BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intensitas Nyeri Pasien Pasca Bedah Abdomen di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Pirngadi Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

  1.1 Pengertian Bedah Abdomen Pembedahan abdomen adalah tindakan operasi yang melibatkan rongga abdomen yang dapat dilakukan dengan pembedahan terbuka (Higgins, Naumann, &

  Hall dalam Hartono 2007). Pembedahan abdomen meliputi pembedahan pada berbagai organ abdomen yaitu kandung empedu, duodenum, usus halus dan usus besar, dinding abdomen untuk memperbaiki hernia umbilikalis, femoralis dan inguinalis, appendiks, dan pankreas (Jong & Sjamsuhidajat, 2005).

  1.2 Indikasi Bedah Abdomen Indikasi dilakukan tindakan bedah abdomen menurut Smeltzer dan Bare

  (2002) adalah karena disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) trauma abdomen (tumpul atau tajam); 2) Peritonitis; 3) Perdarahan saluran pencernaan; 4) sumbatan pada usus halus dan usus besar; 5) masa pada abdomen; 6) perforasi usus; 7) pancreatitis; 8) cholelithiasis.

  1.3 Macam-macam Bedah Abdomen Jenis-jenis pembedahan abdomen diantaranya adalah laparotomi, appendektomi, seksio sesaria, histerektomi, kolesistektomi, kolektomi, nephrektomi, hepatektomi, splenektomi, kolostomi, perbaikan hernia, gastrektomi, fistulektomi dan lain-lain (Jong & Sjamsuhidajat, 2005).

  Setiap pembedahan selalu berhubungan dengan insisi / sayatan yang merupakan trauma yang menimbukan berbagai keluhan dan gejala. Salah satu

2. Nyeri Pasca Bedah Abdomen

2.1 Defenisi Nyeri Pasca Bedah Abdomen

  Nyeri didefenisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (McCaffery, 1979 dalam Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP, 1994) nyeri adalah sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Sedangkan menurut Brunner & Suddarth, 2003 nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial.

  Menurut Kozier dan Erb (1983) dalam Tamsuri (2007), nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman dan fantasi luka. Sementara Barbara (1996) mengungkapkan bahwa nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman yang bersifat benar-benar subjektif dan hanya orang yang menderitanya yang dapat menceritakan dan mengevaluasi. Nyeri juga dapat diartikan sebagai bentuk pengalaman yang dapat dipelajari oleh pengaruh dari situasi hidup masing-masing orang.

  Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah suatu perasaan tidak nyaman yang bersifat subjektif dan tidak dapat dilihat atau dirasakan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial. Oleh karena itu tenaga medis harus mempercayai apapun yang dikatakan pasien tentang nyeri yang dirasakannya, karena sifat subjektif dari nyeri ini.

  Menurut Hartono (2009) nyeri pasca bedah abdomen adalah gabungan dari beberapa pengalaman sensori, emosional, dan mental yang tidak menyenangkan akibat trauma bedah dan dihubungkan dengan respon otonom, metabolisme endokrin, fisiologis, dan perilaku.

2.2 Tipe Nyeri Pasca Bedah Abdomen

  Berdasarkan tipe nyeri, nyeri pasca bedah abdomen dikelompokkan sebagai nyeri akut (Chaturvedi & Chaturvedi, 2007). Kejadian nyeri akut biasanya tiba-tiba dan dihubungkan dengan luka spesifik. Nyeri akut mengindikasikan terjadinya kerusakan jaringan atau injuri. Nyeri akut biasanya berkurang bersamaan dengan penyembuhan (Smeltzer & Bare, 2003). Namun demikian, nyeri akut secara serius mengancam proses penyembuhan pasien dan harus menjadi prioritas perawatan (Potter & Perry, 2005).

  Lama nyeri akut bisa berjam-jam, hari, atau minggu (Rao, 2006). Lama nyeri akut pasca bedah pada jenis pembedahan abdomen bawah dialami selama 2 sampai 3 hari, sedangkan pembedahan abdomen atas individu akan mengalami nyeri diperkirakan 3 sampai 4 hari dengan intensitas ringan sampai hebat. Semua prosedur laparatomi menyebabkan nyeri sedang sampai hebat selama beberapa hari sampai

2.3 Fisiologi Nyeri Pasca Bedah Abdomen

  Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Cara yang paling baik untuk memahami pengalaman nyeri, akan membantu menjelaskan tiga komponen fisiologis berikut yakni: resepsi, persepsi, dan reaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut saraf memasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam massa berwarna abu-abu di medulla spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral. Sekali stimulus mencapai korteks serebral, maka otak menginterpretasikan kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta asosiasi kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri (McNair, 1990 dalam Potter & Perry, 2005).

  Nyeri berdasarkan mekanismenya melibatkan persepsi dan respon terhadap nyeri tersebut. Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat proses, yaitu: tranduksi/transduction, transmisi/transmission, modulasi/modulation, dan persepsi/perception (McGuire & Sheilder, 1993; Turk & Flor, 1999 dalam Ardinata, 2007). Keempat proses tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: a. Transduksi/Transduction Transduksi adalah adalah proses dari stimulasi nyeri dikonfersi ke bentuk

nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi.

  Aktivasi reseptor ini (nociceptors) merupakan sebagai bentuk respon terhadap stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan.

  b. Transmisi/Transmission Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta yang berdiameter besar (Davis, 2003). Saraf aferen akan ber-axon pada dorsal horn di spinalis. Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral spinalthalamic melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex serebral.

  c. Modulasi/Modulation Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya mengontrol jalur transmisi nociceptor tersebut (Turk & Flor, 1999). Proses modulasi melibatkan system neural yang komplek. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi impuls nyeri ini akan dikontrol oleh system saraf pusat dan mentransmisikan impuls nyeri ini kebagian lain dari system saraf seperti bagian cortex. Selanjutnya impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui saraf-saraf descend ke tulang belakang untuk memodulasi efektor. d. Persepsi/Perception Persepsi adalah proses yang subjective (Turk & Flor, 1999). Proses persepsi

  & Sheildler, 1993), akan tetapi juga meliputi cognition (pengenalan) dan memory (mengingat) (Davis, 2003). Oleh karena itu, faktor psikologis, emosional, dan behavioral (perilaku) juga muncul sebagai respon dalam mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut. Proses persepsi ini jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena yang melibatkan multidimensional.

  Struktur spesifik dalam sistem syaraf terlibat dalam mengubah stimulus menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri disebut sebagai sistem nosiseptif. Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung syaraf bebas yang pertama sekali merasakan nyeri. Jejas atau stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor untuk melepaskan zat-zat kimia, yaitu prostaglandin, histamine, bradikinin, asetilkolin, dan substansi P (Smeltzer & Bare, 2002). Zat-zat kimia ini mensensitisasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls nyeri ke otak. Ada dua jenis ujung syaraf bebas yang termasuk dalam nosisepsi, yaitu (1) serabut A-delta, adalah serabut halus, bermielin, dan merupakan serabut hantaran cepat yang membawa sensasi tusukan tajam. Serabut-serabut ini membantu kita untuk menentukan lokasi dan intensitas nyeri. (2) Serabut C, adalah serabut syaraf yang tidak dibungkus oleh mielin. Serabut ini halus dan hantarannya lambat serta bertanggung jawab terhadap nyeri tumpul, menyebar, dan persisten (Taylor, 2009).

  Impuls sensori/eferen memasuki akar dorsal sumsum tulang belakang, membentuk sinaps kimia dengan menggunakan neurotransmiter (seperti substansi P). merambat ke otak melalui sistem spinotalamus. Sistem spinotalamus bersinapsis di thalamus dan impuls disampaikan ke korteks serebral dimana stimulus nyeri diinterpretasikan. Ketika transmisi nyeri dikirim ke otak, individu merasakan nyeri. Beberapa impuls nyeri berakhir langsung di neuron motorik melalui arkus reflex di sumsum tulang. Neuron motorik kemudian muncul dari kornu anterior sumsum tulang belakang untuk mengaktifkan struktur yang sesuai seperti, bila seseorang menyentuh permukaan yang panas, sinyal nyeri diubah menjadi impuls motorik yang merangsang tangan menjauh dari sumber panas (Potter & Perry, 2005).

  Persepsi nyeri dalam tubuh diatur oleh substansi yang dinamakan neuroregulator. Substansi ini mempunyai aksi rangsang dan aksi hambat. Substansi P adalah salah satu contoh neurotansmiter dengan aksi merangsang. Ini mengakibatkan pembentukan aksi potensial, yang menyebabkan hantaran impuls dan mengakibatkan pasien merasakan nyeri. Serotonin adalah salah satu contoh neurotransmiter dengan aksi menghambat. Serotonin mengurangi efek dari impuls nyeri. Substansi kimia lainnya mempunyai efek inhibitor terhadap transmisi nyeri adalah endorfin dan enkafelin. Substansi ini bersifat seperti morfin yang diproduksi oleh tubuh. Endorfin dan enkafelin ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi dalam sistem syaraf pusat. Kadar endorfin dan enkafelin setiap individu berbeda. Kadar endorfin ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ansietas. Hal ini akan berpengaruh juga terhadap perasaan nyeri seseorang. Walaupun stimulusnya sama, setiap orang akan merasakan nyeri yang berbeda. Individu yang mempunyai kadar endorfin yang banyak akan yang sedikit (Smeltzer & Bare, 2002).

  Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah visceral. Oleh karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan (Smeltzer & Bare, 2002).

  Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu : 1) Reseptor A delta, merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6- 30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan;

  2) Serabut C, merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

  Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ- organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi (Smeltzer & Bare, 2002).

  Fisiologi nyeri pada pasien pasca bedah adalah nyeri diawali sebagai respon yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia seperti substansi P, bradikinin, dan prostaglandin dilepaskan. Kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu menghantarkan rangsang nyeri dari daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di sepanjang saraf ke bagian dorsal spinal cord (daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh).

  Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, yaitu pusat sensori di otak dan sensasi seperti panas, dingin, nyeri dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Kemudian pesan dihantarkan ke kortex dimana intensitas dan lokasi nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari otak kemudian turun ke spinal cord.

  Di bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan untuk mengurangi nyeri di daerah yang terluka (Taylor & Le Mone, 2005). beberapa menit kemudian nyeri menjadi menyebar akibat aktifasi serabut C. Impuls nyeri dibawa oleh serabut A-delta perifer dan dihantarkan langsung ke substansia gelatinosa pada akar dorsal sum-sum tulang belakang, kemudian konduksi lambat serabut C membuat durasi impuls rasa sakit menjadi lebih lama (Alexander & Hill, 1987).

  Teori gate control dari (Melzack & Wall, 1965) dalam Smeltzer (2002), menjelaskan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri. Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta- A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan (Smeltzer dan Bare, 2002).

  Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. Teknik distraksi, konseling dan pemberian placebo merupakan upaya untuk melepaskan endorphin (Potter & Perry, 2005).

  Nyeri yang dirasakan individu akan menyebabkan berbagai respon, antara lain respon psikologis, fisiologis dan respon tingkah laku. Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain : bahaya atau merusak, komplikasi seperti infeksi, penyakit yang berulang, penyakit baru, penyakit yang fatal, peningkatan ketidakmampuan, kehilangan mobilitas, menjadi tua, sembuh, perlu untuk penyembuhan, hukuman untuk berdosa, tantangan, penghargaan terhadap penderitaan orang lain, sesuatu yang harus ditoleransi, bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki. Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya ( Long, 1996 ). Sedangkan respon fisiologis terhadap nyeri dapat menstimulasi saraf simpatis dan parasimpatis. Respon fisiologis stimulasi simpatis antara lain: dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan frekuensi pernafasan, peningkatan frekuensi denyut jantung, vasokonstriksi perifer, peningkatan tekanan darah, peningkatan nilai gula darah, diaphoresis, peningkatan kekuatan otot, dilatasi pupil, penurunan motilitas gastro intestinal (Potter & Perry, 2005). Respon fisiologis stimulus tekanan darah, nafas cepat dan tidak teratur, mual dan muntah, serta kelelahan dan keletihan (Potter & Perry, 2005).

  Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup pernyataan verbal (mengaduh, menangis, sesak nafas, mendengkur), ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir), gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan, kontak dengan orang lain/interaksi sosial (menghindari percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri). Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri (Potter & Perry, 2005).

  Meinhart dan McCaffery (1983) dalam Potter & Perry (2006), mendeskripsikan 3 fase pengalaman nyeri: 1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

  Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

  Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. Karena nyeri itu bersifat subjektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. Orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang. 3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

  Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

2.4 Intensitas Nyeri dan Pengukurannya

  Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individual, artinya nyeri dengan intensitas yang sama dapat dirasakan berbeda oleh dua orang yang berbeda (Tamsuri, 2007). Nyeri bersifat subjektif, seorang perawat harus dapat meyakini nyeri yang dirasakan pasien. Selain itu, agar nyeri dapat dinilai lebih objektif maka dilakukan pengukuran. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

  Skala pengukuran nyeri menurut Agency for Health Care Policy dan Research (AHCPR ) dalam (Brunner dan Suddart, 2001) terdiri dari:

  1. Skala Wajah Wong-Baker / Wong-Baker Faces Rating Scale Skala wajah biasanya digunakan untuk anak-anak yang berusia kurang dari 7 tahun. Pasien diminta untuk memilih gambar wajah yang sesuai dengan nyerinya.

  Pilihan ini kemudian diberi skor angka. Skala wajah Wong-Baker menggunakan 6 kartun wajah yang menggambarkan wajah tersenyum, wajah sedih, sampai menangis.

  Dan pada tiap wajah ditandai dengan skor 0 sampai dengan 5.

  Gambar 1. Skala Wajah Wong-Baker

2. Skala Analog Visual / Visual Analogue Scale (VAS)

  Skala analog visual tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka. Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak menghabiskan banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter & Perry, 2006).

  Tidak ada nyeri Nyeri Sangat Hebat

  Gambar 2. Skala Analog Visual / Visual Analog Scale

  3. Skala Penilaian Numerik / Numeric Rating Scale Skala ini menggunalan angka 0 sampai dengan 10 untuk menggambarkan ini sama seperti pada VAS. NRS lebih bermanfaat pada periode post operasi karena selain angka 0-10, penilaian berdasarkan kategori juga dilakukan pada penelitian ini. (Nilsons, 2008; Rospond, 2008)

  Skala 0 dideskripsikan sebagai tidak ada nyeri, skala 1-3 dideskripsikan sebagai nyeri ringan yaitu ada rasa nyeri (mulai terasa tapi masih dapat ditahan). Lalu skala 4-6 dideskripsikan sebagai nyeri sedang yaitu ada nyeri, teras mengganggu dengan usaha yang cukup kuat untuk menahannya. Skala 7-10 dideskripsikan sebagai nyeri berat yaitu ada nyeri, terasa sangat mengganggu / tidak tertahankan sehingga harus meringis, menjerit atau berteriak. (Mc.Caferry & Beebe, 1993).

  Hal ini juga sependapat dengan pendapat dari (Serlin dkk, 1995 dalam Harahap, 2007) yang menyatakan bahwa NRS digunakan untuk ukuran intensitas nyeri (segera atau sekarang). Skala terdiri dari 11 poin yang mana 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan 10 menunjukkan nyeri sangat berat, penilaian dari 1-4 disamakan dengan nyeri ringan, 5-6 untuk nyeri sedang, dan 7-10 untuk nyeri berat.

  Sama seperti VAS, NRS juga sangat mudah digunakan dan merupakan alat ukur yang sudah valid (Brunelli, et.al., 2010). Penggunaan NRS direkomendasikan untuk penilaian skala nyeri post operasi pada pasien berusia di atas 9 tahun (McCaffrey & Bebbe, 1993). NRS dikembangkan dari VAS dapat digunakan dan sangat efektif untuk pasien-psien pembedahan, post anestesi awal dan sekarang digunakan secara rutin untuk pasien yang me galami nyeri di unit post operasi (Rospond, 2008; Black & Hawsk, 2009; Brunelli, et.al,. 2010).

  Pada penelitian ini menggunakan NRS sebagai skala pengukuran untuk menilai nyeri pasien pasca bedah abdomen. Reliabilitas NRS telah dilakukan ujinya oleh Brunelli, et.al. (2010), dengan membandingkan instrument NRS, VAS, dan VRS untuk mengkaji nyeri pada 60 pasien. Hasil uji Cohen’s Kappa untuk instrumen NRS adalah 0,86 (sangat baik). Instrumen pengukuran NRS adalah seperti gambar di bawah ini:

  1

  2

  3

  4

  5

  6

  7

  8

  9

  10 Tidak Nyeri Nyeri sedang Nyeri berat nyeri i

  Gambar 3. Skala Penilaian Numerik / Numeric Rating Scale Keterangan:

  : Tidak ada keluhan nyeri 1-3 : Ada rasa nyeri, mulai terasa, tetapi masih dapat ditahan 4-6 : Ada rasa nyeri, terasa mengganggu, dan dengan melakukan usaha yang kuat untuk menahannya 7-10 : Ada nyeri, terasa sangat mengganggu / tidak tertahankan, sehingga harus meringis, menjerit, bahkan berteriak

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensitas Nyeri

  Banyak faktor yang mempengaruhi intensitas nyeri. Perawat Hal ini sangat penting dalam upaya memastikan bahwa perawat menggunakan pendekatan yang holistik dalam pengkajian dan perawatan pasien yang mengalami nyeri (Potter dan Perry, 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri, yaitu: usia, jenis kelamin, kebudayaan, kecemasan, pengalaman nyeri sebelumnya, makna nyeri, perhatian, dukungan keluarga dan sosial.

1. Usia

  Usia mempengaruhi persepsi seseorang terhadap nyeri. Anak-anak dan orang tua mungkin lebih merasakan nyeri dibandingkan orang dewasa muda karena mereka sering tidak dapat mengkomunikasikan apa yang dirasakannya sehingga kemungkinan perawat tidak dapat melakukan pengukuran untuk menurunkan nyeri secara adekuat (Berger, 1992).

  Perbedaan perkembangan, yang ditemukan di antara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan dalam memahami nyeri dan prosedur yang dilakukan perawat yang menyebabkan nyeri. Anak-anak kecil yang belum dapat nengucapkan kata-kata juga mengalami kesulitan utnuk mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau petugas kesehatan. Dengan memikirikan tingkat perkembangan, perawat harus mengadaptasi pendekatan yang dilakukan dalam upaya mencari cara untuk mengkaji nyeri yang dirasakan anak-anak (Prasetyo, 2010) yang berusia lebih muda (Smeltzer & Bare, 2002). Pada lansia yang mengalami nyeri perlu dilakukan pengkajian, diagnosis dan penatalaksanaan secara agresif. Namun individu yang berusia lanjut memiliki resiko tinggi mengalami situasi-situasi yang membuat mereka merasakan nyeri (Ebersol dan Hess, 1994).

2. Jenis Kelamin

  Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting terhadap respon nyeri (Matasarin-Jacobs, 1997). Laki-laki memiliki sensitifitas yang lebih rendah dibandingkan wanita atau kurang merasakan nyeri (Smeltzer & Bare, 2002; Black & Hawks, 2005). Laki-laki kurang mengekspresikan nyeri yang dirasakan secara berlebihan dibandingkan wanita.

  Penelitian oleh Uchiyama, et al. (2006) yang bertujuan untuk meneliti perbedaan jenis kelamin terhadap nyeri pasca bedah kolesistektomi. Jumlah responden yang terlibat adalah 100 orang yang terdiri dari 46 laki-laki dan 54 wanita. Dalam penelitian tersebut menunjukan bahwa pasien wanita mempunyai nilai VAS lebih tinggi daripada laki-laki pada 24 jam pasca bedah kolesistektomi (Hartono, 2007). Semua pasien dirawat empat hari di rumah sakit dan intensitas nyeri diukur menggunakan Visual Analog Scale (VAS) dengan skala 0-10.

  3. Suku/Budaya Budaya mempengaruhi bagaimana seseorang mengartikan nyeri, bagaimana mereka memperlihatkan nyeri serta keputusan yang mereka buat tentang nyeri yang dirasakannya. Masyarakat dalam suatu kebudayaan mungkin merasa bangga bila tidak merasakan nyeri karena mereka menganggap bahwa nyeri tersebut merupakan sesuatu yang dapat ditahan (Berger, 1997).

  Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Ada perbedaan makna dan sikap yang dikaitkan dengan nyeri di berbagai kelompok budaya. Suatu pemahaman tentang nyeri dari segi makna budaya akan membantu perawat dalam merancang asuhan keperawatan yang relevan untuk klien yang mengalami nyeri (Potter & Perry 2005).

  Setiap suku dan budaya mempersepsikan sakit dengan cara yang berbeda (Waddle & et al, 1998) dan juga berbeda dalam mengekspresikan perilaku mereka yang berhubungan dengan nyeri (Lovander & Forhoff, dalam Harahap tahun 2007).

  Gureje, Korff, Simon, & Gater, 1996, menyatakan bahwa keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu menyatakan atau mengekspresikan nyeri. Selain itu, latar belakang budaya dan sosial mempengaruhi pengalaman dan penanganan nyeri (Brannon & Feist, 2007). Budaya dan etnisitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang berespons terhadap nyeri, bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku dalam berespons terhadap nyeri. Namun budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri (Zatzick & Dimsdale, 1990 dalam Brunner & Suddart, 2003).

  Harapan budaya tentang nyeri yang individu pelajari sepanjang hidupnya jarang dipengaruhi oleh pemajanan terhadap nilai-nilai yang berlawanan dengan budaya lainnya. Akibatnya, individu yakin bahwa persepsi dan reaksi mereka terhadap nyeri adalah normal dapat diterima. Akibatnya individu yakin bahwa persepsi dan reaksi mereka terhadap nyeri adalah normal dapat diterima. Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien dari budaya lain.

  Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan seperti meringis, dan menangis berlebihan (Brunner & Suddart, 2003).

  Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keberagaman suku dan budaya. Setiap suku memiliki cara yang unik dalam persepsi tentang kesehatan dan respon terhadap penyakit. Suku Batak adalah suku yang paling besar di Sumatera Utara; selain Melayu Deli dan Nias. Suku Batak terdiri dari sub suku Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pak pak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing (Irma, 2007). Pengalaman nyeri pada pasien Batak sangat unik.

  Pasien Batak jauh lebih ekspresif dibanding pasien suku Jawa, meskipun kedua suku tersebut berasal dari Indonesia (Suza, 2007). Perilaku nyeri ini sering menimbulkan kesulitan dalam pengkajian dan manajemen nyeri.

  4. Kecemasan

  Kecemasan sebagai sebuah kondisi atau keadaan emosi tertentu yang tidak

menyenangkan. Kondisi atau keadaan emosi tertentu yang tidak menyenangkan

tersebut meliputi perasaan cemas, tegang, khawatir, gairah fisiologis, dan rasa takut

yang disamaartikan dengan kecemasan objektif (Freud, 1936). Spielberger (1983)

juga mengatakan bahwa kecemasan sesaat (state anxiety) ditandai oleh perasaan

subjektif terhadap tekanan, ketakutan, kekhawatiran dan ditandai dengan aktivasi atau

stimulasi dari autonomic nervous sistem.

  Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi juga seringkali menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas (Gil, 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Sama hubungan cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. Sulit untuk memisahkan dua sensasi tersebut , stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik yang diyakinkani mengendalikan emosi seseorang.

  Status emosional mempengaruhi persepsi nyeri. Sensasi nyeri dapat di blok oleh konsentrasi yang kuat atau dapat meningkat oleh cemas atau ketakutan. Nyeri sering meningkat ketika tejadi adanya penyakit yang lain atau ketidaknyamanan fisik seperti mual atau muntal. Ada atau tidak adanya dukungan orang lain atau pelayanan kesehatan juga dapat merubah status emosional dan persepsi nyeri. Kecemasan dapat meningkatkan persepsi nyeri dan nyeri sebaliknya dapat menyebabkan kecemasan (LeMone & Burke, 2008).

  5. Pengalaman Nyeri Sebelumnya Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan mudah menerima nyeri pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama mengalami nyeri yang berat, maka ansietas atau bahkan rasa takut akan muncul. Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri dengan jenis sama dan berulang tetapi nyeri tersebut dapat hilang akan lebih mudah bagi individu tersebut menginterpretasikan sensasi nyeri dan akibatnya pasien akan lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Dan apabila pasien tidak pernah mengalami nyeri maka persepsi pertama nyeri dapat menganggu koping terhadap nyeri (Potter & Perry, 2006).

  Riwayat sebelumnya berpengaruh tehadap persepsi seseorang tentang nyeri. Orang yang sudah mempunyai pengalaman tentang nyeri akan lebih siap menerima perasaan nyeri, sehingga dia akan merasakan nyeri lebih ringan dari pengalaman pertamanya (Taylor, 1997).

  6. Makna Nyeri Individu akan mempersepsikan dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan. Derajat dan kualitas nyeri akibat cedera karena hukuman dan tantangan. Makna nyeri oleh seseorang akan berbeda jika pengalamannya tentang nyeri juga berbeda. Selain pengalaman, makna nyeri juga dapat ditentukan dari cara seseorang beradaptasi mempersepsikan nyeri yang berbeda dengan seorang wanita yang mengalami nyeri akibat cedera pukulan pasangannya (Potter & Perry, 2005).

  7. Perhatian Seseorang yang memfokuskan perhatiannya terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsinya. Konsep ini merupakan salah satu hal yang dapat dilihat perawat dari beberapa nyeri yang dirasakan pasien sehingga perawat dapat memberikan intervensi yang tepat seperti relaksasi, massase, dan lain sebagainya.

  Namun dengan memfokuskan perhatian terhadap stimulus yang lain, dapat menurunkan persepsi nyeri (Potter & Perry, 2005). Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat terhadap nyeri akan meningkatkan respon nyeri (Prasetyo, 2010)

  8. Dukungan keluarga dan sosial Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri ialah kehadiran orang- orang terdekat pasien dan bagaimana sikap mereka terhadap pasien.Individu yang mengalami nyeri sering kali bergantung pada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran orang yang dicintai dapat meminimalkan kesepian dan ketakutan (Potter & Perry, 2005)