BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang - Akuntabilitas Pelayanan Publik Dalam Pembuatatn Surat Izin Usha Warung Internet di Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Medan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gagasan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat terus

  mengalami pembaruan baik dari sisi paradigma maupun format pelayanan seiring tuntutan rakyat dan perkembangan di dalam pemerintah itu sendiri. Namun demikian, pembaruan dari kedua sisi tersebut sampai saat ini masih tetap belum memuaskan arti posisi Negara - masyarakat dan pemerintah

  • – rakyat masih belum menguntungkan dipihak rakyat sebagai pihak yang lemah dan termajinalisasi dalam kerangka pelayanan. Oleh karena itu, dibutuhkan pembaruan makna, bahwa pemerintah dibentuk bukan untuk melayani dirinya sendiri ataupun dilayani oleh rakyat, melainkan untuk melayani kebutuhan rakyat. Distorsi pelayanan kepada rakyat terjadi manakala keberadaan pemerintah dianggap dapat mengatur segala segi kehidupan manusia, yang dilandasi asumsi bahwa pada dasarnya rakyat tidak mampu mengatur kehidupannya sendiri. Yang pada akhirnya asumsi tersebut berkembang menjadi pengekangan pemerintah terhadap rakyatnya, kontrol yang berlebihan dan rakyat melayani keinginan pemerintah agar kebutuhannya dapat terpenuhi. (Kurniawan, 2005:2).

  Hingga sampai saat ini, kualitas pelayanan publik di Indonesia masih diwarnai berbagai masalah seperti pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit- belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas, serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik. Dimana hal ini juga sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan eksistensinya oleh rakyat. Disamping itu, terdapat pula kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik dimana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki “uang“, dengan sangat mudah bisa mendapatkan apapun yang diinginkan. Apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan yang diskriminatif ini akan berpotensi menimbulkan konflik laten dalam kehidupan berbangsa. Potensi iniantara lain memungkinan terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antara yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi yang lamban, dan pada tahapan tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kemudian, terdapat kecenderungan di berbagai instansi pemerintah pusat yang enggan menyerahkan kewenangan yang lebih besar kepada daerah otonom, akibatnya pelayanan publik menjadi tidak efektif, efisien dan ekonomis, dan tidak menutup kemungkinan unit- unit pelayanan cenderung tidak memiliki responsibilitas, responsivitas, dan tidak representatif sesuai dengan tuntutan masyarakat.

  Melihat dari fungsi utama pemerintah yang merupakan penyelenggara pelayanan publik dan seiring dengan tuntutan perkembangan sudahmenjadi seharusnya pemerintah melakukan perbaikandalam pelayanan publik tersebut. Akan tetapi dewasa ini, kepercayaan masyarakat/publik terhadap kinerja pemerintah atau birokrasi mengalami degradasi yang semakin parah oleh akibat dari lemahnya kinerja aparat-aparat pemerintahan/birokrasi. Kepercayaan dan kehidupan masyarakat menjadi semakin sengsara ketika pemerintah/birokrasi yang seharusnya berperan menghadirkan pelayanan prima kepada publik menjadi didominasi dan ditentukan oleh rezim yang berkuasa sehingga menyebabkan kebalikan daripada pelayanan publik menjadi publiklah yang menjadi pelayan bagi birokrasi.

  Kegagalan pemerintah yang dipicu adanya penyalahgunaan wewenang aparatur pemerintahan yang diberikan kepada masyarakat yang tidak efesien, efektif, tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi dan kebutuhan masyrakat terhadap perkembangan lingkungan global yang mendorong suburnya praktik-praktik kolusi, korupsi dan nepotisme yang mendorong masyarakat menginginkan pemerintahan yang baik. Berkembangnya patologi tersebut di dalam tubuh birokrasi menyebabkan timbulnya krisis kepercayaan masyarakat yang ditandai dengan mengalirnya protes dan demonstrasi yang dilakukan beberapa dari komponen masyarakat terhadap birokrasi baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah dan bermunculnya lembaga- lembaga non pemerintah sebagai aksi protes terhadap pemerintah. Berkembangnya patologi tersebut dalam tubuh birokrasi menunjukan betapa rendahnya kualitas birokrasi dan kurangnya profesionalisme dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

  Buruknya kinerja pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi indonesia antara lain belum dijalankanya apa yang disebut dengan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik dimana akuntabilitas mempunyai peranan yang sangat penting dalam menekan tingkat korupsi, menurut Klitgaard secara umum pola yang menjadi penyebab merebaknya korupsi dapat di ungkapkan dengan rumus sebagai berikut: “C=M+D-A” C (Korupsi), M (monopoli kekuasaan), D (dekresi birokrasi) dan A (akuntabilitas) (Kumorotomo, W, 2006). Oleh karena itu pelayanan publik harus dilakukan dengan akuntabel di setiap unit pelayanan instansi pemerintah karena kualitas pelayanan publik berimplikasi luas terhadap kesejahteraan masyarakat dan untuk mencapai suatu pemerintahan yang baik atau pemerintahan yang bersih, serta lemahnya kontrol masyarakat yang menjelaskan buruknya akuntabiltas dalam penyelenggaraan pelayanan pubik, karena salah satu esensi dari akuntabilitas adalah kontrol, karena kondisi yang terjadi selama ini telah mengkerdilkan peran serta masyarakat dan telah terjadi dominasi birokrasi dalam pelaksanaan pelayanan serta untuk menciptakan suatu sistem pelayanan yang akuntabel harus ada evaluasi pelayanan yang diberikan oleh para pengguna pelayanan yaitu masyarakat.

  Perkembangan teknologi pada saat ini sudah tidak terbendung lagi, bahkan pada saat

sekarang setiap detik manusia tidak akan lepas dengan teknologi. Mulai dari bangun tidur

hingga tidur lagi, hidup kita pasti berhubungan dengan teknologi. Dengan perkembangan

teknologi, maka memudahkan kita pada segala sesuatu. Bahkan saat ini teknologi sudah

merupakan suatu trend kehidupan. Pemakaian teknologi merupakan simbul dari kemodernan

seseorang atau bisa menunjukkan status sosial seseorang, Semakin canggih produk yang kita

gunakan dengan memanfaakan tehnologi, maka menunjukkan semakin tinggi status sosial

kita atau dipandang lebih modern. Teknologi saat ini yang paling cepat berkembang adalah

  

teknologi telekomunikasi dan teknologi informasi. Perkembangan ini sangat terlihat

akselerasinya dalam kehidupan, dan hampir setiap sisi kehidupan kita selalu merasakan

manfaat adanya perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi tersebut.

Perkembangan tersebut akan menumbuhkan pula bisnis di bidangnya, sebagai contoh adalah

internet dan komputer. Setiap perkembangan teknologi akan mendukung munculnya

teknologi baru, atau fasilitas baru dalam suatu produk tersebut. Oleh karena itu maka produk-

produk teknologi tersebut setiap saat akan naik dan terus meningkat jumlahnya.

  Perkembangan teknologi ini berdampak pada dunia bisnis, dimana banyak orang

yang membuka jasa pada bidang informasi dan komunikasi, salah satunya adalah warung

internet. Warung internet adalah tempat usaha yang menyediahkan dan menyelenggarakan

pelayanan jasa internet kepada khayalak umum. Bisnis warung internet dianggap sebagai

bisnis yang menjanjikan, karena jasa dari warung internet dianggap sudah menjadi suatu

kebutuhan. Dengan keluarnya Perwal Medan no 28 Tahun 2011 tentang perizinan usaha

warung internet, maka diharapakan akan memberi kepatian hukum dan untuk pembina,

pengatur, pengendalikan/pengawasan usaha warung internet di Kota Medan. Dengan

keluarnya Perwal tersebut, maka setiap individu atau kelompok yang ingin mendirikan usaha

warung internet harus memiliki izin usaha warung internet, atau bila warung internetnya

sudah berdiri, maka pengelolah warung internet diwajibkan mengurus surat izin usaha.

Dinas komunikasi dan informasi kota Medan yang bersangkutan dengan hal ini lah yang

memiliki kewajiban melayani masyarakat yang ingin mengurus surat izin usaha warung

internet. Dinas komunikasi dan informasi diharapkan mampu memberikan pelayan kepada

masyarakat dalam pembuatan surat izin tersebut. Di sisi lain diharapkan adaya peningkatan

kualitas pelayanan Dinas komunikasi dan informasi untuk mewujudkan good governance.

  

Peningkatan kualitas pelayanan public dapat dilakukjan dengan berbagai hal, salah satunya

adalah akuntabilitas. Akuntabilitas merupakan syarat terhadap terciptanya penyelenggaraan

pemerintahan yang baik, demokratis dan amanah (good governance). Kelembagaan

pemerintahan yang berakuntabilitas publik berarti lembaga tersebut senantiasa mau

mempertanggungjawabkan segala kegiatan yang diamanati oleh rakyat. Demikian pula

masyarakat dalam melakukan kontrol mempunyai rasa tanggungjawab yang besar untuk

kepentingan bersama. Bukan hanya untuk kepentingan kelompok atau golongan saja.

  Akuntabilitas dimaksudkan untuk mengukur apakah tujuan dari suatu kegiatan telah

tercapai dan juga sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadapa atasan dan juga masyarakt

umum. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang

berjudul

  “Akuntabilitas Pelayan Publik Dalam Pembuatan Surat Izin Usaha Warung Internet Di Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Medan”.

  I.2. Perumusan Masalah

  Dari latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah, Bagaimana akuntabilitas dalam pelayan publik dalam pembuatan surat izin usaha warung internet di Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Medan?

  I.3. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana implementasi akuntabilitas dalam pelayanan publik khususnya dalam pelayanan perizinan surat izin usaha warung internet di Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Medan.

  I.4. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Secara Ilmiah Untuk menambah khasanah ilmiah dan sumbangan bagi pengembangan dan penyempurnaan teori-teori dalam Ilmu Administrasi Negara khususnya dalam kaitannya dengan akuntabilitas dan transparansi dalam pelayanan publik.

  2. Manfaat Secara Praktis Secara praktis penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah ataupun lembaga-lembaga lain yang membutuhkan serta menjadi acuan dalam melaksanakan prinsip-prinsip Good Governance.

  3.Manfaat Secara Akademis Sebagai suatu tahapan untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah dan menuangkannya dalam bentuk karya ilmiah.

  I.5 Kerangka Teori

  Menurut Kerlinger (Singarimbun, 1995:37) teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep dan kerangka teori disusun sebagai landasan berpikir untuk menunjukkan perspektif yang digunakan dalam memandang fenomena sosial yang menjadi objek penelitian.

  Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan atau pokok masalah yang ada dalam penelitian (Arikunto, 2002:92). Sebagai landasan berfikir dalam menyelesaikan atau memecahkan masalah yang ada, perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu dan sebagai bahan referensi dalam penelitian. Kerangka teori ini diharapkan memberikan pemahaman yang jelas dan tepat bagi peneliti dalam memahami masalah yang di teliti. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

  I.5.1 Good Governance

  I.5.1.1 Defenisi Good Governance

  Wacana tentang Good Governance atau kepemerintahan yang baik merupakan isu yang paling mengemuka belakangan ini.Tuntutan masyarakat agar pengelolaan negara dijalankan secara amanah dan bertanggung jawab adalah sejalan dengan keinginan global masyarakat internasional pada saat ini. Istilah Good Governance berasal dari induk bahasa Eropa, Latin, yaitu Gubernare yang diserap oleh bahasa inggris menjadi govern, yang berarti steer (menyetir, mengendalikan), direct (mengarahkan), atau rule (memerintah). Penggunaan utama istilah ini dalam bahasa inggris adalah to rule with authority (memerintah dengan kewenangan). Kata

  

governanc e dalam bahasa inggris sering di artikan dengan tata kelola atau

  pengelolaan dengan kata dasar to govern yang bermakna memerintah. “Memerintah” diartikan sebagai menguasai atau mengurus negara atau mengurus daerah sebagai bagian dari negara. Dari istilah tersebut diatas dapat diketahui bahwa istilah

  

governance tidak hanya berarti sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan bisa juga diartikan pemerintahan.

  Pengertian Good governance menurut Mardiasmo (2002:18) adalah suatu konsep pendekatan yang berorientasi kepada pembangunan sektor publik oleh pemerintahan yang baik. Lebih lanjut menurut Bank Dunia yang dikutip Wahab (2002:34) menyebut Good governance yaitu suatu konsep dalam penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dan investasi yang langka dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas kewirausahaan. Selain itu Bank Indonesia juga mensinonimkan

  

Good governance sebagai suatu hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara

negara, sektor swasta, dan masyarakat (Effendi,1996:47).

  Lembaga Administrasi Negara memberikan pengertian Good governance yang hampir sama dengan Bank Indonesia yaitu bahwa wujud Good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efesien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat. (Kurniawan,2005:16)

  Dengan demikian, pada dasarnya unsur-unsur dalam kepemerintahan (governance stakeholders) dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu:

  1) Negara/Pemerintahan

  Konsepsi kepemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari itu melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat madani. 2)

  Sektor swasta Pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti: industri pengolahan perdagangan, perbankan dan koperasi, termasuk kegiatan sektor informal. 3)

  Masyarakat Madani Kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada diantara atau ditengah-tengah antara pemerintah dan perseorangan, yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi.

  Maka dapat disimpulkan Good Governance adalah pengelolaan tata pemerintahan yang baik, meliputi tata pemerintahan yang berwawasan ke depan (visi), bersifat terbuka (transparansi), cepat tanggap, akuntabel (akuntabilitas), berdasarkan profesionalitas dan kompetensi, menggunakan struktur dan sumber daya secara efesien dan efektif, terdesentralisasi, demokratis dan berorientasi pada konsensus, mendorong kepada peningkatan partisipasi masyarakat, mendorong kemitraan dengan swasta dan masyarakat, menjunjung supremasi hukum, memiliki komitmen kepada pengurangan kesenjangan, memiliki komitmen kepada pasar, dan pemerintahan yang baik sangat ditentukan oleh keterlibatan dan sinergi tiga aktor utama dari Good governance ini yakni aparatur pemerintah, masyarakat atau publik, dan keterlibatan pihak swasta.

I.5.1.2 Prinsip-prinsip Good Governance

  Menurut Tamim (Bambang Istianto, 2009: 109) terdapat enam hal yang menunjukkan bahwa suatu pemerintahan memenuhi kriteria Good Governance, yaitu sebagai berikut: 1.

  Competence, artinya bahwa penyelenggaraan pemerintah daerah harus dilakukan dengan mengedepankan profesionalitas dan kompetensi birokrasi.

  Jadi, pejanat yang dipilih harus benar-benar orang yang memiliki kompetensi yang tinggi baik dilihat dari aspek pendidikan/keahlian, pengalaman, moralitas, dedikasi maupunaspek-aspek lainnya.

  2. Transparancy, artinya setiap proses pengambilan keputusan kebijakan publik dan pelaksanaan seluruh fungsi pemerintahan harus diimplementasikan dengan mengacu kepada prinsip keterbukaan dan keterbukaan akses terhadap informasi harus benar, jujur, dan tidak diskriminatif yang harus dijunjung tinggi.

  3. Accountability, artinya bahwa setiap tugas dan tangggung jawab pemerintahan daerah harus diselenggarakan dengan baik karena setiap kebijakan dan tindakan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan kehadapan publik maupun dari kacamata hukum.

  4. Participation, artinya pemerintah daerah harus mampu mendorong prakarsa, kreativitas dan peran serta masyarakat dalam setiap upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan keberhasilan pembangunan daerah.

  5. Rule of Law, artinya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah harus berdasarkan pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan jelas.

  6. Social Justice, artinya penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam implementasinya harus menjamin penerapan prinsip kesetaraan dan keadilan bagi setiap masyarakat.

I.5.2 Akuntabilitas dalam Pelayanan Publik

  Dari kesembilan prinsip-prinsip Good governance yang telah dikemukakan di atas, penulis menganggap bahwa prinsip akuntabilitas merupakan prinsip yang paling penting untuk diterapkan terutama dalam struktur pemerintahan. Dalam Konteks pelayanan publik maka akuntabilitas berarti suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai- nilai atau norma eksternal yang ada di masyarakat atau yang dimiliki oleh para stakeholder. Dengan demikian tolak ukur dalam akuntabilitas pelayanan publik adalah publik itu sendiri yaitu arti nilai-nilai atau norma-norma yang diakui, berlaku dan berkembang dalam kehidupan publik. nilai-nilai atau norma tersebut diantaranya transparansi pelayanan, pinsip keadilan, jaminan penegakan hukum, hak asasi manusia, orientasi pelayanan yang dikembangkan terhadap masyarakat pengguna jasa.(Armunanto, 2005:28)

I.5.2.1 Akuntabilitas Konsep akuntabilitas di Indonesia memang bukan merupakan hal yang baru.

  Hampir seluruh instansi dan lembaga-lembaga pemerintah menekankan konsep akuntabilitas khususnya dalam menjalankan fungsi administratif kepemerintahan.

  Fenomena ini merupakan imbas dari tuntutan masyarakat yang mulai digemborkan kembali pada awal era reformasi di tahun 1998. Tuntutan masyarakat ini muncul karena pada masa orde baru konsep akuntabilitas tidak mampu diterapkan secara konsisten di setiap lini kepemerintahan yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab lemahnya birokrasi dan menjadi pemicu munculnya berbagai penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan keuangan dan administrasi negara di Indonesia. Era reformasi telah memberi harapan baru dalam implementasi akuntabilitas di Indonesia. Apalagi kondisi tersebut didukung oleh banyaknya tuntutan negara-negara pemberi donor dan hibah yang menekan pemerintah Indonesia untuk membenahi sistem birokrasi agar terwujudnya good governance.

  Untuk melihat keragaman definisi akuntabilitas, berikut ini dikemukakan beberapa definisi yang dikembangkan sejumlah kamus besar, kalangan akademisi dan pemerintahan, diantaranya adalah Webster dalam Manggaukang (2006:21) yang mendefinisikan akuntabilitas sebagai suatu keadaan yang dapat dipertanggungkan, bertanggungjawab, dan ankuntabel. Arti kata ankuntabel adalah : pertama, dapat diperhitungkan, dapat menjawab pada atasan, sebagaimana seorang manusia bertanggunggugat kepada Tuhannya atas apa yang telah dilakukan. Kedua, memiliki kemampuan untuk dipertanggunggugatkan secara eksplisit, dan ketiga, sesuatu yang biasa di perhitungkan atau dipertanggunggugatkan.

  Sheila Elwood (1993) dalam (Manggaukang 2006 :37) mengemukakan ada empat jenis akuntabilitas,yaitu :

  1. Akuntabilitas hukum dan peraturan, yaitu akuntabilitas yang terkait denganjaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang diisyaratkandalam penggunaan sumber dana publik. Untuk menjamin dijalankannya jenis akuntabilitas ini perlu dilakukan audit kepatuhan.

  2. Akuntabilitas proses, yaitu akuntabilitas yang terkait dengan prosedur yang digunakan dalam melaksanakan tugas apakah sudah cukup baik. Jenis akuntabilitas ini dapat diwujudkan melalui pemberian pelayanan yang cepat, responsif, dan murah biaya.

  3. Akuntabilitas program, yaitu : akuntabilitas yang terkait dengan perimbang apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai dengan baik, atau apakah pemerintah daerah telah mempertimbangkan alternatif program yang dapat memberikan hasil optimal dengan biaya yang minimal.

  4. Akuntabilitas kebijakan, yaitu akuntabilitas yang terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah daerah dalam terhadap DPRD sebagai legislatif dan masyarakat luas. Ini artinya, perlu adanya transparansi kebijakan sehingga masyarakat dapat melakukan penilaian dan pengawasan serta terlibatdalam pengambilan keputusan.

  Menurut Kohler dalam Manggaukang (2006:191), akuntabilitas didefinisikan sebagai :

  1. Kewajiban seseorang (employee), agen, atau orang lain untuk memberikan laporan yang memuaskan (satisfactory report) secara periodik atas tindakan atauatas kegagalan untuk bertindak dari otorisasi atau wewenang yang dimiliki.

  2. Pengukuran tanggungjawab (responsibility) atau kewajiban kepada seseorang yang diekspresikan dalam nilai uang, unit kekayaan, atau dasar lain yang telah ditentukan terlebih dahulu.

  3. Kewajiban membuktikan manajemen yang baik, pengendalian (control) yang baik, atau kinerja yang baik yang diharuskan oleh hukum yang berlaku, ketentuan-ketentuan (regulation), persetujuan (agreement), atau keabsaan (custom).

  Ada 3 hal yang menjadi dimensi akuntabilitas, antara lain akuntabilitas politik yang biasanya dihubungkan dengan proses dan mandat pemilu, akuntabilitas finansial yang fokus utamanya adalah pelaporan yang akurat dan tepat waktu tentang penggunaan dana publik, dan akuntabilitas administratif yang pada umumnya berkaitan dengan pelayanan publik dalam kerangka kerja otoritas dan sumber daya yang tersedia. Kumorotomo (2005) memberikan pengertian akuntabilitas adalah kepadanya, sehingga akuntabilitas merupakan faktor di luar individu dan perasaan pribadinya. ) Dalam KepMenPAN /M.PAN/2 No.26/KEP /2004, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang menyatakan bahwa Penyelenggaraan pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada publik maupun kepada atasan/pimpinan unit pelayanan instans pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundan-undangan. Pertanggungjawaban (akuntabilitas) pelayanan publik meliputi: 1.

  Akuntabilitas kinerja pelayanan publik

  1. Akuntabilitas kinerja pelayanan publik dapat dilihat berdasarkan proses yang antara lain meliputi; tingkat ketelitian (akurasi), profesionalitas petugas, kelengkapan sarana dan prasarana, kejelasan aturan (termasuk kejelasan kebijakan atau peraturan perundang-undangan) dan kedisiplinan.

  2. Akuntabilitas kinerja pelayanan publik harus sesuai dengan standar atau akta/janji pelayanan publik yang telah ditetapkan.

  3. Standar pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka, baik kepada publik maupun kepada atasan atau pimpinan unit pelayanan instansi pemerintah. Apabila terjadi penyimpangan dalam hal pencapaian standar, harus dilakukan upaya perbaikan.

  4. Penyimpangan yang terkait dengan akuntabilitas kinerja pelayanan publik harus diberikan kompensasi kepada penerima pelayanan.

  5. Masyarakat dapat melakukan penelitian terhadap kinerja pelayanan secara berkala sesuai mekanisme yang berlaku.

  6. Disediakan mekanisme pertanggungjawaban bila terjadi kerugian dalam pelayanan publik, atau jika pengaduan masyarakat tidak mendapat tanggapan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

  2. Akuntabilitas biaya pelayanan publik

  1. Biaya pelayanan dipungut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang telah ditetapkan.

  2. Pengaduan masyarakat yang terkait dengan penyimpangan biaya pelayanan publik, harus ditangani oleh Petugas/Pejabat yang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan/Surat Penugasan dari Pejabat yang berwenang.

  3. Akuntabilitas produk pelayanan publik

  1. Persyaratan teknis dan administratif harus jelas dan dapat dipertanggung jawabkan dari segi kualitas dan keabsahan produk pelayanan.

  2. Prosedur dan mekanisme kerja harus sederhana dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

  3. Produk pelayanan diterima dengan benar, tepat, dan sah.

  I.5.3 Pelayanan Publik

  I.5.3.1 Definisi Pelayanan Publik

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan pengertian pelayanan bahwa “pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa

  (public), terdapat beberapa pengertian, yang memiliki variasi arti dalam bahasa Indonesia, yaitu umum, masyarakat, dan negara.

  (http://www.scribd.com/doc/16207254/standar-pelayanan-publik) Pelayanan publik (public service) adalah suatu layanan atau pemberian terhadap masyarakat yang berupa penggunaan fasilitas-fasilitas umum, baik jasa maupun non jasa, yang dilakukan oleh organisasi publik atau pemerintah. (Rohman, 2008:3).

  Ada beberapa pengertian dasar yang di dalam pelayanan publik adalah sebagai berikut (Ratminto, 2005: 18):

  1. Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan.

2. Penyelenggara pelayanan publik adalah Instansi Pemerintah.

  3. Instansi Pemerintah adalah sebutan kolektif meliputi satuan kerja/satuan organisasi Kementerian, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara dan Instansi Pemerintah lainnya baik Pusat maupun Daerah termasuk Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.

  4. Unit penyelenggaran pelayanan publik adalah unit kerja pada Instansi Pemerintah yang secara langsung memberikan pelayanan kepada penerima pelayanan publik.

  5. Pemberi pelayanan publik adalah pejabat/pegawai instansi pemerintah yang melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  6. Penerima pelayanan publik adalah orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum.

  7. Biaya pelayanan publik adalah segala biaya (dengan nama atau sebutan apapun) sebagai imbal jasa atas pemberian pelayanan publik yang besaran dan tata cara pembayaran ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

  8. Indeks Kepuasan Masyarakat adalah tingkat kepuasan masyarakat dalam memperoleh pelayanan yang diperoleh dari penyelenggara atau pemberi pelayanan sesuai harapan dan kebutuhan masyarakat. Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2009, Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

I.5.3.2 Hakikat Pelayanan Publik

  Keputusan MENPAN No.63 Tahun 2004 menyatakan bahwa hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Maka dapat dirumuskan yang menjadi unsur yang terkandung dalam pelayanan publik yaitu: 1.

  Pelayanan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh suatu badan atau lembaga atau aparat pemerintah maupun swasta.

  2. Objek yang dilayani adalah masyarakat (publik) berdasarkan kebutuhannya.

  3. Bentuk pelayanan yang diberikan berupa barang atau jasa.

  4. Ada aturan atau sistem dan tata cara yang jelas dalam pelaksanaannya.

I.5.3.3 Asas dan Prinsip Pelayanan Publik

  Untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pengguna jasa, penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi asas-asas pelayanan sebagai berikut (Ratminto,2005: 19-20): 1.

  Transparansi, artinya bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

  2. Akuntabilitas, artinya Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Kondisional, artinya Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas.

  4. Partisipatif, artinya Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

  5. Kesamaan Hak, artinya Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi.

  6. Kesimbangan Hak dan Kewajiban, artinya Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63

  Tahun 2004, dijelaskan bahwa dalam menyelenggaraan pelayanan harus memenuhi beberapa prinsip yaitu:

  1. Kesederhanaan Prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.

  2. Kejelasan yang mencakup beberapa hal antara lain:

  a. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan umum b. Unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayananan dan penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik

  c. Rincian biaya pelayanan dan tata cara pembayaran 3. Kepastian Waktu

  Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

  4. Akurasi.

  Produk pelayan publik diterima dengan benar, tepat dan sah.

  5. Rasa aman Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasaaman dan kepastian hukum.

  6. Tanggung Jawab Pimpinan penyelenggaraan pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan atau persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.

  7. Kelengkapan Sarana dan Prasarana Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika.

  8. Kemudahan akses

  Tempat dan lokasi serta sarana dan prasarana kerja yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan teknologi telematika.

  9. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan satun, ramah serta memberikan pelayanan yang ikhlas.

  10. Kenyamanan Lingkungan pelayanan harus tertib, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah, sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan seperti parker, toilet, tempat ibadah dan lain-lain. Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain:

  1. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.

  2. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.

  3. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.

  4. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.

  5. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.

  6. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.

  7. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.

  Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empati dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat. Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hierarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit, dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.

1.5.4. Izin Usaha

  Izin (dalam arti sempit) adalah pengikatan pengikatan pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan keadaan yangburuk. Tujuannya ialah mengatur tindakan tindakan yang oleh pembuat undang undang, namun di mana ia menginginkan dapat melakukan pengawasan sekadarnya. (Spelt N.M, 1993).

  Dari sudut kajian kewenangan khususnya tentang izin ada beberapa teori yang dapat mendukung analisis pengambilan kebijakan pemerintah daerah dalam hal ini kajian hukum administrasi negara. Penggolongan Ketetapan Administrasi Negara. Ketetapan administrasi negara atau aparatur negara yang bersifat positif dapat dilihat dari segi penggolongan akibat hukum dan dari segi jenisnya. Yaitu sebagai berikut:

  1. Dari segi akibat hukumnya dibagi atas lima macam: b. Ketetapan yang melahirkan keadaan hukum baru bagi obyek tertentu misalnya penunjukan terhadap sesuatu, pendaftaran bagi sesuatu hal.

  c. Ketetapan yang melahirkan suatu badan hokum atau membatalkan misalnya: ketetapan pemerintah mengenai pengakuan atau hilangnya pengakuan terhadap sesuatu badan hukum, seperti koperasi, perseroan terbatas dan yayasan

  d. Ketetapan yang membebankan kewajiban baru pada seseorang atau lebih, atau yang bersifat isi perintah.

  e. Ketetapan yang memberikan hak-hak baru kepada seseorang atau lebih (ketetapan yang menguntungkan).

  2. Dari segi jenisnya, ketetapan dibagi atas dua golongan:

  a. Menguntungkan dengan yang tidak menguntungkan b. Izin, lisensi, dispensasi dan konsesi.

  Pengertian dari Izin, Konsesi, Dispensasi dan Lisensi adalah sebagai berikut: Izin (vergunning) adalah suatu perbuatan yang pada hakekatnya harus dilarang, sehingga memerlukan pengawasan aparatur pemerintah. Izin adalah keputusan aparatur pemerintah yang memperkenankan sesuatu perbuatan.

  1. Konsensi hanya berbeda secara relatif dengan izin, tidak terdapat perbedaannya secara yuridis, misalnya izin mengenai hal-hal yang penting bagi umum, seperti izin penggarapan hutan disebut juga konsensi hak pengelolaan hutan (HPH).

2. Dispensasi adalah suatu perbuatan pemerintah yang meniadakan berlakunya

  Dinas Lalu Lintas dan Jalan Raya memberikan dispensasi kepada truk angkutan untuk melebihi daya angkutkarena keperluan yang mendesak dalam pembangunan 3. Lisensi adalah ketetapan yang digunakan untuk menyatakan suatu izin yang memperkenankan seseorang menjalankan suatu perusahaan, misalnya izin tempat usaha. (Saiful Anwar, 2004:95) Menurut peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal nomor 5 tahun 2013, izin usaha adalah segala bentuk izin dari pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerinta daerah kabupaten/kota yang wajib dimiliki oleh perusahaan untuk memulai pelaksanaan kegiatan produksi/operasi yang menghasilkan barang atau jasa, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan sektoral.

I.6 Defenisi Konsep

  Konsep merupakan istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak suatu kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat penelitian ilmu sosial. Melalui konsep kemudian peneliti diharapkan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian (events) yang berkaitan satu dengan yang lainnya. (Singarimbun, 1995:33). Oleh karena itu, untuk dapat menemukan batasan yang lebih jelas maka penulis dapat menyederhanakan pemikiran atas masalah yang sedang penulis teliti, maka penulis mengemukakan konsep-konsep antara lain: 1.

  Pelayanan publik adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang

  Lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  2. Akuntabilitas berarti para pengambil keputusan dalam sektor publik, swasta, dan masyarakat madani memliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik (stakeholders). Yang menjadi fokus disini adalah akuntabilitas proses, yaitu akuntabilitas yang terkait dengan prosedur yang digunakan dalam melaksanakan tugas apakah sudah cukup baik. Jenis akuntabilitas ini dapat diwujudkan melalui pemberian pelayanan yang cepat, responsif, dan biaya sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.

  3. Izin usaha warung internet adalah segala bentuk izin dari pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota yang wajib dimiliki oleh invidivu atau kelompok untuk memulai pelaksanaan kegiatan warung internetnya yang menghasilkan jasa, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan sektoral.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1. Signaling Theory - Analisis Pengaruh Economic Value Added (EVA) danLikuiditas Terhadap Return Saham Pada Perusahaan Industri Pertambangan yang Terdaftar di BEI

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Pengaruh Economic Value Added (EVA) danLikuiditas Terhadap Return Saham Pada Perusahaan Industri Pertambangan yang Terdaftar di BEI

0 0 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Sinyal (Signaling Theory) - Analisis Pengaruh ROA (Return On Asset), Pertumbuhan Laba, Komponen Arus Kas dan Harga Saham Terhadap Volume Perdagangan Saham Perusahaan Makanan dan Minuman Yang Terdaft

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Pengaruh ROA (Return On Asset), Pertumbuhan Laba, Komponen Arus Kas dan Harga Saham Terhadap Volume Perdagangan Saham Perusahaan Makanan dan Minuman Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Investasi 2.1.1 Definisi Investasi - Pengaruh Investment Opportunity Set Berbasis Pada Harga Saham Terhadap Real Growth Perusahaan Properti Dan Real Estate Di Bursa Efek Indonesia

0 0 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stomatitis Aftosa Rekuren - Efek Gel Ekstrak Curcuma Longa (Kunyit) Terhadap Penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren Tipe Minor Pada Pasien Rsgm Usu

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Publik 2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik - Implementasi Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (Sim Rs) Dalam Pemenuhan Pelayan Kesehatan

0 0 38

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang - Implementasi Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (Sim Rs) Dalam Pemenuhan Pelayan Kesehatan

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Publik - Implementasi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pajak Reklame (Studi Tentang Penerbitan Izin Reklame di Kota Medan)

0 3 36

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Implementasi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pajak Reklame (Studi Tentang Penerbitan Izin Reklame di Kota Medan)

0 0 12