap tanggap darurat ini adalah penyelamatan dan pertolongan kemanusiaan. Dalam tahap tanggap darurat ini, diupayakan pula penyelesaian tempat penampungan sementara yang layak, serta pengaturan dan pembagian logistik yang cepat dan tepat sasaran kepada seluruh korban bencana.

Pada tahap ini berbagai upaya dilakukan untuk meminimalkan dampak buruk dari bencana. Contoh-contoh kegiatan pada tahap ini adalah:

a. Pembuatan waduk untuk mencegah terjadinya banjir dan kekeringan

b. Penanaman pohon bakau atau mangrove di sepanjang pantai untuk menghambat gelombang tsunami


(48)

c. Pembuatan tanggul untuk menghindari banjir

d. Pembuatan tanggul untuk menahan lahar agar tidak masuk ke wilayah e. Reboisasi untuk mencegah terjadinya kekeringan dan banjir

2. Tahap Tanggap Darurat

Pada tahap tanggap darurat, hal yang paling pokok yang sebaiknya dilakukan adalah penyelamatan korban bencana. Inilah sasaran utama dari tahapan tanggap darurat. Selain itu, tanggap darurat bertujuan membantu masyarakat yang terkena bencana langsung untuk segera dipenuhi kebutuhan dasarnya yang paling minimal.

Para korban juga perlu dibawa ke tempat sementara yang dianggap aman dan ditampung di tempat penampungan sementara yang layak. Pada tahap ini dilakukan pula pengaturan dan pembagian logistik atau bahan makanan yang cepat dan tepat sasaran kepada seluruh korban bencana. Secara operasional, pada tahap tanggap darurat ini diarahkan pada kegiatan:

a. Penanganan korban bencana termasuk mengubur korban meninggal dan menangani korban yang luka-luka

b. Penanganan pengungsi c. Pemberian bantuan darurat

d. Pelayanan kesehatan, sanitasi dan air bersih e. Penyiapan penampungan sementara

f. Pembangunan fasilitas sosial dan fasilitas umum sementara serta memperbaiki sarana dan prasarana dasar agar mampu memberikan pelayanan yang memadai untuk para korban


(49)

3. Tahap Rehabilitasi

Tahap ini bertujuan mengembalikan dan memulihkan fungsi bangunan dan infrastruktur yang mendesak dilakukan untuk menindaklanjuti tahap tanggap darurat, seperti rehabilitasi bangunan ibadah, bangunan sekolah, infrastruktur sosial dasar, serta prasarana dan sarana perekonomian yang sangat diperlukan. Sasaran utama dari tahap rehabilitasi ini adalah untuk memperbaiki pelayanan publik hingga pada tingkat yang memadai. Dalam tahap rehabilitasi ini, juga diupayakan penyelesaian berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek psikologis melalui penanganan trauma korban bencana.

4. Tahap Rekonstruksi

Tahap ini bertujuan membangun kembali daerah bencana dengan melibatkan semua masyarakat, perwakilan lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha. Pembangunan prasarana dan sarana haruslah dimulai dari sejak selesainya penyesuaian tata ruang (apabila diperlukan) di tingkat kabupaten terutama di wilayah rawan gempa (daerah patahan aktif). Sasaran utama dari tahap ini adalah terbangunnya kembali masyarakat dan kawasan wilayah bencana

Selain upaya yang bersifat preventif, perlu juga ada upaya-upaya yang sifatnya represif. Tentunya upaya-upaya tersebut harus dikoordinasikan secara baik dengan pemerintah. Beberapa contoh upaya-upaya tersebut adalah:

1. Melaksanakan tindakan darurat dengan mengutamakan keselamatan manusia dan harta bendanya


(50)

2. Segera membentuk posko-posko penanggulangan bencana, regu penyelamat, dapur umum, dan lain-lain

3. Melakukan pendataan terhadap faktor penyebab timbulnya bencana alam maupun besarnya kemungkinan korban yang diderita untuk bahan tindakan selanjutnya serta berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait.

4. Sesuai dengan situasi dan perkembangan bencana alam serta kemajuan yang dicapai dari upaya-upaya penanggulangan darurat, segera menetapkan program rehabilitasi baik bidang fisik, sosial, dan ekonomi.

5. Perlunya melaksanakan sebuah program pemantapan terhadap semua faktor kehidupan yang realisasinya dikaitkan dengan pelaksanaan pembangunan demi terwujudnya konsolidasi dan normalisasi secara penuh.

2.3. Kesiapsiagaan

2.3.1. Definisi Kesiapsiagaan

Menurut Undang-Undang RI No.24 Tahun 2007, kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (Presiden Republik Indonesia,2007). Adapun kegiatan kesiapsiagaan secara umum adalah : (1) kemampuan menilai resiko; (2) perencanaan siaga; (3) mobilisasi sumberdaya; (4) pendidikan dan pelatihan; (5) koordinasi; (6) mekanisme respon; (7) manajemen informasi; (8) gladi atau simulasi.


(51)

Kesiapsiagaan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda, dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Sebaiknya suatu kabupaten kota melakukan kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan menghadapi bencana adalah suatu kondisi suatu masyarakat yang baik secara invidu maupun kelompok yang memiliki kemampuan secara fisik dan psikis dalam menghadapi bencana.

Kesiapsiagaan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari manajemen bencana secara terpadu. Kesiapsiagaan adalah bentuk apabila suatu saat terjadi bencana dan apabila bencana masih lama akan terjadi, maka cara yang terbaik adalah menghindari resiko yang akan terjadi, tempat tinggal, seperti jauh dari jangkauan banjir. Kesiapsiagaan adalah setiap aktivitas sebelum terjadinya bencana yang bertujuan untuk mengembangkan kapasitas operasional dan memfasilitasi respon yang efektif ketika suatu bencana terjadi.

Perubahan paradigma penanggulangan bencana yaitu tidak lagi memandang penanggulangan bencana merupakan aksi pada saat situasi tanggap darurat tetapi penanggulangan bencana lebih diprioritaskan pada fase pra bencana yang bertujuan untuk mengurangi resiko bencana sehingga semua kegiatan yang berada dalam lingkup pra bencana lebih diutamakan.

Sesuai dengan yang disampaikan oleh Priyanto (2006) bahwa pada masyarakat yang berpendidikan tinggi lebih mampu dalam mengurangi risiko, meningkatkan kemampuan dan menurunkan dampak terhadap kesehatan sehingga akan berpartisipasi baik sebagai individu atau masyarakat dalam menyiapkan diri


(52)

untuk bereaksi terhadap bencana. Aktifitas pendidikan disamping untuk penyediaan informasi adalah mempelajari keterampilan dan pemberdayaan diri sedemikian rupa sehingga mampu melakukan tindakan yang memungkinkan untuk mengurangi resiko bahaya bencana.

Perkembangan baru kebijakan penanggulangan bencana dalam dekade terakhir adalah memberikan prioritas utama pada upaya pengurangan resiko bencana seperti kegiatan pencegahan, kegiatan mengurangi dampak bencana (mitigasi) dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana (Bappenas, 2006).

Kesiapsiagaan menghadapi bencana adalah suatu kondisi suatu masyarakat yang baik secara invidu maupun kelompok yang memiliki kemampuan secara fisik dan psikis dalam menghadapi bencana. Kesiapsiagaan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari manajemen bencana secara terpadu. Kesiapsiagaan adalah bentuk apabila suatu saat terjadi bencana dan apabila bencana masih lama akan terjadi, maka cara yang terbaik adalah menghindari resiko yang akan terjadi, tempat tinggal, seperti jauh dari jangkauan banjir. Kesiapsiagaan adalah setiap aktivitas sebelum terjadinya bencana yang bertujuan untuk mengembangkan kapasitas operasional dan memfasilitasi respon yang efektif ketika suatu bencana terjadi.

Pada tingkat pengembangan dan pemeliharaan kesiapsiagaan, berbagai usaha perlu dilakukan untuk mengadakan elemen-elemen penting seperti:

a. Kemampuan koordinasi semua tindakan (adanya mekanisme tetap koordinasi) b. Fasilitas dan sistim operasional


(53)

d. Pelatihan

e. Kesadaran masyarakat dan pendidikan f. Informasi

g. Kemampuan untuk menerima beban yang meningkat dalam situasi darurat atau krisis.

2.3.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesiapsiagaan

Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana banjir akan maksimal untuk itu pengetahuan, sikap, pendidikan dan pendidikan petugas merupakan faktor yang menjadi perhatian dalam menghasilkan kesiapsiagaan yang baik dalam menghadapi bencana banjir.

2.3.2.1.Pengetahuan Petugas

Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.


(54)

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

e. Sintesis (synthetis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat


(55)

merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Ma`mun (2007) pengetahuan lingkungan hidup perlu diberikan kepada anak-anak dan keluarga sehingga dapat belajar mencintai alam, contohnya menanam pohon, tidak membuang sampah ke sungai, tidak tinggal di bantaran sungai karena dapat menimbulkan permasalahan banjir dan lain-lain.

2.3.2.2. Sikap Petugas

Menurut Notoatmodjo (2007), sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi bersifat emosional terhadap stimulus sosial.

Sikap terdiri dari beberapa tingkatan sebagaimana disampaikan oleh Notoatmodjo (2007) yaitu :

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau memperhatikan stimulus yang diberikan. Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah.


(56)

b. Menanggapi (responding)

Menanggapi diartikan memberi jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi. Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

c. Menghargai (valuing)

Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus. Dalam arti membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi orang lain.

d. Bertanggung Jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi tindakannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya. Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Sikap pada fase preparedness, berbentuk adanya perilaku yang berlebih pada masyarakat karena minimnya informasi mengenai cara mencegah dan memodifikasi bahaya akibat bencana jika terjadi. Berita yang berisi hebatnya akibat bencana tanpa materi pendidikan seringkali membuat masyarakat menjadi gelisah dan memunculkan tindakan yang tidak realistis terhadap suatu isu. Menumbuhkan sikap dan pengetahuan dalam menghadapi bencana ini semakin menjadi bagian penting khususnya di negara yang seringkali dilanda bencana seperti Indonesia (Priyanto, 2006).


(57)

2.3.2.3.Pendidikan Petugas

Cumming dalam Azhari (2002), mengemukakan bahwa pendidikan sebagai suatu proses atau kegiatan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan individu atau masyarakat. Ini berarti bahwa pendidikan adalah suatu pembentukan watak yaitu nilai dan sikap disertai dengan kemampuan dalam bentuk kecerdasan, pengetahuan dan keterampilan.

Pendidikan formal yang ada di Indonesia adalah tingkat sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah lanjutan tingkat atas dan tingkat akademi atau perguruan tinggi. Tingkat pendidikan sangat menentukan daya nalar seseorang, yang lebih baik sehingga memungkinkan untuk menyerap informasi-informasi juga dapat berpikir secara rasional dalam menanggapi informasi atau setiap masalah yang dihadapi (Syahrial, 2005).

Darnelawati (1994) berpendapat bahwa pendidikan formal adalah pendidikan di sekolah yang berlangsung secara teratur dan bertingkat mengikuti syarat-syarat yang jelas dan ketat. Tujuan pendidik adalah untuk memperkaya budi pekerti, pengetahuan dan untuk menyiapkan seseorang agar mampu dan terampil dalam suatu bidang pekerjaan tertentu.

Menurut Ma`mun (2007) aspek sosial merupakan aspek penting dalam pengelolaan bencana terpadu. Oleh karena itu perlu adanya pendidikan bagi individu. Pendidikan dapat diperoleh melalui jalur formal dan non formal.


(58)

Terdapat banyak cara dimana pengelolaaan bencana diperkenalkan ke dalam kurikulum umum baik di dalam maupun di luar kelas, misalnya:

a. Peningkatan dan pemakaian buku-buku mengenai bencana air dan lingkungan di sekolah-sekolah.

b. Pemanfaatan internet untuk menggali informasi bencana

c. Pengembangan model pengalaman tentang bencana untuk menambah pengetahuan tentang IPA, Geografi dan Sejarah.

d. Kunjungan ke infrastruktur bencana dan infrastruktur keairan yang terkait dengan bencana untuk menambah pengetahuan anak didik baik tingkat TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.

Sosialisasi panduan bencana, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan para pendidik dapat bekerja sama dalam berbagai hal, misalnya: a. Memikirkan bersama-sama bagaimana aset bangunan untuk pengendalian

bencana dapat dipakai sebagai sumber pembelajaran untuk masyarakat dan sekolah.

b. Seminar, diskusi, pelatihan desiminasi mengenai persoalan bencana 2. Pendidikan Non Formal

Pendidikan non formal dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya pelatihan untuk para profesional dan pelatih. Pelatihan untuk para profesional bertujuan untuk reorientasi pola pikir. Karena reorientasi ini khususnya dalam profesi pengelolaan bencana atau profesi yang terkait dengan kebencanaan adalah cukup penting dengan melihat perkembangan yang cepat dari


(59)

pengelolaan bencana terpadu dalam dekade terakhir. Caranya adalah dengan penawaran khusus atau lokakarya spesifik yang dimodifikasi dari kuliah-kuliah di universitas. Stimulasi pola pikir dapat dilakukan dengan peningkatan wawasan lingkup tradisional bencana yang sebelumnya terfokus hanya pada aspek rekayasa (engineering) dengan memasukkan topik-topik antara lain tentang lingkungan, sosial, ekonomi, institusi, kebijakan politik, hukum, penilaian kebutuhan dan solusi konflik dalam pengelolaan bencana.

Cara-cara khusus yang dilakukan, antara lain:

a. Penyediaan kursus dalam rangka pendekatan keikutsertaan dan kesetaraan gender

b. Peningkatan pelatihan yang mengikutsertakan para praktisi termasuk pakar lingkungan, ekonomi, teknik, sosial, ilmu pengetahuan dan bisnis

c. Pengembangan modul untuk pelatihan kerja untuk mengejar ketinggalan dalam teknologi

d. Pengembangan pelatihan dengan modul pendekatan botttom-up dan teknik baru (teknologi tepat guna)

e. Tindakan-tindakan untuk memastikan bahwa pengelolaan bencana termasuk dalam program gelar fakultas teknik dan fakultas-fakultas lainnya seperti ekonomi, sosial, lingkungan, biologi dan lain-lain.

2.3.2.4.Tindakan Petugas

Rangsangan akan direspon oleh seseorang sesuai dengan arti rangsangan tersebut bagi orang yang bersangkutan. Respon atau reaksi inilah yang disebut


(60)

dengan perilaku, bentuk-bentuk perilaku itu sendiri dapat bersifat sederhana dan kompleks. Peraturan teoritis, tingkah laku dibedakan atas sikap, dimana sikap diartikan sebagai suatu kecenderungan potensi untuk mengadakan reaksi (tingkah laku). Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu tindakan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan atau suatu fasilitas (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Notoatmodjo (1993), tindakan adalah gerakan atau perbuatan dari tubuh setelah mendapat rangsangan ataupun adaptasi dari dalam maupun luar tubuh suatu lingkungan. Tindakan seseorang terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut. Secara logis, sikap dapat dicerminkan dalam suatu bentuk tindakan namun tidak pula dapat dikatakan bahwa sikap dan tindakan memiliki hubungan yang sistematis.

Tindakan terdiri dari beberapa tingkatan,yaitu :

a. Persepsi, mengenal dan memilih suatu objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

b. Respon terpimpin, dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar. c. Mekanisme, apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar

secara otomatis atau sesuatu itu sudah menjadi kebiasaan.

d. Adopsi, suatu tindakan yang sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Pengukuran tindakan dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau


(61)

bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.

2.4. Koordinasi

Menurut UU No. 24 tahun 2007 tentang bencana bahwa kegiatan koordinasi merupakan salah satu fungsi Unsur Pelaksana Penanggulangan Bencana. Di samping itu unsur pelaksana juga melaksanakan fungsi komando dan sebagai pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Fungsi komando diperlukan dalam saat tahap tanggap darurat, dimana tidak ada lagi kesempatan untuk melakukan perdebatan atau argumentasi yang berlarut-larut selain hanya melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh komando atasan.

Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko dan dampak bencana. Kata terpadu dalam penanggulangan bencana penting karena masalah yang ditimbulkan terkait dengan berbagai sektor yang multi kompleks.

Koordinasi (coordination) adalah salah satu dari kegiatan yang dilaksanakan dalam “manajemen bencana” yang dikenal dengan empat C yaitu Command (komando), Control (Pengendalian); Coordination (Koordinasi) dan Communication (Komunikasi). Keempat hal ini kerap dilakukan karena melibatkan multi sektor yang


(62)

terkait dalam penanganan bencana. Komando adalah fungsi perintah didasarkan atas sistem hirarki suatu organisasi yang dilakukan secara vertikal. Pengendalian adalah fungsi mengarahkan dan dilakukan pada suatu situasi yang menyangkut lintas organisasi. Koordinasi adalah fungsi keduanya yang diarahkan pada penggunaan sumber daya secara sistematis dan efektif (Rowland, 1984).

Dalam melaksanakan tugas penanganan bencana terutama pada saat tanggap darurat harus ada satu kesatuan perintah (unity of command) dari seseorang kepada orang lain yang bertanggung jawab kepadanya, sehingga apa yang mesti dilaksanakan jelas dan tidak membingungkan (Rowland, 1984).

2.4.1. Pengertian Koordinasi

Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 2003 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi di Daerah menyebutkan bahwa koordinasi meliputi perencanaan, pelaksanaan dan koordinasi penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dilakukan di tingkat Kabupaten/Kota oleh Bupati/Walikota selaku Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Satlak PBP).

Menurut Brech (2010) dalam bukunya The Principle and Practice of Management, koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi, kegiatan pekerjaan yang cocok kepada masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu, dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri.


(1)

Chi-Square Tests

30.686b 1 .000

27.916 1 .000

31.218 1 .000

.000 .000

30.424 1 .000

117 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fis her's Exact Test Linear-by-Linear As sociation N of Valid Cases

Value df

As ymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7. 18.

b.

Pengaturan Penggunaan Terknologi * Kesiapsiagaan Penaggulnangan

Bencana

Crosstab

15 30 45

33.3% 66.7% 100.0%

5 67 72

6.9% 93.1% 100.0%

20 97 117

17.1% 82.9% 100.0%

Count

% within P engaturan Penggunaan Terknologi Count

% within P engaturan Penggunaan Terknologi Count

% within P engaturan Penggunaan Terknologi Baik

Kurang baik Pengaturan Penggunaan

Terknologi

Total

Baik Kurang baik Kesiapsiagaan Penaggulnangan

Bencana

Total

Chi-Square Tests

13.607b 1 .000

11.809 1 .001

13.422 1 .000

.000 .000

13.491 1 .000

117 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fis her's Exact Test Linear-by-Linear As sociation N of Valid Cases

Value df

As ymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7. 69.


(2)

Koordinasi Rincian Tugas Pokok * Kesiapsiagaan Penaggulnangan

Bencana

Crosstab

16 13 29

55.2% 44.8% 100.0%

4 84 88

4.5% 95.5% 100.0%

20 97 117

17.1% 82.9% 100.0% Count

% within K oordinas i Rincian Tugas Pok ok Count

% within K oordinas i Rincian Tugas Pok ok Count

% within K oordinas i Rincian Tugas Pok ok Baik

Kurang baik Koordinasi Rincian

Tugas Pok ok

Total

Baik Kurang baik Kesiapsiagaan Penaggulnangan

Bencana

Total

Chi-Square Tests

39.448b 1 .000 35.957 1 .000 34.590 1 .000

.000 .000 39.111 1 .000

117 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio Fis her's Exact Test Linear-by-Linear As sociation N of Valid Cases

Value df

As ymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4. 96.


(3)

Logistic Regression

Case Processing Summary

117 100.0

0 .0

117 100.0

0 .0

117 100.0

Unweighted Casesa

Included in Analysis Mis sing Cases Total

Selected Cases

Unselected Cas es Total

N Percent

If weight is in effect, s ee class ification table for the total number of cases.

a.

De pendent V aria ble Encodi ng

0 1 Original Value

Baik Kurang baik

Int ernal Value

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

0 20 .0

0 97 100.0

82.9 Observed

Baik

Kurang baik Kesiapsiagaan

Penaggulnangan Bencana

Overall Percentage Step 0

Baik Kurang baik Kesiapsiagaan Penaggulnangan

Bencana Percentage Correct Predicted

Constant is included in the model. a.

The cut value is .500 b.

Va riables in the Equa tion

1.579 .246 41.340 1 .000 4.850 Constant

St ep 0


(4)

Va riables not in the Equa tion

26.109 1 .000 3.595 1 .058 30.686 1 .000 13.607 1 .000 39.448 1 .000 54.898 5 .000 tot x1k

tot x2k tot x3k tot x4k tot x5k Variables

Overall Statistics St ep

0

Sc ore df Sig.

Block 1: Method = Forward Stepwise (Likelihood Ratio)

Om nibus Tests of Model Coe fficients

34.590 1 .000 34.590 1 .000 34.590 1 .000 13.039 1 .000 47.629 2 .000 47.629 2 .000 3.903 1 .048 51.533 3 .000 51.533 3 .000 St ep

Block Model St ep Block Model St ep Block Model St ep 1

St ep 2

St ep 3

Chi-square df Sig.

Model Summary

72.435a .256 .427 59.396a .334 .558 55.493a .356 .594 Step

1 2 3

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

Es timation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by les s than .001. a.

Hosmer and Lemeshow Test

.000 0 .

2.518 2 .284 5.690 4 .224 Step

1 2 3


(5)

Contingency Table for Hosm er a nd Lem eshow Test

16 16.000 13 13.000 29 4 4.000 84 84.000 88 12 13.090 5 3.910 17

4 2.910 8 9.090 12

4 2.910 16 17.090 20 0 1.090 68 66.910 68 10 11.009 3 1.991 13

7 5.453 8 9.547 15

3 1.402 6 7.598 9

0 .829 12 11.171 12 0 .836 21 20.164 21 0 .471 47 46.529 47 1

2 St ep 1

1 2 3 4 St ep 2

1 2 3 4 5 6 St ep 3

Observed Ex pec ted Kesiapsiagaan Penaggulnangan

Bencana = Baik

Observed Ex pec ted Kesiapsiagaan Penaggulnangan Bencana = Kurang

baik

Total

Classification Tablea

16 4 80.0

13 84 86.6

85.5

12 8 60.0

5 92 94.8

88.9

12 8 60.0

5 92 94.8

88.9 Observed

Baik

Kurang baik Kesiapsiagaan

Penaggulnangan Bencana

Overall Percentage Baik

Kurang baik Kesiapsiagaan

Penaggulnangan Bencana

Overall Percentage Baik

Kurang baik Kesiapsiagaan

Penaggulnangan Bencana

Overall Percentage Step 1

Step 2

Step 3

Baik Kurang baik Kesiapsiagaan Penaggulnangan

Bencana Percentage Correct Predicted

The cut value is .500 a.


(6)

Variables in the Equation

3.252 .634 26.354 1 .000 25.846 7.467 89.461

-.208 .373 .309 1 .578 .812

2.347 .703 11.139 1 .001 10.456 2.635 41.493

2.978 .693 18.482 1 .000 19.658 5.056 76.431

-1.208 .529 5.212 1 .022 .299

1.991 .730 7.438 1 .006 7.323 1.751 30.624

1.410 .727 3.763 1 .052 4.094 .985 17.010

2.902 .717 16.388 1 .000 18.209 4.468 74.207

-1.710 .630 7.360 1 .007 .181

totx5k Constant Step

1a

totx1k totx5k Constant Step

2b

totx1k totx4k totx5k Constant Step

3c

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on s tep 1: totx5k. a.

Variable(s) entered on s tep 2: totx1k. b.

Variable(s) entered on s tep 3: totx4k. c.

Model if Term Re moved

-53.513 34.590 1 .000

-36.218 13.039 1 .000

-41.189 22.981 1 .000

-31.736 7.979 1 .005

-29.698 3.903 1 .048

-37.521 19.549 1 .000

Variable tot x5k St ep 1

tot x1k tot x5k St ep 2

tot x1k tot x4k tot x5k St ep 3

Model Log Lik elihood

Change in -2 Log

Lik elihood df

Sig. of the Change

Variables not in the Equation

13.534 1 .000 .955 1 .328 9.441 1 .002 9.002 1 .003 18.900 4 .001 .605 1 .437 3.676 1 .055 4.090 1 .043 7.004 3 .072 .191 1 .662 2.610 1 .106 3.077 2 .215 totx1k

totx2k totx3k totx4k Variables

Overall Statistics Step

1

totx2k totx3k totx4k Variables

Overall Statistics Step

2

totx2k totx3k Variables

Overall Statistics Step

3


Dokumen yang terkait

Hubungan Faktor Koordinasi dan Motivasi Kerja Petugas Penanggulangan Bencana terhadap Kesiapsiagaan Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2011

2 44 199

Pengaruh Fungsi Koordinasi Petugas Dinas Terkait terhadap Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh

0 50 172

LAMPIRAN 1 KUESIONER PENELITIAN PENGARUH FUNGSI KOORDINASI PETUGAS BADAN TERKAIT TERHADAP KESIAPSIAGAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI KABUPATEN ACEH TENGAH PROPINSI ACEH

0 0 44

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana 2.1.1. Definisi Bencana - Pengaruh Fungsi Koordinasi Petugas Dinas Terkait Terhadap Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Di Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh

0 0 47

BAB1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Fungsi Koordinasi Petugas Dinas Terkait Terhadap Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Di Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh

0 0 11

PENGARUH FUNGSI KOORDINASI PETUGAS DINAS TERKAIT TERHADAP KESIAPSIAGAAN PENANGGULANGAN BENCANA DIKABUPATEN ACEH TENGAH PROPINSI ACEH TESIS Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes)

0 0 20

LAMPIRAN 1 KUESIONER PENELITIAN PENGARUH FUNGSI KOORDINASI PETUGAS BADAN TERKAIT TERHADAP KESIAPSIAGAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI KABUPATEN ACEH TENGAH PROPINSI ACEH

0 0 44

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana 2.1.1. Definisi Bencana - Pengaruh Fungsi Koordinasi Petugas Dinas Terkait terhadap Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh

0 1 47

BAB1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Fungsi Koordinasi Petugas Dinas Terkait terhadap Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh

0 0 11

PENGARUH FUNGSI KOORDINASI PETUGAS DINAS TERKAIT TERHADAP KESIAPSIAGAAN PENANGGULANGAN BENCANA DIKABUPATEN ACEH TENGAH PROPINSI ACEH TESIS Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes)

0 0 20