Peningkatan Pertumbuhan dan Produksi Kelapa Sawit dengan Perlakuan Penempatan TKKS Pada Rorak

  

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman

  Tanaman kelapa sawit berakar serabut. Perakarannya sangat kuat karena tumbuh ke bawah dan ke samping membentuk akar primer, sekunder, tertier, dan kuarter. Akar primer tumbuh ke bawah di dalam tanah sampai batas permukaan air tanah. Akar sekunder, tertier, dan kuarter tumbuh sejajar dengan permukaan air tanah bahkan akar tertier dan kuarter menuju ke lapisan atas atau ke tempat yang banyak mengandung zat hara. Di samping itu, tumbuh pula akar nafas yang muncul di atas permukaan atau di dalam air tanah. Penyebaran akar terkonsentrasi pada tanah lapisan atas. Dengan perakaran kuat tersebut, jarang ditemukan pohon kelapa sawit yang tumbang (Wardiana dan Zainal, 2003).

  Kelapa sawit termasuk tanaman monokotil maka batangnya tidak mempunyai kambium dan pada umumnya tidak bercabang. Batang berbentuk silinder dengan diameter antara 20-75 cm atau tergantung pada keadaan lingkungan. Kelapa sawit mempunyai pertumbuhan terminal, yang mula-mula terjadi ialah pembesaran batang tanpa diikuti pertambahan tinggi (Mansjur, 1980). Pertumbuhan meninggi dimulai setelah tanaman berumur 4 tahun, dengan kecepatan pertumbuhan (pertambahan tinggi) sekitar 25-40 cm per tahun (Marni, 2009).

  Daun dibentuk di dekat titik tumbuh. Setiap bulan biasanya akan tumbuh dua lembar daun. Pertumbuhan daun awal dan daun berikutnya akan membentuk sudut 135 (Sastrosayono, 2006). Daun-daun tersebut akan membentuk suatu pelepah yang panjangnya dapat mencapai kurang lebih 7,5–9 m. Daun yang masih muda belum membuka dan tegak berdiri. Pada tanah-tanah yang subur daun akan cepat membuka yang berarti makin efektif menjalankan fungsinya sebagai pusat proses assimilasi, berlangsungnya fotosintesa dan alat respirasi (Mansjur, 1980). Untuk tanaman yang tumbuh normal terdapat 45 sampai 55 pelepah daun. Kedudukan daun pada batang dirumuskan dengan rumus daun (phylotaxis) 3/8, pada setiap 3 putaran terdapat 8 daun. Letak daun kesembilan berada di garis lurus dari daun yang pertama (Sastrosayono, 2006).

  Tanaman kelapa sawit dilapangan mulai berbunga pada umur 12-14 bulan, sebagian dari tandan bunga akan gugur (aborsi) sebelum atau sesudah antesis.

  Tanaman kelapa sawit termasuk dalam tumbuhan berumah satu (monocous) artinya karangan bunga jantan dan betina terdapat dalam satu pohon, tetapi tempatnya berbeda. Karngan bunga jantan dan betina pada satu pohon tidak matang bersamaan, sehingga bungan betina pada pohon diserbuki oleh serbuk sari pohon lain (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005)

  Bunga tanaman kelapa sawit terdiri atas bunga jantan, bunga betina atau hermafrodit. Tiap tandan bunga jantan memiliki 100-250 cabang (spikelet) yang panjangnya antara 10-20 cm dan berdiameter 1-1,5 cm. Tiap cabang berisi 500-1 500 bunga kecil yang akan menghasilkan tepung sari. Tandan bunga betina memiliki 100- 200 cabang dan setiap cabang terdapat 15-20 bunga betina. Satu tandan buah tanaman dewasa dapat diperoleh 600-2 000 butir buah, tergantung besarnya tandan. Letak bunga betina dan bunga jantan pada satu pohon terpisah dan matangnya tidak bersamaan, sehingga tanaman kelapa sawit biasanya menyerbuk silang. Penyerbukan dilakukan oleh bantuan angin atau serangga (Setyamidjaja, 2006).

  Kira-kira lima bulan setelah terjadinya penyerbukan, buah menjadi masak. Tiap buah panjangnya 2-5 cm dan beratnya dapat melebihi 30 gram. Bagian- bagiannya terdiri dari kulit buah (exocarp), daging buah (pulp, mesocarp) yang banyak mengandung minyak, cangkang (tempurung, shell, endocarp), dan inti (kernel, endosperm), mengandung minyak seperti minyak kelapa. Exocarp dan

  

mesocarp sering juga disebut sebagai pericarp yaitu bagian buah yang mengandung

  sebagian besar minyak kelapa sawit. Rendemen minyak dalam pericarp sekitar 24%, sedangkan dalam inti hanya sekitar 4%. Kualitas minyak inti lebih baik daripada minyak yang terkandung dalam pericarp (Marni, 2009)

  Iklim

  Pertumbuhan dan produktivitas kelapa sawit dipengaruhi oleh faktor luar maupun dalam tanaman kelapa sawit itu sendiri. Faktor luar adalah lingkungan antara lain iklim dan tanah dan teknik budidaya yang dipakai. Faktor-faktor iklim yang terpenting adalah curah hujan, suhu udara, kelembaban udara dan radiasi sinar matahari. Disamping itu factor lain seprti tinggi tempat dari permukaan laut (elevasi) dan jarak dari khatulistiwa (latitude dinyatakan dalam derajat LU atau LS). Curah hujan sekitar 2000 mm/tahun yang terbagi merata sepanjang tahun. Rata-rata suhu

  o o

  maksimum antara 29-32 c dan rata-rata suhu minimum antara 22-24 c. Penyinaran sekurang-kurangnya 5 jam/hari (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005).

  Lama penyinaran matahari yang baik untuk kelapa sawit antara 5-7 jam/hari. Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan 1.500-4.000 mm, temperatur optimal 24-28

  C. Ketinggian tempat yang ideal untuk sawit antara 1-500 m dpl (di atas permukaan laut). Kelembaban optimum yang ideal untuk tanaman sawit sekitar 80- 90% dan kecepatan angin 5-6 km/jam untuk membantu proses penyerbukan (Kiswanto, dkk., 2008).

  Curah hujan berhubungan dengan jaminan ketersediaan air dalam tanah sepanjang pertumbuhan tanaman. Tanaman kelapa sawit praktis berproduksi sepanjang tahun sehingga membutuhkan suplai air relatif sepanjang tahun pula. Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu jumlah curah hujan tahunan (mm) dan distribusi curah hujan bulanan. Curah hujan yang ideal berkisar 2.000–3.500 mm/th yang merata sepanjang tahun dengan minimal 100 mm/bulan (Paramananthan, 2003).

  Di luar kisaran tersebut tanaman akan mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan berproduksi. Curah hujan antara 1700 – 2.500 dan 3.500–4.000 tanaman akan mengalami sedikit hambatan. Di lokasi dengan curah hujan kurang dari 1.450 mm/th dan lebih dari 5.000 mm/th sudah tidak sesuai untuk sawit. Rendahnya curah hujan tahunan berkaitan dengan defisit air dalam jangka waktu relatif lama sedangkan curah hujan yang tinggi berkaitan dengan rendahnya intensitas cahaya (Allorerung,dkk., 2010)

  Tanah

  Tanah merupakan media tumbuh tanaman yang sangat dipengaruhi sifat fisik dan kimia tanah. Kelapa sawit merupakan tanaman yang dapat dibudidayakan dengan baik di tanah mineral maupun di tanah gambut. Dengan demikian, spektrum jenis tanah yang sesuai untuk kelapa sawit cukup lebar dan dapat mencakup beragam jenis tanah. Berbagai jenis tanah mineral di Indonesia cukup sesuai seperti Ultisol,

  Inceptisol , Entisol, Andisol, maupun Oxisol. Karakteristik tanah yang digunakan meliputi batuan di permukaan tanah, kedalaman efektif tanah, tekstur tanah, kondisi drainase tanah, dan tingkat kemasaman tanah (pH). Tanah yang baik bagi tanaman kelapa sawit adalah tanah lempung berdebu, lempung liat berdebu, lempung berliat dan lempung liat berpasir. Kedalaman efektif tanah yang baik adalah jika lebih dalam dari 100 cm. Kemasaman (pH) tanah yang optimal adalah pada pH 5-6 dan pH 3,5-4 pada lahan gambut. Sifat kimia tanah seperti kemasaman (pH) dapat diatasi melalui pemupukan dolomite, kapur pertanian (kaptan) dan fosfat alam (rock phosphate). Sifat fisik dan biologi tanah dapat diperbaiki dengan penggunaan bahan organik (PPKS, 2006).

  Secara umum unsur kemampuan lahan yang optimal untuk kelapa sawit harus mengacu pada tiga faktor yaitu lingkungan, sifat fisik lahan dan sifat kimia tanah atau kesuburan tanah. Sebagian besar dari lahan-lahan yang dipakai untuk usaha tani kelapa sawit termasuk jenis tanah adalah Latosol (orisol), alluvial dan laterit (ultisol).

  Sedangkan Purba dan Lubis mencatat tujuh jenis tanah yang dapat dipakai untuk usaha tani kelapa sawit yaitu tanah-tanah organosol, regosol, andosol, alluvial, latosol, padsolik merah kuning dan padsolik coklat (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005).

  Tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada tanah yang memiliki kandungan unsur hara yang tinggi, dengan C/N mendekati 10 di mana C 1,0% dan N 0,1%. Daya tukar Mg dan K berada pada batas normal, yaitu untuk Mg 0,4 -1,0 me/100 g, sedangkan K 0,15-1,20 me/100 g. Namun, faktor pengelolaan budi daya atau teknis agronomis dan sifat genetis tanaman juga sangat menentukan produktivitas kelapa sawit (Wardiana dan Zainal, 2003).

  Kelapa Sawit Menghasilkan

  Suatu areal pertanaman dikategorikan menjadi areal tanaman menghasilkan jika pada areal tersebut 60% dari jumlah pohon yang ditanam telah mencapai matang panen, berat rata-rata tandan >3 kg, dan buahnya telah membrondol secara alamiah menurut kriteria yang berlaku. Tinggi rendahnya produktivitas tanaman kelapa sawit dipengarui oleh komposisi umur tanaman. Lubis (1992) menyatakan bahwa produktivitas maksimal tanaman kelapa sawit dapat dicapai ketika tanaman berumur 7 – 11 tahun. Menurut Pahan (2008) produksi optimal dapat dicapai saat rata-rata umur tanaman 15 tahun. Acuan penentuan batasan umur 15 tahun didasarkan pada umur 15 tahun akan tercapai produksi puncak (Prihutami, 2011)

  Pada umumnya kelapa sawit tumbuh rata-rata 20 – 25 tahun. Pada 3 tahun pertama disebut sebagai kelapa sawit muda, karena pada umur tersebut pohon kelapa sawit belum menghasilkan buah. Pohon kelapa sawit akan mulai berbuah pada umur 4 sampai enam tahun, dan pada usia tujuh tahun disebut sebagai periode matang (the mature periode) dimana pada saat itu tanaman mulai menghasilkan tandan buah segar (freshbunch). Pada usia 11 sampai 20 tahun pohon kelapa sawit akan mengalami penurunan produksi, dan biasanya pada usia 20 – 25 tahun tanaman kelapa sawit akan mati.

  Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)

  Limbah padat kelapa sawit terdiri dari tandan buah kosong, serat, cangkang biji, batang pohon dan pelepah daun. Tandan kosong kelapa sawit (tkks) merupakan limbah yang dihasilkan sebanyak 23 % dari tandan buah segar (TBS) (Darnoko dan Sembiring, 2005).

  Salah satu potensi tkks yang cukup besar adalah sebagai bahan pembenah tanah dan sumber hara bagi tanaman. Potensi ini didasarkan pada materi tkks yang merupakan bahan organik dengan kandungan hara yang cukup tinggi. Persentase tkks terhadap TBS sekitar 20% dan tiap ton tankos mengandung unsur hara 1,5% N, 0,5% P,7,3% K dan 0,9% Mg. Berdasarkan kandungan unsur hara tankos yang dijelaskan diatas, berarti setiap ton tkks memiliki kandungan N, P, K dan Mg berturut-turut setara dengan 3 kg Urea, 0.6 kg CIRP, 12 kg MOP dan 2 kg kieserit (Ditjend PPHP, 2006). Sementara menurut kajian Teja (1991), kandungan unsur hara yang terdapat dalam tkks adalah 2,13% K; 0,18% Ca dan 0,17% Mg, 0,59% Fe dan 0,50% Na (Purnamayani, 2012)

  Limbah padat (tandan kosong kelapa sawit) merupakan limbah padat yang jumlahnya cukup besar. Tkks berasal dari proses pembantingan/thresher yang memiliki persentase sekitar 23%/ton TBS. Menurut Pahan (2008), rata-rata potensi kandungan unsur hara per ton tkks adalah 0.37% N (8 kg Urea), 0.04 % P (2.90 kg RP), 0.91 % K (18.30 kg MOP), dan 0.08 % Mg (5 kg Kieserite). Departemen Riset Sime Darby merekomendasikan dosis pemupukan tkks untuk TM adalah 250 kg/pokok yang diaplikasikan pada gawangan mati, satu titik aplikasi ttks diperuntukkan 4 pokok kelapa sawit. Jadi setiap titik diaplikasikan ttks sebanyak 1 ton. Aplikasi ttks dapat meningkatkan proses dekomposisi sehingga kandungan fisik, biologis dan kimia meningkat. tkks juga meningkatkan peremajaan tanah yang penting untuk jangka waktu yang lama dalam rangka mempertahankan produksi TBS agar tetap tinggi. Pemanfaatan tkks dilapangan ditujukan sebagai pupuk dan mulsa (Irvan.,dkk, 2009) Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PPKS (2006), Pabrik Minyak Sawit menghasilkan limbah padat dan limbah cair memiliki potensi pemanfaatan sebagai pupuk organik bagi tanaman kelapa sawit. Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan bahan organik yang mengandung ; 42,8 % C, 2,90 % K2O, 0,80% N, 0,22% P2O5, 0,30% MgO dan unsur-unsur mikro antara lain 10 ppm B, 23 ppm Cu dan 51 ppm Zn. Dalam setiap 1 ton Tandan Kosong sawit mengandung unsur hara yang setara dengan 3 Kg Urea, 0,6 kg RP, 12 kg MOP dan 2 kg kiserit

  Komposisi tkks terdiri dari 42,8% C, 2,9% K2O, 0,8% N, 0,22% D2O5, 0,3% MgO, 10 ppm B, 23 ppm Cu dan 51 ppm Zn. Melalui kegiatan mikroorganisme tanah atau proses mineralisasi, unsur hara yang didapati pada tandan kosong kelapa sawit kembali ke dalam tanah. Namun unsur hara tersebut tidak seluruhnya dapat diserap oleh akar tanaman disebabkan terimmobilisasi (digunakan langsung oleh mikroorganisme tanah untuk menunjang kelangsungan hidupnya (Sarah,dkk., 2008).

  Berdasarkan penelitian dari Purnamayani (2012) tentang proses dekomposisi tkks dan ketersedian kandungan haranya menyatakan bahwa proses dekomposisi tkks selama 1 bulan, selama proses dekomposisi sudah dilakukan pembalikan/pencampuran sebanyak dua kali dengan tujuan agar suhu dan kelembaban lebih merata dan stabil. Pada minggu ke-2, suhu pada tkks halus lebih tinggi dibandingkan dengan tkks cacah diduga akibat luas permukaan tkks halus lebih kecil sehingga proses dekomposisi lebih cepat berjalan yang ditandai dengan peningkatan suhu. Akan tetapi pada minggu ke-4 suhu sudah berangsur turun, hal ini kontradiksi dengan referensi yang menyatakan bahwa peningkatan suhu terjadi sampai minggu ke-4 setelah dekomposisi. Diduga hal ini terjadi akibat kelembabannya menurun, sehingga sewaktu pembalikan kompos dilakukan penambahan air.

  Tandan kosong kelapa sawit (tkks) sebagai bahan organik memberikan manfaat yang sangat besar. Bahan organik dapat menjadi Sumber unsur hara N,P,K, dan lainnya, meningkatkan KTK tanah, mengurangi jerapan P melalui pembentukan senyawa kompleks dengan oksida amorf, meningkatkan dan memperbaiki agregasi tanah dan lengas tanah, membentuk khelate dengan unsur hara mikro, etoksifikasi Al dan meningkatkan biodiversitas tanah (mukhlis,dkk., 2010).

  Ketersediaan Air dan Kekeringan pada Kelapa Sawit

  Badan penelitian klimatologi departemen pertanian (2007 menyatakan bahwa ketersediaan air merupakan salah satu faktor pembatas utama bagi produksi kelapa sawit. Pada fase vegetatif kekeringan pada tanaman kelapa sawit ditandai oleh kondisi daun tombak tidak membuka dan terhambatnya pertumbuhan pelepah. Pada keadaan yang lebih parah kekurangan air menyebabkan kerusakan jaringan tanaman yang dicerminkan oleh daun pucuk dan pelepah yang mudah patah. Pada fase generatif kekeringan menyebabkan terjadinya penurunan produksi tanaman akibat terhambatnya pembentukan bunga, meningkatnya jumlah bunga jantan, pembuahan terganggu, gugur buah muda, bentuk buah kecil dan rendemen minyak buah rendah.

  Hasil penelitian Darmosarkoro,dkk (2003) di Lampung menunjukkan bahwa setiap kelompok umur tanaman kelapa sawit memiliki respon yang berbeda terhadap kekeringan. Kelompok umur 7–12 tahun merupakan kelompok yang paling rentan penurunan hasilnya terhadap kekeringan. Pada kelompok tanaman yang relatif tua

  (>13 tahun), pertumbuhannya mulai menurun, sehingga dampaknya relatif lebih ringan. Pada tanaman relatif muda (<7 tahun), pertumbuhan organ vegetatif lebih dominan, sehingga dampak terhadap hasil relatif kecil.

  Konservasi Tanah Dan Air

  Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin, dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau (Arsyad, 2006).

  Rorak dapat berfungsi seperti embung mini yang dibuat di antara tanaman sawit searah dengan kontur. Di dasar rorak juga dibuat lubang resapan dan ke dalam rorak serta lubang resapan ditambahkan serasah sisa tanaman atau bahan organik lain yang berfungsi sebagai mulsa vertikal yang akan meningkatkan efektifitas peresapan dasar dan dindingdinding rorak yang bersangkutan (Murtilaksono dkk., 2007).

  Murtilaksono dkk (2007) menyatakan Kedalaman rorak lebih efektif dari pada guludan dalam menunda kekeringan di kebun kelapa sawit di Afdeling III Unit Usaha Rejosari hingga 3.5 bulan dari pada perlakuan guludan yang hanya 2.5 bulan dari pada tanpa perlakuan konservasi tanah dan air sama sekali

  Rorak adalah lubang-lubang buntu dengan ukuran tertentu yang dibuat pada bidang olah dan sejajar dengan garis kontur. Fungsi rorak adalah untuk menjebak dan meresapkan air ke dalam tanah serta menampung sedimen-sedimen dari bidang olah. Pembuatan rorak dapat dikombinasikan dengan mulsa vertikal untuk memperoleh kompos. Ukuran dan jarak rorak yang direkomendasikan cukup beragam. Arsyad (2006) merekomendasikan dimensi rorak : dalam 60 cm, lebar 50 cm dengan panjang berkisar antara satu meter sampai 5 meter. Jarak ke samping disarankan agar sama dengan panjang rorak dan diatur penempatannya di lapangan dilakukan secara berselang-seling agar terdapat penutupan areal yang merata. Jarak searah lereng berkisar dari 10 sampai 15 meter pada lahan yang landai (3% - 8%) dan agak miring (8% - 15%), 5 sampai 3 meter untuk lereng yang miring (15% ± 30%) (Sakiah, 2012).

  Penempatan TKKS Pada Rorak

  Disamping sebagai konservasi air, rorak juga dapat berfungsi untuk penyedia bahan organik sehingga menjadi multi fungsi. Dengan pemberian sisa-sisa tanaman kedalam rorak seperti tandan kosong kelapa sawit rorak dapat berfungsi untuk penyedia bahan organik tanah, dan dapat mengurangi run off. Penelitian Hutasoit menunjukkan bahwa. penerapan guludan yang dikombinasikan dengan mulsa vertikal dapat mengurangi run off hingga hampir 100% (Murtilkasono dkk., 2007).

  Pembuatan rorak diharapkan akan mampu menahan laju air permukaan yang jatuh di atas permukaan tanah sehingga proses kerusakan dan kehilangan lapisan permukaan atas tanah melalui proses run-off akan berkurang. Penempatan lapisan tandan kosong akan berperan dalam menyerap dan menahan serta menyimpan air sehingga kelembaban tanah di sekitarnya relatif terjaga. Dari kondisi ini akan diperoleh manfaat mutualis, yaitu perbaikan kondisi tanah melalui konservasi air dan tanah serta perbaikan terhadap sistem perakaran tanaman yang akan menunjang produktivitas tanaman.

  Salah satu jenis tanah yang umum terdapat di kebun kelapa sawit adalah Typic

  

Paleudult (podsolik kuning fraksi liat tinggi), yang mengandung karbon (C)

  tergolong sedang (2,20%) di lapisan atas dan tergolong rendah di lapisan bawah (0,39-0,82 %). Kandungan Nitrogen (N) agak rendah (0,05-0,17 %) pada seluruh lapisan begitu juga fosfor (P) tergolong rendah (2-4 ppm), pH tanahnya masam (pH 4,0-4,4), kapasitas tukar kation dan kejernuhan basa tergolong rendah di seluruh lapisan (Adiwiganda, 2005).

  Dari beberapa penelitian menunjukan bahwa tanpa maupun dengan kompos tkks yang diberi bersamaan dengan kotoran ayam pada 100 maupun 50% pupuk standar sangat nyata meningkatkan kadar K total tanah setelah pertumbuhan vegetatif kedelai, dengan peningkatan sebesar 130 – 405% dibandingkan dengan tanpa pemberian kompos tkks dan amandemen pada 100% pupuk standar. Secara umum kombinasi perlakuan kornpos tkks dengan atau tanpa amandemen, menghasilkan serapan P yang lebih tinggi pada pemberian 100% pupuk standar dibandingkan dengan 50% pupuk standar, dengan penyerapan tertinggi diperoleh pada perlakuan kompos TKS aerob yang diberi bersamaan dengan kotoran ayam pada 100% pupuk standar.

  Hasil penelitian Irvan,dkk (2009) menyatakan bahwa Pembuatan rorak (pits) dilakukan dengan tegak lurus sejajar dengan barisan tanaman guna mengurangi aliran permukaan tanah. Pits tersebut diisi bahan organik (tkks 500 kg/pits, POME 500 L/pits, dan Kompos 75 kg/pits) untuk menciptakan lingkungan yang dapat memacu pertumbuhan akar tersier. Residu organik yang telah membusuk akan menyerap pupuk yang diaplikasikan dan selanjutnya dilepaskan secara perlahan ke dalam tanah.

  

Pits /lubang (2.00 m x 1.00 m x 0.75 m) yang dibuat di antara dua pokok sawit, dapat

  memberi manfaat tambahan untuk menangkap air dan berfungsi sebagai konservasi air hujan. Penyerapan air ke dalam tanah akan lebih baik dan dapat mengurangi dampak musim kering. Aplikasi pupuk anorganik dapat dilakukan setelah 12 bulan aplikasi bahan organik, pada saat akar tersier baru telah berkembang. Pupuk anorganik harus ditabur di atas pits/lubang yang telah terisi bahan organik.

  Tindakan-tindakan konservasi sangat perlu dilakukan untuk menjaga kesuburan tanah dan kelangsungan usaha perkebunan itu sendiri. Salah satu tindakan konservasi yang dapat dilakukan adalah dengan aplikasi bahan pembenah tanah berupa bahan organik dan pembuatan lubang pemanen air hujan seperti rorak (pits) untuk dapat menciptakan lingkungan yang cocok untuk perkembangan akar tersier. Sarah,dkk (2008) tkks yang halus mempunyai kandungan hara C sebesar 35,1%, N 2,34 %, C/N 15 %, P 0,31 %, K 5,53%, Ca 1,46%, dan Mg 0,96 %. Hasil sementara menunjukkan bahwa aplikasi 80 % pupuk standar + 15 ton kompos TKS/ha cenderung menaikkan jumlah tandan. Sedangkan perlakuan pupuk standar 90 % + kompos 20 ton/ha dapat meningkatkan rerata berat tandan.