PENGANTAR SINGKAT ZONA EKONOMI EKSKLUSIF
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam sejarah, laut terbukti telah mempunyai berbagai fungsi strategis, antara
lain sebagai sumber makanan bagi manusia, sebagai jalan raya perdagangan, sebagai
sarana untuk penaklukan hingga sebagai tempat pertempuran.1 Fungsi – fungsi laut
tersebut seharusnya sangat dirasakan oleh Indonesia. Indonesia adalah sebuah negara
yang diperhitungkan oleh negara-negara dunia. Hal ini disebabkan karena laut
Indonesia menyimpan potensi kekayaan yang sangat besar selain dari sumber daya
alamnya yang juga begitu besar.2 Semakin disadari laut merupakan wilayah potensial
dalam menunjang hidup dan kehidupan bangsa maupun masyarakat dunia. Sehingga
tidak menutup terjadi berbagai konflik atau permasalahan dan pelanggaran atas
wilayah tersebut.3
Zona Ekonomi Eksklusif diartikan sebagai suatu daerah di luar teritorial yang
lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari gatis pangkal yang digunakan untuk
mengukur lebar laut teritorial.4 Berlakunya konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
merupakan pranata hukum laut internasional yang masih baru. Di dalam Kon- ferensi
Hukum Laut yang diprakarasai oleh PBB yang diselenggarakan mulai Tahun 1973
sampai dengan 1982 Zona Eksklusif ini dibahas secara mendalam dan intensif sebagai
salah satu agenda acara konferensi dan disepakati serta dituangkan di dalam Bab V
Pasal 55-75 Konvensi Hukum Laut Internasional 1982.5 Barbara Kiwatowska dalam
bukunya The 200 Mile Exclusive Economic Zone in the Law of the Sea menjelaskan
bahwa6:
“The Economic Exclusive Zone is an area beyond and adjecent to the
territorial sea that extends up to 200 miles from the territorial sea baselines,
in which the coastal states has sovereign rights with regard to all natural
1 Hasjim Djalal. Perjuangan Indonesia di Bidang hukum Laut. Badan Pembinaan Hukum
Nasional. Penerbit Binacipta. Bandung, 1978, hlm 1.
2 P. Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm. 3.
3 Aditya Taufan Nugraha. Perlindungan Hukum Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Terhadap
Eksistensi Indonesia Sebagai Negara Maritim. Jurnal Selat, Oktober 2014, Vol. 2 No. 1.
4 Melda Kamil Ariadno, “Pemanfaatan Sumber Daya Ikan ZEEI”. Koran Kompas.
5 Setiadi, Ignatius Yogi Widianto. Upaya Negara Indonesia Dalam Menangani Masalah Illegal
Fishing Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Atmajaya
Jogjakarta. 2014.
6 Barbara Kwiatokowska. The 200 Mile Exclusive Economic Zone in the Law of the Sea.
Martinus Nijhoff Publishers. Dordrecht. 1989.
1
resources and other activities for economic exploitation and exploration, as
well as jurisdiction with regard to artificial islands, scientific research and
the marine environment protection, and other rights and duties provided for
the law of the sea convention. All states enjoy in the EEZ navigational and
other comunications freedoms, and the land-locked and other”
Dibandingkan dengan negara-negara ASAN lainnya luas ZEE Indonesia
menduduki peringkat pertama, artinya Indonesia memiliki ZEE yang paling luas
yakni seluas 1.577.300 mil persegi. Tidak saja dibandingkan dengan negara- negara
asia lainnya luas ZEE Indonesia pun masih tetap menduduki peringkat pertama. ZEE
Indonesia yang terluas di asia tenggara itu ternyata menyimpan berbagai kekayaan
hayati yang bernilai ekonomis tinggi. Salah satunya adalah populasi berbagai jenis
ikan tuna yang memberikan optimism bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan
industry perikanannya secara spektakuler di masa mendatang.7
Pada wilayah laut Indonesia yang berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif
merupakan wilayah laut yang mempunyai potensi kekayaan yang terbesar bagi
Indonesia. berdasarkan hal tersebut, pentingnya potensi-pontensi sumber kekayaan di
laut pemerintah telah mengeluarkan berbagai jenis produk hukum dalam mengatur,
melindungi serta melakukan penegakan hukum di wilayah perairan indonesia
khususnya di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Pemerintah telah
mengeluarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI serta8
Sebagai negara pantai tentunya Indonesia berkepentingan untuk melakukan
perlindungan terhadap wilayah perairannya, terutama dari gangguan keamanan dan
juga terhadap pencurian kekayaan alam di laut. Letak posisi silang Indonesia yang
strategis mengakibatkan seringnya gangguan itu terjadi. Lahirnya Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI) tahun 1983 melalui Undang-Undang No. 5 semakin
mendapatkan pengukuhan Internasional dalam menjaga keutuhan teoritial negara
kepulauan. Adanya Yuridiksi eksekusif yang dimiliki oleh negara pantai sebagaimana diatur dalam konvensi hukum laut tahun 1982 semakin memantapkan
kedaulatan perairan Indonesia. Dengan semakin banyaknya Indonesia meratifikasi
konvensi Internasional dibidang kelautan, maka diharap- kan perwujudan kepedulian
terhadap perlindungan penegakkan hukum di wilayah ZEEI bisa terwujud.9
7 Rivai Rihaloho. Penetapan Garis Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan India Dalam
Penegakan Kedaulatan Teritorial Ditinjau Dari Hukum Internasional
8 Ibid.
9 Aditya Taufan Nugraha. Perlindungan Hukum Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Terhadap
Eksistensi Indonesia Sebagai Negara Maritim. Op Cit. hlm 162.
2
1.2 Definisi
Dalam Konvensi hukum laut 1982, zona ekonomi eksklusif diatur dalam
bagian kelima, dimana ZEE didefinisikan sebagai suatu daerah di luar dan
berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rezim hukum khusus yang
ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak- hak dan yurisdiksi Negara pantai
dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan
yang relevan Konvensi ini.10 Sedangkan dalam peraturan nasional Indoneisa dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 Tengtang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia didefinisikan sebagai jalur di luar dan berbatasan
dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang
yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya
dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis
pangkal laut wilayah Indonesia.11
1.3 Perkembangan Zona Ekonomi Eksklusif
Awal mula pemikiran yang mendasari munculnya ZEE oleh Negara pantai
berawal pada tahun 1945 untuk menegaskan hak dan yurisdiksi atas wilayah
meningkatnya dasar laut didorong oleh keyakinan bahwa kelimpahan sumber daya
alam di bawahnya. Pada dasarnya dikembangkan bersama-sama dengan klaim landas
kontinen dengan banyak Latin Amerika Serikat dan Negara Afrika membuat klaim ke
laut teritorial yang luas dan zona perikanan, dengan mantan panggilan untuk "laut
patrimonial" hingga 200 nm.12 Upaya untuk menggabungkan klaim ke kolom air dan
klaim ke dasar laut menjadi "konsep zona salah satu sumber daya" yang tak
terelakkan, dan pada tahun 1971, Kenya mengedepankan konsep ZEE kepada Komite
Asia-Afrika Hukum Permusyawaratan dan Komite Sea-B PBB di 1.972,8 konsep baru
dari ZEE sebagian besar didukung oleh sebagian besar negara berkembang dan
10 Pasal 55 UNCLOS 1982
11 Undang –Undang No. 5 tahun 2983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif.
12 Winston Conrad Extavour. The Exclusive Economic Zone: A Study of Evolution and
Progressive Development of the International Law of the Sea. Institute Universitaire de Hautes Etudes
Internationales. Geneve: 1981.
3
menunjukkan keinginan Negara-negara tersebut memiliki kontrol lebih besar atas
sumber-sumber ekonomi mereka, terutama stok ikan, yang merasa telah berada di
bawah peningkatan eksploitasi armada yang jauh air dikembangkan.13
BAB II
13 P. Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta, Op Cit.
4
PEMBAHASAN
2.1 Zona Ekonomi Eksklusif
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, zona ekonomi eksklusif dapat
diperpanjang hingga 200 nm dari baseline, dimana negara pantai dapat menikmati
kedaulatan yang berkaitan dengan sumber daya alam dan jurisdiksi, negara ketiga
atau bukan negaara pantai dapat menikmati kebebasan navigasi, kebebasa lintas kapal
udara, dan penanaman kabel dan pipa di dasar laut yang akan dijelaskan lebih
mendalam pada bagian berikutnya.14 Konsep zona ekonomi eksklusif sendiri
berkembang sejak tahun 1945 untuk memperlebar jurusdiksi dari negara pantai.
Konsep zona ekonomi eksklusif pertama kali dikemukakan oleh Kenya kepada AsianAfrican Legal Consultative Committee pada bulan Januari 1971 dan UN Sea Bed
Committee pada tahun 1972. Gagasan yang dikemukakan Kenya tersebut ternyata
mendapat banyak dukungan dari negara-negara di Asia Afrika.15
Zona ekonomi eksklusif pada dasarnya merefleksikan aspirasi dari negaranegara berkembang untuk mengembangkan perekonomian dan juga memperbesar
kewenangan atas sumber daya alam yang ada di sekitar negara pantai, khususnya
sumber daya perikanan, dimana dalam banyak kasus sumber daya perikanan negara
pantai justru banyak dinikmati dan di eksploitasi oleh negara maju yang letaknya
sangat jauh. Di sisi lain, zona ekonomi eksklusif pada dasarnya juga merupakan
kompromi hasil negosiasi dengan negara-negara yang meng kleim 200-mile laut
teritorial (Beberapa negara Amerika Latin dan Afrika) dengan negara negara maju
(Jepang, Uni Soviet, Amerika) yang menolak perpanjangan jurisdiksi negara pantai.
Walaupun zone ekonomi eksklusif sudeh merupakan hasil kompromi antara negara
maju dan berkembang agar konsep ZEE dapat diterima, namun banyak negara landlocked yang tidak memiliki pantai lebih memilih untuk mereservasi ketentuan
mengenai ZEE dikarenakan konsep ZEE dapat mengurangi konsep laut bebas yang
dapat dinikmati oleh semua negara.16
14 D. O’Connell, “The International Laws of the Sea”, Vol. 1, 1982
15 Hasjim Djalal. Perjuangan Indonesia di Bidang hukum Laut. Badan Pembinaan Hukum
Nasional. Penerbit Binacipta. Bandung, 1978, hlm 12.
16 B. Buzan, Negotiating by Consensus: Developments in Technique at the Third United
Nations Conference on the Law of the Sea, American Journal of International Law, vol. 75, p. 324-348.
5
Dalam konvensi hukum laut 1982 tidak terdapat kewajiban dari setiap negara
untuk mengklaim zona ekonomi eksklusif mereka, namun pada prakteknya hampir
seluruh negara pantai menglklaim 200 miles zona konomi eksklusif, hanya ada
beberapa negara yang tidak dapat mengklaim 200 milez ZEE dikarenakan berbatasan
dengan negara lain.17
2.2 Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif
2.2.1 Batas Luar
Batas awal dari ZEE adalah batas terluar dari laut teritorial. 18 Batas akhir dari
ZEE tidak boleh melebihi 200 nm dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur
laut teritorial suatu negara.
19
Dalam konvensi hukum laut 1982 dikatakan bahwa
negara dapat meng klaim maksiman 200 nm zona ekonomi eksklusif, sehingga
memungkinkan apabila negara ingin mengkleim ZEE kurang dari 200nm. Dalam
beberapa wilayah negara tidak memiliki pilihan selain mengklaim ZEE kurang daro
200nm dikarenakan berbenturan dengan negara tetangga. Pada dasarnya tidak terdapat
alasan signifikan secara geografi ataupun sejarah mengapa jarak 200 nm yang
digunakan sebagai jarak maksimum dari ZEE. Pada awal konvensi hukum laut
dibentuk, ada beberapa negara Amerika Latin dan Afrika yang menglaim
perpanjangan jurisdiksi hukngga 200nm, untuk mengakomodasi hal tersebut dalam
proses negosiasi ditetapkanlah 200nm sebagai zona ekonomi eksklusif negara atas
sumber daya yang ada di dalamnya dan bukan merupakan jurisdiksi kedaulatan penuh
negara pantai.
2.2.2 Pulau
Pada prinsipnya, seluruh daerah darat dari negara pantai dapat dijadikan
pengukur ZEE. Namun terdapat tiga kualifikasi yang harus dipenuhi untuk suatu
pulau dapat memiiki ZEE. Pertama, walaupun pada dasarnya semua pulau dapat
memiliki ZEE, Pasal 121 (3) Konvensi hukum laut 1982 mengatur bahwa batu yang
tidak bisa menjadi habitat dan penunjang ekonomi manusia tidak dapat memiliki ZEE
17 Donald R Rothwell and Tim Stephens, The International Law of the Sea (Hart Publishing,
2010), Hal. 83
18 Pasal 55 UNCLOS 1982.
19 Pasal 57 UNCLOS 1982.
6
dan landas kontinen.20 Setelah tahun 1997 pasal 121 (3) Konvensi hukum laut yang
mengatur bahwa pulau yang bukan habitat manusia tidak dapat memiliki ZEE dapat
dikatakan sebagai customary international law. Kedua, Kualifikasi kedua yang tidak
memiliki ZEE adalah pulau atau daerah yang tidak memiliki kemerdekaan
sepenuhnya yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan daerah yang berada
dibawah kekuasaan kolonial. Resolusi III dari konvensi hukum laut 1982. Ketiga,
adalah antartika, dimana perlu dipahami bahwa Pasal IV dari Traktat Antartika 1959
menyatakan bahwa ZEE tidak ddapat diterapkan di wilayah yang termasuk dalam
konvensi ini.
2.3 Status Hukum Zona Ekonomi Eksklusif
Pada awal perkembangan konvensi hukum laut 1982, muncul berbagai
pertanyaan mengenai status hukum apa yang berlaku di ZEE. Banyak negara maritim
yang beranggapan seharusnya di ZEE berlaku rezim hukum yang sama dengan laut
bebas. Namun hal tersebut bertentangan dengan konvensi hukum laut yang
menyatakan bahwa Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan
berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus yang
ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak- hak dan yurisdiksi Negara pantai
dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan
yang relevan Konvensi ini.21 lebih lanjut terkait dengan laut bebas konvensi hukum
laut juga mengatakan bahwa Ketentuan Bab mengenai laut bebas berlaku bagi semua
bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, dalam laut
teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu Negara, atau dalam perairan kepulauan
suatu Negara kepulauan. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut jelas bahwa rezim
hukum yang ada di ZEE berbeda dengan rezim hukum yang berlaku di laut bebas.
ZEE perlu dianggap sebagai zona yang memiliki hukum sendiri yang terletak diantara
laut teritorial dan laut bebas. Terdapat tiga prinsip elemen dari status hukum ZEE,
yaitu (1) hak dan kewajiban yang diberikan oleh Konvensi hukum laut kepada negara
pantai, (2) hak dankewajiban yang diberikan oleh konvensi hukum laut kepada negara
selain negara pantai, (3) Konvensi hukum laut mengatur kegiatan yang tidak termasuk
kedalam kedua katagori tersebut.
20 Pasal 121 (3) UNCLOS 1982
21 Pasal 55 UNCLOS 1982.
7
2.4 Hak dan Kewajiban Negara Pantai
Pada dasarnya hak dan kewajiban dari negara pantai telah diatur dalam Pasal 56
Konvensi hukum laut 1982. Negara pantai mempunyai hak yang berkaitan dengan
sumber daya alam di ZEE, yang tertuang dalam enam katagori berikut:
2.4.1 Sumber Daya Alam non- Hayati.
Pertama, negara pantai mempunyai hak untuk melakukan eksplorasi dan
eksploitasi, Konservasi dan manejemen sumber daya alam non hayati di perairan yang
termasuk dalam zona ekonomi eksklusif negara pantai. Sedangkan sumber daya nonhayati yang ada didasar laut tunduk pada hukum yang terpisah yaitu continental shelf.
2.4.2 Sumber daya Hayati
Berkenaan dengan sumber daya hayati, Negara pantai memiliki hak berdaulat
untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya hayati, tetapi juga memiliki
kewajiban yang terkait dengan pengelolaan konservasi sumber kekayaan hayati di
ZEE nya22. Terkait dengan pemanfaatan sumber daya hayati di ZEE, konvensi hukum
laut membebankan kewajiban pada negara pantai untuk mempromosikan pemanfaatan
yang optimal dari sumber daya hayati.23 Hal ini juga membebankan kewajiban Negara
pantai untuk menentukan jenis tangkapan yang diperbolehkan dari sumber kekayaan
hayati di ZEE.24 dan kapasitas kemampuan sendiri untuk memanen sumber daya
hayati. Jika kemampuan tangkapan yang diperbolehkan melebihi kapasitas
kemampuan negara pantai sendiri, Negara pantai wajib memberikan akses negara
lain.25 Namun, Negara pantai diberikan kebebasan yang luas untuk memutuskan di
mana negara lain mendapatkan akses untuk memanfaatkan sumber daya hayati yang
22 Robert Beckmen dan Tara Davenport, The EEZ Regime: Reflections after 30 Years”. Papers
from the Law of the Sea Institute, UC Berkeley–Korea Institute of Ocean Science and Technology
Conference, held in Seoul, Korea, May 2012
23 Pasal 62 (1) UNCLOS 1982.
24 Pasal 62 (1) UNCLOS 1982
25 Pasal 62 (2) UNCLOS 1982
8
berlebih.26 Konvensi hukum laut 1982 mengatur bahwa dalam memberikan akses ke
ZEEnya yang surplus, Negara pantai harus memperhitungkan semua faktor yang
relevan. Salah satu dari beberapa faktor yang harus diperhitungkan adalah ke negara
yang warganegaranya telah memancing di sekitar ZEE27
Pasal 56 mengatur bahwa negara pantai memiliki hak berdaulat untuk
mengeksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan mengatur sumber daya hayati Negara
pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi,
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi
eksklusif mengambil tindakan, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan
melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya
peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi
ini.
2.4.3 Sumberdaya Ekonomi Lainnya
Pasal 56 Konvensi hukum laut memberikan hak berdaulat bagi negara pantai
terkait dengan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi di ZEE, seperti produksi energi
yang bersumber dari air laut, currents dan angin. Aturan ini memberikan hak baru
bagi negara pantai untuk mengembangkan teknologi terkait. Produksi energi
seringkali membutuhkan konstruksi dan instalasi, sehingga hal tersebut juga dapat
diakomodasi oleh ketentuan hukum.28
2.4.4 Konstruksi Pulau Buatan dan Instalasi
Di ZEE pada dasarnya tidak terdapat kedaulatan panuh negara pantai, namun
lebih merupakan kedaulatan terbatas pada pemanfaatan ekonominya. Pasal 56
Konvensi Hukum Laut, mengatur bahwa di zona ekonomi eksklusif, Negara pantai
26 Kebebasan Negara pantai untuk menentukan kapan negara lain memiliki kapasitas untuk
memanfaatkan sumber daya hayati dari ZEE negara pantai (Lihat Pasal 62 (2)). UNCLOS mengatur
bahwa dalam memberikan akses ke sumber daya untuk Negara lain, Negara pantai harus
memperhitungkan semua faktor-faktor yang relevan, termasuk diantaranya pentingnya sumber daya
hayati di daerah itu bagi perekonomian Negara pantai yang bersangkutan dan kepentingannya lainnya
nasional, ketentuan pasal 69 (negara yang tidak mempunyai laut) dan 70 (hak Negara geografis kurang
beruntung), persyaratan Negara-negara berkembang di sub regional atau regional di panen bagian dari
surplus dan kebutuhan untuk meminimalkan dislokasi ekonomi di Negara yang warganegaranya telah
menangkap ikan di zona atau yang telah melakukan upaya besar dalam penelitian dan identifikasi
saham: "Lihat Pasal 62 (3) UNCLOS.
27 R.R. Cuhurcill dan A.V. Lowe. Melland Schill. Studies in Internatiomal The Law of the Sea.
Juris Publishing Manchester University Press. Manchester : 1988.
28 Ibid, hlm. 163.
9
mempunyai hak eksklusif untuk membangun dan untuk menguasakan dan mengatur
pembangunan operasi dan penggunaan 29:
(a) pulau buatan;
(b) instalasi dan bangunan untuk keperluan sebagaimana ditentukan dalam pasal
56 dan tujuan ekonomi lainnya;
(c) instalasi dan bangunan yang dapat mengganggu pelaksanaan hak-hak Negara
pantai dalam zona tersebut.
Pembuatan pulau buatan di ZEE pada dasarnya tidak boleh melebihi 500 meter.
Pada dasarnya hak negara pantai untuk membentuk pulau buatan, instalasi dan
struktur juga diiringi dengan beberapa kewajiban. Pertama, negara pantai harus
memberikan Pemberitahuan sebagaimana mestinya harus diberikan mengenai
pembangunan pulau buatan, instalasi atau bangunan demikian dan sarana tetap guna
pemberitahuan adanya instalasi atau bangunan demikian harus dipelihara.30 Kedua,
setiap instalasi atau bangunan yang ditinggalkan atau tidak terpakai harus dibongkar
untuk menjamin keselamatan pelayaran, dengan memperhatikan setiap standar
internasional yang diterima secara umum yang ditetapkan dalam hal ini oleh
organisasi
internasional
yang
berwenang.
Pembongkaran
demikian
harus
memperhatikan dengan semestinya penangkapan ikan, perlindungan lingkungan laut,
dan hak-hak serta kewajiban Negara lain. Pengumuman yang tepat harus diberikan
mengenai kedalaman, posisi dan dimensi setiap instalasi atau bangunan yang tidak
dibongkar secara keseluruhan.
2.4.5 Riset Ilmiah Kelautan
Pasal 56 memberikan jurisdiksi bagi negara pantai untuk melakukan riset ilmiah
kelautan. Dimana negara pantai memiliki mengatur, memberikan izin dan
menyelenggarakan riset ilmiah kelautan di ZEE. 31 Negara-negara pantai dalam
keadaan biasa harus memberikan ijinnya terhadap proyek riset ilmiah kelautan yang
diselenggarakan oleh Negara-negara lain atau organisasi- organisasi internasional
yang kompeten dalam zona ekonomi eksklusif atau di landas kontinennya yang
diselenggarakan sesuai dengan Konvensi ini semata-mata untuk tujuan damai dan
dengan tujuan untuk menambah pengetahuan ilmiah tentang lingkungan laut demi
29 Pasal 56 UNCLOS 1982
30 Ibid,
31 R.R. Cuhurcill dan A.V. Lowe. Melland Schill. Studies in Internatiomal The Law of the Sea.
Op Cit.
10
kepentingan umat manusia. Untuk tujuan termaksud Negara-negara pantai harus
secepatnya menentukan ketentuan dan prosedur guna menjamin agar persetujuan
tersebut tidak akan diundurkan atau ditolak tanpa alasan yang cukup.32
Sekalipun demikian Negara-negara pantai berwenang untuk tidak memberikan
persetujuannya guna diselenggarakannya proyek riset oleh Negara lain atau organisasi
internasional yang kompeten dalam zona ekonomi eksklusif atau di landas kontinen
Negara pantai tersebut apabila proyek itu 33:
a) mempunyai arti langsung bagi eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam, baik
hayati maupun non hayati;
b) meliputi penyebaran dalam landas kontinen, penggunaan bahan peledak atau
pemasukan bahan-bahan berbahaya ke dalam lingkungan laut;
c) meliputi konstruksi, operasi atau penggunaan pulau-pulau buatan, instalasiinstalasi atau bangunan-bangunan sebagaimana tersebut pada pasal 60 dan 80;
d) mengandung informasi yang disampaikan menurut pasal 248 mengenai sifat dan
tujuan proyek yang tidak tepat atau apabila Negara yang menyelenggara-kan
riset atau organisasi internasional yang kompeten mempunyai kewjaibankewajiban yang belum dilaksanakan terhadap Negara pantai berdasarkan suatu
proyek riset terdahulu.
2.5 Hak dan Kewajiban Negara Lain di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
Hak dan Kewajiban dari negara lain di Zona Ekonomi Eksklusif diatur di pasal
58 UNCLOS, dimana pengaturan ini memiliki tujuan dalam hal komunikasi
internasional dan keterkaitannya terhadap empat kebebasan (four freedoms) di laut
bebas. Dari ke-empat kebebasan yang secara spesifik disebutkan di Konvensi Laut
Bebas tahun 1958, fishing atau menangkap ikan di dalam Zona Ekonomi Eksklusif
berada pada yurisdiksi negara pantai: sementara tiga kebebasan lainnya masih dapat
diaplikasikan oleh negara-negara lain, walaupun terdapat pembatasan lebih ketat
dibandingkan jika berada di Laut Bebas.34 Bunyi dari Pasal 58 UNCLOS adalah
sebagai berikut:
32 Pasal 246 ayat (3) UNCLOS 1982.
33 Pasal 246 ayat (5) UNCLOS 1982
34 R.R. Churchill dan A.V. Lowe, The Law of the Sea, (Manchester: Manchester University
Press, 1999), hal. 170.
11
Article 5835
Rights and duties of other States in the exclusive economic zone
1. In the exclusive economic zone, all States, whether coastal or land-locked, enjoy,
subject to the relevant provisions of this Convention, the freedoms referred to in
article 87 of navigation and overflight and of the laying of submarine cables and
pipelines, and other internationally lawful uses of the sea related to these freedoms,
such as those associated with the operation of ships, aircraft and submarine cables
and pipelines, and compatible with the other provisions of this Convention.
2. Articles 88 to 115 and other pertinent rules of international law apply to the
exclusive economic zone in so far as they are not incompatible with this Part.
3. In exercising their rights and performing their duties under this Convention in the
exclusive economic zone, States shall have due regard to the rights and duties of the
coastal State and shall comply with the laws and regulations adopted by the coastal
State in accordance with the provisions of this Convention and other rules of
international law in so far as they are not incompatible with this Part.
Dari pasal yang disebutkan di atas, pada ayat (1) telah disebutkan bahwa hak
dan kewajiban dari negara lain di Zona Ekonomi Eksklusif berkaitan dengan tiga
kebebasan yang disebutkan di pasal di atas, yaitu terkait Navigasi, Overflight dan
Peletakan kabel serta pipa bawah air dan kegunaan yang secara hukum internasional
diperbolehkan berkaitan dengan kebebasan-kebebasan yang telah disebutkan
sebelumnya. Sebagaimana diketahui, terdapat tiga kebebasan yang menjadi fokus
pembahasan, namun terdapat frase lain yang menarik perhatian penulis sebelum
membahas ke pembahasan utama.
Frase “other internationally lawful uses of the sea” merupakan subjek yang
menjadi poin negosiasi dari banyak negara saat Konferensi PBB yang pada akhirnya
melahirkan adaptasi UNCLOS.36 Seperti Pasal 87, pasal ini tidak secara eksplisit
menyebutkan terkait kegiatan militer atau kegiatan survei, namun Angkatan Laut
dapat menjaga dan memastikan kebebasan laut (freedom of the seas) yang terdapat di
35 Pasal 58 UNCLOS
36 Robert Beckman dan Tara Davenport, The EEZ Regime: Reflection after 30 years, LOSI
Conference Papers, Securing the Ocean for the Next Generation, 2012, Hal. 10.
12
dalam Pasal 87 di Zona Ekonomi Eksklusif.37 Maka dari itu, kegiatan yang termasuk
ke dalam “other internationaly uses of the sea” seperti kerjasama antar kapal, pesawat
terbang dan kabel serta pipa bawah tanah secara eksplisit dapat dilakukan di Zona
Ekonomi Eksklusif, namun kegiatan militer tidak dijelaskan lebih lanjut. Dari
penjelasan di atas, Angkatan Laut dari negara pantai dapat menjaga keberlangsungan
pemenuhan hak-hak tersebut yang disebutkan dalam UNCLOS.
Selanjutnya, akan dijelaskan kebebasan-kebebasan yang dapat dilakukan oleh
negara-negara lain di Zona Ekonomi Eksklusif juga dengan kewajiban dari negaranegara tersebut. Kebebasan-kebebasan tersebut adalah:
2.5.1 Navigasi
Pasal 58 ayat (1) UNCLOS menyebutkan bahwa dalam Zona Ekonomi
Eksklusif semua negara dapat mendapatkan kebebasan navigasi sebagaimana
disebutkan dalam pasal 87 UNCLOS. Kebebasan bernavigasi adalah
kebebasan yang paling mendasar di hukum laut.
38
Kebebasan ini memiliki
beberapa batasan-batasan yang harus diperhatikan oleh negara-negara terkait.
Pertama, kebebasan ini harus memperhatikan batasan umum yang mengatur
semua kebebasan di laut bebas yang terdapat pada pasal 87 ayat (2) UNCLOS
– yaitu, bahwa semua kebebasan harus dijalankan dengan memperhatikan
kepentingan dari negara lain dalam pelaksanaan kebebasan dalam laut bebas
mereka. Ketidakpastian timbul karena adanya referensi yang cenderung
ambigu di Pasal 58 ayat (1) ke Pasal 87, yang terletak di Bagian VII UNCLOS
dan mengatur mengenai laut bebas (high seas).39 Kedua, berdasarkan Pasal 58
ayat (2), kebebasan bernavigasi di Zona Ekonomi Eksklusif juga termasuk ke
dalam pengaturan Pasal 88 sampai 115 dari UNCLOS dan pengaturan hukum
internasional lain yang relevan yang berkaitan dengan navigasi di laut bebas
(high seas).40
Ada dua batasan lain dalam kebebasan bernavigasi di Zona Ekonomi
Eksklusif yang secara eksplisit tidak disebutkan dalam konvensi namun secara
37 George V. Galdorisi dan Alan Kaufman, Military Activities in the Exclusive Economi
Zone: Preventing Uncertainty and Defusing Conflict, California Western International Law Journal 32
(2001-2002): 253 – 301, Hal. 272.
38 Jon M. Van Dyke, “The Disappearing Right to Navigational Freedom in the Exclusive
Economic Zone,” Marine Policy, 29 (2005): 107 – 121, 107.
39 R.R. Churchill dan A.V. Lowe, op.cit., Hal. 170
40 F. Orrego Vicuna, The Exclusive Economic Zone, (Cambridge: Cambridge University
Press, 1989), Hal. 99.
13
implisit disebutkan dalam pengaturan di dalam konvensi tersebut. 41 Pertama,
kapal asing atau dalam hal ini pelayaran asing merupakan subjek dari
yurisdiksi atau kekuasaan negara pantai dalam hal pengontrolan polusi.
Kedua, kapal asing dapat dipengaruhi dengan adanya kehadiran pulau buatan
dan instalasi buatan walaupun pembangunan seperti itu tidak ditempatkan di
jalur laut yang digunakan untuk pelayaran internasional.42
Dalam istilah dan pengertian umum dalam UNCLOS sebagaimana
yang telah ditekankan sebelumnya bahwa UNCLOS telah membuat
pengaturan yang cukup memadai untuk memastikan kebebasan navigasi tanpa
hambatan dari pelayaran asing yang melewati Zona Ekonomi Eksklusif
dengan memperhatikan batasan-batasan yang telah disebutkan sebelumnya.43
Namun ternyata, kebebasan bernavigasi ini tidah hanya terbatas oleh batasanbatasan yang disebutkan di atas, namun juga karena peraturan-peraturan
nasional yang diberlakukan oleh beberapa negara (yang hampir semuanya
adalah pihak dalam UNCLOS) tidak sesuai dengan pengaturan kebebasan
bernavigasi dalam Zona Ekonomi Eksklusif yang diatur dalam UNCLOS.
Contohnya adalah peraturan (accord) negara Maladewa44 dan Portugal45 yang
mengatur mengenai pelayaran asing di Zona Ekonomi Eksklusif yang tidak
menerapkan kebebasan bernavigasi, namun justru menerapkan innocent
passage. Di lain pihak, kemungkinan intervensi yang tidak dapat dibenarkan
yang berkaitan dengan navigasi dapat menjadi hasil dari peraturan dari negara
Guyana46, India47, Mauritius48, Pakistan49 dan Seychelles50. Negara-negara
yang disebutkan dapat meng-klaim dan menerapkan kompetensi atau
yurisdiksi mereka untuk menunjuk atau menetapkan daerah-daerah Zona
Ekonomi Eksklusif tertentu dari negara pantai untuk eksploitasi sumber daya
alam: yang daerah-daerah tersebut berlaku “entry into and passage through
41 R.R. Churchill dan A.V. Lowe, op.cit., Hal. 171.
42 F. Orrego Vicuna, op.cit., Hal. 100.
43 R.W. Smith, Exclusive Economic Zone Claims: An Analysis and Primary Documents,
(Dordrecht: Nijhoff, 1986), Hal. 219
44 Law No. 32/1976 of 5 December 1976, s.1. UN Leg. Ser. B/19, Hal. 134
45 Act No. 33/1977 of 28 May 1977, art. 3 UN Leg. Ser. B/19, Hal. 93
46 Maritime Zones Act, 1977, s.18, UN. Leg. Ser. B/19, Hal. 33
47 Territorial Waters, Continental Shelf, Exclusive Economic Zone and Other Maritime
Zones Act, 1976, s. 7(6)., UN Leg. Ser. B/19, Hal. 47.
48 Maritime Zones Act, 1977, s.9 ND VII, Hal. 414
49 Territorial Waters and Maritime Zones Act, 1976, s. 6(4). UN Leg. Ser. B/19, Hal. 85
50 Maritime Zones Act, 1977, s.9, UN Leg. Ser. B/19, Hal. 102.
14
the designated area of foreign ships by the establishment of fairways,
sealanes, traffic separation schemes or any other mode of ensuring freedom of
navigation which is not prejudicial to the interest”, atau dengan kata lain,
negara-negara pantai tersebut menyediakan semacam hak lintas ke Zona
Ekonomi Eksklusif-nya yang dipergunakan untuk eksploitasi sumber daya
alam dan memastikan adanya “kebebasan bernavigasi” selama tidak
merugikan kepentingan negara pantai tersebut.51 Lebih jauh lagi, ke-lima
negara tersebut meng-klaim dapat memperpanjang semua yurisdiksi hukum
negara mereka sendiri ke daerah Zona Ekonomi Eksklusif-nya dan mengatur
mengenai pengambilan tindakan terhadap setiap orang di Zona Ekonomi
Eksklusif.52 Negara lain, seperti Nigeria, terdapat peraturan yang memastikan
adanya perlindungan terhadap segala instalasi di area-area yang sudah
ditunjuk (designated areas) di Zona Ekonomi Ekslusif-nya dan pemerintah
Nigeria yang berwenang dapat melarang kapal asing untuk masuk ke daerah
tersebut tanpa konsen atau persetujuan dari pihak pemerintah.53
Banyak negara lain yang memberikan batasan-batasan tambahan
melalui peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan batasan-batasan
yang juga berbeda-beda dan perlu untuk diperhatikan oleh kapal-kapal asing
yang ingin melewati Zona Ekonomi Eksklusif negara-negara tersebut. Klaimklaim melalui peraturan perundang-undangan ini memberikan kemasygulan
bahwa harapan dibentuknya UNCLOS, yaitu adanya pembatasan yang jelas
terhadap hak-hak negara pantai dan menghentikan “creeping jurisdiction”
atau yurisdiksi yang terus bertambah, menjadi rusak dan tidak tercapai.54
2.5.2 Overflight (Lintas yang dilewati oleh Pesawat Terbang)
Pasal 58 mengatur bahwa semua negara dapat menikmati kebebasan
melintas di Zona Ekonomi Eksklusif bagi pesawat terbang dan juga kegunaankegunaan lain yang diperbolehkan menurut hukum internasional (other
internationally lawful uses of the sea) terkait kebebasan overflight ini yang
diperbolehkan oleh pengaturan di UNCLOS. Kebebasan untuk overflight di
Zona Ekonomi Eksklusif seperti layaknya kebebasan bernavigasi, terikat pada
dua batasan, yaitu pertama, memperhatikan kepentingan negara-negara lain,
51 R.R. Churchill dan A.V. Lowe, op.cit, Hal. 172
52 Loc.Cit.
53 Exclusive Economic Zone Decree, 1978, s.3(2). ND VII, Hal. 474
54 R.R. Churchill dan A.V. Lowe, op.cit., Hal. 173
15
dan kedua, memperhatikan pengaturan pasal 88 sampai 115 (walaupun
beberapa pasal-pasal di dalamnya tidak mengaplikasikan pengaturannya
terhadap pesawat terbang).55
Sebagai tambahan, terdapat pembatasan-pembatasan selanjutnya yang
secara implisit disebutkan dalam kebebasan overflight di Zona Ekonomi
Eksklusif. Pertama, hak yang dimiliki oleh negara pantai untuk membangun
pulau buatan atau instalasi yang akan mempengaruhi dalam hal jika pesawat
terbang tersebut terbang rendah di daerah tersebut. Kedua, pesawat terbang
merupakan subjek dalam pengaturan dalam hal pembuangan sampah atau
limbah yang merupakan yurisdiksi negara pantai.56
Hal yang menurut penulis penting terkait kebebasan overflight ini adalah
adanya ketidakpastian terkait aturan yang berlaku bagi pesawat terbang di
Zona Ekonomi Eksklusif. Menurut pasal 12 Convention on International Civil
Aviation 1944, Pesawat terbang yang terbang di laut bebas (high seas) harus
mengikuti aturan yang berlaku di udara yang dibuat oleh International Civil
Aviation Organisation (ICAO). Jika pesawat terbang terbang di atas wilayah
negara lain atau laut teritorial, maka pesawat terbang harus mengikuti aturan
yang dibuat oleh negara tersebut.57 Dalam konteks ini, muncul pertanyaan
apakah Zona Ekonomi Eksklusif dianggap sebagai laut bebas (high seas) atau
laut teritorial? UNCLOS tidak memberikan jawaban yang jelas dan langsung,
namun akan menjadi lebih berasalan dan teapat untuk berargumen bahwa
pasal 12 Convention on International Civil Aviation 1944 merupakan satu dari
“pertinent rules of international law” yang terdapat di dalam pasal 58 ayat (2)
UNCLOS, yang sebagaimana kita tahu berlaku bagi Zona Ekonomi
Eksklusif.58 Lebih jauh lagi, pasal 39 ayat (3) dan pasal 54 UNCLOS mengatur
bahwa pesawat terbang diberlakukan transit passage di atas selat atau
archipelagic sea-lanes passage di atas perairan kepulauan, i.e., begitupun
dengan Zona Ekonomi Eksklusif yang harus memperhatikan peraturan ICAO:
maka peraturan ICAO juga harus berlaku bagi Zona Ekonomi Eksklusif.
55 Loc.Cit
56 Loc.Cit
57 Loc.Cit
58 R.W. Smith, Op.Cit., Hal. 186
16
Simpulan yang sama juga diperoleh melalui studi dan riset dari sekretariat
ICAO.59
2.5.3 Peletakan Kabel dan Pipa Bawah Air
Kebebasan yang terakhir adalah semua negara memiliki kebebasan untuk
meletakan kabel dan pipa bawah air di Zona Ekonomi Eksklusif juga
kegunaan-kegunaan lain yang diperbolehkan menurut hukum internasional
(other internationally lawful uses of the sea) terkait dengan kebebasan
mengenai peletakan kabel dan pipa bawah air berdasarkan pengaturan yang
berada di UNCLOS. Sebagaimana dua kebebasan yang sebelumnya, tentunya
kebebasan ini juga memiliki batasan yang secara eksplisit disebutkan dalam
UNCLOS,
yaitu:
pertama,
mempertimbangkan
dan
memperhatikan
kepentingan negara lain, dan kedua, memperhatikan pasal 88-115 UNCLOS,
lebih spesifiknya pada pasal 112-115 yang membahas permasalahan jika pipa
atau kabel tersebut rusak.60 Ada batasan lain terkait kebebasan ini yang
terkandung pada pasal 79 UNCLOS. Walaupun pasal ini membahas mengenai
continental shelf, namun pengaturan ini juga dapat berlaku bagi Zona
Ekonomi Eksklusif karena dasar laut dari Zona Ekonomi Eksklusif terdiri dari
continental shelf (landas kontinen). Pasal 79 ayat (3) UNCLOS membahas
mengenai bagan atau gambaran haluan pipa bawah air (tapi kabel tidak
termasuk) membutuhkan konsen atau persetujuan dari negara pantai. 61 Lalu,
pasal 79 ayat (4) UNCLOS memberikan wewenang terhadap negara pantai
untuk menetapkan kondisi atau persyaratan yang memasuki laut teritorialnya
dan menegakkan yurisdiksinya atas kabel dan pipa yang dibangun atau
digunakan dan memiliki hubungan dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
yang dilakukan negara pantai atau pembuatan dan pengoperasian pulau buatan
dan instalasi di bawah yurisdiksi negara pantai.62
59 The United Nations Convention on the Law of the Sea – Implications, if any, for the
Application of the Chicago Convention, its annexes and other International Air Law Instruments, Doc.
No. LC/26 – WP/5-1 of 4 February 1987, para. 11.12. Reproduced in 3 International Organisations
and the Law of the Sea Documentary Yearbook 243 (1987)
60 R.R. Churchill dan A.V. Lowe, op.cit., Hal. 174
61 Loc.Cit
62 Pasal 79 ayat (4) UNCLOS
17
Setelah dijelaskan secara lengkap hak-hak yang dimiliki negara-negara lain
dalam Zona Ekonomi Eksklusif, kita dapat melihat bahwa hak-hak yang diberikan
kepada negara-negara tersebut tidak memiliki kebebasan se-luas kebebasankebebasan atau hak-hak negara lain pada saat di laut bebas atau high seas. Selain itu
pula, terdapat kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara-negara lain di Zona
Ekonomi Eksklusif. Hal tersebut terdapat pada Pasal 58 ayat (3) UNCLOS, yang
berbunyi:
3. In exercising their rights and performing their duties under this Convention in the
exclusive economic zone, States shall have due regard to the rights and duties of the
coastal State and shall comply with the laws and regulations adopted by the coastal
State in accordance with the provisions of this Convention and other rules of
international law in so far as they are not incompatible with this Part.
Dari pasal ini, kita dapat melihat bahwa terdapat dua kewajiban yang harus
diperhatikan oleh negara-negara lain di Zona Ekonomi Eksklusif, yaitu: pertama,
dalam melaksanakan hak-haknya, negara-negara lain harus memperhatikan hak dan
kewajiban dari negara pantai di Zona Ekonomi Eksklusif. Mereka tidak harus
memperhatikan kepentingan dari negara pantai, namun hanya terhadap hak dan
kewajiban yang terbatas pada hak sumber daya alam dan kegiatan ekonomi lainnya
dari negara pantai. Lebih jauh lagi, tidak ada kepentingan dari negara-negara lain
untuk memperhatikan kepentingan keamanan dari negara pantai di Zona Ekonomi
Eksklusif.63 Kedua, negara-negara lain harus memenuhi hukum dan peraturan yang
diadopsi oleh negara pantai, namun hanya hukum yang sesuai dengan konvensi dan
hukum internasional lainnya selama mereka tidak bertentangan dengan UNCLOS
yang mengatur mengenai Zona Ekonomi Eksklusif. Karena itu, jika negara pantai
mengadopsi hukum dan peraturan pada hal-hal yang tidak di bawah yurisdiksi
UNCLOS, maka tidak ada kewajiban negara lain untuk mematuhi peraturan-peraturan
atau hukum-hukum seperti itu.64
63 Robert Beckman dan Tara Davenport, Op.Cit., Hal.11
64 Loc.Cit.
18
2.6 Hubungan antara Hak Negara Pantai dan Hak Negara Lain
Jika dilihat, kaitan antara hal-hal yang telah disebutkan di atas mengenai hakhak yang secara tegas berhubungan dengan negara pantai dan negara lain melahirkan
potensi konflik yang cukup besar antara kelompok hak-hak tersebut.65 Peraturan
terkait konflik yang seperti itu secara tegas diatur dalam UNCLOS. Dengan demikian,
sebagai contoh, pengaturan yang terdapat pada pasal 60 UNCLOS dibuat untuk
menghindari konflik antara hak negara pantai untuk membangun pulau atau instalasi
buatan dan hak pelayaran asing. Tidak berbeda dengan kewenangan negara pantai
terkait pengontrolan polusi yang secara hati-hati dibilang pada Part XII yang
bertujuan untuk meminimalisasi gangguan dengan pelayaran asing.66 Namun dalam
beberapa kasus, UNCLOS tidak berisikan aturan spesifik dalam menghindari konflik
penggunaan (conflicts of use). Sebagai contoh, menjadi suatu ketidakjelasan mengenai
jangkauan apa dan untuk apa suatu negara dapat, sebagai salah satu bagian dari
kedaulatannya, dalam mengeksploitasi dan melakukan manajemen sumber daya alam,
membuat aturan mengenai pelayaran asing untuk meminimalisasi konflik dalam hal
pengambilan ikan (fishing) di Zona Ekonomi Eksklusif, e.g. dengan mengharuskan
kapal-kapal untuk menghindari daerah dimana negara pantai mendirikan jalan atau
tempat berterlur atau tempat pengembangbiakkan ikan.67 Di kasus-kasus seperti ini,
satu-satunya pedoman yang digunakan yang berasal dari konvensi adalah kewajiban
bersama dari negara pantai dan negara lain untuk memperhatikan (due regard) hakhak yang dimiliki satu sama lain. Di beberapa kasus, perjanjian iinternasional atau
konvensi lainnya akan membantu untuk membuat peraturan yang mengatur mengenai
konflik-konflik, seperti contoh the 1972 Convention on the International Regulations
Preventing Collisions at Sea yang mengatur mengenai hubungan antara kapal-kapal
yang sedang mengambil ikan dengan kapal-kapal lainnya.68
65 Bernard Oxman, “The Territorial Temptation: A Siren Song at Sea,” American Journal of
International Law 100 (October 2006): 830 – 851, 839.
66 Loc.Cit.
67 H.B. Robertson, Navigation in the Exclusive Economic Zone, 24 Virgina Journal of
International Law (1984): 865-915, Hal. 880
68 W.T. Burke, Exclusive Fisheries Zones and Freedom of Navigation, 20 San Diego Law
Review (1983): 595-623, Hal. 601
19
2.7 Hak Negara yang Terkurung oleh Daratan (Land-locked States)
Negara yang terkurung oleh daratan (land-locked states), sebagaimana
diekspresikan dalam Pasal 69 UNCLOS, memiliki hak untuk berpartisipasi secara adil
dalam hal eksploitasi pada bagian yang tepat dari surplus sumber daya alam yang
dimiliki oleh Zona Ekonomi Eksklusif negara pantai yang berada di sub-bagian atau
bagian yang sama,69 dengan mempertimbangkan bagian yang relevan dan sesuai
dengan sektor dan keadaan ekonomi serta geografis dari negara-negara dan harus
memperhatikan peraturan di pasal ini dan pasal 61 serta 62 UNCLOS. 70 Hal-hal yang
berhubungan dengan partisipasi semacam ini harus diciptakan oleh negara tersebut
melalui perjanjian bilateral, sub-regional atau regional dengan mempertimbangkan
urgensi untuk menghindari efek yang merugikan terhadap komunitas nelayan atau
industri perikanan dari negara pantai; sejauh mana negara land-locked dapat berbuat,
adalah berpartisipasi atau berhak untuk berpartisipasi berdasarkan perjanjian bilateral,
sub-regional atau regional dalam hal eksploitasi sumber daya alam dalam Zona
Ekonomi Eksklusif dari negara pantai.71
Perjanjian-perjanjian ini harus memperhatikan sejauh apa negara land-locked
dan geographically disadvantaged States (negara yang memiliki kerugian secara
geografis) berpartisipasi dalam eksploitasi sumber daya alam di Zona Ekonomi
Eksklusif dari negara pantai dan akibat yang harus dihindari yang terlahir dari bebanbeban tertentu untuk negara pantai atau bagian dari negara pantai. 72 Kebutuhan gizi
dari penduduk dari negara-negara yang bersangkutan pun juga harus diperhatikan.
Saat kapasitas pemungutan dari negara pantai mencapai titik yang memungkinkan
untuk memungut seluruh tangkapan yang memungkinkan di Zona Ekonomi Eksklusif,
negara pantai dan negara lain harus bekerja sama untuk menciptakan pengaturan yang
adil dengan dasar perjanjian bilateral, sub-regional dan regional, dengan tujuan
adanya partisipasi negara land-locked berkembang yang berada di sub-regional atau
regional yang berhubungan dengan eksploitasi sumber daya alam dari zona ekonomi
69 James E. Bailey, “The Exclusive Economic Zone: Its Development and Future in
International and Domestic Law”, Lousiana Law Review, Vol. 45, No. 6, Juli 1985, Hal. 1278
70 Pasal 69 ayat (1) UNCLOS.
71 J. Cesar Lupinacci, The Legal Status of the Exclusive Economic Zone in the 1982
Convention on the Law of the Sea, (Orrego, cit. Note 4, 1983), Hal. 94
72 Dorina Patuzi, “The Concept of the Economi Exclusive Zone”, Academic Journal of
Business, Administration, Law and Social Sciences, IIPCCL Publishing, Tirana-Albania, Vol.1 No.1,
Maret 2015, Hal. 152.
20
eksklusif dari negara pantai, yang sesuai dengan kondisi dan kepuasan dari semua
pihak.73
Untuk mengimplementasikan peraturan ini, negara land-locked yang sudah
maju berhak untuk berpartisipasi dalam eksploitasi sumber daya alam di Zona
Ekonomi Eksklusif dari negara pantai yang maju lainnya yang berada di sub-region
atau region yang sama dengan memperhatikan sejauh dalam hal negara pantai tersebut
memberikan akses kepada negara lain dalam hal sumber daya alam dalam Zona
Ekonomi Eksklusifnya, dengan memperhitungkan kebutuhan untuk meminimalisasi
efek yang merugikan yang akan dirasakan oleh komunitas perikanan dan perubahan
ekonomi di negara yang secara kebiasaan menangkap ikan di daerah tersebut.74
2.8 Hak Negara yang Memiliki Kerugian secara Geografis (Geographically
Disadvantaged States)
”Geographically Disadvantaged States” atau Negara yang memiliki kerugian
secara geografis adalah negara pantai, termasuk negara yang berbatasan dengan laut
tertutup atau semi-tertutup yang secara geografis membuat mereka bergantung dengan
eksploitasi sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif dari negara-negara lain
yang berada di sub-region atau region yang sama yang persediaan ikan untuk tujuan
gizi dari populasi mereka memadai.75 Geographically Disadvantaged States yang
diatur pada pasal 70 UNCLOS, memiliki hak untuk berpartisipasi, secara adil, dalam
hal eksploitasi dengan bagian yang sesuai (appropiate part) dari surplus sumber daya
alam di Zona Ekonomi Eksklusif dari negara pantai yang berada di sub-region atau
region yang sama, dengan memperhitungkan kondisi ekonomi dan geografis yang
relevan atau sesuai dari negara yang bersangkutan dan sesuai dengan pengaturan pada
pasal ini dan pasal-pasal lain di UNCLOS.76 Dalam hal partisipasi sebagaimana
73 L. Juda, “The Exclusive Economic Zone: Compatibility of National Claims and the UN
Convention of the Law of the Sea”, Ocean Development and International Law Journal, Vol. 16, Hal.
38
74 Dorina Patuzi, Op.Cit., Hal. 152
75 Ibid, Hal. 173
76 S. Jayakumar, “The Issue of Rights of Landlocked and Geographically Disadvantaged
States in the Living Resources of the Economic Zone”, Virginia Journal of International Law, Vol. 18,
1977
21
disebutkan sebelumnya, harus diciptakan oleh negara-negara melalui perjanjian
bilateral, sub-regional atau regional yang memperhitungkan hal-hal sebagai berikut:77
a) kebutuhan untuk menghindari adanya efek yang merugikan yang diderita oleh
komunitas perikanan atau industri perikanan dari negara pantai;
b) sejauh apa Geographically Disadvantaged States ini, sesuai dengan
pengaturan yang ada di dalam pasal ini, berpartisipasi atau berhak untuk
berpartisipasi di bahwa perjanjian bilateral, sub-regional atau regional dalam
eksploitasi sumber daya alam di zona ekonomi eksklusif negara pantai;
c) sejauh apa Geographically Disadvantaged States dan land-locked states
berpartisipasi dalam eksploitasi sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif
dari negara pantai dan akibat yang harus dihindari dari beban tertentu dari satu
negara pantai atau bagian dari negara tersebut; dan
d) kebutuhan gizi dari populasi dari negara-negara yang bersangkutan.
2.9 Hak-hak lain di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)/ The Attribution of Other
Rights in the Exclusive Economic Zone (EEZ)
Konvensi Hukum Laut atau UNCLOS, dalam menghubungkan hak-hak yang
ada di Zona Ekonomi Eksklsusif ke negara pantai dan negara lain, telah mencakup
sebagian besar dari kegunaan yang cukup jelas di Zona Ekonomi Eksklusif. Namun,
terdapat beberapa kegunaan Zona Ekonomi Eksklusif yang tidak termasuk ke hak-hak
yang ada di negara pantai ataupun negara lainnya. Kegunaan yang dimaksud tesebut
adalah senagai berikut:78
a) penempatan alat pendengaran bawah air untuk kapal selam;
b) pemulihan dari rongsokan bersejarah di luar zona tambahan/ contiguous zone;
dan
c) yurisdiksi atas pelampung yang digunakan untuk riset ilmiah.
Dalam hal ini, di posisi manakah kegunaan-kegunaan yang diatas ini? Negara mana
yang mempunyai kompetensi untuk menikmati dan membuat aturan terhadap
kegunaan-kegunaan tersebut? UNCLOS tidak memberika jawaban yang pasti, namun
77 Dorina Patuzi, Op.Cit., Hal. 154
78 Namun, hal yang harus diperhatikan adalah pada tiga negara, yaitu Cape Verde, Jamaika
dan Maroko, dibutuhkan otorisasi lanjutan untuk eksplorasi arkelogi dimanapun di daerah Zona
Ekonomi Eksklusif Mereka. Lihat Law No. 60/IV/92 Pasal 28, Exclusive Economic Zone Act 1991, s.
7(1), 21 LOSB 20 (1992) dan Decree No. 1-81-179 of 8 April 1981, Pasal 5.
22
pada Pasal 59 diatur mengenai “formula” umum yang dapat digunakan terhadap
kegunaan-kegunaan ini (attributing righs). Bunyi dari pasal 59 adalah:
Article 59
Basis for the resolution of conflicts regarding the attribution of rights and
jurisdiction in the exclusive economic zone
In cases where this Convention does not attribute rights or jurisdiction to the coastal
State or to other States within the exclusive economic zone, and a conflict arises
between the interests of the coastal State and any other State or States, the conflict
should be resolved on the basis of equity and in the light of all the relevant
circumstances, taking into account the respective importance of the interests involved
to the parties as well as to the international community as a whole.
Pasal 59 kemudian membuat jelas, bahwa dalam kasus unattributed rights,
tidak ada kecenderungan atau keberpihakan ke negara pantai ataupun negara lain:
setiap kasus harus ditentukan berbeda berdasarkan materil yang dijelaskan di pasal 59
UNCLOS.79 Pada dasarnya, hal ini berarti bahwa harus terdapat usaha penyelesaian
dengan cara mencari konsensus di antara para pihak: jika cara ini tidak berhasil, maka
sengketa harus mengacu pada salah satu badan yudisial yang disebutkan pada pasal
287 UNCLOS, kecuali sengketa tersebut berkaitan
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam sejarah, laut terbukti telah mempunyai berbagai fungsi strategis, antara
lain sebagai sumber makanan bagi manusia, sebagai jalan raya perdagangan, sebagai
sarana untuk penaklukan hingga sebagai tempat pertempuran.1 Fungsi – fungsi laut
tersebut seharusnya sangat dirasakan oleh Indonesia. Indonesia adalah sebuah negara
yang diperhitungkan oleh negara-negara dunia. Hal ini disebabkan karena laut
Indonesia menyimpan potensi kekayaan yang sangat besar selain dari sumber daya
alamnya yang juga begitu besar.2 Semakin disadari laut merupakan wilayah potensial
dalam menunjang hidup dan kehidupan bangsa maupun masyarakat dunia. Sehingga
tidak menutup terjadi berbagai konflik atau permasalahan dan pelanggaran atas
wilayah tersebut.3
Zona Ekonomi Eksklusif diartikan sebagai suatu daerah di luar teritorial yang
lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari gatis pangkal yang digunakan untuk
mengukur lebar laut teritorial.4 Berlakunya konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
merupakan pranata hukum laut internasional yang masih baru. Di dalam Kon- ferensi
Hukum Laut yang diprakarasai oleh PBB yang diselenggarakan mulai Tahun 1973
sampai dengan 1982 Zona Eksklusif ini dibahas secara mendalam dan intensif sebagai
salah satu agenda acara konferensi dan disepakati serta dituangkan di dalam Bab V
Pasal 55-75 Konvensi Hukum Laut Internasional 1982.5 Barbara Kiwatowska dalam
bukunya The 200 Mile Exclusive Economic Zone in the Law of the Sea menjelaskan
bahwa6:
“The Economic Exclusive Zone is an area beyond and adjecent to the
territorial sea that extends up to 200 miles from the territorial sea baselines,
in which the coastal states has sovereign rights with regard to all natural
1 Hasjim Djalal. Perjuangan Indonesia di Bidang hukum Laut. Badan Pembinaan Hukum
Nasional. Penerbit Binacipta. Bandung, 1978, hlm 1.
2 P. Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm. 3.
3 Aditya Taufan Nugraha. Perlindungan Hukum Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Terhadap
Eksistensi Indonesia Sebagai Negara Maritim. Jurnal Selat, Oktober 2014, Vol. 2 No. 1.
4 Melda Kamil Ariadno, “Pemanfaatan Sumber Daya Ikan ZEEI”. Koran Kompas.
5 Setiadi, Ignatius Yogi Widianto. Upaya Negara Indonesia Dalam Menangani Masalah Illegal
Fishing Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Atmajaya
Jogjakarta. 2014.
6 Barbara Kwiatokowska. The 200 Mile Exclusive Economic Zone in the Law of the Sea.
Martinus Nijhoff Publishers. Dordrecht. 1989.
1
resources and other activities for economic exploitation and exploration, as
well as jurisdiction with regard to artificial islands, scientific research and
the marine environment protection, and other rights and duties provided for
the law of the sea convention. All states enjoy in the EEZ navigational and
other comunications freedoms, and the land-locked and other”
Dibandingkan dengan negara-negara ASAN lainnya luas ZEE Indonesia
menduduki peringkat pertama, artinya Indonesia memiliki ZEE yang paling luas
yakni seluas 1.577.300 mil persegi. Tidak saja dibandingkan dengan negara- negara
asia lainnya luas ZEE Indonesia pun masih tetap menduduki peringkat pertama. ZEE
Indonesia yang terluas di asia tenggara itu ternyata menyimpan berbagai kekayaan
hayati yang bernilai ekonomis tinggi. Salah satunya adalah populasi berbagai jenis
ikan tuna yang memberikan optimism bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan
industry perikanannya secara spektakuler di masa mendatang.7
Pada wilayah laut Indonesia yang berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif
merupakan wilayah laut yang mempunyai potensi kekayaan yang terbesar bagi
Indonesia. berdasarkan hal tersebut, pentingnya potensi-pontensi sumber kekayaan di
laut pemerintah telah mengeluarkan berbagai jenis produk hukum dalam mengatur,
melindungi serta melakukan penegakan hukum di wilayah perairan indonesia
khususnya di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Pemerintah telah
mengeluarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI serta8
Sebagai negara pantai tentunya Indonesia berkepentingan untuk melakukan
perlindungan terhadap wilayah perairannya, terutama dari gangguan keamanan dan
juga terhadap pencurian kekayaan alam di laut. Letak posisi silang Indonesia yang
strategis mengakibatkan seringnya gangguan itu terjadi. Lahirnya Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI) tahun 1983 melalui Undang-Undang No. 5 semakin
mendapatkan pengukuhan Internasional dalam menjaga keutuhan teoritial negara
kepulauan. Adanya Yuridiksi eksekusif yang dimiliki oleh negara pantai sebagaimana diatur dalam konvensi hukum laut tahun 1982 semakin memantapkan
kedaulatan perairan Indonesia. Dengan semakin banyaknya Indonesia meratifikasi
konvensi Internasional dibidang kelautan, maka diharap- kan perwujudan kepedulian
terhadap perlindungan penegakkan hukum di wilayah ZEEI bisa terwujud.9
7 Rivai Rihaloho. Penetapan Garis Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan India Dalam
Penegakan Kedaulatan Teritorial Ditinjau Dari Hukum Internasional
8 Ibid.
9 Aditya Taufan Nugraha. Perlindungan Hukum Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Terhadap
Eksistensi Indonesia Sebagai Negara Maritim. Op Cit. hlm 162.
2
1.2 Definisi
Dalam Konvensi hukum laut 1982, zona ekonomi eksklusif diatur dalam
bagian kelima, dimana ZEE didefinisikan sebagai suatu daerah di luar dan
berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rezim hukum khusus yang
ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak- hak dan yurisdiksi Negara pantai
dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan
yang relevan Konvensi ini.10 Sedangkan dalam peraturan nasional Indoneisa dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 Tengtang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia didefinisikan sebagai jalur di luar dan berbatasan
dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang
yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya
dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis
pangkal laut wilayah Indonesia.11
1.3 Perkembangan Zona Ekonomi Eksklusif
Awal mula pemikiran yang mendasari munculnya ZEE oleh Negara pantai
berawal pada tahun 1945 untuk menegaskan hak dan yurisdiksi atas wilayah
meningkatnya dasar laut didorong oleh keyakinan bahwa kelimpahan sumber daya
alam di bawahnya. Pada dasarnya dikembangkan bersama-sama dengan klaim landas
kontinen dengan banyak Latin Amerika Serikat dan Negara Afrika membuat klaim ke
laut teritorial yang luas dan zona perikanan, dengan mantan panggilan untuk "laut
patrimonial" hingga 200 nm.12 Upaya untuk menggabungkan klaim ke kolom air dan
klaim ke dasar laut menjadi "konsep zona salah satu sumber daya" yang tak
terelakkan, dan pada tahun 1971, Kenya mengedepankan konsep ZEE kepada Komite
Asia-Afrika Hukum Permusyawaratan dan Komite Sea-B PBB di 1.972,8 konsep baru
dari ZEE sebagian besar didukung oleh sebagian besar negara berkembang dan
10 Pasal 55 UNCLOS 1982
11 Undang –Undang No. 5 tahun 2983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif.
12 Winston Conrad Extavour. The Exclusive Economic Zone: A Study of Evolution and
Progressive Development of the International Law of the Sea. Institute Universitaire de Hautes Etudes
Internationales. Geneve: 1981.
3
menunjukkan keinginan Negara-negara tersebut memiliki kontrol lebih besar atas
sumber-sumber ekonomi mereka, terutama stok ikan, yang merasa telah berada di
bawah peningkatan eksploitasi armada yang jauh air dikembangkan.13
BAB II
13 P. Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta, Op Cit.
4
PEMBAHASAN
2.1 Zona Ekonomi Eksklusif
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, zona ekonomi eksklusif dapat
diperpanjang hingga 200 nm dari baseline, dimana negara pantai dapat menikmati
kedaulatan yang berkaitan dengan sumber daya alam dan jurisdiksi, negara ketiga
atau bukan negaara pantai dapat menikmati kebebasan navigasi, kebebasa lintas kapal
udara, dan penanaman kabel dan pipa di dasar laut yang akan dijelaskan lebih
mendalam pada bagian berikutnya.14 Konsep zona ekonomi eksklusif sendiri
berkembang sejak tahun 1945 untuk memperlebar jurusdiksi dari negara pantai.
Konsep zona ekonomi eksklusif pertama kali dikemukakan oleh Kenya kepada AsianAfrican Legal Consultative Committee pada bulan Januari 1971 dan UN Sea Bed
Committee pada tahun 1972. Gagasan yang dikemukakan Kenya tersebut ternyata
mendapat banyak dukungan dari negara-negara di Asia Afrika.15
Zona ekonomi eksklusif pada dasarnya merefleksikan aspirasi dari negaranegara berkembang untuk mengembangkan perekonomian dan juga memperbesar
kewenangan atas sumber daya alam yang ada di sekitar negara pantai, khususnya
sumber daya perikanan, dimana dalam banyak kasus sumber daya perikanan negara
pantai justru banyak dinikmati dan di eksploitasi oleh negara maju yang letaknya
sangat jauh. Di sisi lain, zona ekonomi eksklusif pada dasarnya juga merupakan
kompromi hasil negosiasi dengan negara-negara yang meng kleim 200-mile laut
teritorial (Beberapa negara Amerika Latin dan Afrika) dengan negara negara maju
(Jepang, Uni Soviet, Amerika) yang menolak perpanjangan jurisdiksi negara pantai.
Walaupun zone ekonomi eksklusif sudeh merupakan hasil kompromi antara negara
maju dan berkembang agar konsep ZEE dapat diterima, namun banyak negara landlocked yang tidak memiliki pantai lebih memilih untuk mereservasi ketentuan
mengenai ZEE dikarenakan konsep ZEE dapat mengurangi konsep laut bebas yang
dapat dinikmati oleh semua negara.16
14 D. O’Connell, “The International Laws of the Sea”, Vol. 1, 1982
15 Hasjim Djalal. Perjuangan Indonesia di Bidang hukum Laut. Badan Pembinaan Hukum
Nasional. Penerbit Binacipta. Bandung, 1978, hlm 12.
16 B. Buzan, Negotiating by Consensus: Developments in Technique at the Third United
Nations Conference on the Law of the Sea, American Journal of International Law, vol. 75, p. 324-348.
5
Dalam konvensi hukum laut 1982 tidak terdapat kewajiban dari setiap negara
untuk mengklaim zona ekonomi eksklusif mereka, namun pada prakteknya hampir
seluruh negara pantai menglklaim 200 miles zona konomi eksklusif, hanya ada
beberapa negara yang tidak dapat mengklaim 200 milez ZEE dikarenakan berbatasan
dengan negara lain.17
2.2 Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif
2.2.1 Batas Luar
Batas awal dari ZEE adalah batas terluar dari laut teritorial. 18 Batas akhir dari
ZEE tidak boleh melebihi 200 nm dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur
laut teritorial suatu negara.
19
Dalam konvensi hukum laut 1982 dikatakan bahwa
negara dapat meng klaim maksiman 200 nm zona ekonomi eksklusif, sehingga
memungkinkan apabila negara ingin mengkleim ZEE kurang dari 200nm. Dalam
beberapa wilayah negara tidak memiliki pilihan selain mengklaim ZEE kurang daro
200nm dikarenakan berbenturan dengan negara tetangga. Pada dasarnya tidak terdapat
alasan signifikan secara geografi ataupun sejarah mengapa jarak 200 nm yang
digunakan sebagai jarak maksimum dari ZEE. Pada awal konvensi hukum laut
dibentuk, ada beberapa negara Amerika Latin dan Afrika yang menglaim
perpanjangan jurisdiksi hukngga 200nm, untuk mengakomodasi hal tersebut dalam
proses negosiasi ditetapkanlah 200nm sebagai zona ekonomi eksklusif negara atas
sumber daya yang ada di dalamnya dan bukan merupakan jurisdiksi kedaulatan penuh
negara pantai.
2.2.2 Pulau
Pada prinsipnya, seluruh daerah darat dari negara pantai dapat dijadikan
pengukur ZEE. Namun terdapat tiga kualifikasi yang harus dipenuhi untuk suatu
pulau dapat memiiki ZEE. Pertama, walaupun pada dasarnya semua pulau dapat
memiliki ZEE, Pasal 121 (3) Konvensi hukum laut 1982 mengatur bahwa batu yang
tidak bisa menjadi habitat dan penunjang ekonomi manusia tidak dapat memiliki ZEE
17 Donald R Rothwell and Tim Stephens, The International Law of the Sea (Hart Publishing,
2010), Hal. 83
18 Pasal 55 UNCLOS 1982.
19 Pasal 57 UNCLOS 1982.
6
dan landas kontinen.20 Setelah tahun 1997 pasal 121 (3) Konvensi hukum laut yang
mengatur bahwa pulau yang bukan habitat manusia tidak dapat memiliki ZEE dapat
dikatakan sebagai customary international law. Kedua, Kualifikasi kedua yang tidak
memiliki ZEE adalah pulau atau daerah yang tidak memiliki kemerdekaan
sepenuhnya yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan daerah yang berada
dibawah kekuasaan kolonial. Resolusi III dari konvensi hukum laut 1982. Ketiga,
adalah antartika, dimana perlu dipahami bahwa Pasal IV dari Traktat Antartika 1959
menyatakan bahwa ZEE tidak ddapat diterapkan di wilayah yang termasuk dalam
konvensi ini.
2.3 Status Hukum Zona Ekonomi Eksklusif
Pada awal perkembangan konvensi hukum laut 1982, muncul berbagai
pertanyaan mengenai status hukum apa yang berlaku di ZEE. Banyak negara maritim
yang beranggapan seharusnya di ZEE berlaku rezim hukum yang sama dengan laut
bebas. Namun hal tersebut bertentangan dengan konvensi hukum laut yang
menyatakan bahwa Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan
berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus yang
ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak- hak dan yurisdiksi Negara pantai
dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan
yang relevan Konvensi ini.21 lebih lanjut terkait dengan laut bebas konvensi hukum
laut juga mengatakan bahwa Ketentuan Bab mengenai laut bebas berlaku bagi semua
bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, dalam laut
teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu Negara, atau dalam perairan kepulauan
suatu Negara kepulauan. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut jelas bahwa rezim
hukum yang ada di ZEE berbeda dengan rezim hukum yang berlaku di laut bebas.
ZEE perlu dianggap sebagai zona yang memiliki hukum sendiri yang terletak diantara
laut teritorial dan laut bebas. Terdapat tiga prinsip elemen dari status hukum ZEE,
yaitu (1) hak dan kewajiban yang diberikan oleh Konvensi hukum laut kepada negara
pantai, (2) hak dankewajiban yang diberikan oleh konvensi hukum laut kepada negara
selain negara pantai, (3) Konvensi hukum laut mengatur kegiatan yang tidak termasuk
kedalam kedua katagori tersebut.
20 Pasal 121 (3) UNCLOS 1982
21 Pasal 55 UNCLOS 1982.
7
2.4 Hak dan Kewajiban Negara Pantai
Pada dasarnya hak dan kewajiban dari negara pantai telah diatur dalam Pasal 56
Konvensi hukum laut 1982. Negara pantai mempunyai hak yang berkaitan dengan
sumber daya alam di ZEE, yang tertuang dalam enam katagori berikut:
2.4.1 Sumber Daya Alam non- Hayati.
Pertama, negara pantai mempunyai hak untuk melakukan eksplorasi dan
eksploitasi, Konservasi dan manejemen sumber daya alam non hayati di perairan yang
termasuk dalam zona ekonomi eksklusif negara pantai. Sedangkan sumber daya nonhayati yang ada didasar laut tunduk pada hukum yang terpisah yaitu continental shelf.
2.4.2 Sumber daya Hayati
Berkenaan dengan sumber daya hayati, Negara pantai memiliki hak berdaulat
untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya hayati, tetapi juga memiliki
kewajiban yang terkait dengan pengelolaan konservasi sumber kekayaan hayati di
ZEE nya22. Terkait dengan pemanfaatan sumber daya hayati di ZEE, konvensi hukum
laut membebankan kewajiban pada negara pantai untuk mempromosikan pemanfaatan
yang optimal dari sumber daya hayati.23 Hal ini juga membebankan kewajiban Negara
pantai untuk menentukan jenis tangkapan yang diperbolehkan dari sumber kekayaan
hayati di ZEE.24 dan kapasitas kemampuan sendiri untuk memanen sumber daya
hayati. Jika kemampuan tangkapan yang diperbolehkan melebihi kapasitas
kemampuan negara pantai sendiri, Negara pantai wajib memberikan akses negara
lain.25 Namun, Negara pantai diberikan kebebasan yang luas untuk memutuskan di
mana negara lain mendapatkan akses untuk memanfaatkan sumber daya hayati yang
22 Robert Beckmen dan Tara Davenport, The EEZ Regime: Reflections after 30 Years”. Papers
from the Law of the Sea Institute, UC Berkeley–Korea Institute of Ocean Science and Technology
Conference, held in Seoul, Korea, May 2012
23 Pasal 62 (1) UNCLOS 1982.
24 Pasal 62 (1) UNCLOS 1982
25 Pasal 62 (2) UNCLOS 1982
8
berlebih.26 Konvensi hukum laut 1982 mengatur bahwa dalam memberikan akses ke
ZEEnya yang surplus, Negara pantai harus memperhitungkan semua faktor yang
relevan. Salah satu dari beberapa faktor yang harus diperhitungkan adalah ke negara
yang warganegaranya telah memancing di sekitar ZEE27
Pasal 56 mengatur bahwa negara pantai memiliki hak berdaulat untuk
mengeksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan mengatur sumber daya hayati Negara
pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi,
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi
eksklusif mengambil tindakan, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan
melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya
peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi
ini.
2.4.3 Sumberdaya Ekonomi Lainnya
Pasal 56 Konvensi hukum laut memberikan hak berdaulat bagi negara pantai
terkait dengan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi di ZEE, seperti produksi energi
yang bersumber dari air laut, currents dan angin. Aturan ini memberikan hak baru
bagi negara pantai untuk mengembangkan teknologi terkait. Produksi energi
seringkali membutuhkan konstruksi dan instalasi, sehingga hal tersebut juga dapat
diakomodasi oleh ketentuan hukum.28
2.4.4 Konstruksi Pulau Buatan dan Instalasi
Di ZEE pada dasarnya tidak terdapat kedaulatan panuh negara pantai, namun
lebih merupakan kedaulatan terbatas pada pemanfaatan ekonominya. Pasal 56
Konvensi Hukum Laut, mengatur bahwa di zona ekonomi eksklusif, Negara pantai
26 Kebebasan Negara pantai untuk menentukan kapan negara lain memiliki kapasitas untuk
memanfaatkan sumber daya hayati dari ZEE negara pantai (Lihat Pasal 62 (2)). UNCLOS mengatur
bahwa dalam memberikan akses ke sumber daya untuk Negara lain, Negara pantai harus
memperhitungkan semua faktor-faktor yang relevan, termasuk diantaranya pentingnya sumber daya
hayati di daerah itu bagi perekonomian Negara pantai yang bersangkutan dan kepentingannya lainnya
nasional, ketentuan pasal 69 (negara yang tidak mempunyai laut) dan 70 (hak Negara geografis kurang
beruntung), persyaratan Negara-negara berkembang di sub regional atau regional di panen bagian dari
surplus dan kebutuhan untuk meminimalkan dislokasi ekonomi di Negara yang warganegaranya telah
menangkap ikan di zona atau yang telah melakukan upaya besar dalam penelitian dan identifikasi
saham: "Lihat Pasal 62 (3) UNCLOS.
27 R.R. Cuhurcill dan A.V. Lowe. Melland Schill. Studies in Internatiomal The Law of the Sea.
Juris Publishing Manchester University Press. Manchester : 1988.
28 Ibid, hlm. 163.
9
mempunyai hak eksklusif untuk membangun dan untuk menguasakan dan mengatur
pembangunan operasi dan penggunaan 29:
(a) pulau buatan;
(b) instalasi dan bangunan untuk keperluan sebagaimana ditentukan dalam pasal
56 dan tujuan ekonomi lainnya;
(c) instalasi dan bangunan yang dapat mengganggu pelaksanaan hak-hak Negara
pantai dalam zona tersebut.
Pembuatan pulau buatan di ZEE pada dasarnya tidak boleh melebihi 500 meter.
Pada dasarnya hak negara pantai untuk membentuk pulau buatan, instalasi dan
struktur juga diiringi dengan beberapa kewajiban. Pertama, negara pantai harus
memberikan Pemberitahuan sebagaimana mestinya harus diberikan mengenai
pembangunan pulau buatan, instalasi atau bangunan demikian dan sarana tetap guna
pemberitahuan adanya instalasi atau bangunan demikian harus dipelihara.30 Kedua,
setiap instalasi atau bangunan yang ditinggalkan atau tidak terpakai harus dibongkar
untuk menjamin keselamatan pelayaran, dengan memperhatikan setiap standar
internasional yang diterima secara umum yang ditetapkan dalam hal ini oleh
organisasi
internasional
yang
berwenang.
Pembongkaran
demikian
harus
memperhatikan dengan semestinya penangkapan ikan, perlindungan lingkungan laut,
dan hak-hak serta kewajiban Negara lain. Pengumuman yang tepat harus diberikan
mengenai kedalaman, posisi dan dimensi setiap instalasi atau bangunan yang tidak
dibongkar secara keseluruhan.
2.4.5 Riset Ilmiah Kelautan
Pasal 56 memberikan jurisdiksi bagi negara pantai untuk melakukan riset ilmiah
kelautan. Dimana negara pantai memiliki mengatur, memberikan izin dan
menyelenggarakan riset ilmiah kelautan di ZEE. 31 Negara-negara pantai dalam
keadaan biasa harus memberikan ijinnya terhadap proyek riset ilmiah kelautan yang
diselenggarakan oleh Negara-negara lain atau organisasi- organisasi internasional
yang kompeten dalam zona ekonomi eksklusif atau di landas kontinennya yang
diselenggarakan sesuai dengan Konvensi ini semata-mata untuk tujuan damai dan
dengan tujuan untuk menambah pengetahuan ilmiah tentang lingkungan laut demi
29 Pasal 56 UNCLOS 1982
30 Ibid,
31 R.R. Cuhurcill dan A.V. Lowe. Melland Schill. Studies in Internatiomal The Law of the Sea.
Op Cit.
10
kepentingan umat manusia. Untuk tujuan termaksud Negara-negara pantai harus
secepatnya menentukan ketentuan dan prosedur guna menjamin agar persetujuan
tersebut tidak akan diundurkan atau ditolak tanpa alasan yang cukup.32
Sekalipun demikian Negara-negara pantai berwenang untuk tidak memberikan
persetujuannya guna diselenggarakannya proyek riset oleh Negara lain atau organisasi
internasional yang kompeten dalam zona ekonomi eksklusif atau di landas kontinen
Negara pantai tersebut apabila proyek itu 33:
a) mempunyai arti langsung bagi eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam, baik
hayati maupun non hayati;
b) meliputi penyebaran dalam landas kontinen, penggunaan bahan peledak atau
pemasukan bahan-bahan berbahaya ke dalam lingkungan laut;
c) meliputi konstruksi, operasi atau penggunaan pulau-pulau buatan, instalasiinstalasi atau bangunan-bangunan sebagaimana tersebut pada pasal 60 dan 80;
d) mengandung informasi yang disampaikan menurut pasal 248 mengenai sifat dan
tujuan proyek yang tidak tepat atau apabila Negara yang menyelenggara-kan
riset atau organisasi internasional yang kompeten mempunyai kewjaibankewajiban yang belum dilaksanakan terhadap Negara pantai berdasarkan suatu
proyek riset terdahulu.
2.5 Hak dan Kewajiban Negara Lain di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
Hak dan Kewajiban dari negara lain di Zona Ekonomi Eksklusif diatur di pasal
58 UNCLOS, dimana pengaturan ini memiliki tujuan dalam hal komunikasi
internasional dan keterkaitannya terhadap empat kebebasan (four freedoms) di laut
bebas. Dari ke-empat kebebasan yang secara spesifik disebutkan di Konvensi Laut
Bebas tahun 1958, fishing atau menangkap ikan di dalam Zona Ekonomi Eksklusif
berada pada yurisdiksi negara pantai: sementara tiga kebebasan lainnya masih dapat
diaplikasikan oleh negara-negara lain, walaupun terdapat pembatasan lebih ketat
dibandingkan jika berada di Laut Bebas.34 Bunyi dari Pasal 58 UNCLOS adalah
sebagai berikut:
32 Pasal 246 ayat (3) UNCLOS 1982.
33 Pasal 246 ayat (5) UNCLOS 1982
34 R.R. Churchill dan A.V. Lowe, The Law of the Sea, (Manchester: Manchester University
Press, 1999), hal. 170.
11
Article 5835
Rights and duties of other States in the exclusive economic zone
1. In the exclusive economic zone, all States, whether coastal or land-locked, enjoy,
subject to the relevant provisions of this Convention, the freedoms referred to in
article 87 of navigation and overflight and of the laying of submarine cables and
pipelines, and other internationally lawful uses of the sea related to these freedoms,
such as those associated with the operation of ships, aircraft and submarine cables
and pipelines, and compatible with the other provisions of this Convention.
2. Articles 88 to 115 and other pertinent rules of international law apply to the
exclusive economic zone in so far as they are not incompatible with this Part.
3. In exercising their rights and performing their duties under this Convention in the
exclusive economic zone, States shall have due regard to the rights and duties of the
coastal State and shall comply with the laws and regulations adopted by the coastal
State in accordance with the provisions of this Convention and other rules of
international law in so far as they are not incompatible with this Part.
Dari pasal yang disebutkan di atas, pada ayat (1) telah disebutkan bahwa hak
dan kewajiban dari negara lain di Zona Ekonomi Eksklusif berkaitan dengan tiga
kebebasan yang disebutkan di pasal di atas, yaitu terkait Navigasi, Overflight dan
Peletakan kabel serta pipa bawah air dan kegunaan yang secara hukum internasional
diperbolehkan berkaitan dengan kebebasan-kebebasan yang telah disebutkan
sebelumnya. Sebagaimana diketahui, terdapat tiga kebebasan yang menjadi fokus
pembahasan, namun terdapat frase lain yang menarik perhatian penulis sebelum
membahas ke pembahasan utama.
Frase “other internationally lawful uses of the sea” merupakan subjek yang
menjadi poin negosiasi dari banyak negara saat Konferensi PBB yang pada akhirnya
melahirkan adaptasi UNCLOS.36 Seperti Pasal 87, pasal ini tidak secara eksplisit
menyebutkan terkait kegiatan militer atau kegiatan survei, namun Angkatan Laut
dapat menjaga dan memastikan kebebasan laut (freedom of the seas) yang terdapat di
35 Pasal 58 UNCLOS
36 Robert Beckman dan Tara Davenport, The EEZ Regime: Reflection after 30 years, LOSI
Conference Papers, Securing the Ocean for the Next Generation, 2012, Hal. 10.
12
dalam Pasal 87 di Zona Ekonomi Eksklusif.37 Maka dari itu, kegiatan yang termasuk
ke dalam “other internationaly uses of the sea” seperti kerjasama antar kapal, pesawat
terbang dan kabel serta pipa bawah tanah secara eksplisit dapat dilakukan di Zona
Ekonomi Eksklusif, namun kegiatan militer tidak dijelaskan lebih lanjut. Dari
penjelasan di atas, Angkatan Laut dari negara pantai dapat menjaga keberlangsungan
pemenuhan hak-hak tersebut yang disebutkan dalam UNCLOS.
Selanjutnya, akan dijelaskan kebebasan-kebebasan yang dapat dilakukan oleh
negara-negara lain di Zona Ekonomi Eksklusif juga dengan kewajiban dari negaranegara tersebut. Kebebasan-kebebasan tersebut adalah:
2.5.1 Navigasi
Pasal 58 ayat (1) UNCLOS menyebutkan bahwa dalam Zona Ekonomi
Eksklusif semua negara dapat mendapatkan kebebasan navigasi sebagaimana
disebutkan dalam pasal 87 UNCLOS. Kebebasan bernavigasi adalah
kebebasan yang paling mendasar di hukum laut.
38
Kebebasan ini memiliki
beberapa batasan-batasan yang harus diperhatikan oleh negara-negara terkait.
Pertama, kebebasan ini harus memperhatikan batasan umum yang mengatur
semua kebebasan di laut bebas yang terdapat pada pasal 87 ayat (2) UNCLOS
– yaitu, bahwa semua kebebasan harus dijalankan dengan memperhatikan
kepentingan dari negara lain dalam pelaksanaan kebebasan dalam laut bebas
mereka. Ketidakpastian timbul karena adanya referensi yang cenderung
ambigu di Pasal 58 ayat (1) ke Pasal 87, yang terletak di Bagian VII UNCLOS
dan mengatur mengenai laut bebas (high seas).39 Kedua, berdasarkan Pasal 58
ayat (2), kebebasan bernavigasi di Zona Ekonomi Eksklusif juga termasuk ke
dalam pengaturan Pasal 88 sampai 115 dari UNCLOS dan pengaturan hukum
internasional lain yang relevan yang berkaitan dengan navigasi di laut bebas
(high seas).40
Ada dua batasan lain dalam kebebasan bernavigasi di Zona Ekonomi
Eksklusif yang secara eksplisit tidak disebutkan dalam konvensi namun secara
37 George V. Galdorisi dan Alan Kaufman, Military Activities in the Exclusive Economi
Zone: Preventing Uncertainty and Defusing Conflict, California Western International Law Journal 32
(2001-2002): 253 – 301, Hal. 272.
38 Jon M. Van Dyke, “The Disappearing Right to Navigational Freedom in the Exclusive
Economic Zone,” Marine Policy, 29 (2005): 107 – 121, 107.
39 R.R. Churchill dan A.V. Lowe, op.cit., Hal. 170
40 F. Orrego Vicuna, The Exclusive Economic Zone, (Cambridge: Cambridge University
Press, 1989), Hal. 99.
13
implisit disebutkan dalam pengaturan di dalam konvensi tersebut. 41 Pertama,
kapal asing atau dalam hal ini pelayaran asing merupakan subjek dari
yurisdiksi atau kekuasaan negara pantai dalam hal pengontrolan polusi.
Kedua, kapal asing dapat dipengaruhi dengan adanya kehadiran pulau buatan
dan instalasi buatan walaupun pembangunan seperti itu tidak ditempatkan di
jalur laut yang digunakan untuk pelayaran internasional.42
Dalam istilah dan pengertian umum dalam UNCLOS sebagaimana
yang telah ditekankan sebelumnya bahwa UNCLOS telah membuat
pengaturan yang cukup memadai untuk memastikan kebebasan navigasi tanpa
hambatan dari pelayaran asing yang melewati Zona Ekonomi Eksklusif
dengan memperhatikan batasan-batasan yang telah disebutkan sebelumnya.43
Namun ternyata, kebebasan bernavigasi ini tidah hanya terbatas oleh batasanbatasan yang disebutkan di atas, namun juga karena peraturan-peraturan
nasional yang diberlakukan oleh beberapa negara (yang hampir semuanya
adalah pihak dalam UNCLOS) tidak sesuai dengan pengaturan kebebasan
bernavigasi dalam Zona Ekonomi Eksklusif yang diatur dalam UNCLOS.
Contohnya adalah peraturan (accord) negara Maladewa44 dan Portugal45 yang
mengatur mengenai pelayaran asing di Zona Ekonomi Eksklusif yang tidak
menerapkan kebebasan bernavigasi, namun justru menerapkan innocent
passage. Di lain pihak, kemungkinan intervensi yang tidak dapat dibenarkan
yang berkaitan dengan navigasi dapat menjadi hasil dari peraturan dari negara
Guyana46, India47, Mauritius48, Pakistan49 dan Seychelles50. Negara-negara
yang disebutkan dapat meng-klaim dan menerapkan kompetensi atau
yurisdiksi mereka untuk menunjuk atau menetapkan daerah-daerah Zona
Ekonomi Eksklusif tertentu dari negara pantai untuk eksploitasi sumber daya
alam: yang daerah-daerah tersebut berlaku “entry into and passage through
41 R.R. Churchill dan A.V. Lowe, op.cit., Hal. 171.
42 F. Orrego Vicuna, op.cit., Hal. 100.
43 R.W. Smith, Exclusive Economic Zone Claims: An Analysis and Primary Documents,
(Dordrecht: Nijhoff, 1986), Hal. 219
44 Law No. 32/1976 of 5 December 1976, s.1. UN Leg. Ser. B/19, Hal. 134
45 Act No. 33/1977 of 28 May 1977, art. 3 UN Leg. Ser. B/19, Hal. 93
46 Maritime Zones Act, 1977, s.18, UN. Leg. Ser. B/19, Hal. 33
47 Territorial Waters, Continental Shelf, Exclusive Economic Zone and Other Maritime
Zones Act, 1976, s. 7(6)., UN Leg. Ser. B/19, Hal. 47.
48 Maritime Zones Act, 1977, s.9 ND VII, Hal. 414
49 Territorial Waters and Maritime Zones Act, 1976, s. 6(4). UN Leg. Ser. B/19, Hal. 85
50 Maritime Zones Act, 1977, s.9, UN Leg. Ser. B/19, Hal. 102.
14
the designated area of foreign ships by the establishment of fairways,
sealanes, traffic separation schemes or any other mode of ensuring freedom of
navigation which is not prejudicial to the interest”, atau dengan kata lain,
negara-negara pantai tersebut menyediakan semacam hak lintas ke Zona
Ekonomi Eksklusif-nya yang dipergunakan untuk eksploitasi sumber daya
alam dan memastikan adanya “kebebasan bernavigasi” selama tidak
merugikan kepentingan negara pantai tersebut.51 Lebih jauh lagi, ke-lima
negara tersebut meng-klaim dapat memperpanjang semua yurisdiksi hukum
negara mereka sendiri ke daerah Zona Ekonomi Eksklusif-nya dan mengatur
mengenai pengambilan tindakan terhadap setiap orang di Zona Ekonomi
Eksklusif.52 Negara lain, seperti Nigeria, terdapat peraturan yang memastikan
adanya perlindungan terhadap segala instalasi di area-area yang sudah
ditunjuk (designated areas) di Zona Ekonomi Ekslusif-nya dan pemerintah
Nigeria yang berwenang dapat melarang kapal asing untuk masuk ke daerah
tersebut tanpa konsen atau persetujuan dari pihak pemerintah.53
Banyak negara lain yang memberikan batasan-batasan tambahan
melalui peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan batasan-batasan
yang juga berbeda-beda dan perlu untuk diperhatikan oleh kapal-kapal asing
yang ingin melewati Zona Ekonomi Eksklusif negara-negara tersebut. Klaimklaim melalui peraturan perundang-undangan ini memberikan kemasygulan
bahwa harapan dibentuknya UNCLOS, yaitu adanya pembatasan yang jelas
terhadap hak-hak negara pantai dan menghentikan “creeping jurisdiction”
atau yurisdiksi yang terus bertambah, menjadi rusak dan tidak tercapai.54
2.5.2 Overflight (Lintas yang dilewati oleh Pesawat Terbang)
Pasal 58 mengatur bahwa semua negara dapat menikmati kebebasan
melintas di Zona Ekonomi Eksklusif bagi pesawat terbang dan juga kegunaankegunaan lain yang diperbolehkan menurut hukum internasional (other
internationally lawful uses of the sea) terkait kebebasan overflight ini yang
diperbolehkan oleh pengaturan di UNCLOS. Kebebasan untuk overflight di
Zona Ekonomi Eksklusif seperti layaknya kebebasan bernavigasi, terikat pada
dua batasan, yaitu pertama, memperhatikan kepentingan negara-negara lain,
51 R.R. Churchill dan A.V. Lowe, op.cit, Hal. 172
52 Loc.Cit.
53 Exclusive Economic Zone Decree, 1978, s.3(2). ND VII, Hal. 474
54 R.R. Churchill dan A.V. Lowe, op.cit., Hal. 173
15
dan kedua, memperhatikan pengaturan pasal 88 sampai 115 (walaupun
beberapa pasal-pasal di dalamnya tidak mengaplikasikan pengaturannya
terhadap pesawat terbang).55
Sebagai tambahan, terdapat pembatasan-pembatasan selanjutnya yang
secara implisit disebutkan dalam kebebasan overflight di Zona Ekonomi
Eksklusif. Pertama, hak yang dimiliki oleh negara pantai untuk membangun
pulau buatan atau instalasi yang akan mempengaruhi dalam hal jika pesawat
terbang tersebut terbang rendah di daerah tersebut. Kedua, pesawat terbang
merupakan subjek dalam pengaturan dalam hal pembuangan sampah atau
limbah yang merupakan yurisdiksi negara pantai.56
Hal yang menurut penulis penting terkait kebebasan overflight ini adalah
adanya ketidakpastian terkait aturan yang berlaku bagi pesawat terbang di
Zona Ekonomi Eksklusif. Menurut pasal 12 Convention on International Civil
Aviation 1944, Pesawat terbang yang terbang di laut bebas (high seas) harus
mengikuti aturan yang berlaku di udara yang dibuat oleh International Civil
Aviation Organisation (ICAO). Jika pesawat terbang terbang di atas wilayah
negara lain atau laut teritorial, maka pesawat terbang harus mengikuti aturan
yang dibuat oleh negara tersebut.57 Dalam konteks ini, muncul pertanyaan
apakah Zona Ekonomi Eksklusif dianggap sebagai laut bebas (high seas) atau
laut teritorial? UNCLOS tidak memberikan jawaban yang jelas dan langsung,
namun akan menjadi lebih berasalan dan teapat untuk berargumen bahwa
pasal 12 Convention on International Civil Aviation 1944 merupakan satu dari
“pertinent rules of international law” yang terdapat di dalam pasal 58 ayat (2)
UNCLOS, yang sebagaimana kita tahu berlaku bagi Zona Ekonomi
Eksklusif.58 Lebih jauh lagi, pasal 39 ayat (3) dan pasal 54 UNCLOS mengatur
bahwa pesawat terbang diberlakukan transit passage di atas selat atau
archipelagic sea-lanes passage di atas perairan kepulauan, i.e., begitupun
dengan Zona Ekonomi Eksklusif yang harus memperhatikan peraturan ICAO:
maka peraturan ICAO juga harus berlaku bagi Zona Ekonomi Eksklusif.
55 Loc.Cit
56 Loc.Cit
57 Loc.Cit
58 R.W. Smith, Op.Cit., Hal. 186
16
Simpulan yang sama juga diperoleh melalui studi dan riset dari sekretariat
ICAO.59
2.5.3 Peletakan Kabel dan Pipa Bawah Air
Kebebasan yang terakhir adalah semua negara memiliki kebebasan untuk
meletakan kabel dan pipa bawah air di Zona Ekonomi Eksklusif juga
kegunaan-kegunaan lain yang diperbolehkan menurut hukum internasional
(other internationally lawful uses of the sea) terkait dengan kebebasan
mengenai peletakan kabel dan pipa bawah air berdasarkan pengaturan yang
berada di UNCLOS. Sebagaimana dua kebebasan yang sebelumnya, tentunya
kebebasan ini juga memiliki batasan yang secara eksplisit disebutkan dalam
UNCLOS,
yaitu:
pertama,
mempertimbangkan
dan
memperhatikan
kepentingan negara lain, dan kedua, memperhatikan pasal 88-115 UNCLOS,
lebih spesifiknya pada pasal 112-115 yang membahas permasalahan jika pipa
atau kabel tersebut rusak.60 Ada batasan lain terkait kebebasan ini yang
terkandung pada pasal 79 UNCLOS. Walaupun pasal ini membahas mengenai
continental shelf, namun pengaturan ini juga dapat berlaku bagi Zona
Ekonomi Eksklusif karena dasar laut dari Zona Ekonomi Eksklusif terdiri dari
continental shelf (landas kontinen). Pasal 79 ayat (3) UNCLOS membahas
mengenai bagan atau gambaran haluan pipa bawah air (tapi kabel tidak
termasuk) membutuhkan konsen atau persetujuan dari negara pantai. 61 Lalu,
pasal 79 ayat (4) UNCLOS memberikan wewenang terhadap negara pantai
untuk menetapkan kondisi atau persyaratan yang memasuki laut teritorialnya
dan menegakkan yurisdiksinya atas kabel dan pipa yang dibangun atau
digunakan dan memiliki hubungan dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
yang dilakukan negara pantai atau pembuatan dan pengoperasian pulau buatan
dan instalasi di bawah yurisdiksi negara pantai.62
59 The United Nations Convention on the Law of the Sea – Implications, if any, for the
Application of the Chicago Convention, its annexes and other International Air Law Instruments, Doc.
No. LC/26 – WP/5-1 of 4 February 1987, para. 11.12. Reproduced in 3 International Organisations
and the Law of the Sea Documentary Yearbook 243 (1987)
60 R.R. Churchill dan A.V. Lowe, op.cit., Hal. 174
61 Loc.Cit
62 Pasal 79 ayat (4) UNCLOS
17
Setelah dijelaskan secara lengkap hak-hak yang dimiliki negara-negara lain
dalam Zona Ekonomi Eksklusif, kita dapat melihat bahwa hak-hak yang diberikan
kepada negara-negara tersebut tidak memiliki kebebasan se-luas kebebasankebebasan atau hak-hak negara lain pada saat di laut bebas atau high seas. Selain itu
pula, terdapat kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara-negara lain di Zona
Ekonomi Eksklusif. Hal tersebut terdapat pada Pasal 58 ayat (3) UNCLOS, yang
berbunyi:
3. In exercising their rights and performing their duties under this Convention in the
exclusive economic zone, States shall have due regard to the rights and duties of the
coastal State and shall comply with the laws and regulations adopted by the coastal
State in accordance with the provisions of this Convention and other rules of
international law in so far as they are not incompatible with this Part.
Dari pasal ini, kita dapat melihat bahwa terdapat dua kewajiban yang harus
diperhatikan oleh negara-negara lain di Zona Ekonomi Eksklusif, yaitu: pertama,
dalam melaksanakan hak-haknya, negara-negara lain harus memperhatikan hak dan
kewajiban dari negara pantai di Zona Ekonomi Eksklusif. Mereka tidak harus
memperhatikan kepentingan dari negara pantai, namun hanya terhadap hak dan
kewajiban yang terbatas pada hak sumber daya alam dan kegiatan ekonomi lainnya
dari negara pantai. Lebih jauh lagi, tidak ada kepentingan dari negara-negara lain
untuk memperhatikan kepentingan keamanan dari negara pantai di Zona Ekonomi
Eksklusif.63 Kedua, negara-negara lain harus memenuhi hukum dan peraturan yang
diadopsi oleh negara pantai, namun hanya hukum yang sesuai dengan konvensi dan
hukum internasional lainnya selama mereka tidak bertentangan dengan UNCLOS
yang mengatur mengenai Zona Ekonomi Eksklusif. Karena itu, jika negara pantai
mengadopsi hukum dan peraturan pada hal-hal yang tidak di bawah yurisdiksi
UNCLOS, maka tidak ada kewajiban negara lain untuk mematuhi peraturan-peraturan
atau hukum-hukum seperti itu.64
63 Robert Beckman dan Tara Davenport, Op.Cit., Hal.11
64 Loc.Cit.
18
2.6 Hubungan antara Hak Negara Pantai dan Hak Negara Lain
Jika dilihat, kaitan antara hal-hal yang telah disebutkan di atas mengenai hakhak yang secara tegas berhubungan dengan negara pantai dan negara lain melahirkan
potensi konflik yang cukup besar antara kelompok hak-hak tersebut.65 Peraturan
terkait konflik yang seperti itu secara tegas diatur dalam UNCLOS. Dengan demikian,
sebagai contoh, pengaturan yang terdapat pada pasal 60 UNCLOS dibuat untuk
menghindari konflik antara hak negara pantai untuk membangun pulau atau instalasi
buatan dan hak pelayaran asing. Tidak berbeda dengan kewenangan negara pantai
terkait pengontrolan polusi yang secara hati-hati dibilang pada Part XII yang
bertujuan untuk meminimalisasi gangguan dengan pelayaran asing.66 Namun dalam
beberapa kasus, UNCLOS tidak berisikan aturan spesifik dalam menghindari konflik
penggunaan (conflicts of use). Sebagai contoh, menjadi suatu ketidakjelasan mengenai
jangkauan apa dan untuk apa suatu negara dapat, sebagai salah satu bagian dari
kedaulatannya, dalam mengeksploitasi dan melakukan manajemen sumber daya alam,
membuat aturan mengenai pelayaran asing untuk meminimalisasi konflik dalam hal
pengambilan ikan (fishing) di Zona Ekonomi Eksklusif, e.g. dengan mengharuskan
kapal-kapal untuk menghindari daerah dimana negara pantai mendirikan jalan atau
tempat berterlur atau tempat pengembangbiakkan ikan.67 Di kasus-kasus seperti ini,
satu-satunya pedoman yang digunakan yang berasal dari konvensi adalah kewajiban
bersama dari negara pantai dan negara lain untuk memperhatikan (due regard) hakhak yang dimiliki satu sama lain. Di beberapa kasus, perjanjian iinternasional atau
konvensi lainnya akan membantu untuk membuat peraturan yang mengatur mengenai
konflik-konflik, seperti contoh the 1972 Convention on the International Regulations
Preventing Collisions at Sea yang mengatur mengenai hubungan antara kapal-kapal
yang sedang mengambil ikan dengan kapal-kapal lainnya.68
65 Bernard Oxman, “The Territorial Temptation: A Siren Song at Sea,” American Journal of
International Law 100 (October 2006): 830 – 851, 839.
66 Loc.Cit.
67 H.B. Robertson, Navigation in the Exclusive Economic Zone, 24 Virgina Journal of
International Law (1984): 865-915, Hal. 880
68 W.T. Burke, Exclusive Fisheries Zones and Freedom of Navigation, 20 San Diego Law
Review (1983): 595-623, Hal. 601
19
2.7 Hak Negara yang Terkurung oleh Daratan (Land-locked States)
Negara yang terkurung oleh daratan (land-locked states), sebagaimana
diekspresikan dalam Pasal 69 UNCLOS, memiliki hak untuk berpartisipasi secara adil
dalam hal eksploitasi pada bagian yang tepat dari surplus sumber daya alam yang
dimiliki oleh Zona Ekonomi Eksklusif negara pantai yang berada di sub-bagian atau
bagian yang sama,69 dengan mempertimbangkan bagian yang relevan dan sesuai
dengan sektor dan keadaan ekonomi serta geografis dari negara-negara dan harus
memperhatikan peraturan di pasal ini dan pasal 61 serta 62 UNCLOS. 70 Hal-hal yang
berhubungan dengan partisipasi semacam ini harus diciptakan oleh negara tersebut
melalui perjanjian bilateral, sub-regional atau regional dengan mempertimbangkan
urgensi untuk menghindari efek yang merugikan terhadap komunitas nelayan atau
industri perikanan dari negara pantai; sejauh mana negara land-locked dapat berbuat,
adalah berpartisipasi atau berhak untuk berpartisipasi berdasarkan perjanjian bilateral,
sub-regional atau regional dalam hal eksploitasi sumber daya alam dalam Zona
Ekonomi Eksklusif dari negara pantai.71
Perjanjian-perjanjian ini harus memperhatikan sejauh apa negara land-locked
dan geographically disadvantaged States (negara yang memiliki kerugian secara
geografis) berpartisipasi dalam eksploitasi sumber daya alam di Zona Ekonomi
Eksklusif dari negara pantai dan akibat yang harus dihindari yang terlahir dari bebanbeban tertentu untuk negara pantai atau bagian dari negara pantai. 72 Kebutuhan gizi
dari penduduk dari negara-negara yang bersangkutan pun juga harus diperhatikan.
Saat kapasitas pemungutan dari negara pantai mencapai titik yang memungkinkan
untuk memungut seluruh tangkapan yang memungkinkan di Zona Ekonomi Eksklusif,
negara pantai dan negara lain harus bekerja sama untuk menciptakan pengaturan yang
adil dengan dasar perjanjian bilateral, sub-regional dan regional, dengan tujuan
adanya partisipasi negara land-locked berkembang yang berada di sub-regional atau
regional yang berhubungan dengan eksploitasi sumber daya alam dari zona ekonomi
69 James E. Bailey, “The Exclusive Economic Zone: Its Development and Future in
International and Domestic Law”, Lousiana Law Review, Vol. 45, No. 6, Juli 1985, Hal. 1278
70 Pasal 69 ayat (1) UNCLOS.
71 J. Cesar Lupinacci, The Legal Status of the Exclusive Economic Zone in the 1982
Convention on the Law of the Sea, (Orrego, cit. Note 4, 1983), Hal. 94
72 Dorina Patuzi, “The Concept of the Economi Exclusive Zone”, Academic Journal of
Business, Administration, Law and Social Sciences, IIPCCL Publishing, Tirana-Albania, Vol.1 No.1,
Maret 2015, Hal. 152.
20
eksklusif dari negara pantai, yang sesuai dengan kondisi dan kepuasan dari semua
pihak.73
Untuk mengimplementasikan peraturan ini, negara land-locked yang sudah
maju berhak untuk berpartisipasi dalam eksploitasi sumber daya alam di Zona
Ekonomi Eksklusif dari negara pantai yang maju lainnya yang berada di sub-region
atau region yang sama dengan memperhatikan sejauh dalam hal negara pantai tersebut
memberikan akses kepada negara lain dalam hal sumber daya alam dalam Zona
Ekonomi Eksklusifnya, dengan memperhitungkan kebutuhan untuk meminimalisasi
efek yang merugikan yang akan dirasakan oleh komunitas perikanan dan perubahan
ekonomi di negara yang secara kebiasaan menangkap ikan di daerah tersebut.74
2.8 Hak Negara yang Memiliki Kerugian secara Geografis (Geographically
Disadvantaged States)
”Geographically Disadvantaged States” atau Negara yang memiliki kerugian
secara geografis adalah negara pantai, termasuk negara yang berbatasan dengan laut
tertutup atau semi-tertutup yang secara geografis membuat mereka bergantung dengan
eksploitasi sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif dari negara-negara lain
yang berada di sub-region atau region yang sama yang persediaan ikan untuk tujuan
gizi dari populasi mereka memadai.75 Geographically Disadvantaged States yang
diatur pada pasal 70 UNCLOS, memiliki hak untuk berpartisipasi, secara adil, dalam
hal eksploitasi dengan bagian yang sesuai (appropiate part) dari surplus sumber daya
alam di Zona Ekonomi Eksklusif dari negara pantai yang berada di sub-region atau
region yang sama, dengan memperhitungkan kondisi ekonomi dan geografis yang
relevan atau sesuai dari negara yang bersangkutan dan sesuai dengan pengaturan pada
pasal ini dan pasal-pasal lain di UNCLOS.76 Dalam hal partisipasi sebagaimana
73 L. Juda, “The Exclusive Economic Zone: Compatibility of National Claims and the UN
Convention of the Law of the Sea”, Ocean Development and International Law Journal, Vol. 16, Hal.
38
74 Dorina Patuzi, Op.Cit., Hal. 152
75 Ibid, Hal. 173
76 S. Jayakumar, “The Issue of Rights of Landlocked and Geographically Disadvantaged
States in the Living Resources of the Economic Zone”, Virginia Journal of International Law, Vol. 18,
1977
21
disebutkan sebelumnya, harus diciptakan oleh negara-negara melalui perjanjian
bilateral, sub-regional atau regional yang memperhitungkan hal-hal sebagai berikut:77
a) kebutuhan untuk menghindari adanya efek yang merugikan yang diderita oleh
komunitas perikanan atau industri perikanan dari negara pantai;
b) sejauh apa Geographically Disadvantaged States ini, sesuai dengan
pengaturan yang ada di dalam pasal ini, berpartisipasi atau berhak untuk
berpartisipasi di bahwa perjanjian bilateral, sub-regional atau regional dalam
eksploitasi sumber daya alam di zona ekonomi eksklusif negara pantai;
c) sejauh apa Geographically Disadvantaged States dan land-locked states
berpartisipasi dalam eksploitasi sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif
dari negara pantai dan akibat yang harus dihindari dari beban tertentu dari satu
negara pantai atau bagian dari negara tersebut; dan
d) kebutuhan gizi dari populasi dari negara-negara yang bersangkutan.
2.9 Hak-hak lain di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)/ The Attribution of Other
Rights in the Exclusive Economic Zone (EEZ)
Konvensi Hukum Laut atau UNCLOS, dalam menghubungkan hak-hak yang
ada di Zona Ekonomi Eksklsusif ke negara pantai dan negara lain, telah mencakup
sebagian besar dari kegunaan yang cukup jelas di Zona Ekonomi Eksklusif. Namun,
terdapat beberapa kegunaan Zona Ekonomi Eksklusif yang tidak termasuk ke hak-hak
yang ada di negara pantai ataupun negara lainnya. Kegunaan yang dimaksud tesebut
adalah senagai berikut:78
a) penempatan alat pendengaran bawah air untuk kapal selam;
b) pemulihan dari rongsokan bersejarah di luar zona tambahan/ contiguous zone;
dan
c) yurisdiksi atas pelampung yang digunakan untuk riset ilmiah.
Dalam hal ini, di posisi manakah kegunaan-kegunaan yang diatas ini? Negara mana
yang mempunyai kompetensi untuk menikmati dan membuat aturan terhadap
kegunaan-kegunaan tersebut? UNCLOS tidak memberika jawaban yang pasti, namun
77 Dorina Patuzi, Op.Cit., Hal. 154
78 Namun, hal yang harus diperhatikan adalah pada tiga negara, yaitu Cape Verde, Jamaika
dan Maroko, dibutuhkan otorisasi lanjutan untuk eksplorasi arkelogi dimanapun di daerah Zona
Ekonomi Eksklusif Mereka. Lihat Law No. 60/IV/92 Pasal 28, Exclusive Economic Zone Act 1991, s.
7(1), 21 LOSB 20 (1992) dan Decree No. 1-81-179 of 8 April 1981, Pasal 5.
22
pada Pasal 59 diatur mengenai “formula” umum yang dapat digunakan terhadap
kegunaan-kegunaan ini (attributing righs). Bunyi dari pasal 59 adalah:
Article 59
Basis for the resolution of conflicts regarding the attribution of rights and
jurisdiction in the exclusive economic zone
In cases where this Convention does not attribute rights or jurisdiction to the coastal
State or to other States within the exclusive economic zone, and a conflict arises
between the interests of the coastal State and any other State or States, the conflict
should be resolved on the basis of equity and in the light of all the relevant
circumstances, taking into account the respective importance of the interests involved
to the parties as well as to the international community as a whole.
Pasal 59 kemudian membuat jelas, bahwa dalam kasus unattributed rights,
tidak ada kecenderungan atau keberpihakan ke negara pantai ataupun negara lain:
setiap kasus harus ditentukan berbeda berdasarkan materil yang dijelaskan di pasal 59
UNCLOS.79 Pada dasarnya, hal ini berarti bahwa harus terdapat usaha penyelesaian
dengan cara mencari konsensus di antara para pihak: jika cara ini tidak berhasil, maka
sengketa harus mengacu pada salah satu badan yudisial yang disebutkan pada pasal
287 UNCLOS, kecuali sengketa tersebut berkaitan