Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul

TINJAUAN YURIDIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SEBAGAI RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL

Dewi Setyowati 1 , Nurul Hudi 2 dan Levina Yustitianingtyas 3

1,2,3 Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya

1 Email: dewi.setyowati@hangtuah.ac.id 2 Emil: hudi_law@yahoo.co.id

3 Email: firman.yusticia86@gmail.com

Abstract: This study aims to resolve problems that arise in connection with reconsideration of regulations ratification of the treaty. Can legislation on treaty ratification An overview held back, and how the legal consequences if there is a decision on the revocation of laws on ratification of the treaty in Indonesia. In order to solve these problems need to be supported by the research in the form of legal material. Research obtained through library research (library research) in libraries. From this legal research to achieve results that provide answers to existing problems, namely that the Constitutional Court only had authority to examine the material legislation and ratification of international agreements is not authorized to cancel the treaty. And the cancellation of a law the ratification of international treaties have no direct correlation to the bond Indonesia against international agreements canceled. Thus the State can withdraw from its attachment to an international agreement if the agreement is contrary to the destination country. If a treaty is not regulated the procedure of withdrawal, it can refer to the rules stated in the Vienna Convention of 1969.

Keywords: Judicial Review, International Treaties, Ratification.

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul sehubungan dengan peninjauan kembali atas peraturan perundangan pengesahan perjanjian internasional. Dapatkah peraturan perundangan pengesahan atas perjanjian internasional diadakan peninjuan kembali, dan bagaimana akibatnya hukumnya apabila ada keputusan tentang pembatalan peraturan perundangan tentang pengesahan perjanjian internasional di Indonesia. Guna menyelesaikan permasalahan tersebut perlu didukung oleh data yang berupa bahan hukum.Data diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) pada perpustakaan-perpustakaan.Dari penelitian hukum ini dicapai hasil yang memberikan jawaban atas permasalahan yang ada yaitu bahwa Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menguji materi undang-undang ratifikasi perjanjian internasional dan tidak berwenang membatalkan perjanjian internasional tersebut. Dan pembatalan suatu undang-undang ratifikasi perjanjian internasional tidak memiliki korelasi langsung terhadap ketrikatan Indonesia terhadap perjanjian internasional yang dibatalkan tersebut. Dengan demikian Negara dapat menarik diri dari keterikatannya terhadap suatu perjanjian internasional jika perjanjian tersebut bertentangan dengan tujuan negaranya. Jika dalam suatu perjanjian internasional tidak diatur mengenai prosedur penarikan diri maka dapat merujuk ketentuan yang ada pada Konvensi Wina Tahun 1969.

Kata kunci: Uji Materi, Perjanjian Internasional, Ratifikasi.

Dewi Setyowati dkk., Tinjauan Yuridis Peraturan Perundang- Undangan sebagai Ratifikasi………

Pendahuluan

kan melalui tiga tahap (perundingan, Dalam masyarakat internasional,

penandatanganan dan ratifikasi), perjanjian internasional memainkan

biasanya perjanjian semacam ini peranan yang sangat penting dalam

diadakan untuk hal-hal yang dianggap mengatur kehidupan dan pergaulan antar

sangat penting sehingga memerlukan di dunia internasional. Perjanjian

persetujuan badan-badan yang ber- internasional yang pada hakekatnya

wenang untuk mengadakan perjanji- merupakan sumber hukum internasional

an.

yang utama adalah instrument-instrumen

2. Perjanjian-perjanjian yang diadakan yuridis yang menampung kehendak dan

hanya dengan melalui dua tahap persetujuan negara ataupun subyek

(perundingan dan penandatanganan), hukum internasional lainnya dalam

biasanya merupakan perjanjian- mencapai tujuan bersama. Definisi

perjanjian yang tidak begitu penting, mengenai

sederhana dan memerlukan penye- terdapat dalam Konvensi Wina Tahun

perjanjian

internasional

lesaian yang cepat atau segera. 1969 1 . Sesuai dengan pengertian

Misalnya saja perjanjian perdagangan perjanjian internasional yang dirumuskan

berjangka pendek dan dalam Konvensi Wina Tahun 1969,

yang

sebagainya.

unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh Suatu perjanjian internasional sebuah dokumen untuk dapat ditetapkan

adalah norma hukum dalam tingkat sebagai perjanjian internasional yaitu: an

internasional, akan mengikat Indonesia international agreement, by subject of

atau menjadi bagian dari hukum nasional international law, in written form,

Indonesia diperlukan proses perundang- government by international law, and

undangan (sebagaimana disebutkan di inwhatever form .

dengan peraturan Dalam pembuatan perjanjian

atas)

sesuai

perundangan yang berlaku di Indonesia internasional juga ditentukan mekanisme

dewasa ini, yaitu Undang-Undang Dasar pembuatannya. Secara garis besar

Negara Republik Indonesia 1945 dan pembuatan perjanjian internasional dibagi

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 2 . dalam tiga tahap, yaitu: perundingan

Menurut Undang-Undang Nomor 24 (negotiation),

Tahun 2000, dijelaskan bahwa perjanjian (signature), dan tahap terakhir adalah

penandatanganan

internasional adalah “perjanjian dalam dalam bentuk pengesahan (ratification).

bentuk dan nama tertentu, yang diatur Dalam proses pembuatan perjanjian

dalam hukum internasionalyang dibuat internasional digolongkan dalam 2 (dua)

secara tertulis serta menimbulkan hak dan tahap, yaitu:

kewajiban di bidang hukum publik” 3 .

1. Perjanjian internasional yang diada- Sedangkan untuk perjanjian internasional yang pengesahannnya dengan undang-

1 Vienna Convention On The Law of Treaties, Vienna 23 Ma y 1969, treaty means “an

2 Lihat Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 international agreement concluded between State

Internasional, Lembaran in written form and governed by international

tentang Perjanjian

Negara RI Nomor 185 Tahun 2000. law, whether embodies in a single instrument or

3 Pasal 1 Undang-undang No. 24 Tahun 2000 in two or more related instruments and whatever

Internasional, Lembaran itsparticular designation”.

tentang Perjanjian

Negara RI Nomor 185 Tahun 2000.

Perspektif Hukum, Vol. 16 No. 2 November 2016 : 202-220

undang apabila materi muatannya dilakukan dalam bentuk Peraturan menyangkut:

Presiden dan ada keraguan tentang

1. Masalah politik, perdamaian, per- keberadaan Peraturan Presiden tersebut, tahanan dan keamanan negara;

maka yang berwenang melakukan

2. Perubahan wilayah atau penetapan peninjaun kembali adalah Mahkamah batas wilayah negara;

Agung 6 . Mahkamah Agung akan menilai

3. Kedaulatan atau hak berdaulat apakah Peraturan Presiden tersebut ber- negara;

tentangan dengan peraturan perundangan

4. Hak asasi manusia dan lingkungan tingkat di atasnya atau tidak. Sehubungan hidup;

dengan uraian latar belakang di atas maka

5. Pembentukan kaidah hukum baru; permasalahan yang diteliti dan dikaji

6. Pinjaman dan atau hibah dari luar adalah apakah peraturan perundang- negeri.

undangan sebagai ratifikasi perjanjian Untuk pengesahan atas perjanjian

internasional dapat dimintakan judicial internasional yang materinya di luar hal

review (uji materi) ke lembaga negara tersebut dilakukan dengan Keputusan

yang berwenang.

Presiden (sekarang Peraturan Presiden) 4 . Dalam

Metode Penelitian

Indonesia, semua undang-undang tidak Penelitian ini adalah penelitian boleh bertentangan dengan Undang-

juridis normatif yang mengkaji dan Undang

menganalisis judicial review dan Indonesia 1945. Apabila terdapat undang-

peraturan perundang-undangan sebagai undang yang ternyata bertentangan

ratifikasi perjanjian internasional. Data dengan Undang-Undang Dasar Ngara

diperoleh dari sumber hukum primer, Republik

sumber hukum sekunder dan sumber berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang

hukum tersier. Data dianalisis secara

kualitatif dengan menggunakan metode tersebut dapat dimintakan peninjauan

Nomor 24 Tahun 2003 5 undang-undang

berfikir deduktif.

kembali (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi akan

Hasil dan Pembahasan

menilai apakah undang-undang tersebut

Pengertian Perjanjian Internasional

Dalam memahami apa pengertian Undang-undang Dasar atau tidak.

benar-benar bertentangan

dengan

sesungguhnya atas suatu perjanjian Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang

internasional, maka perlu dipahami demikian adalah kewenangan mengadili

pengertian secara hukum sebagaimana pada tingkat pertama dan terakhir

dirumuskan oleh hukum internasional. (melakukan judicial review) atas undang-

Hukum perjanjian internasional telah undang tersebut. Sedangkan apabila

berkembang pesat sejak awal abad ke-20 pengesahan perjanjian internasional itu

(kedua puluh), bahkan telah terkodifikasi ke dalam beberapa konvensi internasional

4 Kusumaatmadja Mochtar & Etty R Agoes,

seperti Vienna Convention on The Law of

op.cit ., hal. 120-121. 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, Lembaran Negara RI 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Nomor 98 Tahun 2003.

Mahkamah Agung.

Dewi Setyowati dkk., Tinjauan Yuridis Peraturan Perundang- Undangan sebagai Ratifikasi………

Treaties , 1969 (Konvensi Wina 1969 nasional lainnya, serta menimbulkan hak tentang Perjanjian Internasional), Kon-

dan kewajiban pada Pemerintah Republik vensi Wina 1986 tentang Perjanjian

Indonesia yang bersifat hukum publik 9 . Internasional dan Organisasi Inter-

Kemudian ditegaskan pula dalam nasional, Konvensi Wina 1978 tentang

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, Suksesi Negara terkait Perjanjian

yang mengatakan bahwa perjanjian Internasional. Dalam Konvensi Wina

internasional adalah perjanjian dalam 1969 yang dimaksud dengan Perjanjian

bentuk dan nama tertentu yang diatur Internasional adalah:

dalam hukum internasional yang dibuat ”Treaty means an international

secara tertulis serta menimbulkan hak dan agreement concluded between

kewajiban di bidang hukum publik 10 . State in written form and

Sedangkan dalam Undang-undang governend by international law,

Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan whether embodied in a single Luar Negeri dan Undang-undang Nomor

instrument or in thwo or more related instruments and whatever

24 Tahun 2000 tentang perjanjian its particular designation 7 ” .

internasional, juga memberikan definisi yang tidak jauh berbeda. Hanya saja jika

Sedangkan Pengertian Perjanjian dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun Internasional menurut Konvensi Wina

1999 definisi tentang perjanjian inter- 1986 tentang Perjanjian Internasional

nasional penjelasannya lebih dijabarkan antar Negara dan Organisasi Inter-

lagi tidak hanya terbatas pada hak dan nasional atau antar Organisasi-organisasi

kewajiban untuk terikat pada suatu Internasional adalah “perjanjian inter-

perjanjian internasional, tetapi dalam nasional adalah suatu persetujuan inter-

hubungannya mengadakan perjanjian nasional yang diatur dengan hukum

tidak hanya antar negara tetapi juga internasional dan ditanda tangani dalam

dengan organisasi internasional. bentuk tertulis antar satu negara atau lebih dengan satu organisasi internasional

Hubungan antara Hukum Nasional

atau lebih, atau antar organisasi inter-

dengan Hukum Internasional

nasional” 8 . Hubungan antara hukum nasional Pengertian

dan hukum internasional dalam sistem nasional tersebut kemudian diadopsi

perjanjian

inter-

tata hukum merupakan hal yang sangat dalam Undang-Undang No. 37 Tahun

menarik baik dilihat dari sisi teori 1999 tentang Hubungan Luar Negeri,

hukum 11 atau ilmu hukum maupun dari bahwa perjanjian internasional adalah

perjanjian dalam bentuk dan sebutan 9 Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang No. 37 Tahun apapun, 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. yang diatur oleh Hukum

10 Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang No. 24 Tahun

Internasional dan dibuat secara tertulis

oleh pemerintah Republik Indonesia 11 Dari sisi teori hukum, melihat pendapat dari dengan satu atau lebih negara, organisasi para ahli hukum dalam memandang keterkaitan

antara Hukum Internasional (HI) dan Hukum

internasional atau subyek Hukum Inter-

Nasional (HN). Dalam melihat hubungan antara HI dan HN terdapat dua teori yaitu Teori

7 Pasal 2 Ayat 1a Konvensi Wina Tahun 1969. Monisme dan Teori Dualisme. Menurut Teori 8 Pasal 2 Ayat 1a Konvensi Wina Tahun 1986.

monisme bahwa HI dan HN pada hakikatnya

Perspektif Hukum, Vol. 16 No. 2 November 2016 : 202-220

sisi praktis 12 . Kedudukan hukum inter- nasional dalam tata hukum secara umum

adalah dua aspek hukum yang berasal dari satu sistem hukum, yaitu hukum pada umumnya. Penganut teori ini antara lain Hans Kelsen. Sedangkan menurut teori dualisme, bahwa antara HI dan HN pada hakikatnya adalah dua aspek yang berbeda atau terpisah sast sama lain. Penganut teori ini adalah Triepel dan Anzilotti. Menurut Triepel, perbedaan antara HI dan HN terletak pada subyek hukum dan sumber hukum pada masing-masing hukum yang bersangkutan. Subyek hukum HI adalah negara, sedangkan subyek HN adalah individu, sedangkan sumber HN adalah kehendak negara secara sendiri, sedangkan sumber hukum HI adalah kehendak bersama negara- negara. Lihat Starke’s J.G, op.cit, hal. 57; Mochtar Kusumaatmadja, op.cit, hal. 60.

12 Dari sisi praktis, melihat praktik negara-negara dalam memandang hubungan antara HI dan HN

yang kemudian diikuti

dalam

praktik

ketatanegaraan negara

yang

bersangkutan,

khususnya dalam memjadikan perjanjian inter- nasional (HI) ke dalam hukum nasional. Misalnya praktik Indonesia dalam memberlakukan per- janjian internasional ke dalam hukum nasional, yaitu melalui proses perundang-undangan atau lebih dikenal teori transformasi. Cara demikian menggambarkan bahwa ada perbedaan antara perjanjian internasional (HI) dan peraturan perundangan nasional (HN).Sehingga praktik Indonesia lebih condong penganut teori dualisme. Praktik di Indonesia, pengesahan perjanjian internasional bisa melalui Undang-undang atau Penetapan Presiden. ( Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1)). Praktik di Amerika Serikat, pemerintah AS membedakan perjanjian internasional menjadi perjanjian internasional yang tergolong self-executing treaties dan perjanjian internasional yang tergolong non-self- executing treaties .Perjanjian internasional yang tergolong self-executing treaties untuk berlakunya di AS tidak perlu minta persetujuan Parlemen atau Konggres. Jadi berdasarkan konstitusi AS, Pengadilan AS langsung terikat pada perjanjian internasional tersebut.Untuk perjanjian yang non- self executing trearies untuk berlakunya di AS perlu minta persetujuan Parlemen atau Konggres. Jadi berdasarkan konstitusi AS Pengadilan AS tidak terikat pada suatu perjanjian AS bila belum

didasarkan atas anggapan bahwa hukum internasional sebagai suatu jenis yang merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa hukum internasional sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan sehingga mempunyai hubungan yang efektif dengan ketentuan dan asas pada bidang hukum lainnya. Bidang hukum lainnya yang paling penting adalah bidang hukum nasional. Hal ini dapat dilihat dari interaksi masyarakat internasional dimana peran negara sangat penting dan mendominasi hubungan internasional. Karena peran dari hukum nasional negara-negara dalam memberikan pengaruh dalam kancah hubungan internasional mengangkat pentingnya isu bagaimana hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dari sudut pandang praktis.

Di pihak lain, perlu juga dipahami dari mana hukum internasional mem- punyai kekuatan mengikat. Dalam hal ini terdapat

dua

teori,

yaitu teori voluntarisme 13 , yang mendasarkan ber- lakunya hukum internasional pada kemauan negara, dan teori objektivis 14 yang menganggap berlakunya hukum internasional lepas dari kemauan

ditetapkan berlakunya di AS. Lihat Starke, op.cit., hal. 101, 109-110.

13 Hal ini sejalan dengan pendapat Tripel yang mengemukakan ada dua teori tentang berlakunya

hukum internasional yaitu teori voluntarisme dan teori objektivis . Dari sudut pandang teori voluntarisme akan mengakibatkan adanya hukum internsional dan hukum nsional sebagai dua satuan

perangkat

hukum

yang hidup berdampingan dan terpisah.

14 Teori obyektivitis erat kaitannya dengan hubungan hirarki antara hukum internasional

dengan hukum nasional baik berdiri sendiri maupun bagian dari satu keseluruhan tata hukum yang sama.

Dewi Setyowati dkk., Tinjauan Yuridis Peraturan Perundang- Undangan sebagai Ratifikasi………

negara 15 . Perbedaan pandangan atas dua exchange of instruments constituting a teori ini membawa akibat yang berbeda

treaty, ratification, acceptance, approval dalam memahami hubungan antara

or accession, or by any other means if so agreed (Vienna Convention on The Law

hukum internasional dan hukum nasional.

of Treaties, 1969) .

Pandangan teori voluntarisme meman- Berdasarkan Pasal 11 tersebut,

dang hukum nasional dan hukum inter- negara dalam menyatakan terikat atau nasional sebagai dua perangkat hukum

mengesahkan perjanjian dapat dilakukan yang berbeda, saling ber-dampingan dan

melalui ratifikasi, penerimaan, persetuju- terpisah. Berbeda dengan pandangan teori

an, atau aksesi. Ratifikasi merupakan objektivis yang menganggap hukum

istilah umum untuk menyatakan terikat pada suatu perjanjian internasional.

nasional dan hukum internasional sebagai Adapun ratifikasi dalam Konvensi Wina

dua perangkat hukum dalam satu 1969 Pasal 2 (1) b diberi pengertian yang kesatuan perangkat hukum.

sama dengan penerimaan, pengesahan, dan aksesi sebagai berikut: “ Ratification,

Pengesahan Perjanjian Internasional

acceptance, approval, and accession

Menurut Konvensi Wina 1969

mean in each case the international act Istilah “pengesahan” atas suatu so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be

perjanjian internasional yang dipakai

bound by treaty”.

dalam praktik

Adapun pengertian secara teoritis internasional di Indonesia, khsusnya

hukum

perjanjian

atas ratifikasi adalah persetujuan oleh sebagaimana diatur dalam Undang-

kepala negara atau kepala pemerintahan Undang nomor 24 tahun 2000 tentang

dari negara yang telah menandatangani Perjanjian Internasional diambil dan

suatu perjanjian internasional yang diterjemahkan dari istilah “ratifikasi”.

dilakukan oleh wakil negara berdasarkan Ratifikasi 16 sendiri sebenarnya merupa-

kuasa penuh (full power) 17 yang dibuat kan salah satu cara untuk mengikatkan

oleh negara/pemerintah yang ber- diri pada suatu perjanjian sebagaimana

sangkutan. Pejabat yang tidak memer- diatur dalam Pasal 11 Konvensi Wina

lukan surat kuasa adalah presiden dan 1969 tentang Perjanjian Internasional:

menteri, tetapi penandatanganan suatu The consent of a State to be bound by

perjanjian internasional yang menyangkut treaty may be expressed by signature,

kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan

15 Mochtar Kusumaatmaja, op.cit, hal. 56.

materinya berada

dalam lingkup

Ada beberapa perjanjian internasional yang dalam proses pembuatannya tidak mewajibkan

kewenangan suatu lembaga negara atau

untuk melakukan tahap ratifikasi hanya cukup

lembaga pemerintah, baik departemen

penandatanganan saja sudah dapat menciptakan ikatan hukum dengan negara pihak biasanya perjanjian internasional semacam ini adalah perjanjian intrnasional yang sifatnya bilateral atau materi yang diatur hanyalah materi yang

17 Full Powers adalah surat yang dikeluarkan oleh sederhana saja, dan itupun harus sejak diadakan

Presiden atau menteri Luar Negeri yang penandatanganan perjanjian oleh para pihak.

memberikan kuasa kepada satu atau beberapa Sebagian besar perjanjian internasional yang

orang yang mewakili Pemerintah RI untuk sudah ada mewajibkan adanya tahap ratifikasi

menandatangani atau menerima naskah per- sementara penandatanganan hanya dimaksudkan

janjian, dan /atau menyelesaikan hal-hal yang sebagai legalitas atas naskah yang dihasilkan

diperlukan dalam pembuatan perjanjian inter- menjadi naskah autentik.

nasional (pasal 1ayat 3 UU No.24 Tahun 2000).

Perspektif Hukum, Vol. 16 No. 2 November 2016 : 202-220

maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.

Namun, dalam praktik modern ratifikasi mempunyai arti yang lebih penting dari sekedar persetujuan atau konfirmasi dari kepala negara atau kepala pemerintahan, yaitu merupakan pernyata- an resmi dari suatu negara untuk menyatakan terikat pada suatu perjanjian internasional. Arti penting yang demikian mendapat penegasan dalam Pasal 2 (1) b Konvensi Wina 1969 sebagaimana disebutkan di atas.

Mekanisme atau prosedur yang dipakai oleh setiap negara mengenai ratifikasi adalah berbeda-beda, sesuai dengan konstitusi negara yang ber- sangkutan. Adakalanya negara ketika akan meratifikasi suatu perjanjian inter- nasional perlu minta persetujuan atau konfirmasi parleman, namun adakalanya praktik negara-negara lain menganggap bahwa untuk menyatakan terikat pada perjanjian internasional tidak perlu minta konfirmasi atau persetujuan parlemen. Ratifikasi bisa ditinjau dari dua sisi hukum, yaitu sisi hukum nasional dan sisi hukum internasional. Dari sisi hukum nasional, ratifikasi berarti prosedur atau proses pengesahan perjanjian inter- nasional yang dilakukan oleh negara melalui lembaga-lemnaga yang ber- wenang dari negara yang bersangkutan sesuai dengan konstutusi negara yang bersangkutan. Di lihat dari sisi hukum internasional, ratifikasi adalah pernyataan sepihak atau deklarasi sepihak dari suatu negara yang ditujukan pada negara- negara lain bahwa negara yang bersangkutan menyatakan sebagai pihak pada suatu perjanjian internasional. Oleh karena itu bila dilihat dari sisi waktu antara ratifikasi menurut hukum nasional

dengan ratifikasi menurut hukum inter- nasional tidak mungkin sama. Sebagai contoh, ketika Pemerintah Indonesia menyatakan terikat pada United Nations Convention on the Law of The Sea, 1982 (UNCLOS 1982), ditinjau dari hukum nasional, pengesahan terhadap UNCLOS 1982 terjadi sejak dikeluarkannya UU No. 17 Tahun 1985, yaitu pada bulan Oktober 1985. Ini artinya melalui UU No. 17 Tahun 1985, UNCLOS 1982 disahkan menjadi bagian hukum nasional sejak Oktober 1985, namun melalui UU No. 17 Tahun 1985 Pemerintah Indonesia belum menyatakan pada dunia luar untuk terikat pada UNCLOS 1982. Baru pada bulan Februari 1986

Pemerintah Indonesia menyampaikan instrument of ratification pada dunia luar melalui Sekretariat PBB tentang keterikatan Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Indonesia menjadi pihak pada UNCLOS 1982.

Pengesahan Perjanjian Internasional dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia

Pengesahan Perjanjian Inter- nasional harus diartikan dari dua per- spektif perosedur yang terpisah namun terkait, yaitu prosedur internal dan prosedur eksternal. Dari perspektif prosedur internal, pengesahan perjanjian internasional adalah masalah hukum tata Negara, yaitu hukum nasional Indonesia yang mengatur kewenangan eksekutif dan

legeslatif

dalam

pembuatan perjanjian internasional.Sedangkan dari perspektif prosedur eksternal maka pengesahan perjanjian internasional adalah the international act so named whereby a state establishes on the international plane its concent to be

Dewi Setyowati dkk., Tinjauan Yuridis Peraturan Perundang- Undangan sebagai Ratifikasi………

bound by a treaty yang diatur oleh hukum

2) Perubahan wilayah atau penetapan perjanjian internasional. Pengesahan

batas wilayah negara RI, perjanjian internasional dapat dilakukan

3) Kedaulatan dan hak berdaulat negara, dengan tiga prosedur yaitu:

4) Hak asasi manusia dan lingkungan

a. Prosedur Internal

hidup,

5) pembentukan kaidah hukum baru, janjian internasional menurut hukum

Pengikatan diri terhadap per-

6) pinjaman dan/ atau hibah luar negeri. nasional Indonesia didasarkan atas Pasal

Pasal 11 Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2000 tentang Perjanjian pasal dalam Undang-Undang Nomor 24

11 UUD NRI Tahun 1945 dan pasal-

Internasional mengatur sebagai berikut: tentang Perjanjian Internasional, yaitu

1) Pengesahan perjanjian internasional Pasal 9, 10, 11, dan 15.

yang materinya tidak termasuk Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945

sebagaimana dimaksud pasal 10, menetapkan bahwa perjanjian yang

dilakukan dengan Keputusan Presiden memerlukan persetujuan DPR adalah

(sekarang Peraturan Presiden), perjanjian yang menimbulkan akibat

2) Pemerintah RI menyampaikan salinan yang luas dan mendasar bagi kehidupan

setiap Keputusan Presiden yang rakyat yaitu:

mengesahkan

suatu perjanjian

1) menjadi beban keuangan negara internasional kepada DPR untuk dan/atau

dievaluasi.

2) mengharuskan perubahan atau pem-

kriteria yang bentukan undang-undang

Mengingat

ditetapkan pasal 11 UUD 1945 dan Pasal Pasal 9 Undang-Undang Nomor

10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun

24 Tahun 2000 tentang Perjanjian 2000 tentang Perjanjian Internasional Internasional mengatur hal-hal tentang:

bersifat umum, maka dimungkinkan

1) Pengesahan Perjanjian Internasional adanya perbedaan penilaian dikalangan

oleh pemerintah RI dilakukan instansi apakah suatu perjanjian perlu sepanjang dipersyaratkan oleh per-

diratifikasi dengan Undang-Undang atau janjian internasional tersebut.

cukup dengan Peraturan Presiden. Untuk

2) Pengesahan perjanjian internasional mengatasi ini maka diperlukan adanya sebagaimana dimaksud dalam ayat

kesepakatan bersama oleh rapat Interdep (1) dilakukan dengan Undang-

setelah mendengarkan semua per- Undang atau Keputusan Presiden

timbangan-pertimbangan hukum. Namun (sekarang Peraturan Presiden).

berdasarkan prinsip Undang-Undang Pasal 10 Undang-Undang Nomor

Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Inter- Internasional, kewenangan untuk menen- nasional mengatur bahwa pengesahan

tukan instrumen ratifikasi berada di- perjanjian

tangan Menteri Luar Negeri. melalui

internasional

dilakukan

juga berdasarkan dengan:

aturan-aturan Pasal 10 dan Pasal 11

1) Masalah politik, perdamaian, per- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

tahanan, dan keamanan negara, tentang Perjanjian Internasional, penen- tuan instrument pengesahan (Undang-

Perspektif Hukum, Vol. 16 No. 2 November 2016 : 202-220

Undang atau Keputusan Presiden) suatu undang, langkah-langkah yang harus perjanjian internasional tidak didasarkan

dilakukan sebagai berikut: pada bentuk dan nama (nomenclature)

a. Lembaga pemrakarsa/focal point perjanjian, namun didasarkan atas materi

mengajukan ijin prakarsa kepada yang diatur di dalam perjanjian tersebut.

Presiden melalui Menteri luar Negeri Suatu pengecualian atas pe-

RI. Dalam surat tersebut dijelaskan ngesahan perjanjian internasional di

antara lain hal-hal yang mendasari Indonesia diisyaratkan dalam Pasal 15

pentingnya pengesahan perjanjian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

dimaksud bagi Indonesia, dengan me- tentang Perjanjian Internasional, suatu

lampirkan 1 (satu) Naskah Akdemik perjanjian internasional dapat berlaku

dan 1 (satu) Salinan Naskah Resmi tanpa melalui pengesahan sepanjang

(certified true copy ) perjanjian inter- disyaratkan oleh perjanjian tersebut.

nasional beserta terjemahannya dalam Perjanjian ini pada umumnya memuat

bahasa Indonesia.

materi yang bersifat teknis atau

b. Lembaga pemrakarsa setelah men- merupakan pelaksanaan suatu perjanjian

dapat ijin prakarsa dari Presiden, akan teknis atas suatu perjanjian induk.

membentuk panitia Antar-Depar- Ketentuan Pasal 15 yang demikian adalah

temen yang berangggotakan Deplu, suatu yang sering terjadi dalam praktik

Depertemen Kehakiman dan HAM, internasional dalam menentukan berlaku-

Sekretariat Negara serta instansi nya suatu perjanjian bagi negara.

teknis lainnya.

c. Panitia Antar-Departemen bertugas internal, di Indonesia dikenal dua

Dalam kaitannya dengan prosedur

menyiapkan Rancangan mekanisme dalam pengesahan perjanjian

untuk

Undang-Undang bagi Pengesahan internasional, yaitu mekanisme pengesah-

suatu Perjanjian. Apabila Panitia- an melalui undang-undang dan mekanis-

Antar Departemen telah selesai me pengesahan Presiden.

menyiapkannya, lembaga pemrakarsa Pertama , Mekanisme pengesahan

akan meminta tanggapan dan melalui

pesetujuan dari semua instansi yang klausula tentang pengesahan perjanjian

undang-undang.

Pemuatan

terkait sebagaimana dimaksud dalam internasional atau tentang perlunya

butir b diatas.

dipenuhi prosedur internal masing-

d. Lembaga pemrakarsa menyiapkan 1 masing sebelum pemberlakuannya dalam

(satu) Rancangan undang-Undang, 1 suatu perjanjian internasional yang dibuat

(satu) Naskah Akadremik, 45 salinan oleh pemerintah RI dengan negara lain,

(copy) naskah perjanjian beserta dilakukan dengan mempertimbangan

terjemahannya, serta dokumen lain maksud ketentuan Pasal 10 UUD 1945

yang diperlukan kepada Deplu cq dan Pasal 10 dan 11 Undang-Undang

Direktorat yang menangani perjanjian Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

internasional, setelah mendapatkan Internasional.

tanggapan dan persetujuan dari Dalam pengesahan perjanjian

instansi terkait.

internasional dilakukan dengan undang-

e. Deplu cq Direktorat yang menangani perjanjian internasional, akan me-

Dewi Setyowati dkk., Tinjauan Yuridis Peraturan Perundang- Undangan sebagai Ratifikasi………

nyampaikan surat Amanat Presiden

(DEPLU) karena bagi pembahasan RUU tentang

Internasional

notifikasi ini memiliki konsekuensi pengesahan Perjanjian Internasional,

yuridis yang menentukan kapan setelah

perjanjian yuridis tersebut mulai dokumen. Apabila disetujui Presiden

RI akan mengeluarkan amanat Kedua , Mekanisme pengesahan Presiden yang akan menunjuk

melalui pengesahan Presiden (Peraturan menteri-menteri/kepada instansi ter-

Presiden). Dalam hal pengesahan per- kait untuk mewakili pemerintah

janjian internasional dilakukan melalui dalam pembahahasan RUU Pengesah-

Peraturan Presiden, langkah-langkah an di DPR.

yang harus dilakukan adalah sebagai

f. Lembaga pemrakarsa mengadakan

berikut:

koordinasi tentang jadwal pem-

a. Lembaga pemrakarsa mengkoor- bahasan RUU dimaksud dengan

dinasikan penyelenggaraan rapat pihak sekretariat DPR dan sekretariat

dengan menghadirkan komisi yang menangani substansi

Interdep

Deplu, Setkab dan instasi teknis perjanjian. Untuk keperluan pem-

tekait lainnya guna membahas bahasan di DPR, lembaga pemrakarsa

persiapan pengesahasn perjanjian. menyiapkan salinan (copy) naskah

Lembaga pemrakarsa menyiapkan 1 perjanjian, RUU pengesahan, naskah

(satu) nasakah Penjelasan, 45 salinan akademik dan dokumen lainnya

(copy) naskah perjanjian beserta sebanyak yang diperlukan bagi

terjemahannya, serta dokumen lain pembahasan RUU dalan sidang di

yang diperlukan. Lembaga pemrakar- DPR.

sa menyampaikan dokumen tersebut

g. Setelah disetujui oleh DPR dalam kepada Deplu cq Direktorat yang bentuk Undang-Undang, dan diterbit-

menangani perjanjian intrnasional, kan dalam Lembaran Negara,

serta Rapat Interdep yang dihadiri pengikatan diri Republik Indonesia

oleh instansi terkait menyetujui untuk terhadap perjanjian internasional

melakukan pengesahan terhadap (melalui instrument of ratification/

perjanjian internasional. accession /approval)

b. Deplu c.q Direktorat yang menangani oleh Menteri Luar Negeri kepada para

disampaikan

perjanjian internasional, ssetelah pihak (bilateral/trilateral) atau Des-

meneliti kelengkapan dokumen, me- positary Government/Organization

nyampaikan surat permohonan pe- (Multiralteral). Praktik yang berlaku

ngesahan kepada Presiden dengan mengenai penyampaian notifikasi

melampirkan 1 (satu) naskah kepada pihak negara counterpart atau

Rancangan Peraturan Presiden, 1 kepada Despositary Government/

(satu) Naskah Penjelasan, 1 (satu) Organization bahwa Indonesia telah

Certified True Copy dan 44 salinan memenuhi syarat internal bagi

naskah perjanjian beserta terjemahan- berlakunya perjanjian dimaksud,

nya.

harus dilakukan oleh Direktorat

c. Setelah disahkan oleh Presiden dalam Jenderal Hukum dan Perjanjian

bentuk Peraturan Presiden yang 211

Perspektif Hukum, Vol. 16 No. 2 November 2016 : 202-220

dterbitkan dalam bentuk Lembaran

1) Melalui Program Legislasi Nasional, Negara, pengikatan diri Republik

dalam hal ini tidak membutuhkan ijin Indonesia terhadap perjanjian inter-

prakarsa dari Presiden Republik nasional disampaikan oleh Menlu

Indonesia.

kepada para pihak (bilateral/

2) Tidak melalui Program Legislasi trilateral ) atau Despositary Govern-

Nasional dalam keadaan tertentu

namun membutuhkan ijin prakarsa Praktik yang berlaku mengenai

ment/Organization (multilateral).

dari Presiden Republik Indonesia. penyampaian notifikasi kepada Pihak

Undang-Undang Negara counterpart atau kepada

Berdasarkan

Nomor 10 Tahun 2004, tahapan Despositary Government/Organiza-

pembuatan undang-undang secara garis tion bahwa Indonesia telah memenuhi

besar adalah sebagai berikut: syarat internal bagi berlakunya

1) Lembaga Pemrakarsa (Lembaga perjanjian dimaksud, harus dilakukan

Negara dan Lembaga Pemerintah oleh Direktorat Jenderal Hukum dan

baik departemen maupun Non- Perjanjian Internasional DEPLU

Departemen) menyiapkan salinan karena notifikasi ini memiliki

naskah perjanjian, terjemahan, RUU konsekuensi yuridis yang menentukan

atau Rancangan Peraturan Presiden kapan mulai perjanjian tersebut

tentang pengesahan Perjanjian Inter- berlaku.

nasional dimaksud serta dokumen lain yang diperlukan (Pasal 12 ayat

b. Pengaturan Khusus

2) Lembaga Pemrakarsa mengkoordina- melalui Undang-Undang/Peraturan Presi-

Mengingat prosedur pengesahan

sikan pembahasan rancangan dan/atau den pada hakekatnya adalah sama dengan

materi permasalahan dalam ayat (1) pembuatan

Undang-Undang/Peraturan yang pelaksanaannya dilakukan ber- Presiden maka secara khusus prosedur

sama pihak terkait. (Pasal 12 ayat 3), ini juga tunduk pada rejim Undang-

3) Prosedur pengajuan pengesahan Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Perjanjian Internasional dilakukan Pembentukan Peraturan Perundang-

melalui Menteri untuk disampaikan undangan dan Peraturan Presiden Nomor

kepada Presiden (Pasal 12 ayat 2).

68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-

c. Prosedur Eksternal

Undang, Rancangan Peraturan, Ran- Pengesahan menurut hukum cangan Peraturan Pemerintah Pengganti

perjanjian internasional dapat dilakukan Undang-Undang, Rancangan Peraturan

dalam bentuk: ratifikasi (ratification), Pemerintah dan Rancangan Peraturan

(accession) , penerimaan Presiden.

aksesi

(acceptance) , penyetujuan (approval). Berdasarkan

Praktik Indonesia selama ini selalu undang-undangan ini, maka pengesahan

pertauran

per-

menggunakan istilah ratifikasi atau melalui Undang-Undang dapat pula

adalah bentuk dilakukan melalui dua jalur yaitu:

aksesi.

Ratifikasi

pengesahan terhadap perjanjian (pada umumnya perjanjian multilateral) yang

Dewi Setyowati dkk., Tinjauan Yuridis Peraturan Perundang- Undangan sebagai Ratifikasi………

sudah ditandatangani oleh pemerintah RI, terakhir yang putusannya bersifat final sedangkan aksesi adalah pengesahan

untuk:

terhadap perjanjian

a. menguji undang-undang terhadap ditandatangani. Sekalipun implikasi

yang

tidak

Dasar Negara hukum kedua pengesahan adalah samaa

Undang-Undang

Republik Indonesia Tahun 1945; namun secara politis pengertian aksesi

sengketa kewenangan lebih diartikan sebagai pihak yang ikut

b. memutus

lembaga negara yang kewenangannya serta kemudian dan bukan pihak yang

diberikan oleh Undang-Undang Dasar membuat perjanjian. Dalam melakukan

Negara Republik Indonesia Tahun pengesahan pada prosedur eksternal ini,

maka perlu diperhatikan beberapa

c. memutus pembubaran partai politik; masalah yang terkait dengan prosedur ini,

dan

yaitu:

d. memutus perselisihan tentang hasil - 18 Apakah perjanjian yang akan pemilihan umum .

disahkan memungkinkan Indonesia Dengan demikian salah satu untuk melakukan reservasi atau

kewenangan dari Mahkamah Konstitusi deklarasi;

yang perlu digaris-bawahi adalah - Apakah Indonesia bermaksud untuk

mengenai menguji Undang-Undang menggunakan

terhadap UUD 1945.Hal ini relevan dilihat dari kepentingan nasional;

klausula

tersebut

karena dalam melakukan ratifikasi - Apakah ada hal lain yang diwajibkan

terhadap suatu perjanjian internasional oleh Perjanjian untuk dilakukan oleh

adalah melalui Undang-Undang. Sesuai Indonesia pada saat melakukan

dengan Undang-Undang No. 10 tahun pengesahan.

2004, tentang Pembentukan Peraturan Instrument of Ratification dan Accession Perundang-Undangan, dalam Pasal 8,

ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri disebutkan bahwa materi muatan yang dan disampaikan kepada para pihak

harus diatur dalam Undang-Undang perjanjian (bilateral/trilateral) atau pihak

berisi hal –hal yang mengatur lebih lanjut yang ditugaskan sebagai depositary

ketentuan UUD 1945 yang meliputi hak- perjanjian (multilateral).

hak asasi manusia:

1) hak dan kewajiban warga negara;

Pengujian Peraturan Perundangan

2) pelaksanaan

dan penegakan

Pengesahan Perjanjian Internasional

kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;

Kewenangan Mahkamah Konstitusi

3) wilayah negara dan pembagian

dalam Menguji UU Pengesahan

daerah;

Perjanjian Internasional

4) kewarganegaraan dan kependudukan; Sebagaimana ditegaskan dalam

dan

Pasal 10 Undang-Undang No. 24 tahun 19 5) keuangan Negara . 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan 18 Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000.

19 Pasal 8 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan

Peraturan Perndang-

undangan.

Perspektif Hukum, Vol. 16 No. 2 November 2016 : 202-220

Selanjutnya selain dari yang berkaitan Presiden menegaskan antara lain tentang dengan UUD 1945 adalah diperintahkan

menteri yang ditugasi mewakili Presiden oleh suatu undang-undang untuk diatur

dalam melakukan pembahasan rancangan dengan Undang-Undang 20 .

undang-undang di Dewan Perwakilan Hal ini sama dengan ketentuan 23 Rakyat .

dalam Undang-Undang No. 24 tahun DPR mulai membahas rancangan 2000 mengenai hal apa saja dari

undang-undang dalam jangka waktu perjanjian internasional yang disahkan

paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak dalam Undang-Undang. Beberapa hal

surat Presiden diterima. Untuk keperluan yang sama adalah mengenai kedaulatan,

pembahasan rancangan undang-undang di hak asasi manusia, wilayah negara dan

DPR, menteri atau pimpinan lembaga masalah keuangan negara. Hal lain

memperbanyak naskah adalah merupakan pejabaran lebih lanjut

pemrakarsa

rancangan undang-undang tersebut dalam dan lebih spesifik dari muatan Undang- 24 jumlah yang diperlukan . Pembahasan

Undang secara umum. Sehingga tidak rancangan undang-undang di DPR adanya suatu perbedaan antara Undang-

dilakukan oleh Dewan Perwakilan Undang ratifikasi perjanjian internasional

Rakyat bersama Presiden atau menteri dan Undang-Undang pada umumnya

yang ditugasi. Pembahasan bersama dilihat dari sudut muatan materi undang-

dilakukan melalui tingkat-tingkat pem- undang. Dalam mengesahkan suatu

bicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan perjanjian internasional, lembaga pem-

dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat prakarsa yang terdiri atas lembaga negara

kelengkapan DPR yang khusus me- dan

nangani bidang legislasi dan rapat departemen maupun non-departemen,

paripurna. Tata cara pembahasan menyiapkan salinan naskah perjanjian,

rancangan undang-undang tersebut diatur terjemahan, rancangan undang-undang, 25 dengan Peraturan Tata Tertib DPR .

atau rancangan keputusan presiden Rancangan undang-undang yang telah tentang pengesahan perjanjian inter-

disetujui bersama oleh DPR dan presiden, nasional dimaksud serta dokumen-

disampaikan oleh pimpinan DPR kepada dokumen 21 lain yang diperlukan .

Presiden untuk disahkan menjadi Pengajuan pengesahan perjanjian inter- 26 Undang-Undang .Setiap undang-undang

nasional dilakukan melalui Menteri untuk

presiden tentang disampaikan kepada Presiden 22 . Presiden

atau

keputusan

pengesahan perjanjian internasional mengajukan rancangan undang-undang,

ditempatkan dalam Lembaran Negara RI. tentang pengesahan perjanjian inter-

peraturan perundang- nasional yang telah disiapkan dengan

Penempatan

undangan pegesahan suatu perjanjian surat Presiden kepada pimpinan Dewan

internasional di dalam Lembaran Negara Perwakilan Rakyat. Dalam surat tersebut

dimaksudkan agar setiap orang dapat

20 Lihat Pasal 8 Ayat 2 Undang-Undang No. 10 23 Lihat Pasal 20 Undang-Undang No. 10 Tahun Tahun 2004.

21 Lihat Pasal 12 Undang-Undang No. 10 Tahun

24 Ibid.

2004. 25 Pasal 32 Ayat 1, 5, 6, 7 Undang-Undang No. 22 Lihat Pasal 12 Ayat 3 Undang-Undang No. 10

10 Tahun 2004.

Tahun 2004. 26 Pasal 37 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004.

Dewi Setyowati dkk., Tinjauan Yuridis Peraturan Perundang- Undangan sebagai Ratifikasi………

mengetahui perjanjian yang dibuat

penyimpan piagam pemerintah dan mengikat seluruh warga

menjadi

pengesaan perjanjian internasional negara, hal ini terdapat dalam pasal 14

yang disampaiakn negara-negara yang menyatakan bahwa 27 : “Menteri

pihak.

menandatangai piagam pengesahan untuk Lembaga penyimpanan (depo- mengikatkan

sitary ) yang dimaksud adalah merupakan Indonesia pada suatu perjanjian inter-

Pemerintah

Republik

negara atau organisasi internasional yang nasional untuk dipertukarkan dengan

ditunjuk atau disebut secara tegas dalam negara pihak atau disimpan oleh negara

surat perjanjian untuk menyimpan atau lembaga penyimpan pada organisasi

piagam pengesahan perjanjian inter- internasional”.

nasional. Praktik ini berlaku bagi Dalam Pasal 17 menyatakan

perjanjian multilateral yang memiliki bahwa:

banyak pihak. Lembaga penyimpanan

1. Menteri bertanggung jawab dalam selanjutnya memberitahukan semua pihak menyimpan dan memelihara naskah

bahwa perjanjian tersebut telah menerima asli perjanjian internasional yang

piagam pengesahan dari salah satu dibuat oleh Pemerintah Republik 28 pihak .

Indonesia serta menyusun daftar Di samping perjanjian inter- naskah resmi dan menerbitkannya

nasional yang disahkan melalui undang- dalam himpunan perjanjian inter-

undang atau Keputusan Presiden, nasional.

pemerintah dapat membuat perjanjian

2. Salinan naskah

internasional yang berlaku setelah penan- perjanjian internasional disampaikan

resmi

setiap

datanganan atau pertukaran dokumen kepada lembaga negara dan lembaga

perjanjian/nota diplomatik, atau melalui pemerintah, baik departemen maupun

cara lain sesuai dengan kesepakatan nondepartemen pemrakarsa.

antara para pihak yang dituangkan dalam

3. Menteri memberitahukan

perjanjian. Secara struktur, muatan dan mnyampaiakn salinan naskah resmi

dan

isi serta proses pembentukan dari suatu perjanjian internasional yang

undang-undang pengesahan perjanjian telah

dibuat oleh Pemerintah internasional tidak berbeda dengan Indonesia

undang-undang lainnya. Oleh karena itu, organisasi internasional yang di

kepada

sekretatiat

undang-undang ini dapat diajukan ke dalamnya

Mahkamah Konstitusi. Indonesia sebagai anggota.

Pemerintah

Republik

Perjanjian internasional yang

4. Menteri memberitahukan dan me- disahkan dengan undang-undang, sesuai nyampaikan salinan piagam penge-

dengan Undang-Undang No. 24 tahun sahan perjanjian internasional kepada

2000, dapat diajukan ke hadapan instansi-instansi terkait.

Mahkamah Konstitusi untuk diuji apakah

5. Dalam hal pemerintah Republik sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945. Indonesia ditunjuk sebagai penyim-

Maka dapat dimungkinkan undang- pan piagam pengesahan perjanjian

undang yang mengesahkan perjanjian internasional, Menteri menerima dan

28 Lihat penjelasan Pasal 17 Undang-Undang No.

27 Pasal 14 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000.

24 Tahun 2000.

Perspektif Hukum, Vol. 16 No. 2 November 2016 : 202-220

internasional tersebut dapat dibatalkan berbeda dengan apa yang telah ditetapkan keberlakuannya

dalam peraturan Mahkamah tentang Konstitusi. Berdasarkan ketentuan ini,

oleh

Mahkamah

pengajuan permohonan. Bagian yang maka 30 setiap undang-undang yang terpenting adalah legal standing dari

dihasilkan oleh kekuasaan legislatif, pemohon dalam mengajukan per- memiliki kemungkinan untuk diuji secara

mohonannya. Dalam hal ini adalah materil oleh Mahkamah Konstitusi hanya

kepentingan pemohon dalam mengajukan berdasarkan gugatan yang diajukan

permohonan termaksud. Dalam berper- masyarakat. Luas bidang dari undang-

kara di Mahkamah Konstitusi, sebenar- undang ini tidak akan membawa masalah

nya tidak semua orang boleh mengajukan apabila hanya menyangkut undang-

perkara permohonan ke Mahkamah undang yang berasal dari kepentingan

Konstitusi dan menjadi pemohon. nasional 29 .

Adanya kepentingan hukum saja sebagai- Tetapi apabila dikaitkan dengan

mana dikenal dalam hukum acara sebuah Perjanjian Internasional yang

perdata, maupun hukum acara tata usaha membawa kepentingan masyarakat inter-

negara tidak dapat dijadikan dasar. nasional yang di dalamnya terkandung

Pemohon adalah subjek hukum yang makna kepentingan negara lain, maka

memenuhi persyaratan menurut undang- secara implisit sebuah undang-undang

undang untuk mengajukan permohonan yang meratifikasi perjanjian internasional

perkara konstitusi kepada Mahkamah dapat dikatakan bukanlah undang-undang

Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat ter- yang membawa kepentingan nasional

sebut menentukan kedudukan hukum saja. Undang-Undang No. 24 tentang

atau legal standing suatu subyek hukum Perjanjian Internasional tidak secara

untuk menjadi pemohon yang sah dalam tegas menjelaskan kedudukan perjanjian

perkara pengujian undang-undang. Per- internasional dalam sistem perundang-

syaratan legal standing atau kedudukan undangan namun hanya menyatakan

hukum dimaksud mencakup syarat bahwa perjanjian internasional disahkan

formal sebagaimana ditentukan dalam dengan undang-undang atau Peraturan

undang-undang, maupun syarat materiil Presiden tanpa lebih lanjut menjelaskan

berupa kerugian hak atau kewenangan apa arti dan konsekuensinya bagi

dengan berlakunya perundang-undangan Indonesia.

konstitusional

undang-undang yang sedang dipersoal- kan.

Prosedur Permohonan Judicial Review

Dalam hukum acara Mahkamah

atas Undang-Undang Pengesahan

Konstitusi yang boleh mengajukan per-

Perjanjian Internasional

mohonan untuk berperkara di Mahkamah Dalam

Konstitusi ditentukan dalam Pasal 51 ayat pengujian Undang-undang Pengesahan Perjanjian Internasional, maka prosedur

perkara

permohonan

30 Legal Standing adalah merupakan orang atau

pengajuan yang digunakan tidaklah

badan hukum yang berhak untuk mengajukan perngujian

suatu

undang-undang (Judicial

Review) ke Mahkamah Konstitusi, persyaratan

29 www.slideshare.net, Wewenang MK dalam untuk dapat mengajukan perkara ke Mahkamah menguji UU Ratifikasi Perjanjian Internasional ,7

Konstitusi diatur dalam pasal 51 ayat (1) Undang- April 2012, diakses tanggal 23 Juli 2014.

undang Nomor 24 Tahun 2003.

Dewi Setyowati dkk., Tinjauan Yuridis Peraturan Perundang- Undangan sebagai Ratifikasi………