Makalah fitofar teori . docx

Daftar Isi
Daftar Isi

.........................................................................................

i

1. DEFINISI UJI KLINIK...........................................................................

1

1.1

Uji Klinik.......................................................................................

1

1.2

Uji Klinik Fitofarmaka...................................................................


1

2. TUJUAN UJI KLINIK............................................................................

2

2.1

Persyaratan Uji Klinik...................................................................

2

2.2

Syarat Uji Klinik Fitofarmaka.......................................................

2

2.3


Persiapan Pelaksanaan...................................................................

3

3. ASAS UJI KLINIK.................................................................................

6

3.1

Asas Menghormati Orang (Principle of Respect for Persons)......

6

3.2

Asas Kebaikan (Principle of Beneficence)....................................

6


3.3

Asas Keadilan (Principle of Justice).............................................

7

4. TAHAPAN FASE UJI KLINIK..............................................................

7

4.1

Uji Klinik Pra-Pemasaran..............................................................

7

4.1.1 Fase I.........................................................................................

7


4.1.2 Fase II........................................................................................

8

4.1.3 Fase III......................................................................................

9

4.2

Uji Klinik Pasca-Pemasaran..........................................................

4.2.1 Fase IV......................................................................................
4.3

9
10

Pembanding...................................................................................


10

5. PIHAK YANG TERLIBAT DALAM UJI KLINIK................................

11

5.1

Peneliti .........................................................................................

11

5.2

Subyek .........................................................................................

11

5.2.1 Syarat Subjek............................................................................


12

5.3

Tempat Penelitian (site).................................................................

12

5.4

Sponsor dan ORK..........................................................................

12

5.5

Komisi Etik....................................................................................

13


6. RANCANGAN UJI.................................................................................

13

6.1

Desain Uji......................................................................................

13

6.1.1 Desain paralel............................................................................

13

1

6.1.2 Desain menyilang (cross-over).................................................

14


6.2

Pengacakan Perlakuan (Ramdomisasi)..........................................

14

6.3

Penyamaran/Pembesaran (Blinding)..............................................

14

6.3.1 Single Blind...............................................................................

15

6.3.2 Double Blind.............................................................................

15


6.3.3 Triple Blind...............................................................................

15

6.4

Analisis Data..................................................................................

15

7. PEDOMAN UJI KLINIK........................................................................

16

7.1

Uji Klinik Fitofarmaka/Obat Herbal..............................................

16


7.2

Uji Klinik Terdiri atas....................................................................

16

7.2.1 Uji Klinik Prapemasaran...........................................................

16

7.2.2 Uji Klinik Pascapemasaran.......................................................

16

7.3

Pengembangan Obat Herbal..........................................................

16


7.4

Diagram Pengelompokkan Herbal.................................................

17

7.5

Dasar Pemilihan Metodologi atau Desain Uji Klinik....................

17

7.6

Penentuan Dosis.............................................................................

18

7.7

Tata Laksana Uji Klinik.................................................................

18

7.7.1 Klinik pra-pemasaran................................................................

18

7.7.2 Uji Klinik pada Pemasaran........................................................

18

7.7.3 Uji klinik terbatas untuk pendidikan.........................................

19

Lampiran

.........................................................................................

20

Daftar Pustaka

.........................................................................................

33

2

1. DEFINISI UJI KLINIK
1.1

Uji Klinik
Uji klinik adalah kegiatan penelitian dengan mengikutsertakan subjek manusia

disertai adanya intervensi produk uji, untuk menemukan atau memastikan efek klinik,
farmakologik dan/atau farmakodinamik lainnya, dan/atau mengidentifikasi setiap reaksi
yang tidak diinginkan, dan/atau mempelajari absorbsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi dengan tujuan untuk memastikan keamanan dan/atau efektifitas produk yang
diteliti. (BPOM, 2014)
1.2

Uji Klinik Fitofarmaka
Uji Klinik Fitofarmak adalah pengujian pada manusia, untuk mengetahui atau

memastikan adanya efek farmakologik, tolerabilitas, keamanan dan manfaat klinik
untuk pencegahan penyakit, pengobatan penyakit atau pengobatan gejala penyakit.
(Menkes RI, 1992)
DASAR PEMIKIRAN
1. Obat tradisional baik dalam bentuk simplisia tunggal maupun ramuan sebagian
besar penggunaan dan kegunaannya masih berdasarkan pengalaman.
2. Data yang meliputi kegunaan, dosis dan efek samping sebagian besar belum
didasarkan pada landasan ilmiah, karena penggunan obat tradisional baru
didasarkan kepada kepercayaan terhadap Informasi berdasarkan pengalaman.
3. Dalam rangka upaya pembangunan di bidang kesehatan, obat tradisional perlu
dikembangkan dan secara berangsur-angsur dimanfaatkan berdasarkan atas
landasan ilmiah, sehingga dapat digunakan dalam upaya pelayanan kesehatan
normal kepada masyarakat.
4. Dalam rangka pengembangan obat tradisional tersebut maka obat tradisional perlu
dikelompokkan kedalam 2 golongan yaitu:
a) Obat tradisional jamu
b) Fitofarmaka.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatannya di dalam kesehatan, Fitofarmaka perlu
mendapat prioritas. Agar supaya Fitofarmaka dapat diterima dalam upaya pelayanan

1

kesehatan, perlu dibuktikan manfaat kliniknya melalui uji klinik fitofarmaka pada
manusia. (Menkes RI, 1992)
2. TUJUAN UJI KLINIK
Tujuan pokok uji klinik fitofarmaka adalah:
1. Memastikan keamanan dan manfaat klinik fitofarmaka pada manusia dalam
pencegahan atau pengobatan penyakit maupun gejala penyakit.
2. Untuk mendapatkan fitofarmaka yang dapat dipertanggung jawabkan keamanan dan
manfaatnya.(Menkes RI, 1992)
2.1

Persyaratan Uji Klinik
Syarat Uji Klinik, Uji Klinik Obat Herbal yang dilakukan harus:

a. Memberikan manfaat nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kepentingan
masyarakat;
b. Mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik;
c. Mendapatkan persetujuan atau menyampaikan notifikasi kepada Kepala Badan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor 9 Tahun 2014 tentang Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik; dan
d. Mengacu kepada Pedoman CUKB dan Pedoman Uji Klinik Obat Herbal.
(BPOM, 2014)
2.2

Syarat Uji Klinik Fitofarmaka
Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam uji klinik Fitofarmaka

a. Terhadap calon fitofarmaka dapat dilakukan pengujian klinik pada manusia apabila
sudah melalui penelitian toksisitas dan kegunaan pada hewan coba yang sesuai dan
dinyatakan memenuhi syarat, yang membenarkan dilakukannya pengujian klinik
pada manusia.
b. Alasan untuk melaksanakan uji klinis terhadap suatu fitofarmaka dapat didasarkan
pada :
- Adanya data pengujian farmakologik pada hewan coba yang menunjukan bahwa
calon fitofarmaka tersebut mempunyai aktivitas farmakologik yang sesuai dengan
indikasi yang menjadi tujuan uji klinik fitofarmaka tersebut.
2

- Adanya pengalaman empirik dan / atau histori bahwa fitofarmaka tersebut
mempunyai manfaat klinik dalam pencegahan dan pengobatan dan pengobatan
penyakit atau gejala penyakit.
c. Uji Klinik Fitofarmaka merupakan suatu kegiatan pengujian multidisiplin.
d. Uji klinik Fitofarmaka harus memenuhi syarat-syarat ilmiah dan metodologi suatu uji
klinik untuk pengembangan dan evaluasi khasiat klinik suatu obat baru. Protokol uji
klinik suatu calon fitofarmaka harus selaras dengan Pedoman Fitofarmaka yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Rl. Protokol uji klinik dengan rancangan dan
metodologi yang sesuai dikembangkan dulu oleh tim peneliti. Protokol uji klinik
harus dinilai dahulu oleh suatu Panitia llmiah yang independent untuk mendapatkan
persetujuan.
e. Uji Klinik Fitofarmaka harus memenuhi prinsip-prinsip etika sejak perencanaan
sampai pelaksanaan dan penyelesaian uji klinik. Setiap pengujian harus mendapatkan
ijin kelaikan etik (ethical clearance) dari Panitia Etika Penelitian Biomedik pada
manusia.
f. Uji Klinik Fitofarmaka hanya dapat dilakukan oleh tim peneliti yang mempunyai
keahlian, pengalaman, kewenangan dan tanggung jawab dalam pengujian klinik dan
evaluasi khasiat klinik obat.
g. Uji Klinik Fitofarmaka hanya dapat dilakukan oleh unit-unit pelayanan dan
penelitian yang memungkinkan untuk pelaksanaan suatu uji klinik, baik dipandang
dari segi kelengkapan sarana, keahlian personalia, maupun tersedianya pasien yang
mencukupi. Pengulian klinik dalam unit-unit pelayanan kesehatan di luar Sentra Uji
Fitofarmaka, misalnya di Puskesmas atau Rumah Sakit, harus mendapatkan supervisi
dan monitoring dari Sentra Uji Fitofarmaka sejak perencanaan, pelaksanaan sampai
dengan penyelesaiannya. (Menkes RI, 1992)
2.3

Persiapan Pelaksanaan
Langkah-langkah berikut dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka persiapan

pelaksanaan uji klinik:
1.

Karakteristik produk uji:
- Terhadap produk yang akan diuji dilakukan pemastian tumbuhan
- Kebenaran identitas untuk tumbuhan yang digunakan.

3

- Tidak termasuk dalam daftar tumbuhan yang dilarang di Indonesia
- Riwayat penggunaan harus dapat ditelusur apakah herbal yang akan diuji klinik
memiliki riwayat empiris baik untuk indigenus ataupun nonindigenus.
- Bagian tumbuhan yang digunakan
- Identifikasi senyawa aktif/senyawa identitas untuk keperluan standardisasi
2.

Standardisasi bahan baku dan produk uji:
- Cara penyiapan bahan baku dan produk uji, termasuk metode ekstraksi yang
digunakan,
- Metode analisa kualitatif dan kuantitatif senyawa aktif atau senyawa identitas.
Proses standardisasi dilakukan agar produk uji di tiap fase uji serta bila
kemudian dipasarkan/diedarkan memiliki keterulangan yang sama.

3.

Pihak sponsor ataupun produsen harus memahami bahwa proses pembuatan produk
uji harus konsisten pada setiap tahap atau fase, dan proses pembuatan tersebut harus
mengacu kepada standar CPOTB.

4.

Lakukan penilaian terhadap data nonklinik yang ada/telah dilakukan, bagaimana
profil keamanan dan/atau aspek lainnya. bagaimana LD50, data toksisitas akut,
subkronik dan atau kronik sesuai kebutuhan untuk kondisi yang diujikan.

5.

Pertimbangkan untuk mengontrak ORK bila diperlukan. Bila melakukan kontrak
dengan ORK, lengkapi dengan surat perjanjian kontrak dan dijelaskan fungsi
sponsor apa yang dikontrakkan kepada ORK.

6.

Persiapkan kompetensi monitor (sponsor/ORK).

7.

Pemilihan tempat pelaksanaan uji klinik dan pemilihan peneliti serta persiapkan
tempat pelaksanaan tersebut. Sponsor memiliki peran penting dalam pemilihan
tempat uji klinik. Pertimbangan utama yang harus dijadikan landasan pemilihan,
antara lain :
- Terdapat peneliti dengan latar belakang keahlian yang sesuai.
- Ketersediaan sumber daya, sistem dan fasilitas/perangkat penunjang di tempat
penelitian.
- Ketersediaan Standard Operating Procedures (SOP).

8.

Pembuatan/penyusunan protokol uji klinik.

4

Elemen dalam protokol uji klinik yang disusun harus jelas dan lengkap, dimulai
dari hal administratif seperti judul, nomor/versi dan tanggal, nama Peneliti Utama,
Nama Koordinator Peneliti (bila ada), hingga yang bersifat ilmiah, seperti:
- Desain
a.

Menjelaskan secara singkat desain studi dan secara umum bagaimana desain
dapat menjawab pertanyaan/tujuan uji.

b.

Dapat memberikan gambaran tipe/desain uji (misal placebo controlled,
double blind, single blind atau open label)

- Tujuan
a.

Harus tepat sasaran, jelas dan fokus, harus dapat diakomodir oleh parameter
pengukuran khasiat maupun keamanan.

b.

Tujuan dapat terdiri dari tujuan primer dan sekunder ataupun bahkan tersier.
Namun perlu diperhatikan adalah bahwa tujuan uji klinik harus jelas, tepat
sasaran dan fokus.

- Parameter/endpoint untuk efikasi/khasiat dan keamanan.
Parameter endpoint dimaksud harus dapat menjawab tujuan uji.
9.

Penyediaan dokumen uji lain terkait dengan pelaksanaan uji klinik.

10. Persiapkan untuk adanya penjaminan mutu pelaksanaan uji klinik dan untuk dapat
dihasilkannya data yang akurat dan terpercaya.
11. Pengajuan persetujuan untuk dokumen/ pelaksanaan uji klinik.
12. Pertimbangan/peninjauan dan persetujuan uji klinik oleh Komisi Etik dan regulator.
13. Persetujuan subjek (Informed Consent) dan rekrutmen subjek
Rekrutmen subjek merupakan salah satu tahapan penting sebelum dimulainya uji
klinik. Hal prinsip yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah bahwa (calon)
subjek tidak boleh dilakukan tindakan apapun yang terkait dengan prosedur uji
klinik sebelum subjek mendapat penjelasan dan menyatakan persetujuan yang
ditandai dengan menandatangani informed consent. Pelanggaran terhadap proses
informed consent merupakan pelanggaran yang bersifat critical.
14. Penapisan (screening) dan penyertaan (enrollment) subjek.
15. Pengelolaan pelaporan Kejadian Tidak Diinginkan maupun pelaporan lain.
16. Pengelolaan data penelitian
17. Laporan akhir penelitian (BPOM,2014)

5

3. ASAS UJI KLINIK
Semua penelitian yang melibatkan subjek manusia harus dilakukan sesuai dengan
prinsip-prinsip etika yang terkandung dalam versi saat ini dari Deklarasi Helsinki. Tiga
prinsip dasar etika didefinisikan oleh revisi dari International Ethical Guidelines for
Biomedical Research Involving Human Subjects yang dikeluarkan oleh Council for
International Organizations of Medical Sciences (CIOMS). (WHO, 1995)
3.1

Asas Menghormati Orang (Principle of Respect for Persons)
Asas menghormati orang menggabungkan setidaknya dua pertimbangan etis yang

mendasar, yaitu:
a. Menghormati otonomi; calon subjek harus mampu diajak bermusyawarah untuk
menentukan keputusan mengenai pilihan pribadi mereka dengan menghormati
kapasitas mereka untuk menentukan nasib sendiri; dan
b. Perlindungan terhadap penyandang cacat atau otonomi yang dikecilkan, yang
mensyaratkan bahwa mereka yang tergantung atau rentan akan diberikan keamanan
terhadap bahaya atau kekerasan.
c. Pelaksanaan prinsip umum ini adalah persyaratan untuk persetujuan dari masingmasing calon subjek.(CIOMS, 2002)
3.2

Asas Kebaikan (Principle of Beneficence)
Asas kebaikan mengacu pada kewajiban etik untuk memaksimalkan manfaat dan

meminimalkan bahaya. Prinsip ini menimbulkan norma-norma yang membutuhkan
bahwa risiko penelitian harus masuk akal dalam menerangkan manfaat yang
diharapkan, bahwa desain penelitian harus diberitahukan, dan bahwa para peneliti akan
kompeten baik untuk mengarahkan penelitian dan untuk menjaga kesejahteraan dari
subjek penelitian. Asas kebaikan pun melarang peneliti untuk membahayakan subjek
secara sengaja. Aspek kebaikan biasanya dinyatakan sebagai prinsip tidak
membahayakan (nonmaleficence). (CIOMS, 2002)

3.3

Asas Keadilan (Principle of Justice)

6

Asas keadilan mengacu pada kewajiban etik untuk memperlakukan setiap orang
sesuai dengan apa yang secara moral benar dan tepat, untuk memberikan yang wajar
bagi subjek. Dalam etika penelitian yang melibatkan subjek manusia, asas merujuk
untuk keadilan distributif yang memerlukan pemerataan baik beban dan manfaat dari
partisipasi dalam penelitian. Perbedaan dalam distribusi beban dan manfaat yang
dibenarkan hanya jika mereka didasarkan pada perbedaan yang relevan secara moral
antara orang-orang; satu perbedaan tersebut adalah kerentanan. '' Kerentanan '' mengacu
pada ketidakmampuan substansial untuk melindungi kepentingan sendiri karena
hambatan. (CIOMS, 2002)
4. TAHAPAN FASE UJI KLINIK
Uji Klinik Yaitu suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia, dimana
sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang atau pra klinik. (Katzung, 1989)
Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek samping
yang sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu obat. Uji klinik ini terdiri dari
uji fase I sampai fase IV. (Gunawan, 2005)
4.1

Uji Klinik Pra- Pemasaran
Uji Klinik Tahap Awal adalah suatu uji klinik tanpa pembanding (uncontrolled

trial). Tahap ini bertujuan untuk melihat adanya kemungkinan manfaat klinik,
menentukan dosis yang dapat menimbulkan efek tersebut serta untuk Uji Klinik Tahap
Lanjut merupakan uji klinik yang definitif dengan jumlah penderita yang lebih banyak
dan dilakukan dengan persyaratan-persyaratan metodologi dan monitoring yang ketat
(exploratory trial). Uji klinik dilakukan dengan kelompok pembanding dapat berupa
placebo atau obat standar( baku) yang sudah diketahui secara pasti. Uji klinik dapat
dilakukan disalah satu pusat penelitian (mono centre) atau di beberapa pusat penelitian
(multi centre). (Menkes, 1996)
4.1.1 Fase I
Fase I adalah uji coba pertama dari bahan aktif baru atau formulasi baru yang
dilakukan pada manusia, dan biasanya sering dilakukan pada sukarelawan sehat.
Tujuannya adalah untuk membentuk suatu evaluasi awal mulai dari keamanan, kerangka

7

awal farmakokinetik, dan jika memungkinkan profil farmakodinamik dari bahan aktif
pada manusia. (WHO, 1995)
Tujuan fase ini adalah menentukan besarnya dosis maksimal yang dapat toleransi
(maximally tolerated dose = MTD), yakni dosis sebelum timbul efek toksik yang tidak
dapat diterima. Hasil penelitian farmakokinetik ini digunakan untuk meningkatkan
ketepatan pemilihan dosis pada penelitian selanjutnya. Uji klinik fase I dilaksanakan
secara terbuka, artinya tanpa pembanding dan tidak tersamar, dengan jumlah subyek
bervariasi antara 20-50orang. (Gunawan, 2005)
4.1.2 Fase II
Percobaan ini sering dilakukan pada subjek yang terbatas, pada antar tahap, dan
perbandingan antar desain (misalnya plasebo terkontrol). Tujuan fase ini adalah untuk
menunjukkan aktivitas terapeutik dan untuk menilai keamanan jangka pendek dari
bahan aktif pada pasien yang menderita penyakit atau kondisi dimana bahan aktif
diharapkan. Fase ini juga bertujuan untuk menentukan rentang dosis yang tepat atau
rejimen dan jika memungkinkan juga menjelaskan hubungan respon dosis untuk
memberikan dasar yang optimal untuk desain uji coba terapi jangka panjang.
(WHO, 1995).
Fase II ini dilaksanakan oleh dokter ahli farmakologi klinik dan dokter ahli klinik
dalam

bidang yang bersangkutan. Seleksi pasien harus ketat, tidak ada penyakit

penyerta dan tidak mendapat terapi lain, dan setiap pasien harus dimonitor dengan
intensif. Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan secara terbuka karena
masih merupakan penelitian eksploratif, karena itu belum dapat diambil kesimpulan
yang mantap mengenai efikasi obat yang bersangkutan. Untuk menjamin validitas uji
klinik komparatif ini, alokasi pasien harus acak dan pemberian obat dilakukan secara
tersamar ganda. Ini disebut uji klinik berpembanding, acak, tersamar ganda.
Pada fase II ini tercakup juga studi kisaran dosis (dose-ranging study) untuk
menentapkan dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya, dan penelitian lebih lanjut
mengenai eliminasi obat, terutama metabolismenya. Jumlah subjek yang mendapat obat
baru pada fase ini antara 100-200 penderita. (Gunawan, 2005).
4.1.3 Fase III

8

Pada fase ini, uji coba dilakukan pada kelompok pasien yang lebih besar (dan
mungkin bervariasi) dengan tujuan menentukan keseimbangan keamanan / khasiat
jangka pendek dan panjang dari formulasi bahan aktif, dan menentukan indeks terapi
secara relatif dan keseluruhan. Pola dan profil dari setiap reaksi yang merugikan harus
sering diselidiki dan fitur khusus dari produk harus diolah lebih lanjut (misalnya
interaksi obat yang berhubungan dengan klinis, faktor yang menyebabkan perbedaan
efek seperti usia). Percobaan ini sebaiknya menjadi metode acak double-blind, tetapi
metode lainnya dapat diterima, misalnya studi keamanan jangka panjang. Umumnya,
kondisi di mana percobaan ini dilakukan harus sedekat mungkin dengan kondisi normal
penggunaan. (WHO,1995).
Uji klinik fase III dilakukan pada sejumlah besar pasien yang tidak terseleksi ketat
(ada penyakit penyerta dan/atau mendapat terapi lain) dan dikerjakan oleh peneliti
klinik yang tidak terlalu ahli, sehingga menyerupai keadaan sebenarnya dalam
penggunaan sehari-hari di masyarakat. Pada uji klinik fase III ini biasanya
pembandingan dilakukan dengan plasebo, obat yang sama tapi dosis berbeda, obat
standar dengan dosis ekuiefektif, atau obat lain yang indikasinya sama dengan dosis
yang ekuiefektif.
Jika hasil uji klinik fase III menunjukan bahwa obat baru ini cukup aman dan
efektif, maka obat dapat diberikan ijin pemasaran. Jumlah pasien yang diikutsertakan
pada fase III ini paling sedikit 500 orang. (Gunawan, 2005).
4.2

Uji Klinik Pasca-Pemasaran
Uji klinik tahap pemantauan merupakan survailan efek samping yang langka

(rare, side effects) yang baru muncul setelah pemberian jangka panjang yang tidak
mungkin terkendali pada fase-fase uji klinik sebelum pemasaran. Sistem survailan ini
seyogyanya merupakan bagian dari sistem Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Nasional. Disamping itu, Uji Klinik Tahap Phemantauan dilakukan untuk melihat
manfaat obat pada keadaan yang sesungguhnya dalam klinik, pada populasi penderita
yang khusus misalnya anak-anak, orang lanjut usia dan lain-lain.(Menkes, 1992).

4.2.1 Fase IV

9

Pada fase ini, penelitian dilakukan setelah pemasaran produk farmasi. Uji coba di
fase IV dilakukan atas dasar karakteristik produk yang telah diizinkan untuk beredar dan
biasanya dalam bentuk pengawasan pasca-pemasaran, atau penilaian dari indeks terapi
atau strategi pengobatan. Meskipun memungkinkan metode yang berbeda, penelitian
ini harus menggunakan standar ilmiah dan etika yang sama seperti yang diterapkan
dalam penelitian sebelum pemasaran. Setelah produk telah ditempatkan di pasar, uji
klinis dirancang untuk meneliti indikasi baru, metode administrasi baru atau kombinasi
baru, dll. Biasanya dianggap sebagai uji coba untuk produk farmasi baru. (WHO,1995).
Fase ini sering disebut post-marketing drug surveillance karena merupakan
pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Pada fase ini kepatuhan penderita
makan obat merupakan masalah. Penelitian fase IV merupakan survei epidemiologik
menyangkut efek samping maupun efektivitas obat. Pada fase IV ini dapat diamati
Efek samping yang frekuensinya rendah atau yang timbul setelah pemakaian obat
bertahun-tahun lamanya.
Efektifitas obat pada penderita berpenyakit berat atau berpenyakit ganda,
penderita anak atau usia lanjut, atau setelah penggunaan berulangkali dalam jangka
panjang dan masalah penggunaan berlebihan, penyalahgunaan (abuse), dan lain-lain.
Dewasa ini waktu yang diperluka untuk pengembangan suatu obat baru, mulai
dari sintetis bahan kimianya sampai dipasarkan, mencapai waktu 10 tahun atau lebih.
(Gunawan, 2005)
4.3

Pembanding
Pembanding adalah produk farmasetika atau lainnya (yang mungkin plasebo)

digunakan sebagai refrensi dalam percobaan klinis. (WHO,1995).
Pemilihan pembanding yang digunakan harus memiliki justifikasi ilmiah.
Kelompok pembanding diperlukan untuk mengontrol variabel-variabel perancu,
sehingga hasil akhir uji merupakan efek obat herbal yang diuji. Sebagai pembanding
digunakan produk yang merupakan pilihan untuk kondisi dalam uji klinik dimaksud
serta sudah terdaftar.
Bila menggunakan plasebo sebagai pembanding maka harus memperhatikan
aspek ilmiah dan etik penelitian sehingga tidak berdampak pada validitas data klinik
yang dihasilkan serta tidak berdampak negatif bagi keselamatan subjek. Sebagai contoh

10

tidak etis bila salah satu kelompok pada penelitian obat hipertensi mendapatkan plasebo
karena akan membahayakan keselamatan subjek. (BPOM, 2014).
5. PIHAK YANG TERLIBAT DALAM UJI KLINIK
5.1

Peniliti
Peneliti adalah seseorang yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Uji Klinik di

suatu tempat Uji Klinik. (BPOM, 2001).
Peneliti yang terlibat dalam uji klinik harus memahami secara benar prinsip
CUKB yang merupakan standar yang telah diterima secara Internasional dalam
melakukan uji klinik serta mempersiapkannya dengan baik. Hal tersebut sangat
diperlukan mengingat peran peneliti sangat menentukan diperolehnya data klinik yang
shahih, akurat dan terpercaya selain perlindungan kepada manusia yang menjadi subjek
uji klinik. Untuk dapat menjalankan peran secara optimal, peneliti yang terlibat dalam
uji klinik untuk memperhatikan hal-hal seperti:
a. Memiliki latar belakang yang sesuai dan memahami GCP/CUKB serta memiliki
sertifikat GCP/CUKB.
b. Memiliki sumber daya yang kompeten dan memahami prinsip GCP serta regulasi
yang berlaku. (BPOM,2014)
5.2

Subyek
Subyek uji Klinik adalah seorang individu yang ikut serta dalam suara Uji Klinik

yang memiliki hak dan kewajiban saat keikutsertaannya dalam Uji Klinik.
(BPOM, 2014). Dalam uji klinik harus ditentukan secara jelas kriteria pemilihan pasien,
yaitu: Kriteria inklusi dan kriteria eklusi.
a. Kriteria inklusi: syarat - syarat yang secara mutlak harus dipenuhi oleh subjek untuk
dapat diikutsertakan dalam penelitian. Meliputi antara lain kriteria diagnostik, baik
klinis maupun laboratoris, derajat penyakit, asal pasien umur dan jenis kelamin.
b. Kriteria eklusi: kriteria yang tidak memungkinkan diikutsertakannya subjek dalam
penelitian. Sebagai contoh adalah wanita hamil. Hampir sebagian besar uji klinik
obat tidak menggunakan wanita hamil mengingat resiko yang mungkin lebih besar
dibanding manfaatnya. Demikian juga untuk pasien resiko tinggi.

11

Dalam pemilihan pasien hendaknya ditetapkan bahwa kriteria diagnostik yang dipilih
benar - benar merupakan indikasi utama pemakaian obat yang diujikan.
(Rahmatini, 2010)
5.2.1 Syarat Subjek
Seorang individu yang berpartisipasi dalam uji klinis harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Individu yang sehat yang sukarela berpartisipasi dalam uji klinik.
b. Individu dengan kondisi yang tidak terkait dengan penggunaan produk dalam uji
klinik.
c. Individu (biasanya pasien) yang kondisinya relavan dengan penggunaan produk uji
klinik. (WHO, 1995)
5.3

Tempat Penelitian (site)
Tempat penelitian harus memiliki fasilitas yang cukup, seperti ketersediaan

ruang–ruang sesuai fungsi masing–masing, peralatan medis serta obat untuk keadaan
darurat, peralatan elektronik yang menunjang pelaksanaan uji klinik. Sponsor memiliki
peran penting dalam pemilihan tempat uji klinik. (BPOM, 2014)
5.4

Sponsor dan ORK
Sponsor adalah perorangan, perusahaan, Institusi atau organisasi yang mengambil

tanggung jawab untuk memprakarsai,, mengelola, dan/atau membiayai suatu Uji Klinik.
Organisasi Riset Kontrak, yang selanjutnya disebut ORK, adalah seseorang atau suatu
organisasi (komersial atau lainnya) yang dikontrak oleh sponsor untuk melaksanakan
satu atau lebih tugas dan fungsi sponsor dalam uji klinik. Sponsor dan ORK harus
memiliki pemahaman yang seimbang mengenai CUKB. Untuk dapat menjalankan peran
secara optimal, sponsor dan ORK terlibat dalam uji klinik harus memperhatikan hal-hal
seperti:
a. Memiliki sumber daya yang kompeten dan memahami prinsip GCP serta regulasi
yang berlaku.
b. Mengetahui dokumen yang harus tersedia saat uji klinik dan memahami fungsi dari
setiap dokumen tersebut. (BPOM, 2014).

12

5.5. Komisi etik
Komisi Etik adalah suatu badan independen (suatu dewan penilai atau suatu
komisi, institusional, regional, nasional, atau supranasional), yang terdiri dari
profesional medik/ ilmiah dan anggota non-medik/non –ilmiah, dan kesejahteraan
Subyek Uji Klinik yang terlibat dalam suatu Uji Klinik dan untuk memastikan
terlaksananya

perlindungan

itu,

antara

lain

dengan

mengkaji

dan

menyetujui/memberikan pendapat yang mendukung terhadap Protokol Uji Klinik,
kelayakan para peneliti, fasilitas, cara dan bahan yang digunakan untuk memperoleh
dan mendokumentasi persetujuan setelah penjelasan dari Subyek Uji Klinik tersebut.
Komisi Etik dan Regulator memiliki sumber daya yang kompeten dalam rangka
mengawal bahwa protokol uji serta dokumen uji lainnya dapat dipertanggungjawabkan
secara etis dan ilmiah untuk dilaksanakan serta melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan uji tersebut. (BPOM, 2014)
6. RANCANGAN UJI
6.1

Desain Uji
Pada uji klinik dilakukan uji untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara

variabel bebas (prediktor) dengan variebel tergantung (efek) dalam periode waktu
tertentu. Hasil uji klinik ditentukan berdasarkan atas perbedaan efek yang terjadi pada
kelompok perlakan dengan pada kelompok kontrol. Efek yang dinilai dapat merupakan
kejadian klinik, ataupun hasil laboratorium, dan dapat berskala nominal, ordinal,
ataupun numerik.
Di antara banyak jenis desain uji klinik, yang banyak digunakan adalah desain
paralel dan desain menyilang. (Rachmadi, 2008).
6.1.1 Desain paralel
Subjek yang memenuhi kriteria penelitian dilakukan randomisasi. Kelompok
perlakuan diberi obat yang diteliti, kelompok kontrol diberi obat standar. Efek yang
terjadi dibandingkan.

13

Gambar 1: Desain uji paralel (Rachmadi, 2008)
6.1.2 Desain menyilang (cross-over)
Subjek yang terpilih dilakukan randomisasi (R). Kelompok A diberikan obat yang
diteliti, dan kelompok B menjadi kontrol. Setelah waktu yang ditentukan, perlakuan
dihentikan selama beberapa waktu (periode wash out), kemudian dilakukan silang.
Subjek pada kelompok A menjadi kelompok perlakuan (A'), sedangkan kelompok B
menjadi kelompok kontrol (B'). Efek pengobatan dibandingkan.

Gambar 2: Desain uji menyilang (Rachmadi, 2008)
6.2

Pengacakan Perlakuan (Ramdomisasi)
Randomisasi atau pengacakan perlakuan mutlak diperlukan dalam uji klinik

terkendali (randomized controlled trial-RCT) dengan tujuan utama menghindari bias.
Dengan pengacakan sebelum uji klinik maka setiap subjek akan memperoleh
14

kesempatan yang sama dalam mendapatkan perlakuan dan subjek - subjek yang
memenuhi kriteria inklusi akan terbagi sama rata dalam tiap kelompok perlakuan,
dimana ciri-ciri subjek dalam satu kelompok praktis seimbang. (Rahmatini, 2010).
6.3

Penyamaran/Pembesaran (Blinding)
Penyamaran adalah merahasiakan bentuk terapi yang diberikan. Dengan

penyamaran, maka pasien dan/atau pemeriksa tidak mengetahui yang mana obat yang
diuji dan yang mana pembandingnya. Biasanya bentuk obat yang diuji dan
pembandingnya dibuat sama. Tujuan utama penyamaran ini adalah juga untuk
menghindari bias pada penilaian respons terhadap obat yang diujikan. Penyamaran
dapat dilakukan secara : single blind, double blind, dan triple blind.
6.3.1 Single Blind
Jika identitas obat tidak diberitahukan pada pasien.
6.3.2 Double Blind
Jika baik pasien maupun dokter pemeriksa tidak diberitahu obat yang diuji
maupun pembandingnya.
6.3.3 Triple Blind
Jika pasien, dokter pemeriksa maupun individu yang melakukan analisis tidak
diberitahu identitas obat yang diuji dan pembandingnya.
Kesehatan dan keselamatan pasien tetap dipantau sepenuhnya oleh penanggung
jawab medik, sehingga sewaktu - waktu terjadi hal - hal yang tidak diharapkan (adverse
effect) dapat segara dilakukan penanganan secara medik. (Rahmatini, 2010)
6.4

Analisis data
Jenis dari analisis statistik yang digunakan harus ditentukan dalam protokol, dan

setiap penyimpangan dari rencana ini harus dibenarkan dan dijelaskan dalam laporan
akhir dari uji klinik. Analisis statistik harus direncanakan dan dilaksanakan atau
diverifikasi oleh ahli statistik yang telah diidentifikasi, berkualitas dan berpengalaman.

15

Kemungkinan dan keadaan dari analisis sementara juga harus dicantumkan dalam
protokol.
Peneliti dan monitor harus memastikan bahwa data adalah berkualitas pada saat
pengumpulan data dan ahli statistik harus memastikan integritas data selama
pemprosesan. (WHO, 1995)

7. PEDOMAN UJI KLINIK
7.1

Uji Klinik Fitofarmaka/Obat Herbal
Uji Klinik Fitofarmaka harus memenuhi prinsip- prinsip etika sejak perencanaan

sampai pelaksanaan dan penyelesaian uji klinik. Setiap pengujian harus mendapatkan
ijin kelaikan etik (ethical clearance) dari Panitia Etika Penelitian Biomedik pada
manusia. (Menkes RI, 1992)
Uji Klinik Obat Herbal yang dilakukan harus:
a. Memberikan manfaat nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kepentingan
masyarakat;
b. mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik;
c. mendapatkan persetujuan atau menyampaikan notifikasi kepada Kepala Badan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor 9 Tahun 2014 tentang Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik; dan mengacu
kepada Pedoman CUKB dan Pedoman Uji Klinik Obat Herbal. (BPOM RI, 2014)
7.2

Uji Klinik Terdiri atas

7.2.1 Uji Klinik Prapemasaran
Uji Klinik Prapemasaran adalah Uji Klinik yang menggunakan Produk Uji yang
belum memiliki izin edar di Indonesia, termasuk Uji Klinik dengan Produk Uji yang
telah memiliki izin edar untuk mengetahui indikasi/posologi baru.
7.2.2 Uji Klinik Pascapemasaran.
Uji Klinik Pascapemasaran adalah Uji Klinik yang menggunakan Produk Uji yang
sudah melalui Uji Klinik Prapemasaran dan telah memiliki izin edar di Indonesia, untuk

16

mendapatkan data keamanan dan/atau untuk konfirmasi khasiat/manfaat yang telah
disetujui. (BPOM RI, 2014)
7.3

Pengembangan obat herbal
Pengembangan obat herbal meningkat akhir-akhir ini, baik yang ditujukan sebagai

upaya promotif, paliatif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif. Untuk dapat
memanfaatkan kondisi tersebut bila diinginkan oleh pihak industri maka obat herbal
tradisional berupa jamu atau OHT dapat dikembangkan menjadi fitofarmaka.
(BPOM RI, 2014)
7.4

Diagram pengelompokkan herbal

Diagram di atas menggambarkan pengelompokkan herbal berdasarkan riwayat
tradisional dan bukti dukungnya serta alur bila memerlukan pelaksanaan uji klinik.
(BPOM RI, 2014)
7.5

Dasar Pemilihan Metodologi atau Desain Uji Klinik
Pemilihan metodologi atau desain uji klinik obat herbal harus dapat menjawab

tujuan uji klinik dan menentukan seberapa jauh dapat mendukung klaim yang akan

17

diajukan. Oleh karenanya pemilihan desain harus dipertimbangkan dengan cermat,
mempertimbangkan antara lain:
- karakteristik produk uji
- tujuan uji klinik dimaksud harus selaras dengan klaim yang akan diajukan saat
registrasi produk. (BPOM RI, 2014)
7.6

Penentuan Dosis
Studi penentuan dosis (dose ranging study) dalam tahapan uji klinik merupakan

hal penting yang harus dilakukan. Studi penentuan dosis tersebut, dimaksudkan untuk
dapat menentukan dosis efektif yang kemudian konsisten diberikan pada fase-fase
selanjutnya dalam uji klinik maupun setelah kemudian dapat diedarkan. Bila telah ada
konversi yang pasti dari dosis efektif pada hewan coba kepada manusia, studi penentuan
dosis dapat tidak dilakukan.
Studi penentuan dosis dilakukan sebelum fase III uji klinik dengan
memperhatikan hasil uji LD50, serta uji toksisitas dan farmakodinamik pada hewan
coba. (BPOM RI, 2014)
7.7

Tata Laksana Uji Klinik

7.7.1 Klinik pra-Pemasaran
a. Pengajuan pelaksanaan Uji klinik Pra-Pemasaran dilakukan oleh sponsor yang
bertindak sebagai Sponsor kepada Kepala Badan.
b. Pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan contoh Formulir UK1 sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 Keputusan ini.
c. Khusus untuk pengajuan Uji Klinik Pra-Pemasaran vaksin dan produk biologi, di
samping formulir tersebut pada ayat (2), harus dilengkapi dengan Ringkasan
Protokol Batch Produksi yang akan digunakan sesuai ketentuan Badan Kesehatan
Dunia.
d. Alur Tata Persiapan Uji Klinik Pra-Pemasaran adalah sebagaimana tercantum dalam
lampiran II a dan Lampiran II b Keputusan II.
7.7.2. Uji Klinik pada Pemasaran

18

a. Pemberitahuan pelaksanaan Uji Klinik Pasca-Pemasaran dilakukan oleh Sponsor
atau yang bertindak sebagai Sponsor kepada Kepala Badan.
b. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan contoh Formulir
UK-1 sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 Keputusan ini.
c. Khusus untuk pengajuan Uji Klinik pada Pemasaran vaksin dan produk biologi, di
samping formulir tersebut pada ayat (2), harus dilengkapi dengan Ringkasan
Protokol Batch Produksi dari 3 (tiga) batch berurutan yang akan digunakan sesuai
Ketentuan Badan Kesehatan Dunia.
d. Alur Tata Cara Persiapan Uji Klinik Pasca-Pemasaran adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran III a dan Lampiran III b Keputusan ini.
7.7.3 Uji klinik Terbatas untuk Pendidikan
a. Pemberitahuan pelaksanaan Uji klinik Terbatas untuk Pendidikan dilakukan oleh
Peneliti / Institusi kepada Kepala Badan.
b. Dokumen yang diperlukan untuk pelaksanaan Uji Klinik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Institusi.
c. Alur Tata Cara persiapan Uji Klinik Terbatas untuk Pendidikan adalah sebagaimana
tercantum dalam lampiran IV a dan Lampiran IV b keputusan ini. (BPOM RI, 2014)

19

Lampiran

PRINSIP ICH

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

DAFTAR PUSTAKA
32

BPOM RI. 2014. Pedoman Uji Klinik Obat Herbal. Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014. Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta.
CIOMS. 2002. International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving
Human Subjects. Council for International Organizations of Medical Sciences.
Geneva.
Gunawan, S. G. , Setiabudy R., Nafrialdi, Elysabeth (Editor). 2005. Farmakologi dan
Terapi Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI: Jakarta.
Katzung.1989.Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3.EGC: Jakarta.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik lndonesia No. 761/Menkes/SK/IX/1992.
Pedoman Fitofarmaka. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
WHO. 1995. Guidelines for Good Clinical Practice (GCP) for Trials on
Pharmaceutical Products. World Health Organization. Manila.
BPOM. 2014. Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik. Peraturan Kepala BPOM Nomor 9
Tahan 2014. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
BPOM. 2001. Tata Laksana Uji Klinik. Peraturan Kepala BPOM Nomor
02002/SK/KBPOM Tahun 2001. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia.
Rahmatini. 2010. Evaluasi Khasiat dan Tanaman Obat (Uji Klinik). Sumatera. Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
WHO. 1995. Guidelines for good clinical practice (GCP) for trials on pharmaceutical
products. WHO Technical Report Series, No. 850, 1995, Annex 3. World Health
Organization.
Diana Krisanti Jasaputra, Slamet Santosa, Rachmadi. 2008. Metodologi Penelitian
Biomedis Edisi 2. Bandung: Danamartha Sejahtera Utama (DSU). Hal 85-94.

33