EPISTEMOLOGI ILMU PARADIGMA POSITIVISME pdf

EPISTEMOLOGI ILMU
PARADIGMA POSITIVISME DAN POSTPOSITIVISME
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu:
Dr. Muhammad In’am Esha, M.Ag
Oleh:
Moch. Bachrurrosyady Amrulloh (13770004)
Abdul Wachid Zakki

(13770061)

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
Oktober, 2013

1

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perkembangannya, filsafat empirisme berkembang menjadi
beberapa pandangan yang berbeda, yaitu positivisme, materialisme, dan
pragmatisme. Materialisme dan positivisme merupakan bentuk yang
paling ekstrem, karena filsafat hanya memikirkan yang realitas saja.
Pelopor dari filsafat positivisme adalah August Comte, yang dalam
pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Saint Simon, bahwa segala sesuatu
terjadi berdasarkan hukum-hukum yang dapat dibuktikan dengan
observasi dan percobaan.1 Yang kemudian melahirkan metode penelitian
kuantitatif. Namun metode penelitian kuantitatif yang dilahirkan filsafat
positivisme dianggap ada beberapa kekurangan. Filsafat post-positivisme
muncul untuk merekonstruksi kelemahan-kelemahan yang ada dalam
penelitian kuantitatif. Filsafat post-positivisme ini kemudian melahirkan
metode penelitian kualitatif. Pengaruhnya pada perkembangan ilmu
pengetahuan pun sangat besar hingga sekarang. Dibuktikan dengan
relevansi kedua metode penelitian tersebut. Untuk itu pemakalah akan
membahas beberapa aspek tentang kedua faham filsafat ini.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa tokoh-tokoh filsafat positivisme?

2. Bagaimana perkembangan filsafat positivisme?
3. Bagaimana metode penelitian filsafat positivisme?
4. Bagaimana paradigma filsafat postpositivisme?
5. Bagaimana metode penelitian postpositivisme?

1

Salam, Burhanuddin, Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, PT Asdi Mahasatya,
Jakarta, 2000, Hal. 192

2

C. Tujuan
Makalah ini dibuat untuk:
1. Mengetahui para tokoh filsafat positivisme
2. Mengetahui perkembanagan yang berdasarkan filsafat positivisme
3. Mengetahui metode penelitian yang dipakai filsafat positivisme
4. Mengetahui paradigma postpositivisme
5. Mengetahui


metode

postpositivisme

penelitian

yang

berdasarkan

filsafat

3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Filsafat Positivisme
1. Para tokoh positivisme
a. August Comte
August Comte lahir pada tanggal 19 Januari 1878 di kota

Montpellier di bagian selatan Prancis. Dari 1814 sampai 1816 ia
belajar di Sekolah Politeknik di kota Paris. Dalam tahun 1817 ia
diangkat menjadi sekretaris Saint Simon. Tetapi sehubung dengan
penerbitan bukunya “Sistem Politik Positif” (1824), ia memutuskan
persahabatan dengan dia. Dalam tahun berikutnya dia menikah
dengan Caroline Massin, seorang bekas pelacur. Ia pernah berkata,
bahwa perkawinan itu adalah satu-satunya kesalahan besar dalam
hidupnya. Pada tahun 1830 jilid pertama dari seri “filsafat positif”
(Course de Philosophie Positive) terbit. Lalu berturut-turut jilid-jilid
lain menyusul sampai tahun 1842. Dalam bulan Oktober 1844
Comte bertemu dengan Clotilde de Vaux, saudaranya bekas
mahasiswanya, yang sakit tanpa harapan dapat sembuh, dan terpisah
dari suaminya. Ia menyatakan cintanya pada Clotilde, yang
membalasnya dengan persahabatan. Pada tahun 1864 Clotilde
meninggal dunia.2 August Comte sering disebut “Bapak Positivisme”
karena

aliran

filsafat


yang

didirikannya

disebut

sebagai

“positivisme”. Arti positif bagi August Comte adalah: nyata, tidak
khayal. Ia menolak metafisik dan teologik. Jadi menurut dia ilmu
penetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk
mencapai kemajuan. Abad ini merupakan suatu zaman yang diatur
oleh cendekiawan dan industriawan.3

2

Veeger, K.J, Realita Sosial: Refleksi Filfat Sosial atas Hubungan IndividualMasyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993,
Hal. 16-17
3

Mantra, Ida Bagus, Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosia, Pustaka Pelajar
Offset, Yogyakarta, 2003, Hal. 22

4

b. John Stuart Mill
John Stuart Mill (1806-1873) atau salah satu sahabat Comte. Tapi
ada pikiran-pikirannya yang bertentangan dengan Comte, seperti
Mill menerima psikologi sebagai ilmu yang paling fundamental. Mill
juga meneruskan prinsip-prinsip positivisme dalam bidang logika.4
c. H. Spencer
Pemikiran Herbert Spencer (1820-1903) berpusat pada teori evolusi
ia telah mendahului Charles Darwin, ia memutuskan menulis karya
tulis yang menetrpkan prinsip evolusi serta sistematis. Hasilnya
karya yang berjudul A System of Synthetic Philosophy. Menurutnya
kita hanya bisa mengenal gejala-gejala saja walaupun dibelakang
gejala tersebut ada dasar yang absolut, tetapi absolut itu tidak dapat
dikenal.5
2. Faham Positivisme
Kata Positivisme merupakan turunan dari kata positive. John M.

Echols mengartikan positive dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari
negatif), tegas, pasti, meyankinkan.6 Dalam filsafat, positivisme berarti
suatu aliran filsafat yang berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual,
nyata, dari apa yang diketahui dan berdasarkan data empiris. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, positivisme berarti aliran filsafat yang
beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman
dan ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya dan tidak jelas dikesampingkan,
sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti metafisik dan ilmu gaib dan
tidak mengenal adanya spekulasi.
Abad ke-19 merupakan abad yang sangat dipengaruhi oleh filsafat
positivisme dan pengaruh itu terutama sangat terasa di bidang ilmu
pengetahuan. Dalam sejarah filsafat Barat, abad ke-19 ditandai oleh
dominasi kerja ilmu pengetahuan modern. August Comte (1798-1857)
sering disebut “Bapak Positivisme”, karena aliran filsafat yang
didirikannya disebut sebagai “positivisme”.
4

Arti positif bagi August

Filsafat Ilmu Positivisme dan Postpositivisme, htm, Diakses tanggal 05-10-2013

Ibid.
6
John, Ecols, English-Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, Hal. 439
5

5

Comte adalah: nyata, tidak khayal. Ia menolak metafisika dan teologik.
Jadi menurut dia ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta
diarahkan untuk mencapai kemajuan. Abad ini merupakan suatu jaman
yang diatur oleh cendekiawan dan industriawan.7
Dikatakan positivisme, karena mereka beranggapan bahwa yang
dapat kita selidiki, dapat kita pelajari hanyalah yang berdasarkan faktafakta, data yang nyata, yaitu yang mereka namakan positif. Apa yang kita
ketahui itu hanyalah yang tampak saja, di luar itu kita tidak perlu
mengetahuinya, dan tidak perlu untuk diketahui. Positivisme membatasi
penyelidikan atau studinya hanya pada bidang gejala-gejala saja. 8 Titik
tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan yang
positif, sehingga metafisika ditolaknya. Maksud positif adalah segala
gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalamanpengalaman objektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut kita
atur dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan. 9

Positivisme adalah ajaran bahwa hanya fakta atau hal yang dapat ditinjau
dan diuji, melandasi pengetahuan yang sah. Maka metafisika dan teologi
harus dianggap sebagai permainan kata atau spekulasi liar saja. Comte
akan menolak cara orang purba berfikir, di mana pengalaman yang seharihari dan perasaan religius saling meresapi, dan agama merupakan
penafsiran dan pengertian yang benar. Sekarang zaman telah berubah.
Positivisme memaksa agama dan metafisika untuk turun tahta. Begitu juga
susunan masyarakat lama sudah ketinggalan zaman. Semua lembaga
kemasyarakatan,

yang pembenarannya

dan pendasarannya

dahulu

ditemukan di dalam pandangan yang bersifat metafisik atau keagamaan,
harus dibarui atau diganti dengan lembaga-lembaga yang berpedoman
pada ilmu pengetahuan positif.10
Gagasan-gagasan religius yang pernah mendasari kesatuan
masyarakat, sekarang mendapat tantangan dari proses evolusi, sehingga

harus ditinggalkan. Dengan mengingat bahwa suatu tahap evolusi yang
7

Ibid. Hal 22
Mantra, Ida Bagus, op.cit . Hal 192-193
9
Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, Hal. 120
10
Veeger, K.J, op. cit. Hal. 17-18
8

6

lebih tinggi telah menjadi kenyataan, maka konsekuensinya berupa tata
kepercayaan dan tata nilai yang lebih tinggi harus diterima. Fungsi
tradisional agama sebagai pemersatu masyarakat harus diambil alih oleh
ilmu pengetahuan positif, khususnya sosiologi, yang merumuskan dan
menyebarkan konsepsi baru tentang masyarakat. Peran historis kaum
rohaniawan harus berpindah pada sarjana-sarjana, ahli-ahli teknik dan
kaum industriawan.11 Humanisme ateistik Comte tidak terlepas dari dua

keyakinan khas bagi semangat intelektual progresif di atas, yakni
kepercayaan akan kemajuan dan kepercayaan bahwa umat manusia akan
maju karena kemajuan ilmu pengetahuan. Kemajuan yang dimaksud di
sini adalah kemajuan dari keadaan tidak beradab, mitos, dan kepercayaan
ke pengetahuan, dari ketertundukan kepada gereja, para raja, dan tradisi
sikap otonom, di mana manusia hanya tunduk pada akal budi. Manusia
hanya percaya pada kekuatan nalar sendiri. Ilmu pengetahuan diyakini
telah menggantikan kepercayaan, persangkaan, dan takhayul. Diyakini
pula bahwa ilmu pengetahuan akan membawa manusia kepada
kebahagiaan dan sekaligus menyelamatkannya dari segala masalah.
Ringkasnya, yang menyelamatkan manusia bukan lagi iman kepada Allah,
melainkan iman kepada ilmu pengetahuan.12
3. Tahap perkembangan pemikiran manusia
Comte

mengeksplisitkan

kepercayaan

akan

kemajuan

dan

kemajuan ilmu pengetahuan di atas dalam sebuah hukum fundamental,
yakni hukum tiga tahap. Hukum tiga tahap yang dibuat Comte ini selaras
dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pikiran manusia, tegas Comte,
harus naik melalui tiga kondisi teoretis yang berurutan, yakni: teologis,
metafisik, dan positif-ilmiah.13

a. Teologis

11

Ibid. Hal 19
Sugiharto, Bambang. (2008). Humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi
Pendidikan. Yogyakarta dan Bandung. Jalasutra. Hal 109-110
13
Ibid. Hal 110
12

7

Tahap teologis manusia mengarahkan pandangannya kepada
hakikat yang batiniah (sebab pertama). Disini manusia percaya
kapada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya dibalik
setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
b. Metafisik
Pada tahap metafisis manusia hanya sebagai tujuan pergeseran dari
tahap teologis. Sifat yang khas adalah kekuatan yang tadinya
bersifat adi kodrati, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang
mempunyai pengertian abstrak, yang diintegrasikan dengan alam.
c. Positif-ilmiah
Pada tahap ilmiah-positif, manusia telah memulai mengetahui dan
sadar bahwa upaya pengenalan teologis dan metafisis tidak ada
gunanya. Sekarang manusia berusaha mencari hukum-hukum yang
berasal dari fakta-fakta pengamatan yang memakai akal. 14 Gejala
alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya
yang dapat ditinjau, diuji, dan dibuktikan dengan cara empiris.
Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental.
Manusia dimampukan untuk menerapkan dan memanfaatkannya
demi suatu penguasaan atas lingkungan alam dan perencanaan
masa depan yang lebih baik. Dalam tahap positif menimbangterimakan dan menyerahkan hegemoninya atas orde Intellectuelle
(wilayah akal budi) kepada ilmu pengetahuan empiris.15
4. Metode Penelitian Positivisme
Dalam usaha untuk memecahkan suatu masalah yang ada di
masyarakat kelompok positivisme berusaha untuk mengetahui (melalui
penelitian) penyebab terjadinya masalah tersebut untuk selanjutnya
diusahakan penyelesaianya dengan azas positivisme. Proses penelitian
dikerjakan dua tahap, yaitu tahap pertama mengikuti cara-cara yang
dikerjakan oleh kelompok rasionalisme Decrates. Ia membuat dugaan
(hipotesis) tentang penyebab terjadinya masalah tersebut melalui teoriteori dan hasil penelitian yang telah dikaji kebenarannya secara rasional.
14
15

Achmadi, Asmoro, op. cit. Hal. 121
Veeger, K.J, op. cit. Hal. 22-23

8

Penalaran yang digunakan dalam tahap ini adalah penalaran deduktif.
Tahap kedua adalah menguji hipotesis yang telah disusun dengan metode
empiris,

misalnya

dengan

melaksanakan

pengamatan

(observasi),

percobaan (eksperimen), dan membandingkan (komparasi) dengan hasilhasil penelitian sejenis yang dilaksanakan oleh peneliti lain. Dari hasil
analisi data empiris, dapat diketahui mana hipotesis yang diterima, dan
mana yang ditolak. Hipotesis yang telah diuji di lapangan dan dapat
diterima maka statusnya berubah menjadi thesis, kebenaran atau dalil.16
Metode kuantitatif dinamakan metode tradisional, karena metode
ini sudah cukup lama digunakan sehingga sudah mentradisi sebagai
metode untuk penelitian. Metode ini disebut sebagai metode positivistik
karena berlandaskan pada filsafat positivisme. 17 Memperhatikan proses
penelitian

yang

dilakukan

dalam

memecahkan

masalah,

Comte

memperkenalkan Filsafat Ilmu pengetahuan baru (epistimologi baru), yang
menjembatani antara rasionalisme Descartes dan empirisme Francis
Bacon.18 Metode positivisme dimasyarakat lebih dikenal dengan “metode
survey” terutama untuk penelitian sosial.19
B. Filsafat Post-Positivisme
1. Paradigma Post-Positivisme
Paradigma ini merupakan aliran
kelemahan-kelemahan

positivisme,

yang ingin memperbaiki

yang

hanya

mengandalkan

kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara
ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa
realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam,
tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara
benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis
pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi
harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacammacam metode, sumber data, peneliti dan teori.
16

Mantra, Ida Bagus. op. cit. Hal 22-23
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. CV Alfabeta, Bandung,
2004, Hal. 7
18
Mantra, Ida Bagus, op. cit. Hal 23
19
Ibid. Hal 25
17

9

Secara epistemologis, hubungan antara pengamat atau peneliti
dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, seperti
yang diusulkan oleh aliran positivisme. Aliran ini menyatakan suatu
hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila
pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek
secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan
objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus
bersifat se-netral mungkin, sehingga tingkat subjektifitas dapat
dikurangi secara minimal.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat
pertanyaan dasar berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi
aliran ini dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan. Pertama,
Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigmaparadigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari
positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau, karena aliran ini datang
setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui
bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi
memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu
indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme
lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil
observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian, suatu
ilmu memang betul mencapai objektifitas apabila telah diverifikasi oleh
berbagai kalangan dengan berbagai cara.
Kedua, bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma
realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya
benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti
realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern
bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi
merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.
Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan
penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak
mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap

10

masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak
benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari
dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui bahwa
paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata.
Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu
benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang
dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa
masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan
benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda,
maka

tidak

ada

sesuatu

yang

benar-benar

pasti.

Bukankah

postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini sama
sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran
yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini,
maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di
sini bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.20
2. Metode penelitian post-positivisme
Metode penelitian kualitatif dinamakan sebagai metode baru,
karena popularitasnya belum lama, dinamakan metode postpositivistik
karena berlandaskan pada filsafat postpositivisme. Metode ini disebut juga
sebagai metode artistik, karena proses penelitian lebih bersifat seni
(kurang terpola), dan disebut sebagai metode interpretive karena data hasil
penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang
ditemukan di lapangan.
Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian
naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah
(natural setting); disebut juga sebagai metode etnografi, karena pada
awalnya metode ini lebih banyak digunakan untuk penelitian bidang
antropologi budaya; disebut sebagai metode kualitatif, karena data yang
terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif.

20

Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Belukar, Yogyakarta, 2004, hlm. 32-34

11

Filsafat postpositivisme sering juga sebagai paradigma interpretif
dan konstruktif, yang memandang realitas sosial sebagai suatu yang
holistik/utuh, kompleks, dinamis, penuh makna, dan hubungan gejala
bersifat interaktif (reciprocal). Penelitian dilakukan pada objek yang
alamiah. Objek yang alamiah adalah objek yang berkembang apa adanya.
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada
objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen dimana peneliti
adalah sebagai instrumen kunci), teknik pengumpulan data dilakukan
secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.21
C. Analisis
Untuk analisis, kami memakai pendekatan historis. Justru
pemikiran-pemikiran August Comte dan para tokoh positivisme lain jauh
tertinggal. Coba kita analisa dari tahun. August Comte menggagas bahwa
dikatakan positivisme, karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita
selidiki, dapat kita pelajari hanyalah yang berdasarkan fakta-fakta, data
yang nyata, yaitu yang mereka namakan positif. Maksud positif adalah
segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas
pengalaman-pengalaman objektif. Sehingga memunculkan konsep ilmu
pengetahuan modern. Pernyataan ini di abad 19 (1798-1857) . jauh
sebelum dia, Peradaban Islam telah menghasilkan ilmu-ilmu pengetahuan
modern.
Pada zaman kemajuan peradaban Islam abad ke-7 sampai 17 tak
hanya melahirkan generasi yang mumpuni di bidang keagamaan tapi juga
berbagai ilmu pengetahuan. Era itu banyak melahirkan para ilmuwan di
berbagai bidang dengan berbagai temuan teori-teori baru yang menjadi
sumbangan besar bagi sejarah peradaban dunia.
Di bidang matematika misalnya, para pakar matematika Muslim
telah memberi kontribusi nyata dan menemukan berbagai macam teori di
bidang matematika seperti yang kita kenal sekarang. Mereka menemukan
21

Sugiono, Op-cit, hlm. 7-9

12

sistem bilangan desimal, sistem operasi dalam matematika seperti
penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, eksponensial, dan
penarikan akar.
Tak cuma itu, mereka juga memperkenalkan angka-angka dan
lambang bilangan, termasuk angka “nol” (zero). Mereka antara lain juga
menemukan persamaan kuadrat, algoritma, fungsi sinus, cosinus, tangen,
cotangen, dan lain-lain. Pakar matematika Muslim itu antara lain : alKhawarizmi, al-Kindi, al-Karaji, al-Battani, al-Biruni, dan Umar
Khayyam.
Di kalangan masyarakat Barat, al-Khawarizmi lebih dikenal
dengan nama Algorisme atau Algoritme. Ia telah banyak menemukan
teori-teori dalam matematika dan populer dengan sebutan Bapak Aljabar.
Teori Aljabar itu ia tulis dalam kitabnya yang bertajuk Kitab Al-Jabr wal
Muqabalah atau buku tentang pengembalian dan pembandingan. Teori
‘algoritme’ dalam matematika modern diambil dari namanya, karena
dialah yang pertama kali mengembangkannya.
Sementara di bidang kimia ada nama Jabir Ibnu Hayyan, alBiruni, Ibnu Sina, ar-Razi, dan al-Majriti. Jabir Ibnu Hayyan yang telah
memperkenalkan eksperimen (percobaan) kimia mendapat predikat ‘Bapak
Kimia Modern’. Sementara dalam bidang biologi para ilmuwan Muslim
yang ikut memberikan kontribusi besar antara lain al-Jahiz, al-Qazwini, alDamiri, Abu Zakariya Yahya, Abdullah Ibn Ahmad Bin Al-Baytar, dan alMashudi.
Al-Jahiz adalah pencetus pertama teori evolusi. Sayang namanya
tidak disebutkan dalam buku-buku pelajaran biologi di sekolah maupun di
perguruan tinggi. Pelajar dan ma-hasiswa lebih mengenal nama Charles
Darwin, ilmuwan yang hidup seribu tahun sepeninggal al-Jahiz.
Sedangkan di bidang fisika ada Ibn Al-Haitham, Ibnu Bajjah, alFarisi dan Fakhruddin Ar-Razi. Selain jago fisika, Fakhruddin Ar-Razi
juga jago matematika, astronomi, dan ahli kedokteran. Ia adalah Ulama
yang Intelek. Seorang mufassir yang ahli kedokteran, juga seorang faqih
yang jago matematika.

13

Para ilmuwan Muslim yang hidup di era keemasan Islam itu
memang jago di bidang ilmu kealaman, sekaligus pakar agama. Mereka
ahli tafsir, ahli hadis, dan bidang-bidang lainnya. Hal ini semakin
memperkokoh perkembangan sains Islam yang melahirkan berbagai
disiplin ilmu pengetahuan serta menjadi kontribusi besar dari umat Islam
untuk membangun peradaban dunia.
Fakta ini diamini oleh Sejarawan Barat, W Montgomery Watt.
Dalam analisanya tentang rahasia kemajuan peradaban Islam. Ia
mengatakan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan yang kaku antara
ilmu pengetahuan, etika, dan ajaran agama. Satu dengan yang lain,
dijalankan dalam satu tarikan nafas. Pengamalan syariat Islam, sama
pentingnya dan memiliki prioritas yang sama dengan riset-riset ilmiah.
Peradaban Islam memang mengalami jatuh-bangun, berbagai
peristiwa telah menghiasi perjalanannya. Meski demikian, orang tidak
mudah untuk begitu melupakan peradaban emas

yang berhasil

ditorehkannya untuk umat manusia ini. Pencerahan pun terjadi di segala
bidang dan di seluruh dunia.
Gustave Lebon memberi kesaksiannya, bahwa terjemahan bukubuku bangsa Arab, terutama buku-buku keilmuan hampir menjadi satusatunya sumber-sumber bagi pengajaran di perguruan-perguruan tinggi
Eropa selama lima atau enam abad. Tidak hanya itu, Lebon juga
mengatakan bahwa hanya buku-buku bangsa Arab-Persia lah yang
dijadikan sandaran oleh para ilmuwan Barat seperti Roger Bacon,
Leonardo da Vinci, Arnold de Philipi, Raymond Lull, Santo Thomas,
Albertus Magnus dan Alfonso X dari Castella.22
Jika kita simpulkan, perkembangan ilmu pengetahuan modern
sudah jauh ada saat peradaban islam klasik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
22

http://www.majalahgontor.net/index.php?
option=com_content&view=article&id=518:abad-abad-keemasan-peradabanislam&catid=40:laporan&Itemid=103 tgl. 07 0ktober 2013

14

1. Tokoh filsafat positivisme adalah August Comte (1878) John Stuart Mill
(1806-1873) H. Spencer (1820-1903)
2. Dikatakan positivisme, karena mereka beranggapan bahwa yang dapat
kita selidiki, dapat kita pelajari hanyalah yang berdasarkan fakta-fakta,
data yang nyata, yaitu yang mereka namakan positif. Apa yang kita
ketahui itu hanyalah yang tampak saja, diluar itu kita tidak perlu
mengetahuinya, dan tidak perlu untuk diketahui. Positifisme membatasi
penyelidikan atau studinya hanya pada bidang gejala-gejala saja.
3. Metode kuantitatif dinamakan metode radisional, karena metode ini sudah
cukup lama digunakan sehingga sudah mentradisi sebagai metode untuk
penelitian. Metode ini disebut sebagai metode positivistik karena
berlandaskan pada filsafat positivisme. Memperhatikan proses penelitian
yang dilakukan dalam memecahkan masalah, Comte memperkenalkan
Filsafat Ilmu pengetahuan baru (epistimologi baru), yang menjebatani
antara rasionalisme Descartes dan empirisme Francis Bacon. Metode
positivisme dimasyarakat lebih dikenal dengan “metode survey” terutama
untuk penelitian sosial.
4. Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahankelemahan

positivisme,

yang

hanya

mengandalkan

kemampuan

pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran
ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada
dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil
bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh
karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui
observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation
yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan
teori.
5. Metode penelitian kualitatif dinamakan sebagai metode baru, karena
popularitasnya belum lama, dinamakan metode postpositivistik karena
berlandaskan pada filsafat postpositivisme. Metode ini disebut juga
sebagai metode artistik, karena proses penelitian lebih bersifat seni
(kurang terpola), dan disebut sebagai metode inter pretive karena data

15

hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang di
temukan di lapangan.

Daftar Pustaka
Achmadi, Asmoro. (2005). Filsafat Umum. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.

16

Filsafat Ilmu Positivisme dan Postpositivisme.htm. Diakses tanggal 05 10 2013.
http://www.majalahgontor.net/index.php?
option=com_content&view=article&id=518:abad-abad-keemasanperadaban-islam&catid=40:laporan&Itemid=103 tgl. 07 0ktober 2013
John, Ecols. (2003). English-Indonesia. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
Mantra, Ida Bagus. (2004). Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar Offset.
Muslih, Muhammad. (2004). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar.
Salam, Burhanuddin. (2000). Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi. Jakarta. PT
Asdi Mahasatya.
Sugiharto, Bambang. (2008). Humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi
Pendidikan. Yogyakarta dan Bandung. Jalasutra.
Sugiono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. CV
Alfabeta.
Veeger, K.J. (1993). Realita Sosial: Refleksi Filfat Sosial atas Hubungan
Individual-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta. PT
Gramedia Pustaka Utama.