I. REVIEW TENTANG DAYA MOTOR PENGGERAK KAPAL - 4 195 suryo adji engine propeller matching

ENGINE-PROPELLER MATCHING

Oleh : Ir. Surjo W. Adji, M.Sc CEng. FIMarEST

I. REVIEW TENTANG DAYA MOTOR PENGGERAK

KAPAL

1. DEFINISI & FORMULA

Secara umum kapal yang bergerak di media air dengan kecepatan tertentu, maka akan mengalami gaya hambat (resistance) yang berlawanan dengan arah gerak kapal tersebut. Besarnya gaya hambat yang terjadi harus mampu diatasi oleh gaya dorong kapal (thrust) yang dihasilkan dari kerja alat gerak kapal (propulsor). Daya yang

disalurkan (P D ) ke alat gerak kapal adalah berasal dari Daya Poros (P S ), sedangkan Daya Poros sendiri bersumber dari Daya Rem (P B ) yang merupakan daya luaran motor penggerak kapal.

Ada beberapa pengertian mengenai daya yang sering digunakan didalam melakukan estimasi terhadap kebutuhan daya pada sistem penggerak kapal, antara lain : (i) Daya

Efektif (Effective Power-P E ); (ii) Daya Dorong (Thrust Power-P T ); (iii) Daya yang disalurkan (Delivered Power-P D ); (iv) Daya Poros (Shaft Power-P S ); (v) Daya Rem (Brake Power-P B ); dan (vi) Daya yang diindikasi (Indicated Power-P I ).

Daya Efektif (P E ) adalah besarnya daya yang dibutuhkan untuk mengatasi gaya hambat dari badan kapal (hull), agar kapal dapat bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain dengan kecepatan servis sebesar V S . Daya Efektif ini merupakan fungsi dari besarnya gaya hambat total dan kecepatan kapal. Untuk mendapatkan besarnya Daya Efektif kapal, dapat digunakan persamaan sebagai berikut ;

P E = R T * Vs (1)

, dimana :

P E = Daya Efektif, dlm. satuan kWatt R T = Gaya Hambat Total, dlm. satuan kN

V S = Kecepatan Servis kapal [{Kec. dlm Knots} * 0.5144 = {Kec. dlm m/det}]

Daya Dorong (P T ) adalah besarnya daya yang dihasilkan oleh kerja dari alat gerak kapal (propulsor) untuk mendorong badan kapal. Daya Dorong merupakan fungsi dari gaya dorong dan laju aliran fluida yang terjadi saat alat gerak kapal bekerja. Adapun persamaan Daya Dorong dapat dituliskan sebagai berikut ;

P T = T * Va (2)

, dimana : P T = Daya Dorong, dlm. satuan kWatt T

= Gaya Dorong, dlm. satuan kN

V a = Kecepatan advanced aliran fluida di bagian Buritan kapal [m/det] = Vs ( 1 – w ); yangmana w adalah wake fraction (fraksi arus ikut)

Daya Yang Disalurkan ( P D ) adalah daya yang diserap oleh baling-baling kapal guna menghasilkan Daya Dorong sebesar P T , atau dengan kata lain, P D merupakan daya yang disalurkan oleh motor penggerak ke baling-baling kapal (propeller) yang kemudian dirubahnya menjadi Daya Dorong kapal (P T ). Variabel yang berpengaruh pada daya ini adalah Torsi Yang Disalurkan dan Putaran baling-baling, sehingga persamaan untuk

menghitung P D adalah sebagai berikut ;

P D = 2 π Q D n P (3)

, dimana :

P D = Daya Yang Disalurkan, dlm. satuan kWatt Q D = Torsi Baling-baling kondisi dibelakang badan kapal, dlm. satuan kNm n P = Putaran Baling-balin, dlm. satuan rps

Daya Poros (P S ) adalah daya yang terukur hingga daerah di depan bantalan tabung poros (stern tube) dari sistem perporosan penggerak kapal. Untuk kapal-kapal yang berpenggerak dengan Turbin Gas, pada umumnya, daya yang digunakan adalah P S .

Sementara itu, istilah Daya Rem (Brake Power, P B ) adalah daya yang dihasilkan oleh motor penggerak utama (main engine) dengan tipe marine diesel engines.

Gambar 1 – Gaya-gaya Yang Bekerja Pada Sistem Penggerak Kapal

Pada sistem penggerak kapal yang menggunakan Marine Diesel Engines ( type of medium to high speed ) , maka pengaruh rancangan sistem transmisi perporosan adalah Pada sistem penggerak kapal yang menggunakan Marine Diesel Engines ( type of medium to high speed ) , maka pengaruh rancangan sistem transmisi perporosan adalah

2. EFISIENSI PADA SISTEM PENGGERAK KAPAL

Sistem penggerak kapal memiliki beberapa definisi tentang daya yang ditransmisikan mulai dari daya yang dikeluarkan oleh motor penggerak hingga daya yang diberikan oleh alat gerak kapal ke fluida sekitarnya. Rasio dari daya-daya tersebut sering dinyatakan dengan istilah efisiensi, meskipun untuk beberapa hal sesungguhnya bukanlah suatu nilai konversi daya secara langsung.

Efisiensi Lambung, 0 HULL , adalah rasio antara daya efektif (P E ) dan daya dorong (P T ).

Efisiensi Lambung ini merupakan suatu bentuk ukuran kesesuaian rancangan lambung (stern) terhadap propulsor arrangement-nya, sehingga efisiensi ini bukanlah bentuk power conversion yang sebenarnya. Maka nilai Efisiensi Lambung inipun dapat lebih dari satu , pada umumnya diambil angka sekitar 1,05.

Perhitungan-perhitungan yang sering digunakan dalam mendapatkan efisiensi lambung adalah sebagai berikut :

= ( 1 − t η ) HULL

t dan w merupakan propulsion parameters, dimana t adalah Thrust Deduction Factor yang dapat diperoleh dengan persamaan sebagai berikut ;

t =1 −

t standar

= 0 , 5 × C P − 0 , 12 ; utk. Kapal dng Baling-baling Tunggal = 0 , 5 × C P − 0 , 19 ; utk. Kapal dng Baling-baling Kembar

, dimana C P = Koefisien Prismatik =

Sedangkan, w adalah wake fraction yang dapat dicari dengan menggunakan persamaan sebagai berikut,

w =1 −

A (8)

w standar = 70 0 , • C P ; Single screw ship with normal

stern = 50 0 , • C P ; Single screw ship with stern-

bulb

w standar a = ; Twin screw ships.

0 , 70 • C P − 0 , 3 + 0 , 3 • ( 0 , 4 − )

B a = Jarak antara 2 poros [m]

B = Lebar Kapal [m]

Efisiensi Baling-baling ( Propeller Efficiency), 0 PROP , adalah rasio antara daya dorong

(P T ) dengan daya yang disalurkan (P D ). Efisiensi ini merupakan power conversion, dan perbedaan nilai yang terjadi adalah terletak pada dimana pengukuran Torsi Baling- baling (Propeller Torque) tersebut dilakukan. Yakni, apakah pada kondisi open water

(Q O ) atau pada kondisi behind the ship (Q D ). Persamaan berikut ini menunjukkan kedua kondisi dari Efisiensi Baling-baling, sebagai berikut ;

Efisiensi Baling-baling (Open water)

T × V Efisiensi Baling-baling (Behind the Ship) :

(10) P D 2 π Q D n

Karena ada dua kondisi tersebut, maka muncul suatu rasio efisiensi yaitu yang dikenal

dengan sebutan Efisiensi Relative-Rotative, 0 RR ; yang merupakan perbandingan

antara Efisiensi Baling-baling pada kondisi di belakang kapal dengan Efisiensi Baling- baling pada kondisi di air terbuka, sebagai berikut ;

, sehingga 0 RR sesungguhnya bukanlah merupakan suatu sifat besaran efisiensi yang

sebenarnya (bukan merupakan power conversion). Efisiensi ini hanya perbandingan dari besaran nilai efisiensi yang berbeda. Maka besarnya efisiensi relative-rotative sebenarnya (bukan merupakan power conversion). Efisiensi ini hanya perbandingan dari besaran nilai efisiensi yang berbeda. Maka besarnya efisiensi relative-rotative

Efisiensi Transmisi Poros ( Shaft Transmission Efficiency), 0 S , secara mekanis

umumnya dapat didefinisikan dengan lebih dari satu macam tipe efisiensi, yangmana sangat tergantung dari bentuk konfigurasi pada stern arrangement-nya. Efisiensi ini merupakan product dari keseluruhan efisiensi masing-masing individual komponen terpasang. Efisiensi ini dapat dinyatakan seperti persamaan, sebagai berikut ;

Berikut ini adalah beberapa arrangement dari transmisi daya yang sering digunakan pada sistem penggerak kapal,

Gambar 2 – Efisiensi pada Komponen Transmisi dari Sistem Propulsi Kapal

Efisiensi Keseluruhan (Overall Efficiency, 0 P ), yang dikenal juga dengan sebutan

Propulsive Efficiency, atau ada juga yang menyebutnya Propulsive Coefficient

adalah merupakan hasil dari keseluruhan efisiensi di masing-masing phrase daya yang terjadi pada sistem propulsi kapal (sistem penggerak kapal). Efisiensi Keseluruhan dapat diperoleh dengan persamaan, sebagai berikut ;

P P η P P = E × T × D = η HULL × η B × η S = η HULL × η O × η RR × η S (13) P T P D P S

0 HULL , 0 O , dan 0 RR adalah tergantung pada karakteristik hydrodynamics, sedangkan 0 S

adalah tergantung pada karakteristik mekanis dari sistem propulsi kapal. Namun

demikian, peranan yang terpenting adalah upaya-upaya guna mengoptimalkan 0 P .

3. DAYA MOTOR YANG DI-INSTAL

Daya motor penggerak kapal (P B ) yang dimaksud adalah Daya Rem (Brake Power) atau daya yang diterima oleh poros transmisi sistem penggerak kapal (P S ), yang selanjutnya dioperasikan secara kontinyu untuk menggerakkan kapal pada kecepatan servisnya (V S ). Jika besarnya efisiensi mekanis pada susunan gearbox, yang berfungsi untuk me-reduce dan me-reverse putaran motor penggerak, adalah 98 persen (seperti ditunjukkan pada Gambar 2). Maka daya motor penggerak kapal dapat dihitung, seperti persamaan dibawah ini ;

Yangmana P B-CSR adalah daya output dari motor penggerak pada kondisi Continues Service Rating (CSR), yaitu daya motor pada kondisi 80 - 85% dari Maximum Continues Rating (MCR)- nya. Arti phisiknya, daya yang dibutuhkan oleh kapal agar mampu beroperasi dengan kecepatan servis V S adalah cukup diatasi oleh 80 - 85% daya motor (engine rated power) dan pada kisaran 100% putaran motor (engine rated speed ).

Sehingga untuk menentukan besarnya daya motor yang harus di-instal di kapal, adalah seperti yang ditunjukkan oleh persamaan sebagai berikut ;

Daya pada P B-MCR inilah yang selanjutnya dapat digunakan sebagai ‘ancer-ancer’ (acuan) dalam melaksanakan proses pemilihan motor penggerak (Engine Selection Process ).

II. KARAKTERISTIK LAMBUNG & BALING-BALING

( HULL & PROPELLER CHARACTERISTICS)

Salah satu tahapan yang sangat berpengaruh didalam melaksanakan proses Analisa Engine - Propeller Matching adalah tahap pemodelan dari karakteristik badan kapal yang dirancang/diamati. Hal ini disebabkan karena Karakteristik Badan Kapal mempunyai efek langsung terhadap karakteristik baling-baling (propeller). Pada Persamaan (9) dan (10), terlihat bahwa karakteristik badan kapal secara hidrodinamis akan mempengaruhi terhadap kinerja propeller.

1. TAHANAN KAPAL & KECEPATAN SERVIS

Tahanan kapal ini merupakan gaya hambat dari media fluida yang dilalui oleh kapal saat beroperasi dengan kecepatan tertentu. Besarnya gaya hambat total ini merupakan jumlah dari semua komponen gaya hambat (tahanan) yang bekerja di kapal, meliputi Tahanan Gesek, Tahanan Gelombang, Tahanan Appendages, Tahanan Udara, dsb. Secara sederhana Tahanan Total Kapal dapat diperoleh dengan persamaan, sebagai berikut ;

T = 0 , 5 × ρ × C T × S × V S (16)

, dimana 3 D adalah massa jenis fluida (Kg/m ); C T adalah koefisien tahanan total kapal; S merupakan luasan permukaan basah dari badan kapal (m 2 ). Dan jika variabel-variabel

tersebut adalah constant ( " ), maka Persamaan 16 dapat dituliskan sebagai berikut ;

Karakteristik Tahanan Kapal, f (V 2 S )

Gambar 3 – Karakteristik Tahanan Kapal

2. GAYA DORONG KAPAL ( T SHIP )

Gaya Dorong (Thrust) kapal merupakan komponen yang sangat penting, yangmana digunakan untuk mengatasi Tahanan (Resistance) atau Gaya Hambat kapal. Pada kondisi yang sangat-sangat ideal, besarnya gaya dorong yang dibutuhkan mungkin sama besar dengan gaya hambat yang terjadi dikapal. Namun kondisi tersebut sangat- sangat tidak realistis, karena pada faktanya di badan kapal tersebut terjadi phenomena hidrodinamis yang menimbulkan degradasi terhadap nilai besaran gaya dorong kapal. Sehingga untuk gaya dorong kapal dapat ditulis seperti model persamaan, sebagai berikut ;

, dimana t adalah thrust deduction factor.

Kemudian dengan mensubstitusi R di Pers. (18) dengan yang tertulis di Pers. (17), maka diperoleh hubungan persamaan sebagai berikut ;

Selanjutnya, jika unsur V S pada Pers. (19) ini juga disubstitusikan dengan Pers. (8), diperoleh model persamaan gaya dorong kapal (T SHIP ) adalah sebagai berikut ;

SHIP

( 1 − t )( 1 − w )

3. KARAKTERISTIK BALING-BALING KAPAL

Secara umum karakteristik dari baling-baling kapal pada kondisi open water test adalah seperti yang direpresentasikan pada Diagram K T –K Q – J (lihat Gambar 4). Setiap tipe dari masing-masing baling-baling kapal, memiliki karakteristik kurva kinerja yang berbeda-beda. Sehingga kajian terhadap karakteristik baling-baling kapal tidak dapat di-generalised untuk keseluruhan bentuk atau tipe dari baling-baling.

Model persamaan untuk karakteristik kinerja baling-baling kapal adalah sebagai berikut,

T Pr op

Q Pr op

K T = Koefisien Gaya Dorong (Thrust) Baling-baling K Q = Koefisien Torsi Baling-baling

J= Koefisien Advanced Baling-baling

V A = Kec. Advanced dari fluida yg melintasi propeller disk

0 O = Efisiensi Baling-baling pd kondisi open water n= Putaran Baling-baling

D = Diameter Baling-baling T Prop = Gaya Dorong Baling-baling (Propeller Thrust) Q Prop = Torsi Baling-baling (Propeller Torque)

D = Massa Jenis Fluida (Fluid Density)

10 K Q

Gambar 4 – Diagram Kt – Kq – J (Openwater Test )

4. INTERAKSI LAMBUNG KAPAL & BALING-BALING

Interaksi lambung kapal dan baling-baling (Hull & Propeller Interaction) merupakan upaya-upaya pendekatan diatas kertas untuk mendapatkan karakteristik kinerja baling- baling saat beroperasi untuk kondisi behind the ship. Metodenya adalah dengan mengolah Pers. (20) dan Pers. (21), sebagai berikut ;

SHIP

( 1 − t )( 1 − w )

Pr op = K T × ρ × n × D

T Ship = T Pr op

( 1 − t )( 1 − w ) ρ n D

Maka Pers. (25) menjadi,

T = β × 2 2 (26)

Sehingga diperoleh hubungan persamaan, sebagai berikut ;

Jika ditambahkan untuk kebutuhan Hull Service Margin; yaitu kebutuhan yang dikarenakan dalam perhitungan perencanaan, yangmana analisanya dikondisikan untuk ideal conditions , antara lain : “perfect surfaces” pada lambung dan baling-baling kapal,

calm wind & seas, maka perlu ditambahkan allowances sebesar ± 20% dari nilai K T tersebut. Dan notasinya pun ditambahkan sub-script “SM”, yang artinya adalah service-margins .

T − SM = 120 % × β × J (28)

Langkah berikutnya adalah dengan membuat ‘tabulasi’ dari Pers. (27) dan Pers. (28). Harga “J” diambil dari Diagram Openwater Test baling-baling yang akan digunakan pada kapal, yaitu dari angka terendah bergerak secara gradual ke angka tertingginya. Kemudian, hasil tabulasi tersebut di-plot-kan pada Diagram Openwater Test baling- baling tersebut seperti yang di-ilustrasi-kan pada gambar-gambar berikut ini,

Tabel – Perhitungan K T &K T-SM

K T-SM

Min ……. ……. ……. …….

Max

Gambar 5 – Contoh Tabel Perhitungan K T &K T-SM

10 K Q K Q-SM K Q

Ttk. Interseksi K

T-SM K Q K T-SM

Ttk. Interseksi K T K T

Gambar 6 – Contoh Plotting K T &K T-SM pada Kurva Openwater Test Propeller

Pada Gambar 6 terlihat bentuk interaksi dari kinerja propeller pada kondisi di belakang badan kapal, yangmana pada Kurva

merupakan trendline koefisien propeller thrust untuk trial conditions. Dan dengan melihat keadaan kurva J [ ], diperoleh harga koefisien propeller torque, K Q pada kondisi trial. Sedangkan, Kurva adalah trendline dari propeller thrust coefficient pada kondisi hull service margin dan dengan menarik kurva J [ ] sedemikian hingga melewati titik K T-SM , maka diperoleh koefisien torsi merupakan trendline koefisien propeller thrust untuk trial conditions. Dan dengan melihat keadaan kurva J [ ], diperoleh harga koefisien propeller torque, K Q pada kondisi trial. Sedangkan, Kurva adalah trendline dari propeller thrust coefficient pada kondisi hull service margin dan dengan menarik kurva J [ ] sedemikian hingga melewati titik K T-SM , maka diperoleh koefisien torsi

5. KARAKTERISTIK BEBAN BALING-BALING (PROPELLER LOAD CHARACTERISTICS)

Didalam mengembangkan ‘trend’ karakteristik beban propeller, variabel yang terlibat adalah propeller torque dan propeller speed. Untuk propeller torque merupakan hasil pengolahan secara grafis dari hull & propeller interaction, yaitu K Q dan K Q – SM ; yang kemudian dikembangkan seperti persamaan dibawah ini,

2 Q 5 Pr op = K Q × ρ × n × D (29) , dan

2 Q 5 Pr op = K Q − SM × ρ × n × D (30)

Jika K Q ;K Q-SM ;

D ; D adalah konstan, maka Pers. (29) dan Pers. (30) dapat ditulis kembali sebagai berikut,

2 Q 2 Pr op = γ × n = f 1 ( n ) (31)

2 Q 2 Pr op = γ × n = f 2 ( n ) (32)

Dari kedua Pers. (31) dan Pers. (32) tersebut diatas, maka trend karakteristik propeller power ( ∞ Propeller Load ) dapat diperoleh sebagai berikut ;

[Power] = [Torque] * [Speed]

3 P 3 Pr op = Q Pr op × n = γ × n = f 1 ( n ) (33)

, dan

3 P 3 Pr op = Q Pr op × n = γ × n = f 2 ( n ) (34)

Tahap berikutnya adalah mentabulasikan Persamaan (33) dan Persamaan (34) dengan inputan “propeller speed”, yang diperoleh dari “engine speed” setelah diturunkan oleh mechanical gears (perhatikan gears ratio-nya). Gambar 7 dan 8 mengilustrasikan tentang tabulasi dan trend dari propeller power yang dikembangkan.

Tabel – Perhitungan P Prop = f(n 3 )

(n P ) 3 P Prop

P* Prop

Min ……. ……. ……. …….

Max

Gambar 7 – Contoh Tabel Perhitungan P Prop = f(n 3 )

P Prop [kW]

max

Propeller Load

Karakteristik

makin besar !!!

Beban Propeller at Service

Karakteristik Beban Propeller at Trial

n Prop

max

Gambar 8 – Karakteristik Beban Propeller

III. KARAKTERISTIK MOTOR PENGGERAK KAPAL

1. POWER & ENERGY LOSS

Seperti diketahui bahwa energy pada motor penggerak ini adalah berasal dari bahan bakar (fuel), yangmana energy tersebut hilang ke atmosphere dalam bentuk panas adalah ± 35 % ; lalu ± 25 % hilang melalui air pendingin dan getaran ; serta sekitar 2 % hilang pada poros propeller. Sehingga hanya sekitar 38 % dari energy dari fuel yang tertinggal untuk propulsion.

Dari sisa sekitar 38 % tersebut, secara kasar dapat dibagi-bagi lagi, yaitu : ± 3 % digunakan untuk mengatasi air resistance, ± 27 % terpakai untuk mengatasi wave resistance , ± 17 % digunakan untuk mengatasi resistance akibat wake & propeller wash , ± 18 % untuk mengatasi skin friction, dan sekitar 35 % dipakai untuk memutar propeller (baling-baling).

2. ENGINE PERFORMANCE CURVES

Kurva engine performance pada umumnya oleh engine manufacturers dinyatakan dalam bentuk plotting hubungan antara Brake Horse Power (BHP), Engine Torque, Fuel Consumption sebagai fungsi dari engine speed. Dan jarang ada dari engine manufacturer yang juga menyediakan kurva Shaft Horse Power (SHP), yangmana trend-nya dibawah dari kurva BHP (lost akibat gearbox).

Proses terhadap engine performance dikapal sendiri melibatkan beberapa tahapan adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 9,

FUEL

MAIN ENGINE

FLY WHEEL

Gambar 9 – Aliran Energy pada Motor Penggerak

Tahap yang pertama adalah energy dari fuel (bahan bakar), seperti yang ditunjukkan pada Pers. (35) sebagai berikut ;

P ENG = m fuel × C f (35) , dimana :

P ENG = Engine Power (Daya Motor Penggerak)

m fuel = mass fuel rate (Laju Aliran Bahan Bakar)

C f = Calorific Value of Fuel (Nilai Kalor Bahan Bakar)

Pers. (35) merepresentasikan bahwa besarnya engine power adalah proporsional dengan banyaknya jumlah bahan bakar yang disuplai ke engine. Sedangkan, jumlah dari bahan bakar yang disuplai adalah tergantung pada pengaturan di- engine fuel setting (fuel stroke position).

Di tahap yang kedua (Combustion Process), engine power dapat dinyatakan sebagai berikut,

P ENG = bmep × L × A × n (36)

, dimana :

bmep = Brake mean effective pressure L

= Langkah Torak (Length of stroke) A= Area of piston-bore (Luasan torak) n= Rate of power strokes

Dari Pers. (36) terlihat bahwa besarnya engine power sangat tergantung dari besarnya bmep yang terjadi pada engine, karena harga L, A, dan n pada suatu engine adalah sudah tetap. Sehingga dengan kata lain, besarnya engine power adalah proporsional dengan nilai dari bmep yang terjadi.

Tahap yang ketiga adalah engine power yang diukur dengan metode pengereman di engine test bed , yangmana merupakan power output dari engine seperti yang ditunjukkan pada Pers. (37) sebagai berikut ;

P ENG = Q ENG × n ENG (37)

, dimana : Q Eng = Engine Torque n Eng = Engine Speed

Berdasarkan Pers. (37) tampak bahwa perubahan yang signifikan dari engine power hanya dapat dilakukan dengan merubah nilai dari engine torque-nya. Masing-masing variabel potensial pada Pers. (35), Pers. (36), dan Pers. (37) memiliki keterikatan dan Berdasarkan Pers. (37) tampak bahwa perubahan yang signifikan dari engine power hanya dapat dilakukan dengan merubah nilai dari engine torque-nya. Masing-masing variabel potensial pada Pers. (35), Pers. (36), dan Pers. (37) memiliki keterikatan dan

m fuel ∞ bmep ∞ Q Eng

Artinya “Nilai Engine Torque (Q Eng ) akan secara signifikan berubah, apabila pada proses pembakaran didalam silinder terjadi perubahan harga Brake Mean Effective

Pressure (bmep). Dan perubahan harga bmep tergantung pada jumlah Mass Fuel

Rate ( • m fuel ) yang disuplai ke engine”.

Hubungan engine torque dan engine speed dapat diilustrasikan seperti gambar berikut ini,

Engine Torque

Different Fuel Setting

Engine

Speed

Gambar 10 – Grafik Hubungan Engine Torque & Engine Speed

Engine Power

Different Fuel Setting

Kurva-kurva ini menunjukkan kondisi Constant Torque ,

atau, Constant bmep Engine Speed

Gambar 11 – Grafik Hubungan Engine Power & Engine Speed

Sementara itu, Gambar 11 me-representasikan hubungan antara engine power dan engine speed . Perubahan pada engine power tergantung pada fraction engine torque, atau, bmep.

IV. KOMBINASI KARAKTERISTIK ENGINE & PROPELLER

1. MATCHING POINT

Matching point merupakan suatu titik operasi dari putaran motor penggerak kapal (engine speed) yang sedemikian hingga tepat (match) dengan karakter beban baling- baling, yaitu titik operasi putaran motor dimana power yang di-absorb oleh propeller sama dengan power produced oleh engine dan menghasilkan kecepatan kapal yang mendekati (sama persis) dengan kecepatan servis kapal yang direncanakan. Karakteristik Propeller adalah seperti yang telah ditunjukkan pada Gambar 8, sedangkan Karakteristik engine telah direpresentasikan pada Gambar 11. Untuk dapat menyamakan kedua trendline tersebut ke dalam satu sarana plotting yang sama, maka terlebih dahulu harga kedua trendline dijadikan dalam persen (%) seperti yang digambarkan pada kurva berikut ini;

P Prop & P Eng [%]

P Matching Point

Engine Characteristic

Propeller Load ; f(n 3 Characteristic )

n Prop & n Eng [%]

Gambar 12 – Matching Point Engine & Propeller

Pada engine speed, n, adalah merupakan titik operasi putaran motor penggerak yang sesuai dengan kondisi beban propeller, sebab, daya yang dihasilkan oleh motor penggerak adalah sama dengan daya yang diabsorb oleh propeller, P. Hal ini tentunya akan memberikan konsekuensi yang optimal terhadap pemakaian konsumsi bahan bakar dari motor penggerak kapal terhadap kecepatan servis kapal yang diinginkan.

Seperti diketahui bersama bahwa di kapal yang dapat dilihat adalah indikator engine speed (rpm, atau rps) dan kecepatan kapal (knots, atau Nmile/hour). Sehingga penetapan putaran operasi dari motor penggerak, merupakan “kunci” kesuksesan dalam operasional sistem propulsi kapal secara keseluruhan.

(a) REDUCING FUEL SUPPLIED TO ENGINE

Penurunan bahan bakar (fuel) yang disuplai ke engine akan menyebabkan turunnya bmep , dan tentunya akan menurunkan engine torque. Perubahan pada engine torque inilah yang selanjutnya dipakai untuk menentukan besaran putaran engine dengan cara men- set posisi engine throttles (fuel stroke position) untuk kebutuhan operasional kapal, sebagai berikut ;

- S (Slow Ahead) - H (Half Ahead) - F (Full Ahead)

Gambar 13 memberikan ilustrasi beberapa kondisi matching points antara kurva-kurva torsi motor penggerak terhadap kurva beban propeller. Terlihat titik perpotongan antara kurva engine torque [ ] dan kurva propeller load yangmana menghasilkan titik

operasi {P 1 &N 1 }; Yaitu bilamana kapal diinginkan bergerak dengan kecepatan yang relatif rendah (slow ahead), seperti misalnya kondisi daerah perairan terbatas.

Propeller Load Characteristic ; f(n 3 )

P Prop & P Eng [%]

Engine P 3 Characteristic

Fuel Reducing

P 1 Matching Points

n Prop & n Eng [%]

Gambar 13 – Engine Torques vs Propeller Load

Sedangkan pada matching points {P 2 &N 2 } dan {P 3 &N 3 } adalah dibutuhkan untuk mendukung dan memenuhi tingkat operasional kapal, bilamana dikehendaki peningkatan kecepatan servis kapal.

(b) EFFECT OF INCORRECT PITCH

Pada keadaan dimana terjadi kesalahan dalam penentuan Pitch dari propeller pada sistem propulsi kapal, maka hal ini juga akan memberikan dampak pada operasional motor penggerak kapal. Salah satu indikasi yang sangat tampak, adalah pada harga engine speed yang dicapai oleh motor penggerak kapal saat dioperasikan. Hal ini seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14.

P Prop &

P Eng [%]

Pitch too high

(Heavy Propeller)

2 Pitch too low

(Light Propeller)

3 Matching P

Points

Max. Engine Torque

n Prop & n Eng N [%]

Gambar 14 – Engine Torque vs Propeller Loads (Incorrect Pitch)

Jika matching point untuk pitch yang tepat adalah pada titik operasi {P 1 &N 1 }, maka kondisi pitch yang tidak tepat untuk kurva beban propeller terjadi seperti kurva dan kurva . Kurva menunjukkan karakteristik beban propeller untuk kondisi pitch yang terlalu rendah (light propeller load), sedangkan kurva menunjukkan karakteristik beban propeller untuk kondisi pitch yang terlalu tinggi (heavy propeller).

Dari Gambar 14 terlihat bahwa ketika beban propeller bertambah (heavy propeller) akibat pitch yang terlalu tinggi, maka trend beban cenderung bergeser naik. Kemudian titik potong kurva beban propeller tersebut dengan kurva maximum engine torque,

cenderung bergeser sedemikian hingga putaran engine turun hingga titik N 3 . Kondisi seperti ini adalah sangat tidak menguntungkan untuk operasi engine, seakan-akan engine beroperasi dalam kondisi over load.

Demikian juga sebaliknya, ketika beban propeller lebih ringan akibat pengambilan pitch yang terlalu rendah. Maka beban propeller yang terjadi akan bergeser turun,

sehingga putaran engine akan naik hingga N 2 . Kondisi ini pun tentunya akan merusak engine, karena engine seakan-akan beroperasi dalam kondisi over speed.

(c) DESIGN FOR RESISTANCE CHANGE

Dalam operasional kapal hingga kurun waktu tertentu, maka tentunya lambung kapal akan mengalami kekasaran permukaan akibat adanya binatang laut (tirem, kerang, dll) yang menempel pada dinding-dinding lambung tersebut. Hal ini secara umum akan menambah nilai dari tahanan kapal, seperti direpresentasikan pada Gambar 15.

P Prop & P Eng [%]

P 3 Beban Propeller bertambah (foulings, etc)

P 2 Beban Propeller saat kondisi kapal masih baru

n Prop & n Eng N [%]

Gambar 15 – Engine Torques vs Propeller Loads change

Ketika kapal masih dalam kondisi baru (clean hull, smooth, etc), kondisi kurva beban propeller seperti yang digambarkan pada kurva . Dan saat itu jika engine di-running dengan engine torque seperti digambarkan oleh kurva , maka design speed untuk

kapal sudah dapat dicapai pada kondisi engine speed, N 1 .

Namun, saat lambung kapal sudah banyak ditempeli oleh binatang-binatang laut maka tahanan kapal akan berubah seperti yang ditunjukkan oleh kurva . Bila engine di- running tetap seperti yang ditunjukkan oleh kurva , maka engine speed akan turun

dari N 1 ke N 2 . Dan tentu sebagai konsekuensi adalah kecepatan servis kapal akan mengalami penurunan juga. Akan tetapi, bila engine masih memiliki ‘margin’ yang cukup sedemikian hingga kurva engine torque dapat dinaikkan seperti yang

digambarkan oleh kurva , maka engine speed dapat dipertahankan pada N 1 . Sehingga kondisi operasional kapal tidak ‘terganggu’ (kecepatan servis kapal masih mampu dipertahankan). Sebagai catatan bahwa kondisi operasi kurva adalah masih berada pada ± 90% rated bmep (atau, pada 85-90% rated power at 100% rated speed).

2. ENGINE RATING

Apabila engine di-rated pada 10.000 kW, artinya adalah, Daya sebesar 10.000 kW disuplai oleh engine ke propeller. Walaupun demikian, perlu diketahui juga bahwa pada kondisi yang bagaimana engine tersebut mampu memproduksi daya sebesar 10.000 kW tersebut. Misalnya, bagaimana keadaan dari lingkungan ruangan saat engine di-rated, dan bagaimana pula harga dari putaran poros.

Kemudian, bagaimana seorang marine engineer ini menentukan service rating power. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan didalam penentuan engine rating tersebut, antara lain :

• Rated Power • Rated Torque • Rated Speed • Rated Brake Mean Effective Pressure

Dimana seperti telah ditulis pada persamaan sebelumnya, bahwa ;

{Rated Power} = {Rated Torque} x {Rated Speed}

Rated Torque [Q eng ] ∞ Rated Brake Mean Effective Pressure [bmep]

Lalu bagaimana mendapatkan maximum rated engine speed ?

Hampir keseluruhan motor penggerak kapal sebenarnya memiliki sedikit ‘tambahan’ untuk maximum rated engine speed, yang mungkin hanya dapat digunakan untuk

periode yang relatif singkat.

Dengan mengambil asumsi bahwa kondisi overload power adalah 10% , maka P ∞n 3 dapat diuraikan sebagai berikut ;

P 1 ⎝ n ⎟⎟ 1 ⎠

Sehingga engine speed masih dapat dinaikkan hingga 3 % untuk waktu yang relatif pendek (singkat). Kecepatan motor hingga 103% ini hanya dapat diharapkan jika kapal beroperasi dalam kondisi beban yang relatif rendah.

Bagaimana dengan rated bmep- nya ????

Secara garis besar rated brake mean effective pressure (rated bmep) dibatasi oleh fuel system dan Turbocharger. Engine manufacturer telah men-set kondisi dari Continues

bmep rating, yaitu kondisi dimana terjadi maximum rated torque dan maximum rated

speed. Besarnya maximum rated torque adalah proporsional terhadap besarnya maximum rated bmep.

{ Max. Continues Power Rating } = { Max. Rated Torque } x { Max Rated Speed }

{Max. Rated Torque} ∞ {Max. Rated BMEP}

Maka arti phisiknya, Maximum Continues Power Rating adalah kondisi rating dari engine power pada 100 % bmep dan 100 % rpm, yang telah ditetapkan oleh engine builder . Ini merupakan nilai rating yang disajikan oleh engine builder untuk pemakian operasi secara kontinyu pada kondisi yang standar.

Apa itu yang dimaksud dengan kondisi standar ???

KOREKSI RATING

Haruslah dipahami bahwasannya rating yang ditetapkan oleh engine builder, sesungguhnya masih belum mempertimbangkan kondisi lingkungan engine saat terpasang di kapal (ship environment). Ambient conditions sangat berpengaruh pada engine performance . Rating yang dikembangkan oleh engine builder adalah specified under standard conditions .

Jika engine dioperasikan pada ambient conditions yang tidak standar, maka engine rating harus dimodifikasi (misalnya dioperasikan pada daerah tropis). Ada beberapa standar yang diikuti (lihat Tabel 1), dan langkah-langkah yang diambil guna pemodifikasian dari engine rating dengan mempertimbangkan ambient operating conditions saat service adalah dikenal dengan istilah DE-RATING.

3. RUMUSAN EMPIRIS YANG SERING DIGUNAKAN UNTUK

PERTIMBANGAN TEKNIS TERHADAP PERBEDAAN ANTARA KONDISI OPERASI YANG SEBENARNYA DENGAN KONDISI YANG STANDAR

(a) De-rate motor penggerak kapal, sebesar 10% ; untuk setiap penurunan tekanan

barometrik sebesar 4 inch-Hg. (b) De-rate motor penggerak kapal, sebesar 2,5% ; untuk setiap kenaikan

temperatur kondisi udara sekitar (ambient air condition) sebesar 10 0 F. (c) De-rate motor penggerak kapal, sebesar 1% ; untuk setiap kenaikan kelembaban

relatif (relative humidity) dari kondisi udara sekitar (ambient air condition) sebesar 10 %.

(d) Untuk motor penggerak kapal dengan sistem pendingin “intercooled” dan menggunakan ‘air laut’; maka De-rate motor penggerak kapal, sebesar 2 % ; untuk setiap kenaikan temperatur air laut (ambient air condition) sebesar 10 0 F. (e) De-rate motor penggerak kapal, sebesar 1% ; untuk setiap kenaikan ‘exhaust back pressure’ (ambient air condition) sebesar 4 inch-Hg.

OPERATING MARGINS

(1) ENGINE OPERATING MARGINS

Nilai BMEP diturunkan hingga dibawah dari maximum rated bmep yang telah di-set oleh engine-builder. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi maintenance, sebab engine di-running pada kondisi beban mekanis dan beban thermal yang lebih rendah. Berikutnya adalah seberapa jauh nilai bmep tersebut diturunkan ? dan ternyata tidak mudah untuk menjawabnya. Pada umumnya diambil allowance sebesar 10 %.

(2) HULL SERVICE MARGIN

Analisis tentang Resistance dan Powering adalah dibuat untuk kondisi-kondisi yang ideal, misalnya : perfect surfaces on hull & propeller, calm wind & seas, etc. Yangmana pada kenyataannya bahwa kondisi servis adalah sangat berbeda. Kemudian, bagaimana besarnya allowances yang harus diambil untuk kondisi tersebut ?, dan inipun juga tidak mudah dijawab. Secara umum, allowance yang diambil adalah berkisar 20 %.

% Engine Max Cont. Rating Engine Operating Margin 100%

100% bmep

Hull Service Margin (for Hull Fouling, etc)

90% bmep

- Trial Condition

- Classification Soc.

70% bmep

% Engine Speed 100%

Gambar 16 – Operating Margins

Nilai margin sebesar 30% tersebut mungkin agak berlebihan, dalam prakteknya nilai dari margins tersebut biasanya merupakan nilai gabungan yang diambil secara empiris.

Di dalam proses mengestimasi service speed dan engine power yang dibutuhkan di kapal, biasanya calon pemilik kapal akan melakukan pendekatan kepada pihak galangan serta meminta quatation untuk kapal bangunan baru. Margins mungkin juga dapat didefinisikan sebagai ‘Ketentuan Kontrak’ ( atau juga ‘Kecepatan Servis’ untuk operasional kapal ).

Selain itu, Calon pemilik kapal biasanya juga mensyaratkan khusus terhadap ukuran tonase bobot mati kapal yang dibutuhkan, jenis muatan, kecepatan servis kapal, yangmana keinginannya untuk sea margin dan route-route perdagangan yang diproyeksikan tersebut terkait dengan Beaufort Number. Kebutuhan daya tersebut kemudian akan diestimasi, serta titik operasi baling-baling yang direncanakan akan ditetapkan oleh calon pemilik kapal, galangan dan engine builder.

(3) HULL & PROPULSION SERVICE MARGIN PRACTICES

Di dalam prakteknya, hal tersebut adalah dapat diterima guna merancang baling-baling yang mampu menyerap 85 s.d. 90 % dari rated power pada rated speed yang benar. Perolehan 10 s.d. 15 % tersebut adalah dapat dimanfaatkan guna mempertahankan kecepatan servis seiring dengan penambahan beban kapal akibat foulings.

Kapal sebaiknya dijadwalkan secara tertentu untuk kegiatan ‘dry docking’, sebagaimana MCP rating ketika sudah mendekati 100% (indikator beban di Engine sudah memberikan ‘warning’). Umumnya, masing-masing engine manufacturers memiliki bentuk diagram operasi engine (seperti yang ditunjukkan pada Gambar 17), yangmana me-representasi-kan area operasi engine yang diperbolehkan. Selain itu, Engine manufacturers juga menyediakan speed power maps (lihat Gambar 18), dan biasanya engine manufacturers membatasi beban pengoperasian engine diluar continues operation envelopes hingga ± 8,3% dari waktu antara periode overhoul pemeliharaan major. Jika tidak ada kasus, nilai 100% Torque (bmep) sebaiknya dilebihkan. Putaran engine dinaikkan hingga lebih 103% dari rated yang diijinkan dalam servis.

Berdasarkan Gambar 18, diperoleh bahwa untuk masing-masing kurva beban propeller memiliki batasan tersendiri terhadap available power (sbg output power) yang dikeluarkan oleh engine. Jika margin bertambah maka kurva beban propeller (initial) akan bergerak turun dan bergeser ke kanan. Artinya, Jumlah kebutuhan daya untuk mendapatkan kecepatan design menjadi lebih kecil prosentasenya terhadap rated power -nya. Namun sebaliknya bila usia kapal bertambah dan lambung kapal mulai kasar (foulings), maka kurva beban propeller akan bergeser ke kiri pada Gambar Speed-Power Map tersebut.

Selanjutnya, Engine speed menjadi batasan yang perlu mendapat perhatian. Karena pengambilan prosentase margin yang proporsional akan berpengaruh pada kelangsungan operasional kapal. Untuk penyempurnaan terhadap situasi yang demikian, maka biasanya diambil langkah-langkah sebagai berikut : Dipilih CPP (Controllable Pitch Propeller) untuk propulsor kapal, atau Mengganti propeller dengan yang baru saat dilaksanakan mid-life dry docking.

% MEP 110

TYPICAL MAX CONTINUES RPM MAX CONTINUES

OPERATING AREA

PROPELLER CHARACTERISTICS

Gambar 17 – Hubungan Engine - Propeller

% MEP

Power Limit

Torque Limit

RPM Limit

Gambar 18 – Speed-Power Map dari suatu Marine Diesel Engine

Keterangan :

Optimum range untuk operasi yang kontinyu Range Kerja yang hanya dibolehkan untuk waktu yang sangat terbatas saja

“Upper speed range”, dicoba saat sea trial saja Range dari ‘Karakteristik Engine’ pada saat sea trial dengan kondisi cuaca yang cerah, dan keadaan lambung kapal (hull) masih bersih Kurva beban propeller hampir mendekati titik MCR, meskipun Engine masih mampu kerja didalam range untuk waktu yang terbatas. Maksud dari kurva

ini adalah untuk menunjukkan beban propeller yang seharusnya dicapai (dalam tahapan ‘perancangan propeller’)

Batas dari Range

Tabel 1 : Diesel Engine Environmental Standard Reference Conditions

Ambient Air

ISO 3046 / I

SAE J816b

SAE J270

SNAME T&R 3-27 Mach. Space Air

53.31 ---

Outside Air

85.0 ---

Det Norske Veritas

45.0 ---

JIS 20.0 101.3 65.0 --- DIN 70020

DIN 6270 A

---

DIN 6270 B

20.0 98.0 60.0 ---

British Std. 649

British Std. Au141a

---

Keterangan : (1) Maximum (2) Minimum (3) Temperature at Outlet

Tabel 2 : Diesel Manufacturer’s Standards For Four-Stroke Engines

Engine Manufacturer

Environmental Reference Conditions

STORK-WERKSPOOR

ISO 3046/I, DIN 6271, DIN 6270 A, BS 649

M.A.N.

ISO 3046/I, DNV, Tropical

SULZER

ISO 3046/I, Tropical

MTU

ISO 3046/I, Tropical

S.E.M.T. PIELSTICK

ISO 3046/I, Tropical

B&W

ISO 3046/I, DNV, Tropical

GMT

ISO 3046/I, Tropical

MIRRLEES BLACKSTONE

Tropical

GEC (RUSTON)

ISO 3046/I, Tropical

MWM Tropical CATERPILLAR

SAE J270, SAE J816b, DIN 6270B

DETROIT DIESEL

---

DOXFORD ISO 3046/I

Pada perancangan baling-baling kapal, besarnya daya yang di-absorb oleh baling- baling adalah umumnya berkisar 85 – 90% dari nominal power pada nominal speed (rated power, rated speed). Sehingga, besarnya selisih (10 – 15%) yang dipilih tersebut, didasari pada ‘permintaan’ Owner serta pertimbangan teknis dari kekhususan bentuk lambung kapal itu sendiri. Maka daya yang tersedia masih mencukupi kebutuhan untuk mempertahankan kondisi servis kapal, seiring dengan kenyataan adanya binatang- binatang laut yang tumbuh menempel di lambung kapal. Kapal sebaiknya dijadwalkan untuk melaksanakan dry docking, ketika kapal dalam operasi servisnya harus me- running engine pada kondisi 100% nominal dari maximum continuous power rating.

SERVICE RATING = 85 – 90 %

= {Brake Power Trials} / {Brake Power Manufacturer Rating}

Ratio ini harus dihitung dengan seluruh pertimbangan teknis, meliputi kondisi lingkungan, tipe bahan bakar, dan koreksi-koreksi yang digunakan. Dan jika terjadi kondisi engine & Propeller match yang seperti ditunjukkan pada region

dalam Gambar 18, maka salah satu langkah yang harus diambil adalah sebagai berikut :

• Propeller replaced (diganti), • Re-pitched, • Tips cropped (potong bagian tip dari daun propeller).

Engine & Propeller Matching adalah sangat esensial, tidak hanya pertimbangan terhadap alasan ekonomisnya saja. Akan tetapi juga untuk menghindari kerusakan dari Engine . Beban thermal dari engine tergantung pada bmep dan posisi titik operasi pada kurva

dari Gambar 18 tentang Speed Power Map, yangmana menyajikan kemungkinan kecepatan terendah untuk suatu nilai bmep yang diberikan. Untuk memperoleh kondisi kerja yang optimum, maka titik-titik operasi engine untuk continuous service sebaiknya berada dalam “Range ” (Gambar 18). Engine boleh dioperasikan dalam “Range ”, namun hanya untuk periode yang terbatas.

Jika Engine di-set pada kondisi CSR adalah 85% power pada nominal speed. Dan ketika kelebihan daya tersebut kemudian dibutuhkan, maka putaran engine dapat dinaikkan hingga;

• 103% dari nominal speed-nya, selama continuous operation. • 108% dari nominal speed-nya, untuk periode sekitar 1 jam selama trials

run . Dan ini hanya dapat dilakukan jika shafting bukan menjadi sumber getaran torsional yang tidak dapat diijinkan.

(4) ENGINE DE-RATING METHODS

Untuk memperoleh nilai specific fuel oil consumption yang lebih rendah dari engine yang diberikan dalam kondisi servis, dimana mungkin engine yang relatif lebih besar, yang dipilih untuk diinstal di kapal. Sehingga perlu adjustments yang optimal terhadap Untuk memperoleh nilai specific fuel oil consumption yang lebih rendah dari engine yang diberikan dalam kondisi servis, dimana mungkin engine yang relatif lebih besar, yang dipilih untuk diinstal di kapal. Sehingga perlu adjustments yang optimal terhadap

Engine di-adjust untuk mendapatkan bmep yang maksimum pada derated RPM dan Power . Metode yang diterapkan adalah untuk meng-encourage operasi engine speed yang terendah, sehingga secara teoritis efisiensi propeller yang lebih tinggi dapat ditemukan.

☺ POWER / SPEED PERFORMANCE ENVELOPE

Diagram ini untuk menunjukkan kinerja engine melalui prosentase, ataupun nilai absolut, dari ratio power dan speed yang terjadi saat operasi engine. Pada umumnya, cakupan range operasi engine dibatasi oleh beberapa hal seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 : Operating Range Bounded By Various Constraints

OPERATING RANGES CONSTRAINTS

Idle Speed Smooth Running; Number of Cylinders; Inertia; Friction, etc

Smoke Limit Poor Scavenge & Combustion Surge Limit

Turbo Unstable

Exhaust Gas Temperature Valve Deposits, Burning, etc Peak Cylinder Pressure

Mechanical Stresses

Turbo RPM

Limiting Inertia Stress

Max. Engine RPM

Wear rates; Inertia Forces

Motoring Friction & Pumping; Losses (Mech. Efficiency) Minimum BMEP

Poor Combustion

PERMASALAHAN – PERMASALAHAN YANG SERING TERJADI DILAPANGAN

Question1:

Bung, kenapa Engine saya gak bisa mencapai titik teratas dari rated speed (RPM) saat trials ? Dan mengapa kapal saya tidak dapat mencapai kecepatan servis seperti yang direncanakan oleh ship designer ? Apakah dengan menambah atau menurunkan Pitch Propeller akan menyempurnakan kinerja dari kapal saya ?

Answer1:

Sebelum kita menjawab keseluruhan pertanyaan Q1 tersebut, kita harus meng- investigate secara detail pada power, engine performance dan kecepatan kapal yang terjadi.

Secara umum kebutuhan power kapal itu, tentu sudah dihitung pada saat kapal direncanakan. Sehingga melalui perhitungan tahanan kapal yang tepat/sesuai, maka kebutuhan power kapal tersebut juga akan dapat diperoleh dengan tepat. Kemudian, dilakukan pemilihan engine dengan memperhatikan parameter- parameter, antara lain : Power per-shaft; Speed (RPM); Weight (dry & wet); Space required; Fuel oil consumption; dsb. Dan jika hanya dari aspek Engine & Hull saja yang diperhatikan, maka Propeller pun akan muncul sebagai persoalan baru (seperti pertanyaan Q1).

Seperti misalnya terjadi kesalahan dalam penetapan harga Pitch Propeller, sebut saja bahwa nilainya terlalu tinggi ( heavy propeller). Maka propeller load (beban propeller) akan bergeser naik (ke arah sebelah kiri) pada diagram Power-Speed Map, sehingga titik perpotongan antara kurva rated engine torque dan propeller load akan berada dibawah (lebih rendah) dari nominal rated speed (RPM)-nya. Lebih buruk lagi bahwa power yang diabsorb oleh propeller menjadi lebih rendah juga, sehingga engine power yang dihasilkan seolah-olah menjadi tidak mencukupi untuk mengoperasikan kapal pada kecepatan servis yang direncanakan.

Perubahan Pitch Propeller juga bukan merupakan satu-satunya solusi mengingat jika besarnya perubahan tersebut tidak diperhatikan maka dapat menyebabkan kondisi propeller menjadi Light Propeller (Pitch too low), sehingga juga dapat menimbulkan masalah baru lagi ( mis-match). Perhatikan optimasi dari Rasio Pitch dan Diameter propeller (P/D) terhadap propeller torque pada kondisi behind the ship. Langkah lainnya yang mungkin dapat dikerjakan adalah memotong (cropped) ujung daun propeller (bagian ‘tip blades’), pastikan dengan hitungan yang tepat mengenai besarnya ‘prosentase’ tip propeller yang harus dipotong tersebut.

Question 2 :

Bung, kenapa engine speed ini perlu diturunkan pada propeller speed ? kalau tidak diturunkan bagaimana ?

Answer 2 :

Begini untuk internal combustion engines, TORQUE secara definisi adalah 5.252 dikalikan dengan dayanya, kemudian dibagi dengan putarannya (RPM). Sehingga, jika karakter engine adalah putaran rendah dan memiliki daya yang besar, sudah dapat dipastikan bahwa engine akan mempunyai nilai Torque yang besar. Inilah yang menyebabkan bahwa tipikal slower turning propeller akan memberikan Thrust yang lebih besar, karena mereka menerima Torque yang besar pada nilai engine power yang sama.

Sebagai contoh; Sebuah engine mempunyai kapasitas daya 500 HP pada putaran 2.000 RPM, sehingga engine tersebut akan men- deliver torque sebesar 1.313 lb-ft ke propeller. Dan jika pada sistem transmisi tersebut dipasang reduction gear (gearbox) dengan rasio 3:1, maka kapasitas daya akan berkurang berkisar 3% (friction losses di gearbox) menjadi 485 HP. Pada waktu yang sama juga, putaran propeller turun menjadi 667 RPM. Maka besarnya torque yang di- deliver menjadi bertambah hingga 3.819 lb-ft.

Question 3 :

Bung, biasanya ship operator untuk menghemat pemakaian bahan bakar, maka operasional engine umumnya pada putaran yang mendekati lower limit sehingga kecepatan kapal pun menjadi lebih rendah. Bagaimana itu bisa terjadi ?

Answer 3 :

Pada marine diesel engines, trendline dari rated engine torque adalah proporsional dengan rated bmep yang terjadi. Dan rated bmep adalah juga proporsional dengan rated fuel consumption-nya. Dengan menurunkan putaran engine, katakanlah dari 2.200 RPM menjadi 1.600 RPM, maka sesungguhnya terjadi penurunan rated bmep sekaligus penurunan rated fuel consumption (katakanlah dari 180 gr/HP-hr menjadi 155 gr/HP-hr). Jika besarnya engine power adalah 4.000 HP dan kapal berlayar selama 10 hari, maka penghematan bahan bakar dapat mencapai ± 24 ton. Konsekuensinya adalah kecepatan servis kapal akan turun, sebab output power dari engine juga turun.