View of HERMENEUTIKA FENOMENOLOGIS HASAN HANAFI

  HERMENEUTIKA FENOMENOLOGIS HASAN HANAFI Muhammad Patri Arifin

  Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu Abstract:

  

Al-Quran as a source of verbatim teachings requires a

touch of understanding from humans to explore the

meaning and contents. But in the process of touching

meaning, often faced with a dilemma. On the one

hand it is desirable to understand the meaning of the

Qur'an in accordance with scientific and objective

provisions, while the other side wants the presence of

present reality for the creation of the moral interests

and needs of Muslims today. So no wonder if various

methodological offers emerge from contemporary

Muslim thinkers, although the offer is different in the

form of a framework, but is on the one goal that is to

realize the nature of the Qur'an Shalihun Likulli

Zaman wa Makan, the nature that desires the values

universal in the contextualized Al-Quran, so that it

can always be relevant in every age and place. Hasan

Hanafi is one of the Muslim thinkers who assume that

in digging the meaning of the Qur'an should see the

needs and reality of Muslims in the Qur'an

(subjective), not interpret the Quran as a whole

regardless of the needs and guidance of Muslims. By

this way, a mufassir is very important to have

awareness of praxis as a form of realization of the

meaning of the text in every day human life.

  

Keywords: Keywords: Methodology, Hasan Hanafi, Subjective, Praxis and

Realization.

2 Rausyan Fikr

  , Vol. 13 No. 1 Juni 2017: 1-26 |

  Abstrak:

  Al-Quran sebagai sumber ajaran yang bersifat verbatim membutuhkan sentuhan pemahaman dari manusia untuk menggali makna dan isinya. Namun dalam proses penyentuhan makna, seringkali dihadapkan pada keadaan dilematis. Pada satu sisi sangat dituntut untuk memahami makna Al-Quran sesuai ketentuan ilmiah dan objektif, sementara sisi lain menginginkan hadirnya realitas kekinian demi teciptanya kepentingan moral dan kebutuhan umat Islam saat ini. Maka tak heran jikalau berbagai tawaran metodologis muncul dari para pemikir muslim kontemporer, meskipun tawaran tersebut berbeda-beda dalam wujud kerangka, namun berada pada tujuan yang satu yaitu mewujudkan sifat al- Quran Shalih Likulli Zaman wa Makan, yaitu sifat yang menghendaki adanya nilai-nilai universal dalam Al-Quran yang dikontekstualisasikan, sehingga dapat senantiasa relevan pada setiap zaman dan tempat. Hasan Hanafi salah seorang pemikir muslim yang berasumsi bahwa dalam menggali makna Al-Quran hendaknya melihat kebutuhan dan realitas umat Islam di dalam Al-Quran (subjektif), bukan menafsirkan Al- Quran secara keseluruhan tanpa memperdulikan kebutuhan dan tuntunan umat Islam. Olehi tu, seorang mufassir sangat penting memiliki kesadaran praksis sebagai bentuk realisasi makna teks dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kata kunci: Metodologi, HasanHanafi, Subjektif, Praksis dan

  Realiasi Pendahuluan

  Al-Quran adalah sumber turas (tradisi), asas peradaban dan sumber pengetahuan umat sekaligus sebagai faktor pembangkit mayoritas gerakan sosial politik di sepanjang empat

  

Muhammad Patri Arifin, Hermeneutika Fenomenologis

  3 |

  1

  belas abad sejarahnya . Al-Quran sebagai sumber hanya bisa berfungsi dalam kehidupan manusia dengan sentuhan pemahamanannya sendiri. Artinya Al-Quran tidak akan bermakna tanpa intervensi pemahaman dan pikiran manusia. Dalam hal upaya memahami makna teks agar bisa diaplikasikan dalam kehidupan manusia, telah dikenal adanya banyak pendekatan dan metodologi. Salah satu pendekatan yang akhir- akhir ini paling banyak diminati oleh para akademisi, khususnya dalam bidang penafsiran Al-Quran adalah pendekatan Hermeneutika.

  Heremeneutika Al-Quran ialah sebuah metodologi tafsir, yang mana notabene metodologi ini berisikan teori dan konsep, proses dan prosedur yang diperuntukkan untuk pengembangan ilmu tafsir. Dalam hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Amin al Khulli bahwa jika yang demikian adanya, maka tiada lain kajian tentang cara memahami Al-Quran merupakan suatu ilmu yang belum matang ( ghair an nahj) sehingga terbuka untuk selalu

  2

  selalu diperbarui dan dikembangkan. Terbukti dengan munculnya karya-karya tafsir, mulai dari klasik hingga yang kontemporer dengan corak, metode dan pendekatan yang berbeda, menunjukkan jikalau kajian Al-Quran sebenarnya selalu mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan kondisi sosial-budaya. Umat Islam senantiasa mendialogkkan Al-Quran sebagai teks yang terbatas dengan problem sosial kemanusiaan yang tak terbatas, terlebih lagi adanya adagium yang mengatakan bahwa Al-Quran salih likulli zaman wa makan yang menghendaki 1 Hasan hanafi, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, terje. Yudian

  

(Yogyakarta: Pesantren Nawasea, 2007) hal. 15. Lihat juga Hasan Hanafi, Ad

Din wa As Tasaurah fi Misr 1952-1981, (Mesir: Madbuli, tanpa thn) hal 74.

Jilid 7. 2 Abdul Mustaqim, Studi al Quran Kontemporer, tanpa nama, tempat

4 Rausyan Fikr

  , Vol. 13 No. 1 Juni 2017: 1-26 |

  adanya nilai-nilai universal dalam Al-Quran yang dikontekstualisasikan, sehingga dapat senantiasa relevan pada setiap zaman dan tempat.

  Permasalahan selanjutnya adalah, teori hermeneutika yang ditawarkan oleh beberapa pemikir muslim tidak semuanya pada satu suara dan kesepakatan bersama, diantaranya ada yang berpegang pada nilai objektifitas dalam melakukan penafsiran, dan diantaranya lagi ada yang mempertahankan pada nilai subjektifitas. Maka pembahasan selanjutnya akan dipaparkan pemikiran salah seorang pemikir sekaligus mufassir muslim yang memiliki kecenderungan pada nilai subjektifitas, yaitu Hasan Hanafi. Biografi Hasan Hanafi

  Hasan Hanafi lahir di Kairo, ibu kota Republik Arab Mesir (Jumhuriyyat Misr al Arabiyah), pada tanggal 13 Pebruari 1935. Keluarganya berasal dari propinsi Banu Suwaif, salah satu propinsi di Mesir bagian Selatan,kemudian mereka pindah ke Kairo. Kakek Hasan Hanafi berasal dari al Maghrib (Maroko), dia memutuskan untuk menetap di Mesir ketika singgah di negeri itu sepulang memunaikan ibadah haji. Dalam persinggahan itu pula ia menikah dengan seseorang yang kemudian menjadi nenek Hasan Hanafi. Sebagaimana anak-anak Arab lainnya, Hasan Hanafi mulai menghafal Al-Quran sekitar umur 5 tahun. Sekolah formal ia tempuh mulai dari pendidikan dasar di Madrasah Sulayman Ghawish, pendidikan guru di al- Mu’allimin (pada tahun ke-5 pindah ke sekolah Silahdar), dan tingkat tsanawiyyah (setingkat SLTA untuk Indonesia) di Khalil Agha yang ditamatkan pada tahun 1952. Tahun 1956, Hanafi mendapatkan gelar kesarjanaan pertamanya di Fakultas Sastra Jurusan Filsafat Universitas Kairo. Selanjutnya, selama sepuluh tahun ia

  

Muhammad Patri Arifin, Hermeneutika Fenomenologis

  5 |

  menghabiskan waktu belajar di Prancis, di Sorbonne University dan menyelesaikan disertasi monumental dengan judul Les Metodes d’Exegese: essai sur La Science des Fondaments de la Comprehension, ilm Ushul al Fiqh. Disertasi yang didaulat sebagai karya ilmiyyah terbaik di Mesir yang berkuantitas 900 halaman. Karya yang tebal dan monumental tersebut merupakan upaya Hanafi untuk melakukan dialektika filsafat hukum Islam

  3 (Ushul al-Fiqh) dengan teori fenomenologi Edmund Husserl.

  Sepulangannya ke Mesir, Hanafi mulai mempersiapkan secara sungguh proyek peradabannya yang dikenal dengan al

  4 Turas wa al Tajdid (tradisi dan modernisasi ) . Namun persiapan

  proyek pembaruan itu mengalami hambatan dan kemandegan ketika Hanafi semakin intensif terlibat dalam kegiatan akademis yang lebih banyak menyita perhatian. Hasan hanafi baru kembali menuliskan pengantar teoritis untuk proyek peradabannya pada 1980. Oleh Hanafi, al Turas wa al Tajdid dimaksudkan sebagai sebuah rancangan reformasi agama yang tidak saja berfungsi sebagai kerangka kerja dalam menghadapi tantangan intelektual Barat, tapi juga dalam rangka rekonstruksi pemikiran ke agamaan

5 Islam pada umumnya .

  Karier akademiknya dimulai tahun 1967 ketika diangkat sebagai Lektor, kemudian Lektor Kepala (1973), Profesor Filsafat (1980) pada jurusan Filsafat Universitas Kairo, dan 3 Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hasan Hanafi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005) h. 41-43. 4 Tradisi dalam pandangan Hanafi direpresentasikan oleh segala bentuk

pemikiran yang sampai ke tangan umat Islam yang berasal dari masa lalu ke

  

dalam peradaban kontemporer. Sementara modernisasi adalah reinterpretasi

tradisi tersebut agar sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman. Lihat Hasan

Hanafi, at Turas wa al Tajdid, Cet. IV (Mesir: al Muassaasah al jamiah: 1992)

h. 13. 5 Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan (Bandung; Mizan,

6 Rausyan Fikr

  , Vol. 13 No. 1 Juni 2017: 1-26 |

  diserahi jabatan sebagai Ketua Jurusan Filsafat pada Universitas yang sama. Selain itu, Hanafi juga aktif memberi kuliah di beberapa negara, seperti di Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelpia AS (1971-1975), Universitas Kuwait (1979) dan Universitas Fez Maroko (1982- 1984). Selanjutnya, diangkat sebagai guru besar tamu pada Universitas Tokyo (1984-1985), di Persatuan Emirat Arab (1985), dan menjadi penasehat program pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987). Di samping dunia akademik, Hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiahdan kemasyarakatan. Aktif sebagai sekretaris umum Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan Solidaritas Asia- Afrika dan menjadi wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar di dunia Arab dan Eropa. Tahun 1981 memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah al Yasar al Islami. Pemikirannya yang terkenal dalam jurnal ini sempat mendapat reaksi keras dari penguasa Mesir saat itu, Anwar Sadat, sehingga menyeretnya

  6 dalam penjara.

  Dari biografi yang singkat diatas, dapat di rumuskan rupa seorang Hasan Hanafi tidak keluar dari tiga wajah, yaitu Pertama, dengan proyek besar trisulanya Hanafi tampak jelas sebagai sosok pembaharu yang sangat prihatin pada kondisi umat Islam dan warisan intelektualnya.

  Kedua, melihat keluar masuknya dalam dunia akademik, Hanafi adalah seorang aktivis. Ketiga, sosok yang realistis, akibat pergumulannya yang intens dengan berbagai perangkat metodologis ilmiah yang dikembangkan di Barat, terutama apa yang ditulis dalam 6 Amad Chudori Sholeh, Mencari Hermeneutika Humanistik Hasan

  

Hanafi dalam Jurnal Studi Ilmu Ilmu al Quran, UIN Sunan Kalijaga, Vol 11

  

Muhammad Patri Arifin, Hermeneutika Fenomenologis

  7 |

  disertasinya yaitu tentang teori fenomenologi dalam kaitannya memahami teks keagamaan. Sehingga dengan benih inilah Hasan hanafi menjadi begitu semangat untuk berusaha menerapakan cara baru dalam membaca teks keagamaan dengan berlandaskan dari realitas. Karakteristik Hermeneutika Hasan Hanafi

  Berbicara masalah hermeneutika Hasan Hanafi, tidak bisa dilepaskan dari proyek trisulanya yang saling berkaitan dan berkesinambungan secara dialektis. Proyek trisula ini merupakan isu-isu yang diangkat dalam gerakan al Yasar al Islam (kiri

  7

  islam ) nya sebagai manifestasi dari proyek al Turas wa al Tajdid. Yaitu sikap terhadap tradisi klasik(tradisional), sikap terhadap tradisi Barat, dan sikap terhadap realitas obyektif (kontekstualitas). Pertama beliau menginginkan adanya rekonstruksi dan revitalisasi khazanah tradisi klasik, dengan menekankan perlunya rasionalisme untuk revitalisasi. Sehingga rasionalisme merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam. Kedua, pelunya menantang peradaban barat, beliau memperingatkan pembacanya akan bahaya imperialisme Barat dengan cara pembebasan dari pengekoran terhadapnya, keluar dari jeratannya, menguliti kekurangan dan melepaskan segala ketakutan terhadapnya dengan melakukan interaksi tandingan dengannya, atau bahkan berusaha 7 Kiri Islam merupakan penerus gagasan dan ide yang tertuang dalam

  

majalah al Urwah al Wutsqa yang isinya antara lain seruan untuk melawan

penjajahan, keterbelakangan dan seruan untuk menegakkan kebebasa, keadilan

sosial serta mempersatukan umat Islam dalam suatu kesatuan yang dinamai Pan

Islamisme. Untuk lebih lengkap tentang gagasan al Yasar al Islam (kiri Islam)

Hasan Hanafi, dapat di lihat dalam buku Kazuo Shimogaki, Kiri Islam antara

Modernisme dan Postmodernisme

  . Lihat juga buku Abad Badruzzaman, Kiri

8 Rausyan Fikr

  , Vol. 13 No. 1 Juni 2017: 1-26 |

  menaklukkan dan memeranginya. Proyek inilah yang digagas dengan proyek ‘oksidentalisme’ sebagai jawaban dari ‘orientalisme’ dalam rangka mengkhairi mitos peradaban barat. Proyek ketiga adalah cara menyikapi atau menganalisa atas realitas dunia muslim dari sisi pemikiran, sosial, politik, maupun ekonomi. Dalam kaitannya dengan tafsir, Hanafi mengkritik metode tafsir tradisional yang dianggapnya lebih bertumpu pada teks, kemudian mengusulkan metode baru agar dunia Islam bisa

  8

  berbicara bagi dirinya sendiri. Hal ini berarti bahwa pembahasan tentang seni interpretasi Al-Quran, hanyalah salah satu pokok pembahasan yang dibahas dalam proyek besar tersebut dengan mengupayakan membangun sebuah teori interpretasi (hermeneutika).

  Bagi Hasan Hanafi, hermeneutika tidak hanya berarti ilmu atau teori interpretasi memahami teks, tetapi juga mengandung pengertian sebagai ilmu yang menerangkan wahyu tuhan dari tingkat kata ke dunia, menerangkan bagaimana proses wahyu dari huruf ke realitas atau dari logos ke praksis, selanjutnya transformasi wahyu dari pikiran tuhan menjadi kehidupan nyata. Prose pemahaman terhadap makna teks harus

  9

  melalui beberapa tahap kesadaran atau kritik. Pada mulanya seorang mufasir yang ingin menafsirkan Al-Quran harus memiliki kesadaran atau kesadaran historis, yang akan menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya; karena tidak mungkin akan terjadi pemahaman bila tidak ada kepastian bahwa apa yang dipahami itu secara historis adalah asli. Tahap kedua adalah 8 Kazuo Shimogaki, Kiri Islam antara Modernisme dan Posmodernisme, Cet. III (Yogyakarta: LkiS, 1997), h. 7-8. 9 Hasan Hanafi, Hermeneutika Al Quran? Terj. Yudian W

  

Muhammad Patri Arifin, Hermeneutika Fenomenologis

  9 |

  adanya kesadaran eidetik, yang menjelaskan makna teks dan menjadikannya rasional.

  Untuk menjadikan teks yang rasional dapat ditempuh melalui tiga tahap analisis yakni analisis isi atau kajian atas muatan teks (Al-Quran atauHadis) seperti kajian gramatikal bahasa dll, analisis realitas historis yakni upaya menemukan konteks sosio historis teks, dan terakhir analisis generalisasi yaitu pencarian makna universal dari makan tekstual teks dan signifikansi kontekstualnya dengan realitas historis Nabi. Selanjutnya hasil generalisasi ini akan dimanifestasikan dalam realitas kekinian yang merupakan wilayah kesadaran praktis.

  Kesadaran praktis merupakan tahap terakhir yaitu merealisasikan makna teks dalam kehidupan manusia sehari-hari, dengan cara menggunakan makna sebagai dasar teoritis dalam pengamalan sehingga dapat mengatarkan wahyu pada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia dan alam semesta sebagai suatu tatanan ideal di mana dunia mencapai kesempurnaanya.Dalam artian, pada tahap terakhir dari proses hermeneutika ini, yang penting adalah bagaimana hasil penafsiran ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan manusia, bisa memberi motivasi pada kemajuan dan kesempurnan hidup manusia. Tanpa keberhasilan tahap ketiga ini, betapapun hebatnya hasil interpretasi tidak ada maknanya. Sebab, di sinilah memang tujuan akhir dari diturunkannya teks suci.

  Adapun karakteristik hermeneutikanya bisa dibaca dari slogan yang dipegangnya ‘biarkan realitas berbicara atas namanya sendiri’, sebagai reaksi dari slogan yang mengatakan ‘biarkan Al-Quran berbicara atas nama dirinya’. Hasan Hanafi mencoba mengembangkan metode tafsir realis, dimana yang menjadi pertimbangan dalam menafsirkan Al-Quran adalah

10 Rausyan Fikr

  , Vol. 13 No. 1 Juni 2017: 1-26 |

  realitas itu sendiri. Oleh karena itu penafsiran yang dihasilkan pun bersifat temporal sehingga belum tentu pas untuk diterapkan dalam realitas yang berlainan. Karena memang dalam penafsiran tidak lain adalah perbedaan pendekatan terhadap teks sebagai bias perbedaan kepentingan. Akibatnya pluralitas penafsiran adalah kenyataan yang tidak dapat dihindarkan, karena pada dasarnya setiap penafsiran m erupaka salah satu ekspresi

  10 komitmen sosial-politik pelakunya.

  Masih menurut Hasan Hanafi, makna objektif ( weltanschauung) yang di dalam satu ayat Al-Quran, sebagaimana yang dikehendaki oleh aliran objektifis tidak mungkin ditemukan, karena penafsiran sendiri selalu dibingkai dengan kepentingan yang ambisius. Hal inilah yang membedakannya dengan pemikir-pemikir kontemporer pada umumnya, yang mengakui adanya makna objektif dalam satu ayat. Bagi Hanafi mengaitkan realitas kontemporer dengan realitas yang menyebabkan turunya ayat Al-Quran menurutnya adalah tidak mungkin karena adanya jarak yang sangat jauh antara saat dimana Al-Quran diturunkan dengan proses penafsiran atas teks Al-Quran itu sendiri. Adapun yang mungkin dapat dilakukan adalah menumbuhkan kembali subtansi dan ruh dari teori asbab an nuzul yaitu adanya respon pada realitas dan kondisi yang terjadi pada zaman Nabi, untuk kemudian dikondisikan dengan realitas dan kebutuhan umat Islam.

  Sedangkan aliran objektifis yang dimasuki pengaruh positifistik tersebut, menurutnya hanya bersifat elitis dan tidak menyentuh masyarakat Islam secara meluas. Model hermeneutika 10 M. Mansur, metodologi realis ala hasan hanafi' dalam buku Studi al

  

Quran Kontemporer, tanpa nama, kota dan tanggal penerbitan. hlm 104. yang

dinukil dari buku Hassan Hanafi, Islam in the Modern World: Tradition,

  

Muhammad Patri Arifin, Hermeneutika Fenomenologis

  11 |

  yang demikian harus di hindari dan seharusnya lebih mengutamakan hermeneutika yang lebih bersifat praksis, bercorak sosial dan eksistensial. Sehingga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan masayarakat muslim serta mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan kronis umat saat ini yang masih banyak bergelut dengan berbagai bentuk penindasan

  11 dan keterbelakangan.

  Kerangka Metodologis Pemikiran Hasan Hanafi Bagi Hasan Hanafi, segala produk tafsir yang tidak mengedepankan aspek realitas dan kemaslahatan umat Islam dalam menafsirkan ayat Al-Quran digolongkan sebagi tafsir tradisional, termasuk metode-metode yang dipergunakan adalah metode klasik pula. Dengan alasan yang simpel bahwa zaman sekarang bukan lagi zaman linguistik, riwayat, fikih, tasawuf, filsafat atau dogma, tetapi zaman ilmu sosial dengan ilmu politik dan ekonomi. Dimana pada zaman ini dituntut bagi para mufassir, tidak hanya berposisi sebagai komentator (syarih) dan khatib (retoris) saja, tetapi dibutuhkan mufassir yang memiliki sikap muslih (reformer) yang menyeruh untuk perbaikan kondisi masyarakat.

  Hal demikian menunjukkan bahwa hal-hal yang hendak ditafsirkan adalah melihat kebutuhan umat Islam di dalam Al- Quran, bukan menafsirkan Al-Quran secara keseluruhan tanpa memperdulikan kebutuhan dan tuntutan umat Islam. Jika problem utama umat sekarang adalah pembebasan tanah dan menghadapi imperialisme, maka ayat-ayat perang, jihad dan persiapanlah yang mendapat prioritas dalam tafsir, bukan ayat- ayat dakwah, kehidupan yang baik maupun menikmati fasilitas 11 Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan (Bandung; Mizan,

12 Rausyan Fikr

  , Vol. 13 No. 1 Juni 2017: 1-26 |

  dunia. Jika permasalahan yang fundamentalnya adalah tirani dan penindasan, maka ayat-ayat amar makruf dan nahi mungkar yang

  12 menjadi prioritas utama dan seterusnya.

  Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa semua tafsir tradisional itu mengikuti metode analisis teoritis, baik dengan menukil otoritas riwayat ( al Ma’sur) maupun penafsiran rasional ( al Ra’yi). Dalam artian semua mufassir tradisional itu mendeduksi makna dari teks dengan menggunakan akal murni kemudian memperkuat sikapnya dengan otoritas riwayat atau

  13

  argumen rasional. Maka kaitannya dengan analisis teoritis yang dipegang para mufassir klasik ini, Hanafi menyebutkan beberapa kelemahan, diantaranya: Pertama, mereka berpendapat berdasarkan otoritas riwayat, walau semua jalur periwayatan menyatakan kesahihannya. Sedangakan otoritas riwayat ini kebanyakan bersifat zanni (probable), kemudian dideduksi oleh si mufassir untuk memperkuat makna teks secara zanni pula. Sehingga akibatnya, makna itu tetap saja zanni yang membutuhkan kepastian. Kedua, mereka berpendapat berdasarkan rasio, yang notabenenya juga bersifat zanni. Ketiga, mereka mufassir mengomentari setiap teks tanpa kecuali (baik ketika dibutuhkan maupun tidak), karena mereka mulai dari awal hingga akhir surat. Padahal Al-Quran diturunkan secara bertahap, setiap ayat mengandung makna independen sebagai pemecahan

  14 atas situasi yang pelik dalam kehidupan sehari-hari manusia.

  Maka bagi Hanafi, untuk menghantarkan pada pemahaman teks yang benar sebaiknya berawal dari analisi pengalaman sebagai sumber alamiah teks keagamaan. Pemahaman teks itu harus dipahami dengan cara mengetahui 12 13 Hasan hanafi, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, h. 49. 14 Hasan Hanafi, Hermeneutika al Quran , ibid, h. 13.

  

Muhammad Patri Arifin, Hermeneutika Fenomenologis

  13 |

  maknanya sebagai ‘pengalaman yang hidup’ dalam kesadaran pribadi atau jamaah, sebab teks keagamaan tiada lain adalah kegelisahan, kesulitan, penderitaan dan kesedihan yang dirasakan oleh individu atau komunitas. Maka bagi seorang mufassir yang reformer, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menganlisis pengalaman pribadinya untuk mengetahui makna teks sebelum berbicara kepada pendengar yang mengerumuninya

  15

  dan sebelum menulis untuk khalayak pembacanya. Adapun kerangka metodenya sebagai berikut: Pertama, seorang mufasir harus secara sadar mengetahui dan merumuskan komitmennya terhadap problema sosial politik tertentu. Artinya, setiap seorang mufassir mesti memiliki keprihatian dan komitmen untuk melaklukan perubahan atas kondisi sosial tertentu. Kedua, bercermin pada proses lahirnya teks Al-Quran yang didahului oleh realitas, seorang mufasir harus merumuskan tujuannya. Artinya tidak mungkin seorang penafsir memulai kegiatannya dengan tanpa kesadaran akan apa yang ingin dicapainya. Ketiga, menginventarisasikan ayat-ayat terkait dengan tema yang menjadi komitmennya. Hanafi menegaskan bahwa penafsiran tidak berangkat dari ayat-ayat sebagaimana dalam penafsiran tahlili, melainkan berangkat dari kosa kata al-Quran (al mu’jam al-mufahras). Dalam bahasa Hanafi, penafsiran atas Al-Quran harus berangkat dari Quran yang diedit sesuai dengan tema dalam urutan abjad baik berupa kata kerja, kata benda atau

  16 kata sifat. 15 16 Ibid , h. 14-15 Ahmad Baidowi, (Tafsir Tematik Menurut Hasan Hanafi), dalam

14 Rausyan Fikr

  , Vol. 13 No. 1 Juni 2017: 1-26 |

  Keempat, mengkasifisakan ayat-ayat tersebut atas dasar bentuk- bentuk linguistic. Kelima, membangun struktur makna yang tepat dengan sasaran yang dituju. Keenam, mengidentifikasi problem aktual dan realitas yang dihadapi penafsir atau orang lain, seperti penindasan, pelanggaran hak dan sebagainya. Ketujuh, menghubungkan struktur ideal sebagai hasil deduksi teks dengan problem faktual melalui perhitungan statisk dan ilmu sosial. Kedelapan, menghasilan rumusan praktis sebagai langkah akhir

  17 proses penafsiran yang transformatif.

  Hermeneutika Hasan Hanafi Tentang Konsep ‘al Maal’

  Tidak bisa dipungkiri bahwa, sistem ekonomi dunia sekarang ini didomisasi oleh sistem kapitalis yang notabene dipakai oleh negara-negara berkembang. Meskipun sistem sosialis penah berusaha membendung dominasi tersebut, tetapi pada kenyataanya sampai saat ini kapitalisme masih menjadi yang superior dan mayoritas. Maka pada kenyataan ini, Hasan Hanafi menyadari akan dominasi tersebut yang mengakibatkan meningkatnya pertumbuhan ekonomi suatu negeri pada satu sisi, dan pada sisi lain menimbulkan banyak ketimpangan dan

  18

  kesenjagan sosial terjadi. Demikian juga beliau telah berusaha merumuskan beberapa asumsi dasar untuk mencapai apa yang dinginkannya, yaitu terwujudnya kemajuan ekonomi dunia tanpa 17 M. Mansur, Ibid , yang dinukil dari al Din wa al Saurah, vol VII, h.

  110. 18 Hasan Hanafi, Ad Din wa As Tasaurah fi Misr 1952-1981, (Mesir:

  

Muhammad Patri Arifin, Hermeneutika Fenomenologis

  15 |

  harus ada yang dikorbankan. Oleh karena itu, pertanyaan awal yang dimunculkan adalah posisi ‘al maal’ (kekayaan, kepemiliki, uang). Bagaimana pandangan Islam tentang konsep ‘ al maal’, dan seperti apa pengelolahan ‘al maal’ itu yang sebenarnya dan selayaknya, agar tidak menimbulkan kesenjangan sosial dan tetap mempertahankan produktifitas perekonomian satu bangsa.

  Secara umum, arti 'maal' di dalam Al- Qur’an tidak bermakna uang dalam arti harfiahnya, tetapi berarti kekayaan atau kepemilikan secara umum. Berkaitan dengan bentuk linguistiknya, kata ‘maal’ disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 86 kali dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa tema tentang ‘maal’ adalah tema yang penting, karena signifikansinya tidak kurang dari kata ‘nabi’ sebanyak 80 kali

  19 Berdasarkan klasifikasi atau kata ‘wahyu’ sebanyak 78 kali.

  bentuknya sebagai kata benda, kata ‘maal’ disebutkan al-Qur’an dalam dua bentuk. Pertama; dalam bentuk tidak disandarkan kepada kata ganti seperti al maal, maalan, alamwal dan amwalan sebanyak 32 kali. Kedua; disandarkan kepada kata ganti, yang berkaitan dengan kata sifat kepunyaan seperti kata maaluhu, maaliihi, amwalukum dan amwaluhum sebanyak 54 kali, yang menunjukkan bahwa kekayaan dapat saja berada diluar

  20

  kepemilikan pribadi. Dalam artian kepemilikan merupakan hubungan antara manusia dan kekayaan, maka tidak ada jalan unutk menimbun dan memonopoli kekayaan, sebagaimana yang berlaku dalam sistem kapitalisme.

  Berdasarkan kepastian derivasi kata atau tidaknya, kata ‘maal’ ini disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 17 kali dalam bentuk tak pasti ( nakirah) dan 15 kali berbentuk pasti ( 19 ma’rifah)

  Ibid 20 , h. 123.

16 Rausyan Fikr

  , Vol. 13 No. 1 Juni 2017: 1-26 |

  yang berarti bahwa kekayaan bisa berupa harta yang diketahui dengan cara penginvestasian dan harta yangtidak diketahui sebagai konsekuensi adanya campur tangan pihak lain. Oleh karena itu, kata yang tidak ada kepastian ini selalu disandingkan dengan kata yang lain, seperti amwal annnas, maal alllah, amwal alyatama, dan amwal alyatim. Kesemuanya itu mengindikasikan harta itu pada intinya untuk kemaslahatan orang banyak, terutama untuk anak yatim dan orang yang membutuhkan. Sehingga dalam Al-Quran tidak diketemukan satu ayat pun yang menyebutkan langsung dengan redaksi maal alagniya atau maal

  21 al atrafin.

  Ditinjau dari bentuk dan kedudukan I’robnya, kata ‘maal’ dapat berkedudukan sebagai rafa’ 2 kali, sebagai nasab 17 kali dan sebagai jar 13 kali. Maka apabila diteliti dari kedudukan sebagai nasab sebagai perwakilan, maka kata ‘maal’ dapat dikonotasikan dengan 3 (tiga) makna: Pertama, makna negatif seperti celaan kepada manusia yang mengikat diri dengan harta, seperti QS. al-Taubah 9}:69,

  

ْإُعَت ًَۡتۡصٱَف اٗدََٰن َۡٔأ َٔ ٗلٗ ََٰٕ ۡيَأ َزَثۡكَأ َٔ ٗح َُّٕق ۡىُكُِي َّدَشَأ ْا َُٕٓبَك ۡىُكِهۡجَق ٍِي ٍَِٚذَّنٱَك

ۡىِِٓ ََٰهَ ِث ىُكِهۡجَق ٍِي ٍَِٚذَّن َ َت ًَۡتۡص بًََك ۡىُكِ ََٰهَ ِث ىُتۡعَت ًَۡتۡصٱَف ۡىِِٓ ََٰهَ ِث

ِِۖح َز ِخٓ ۡلۡ َٔ بََُّٛۡدن ِٙف ۡىُُٓه ًََٰۡعَأ ۡتَطِجَح َكِئََٰٓن ُْٔأ ْْۚا ُٕٓضبَخ ِ٘ذَّنٱَك ۡىُت ۡضُخ َٔ

ٙ٩

  ٌَُٔزِض ََٰ ۡن ُىُْ َكِئََٰٓن ُْٔأ َٔ

  Terjemahnya: Keadaan kamu hai orang-orang munafik dan musyrikin adalah seperti keadaan orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta dan anak-anaknya dari kamu. Maka mereka telah 21 menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati

  

Muhammad Patri Arifin, Hermeneutika Fenomenologis

  17 |

  bagian kamu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi.

  Begitu juga QS. al-Kahfi{18}:34,

  ُّزَعَأ َٔ ٗلٗبَي َكُِي ُزَثۡكَأ ۠بَََأ ٓۥُُِرِٔبَحُٚ َُْٕ َٔ ۦِِّج ِح ََٰصِن َلبَ َف ٞزًََث ۥَُّن ٌَبَك َٔ ٖٗ ا ٗزَفََ

  Terjemahnya: Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: "Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat.

  Kemudian dalam QS. Saba{34}:35.

  ٖ٘ ٍَِٛثَّذَعًُِث ٍُ ۡحََ بَي َٔ اٗدََٰن َۡٔأ َٔ ٗلٗ ََٰٕ ۡيَأ ُزَثۡكَأ ٍُ ۡحََ ْإُنبَق َٔ

  Terjemahnya: Dan mereka berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab. Kedua, larangan mendekati, apabila mengambil harta orang lain yaitu kaum yang membutuhkan, anak-anakyatim dan manusia umumnya (tidak termasuk didalamnya orang kaya) seperti dalam QS. Al-Taubah{9}:34,

  ٌَُٕهُكۡأََٛن ٌِبَجُّْۡزن َٔ ِربَج ۡحَ ۡلۡ ٍَِّي ا ٗزِٛثَك ٌَِّإ ْا َُُٕٓياَء ٍَِٚذَّن بََُّٓٚأََٰٓٚ۞

َتََّْذن ٌَُٔزُِۡكَٚ ٍَِٚذَّن َٔ َِِّۗللّ ِمِٛجَص ٍَع ٌَُّٔدُصَٚ َٔ ِمِطََٰجۡنٱِث ِسبَُّن َل ََٰٕ ۡيَأ

ٖٗ ٖىِٛنَأ ٍةاَذَعِث ىُْ ۡزِّشَجَف ِ َّللّ ِمِٛجَص ِٙف بَََُٕٓ ِفُُٚ َلٗ َٔ َخَّضِفۡن َٔ

  Terjemahnya:

18 Rausyan Fikr

  , Vol. 13 No. 1 Juni 2017: 1-26 |

  Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.

  Ketiga, memberikan harta kepada pihak-pihak yang membutuhkan, atau jihad fisabilillah seperti dalam QS. al- Baqarah{2}:177,

  

َّزِجۡن ٍَِّكََٰن َٔ ِة ِزۡغًَۡن َٔ ِق ِز ۡشًَۡن َمَجِق ۡىُكَُْٕجُٔ ْإُّن َُٕت ٌَأ َّزِجۡن َشَّۡٛن۞

َلبًَۡن َٗتاَء َٔ ٍَۧ ِِّٛجَُّن َٔ ِتََٰتِكۡن َٔ ِخَكِئََٰٓهًَۡن َٔ ِز ِخٓ ۡلۡ ِو َٕۡٛۡن َٔ ِ َّللّٱِث ٍََياَء ٍَۡي

ٍَِٛهِئٓبَّضن َٔ ِمِٛجَّضن ٍَۡث َٔ ٍَِٛكََٰضًَۡن َٔ ًََََٰٰٗتَٛۡن َٔ ََٰٗث ۡزُ ۡن َِ٘ٔ ۦِِّّجُح ََٰٗهَع

اَ ِإ ۡىِِْد َۡٓعِث ٌَُٕفًُٕۡن َٔ َح ََٰٕكَّزن َٗتاَء َٔ َح ََٰٕهَّصن َوبَقَأ َٔ ِةبَق ِّزن ِٙف َٔ

  

ٍَِٚذَّن َكِئََٰٓن ُْٔأ ِِۗسۡأَجۡن ٍَٛ ِح َٔ ِءٓاَّزَّضن َٔ ِءٓبَصۡأَجۡن ِٙف ٍَٚ ِزِج ََّٰصن َٔ ِْۖأُدَََٰٓع

ٔ٧٧ ٌَُٕ َّتًُۡن ُىُْ َكِئََٰٓن ُْٔأ َٔ ِْۖإُقَدَص

  Terjemahnya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.

  Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

  

Muhammad Patri Arifin, Hermeneutika Fenomenologis

  19 |

  22 Begitu pula dalam QS. Hud{11}:29.

  ِد ِربَطِث ۠بَََأ ٓبَي َٔ َِّْۚللّ َٗهَع َّلِٗإ َ٘ ِز ۡجَأ ٌِۡإ ِۖ الٗبَي َِّۡٛهَع ۡىُكُه ۡصَأ ٓ َلٗ ِو َٕۡ ََٰٚ َٔ ٕ٩ ٌَُٕهَٓ ۡجَت ب ٗي َٕۡق ۡىُكَٰىَرَأ ُِِّٓٙكََٰن َٔ ۡىِِّٓثَر ْإُ ََٰهُّي ىََُِّٓإ ْْۚا َُُٕٓياَء ٍَِٚذَّن

  Terjemahnya: Dan (dia berkata): "Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui" Setelah melakukan inventarisasi ayat dan penglasifikian ayat berdasarkan aturan-aturan linguistik, barulah Hanafi mengemukakan muatan makna dari ayat-ayat al-Quran, terdapat tiga orientasi makna dari penggunaan kata ‘maal’ dalam al- Quran: Pertama, kekayaan, kepemilikan dan harta warisan pada hakekatnya adalah milik Allah bukan milik manusia, harta itu dipercayakan kepada manusia sebagai sebuah titipandandiberikan wewenang untuk menggunakannya kepada hal yang baik dan bermanfaat bukan menyalahgunakannya kepada hal yang tidak sepatutnya, manusia diberikan hak untuk memanfaatkannya bukan untuk diboroskan dan dibuang-buang, serta manusia dianjurkan untuk melakukan investasi dunia maupun akhirat bukan untuk ditimbun dan dimonopoli.QS. al-Nur{24}: 33,

  ِ ِفۡعَت ِۗۦِِّه ۡضَف ٍِي ُ َّللّ ُىَُُِٓٛۡغُٚ ََّٰٗتَح باحبَكَِ ٌَُٔد ِجَٚ َلٗ ٍَِٚذَّن ۡشَٛۡن َٔ

ۡىِِٓٛف ۡىُت ًِۡهَع ٌِۡإ ۡىُُْٕجِتبَكَف ۡىُكُُ ًَََٰۡٚأ ۡتَكَهَي بًَِّي َتََٰتِكۡن ٌَُٕغَتۡجَٚ ٍَِٚذَّن َٔ

  

َٗهَع ۡىُكِتَََٰٛتَف ْإُْ ِز ۡكُت َلٗ َٔ ْۚۡىُكَٰىَتاَء ِٓ٘ذَّن َِّللّ ِلبَّي ٍِّي ىُُْٕتاَء َٔ ِۖا ٗزَۡٛخ

22

20 Rausyan Fikr

  , Vol. 13 No. 1 Juni 2017: 1-26 |

  

ٍَُّّْٓ ِز ۡكُٚ ٍَي َٔ ْۚبََُّٛۡدن ِح َََٰٕٛحۡن َض َزَع ْإُغَتۡجَتِّن بُُّٗصَحَت ٌَۡد َرَأ ٌِۡإ ِءٓبَغِجۡن

ٖٖ ٞىٛ ِحَّر ٞرُٕفَغ ٍَِِّْٓ ََٰز ۡكِإ ِدۡعَث ٍِۢي َ َّللّ ٌَِّإَف

  Terjemahnya: Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.

  Begitu pula dalam QS. al-Ahzab{33}: 27.

  ُ َّللّ ٌَبَك َٔ ْۚبَْٕ َطَت ۡىَّن ب ٗض ۡرَأ َٔ ۡىَُٓن ََٰٕ ۡيَأ َٔ ۡىَُْزََِٰٚد َٔ ۡىَُٓض ۡرَأ ۡىُكَثَر َۡٔأ َٔ ٕ٧ ا ٗزِٚدَق ٖء َۡٙش ِّمُك ََٰٗهَع

  Terjemahnya: Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah- rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak. Dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.

  Kedua, Setelah manusia diberikan hak dan wewenang untuk mengatur titipan Allah, Maka sepatutnya perputaran dan pergerakan uang harus tunduk pada aturan-aturan yang memihak pada kemaslahatan orang banyak, bukan hanya segelintir orang

  

Muhammad Patri Arifin, Hermeneutika Fenomenologis

  21 |

  atau personal, demikian juga pendistribusiannya ditujukan kepada orang yang berhak lagi membutuhkan (QS, An Nisa {4}: 6),

  

ْا ُٕٓعَفۡدٱَف اٗد ۡشُر ۡىُُِّٓۡي ىُتۡضََاَء ٌِۡإَف َحبَكُِّن ْإُغَهَث اَ ِإ ََّٰٓٗتَح ًََََٰٰٗتَٛۡن ْإُهَتۡث َٔ

بَُِّٗٛغ ٌَبَك ٍَي َٔ ْْۚأُزَجۡكَٚ ٌَأ ااراَدِث َٔ بٗفاَز ۡصِإ ٓبَُْٕهُكۡأَت َلٗ َٔ ِۖۡىَُٓن ََٰٕ ۡيَأ ۡىَِٓۡٛنِإ

ۡىَِٓۡٛنِإ ۡىُتۡعَفَد اَ ِإَف ِْۚفُٔزۡعًَۡنٱِث ۡمُكۡأَٛۡهَف ا ٗزِٛ َف ٌَبَك ٍَي َٔ ِۖۡ ِفۡعَتۡضَٛۡهَف ٙ

  بٗجِٛضَح ِ َّللّٱِث ََٰٗفَك َٔ ْۚۡىَِٓۡٛهَع ْأُدِٓۡشَأَف ۡىَُٓن ََٰٕ ۡيَأ

  Terjemahnya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

  Baik pendistribusiannya itu ketika dalam keadaan damai maupun perang, untuk pembangunan maupun mempertahankan diri (QS. Al Baqarah {2}: 262).

  

ٓ َلٗ َٔ بَُّٗي ْإُ َفََأ ٓبَي ٌَُٕعِجۡتُٚ َلٗ َّىُث ِ َّللّ ِمِٛجَص ِٙف ۡىَُٓن ََٰٕ ۡيَأ ٌَُٕ ِفُُٚ ٍَِٚذَّن

ٕٕٙ ٌََُٕ َز ۡحَٚ ۡىُْ َلٗ َٔ ۡىَِٓۡٛهَع ٌف َٕۡخ َلٗ َٔ ۡىِِّٓثَر َدُِع ۡىُُْز ۡجَأ ۡىَُّٓن ٖٗ َأ

  Terjemahnya: Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang

22 Rausyan Fikr

  , Vol. 13 No. 1 Juni 2017: 1-26 |

  dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Ketiga, adanya kekayaan sebagai wujud dari titipan Allah kepada manusia untuk dikelolah dengan aturan ilahi, membuktikan akan kebebasan manusia untuk berinteraksi dan mencitai harta kekayaan, demi tercapainya kesempurnaan hidup manusia sendiri.Akan tetapi, adanya kebebasan itu tidak berarti manusia memiliki kebebasan yang sebebas-besasnya, tanpa mempertimbangkan aspek moral dan hukum Allah. Dengan kata

  23

  lain, harta untuk manusia bukan manusia untuk harta. QS. al- Fajr{89}: 19-21.\

  ٕٓ ٔ٩ اَ ِإ ِۖٓ َّلَٗك ب ًَّّٗن ٗلٗ ۡكَأ َثا َزُّتن ب ًَّٗج بّٗجُح َلبًَۡن ٌَُّٕج ِحُت َٔ ٌَُٕهُكۡأَت َٔ ٕٕ ٕٔ

  ب ّٗكَد ب ّٗكَد ُض ۡرَ ۡلۡ ِتَّكُد بّٗفَص بّٗفَص ُكَهًَۡن َٔ َكُّثَر َءٓبَج َٔ

  Terjemahnya: Kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil). Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan. Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut. Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. Maka untuk menghubungkan struktur ideal sebagai hasil deduksi teks dengan realitas, maka tidak ada jalan lain yang harus dilakukan adalah menghentikan praktek kapitalisme yang menimbulkan kesenjagan sosial, atau barangkali jikalau tidak bisa merubahnya secara prontal, dapat dilakukan dengan cara gradual yang lebih perpihak kepada nilai kemanusian dan sosial 23

  

Muhammad Patri Arifin, Hermeneutika Fenomenologis

  23 |

  kemasyarakatan. Demikian juga pentingnya pengelolaan harta kekayan yang mengedapankan aspek kemaslahatan orang banyak. Analisis Kritis Atas Hermeneutika Hasan Hanafi