Analisis Faktor Risiko Kejadian Gizi Bur

PROPOSAL

“Analisis Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk Pada Balita

di Puskesmas Pegandan, Kecamatan Gajah Mungkur , Kota Semarang”

Disusun Oleh:

Kelompok 4 Kelas D 2013

Miranti 25010113140270 Karinta Ariani Setiaputri

25010113140272 Luluk Safura Priyandina

25010113130273 Ade Yuny Afriyanty

25010113130275 Fitriana Candra Dewi

25010113130276 Ziyaan Azdzahiy Bebe

25010113140277 Sabrilla Putri Gotama

25010113140278 Fina Khiliyatus Jannah

25010113140279 Ronna Atika Tsani

25010113130280 Bagas Satrio Priambudi

Tugas PBL dilakukan untuk memenuhi salah satu Tugas MK Isu Terkini Penyakit

Tidak Menular Semester V 3 sks

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2015

HALAMAN PENGESAHAN

(Laporan Project Based Learning Isu Terkini Penyakit Tidak Menular)

1. Judul : Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kejadian Gizi Buruk Pada Balita di Wilayah Puskesmas Pegandan Kecamatan

Gajah Mungkur, Kota Semarang

2. Penyusun

Nama/NIM

 Miranti 25010113140270  Karinta Ariani Setiaputri

25010113140272  Luluk Safura Priyandina

25010113130273  Ade Yuny Afriyanty

25010113130275  Fitriana Candra Dewi

25010113130276  Ziyaan Azdzahiy Bebe

25010113140277  Sabrilla Putri Gotama

25010113140278  Fina Khiliyatus Jannah

25010113140279  Ronna Atika Tsani

25010113130280  Bagas Satrio Priambudi

25010113140311

Kelompok/Semester/Tahun : Kelompok 4 / Semester V / 2015

3. Nama Mata Kuliah/sks : Isu Terkini Penyakit Tidak Menular / 3 sks

4. Lokasi Kegiatan

: Puskesmas Penggaron

5. Waktu Kegiatan

: 06 Oktober 2015

Sudah diperiksa isi materi keilmuan dan disetujui.

Semarang, 2015

Dosen Pembimbing/Penguji PBL,

Lintang Dian Saraswati, SKM, M.Kes

NIP. 198111042003122001 Menyetujui,

Penanggung Jawab Mata Kuliah Isu Terkini Penyakit Tidak Menular

dr. Baju Widjasena, M. Erg NIP. 197006281997021001

4.2 Analisis Kuisioner Berdasarkan Skala Guttman ……………… 32

4 .3 Analisis Faktor Risiko ………………………………………… 32

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan …………………………………………………… 42

5.2 Saran ……………………………………………………….... 42 DAFTAR PUSAKA ………………………………………………….

44 LAMPIRAN ………………………………………………………….

49

DAFTAR TABEL

Tabel 4.2 Skala Guttman ………………………………………………. 32

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2 Kerangka teori …………………………………………

16 Gambar 3.1 Ke rangka Konsep ………………………………………

17 Gambar 4.1 Peta Kota Semarang …………………………………...

32

DAFTAR ISTILAH

ISPA : ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut. ISPA meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya.

TBC : Penyakit Tuberculosis yang biasa disebut TB atau TBC merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Penularan melalui udara.

Diare : Diare adalah penyakit saat tinja atau feses berubah menjadi lembek atau cair yang biasanya terjadi paling sedikit tiga kali dalam 24 jam Diare kebanyakan disebabkan oleh beberapa infeksi virus tetapi juga seringkali akibat dari racun bakteria.

Imunisasi : Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit lain diperlukan imunisasi lainnya.

KMS : KMS adalah kartu yang memuat grafik pertumbuhan serta indicator perkembangan yang bermanfaat untuk mencatat dan memantau tumbuh kembang balita setiap bulan dari sejak lahir sampai berusia 5 tahun. KMS juga dapat diartikan sebagai “ rapor “ kesehatan dan gizi (Catatan riwayat kesehatan dan gizi ) balita.

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Malnutrisi adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh diet yang tidak tepat atau tidak mencukupi.malnutrisi pada anak-anak akan sangat mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangannya, karena pada usi anak-anak zat gizi sangat diperlukan untuk membangun tubuh yang sehat dan mental yang kuat. Lebih dari itu, malnutrisi pada usia ini juga dapat berdampak pada munculnya berbagai penyakit ketika anak tumbuh menjadi remaja atau dewasa (Hafid, dkk, 2014).

Malnutrisi merupakan salah satu masalah gizi balita di Indonesia.Masalah ini banyak terjadi pada balita terutama di negara-negara berkembang.Malnutrisi dapat diakibatkan karena masukan makanan yang tidak sesuai atau tidak cukup atau dapat diakibatkan karena penyerapan makanan yang tidak cukup (Nelson, 1996).Rata-rata berat badannya hanya berkisar 60-80% dari berat ideal. Adapun ciri-ciri klinis yang biasa menyertainya antara lain; kenaikan berat badan berkurang, terhenti, atau bahkan menurun, ukuran lingkar lengan atas menurun, maturasi tulang terlambat, rasio berat terhadap tinggi atau cenderung menurun, tebal lipat kulit normal atau semakin berkurang (Israr dkk, 2009).

Malnutrisi pada balita tidak hanya menjadi perhatian tenaga kesehatan di Indonesia namun juga menjadi perhatian dunia, sebagaimana telah dicantumkan dalam MDG’s (Millenium Development Goals) bahwa dunia harus bisa memberantas kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar yang universal, mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, mengurangi angka mortalitas anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV / AIDS, malaria dan penyakit lainnya, menjamin kelestarian lingkungan, mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan (WHO, 2009).

Angka kematian dan kesakitan pada balita akibat status gizi jarang disebutkan secara eksplisit. Di beberapa Negara berkembang banyak balita yang meninggal Angka kematian dan kesakitan pada balita akibat status gizi jarang disebutkan secara eksplisit. Di beberapa Negara berkembang banyak balita yang meninggal

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) bidang Kesehatan 2010-2014 telah ditetapkan salah satu sasaran pembangunan yang akan dicapai adalah menurunkan prevalensi gizi kurang menjadi setinggi-tingginya 15%. Ternyata berdasarkan data yang didapatkan dari Riskesdas tahun 2013, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita meningkat dari 17,9 tahun 2010 menjadi 19,6 tahun 2013. Yang artinya belum tercapai sasaran pembangunan tersebut.sedangkan di Jawa Tengah pun angkanya cukup tinggi yaitu 17,6% dari estimasi jumlah balita. Untuk Kota Semarang kasus kekurangan gizi pun menjadi perhatian pihak Dinas Kota Semarang itu sendiri. Pada tahun 2012 tercatat terdapai 39 anak balita yang mengalami kasus gizi buruk dan pada tahun 2013 tercatat sebanyak 32 anak balita, yang artinya terdapat menurunan kasus gizi buruk di Kota Semarang dari tahun 2012 sampai tahun 2013.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang dr. Widoyono wilayah tertinggi temuan kasus gizi buruk dan kekurangan gizi berasa di Kecamatan Semarang Utara, Semarang Tengah, Semarang Barat dan Kecamatan Genuk. Pemerintah setempat juga sudah berusaha dalam menurunkan kasus gizi buruk dengan mendirikannya Rumah Gizi di Banyumanik (Jateng Tribun News, 2014).

Penyebab gizi kurang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling terkait, antara lain makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit.Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang.Penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang yaitu ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai.pola pengasuhan anak kurang memadai, pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. (Supariasa, 2001). Berdasarkan hal tersebut, kami Penyebab gizi kurang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling terkait, antara lain makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit.Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang.Penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang yaitu ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai.pola pengasuhan anak kurang memadai, pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. (Supariasa, 2001). Berdasarkan hal tersebut, kami

Semarang”.

1.2.Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko kejadian gizi buruk di

Puskesmas Pegandan, Kecamatan Gajah Mungkur, Kota Semarang, Jawa Tengah.

b. Tujuan Khusus

1. Menganalisis faktor akses terhadap bahan pangan terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah Puskesmas Pegandan.

2. Menganalisis faktor pendapatanterhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah Puskesmas Pegandan.

3. Menganalisis faktor infeksi terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah Puskesmas Pegandan.

4. Menganalisis faktor pengetahuan ibu terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah Puskesmas Pegandan.

5. Menganalisis faktor sikap ibu terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah Puskesmas Pegandan.

6. Menganalisis faktor pola asuh ibu terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah Puskesmas Pegandan.

7. Menganalisis faktor pelayanan kesehatan terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah Puskesmas Pegandan.

BAB II TINJAUAN PUSAKA

2.1.Landasan Teori

2.1.1. Klinis

a. Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari pemakaian, penyerapan, dan penggunaan makanan (Suhardjo, 2003).Makanan yang memenuhi gizi tubuh,

ke status gizi memuaskan.Sebaiknya jika kekurangan atau kelebihan zat gizi esensial dalam makanan untuk jangka waktu yang lama disebut gizi salah.Manifestasi gizi salah dapat berupa gizi kurang dan gizi lebih (Supariasa, 2004).

umumnya

membawa

Keadaan tubuh dikatakan pada tingkat gizi optimal, jika jaringan tubuh jenuh oleh semua zat gizi, maka disebut status gizi optimal. Kondisi ini memungkinkan tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai daya tahan yang tinggi. Apabila konsumsi gizi makanan pada seseorang tidak seimbang dengan kebutuhan tubuh maka akan terjadi kesalahan gizi yang mencakup kelebihan dan kekurangan zat gizi (Supariasa, 2004).

2.1.2 Antopometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, 2002). Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).

a. Berat Badan Menurut Umur

Merupakan pengukuran antropometri yang sering digunakan sebagai indikator dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan dan keseimbangan antara intake dan kebutuhan gizi terjamin. Berat badan memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya terserang infeksi, kurang nafsu makan dan menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. BB/U lebih menggambarkan status gizi sekarang. Berat badan yang bersifat labil, menyebabkan indeks ini lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini ( Current Nutritional Status ).

b. Tinggi Badan Menurut Umur

Indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status ekonomi.Berikut berat badan menurut umur 0-60 bulan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Antropometri Status Gizi Anak. (Permenkes, 2010)

Tabel 2.1 Standar Berat Badan Menurut Umur 0-60 Bulan.

c. Berat Badan Menurut Tinggi Badan

Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu (Supariasa,dkk 2002).

2.2.Klasifikasi Gizi Buruk

Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus- kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari masing-masing tipe yang berbeda-beda.

2.2.1. Marasmus

Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul diantaranya : Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul diantaranya :

b. Wajah seperti orang tua

c. Iga gambang dan perut cekung

d. Otot paha mengendor (baggy pant )

e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar

2.2.2. Kwashiorkor

Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk ( suger baby ), bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh.

a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis.

b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.

c. Wajah membulat dan sembab.

d. Pandangan mata anak sayu.

e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.

f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi coklat kehitaman dan terkelupas.

2.2.3. Marasmiks – Kwashiorkor

Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan marasmus.Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan marasmus.Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein

2.3.Faktor Risiko

2.3.1 Asupan Makanan

Konsumsi makanan berpengaruh terhadap keadaan gizi seseorang. Makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memenuhi asupan zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Sebaliknya, bila makanan tidak dipilih dengan baik, tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu. Zat gizi esensial adalah zat gizi yang diperoleh dari makanan yang bila dikelompokkan memiliki tiga fungsi yakni memberi energi, mengatur pertumbuhan jaringan tubuh, dan mengatur proses dalam tubuh. Konsumsi makanan oleh bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pengolahan, jumlah anggota keluarga, dan kebiasaan makan per orangan (Almatsier, 2001).

2.3.2 Status Sosial Ekonomi

Kehidupan sosial ekonomi adalah suatu kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang menggunakan indikator pendidikan, pekerjaan dan penghasilan sebagai tolak ukur (Dalimunthe, 1995). Sosial ekonomi merupakan suatu konsep dan untuk mengukur status sosial ekonomi keluarga dilihat dari variabel tingkat pekerjaan. Rendahnya ekonomi keluarga, akan berdampak dengan rendahnya daya beli pada keluarga tersebut (Effendi, 1998).

Salah satu akibat kemiskinan adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik. Hal ini berakibat pada kekurangan gizi, baik zat gizi makro maupun mikro, yang dapat diindikasikan dari status gizi anak balita dan wanita hamil (repository.usu.ac.id). Selain itu rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan, merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita. Keadaan sosial ekonomi yang rendah berkaitan dengan masalah kesehatan yang dihadapi karena Salah satu akibat kemiskinan adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik. Hal ini berakibat pada kekurangan gizi, baik zat gizi makro maupun mikro, yang dapat diindikasikan dari status gizi anak balita dan wanita hamil (repository.usu.ac.id). Selain itu rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan, merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita. Keadaan sosial ekonomi yang rendah berkaitan dengan masalah kesehatan yang dihadapi karena

2.3.3 Pendidikan Ibu

Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi. Salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan adalah pendidikan yang rendah. Adanya pendidikan yang rendah tersebut menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupan (Abu, 1997). Rendahnya pendidikan dapat mempengaruhi akses terhadap bahan pangan dalam keluarga, yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan yang merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita (Sholeh, 2008).

Tingkat pendidikan terutama tingkat pendidikan ibu dapat mempengaruhi derajat kesehatan karena pendidikan ibu berpengaruh terhadap kualitas pengasuhan anak. Tingkat pendidikan yang tinggi membuat seseorang mudah untuk menyerap informasi dan mengamalkan dalam perilaku sehari-hari. Tingkat pendidikan berhubungan dengan status gizi balita karena pendidikan yang meningkat kemungkinan akan meningkatkan pendapatan dan dapat meningkatkan daya beli makanan. Pendidikan diperlukan untuk memperoleh informasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang (Depkes, 2004).

2.3.4. Pengetahuan Ibu

Ibu merupakan orang yang berperan penting dalam penentuan konsumsi makanan dalam keluaga khususnya pada anak balita. Pengetahuan yang dimiliki ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan keluarga. Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi menyebabkan keanekaragaman makanan yang berkurang. Selain itu, gangguan gizi juga disebabkan karena kurangnya kemampuan ibu menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari (Abu, 1997).

Walaupun bahan makanan dapat disediakan oleh keluarga dan daya beli memadai, tetapi karena kekurangan pengetahuan ini bisa menyebabkan keluarga Walaupun bahan makanan dapat disediakan oleh keluarga dan daya beli memadai, tetapi karena kekurangan pengetahuan ini bisa menyebabkan keluarga

2.3.5.Infeksi

Infeksi dapat menyebabkan gizi buruk dikarenakan terdapat hubungan timbal balik antara kejadian penyakit dan gizi buruk. Balita yang menderita gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan sehingga rentan terhadap penyakit. Selain itu anak yang menderita sakit akan memperjelek keadaan gizi melalui gangguan asupan makanan dan meningkatnya kehilangan zat-zat gizi esensial (FKUI, 2007).

2.3.6. Kelengkapan Imunisasi

Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya dapat memberi kekebalan terhadap penyakit tersebut sehingga bila balita kelak terpajan antigen yang sama, balita tersebut tidak akan sakit dan untuk menghindari penyakit lain diperlukan imunisasi yang lain. Infeksi pada balita penting untuk dicegah dengan imunisasi.Kelompok yang paling penting untuk mendapatkan imunisasi adalah bayi dan balita karena meraka yang paling peka terhadap penyakit dan sistem kekebalan tubuh balita masih belum sebaik dengan orang dewasa (Hidayat, 2008).

Sistem kekebalan tersebut yang menyebabkan balita menjadi tidak terjangkit sakit. Apabila balita tidak melakukan imunisasi, maka kekebalan tubuh balita akan berkurang dan akan rentan terkena penyakit. Hal ini mempunyai dampak yang tidak langsung dengan kejadian gizi (Supartini, 2002). Macam macam imunisasi diantaranya :

a. BCG : vaksin untuk mencegah TBC yang dianjurkan diberikan saat berumur 2 bulan sampai 3 bulan dengan dosis 0,05 ml pada bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml pada anak disuntikkan secara intrakutan.

b. Hepatitis B : salah satu imunisasi yang diwajibkan dengan diberikan sebanyak 3 kali dengan interval 1 bulan antara suntikan pertama dan kedua kemudian 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga.Usia pemberian dianjurkan sekurang-kurangnya 12 jam setelah lahir.

d. Campak : imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit campak pada anak karena termasuk penyakit menular. Pemberian yang dianjurkan adalah sebanyak 2 kali yaitu pada usia 9 bulan dan pada usia 6 tahun.

(Hidayat, 2008)

2.3.7.Akses Terhadap Bahan Pangan

Akses terhadap bahan pangan mengacu kepada kemampuan membeli dan besarnya alokasi bahan pangan, juga faktor selera pada suatu individu dan rumah tangga.PBB menyatakan bahwa penyebab kelaparan dan malnutrisi seringkali bukan disebabkan oleh kelangkaan bahan pangan namun ketidakmampuan mengakses bahan pangan karena kemiskinan. Kemiskinan membatasi akses terhadap bahan pangan dan juga meningkatkan kerentanan suatu individu atau rumah tangga terhadap peningkatan harga bahan pangan.Kemampuan akses bergantung pada besarnya pendapatan suatu rumah tangga untuk membeli bahan pangan, atau kepemilikan lahan untuk menumbuhkan makanan untuk dirinya sendiri.

2.3.8. Pola Asuh

Pola asuh orang tua merupakan perlakuan orang tua dalam interaksi yang meliputi orang tua menunjukkan kekuasaan dan cara orang tua memperhatikan keinginan anak. Kekuasaan atau cara yang digunakan orang tua cenderung mengarah pada pola asuh yang diterapkan (Singgih D.Gunarso, 2000).

2.3.9. Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan merupakan upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atupun masyarakat (Depkes, 2009).

Menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoatmojo adalah sebuah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalahpelayanan preventif (pencegahan) dan promotive(peningkatan kesehatan) dengan sasaranmasyarakat.

2.4.Faktor Penyebab Gizi Buruk

2.4.1. Penyebab Langsung

Kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi, menderita penyakit infeksi, cacat bawaan dan menderita penyakit kanker.Anak yang mendapat makanan cukup baik tetapi sering diserang atau demam akhirnya menderita kurang gizi.

2.4.2. Penyebab Tidak Langsung

Akses terhadap bahan pangan rumah tangga, perilaku, pelayanan kesehatan.Sedangkan faktor-faktor lain selain faktor kesehatan, tetapi juga merupakan masalah utama gizi buruk adalah kemiskinan, pendidikan rendah, akses terhadap bahan pangan dan kesempatan kerja.Oleh karena itu untuk mengatasi gizi buruk dibutuhkan kerjasama lintas sektor Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik maupun gizinya. (Dinkes SU, 2006)

2.5.Tanda dan Gejala Terjadinya KEP

a. Badan kurus bila ditimbang pada KMS berada di bawah garis merah ata pita kuning bagian bawah.

b. Lemah lesu.

c. Selera makan kurang,

d. Gangguan pertumbuhan pada anak.

e. Gangguan kecerdasan pada anak mudah terkena penyakit. (Depkes, 1999)

2.6. Dampak Gizi Buruk

Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan memporak porandakan sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali terkena infeksi.

Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa karena berbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun tidak di follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat ” catch up ” dan mengejar ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya.

Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak, akibat kondisi ” stunting ” (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan

perkembangan anak pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri.Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi patal karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak.

Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi anak (Nency, 2005).

2.7. Kategori KEP Berdasarkan Kriteria KMS

Kategori KEP berdasarkan kriteria KMS yang baru dibedakan menjadi dua, yaitu : 13 Kategori KEP berdasarkan kriteria KMS yang baru dibedakan menjadi dua, yaitu : 13

Anak disebut dalam kategori sedang-berat bila berat badan kurang dari 70% baku rujukan BB/U WHO-NCHS. Pada KMS artinya sama dengan di bawah garis merah.

b. KEP Ringan

Anak disebut KEP ringan bila BB 70% sampai kurang dari 80% baju rujukan BB/U WHO-NCHS.

(Depkes, 1999)

2.8.Cara Deteksi KEP

a. KEP dapat dideteksi dengan cara antopometri yaitu mengukur BB dan umur yang dibandingkan dengan indeks BB/ Baku standar WHO-NCHS sebagaimana tercantum dalam KMS.

b. Badan kurus bila di timbang BB pada KMS berada di bawah garis merah.

c. Lemah lesu dan cengeng.

d. Gangguan pertumbuhan badan kurang.

e. Selera makan kurang.

f. Gangguan perkembangan kecedasan.

g. Sikap anak kurang tanggap. (Depkes, 1999)

2.9.Patofisiologi KEP

Dalam kehidupan sehari-hari manusia memerlukan zat gizi yang diperoleh dari makanan apabila kebutuh di dalam tubuh bisa kurang karena oleh susunan makanan yang salah, penyediaan makanan yang kurang baik dimana bahan makanan yang kurang baik.Makanan yang mengandung zar-zat gizi yang cukup baik mikronutrien karobohidrat, lemak, protein maupun mikronutrien vitamin mineral serta air.Kekurangan makanan sumber energi secara umum, baik karbohidrat lemak dan

Energi Protein (KEP) adalah keadaan dimana kekurangan gizi disebabkan karena tubuh kekurangan energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga menimbulkan gangguan kesehatan.Status penderita kurang energi protein termasuk dalam gizi kurang dan gizi buruk.Kurang energi protein dapat terjadi pada semua umur, baik dewasa, maupun anak-anak, terutama ibu hamil, ibu menyusui, dan anak- anak dibawah 5 tahun atau balita.Pada orang dewasa kurang energi protein dapat menurunkan derajat kesehatan sehingga mengakibatkan rentan terhadap penyakit disamping itu menurunkan pula roduktivitas kerja.Pada anak-anak kurang energi protein dapat menghambat pertumbuhan badan, mudah terserang penyakit serta mengakibatkan rendahnya kecerdasan intelektual yang bersifat menetap.Pada prinsipnya gangguan nutrisi pada anak merupakan akibat dari kebutuhan nutrisi yang tidak adekuat sehingga simpanan nutrisi yang dapat menimbulkan anak terkena penyakit (Depkes RI, 1999).

2.10. Kerangka Teori / mindmapping

Gambar 2.1 Kerangka teori

BAB III METODE PENELITIAN

3.1.Kerangka Konsep

Akses Terhadap BahanPangan Pendapatan Infeksi Kejadian Gizi

Buruk

Pengetahuan Ibu Sikap Ibu Pola Asuh Gizi Ibu

Pelayanan Kesehatan

Variabel Bebas

Variabel Terikat

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.2.Jenis dan Desain Studi

Jenis penelitian yang digunakan dalam kegiatan ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan desain studi kasus.Studi kasus merupakan rancangan penelitian yang mencakup pengkajian satu unit penelitian secara intensif, misalnya satu pasien, keluarga, kelompok, komunitas atau institusi. Meskipun jumlah subyek cenderung sedikit, jumlah variabel yang ditiliti sangat luas. Penggalian data dapat melalui kuisioner, wawancara, observasi maupun data dokumen.

3.3.Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Suharsimi Arikunto (2006) memberikan pengertian bahwa populasi adalah keseluruhan objek penelitian. Apabila peneliti ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi. Dalam buku Pengantar Metode Statistik II dikemukakan bahwa populasi adalah keseluruhan unsur-unsur yang memiliki satu atau beberapa ciri atau karakteristik yang sama. Jadi, yang dimaksud dengan populasi adalah keseluruhan obyek yang

3.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggapmewakili seluruh populasi, Sampel harus memenuhi unsur representative dari seluruh sifat – sifat populasi. Sampel yang representative dapat diartikan bahwa Sampel tersebut mencerminkan semua unsur dalam populasi secara proporsional atau memberikan kesempatan yang sama pada semua unsur populasi untuk dipilih, sehingga dapat mewakili keadaan yang sebenarnya dalam populasi (Setiadi, 2013).

Penentuan sample menggunakan teknik purposive sampling, yaitu berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat tertentu yang diperkirakan mempunyai sangkut paut era dengan ciri- ciri atau sifat yang terdapat pada populasi yang sudah diketahui sebelumnya. . Berdasarkan

hal tersebut, maka didapat sampel dari data puskesmas adalah seluruh balita yang mengalami gizi, yaitu sebanyak 4 balita.

3.4.Variabel Penelitian

Variabel penelitian menurut Sugiyono (2008) “...variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya.”

Penelitian ini membahas dua variabel, yakni variabel bebas dan variabel terikat.Variabel bebas dari penelitian ini adalah faktor – faktor risiko kejadian gizi buruk, yaitu akses terhadap bahan pangan, pendapatan, infeksi, pengetahuan ibu, sikap ibu, pola asuh gizi ibu dan pelayanan kesehatan. Sedangkan variable terikatnya adalah kejadian gizi buruk pada balita.

Tabel 3.1 Variabel, Definisi Operasional, dan SkalaPenelitian

No Variabel

DefinisiOperasional

Skala 18

1. Akses terhadap Akses terhadap bahan pangan Nominal ketersediaan

a. Ya pangan

mengacu kepada kemampuan

membeli dan besarnya alokasi

b.

Tidak

bahan pangan, juga faktor

selera pada suatu individu dan rumah tangga.

2. Pendapatan Jumlah penghasilan yang Ordinal diperoleh anggota keluarga responden

pendapatan ≥ Rp 1. 600.000 atau tidak.

3. Infeksi Infeksi adalah masuk dan Nominal berkembang biaknya bibit a. Ya

penyakit atau parasit ke dalam

b. Tidak

tubuh manusia atau binatang.

4. Pengetahuan ibu Pembelajaran pengetahuan, Nominal keterampilan, dan kebiasaan

a. Ya

sekelompok orang yang

b.

Tidak

ditransfer dari satu generasi

pelatihan, atau penelitian.

5. Sikap ibu

Sikap

adalah

perasaan, Nominal

pikiran, dan kecenderungan

a. Ya

ibu yang kurang lebih bersifat

pemberian gizi

terhadap

6. Pola asuh gizi ibu Pola asuh gizi orang tua Nominal

merupakan perlakuan orang

a. Ya

tua dalam interaksi yang

b. Tidak

meliputi pemberian gizi yang dilakukan oleh orang tua.

7. Pelayanan

Nominal Kesehatan

Pelayanan kesehatan

merupakan upaya yang

a. Iya

diselenggarakan sendiri atau

b. Tidak

secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan balita yang mengalami gizi buruk.

3.5.Sumber Data

Pada penelitian kali ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data primer yaitu dengan cara wawancara dan observasi serta data Sekunder.

a. Data Primer

1. Wawancara

Wawancara merupakan merupakan salah satu metode pengumpulan data untuk memperoleh data dan informasi dari responden secara lisan.Wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu, ini merupakan proses tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik (Basuki 2006).

2. Observasi

Observasi diartikan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian (Margono 2000). Teknik pengumpulan data dengan observasi dilakukan bila peneliti berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang tidak diamati tidak terlalu besar.

3. Kuesioner

Angket atau kuesioner adalah teknik pengumpulan data melalui formulir-formulir yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara tertulis pada seseorang atau sekumpulan orang untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan dan informasi yang diperlukan.(Mardalis 2008).

b. Data Sekunder

Merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada. Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti data puskesmas, buku, laporan, jurnal, dan lain-lain.

3.6.Instrumen

Instrumen penelitian merupakan alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan agar kegiatan tersebut Instrumen penelitian merupakan alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan agar kegiatan tersebut

Kuesioner adalah merupakan daftar pertanyaan yang akan digunakan oleh periset untuk memperoleh data dari sumbernya secara langsung melalui proses komunikasi atau dengan mengajukan pertanyaan.

Berikut beberapa-jenis kuesioner :

a. Kuesioner Terstruktur Yang Terbuka

Tingkat struktur dalam kuesioner adalah tingkat standarisasi yang diterapkan pada suatu kuesioner. Pada kuesioner terstruktur yang terbuka dimana pertanyaanpertanyaan diajukan dengan susunan kata-kata dan urutan yang sama kepada semua responden ketika mengumpulkan data.

b. Kuesioner Tidak Terstruktur Yang Tersamar

Kuesioner tidak terstruktur yang tersamar berlandaskan pada riset motivasi. Para periset telah mencoba untuk mengatasi keengganan responden untuk membahas perasaan mereka dengan cara mengembangkan teknik-teknik yang terlepas dari masalah kepedulian dan keinginan untuk membuka diri. Teknik tersebut dikenal dengan metode proyektif. Kekuatan utama dari metode proyektif adalah untuk menutupi tujuan utama riset dengan menggunakan stimulus yang disamarkan.

c. Kuesioner Terstruktur Yang Tersamar

Kuesioner terstruktur yang tersamar merupakan teknik yang paling jarang digunakan dalam riset pemasaran. Kuesioner ini dikembangkan sebagai cara untuk menggabungkan keunggulan dari penyamaran dalam mengungkapkan motif dan sikap dibawah sadar dengan keunggulan struktur pengkodean serta tabulasi jawaban. (Jhon, 2009)

3.7.Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Pada penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan serta, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Mengacu pada pengertian tersebut, peneliti mengartikan teknik pengumpulan data sebagai suatu cara untuk memperoleh data melalui beberapa langkah atau tahapan, yaitu: observasi, wawancara, dan dokumentasi. Langkah-langkah tersebut berfungsi untuk mempermudah peneliti dalam proses pemerolehan data.

2. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan suatu teknik dalam penelitian kualitatif yang dilakukan setelah data lapangan terkumpul. Data terbagi menjadi dua, yaitu data lapangan (data mentah) dan data jadi. Sehubungan dengan hal itu, timbulah batasan data sebagai bahan penelitian, yaitu bahan jadi (lawan dari bahan mentah), yang ada karena pemilihan aneka macam tuturan (bahan mentah). Data lapangan atau data mentah merupakan data yang diperoleh saat pengumpulan data. Data mentah pada penelitian ini adalah berupa data lisan (berupa tuturan), data tertulis serta foto. Data lisan dan tertulis tersebut diperoleh melalui pengamatan dan pertanyaan terhadap narasumber atau subjek penelitian. Data lisan didokumentasikan ke dalam bentuk rekaman suara, sedangkan data tertulis didokumentasikan ke dalam bentuk tulisan atau catatan penelitian. Data yang ke dua adalah data jadi. Data jadi merupakan suatu data mentah (data lapangan) yang telah mengalami proses penyeleksian data.

Penyeleksian data mengacu pada permasalahan yang ingin dipecahkan, yaitu objek penelitian. Pengolahan data dapat dilakukan Penyeleksian data mengacu pada permasalahan yang ingin dipecahkan, yaitu objek penelitian. Pengolahan data dapat dilakukan

3. Analisis Data

Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi. Dalam melakukan analisis data menggunakan skala guttman.

Skala Guttman merupakan skala yang digunakan untuk memperoleh jawaban dari responden yang bersifat jelas (tegas) dan konsisten. Kata-kata yang digunakan, misalnya: ya – tidak, benar – salah, positif – negatif, yakin – tidak yakin dan sebagainya. Data yang diperoleh berupa data interval atau rasio dikotomi (dua alternatif pilihan).Pada skala Guttman hanya mempunyai dua skor, misal pada sikap yang mendukung sesuai dengan pertanyaan atau pernyataan diberi skor 1 (satu) dan sikap yang tidak mendukung sesuai dengan pertanyaan atau pernyataan diberi skor 0 (enol). Skala guttman selain dapat dibuat dalam bentuk pilihan ganda, juga dapat dibuat dalam bentuk checklist(Kusaeri dan Suprananto, 2012)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Gambar 4.1 Peta Kota Semarang

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Pegandan Kecamatan Gajahmungkur Semarang.Puskesmas pegandan adalah unit organisasi fungsional yang melaksanakan tugas teknis Dinas Kesehatan Kota Semarang yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di Kecamatan Gajahmungkur. Puskesmas Pegandan berlokasi di Jl. Kendeng Barat III No. 2 RT 03/RW 06 Kelurahan Sampangan Kecamatan Gajahmungkur, dengan batas wilayah sebelah utara dengan Semarang Selatan, sebelah timur dengan Kecamatan Candi Sari, sebelah selatan dengan

Kecamatan Banyumanik, sebelah barat dengan Kecamatan Semarang Barat. Puskesmas Pegandan bertanggungjawab terhadap 8 wilayah kerja kelurahan yang berada di dalam Kecamatan Gajahmungkur yaitu :

1. Kelurahan Bendan Duwur

2. Kelurahan Bendan Ngisor

3. Kelurahan Bendungan

4. Kelurahan Gajahmungkur

5. Kelurahan Karang Rejo

6. Kelurahan Lempongsari

7. Kelurahan Petompongan

8. Kelurahan Sampangan Lokasi penelitian ini terdapat di 4 kelurahan :

1. Kelurahan Sampangan

2. Kelurahan Bendungan

3. Kelurahan Gajahmungkur

4. Kelurahan Karang Rejo

4.2 Analisa Kuisioner Berdasarkan Sksala Guttman

Tabel 4.1 Skala Guttman

4.3 Analisis Faktor Risiko

Responden dalam penelitian ini adalah 4 keluarga dengan balita yang menderita gizi buruk di Kelurahan Kemijen, wilayah kerja Puskesmas Pegandan, Semarang, Jawa Tengah.Karakteristik responden yang dibahas Responden dalam penelitian ini adalah 4 keluarga dengan balita yang menderita gizi buruk di Kelurahan Kemijen, wilayah kerja Puskesmas Pegandan, Semarang, Jawa Tengah.Karakteristik responden yang dibahas

1. Akses Terhadap Bahan Pangan

Akses terhadap bahan pangan mengacu kepada kemampuan membeli dan besarnya alokasi bahan pangan, juga faktor selera pada suatu individu dan rumah tangga.Pada perhitungan menggunakan Skala Guttman, presentase variabel akses terhadap bahan pangan sebesar 35%.Besar persentase jauh dari angka 100%.Akses terhadap bahan pangan pada masing-masing keluarga berbeda, pangan yang seharusnya menjadi kebutuhan utama suatu keluarga pada penelitian ini tidak dapat tercukupi dengan baik.Pada penelitian ini diketahui bahwa rata-rata keluarga memiliki akses terhadap bahan pangan yang terbatas.Dari empat responden Sebanyak tiga responden sulit mengakses terhadap bahan pangan, dan hanya satu reponden yang mampu mengakses terhadap bahan pangan. Pada skala Guttman apabila presentase variabel di bawah 60% maka variabel dapat dikatan mempengaruhi, karena variabel akses terhadap bahan pangan di bawah presentase 60% maka variabel menjadi faktor risiko terjadinya kasus gizi buruk di Kelurahan Kemijen, wilayah kerja Puskesmas Pegandan, Semarang, Jawa Tengah.

Grafik 4.2 Faktor Akses Terhadap

Bahan Pangan

Terpenuhi 35% Tidak Terpenuhi 65%

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Puskesmas Kendal oleh Nurlaela Fitrian (2013) bahwa ada hubungan antara penyiapan makan dengan status gizi balita pada lingkungan tahan pangan dan gizi. Hal ini sesuai dengan hasil uji chi-square dimana nilai p value yang diperoleh sebesar 0,042. Oleh karena p value <0,05, maka Ho ditolak yang berarti ada hubungan antara penyiapan makan dengan status gizi. Nilai OR sebesar 3,45 dengan IK 95% 1,016 – 11,72. Artinya responden dengan pola penyiapan makan yang kurang mempunyai kemungkinan 3,45 kali untuk mempunyai status gizi buruk dibandingkan dengan responden dengan pola penyiapan makan yang baik.

Keluarga yang tidak memiliki akses terhadap bahan pangan yang cukup akan menyajikan makanan yang serupa hampir setiap harinya. Bila hal ini terjadi terus-menerus dapat berakibat pada rendahnya asupan nutrisi dikonsumi oleh keluarga terutama pada balita.Usia balita merupakan masa dimana tubuh si kecil membutuhkan asupan nutrisi yang cukup dan bernilai gizi tinggi yang mana makanan dengan nilai gizi tinggi ini didapatkan dari beragam jenis makanan yang sehat untuk dikonsumsi setiap harinya. Bila, asupan nutrisi yang dibutuhkan oleh balita tidak terpenuhi, maka akan memengaruhi kondisi kesehatan maupun tumbuh kembang anak yang mana pada akhirnya bila sudah terlalu parah lambat laun dapat menyebabkan kekurangan gizi pada balita (Soekirman, 2000).

2. Pendapatan

Pendapatan keempat responden pada penelitian ini dibagi menjadi dua kategori berdasarkan ketentuan UMR (Upah Minimal Rata-rata) yang berlaku di kota Semarang yaitu Responden dengan pendapatan lebih dari Rp. 1.600.000,00 dan responden dengan pendapatan kurang dari Rp.1.600.000,00. Dari total 4 keluarga responden, hanya satu keluarga yang memiliki pendapatan lebih dari Rp1.600.000, sementara tiga keluarga lainnya memiliki pendapatan dibawah Rp1.600.000.Berdasarkan perhitungan skala guttman, besar presentase variabel pendapatan yakni 25% jauh di bawah 60%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa faktor Pendapatan keempat responden pada penelitian ini dibagi menjadi dua kategori berdasarkan ketentuan UMR (Upah Minimal Rata-rata) yang berlaku di kota Semarang yaitu Responden dengan pendapatan lebih dari Rp. 1.600.000,00 dan responden dengan pendapatan kurang dari Rp.1.600.000,00. Dari total 4 keluarga responden, hanya satu keluarga yang memiliki pendapatan lebih dari Rp1.600.000, sementara tiga keluarga lainnya memiliki pendapatan dibawah Rp1.600.000.Berdasarkan perhitungan skala guttman, besar presentase variabel pendapatan yakni 25% jauh di bawah 60%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa faktor

Grafik 4.3 Faktor Pendapatan

Sesuai UMR 25%

Tidak Sesuai

UMR 75%

Berdasarkan hasil presentase maka keluarga responden kurang mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya terutama pada varian makanan yang mengandung nilai gizi tinggi. Bila bahan makanan yang dibeli tidak memiliki nilai gizi yang tinggi maka akan memengaruhi kondisi kesehatan maupun tumbuh kembang anak yang mana pada akhirnya apabila sudah terlalu parah lambat laun dapat menyebabkan kejadian gizi buruk pada balita.

Hasil dari penelitian tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi Novitasari (2012) bahwa uji statistik didapatkan p = 0,000 yang mempunyai arti bahwa status sosial ekonomi memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian gizi buruk pada balita. CI 95% menunjukkan 6,459-68,279 merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di Nusa Tenggara Barat tahun 2010 dan di Kabupaten Lombok Timur tahun 2005. Status sosial ekonomi merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk dikarenakan rendahnya status sosial ekonomi akan berdampak pada daya beli makanan.

Rendahnya kualitas dan kuantitas makanan merupakan penyebab langsung dari gizi buruk pada balita.

3. Infeksi

Infeksi dapat dikatakan masuk dan berkembangnya agen infeksi ke dalam tubuh seseorang.Penyakit infeksi pada balita berkaitan sekali dengan status gizi yang rendah.Pada penelitian ini berdasarkan perhitungan dengan menggunakan skala guttman, variabel infeksi memperoleh presentase sebesar 25%, besar presentase yang diperoleh hasil dari perhitungan jauh dari 60%.

Grafik 4.4 Faktor Infeksi

Tidak Berpengaruh 25%

Berpengaruh 75%

Pada penelitian ini balita yang tidak memiliki riwayat penyakit infeksi hanya satudari empat balita, dan tiga balita lainnya mengalami infeksi yang berbeda, yaitu : Diare, ISPA dan TBC. Hal ini menandakan bahwa infeksi sangat berpengaruh terhadap terhadap status gizi balita.Semakin kecil presentasenya, maka semakin besar pula pengaruh variabel infeksi terhadap kejadian gizi buruk.Penyakit infeksi seperti Diare, ISPA, dan TBC ini masing-masing memengaruhi kondisi tubuh balita, sehingga berat badan balita tidak sesuai dengan umur dan tinggi badan balita.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dewi Novitasari (2012) di RSUP dr. Kariadi bahwa Uji Pearson Chi Square menunjukkan nilai p =

0,000 yang berarti bahwa penyakit penyerta mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian gizi buruk. Selain itu diperoleh CI 95% = 7,390-168,476 yang merupakan faktor risiko dari kejadian gizi buruk. Selain itu diperoleh hasil pula bahwa penyakit penyerta merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk. Hal ini juga sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2007 bahwa penyakit penyerta merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk.

Kekurangan gizi merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan zat-zat gizi ensensial, yang bisa disebabkan oleh asupan yang kurang karena makanan yang jelek atau penyerapan yang buruk dari usus (malabsorbsi), penggunaan berlebihan dari zat-zat gizi oleh tubuh, dan kehilangan zat-zat gizi yang abnormal melalui infeksi penyakit diare (Nurcahyo, 2008).

Pada balita yang menderita penyakit diare sebagian cenderung memiliki nafsu makan yang baik, namun menjadi sia-sia karena penyakit diare banyak menghabiskan cairan tubuh yang mana bila sehingga kondisi tersebut memengaruhi berat badan balita.Sedangkan kaitan penyakit infeksi TBC dan ISPA terhadap kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan meyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan sehingga memudahkan terjadinya infeksi (Nency, 2005).

Bila kekebalan tubuh ini menurun, maka menyebabkan mudah masuknya virus maupun bakteri kedalam tubuh. Selain itu juga, bila tubuh balita sudah terinfeksi penyakit maka akan memengaruhi nafsu makan balita sehingga asupan nutrisi yang dibutuhkan tubuh balita tidak tercukupi sehingga bila nafsu makan menurun terus-menerus dapat mengakibatkan gizi buruk pada balita.

4. Pengetahuan Ibu

Pengetahuan yang dimiliki ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan keluarga.Pengetahuan ibu tentang gizi menyebabkan keanekaragaman makanan yang disajikan dalam sehari hari.Berdasarkan perhitungan skala guttman, variabel tentang pengetahuan ibu memperoleh presentase sebesar 69%.Presentase yang diperoleh melebihi 60%, sehingga pengetahuan ibu tidak mempengaruhi kejadian gizi buruk di Kelurahan Kemijen, wilayah kerja Puskesmas Pegandan, Semarang, Jawa Tengah.

Grafik 4.5 Faktor Pengetahuan Ibu

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63