POLEMIK “AHLI BID’AH” DALAM WACANA ULŪMUL HADĪṠ: Evaluasi Ibnu Ḥajar al-‘Asqalāny Terhadap Status Riwā

2. Kontroversi Terkait Status Riwāyat al-

Mubtadi’ d. Kelompok yang menerima riwayat ahl

bid’ah secara keseluruhan, baik yang Salah satu permasalahan yang kemudian berpredikat fasik atau kafir karena

menjadi semakin krusial adalah bahwa termasuk golongan penakwil. Kelompok predikat bid’ah, pada gilirannya, berujung ini terutama merupakan mazhab para dengan klaim “fasik” sampai “kafir”. Hal ini

teolog. ( mutakallimūn).

kemudian berimplikasi kepada penolakan untuk mengambil riwayat dari ahli bid’ah dan

Dalam latar percaturan pemikiran inilah berhujjah dengannya. Sampai pada masa Ibnu kemudian Ibnu Hajar mencoba mencari posisi Ṣalāh (w. 763 H.) di abad ke-8 H., telah dikenal pemikirannya. Dalam beberapa penjelasan

berikutnya akan diuraikan bagaimana Ibnu

Syamsuddin Muhammad al-Zahaby, Mīzān al-I’tidāl fii

Hajar, ketika itu, menemukan beberapa

Naqd al-Rijāl, (Beirut: Dārul Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), Juz 1, hlm. 118.

Syamsuddin Muhammad al-Żahaby, Siyar A’lām al 30 Abū ‘Amr ‘Uṡmān al-Syahrazuri, Muqaddimah Ibn Ṣalāh, Nubalā, …, juz. 10, hlm. 555.

(Maktabah al-Fārāby, 1984 ), hlm. 61.

Syamsuddin al-Sakhāwy, Fatḥ al-Mugīṡ, (Riyād: Maktabah 31 Ahmad al-Khaṭib al-Bagdādy, al-Kifāyah fi ‘Ilm al-Riwāyat, Dār al-Minhāj, 1426 H.), juz. 1, hlm. 330.

.., hlm. 120.

P-ISSN: 1978-6948

6 e-ISSN: 2502-8650

Vol. 10 No. 1 Januari 2016 | 1-11 Vol. 10 No. 1 Januari 2016 | 1-11

al-Ẓahabi kepada kelompok syi’ah ekstrim yang berkembang di masanya (abad ke-8 H.)

D. Ibnu Hajar dan Persoalan Riwāyat al- yang ia sebut dengan “

al-rafḍ al-kāmil” 33 yang

Mubtadi’

sampai mengkafirkan para sahabat. Simaklah Dalam salah satu kitabnya yang populer, 34 pernyataan al-Zahaby berikut ini:

Nuzhat al-Nazar fī Tauḍīhi Nukhbat al-Fikr, Ibnu بيأ ىلع ط��لحاو هيف ولغلاو لماكلا ضفرلاك ىر��ك ةعدب ثم ... Hajar menyebutkan ada sepuluh penyebab

kecacatan pada seorang periwayat hadith لا عونلا اذهف كلذ لىا ءاعدلاو - امهنع الله يضر - رمعو ركب

( asbāb ṭa’n al-rāwy), lima di antaranya مهفرعو فلسلا نامز في لياغلا يعيشلاف ... ةمارك لاو مبه جتيح berkaitan dengan kapasitas spiritual/keadilan

براح نمم ةفئاطو ةيواعمو ةحلطو يربزلاو نامثع في ملكت نم وه ( ‘adālah) dan lima yang lainnya berkaitan

وه انفرعو اننامز في لياغلاو مهبسل ضرعتو هنع الله يضر - ايلع dengan kapasitas intelektual ( ḍabṭ). Salah satu

لاض اذهف اضيا ينخيشلا نم أرتيو ةداسلا ءلاؤه رفكي ىذلا penyebab tersebut adalah adanya periwayat

hadith yang suka mengerjakan perbuatan Ketika itu, dapat dipastikan bahwa bid’ah (al-mubtadi’). 32 Konsep Ibnu hajar terkait polemik antara ahli hadith dengan sekte

riwāyat al-mubtadi’ ini pertama-tama harus syi’ah khususnya mengalami peningkatan. dilihat berdasarkan beberapa polemik yang Hal tersebut, pada gilirannya, berimplikasi melatarinya.

pada sebuah sentimen yang juga meningkat

1. Latar Wacana: “al-Rafḍ al-Kāmil” dan dalam wacana tasyayyu’ (status syi’ah) dalam

Perkembangan Polemik Ahli Hadith jarḥ wa ta’dīl. Nuansa yang sama masih

Abad 8-9 H./14-15 M. berlanjut sampai masa Ibnu Hajar. Ibnu Hajar

menyatakan adanya pergeseran dalam konsep Mulai abad ke-8 H., wacana ‘ulūm al-hadīth

memperlihatkan suatu potret perkembangan mutaqaddimīn dan

tasyayyu’ antara konsep

polemis yang baru. Pada masa Ibnu Hajar muta’akhhirīn. Dalam kerangka yang sama dengan al-Żahabi, Ibnu Hajar menyebut sekte

(abad ke-9 H./15 M.) persinggungan antara yang sedang dibicarakan dengan wacana

al-rafḍ al- ‘ulūm al-hadīth, terutama jarḥ wa ta’dil, dengan isu isu sektarian menjadi kian akut. maḥḍ. Hal tersebut terlihat dalam pernyataan

Ibn Hajar berikut ini: 35

Anggapan ini didasarkan pada beberapa hal. Salah satu indikator utama dalam hal ini

نامثع ىلع يلع ليضفت داقتعا وه ينمدقتلما فرع في عيشتلاف adalah perkembangan sekte syi’ah ekstrim (al-

ينخيشلا يمدقت عم ئطمخ هفلامخ نأو هبورح في ابيصم ناك ايلع نأو syi’i al-ghāly) yang dianggap menjadi semakin

menjadi-jadi oleh Ahli Hadith. Informasi ini ضلمحا ضفرلا وهف نيرخأتلما فرع في عيشتلا امأو ... امهليضفتو

bisa dilacak ketika al-Ẓahabi (w. 748 H./1374) ةمارك لاو لياغلا يضفارلا ةياور لبقت لاف yang hidup tepat satu generasi sebelum Ibnu

Oleh karenanya, al-Ẓahabi dan belakangan Hajar membagi bid’ah menjadi dua macam juga Ibnu Ḥajar mencoba memperjelas wacana

sebagaimana telah disinggung sebelumnya. sektarian ini. Al-Ẓahaby misalnya menegaskan Ketika itu al-Zahaby menyadari gejala tersebut dan terdorong untuk membuat dua divisi 33 Karena keterbatasan ruang, di sini penulis membatasi bid’ah;

ṣugrā dan kubrā. Bid’ah ṣugrā dialamatkan untuk mengutip informasi dari kubu ahli hadith. Penjelasan kepada kelompok syi’ah ekstrim terdahulu lebih lanjut terkait siapa yang dimaksud al-Zahaby dengan (al-

rafḍ al-kāmil) ketika itu, memerlukan penelitian lebih lanjut

(zaman al-salaf) yang hanya sebatas mencaci terutama dengan melihat dalam sumber sumber sejarah

perkembangan sekte syi’ah.

32 Lihat Ibn Hajar al-‘Asqalāni, Nuzhat al-Nazar fi Tauḍīhi 34 Syamsuddin Muhammad al-Zahaby, Mīzān al-I’tidāl fii Nukhbat al-Fikr, hlm. 209. Kitab ini ditulis pada tahun 818 H. Naqd al-Rijāl, .., Juz 1, hlm. 118

dan merupakan syarah dari kitab Nukhbat al-Fikr karangan 35 Lihat Ibn Hajar al-‘Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, (Beirut: Ibnu Hajar sendiri yang selesai ditulis pada tahun 812 H.

Dār al-Fikr, 1984), juz. 1, hlm. 81.

Asep Nahrul Musadad dan Ismangil Ngarfillah, Polemik “Ahli Bid’ah” Asep Nahrul Musadad dan Ismangil Ngarfillah, Polemik “Ahli Bid’ah”

ةهبش عونب لب ةدناعبم لا ملسو periwayat syi’ah terdahulu (salaf) terutama pada

masa tabi’in, yang memang kredibel dan tidak Dalam definisi di atas, Ibnu Hajar

ekstrim dalam kesyi’ahan-nya. Adalah sebuah menggunakan suatu redaksi “ i’tiqād” yang kesalahan besar, kata al-Zahaby, andaikata menunjukkan spesifikasi tertentu. Selanjutnya sepenuhnya meninggalkan hadith yang berasal Ibnu Hajar menjelaskan bahwa secara

dari kelompok tersebut. 36 Apa yang disadari konsekuensikal, bid’ah bisa menyebabkan oleh al-Zahaby juga dirasakan selanjutnya oleh pelakunya terjerumus kepada dua status Ibnu Hajar dalam membangun wacana

‘ulūm al- di atas. Ketika mencontohkan bid’ah yang hadīth pada periode selanjutnya.

menyebabkan kekafiran, ia menyebutkan seseorang yang dalam hatinya meyakini sesuatu

2. Dua Macam Status Bid’ah

yang menyebabkan kekafiran. 39 Terkait tolok

Dalam latar polemis tersebut, Ibnu ukur “sesuatu yang menyebabkan kekafiran”, hajar mencoba merumuskan konsep bid’ah akan dijelaskan dalam uraian selanjutnya. dan riwāyat al-mubtadi’. Berbeda dengan

3. Konsep

Bid’ah dan Beberapa Anomali

kecenderungan pendahulunya yang berkutat

pada jenis bid’ah yang dilakukan dan kualitas Menyikapi beberapa polemik di atas, Ibnu riwayatnya, persoalan yang menarik Hajar menemukan adanya sebuah kegelisahan.

perhatian Ibnu Hajar adalah dua status yang Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dialamatkan kepada mereka; “kafir” dan ketika itu, Ibnu Hajar dihadapkan dengan

“fasik” sebagai titik tolak dan basis aksentuasi. suatu fenomena sektarianisme yang semakin Hal ini merupakan indikator yang menunjukan meningkat sejak masa al-Żahabi di abad ke-8 semakin berkecamuknya fenomena

tafsīq dan H. Hal ini tampak jelas dengan beberapa takfir antar kelompok. Dengan demikian ia pernyataan yang ia sampaikan dalam Nuzhat

membuat kategorisasi validitas riwayat al- 40 al-Nazar, bahwa ketika itu perbedaan faham mubtadi’ berdasarkan dua status tersebut.

semakin memuncak pada fanatisme buta Dalam hal ini Ibnu Hajar dalam Nuzhat al- ( mubālaghah). Pada gilirannya hal tersebut

Nazar, pertama tama menyebutkan dua macam kemudian menjadikan setiap kelompok bid’ah: 37 menjadi semakin mudah untuk membid’ahkan

a. Bid’ah yang menyebabkan pelakunya kelompok lainnya, dan dalam beberapa hal

menjadi kafir (mukaffir) juga mengkafirkannya. Dengan demikian,

b. Bid’ah yang menyebabkan pelakunya fenomena takfir sudah mulai meluas pada menjadi fasiq (

mufassiq). masa Ibnu Hajar, sampai kepada wilayah studi

hadith.

Dalam kerangka Ibnu hajar, istilah bid’ah Pada titik inilah Ibnu Hajar menemukan

sendiri didevinisikan secara lebih mengerucut suatu anomali. Bahwa konsep bid’ah yang dalam konteks jarḥ wa ta’dīl kepada aspek selama ini dikenal dalam konteks jarh wa ta’dīl

keyakinan ( I’tiqād). Hal ini menguatkan tesis telah mengalami distorsi dan deviasi akibat

sebelumnya terkait konsep bid’ah dalam semakin maraknya fenomena takfir yang kerangka jarh wa ta’dīl. Ketika membahas sebab- juga ikut masuk ke dalam studi hadith. Awal sebab kecacatan seorang periwayat hadith, Ibn

38 mula kegelisahannya adalah ketika mayoritas Hajar mendefinisikan bid’ah sebagai berikut: kritikus ketika itu ( jumhūr), meski sebagian

yang lain berpendapat yang lain, sepakat menolak seluruh riwayat ahl bid’ah yang telah

36 Syamsuddin Muhammad al-Zahaby, Mīzān al-I’tidāl fii

dianggap “kafir”.

Naqd al-Rijāl, .., Juz 1, hlm. 118. 37 Ibnu Hajar al-‘Asqalāni, Nuzhat al-Naẓar, hlm. 232.

39 Ibnu Hajar al-‘Asqalāni, Nuzhat al-Naẓar, hlm. 232. 38 Ibnu Hajar al-‘Asqalāni, Nuzhat al-Naẓar, hlm. 223.

40 Ibnu Hajar al-‘Asqalāni, Nuzhat al-Naẓar, hlm. 209-233.

P-ISSN: 1978-6948

8 e-ISSN: 2502-8650

Vol. 10 No. 1 Januari 2016 | 1-11

Hal tersebut tercermin dalam pernyataan standarisasi klaim “kafir”. Menurutnya klaim

di bawah ini: 41 “kafir” dalam konteks jarh wa ta’dīl tidak boleh dilakukan secara serampangan, ia harus

نإ :ليقو .ًاقلطم لبقُي :ليقو .ُروهملجا اَهَ�بِحاص ُلَبْقَ�ي لا :لولأاف berdasarkan beberapa kaidah yang telah .َلِبُق هتلاقم ةرصنل بذكلا َّلِح دقتْعَ�ي لا ناك disepakati oleh “konsensus” ulama ( qawā’id

Hal yang disayangkan Ibnu Hajar jami al-a’immah). Ia mencontohkan beberapa adalah tidak adanya batasan yang jelas bagi kelompok rāfiḍah yang telah dipastikan

ukuran “kafir” bagi pelaku bid’ah tersebut di meyakini ketuhanan ‘Ali sebagai kelompok tengah maraknya fanatisme golongan dan 43 yang kafir. Di tempat lain, ia juga memberikan

fenomena takfir. Dalam hal ini, ia menyatakan standar lain dalam klaim kafir tersebut, yaitu pendiriannya sendiri. Ia menegaskan bahwa seseorang yang mengingkari syari’at Islam

periwayat yang dianggap “kafir” karena yang telah diterima secara mutawatir. 44 melakukan bid’ah (mukaffar) tidak selamanya

Pandangan tersebut kemudian juga ditolak. Hal ini dikarenakan klaim “kafir” itu berimplikasi kepada standar diterima atau

sendiri telah mengalami distorsi sektarian. 45 ditolaknya sebuah riwayat dari Ahli Bid’ah: Ketika itu klaim tersebut telah marak

digunakan sebagai instrumen alternatif yang عرشلا ن��ِم ًارتاوتم ًار��مأ ركنَأ ن��َم ه��ت��ياور ُّدَر���ُ�ت يذ��لا نأ دمتعلماف

ampuh dalam rangka melegalkan pandangan نم امأف ،ُهَسكع َدقتعا ن��َم اذ��كو ،ةرور��ض��لبا نيدلا نم ًامولعم

suatu kelompok dan menyerang kelompok هعرو عم ،هيوري امِل ُهُطْبَض كلذ لىإ مضناو ةفصلا هذبه نكي لم Islam yang lain. Dalam hal ini, ia telah menjadi

.هلوبق نِم عنام لاف ،هاوقتو semacam “senjata teologis”. Meneruskan

42 pernyataan sebelumnya, ia mengatakan: Periwayat ahli bid’ah yang tidak diterima ( mardūd), kata Ibnu Hajar adalah mereka yang

نأ يعدت ٍةفئاط َّلك نلأ ؛ٍةعدبب ٍرَّفَكُم ُّلُك ُّدَرُ�ي لا هنأ ُقيقحتلاو mengingkari syari’at Islam yang diterima ىلع ك��لذ َذ��ِخُأ ولف ،اهفلامخ رِّفكتف غلابُت د��قو ،ٌةعدتبم اهيفلامخ secara mutawatir yang dikenal luas dalam

agama Islam. Dalam pandangan Ibnu Hajar, . ِفئاوطلا ِعيجم يرفكت مزلتسلا قلاطلإا betapapun bid’ah-nya seorang perawi, selama

Demikianlah, Ibnu Hajar menyadari bahwa ia memenuhi persyaratan; teruji kapabilitas konsep riwayat al-mubtadi’ memiliki krusialitas intelektual dan tidak mengingkari syari’at tersendiri. Redaksi “ wa al-tahqīqu” (yang benar Islam yang mutawatir, maka riwayatnya adalah …) memberitahu kita bahwa Ibnu Hajar tetap bisa diterima. Dengan demikian, yang telah melalui berbagai evaluasi atas wacana ditekankan Ibnu Hajar adalah validitas dalam yang ada, sampai ia menyatakan kesimpulannya aspek transmisional dan berusaha menghindari

sendiri. Bahwa klaim “kafir” terkadang muncul campur tangan sektarianisme yang merasuk dari fanatisme golongan yang memuncak. ke dalam wacana studi hadith. Pada awalnya hanya menganggap bid’ah,

4. Ibnu Hajar Tentang “Tasyayyu” Dalam

namun dalam level fanatisme tertentu, klaim

Jarḥ wa Ta’dīl

“kafir” muncul sebagai instrumen alternatif Salah satu konsep yang secara langsung dalam polemik sektarisnisme. Jika seluruh

menghadapkan wacana jarh wa ta’dil dengan klaim tersebut dibenarkan, kata Ibnu Hajar,

isu sektarian secara lebih partikular adalah maka yang terjadi adalah “ takfir”, misal bahwa istilah tasyayyu’, sebagai salah satu label negatif semua golongan akan menjadi kafir.

dalam kredibilitas seorang perawi. Ia dirasa Lantas apakah Ibnu Hajar sepenuhnya

menentang klaim “kafir” dalam konteks perlu untuk dibicarakan di sini mengingat polemik sektarianisme jarh-ta’dil? Selanjutnya

43 Ibn Hajar al-‘Asqalāny, Fath al-Bāri, (Beirut: Dār al-

ia menegaskan pandangannya terkait Ma’rifat, 1379), juz. 1, hlm. 385.

Ibn Hajar al-‘Asqalāny, Nuzhat al-Nazar, hlm. 232. Ibnu Hajar al-‘Asqalāni, Nuzhat al-Nazar, hlm. 232.

Ibn Hajar al-‘Asqalāny, Nuzhat al-Nazar, hlm. 232-233. Ibnu Hajar al-‘Asqalāni, Nuzhat al-Nazar, hlm. 232.

Asep Nahrul Musadad dan Ismangil Ngarfillah, Polemik “Ahli Bid’ah” Asep Nahrul Musadad dan Ismangil Ngarfillah, Polemik “Ahli Bid’ah”

Tasyayyu’ berarti pekerjaan yang menunjukan mutaqaddimīn, ia hanya sebatas keyakinan akan seseorang itu syi’ah, seperti halnya tasannun keutamaan ‘Ali di atas sahabat lainnya. Pada untuk mengidentifikasi bahwa seseorang masa muta’akhhirīn, ia berkembang menjadi menganut aliran sunni. Awal mula tasyayyu’ lebih ekstrim. Dengan demikian, sebagaimana menjadi sebab cacat pada periwayat memang al-Ẓahaby, Ibnu Hajar, bersikap lebih longgar

perlu penelusuran lebih lanjut. Namun tidak terhadap periwayat syi’ah terdahulu dan agak bisa dipungkiri bahwa tasyayyu’ dalam banyak bersikap ketat terhadap periwayat syi’ah pada hal dianggap sebagai sebab kecacatan seorang masanya. Setelah menjelaskah tasyayyu’ pada periwayat yang terkadang hanya bermotif periode

mutaakhhirīn, ia mengatakan: 47 sektarian semata.

Hal tersebut juga disadari Ibnu Hajar. هتياور درت لاف ادهتمج اقداص انيد اعرو كلذ دقتعم ناك اذإو …

Evaluasi dan revisi wacana yang dilakukan وهف نيرخأتلما فرع في عيشتلا امأو ةيعاد يرغ ناك نإ اميس لا اذبه

oleh Ibnu Hajar tentunya juga akan ةمارك لاو لياغلا يضفارلا ةياور لبقت لاف ضلمحا ضفرلا berimplikasi pada penilaiannya terhadap

Demikianlah uraian singkat bagaimana seorang perawi yang dianggap bermazhab Ibnu Hajar mencoba menerobos masuk ke

syi’ah. Ketika dihadapkan di antara hal yang dalam lorong lorong zona merah wacana cukup krusial; seorang periwayat yang syi’ah sektarianisme jarh wa ta’dīl. yang secara kredibilitasnya memenuhi syarat sebagai seorang yang tsiqah dan dlabiṭ, Ibnu

E. Kesimpulan

Hajar terlihat lebih mementingkan aspek Penelusuran terhadap gagasan Ibnu transmisional ketimbang terjebak dalam Hajar terkait, membawa kita kepada polemik sektarian. Hal ini terlihat jelas ketika ia mengomentari Khāid bin Makhlad al- beberapa kesimpulan bahwa seluruh wacana

Qaṭawāny al-Kūfȳ (w. 213 H.), salah seorang pengetahuan, termasuk studi hadith, akan senantiasa mengalami pergeseran. Hal

periwayat syi’ah yang merupakan guru dari al-

46 Bukhari: tersebut terlihat pada gagasan Ibnu Hajar dengan berbagai latar belakang polemis ketika يراخبلا خويش رابك نم مثيلها وبأ فيوكلا نياوطقلا دلمخ نب دلاخ itu yang semakin meningkat. Ibnu Hajar نب لاقو عيشت هيف ةقث يلجعلا لاق هنع دحاو نع ىورو هنع ىور mencoba melakukan evaluasi terhadap konsep

bid’ah dan status riwāyat al-mubtadi’. Melihat امهتم ناك هنأ لاإ ةقث ةرزج لحاص لاقو اطرفم اعيشتم ناك دعس fenomena dua status “kafir” dan “fasik” yang

تبث ناك اذإ هنأ انمدق دقف عيشتلا امأ تلق … عيشتلا في ولغلبا dialamatkan kepada ahli bid’ah, ia mendapati

هرضي لا ءادلأاو ذخلأا beberapa anomali. Bahwa klaim tersebut telah

Dengan demikian, dalam perspektif banyak mengalami distorsi karena fanatisme Ibnu Hajar, meski seorang periwayat hadith golongan dan polekik sektarian yang kian bermazhab syi’ah, asalkan ia memenuhi berkecamuk. Ia menawarkan beberapa syarat transmisional ( tsabata al-akhż wa al-adā), rekomendasi agar lebih berhati hati dalam memiliki kredibilitas intelektual, dan tidak menilai seorang periwayat ahli bid’ah. keluar dari patron syari’at Islam universal,

Penelitian terkait koneksi antara wacana maka status tersebut tidak akan berpengaruh ‘ulūm al-hadīth, terutama jarh wa ta’dīl, dengan apa-apa pada kualitas riwayatnya, dalam artian isu isu sektarianisma Islam masih memiliki riwayatnya tetap diterima.

ruang untuk dieksplorasi lebih lanjut. Beberapa konsep semacam tasyayyu’ dalam jarh wa ta’dil,

Ibn Hajar al-‘Asqalāny, Fath al-Bāri ,…, juz. 1, hlm. 100. 47 Ibn Hajar al-‘Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, …, juz. 1, hlm. 81.

P-ISSN: 1978-6948

10 e-ISSN: 2502-8650

Vol. 10 No. 1 Januari 2016 | 1-11 Vol. 10 No. 1 Januari 2016 | 1-11

‘Ilm al-Riwāyat, Madinah: al-Maktabah al- beberapa tema lainnya masih menunggu untuk

‘Ilmiyyah, tth.

diteliti lebih lanjut. Tulisan ini merupakan Ibn Fāris, Abu Ḥasan Ahmad. Mu’jam Maqāyis al- stimulan sederhana yang masih jauh dari

Lughah, Beirut: Dār al-Fikr, 1979. sempurna dalam penelitian terkait koneksi

antara wacana ‘ulūm al-hadīth dan polemik Jabali, Fuad. Sahabat Nabi: Siapa, Kemana dan

sektarianisme Islam. Bagaimana?, Bandung: Mizan, 2010.

al-Nawawy, Abu Zakariya Muhyiddin. al-Minhāj Syarḥ Sahīh Muslim bin Hajjāj, Beirut: Dār

Ihyā al-Turāṡ al-‘Araby, 1392 H.

DAFTAR PUSTAKA

al-Ramāhurmuzy, Hasan bin ‘Abdurrahmān. al- Muḥaddiṡ al-Fāṣil bayna al-Rāwy wa al-Wā’I, Beirut: Dār al-Fikr, 1971.

Abi ‘Abdillah al-Naisābūri, Al-Ḥākim. Ma’rifat al-Sakhāwi, Syamsuddīn Muhammad. al- ‘Ulūm al-Ḥadīs,. Madinah: al-Maktabah al-

Jawāhir wa al-Durar fī Tarjamati Syaikh al- ‘Ilmiyyah, 1977.

Islām Ibn Ḥajar, Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 1999. Abu Zahw, Muhammad. al-Ḥadīṡ wa al- al-Sakhāwy, Syamsuddin Muhammad. Fatḥ

Muhaddiṡūn, Beirut: Mamlakah al- al-Mugīṡ, Riyād: Maktabah Dār al-Minhāj, ‘Arabiyyah, 1984.

1426 H.

Am īn, Ahmad. Ḍuḥa al-Islām, Kairo: Maktabah al-Sibā’i, Musṭafā. Al-Sunnah wa Makānatuhā fi al-Nahḍah al-Miṣriyyah, tth.

al-Tasyrī’ al-Islāmy, Beirut: Dār-al-Warrāq, al-‘Asqalāny, Ibn Ḥajar. Fath al-Bāri, Beirut: Dār tth.

al-Ma’rifat, 1379 H. al-Syahrazuri, Abū ‘Amr ‘Uṡmān. Muqaddimah Ibn Ṣalāh. Maktabah al-Fārāby, 1984.

__________. Nuzhat al-Naẓr fī TauḍīḥI Nukhbat al- Fikr, Riyāḍ: Maktabah Safīr, 2001.

al-Zahaby, Syamsuddin Muhammad. Mīzān al- __________.

I’tidāl fī Naqd al-Rijāl, Beirut: Dārul Kutub al- Nukhbat al-Fikri fi Muṣṭalaḥ Ahl Aṡar,

‘Ilmiyah, 1995.

Beirut: Dār Ibn Hazm, 2006.

__________. Siyar A’lām al Nubalā, Beirut:

Tahżīb al-Tahżīb, Beirut: Dār al- Mu’assasah al-Risalah, tth. Fikr, 1984.

____________.

11

Asep Nahrul Musadad dan Ismangil Ngarfillah, Polemik “Ahli Bid’ah”