Kajian Hukum Atas Gadai Tanah Dalam Masyarakat Minangkabau Di Kecamatan Sungayang Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 56 Prp 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanah merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Di dalam
hukum adat, antara masyarakat dengan tanah yang didudukinya merupakan satu kesatuan dan
mempunyai hubungan yang erat sekali. Hubungan ini menyebabkan masyarakat memperoleh hak
untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkannya dan mengambil hasil yang ada.
Menurut Ter Haar pertalian hukum antara manusia dengan tanah adalah karena:
1. Tanah merupakan tempat mereka berdiam,
2. Tanah adalah sumber mata pencaharian untuk kehidupan mereka,
3. Tanah sebagai tempat dimana mereka dimakamkan,
4. Tanah menjadi tempat kediaman makhluk-makhluk halus pelindung mereka serta
tempat arwah para leluhurnya.1
Menurut Van Vollenhoven, hak masyarakat atas tanah ini disebut dengan hak ulayat2. Di
Sumatera Barat, tanah ulayat diartikan sebagai sebidang tanah pusaka beserta sumber daya alam
yang ada di atasnya dan didalamnya diperoleh secara turun menurun merupakan hak masyarakat
hukum adat.3
Tanah adalah masalah pokok dan menentukan syarat mutlak bagi masyarakat
Minangkabau menandakan ia orang Minang asli yaitu:
1. ada tanah perumahan


1

Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan oleh K. Ng. Soebakti Poesponoto, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 1980), hlm. 71
2
Soediono M. P. Tjondronegoro, Dua Abad Penguasaan Tanah, (Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm.
308
3
Indonesia, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang tanah ulayat dan
pemanfaatannya, Ps. 1

Universitas Sumatera Utara

2. ada pandam pekuburan
3. ada sasok jeraminya (sawah dan ladang).4
Kalau seseorang yang berdiam di Minangkabau tidak mempunyai tanah perumahan,
tidak ada pandam pekuburan dan tidak memilki sasok jerami, maka orang tersebut tidak bisa
dikatakan orang Minangkabau asli. Sebab itu soal tanah tidak dapat diabaikan begitu saja.
Tingginya nilai seseorang bersangkut paut dengan tanah. Oleh karena itu tanah di Minangkabau

tidak mudah menggadaikannya, apalagi menjualnya
Gadai tanah adalah salah satu transaksi tanah yang bersumber dari hukum adat yang
sering menimbulkan perdebatan dan perselisihan akibat tarik menarik antara Hukum Agraria
Nasional dan Hukum Adat. Istilah gadai tanah dikenal juga sebagai menjual gadai, menggadai
atau memagang atau pagang gadai (Minangkabau), adol sende (Jawa), ngajual akad/ gade
(Sunda), gala (aceh), yaitu: “perjanjian yang menyebabkan tanah diserahkan untuk menerima
tunai sejumlah uang, dengan permufakatan bahwa si pemilik berhak mengambil tanah itu
kembali dengan membayar dengan sejumlah uang yang sama”5
Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, diatur
juga mengenai gadai tanah pertanian. Di mana pada bagian Umum angka 9 (a) dirumuskan
bahwa :
“Yang dimaksud dengan gadai ialah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan
orang lain, yang mempunyai hutang kepadanya, selama hutang tersebut belum dibayar
lunas maka tanah tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang tadi

4

Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, (Padang: Sri Darma, 1968),

hlm. 138

5

Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan oleh K. Ng. Soebakti Poesponoto, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 1980), hlm. 112

Universitas Sumatera Utara

(pemegang gadai), yang dengan demikian merupakan bunga dari hutang tersebut.
Penebusan itu tergantung kepada kemauan dan kemampuan yang menggadaikan.”
Berdasarkan pengertian diatas, dapatlah kita mengetahui, bahwa undang-undang
memberikan kemudahan bagi yang menggadaikan tanahnya, untuk menebusnya kembali. Selain
itu, dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 56/Prp tahun 1960 juga menjelaskan batasan dari
gadai tanah itu sendiri, yang berbunyi :
“Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mulai berlakunya
peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada
pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dengan tidak ada hak
untuk menuntut pembayaran uang tebusan”
Menurut adat Minangkabau tanah itu tidak dapat dijual atau digadaikan/pagang gadai
kecuali :
a. Rumah gadang ketirisan, (rumah gadang bocor karena atabnya bocor)

b. Gadih gadang atau jando indak balaki, (gadis yang telah dewasa atau janda tidak
bersuami)
c. Mayit tabujui ditangah rumah (mayat terbujur ditengah rumah)
d. Adat tidak berdiri (pada kaum atau rumah itu sudah perlu didirikan penghulu atau sudah
lama pusaka penghulu terbenam saja, karena biaya untuk mengisi adat pada nagari tidak
cukup)6
Tanah yang ada di Minangkabau, tidak semua dapat dialihkan haknya, Untuk
mengalihkan hak atas tanah di minangkabau harus diketahui terlebih dahulu mengenai status
tanahnya, dimana dalam hal tanah tersebut berstatus harta pusaka tinggi, tidak dapat di perjual
belikan namun hanya bisa digadaikan saja dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, berbeda
dengan tanah yang berstatus harta pusaka rendah, dimana tanah tersebut dapat diperjual belikan
ataupun digadaikan.

6

Mochtar Naim, op cit hlm. 141

Universitas Sumatera Utara

Gadai tanah yang dikenal dalam hukum adat sampai sekarang masih merupakan suatu

pranata yang digunakan oleh masyarakat desa. Dalam konsep hukum adat, gadai tanah ini
digolongkan sebagai tindakan terhadap tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak, barulah
muncul tindakan gadai tersebut, sebagai tindakan yang dikenal dalam hukum adat tanah.7
Manakala telah terjadi gadai tanah, akan tetapi kepemilikan tanah itu tetap berada di
tangan sipenggadai, maka berpindahnya penguasaan itu hanyalah sementara di tangan
sipenerima gadai. Sipemilik tidak akan kehilangan haknya atas tanah, sehingga transaksinya
berlangsung antar keluarga saja. Sehingga dalam pelaksanaan gadai tanah itu, cukup hanya
disaksikan dan disetujui oleh keluarga saja atau ijab kabulnya dilakukan dihadapan kepala desa
atau Wali Nagari.
Dalam hukum adat, gadai tanah tidak termasuk dalam hukum perjanjian tapi masuk
kedalam hukum benda tanah. Sehingga gadai tidak pernah didahului oleh perjanjian, meski ia
dapat diikuti oleh perjanjian. Ada beberapa syarat dalam gadai tanah yang harus dipenuhi oleh
penggadai dan pemegang gadai, yaitu :8
a. Gadai baru sah apabila disetujui oleh segenap ahli waris, satu orang saja tidak
menyetujui gadai, maka gadai menjadi batal demi hukum.
b. Gadai tidak ada kadaluarsanya.
c. Pihak penggadai punya hak pertama untuk menggarap tanah gadaian, kecuali jika dia
mau menyerahkan garapan pada orang lain.
d. Pemegang gadai tidak boleh menggadaikan lagi tanah yang dipegangnya pada orang
lain tanpa seizin pemilik tanah. Sekarang karena ada pengaruh hukum Barat

pemegang gadai boleh menggadaikannya lagi (herverpanding) pada pihak lain.
7

Muhammad Yamin, Gadai Tanah Sebagai Lembaga Pembayaran Rakyat Kecil, (Medan : Pustaka Bangsa
Press, 2004), hlm. 5
8
H. Djamaran Datoek Toeh, Tambo Alam Minangkabau, (Bukittinggi: Pusaka Indonesia, 1985), hlm. 117

Universitas Sumatera Utara

e. Selama gadai berjalan pemilik tanah gadai boleh minta tambahan uang gadai pada
pemegang gadai tapi pembayaran penebusannya nanti mesti sekaligus.
Dalam Pasal 7 Undang-undang no. 56/Prp/1960 dikatakan, “Barang siapa menguasai
tanah pertanian dengan hak gadai sejak berlakunya peraturan ini ( yaitu tanggal 1 Januari 1961)
sudah berlangsung 7 (tujuh) tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemilik
dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen dengan tidak ada hak untuk
menuntut pembayaran uang tebusan, dan barang siapa yang melanggar, maka dapat dihukum
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
10.000,-“. Adapun tujuan dari ketentuan ini adalah untuk menghindarkan terjadinya penghisapan
manusia oleh manusia. Tapi dari dulu di Minangkabau tidak demikian halnya, namun lebih

memberatkan saja dalam hal menebus tanah tersebut. Namun dalam perkembangannya ada
beberapa putusan yang membela kepentingan sipenggadai yaitu:
1. Mahkamah Agung dalam Yurisprudensinya mengenai gadai tanah dalam putusannya
tanggal 6 Maret 1971 No. 810/K/SIP/1970 dalam mengadili sengketa gadai antara
Tinggi boru Perangin-angin melawan Rumrumen boru Karo, Majelis Hakim dalam
pertimbangannya menyatakan : “Bahwa ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
No. 56/Prp/1960 bersifat memaksa dan tidak dapat dilunakkan oleh perjanjian yang
dibuat oleh kedua belah pihak, karena hal itu sangat bertentangan dengan prinsip
lembaga gadai.” Sehingga gadai tanah yang telah lebih 7 tahun dapat digugat
kepengadilan untuk mendapat kembali kepada penggadai tanpa pembayaran uang
tebusan.9

9

R. Subekti, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, (Bandung: Alumni, 1983),

hlm. 51

Universitas Sumatera Utara


2. Kasus gadai tanah perumahan harta pusaka tinggi yang tergadai di kota Padang,
gugatan

diajukan

ke

Pengadilan

Negeri

Padang,

nomor

kasus

44/PDT/G/2002.PN.PDG, lalu banding ke Pengadilan Tinggi Sumatera Barat, nomor
kasus 82/PDT/2003/PT.PDG, dan akhirnya kasasi di Mahkamah Agung Republik
Indonesia, nomor kasus 344/K/Pdt/2004. Dimana dalam putusannya memutuskan

dimana karena lewatnya jangka waktu gadai dan tanah yang disengketakan
merupakan pusaka tinggi kaum penggugat, dan gadai tanah tersebut telah melewati 7
tahun sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) Perpu Nomor 56 Tahun 1960 maka
seharusnya tergugat mengembalikan kepada penggadai tanpa adanya uang tebusan.
Namun walaupun demikian, penggugat sendiri mau membayar tebusan sebagai
penggantian terhadap bangunan rumah tergugat diatas objek sengketa.
Berdasarkan putusan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa, hakim dalam mengambil
keputusan, memberikan perlindungan terhadap penggadai, dimana dalam hal ini, dasar dari
putusan diatas seharusnya gadai tanah itu ada batasannya, sehingga tidak merugikan ahli waris,
walaupun awalnya niatnya adalah menolong, tetapi, jika ditelaah lagi sebenarnya mendekati
pemerasan, apalagi pemegang gadai menetapkan tebusan harus sebesar harga emas pada waktu
penebusan.
Kecamatan Sungayang adalah salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Tanah
datar, di mana, di Kecamatan Sungayang terdiri dari 5 (lima) Nagari, yaitu Nagari Sungayang,
Nagari Minangkabau, Nagari Tanjung, Nagari Sungai Patai. Nagari Andalas Barubukit.
Nagari merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asalusul dan adat istiadat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan

Universitas Sumatera Utara


Republik Indonesia. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di
Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial politik lainnya yang dapat mencampuri adat disebuah
nagari.
Masyarakat di Kecamatan Sungayang, merupakan masyarakat yang kental adat
istiadatnya, walaupun sebagian besar dari masyarakatnya merantau, namun nilai-nilai adat sangat
dijunjung dan diajarkan secara turun temurun, dimana masyarakatnya masih mengenal dan
menjunjung suatu kaum berdasarkan silsilah keturunannya, yaitu keturunan datuk atau istilah
zaman sekarang adalah keturunan darah biru. Karena suatu kaum yang keturunan datuklah yang
umumnya mempunyai harta pusako tinggi.
Berdasarkan hasil pra penelitian, gadai tanah dalam masyarakat di Kecamatan
Sungayang, telah berlangsung puluhan tahun, karena terjadi puluhan tahun yang mengakibatkan
telah terjadi secara turun temurun dan dilanjutkan oleh para ahli warisnya. Hal ini terjadi karena
faktor ekonomi yang kurang mendukung, yang mengakibatkan sampai sekarang ahli waris belum
bisa membayar

uang gadai tersebut, sehingga tanah yang menjadi objek gadaipun telah

diusahakan dan dinikmati hasilnya selama puluhan tahun tidak bisa mengurangi sedikitpun besar
jumlah uang yang dibayar ke pemegang gadai. Apalagi patokan jumlah uang untuk menebus
tanah tersebut adalah satu emas, hitungan satu emas dalam masyarakat sama dengan 2,5 (dua

setengah) gram emas pada saat penebusan. Sehingga hal ini dirasakan sangat memberatkan para
ahli waris.
Apabila menggadaikan tanah yang berasal dari harta pusaka maka harus mendapat
persetujuan dari kaum dan mamak kepala waris, sedangkan apabila yang digadaikan harta
pencaharian maka pemiliknya dapat langsung menggadaikannya. Namun dalam masyarakat di
Kecamatan Sungayang, banyak terjadi penyalahgunaan kekuasaan seorang mamak kepala waris,

Universitas Sumatera Utara

yaitu banyaknya tanah yang digadaikan untuk memenuhi kebutuhan pribadi mamak kepala waris
tersebut tanpa persetujuan ahli waris dan ahli waris juga tidak bisa menolak atau membantah,
dikarenakan begitu kuatnya posisi mamak kepala waris tersebut di dalam suatu kaum. Sehingga
pada saat ini banyak sekali tanah-tanah yang tergadai, yang mana ahli warisnya belum sanggup
untuk menebus tanah tersebut, dikarena patokan tebusannya adalah sebesar harga emas pada saat
penebusan.10
Dalam kenyataannya, banyak sekali surat gadai yang dibuat sepihak oleh penerima gadai,
dan dalam surat gadai itu juga tidak mencantumkan jangka waktu gadai dan hanya menjelaskan
tentang peristiwa gadai, ada juga yang ditanda tangani sebagaian ahli waris saja, namun ada juga
yang ditanda tangani seluruh ahli waris dan ijab kabulnya dihadapan Wali Nagari.11
Tanah yang menjadi objek gadai di Kecamatan Sungayang adalah tanah produktif, yaitu
seperti sawah, sejak adanya persetujuan gadai yang dibuat dengan bentuk surat gadai, maka
pengelolaan dan penguasaan sawah tersebut adalah hak pemegang gadai, hal ini berlangsung,
selama gadai belum di lunasi, dan jumlah pelunasannya tergantung berapa harga emas, pada saat
penebusan. Jika gadai tanah ini berlangsung puluhan tahun, dari ahli waris ke ahli waris
berikutnya, dan ahli waris tidak mampu menebusnya, hal ini dikhawatirkan kepemilikan sepihak,
apakah tidak bisa diselesaikan secara musyawarah yang dapat meringankan beban ahli waris,
jika dilihat secara materil sekian puluhan tahun, pihak pemegang gadai juga telah menikmati dari
hasil tanah tersebut, selain itu apakah bisa ditempuh penyelesaian gadai tanah di Kecamatan
Sungayang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.

10
11

Hasil wawancara dengan Nurleli, Masyarakat Nagari Sungayang pada tanggal 20 Maret 2013

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan uraian diatas, maka diperlukan penelitian untuk mengkaji lebih jauh
mengenai “Kajian Hukum atas Gadai Tanah dalam Masyarakat Minangkabau di
Kecamatan Sungayang Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 56/Prp/1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan seperti
berikut:
1. Bagaimana keberadaan gadai tanah dalam masyarakat Minangkabau di Kecamatan
Sungayang?
2. Bagaimana pelaksanaan Pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp/1960 di Kecamatan
Sungayang ?
3. Bagaimana penyelesaian sengketa gadai tanah yang telah berlangsung 7 tahun atau
lebih di Kecamatan Sungayang ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk

mengetahui

bagaimana

keberadaan

gadai

tanah

dalam

masyarakat

Minangkabau di Kecamatan Sungayang
2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp/1960
di Kecamatan Sungayang.
3. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa gadai tanah yang telah
berlangsung 7 tahun atau lebih di Kecamatan Sungayang

Universitas Sumatera Utara

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
a. Dari segi Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan dan bahan kajian lebih lanjut bagi
perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang hukum Agraria
mengenai Kajian Hukum atas Gadai Tanah dalam Masyarakat Minangkabau di Kecamatan
Sungayang setelah Berlakunya Undang-Undang No. 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian.
b. Dari segi Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangsih pemikiran dan masukan
bagi semua pihak mengenai pengembangan ilmu pengetahuan hukum dalam bidang hukum
Agraria. Terutama dalam hal gadai tanah yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau,
terutama di Kecamatan Sungayang.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di kepustakaan
yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Kajian Hukum
Atas Gadai Tanah Dalam Masyarakat Minangkabau di Kecamatan Sungayang Setelah
Berlakunya Undang-Undang No. 56/Prp/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian”,
belum pernah ditemukan judul atau penelitian terhadap masalah tersebut diatas, dengan demikian
penelitian ini adalah asli, sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.

Universitas Sumatera Utara

Meskipun ada beberapa penelitian yang dilakukan mengenai masalah gadai tanah, namun
secara substansi pokok permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Adapun
penelitian yang berkaitan dengan gadai tanah yang pernah dilakukan adalah :
1. ZETRIA ERMA, Nim: 982105036, dengan judul “ Pelaksanaan Gadai Tanah
Pertanian Ditinjau dari Hukum Agraria ( UU No. 5 Tahun 1960 ) dan Hukum Islam
di Kecamatan Tilatang Kamang”. Universitas Sumatera Utara. Tahun 2001.
2. SUHARDI, Nim: 027011059, dengan judul “ Pengaruh Peraturan Gadai Tanah
Pertanian ( Pasal 7 UU No. 56/Prp/1960 ) terhadap Pelaksanaan Gadai Tanah dalam
Hukum Adat Minangkabau di Nagari Lurah Ampalu”. Universitas Sumatera Utara,
Tahun 2004.
3. ALISMAN, Nim : B4B003048, dengan judul “ Pelaksanaan Gadai Tanah Dalam
Masyarakat Hukum Adat Minangkabau di Nagari Campago Kabupaten Padang
Pariaman Setelah Berlakunya Pasal 7 UU No. 56/Prp/1960”. Universitas Diponegoro
tahun 2005.
4. DINA AMANDA, Nim : 0806478600, dengan judul “ Penyelesaian Sengketa Gadai
Tanah Harta Pusaka Tinggi Minangkabau Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 344
K/PDT/2004” Universitas Indonesia Tahun 2011
1. Kerangka Teori
Teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman
mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena
menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.12

12

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 134.

Universitas Sumatera Utara

Menurut M. Solly Lubis kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir
pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis.13
Kerangka terori sebaiknya harus memenuhi syarat:14
a. Teori yang digunakan dalam membangun kerangka berfikir harus merupakan pilihan dari
sejumlah teori yang dikuasai secara lengkap dengan mencangkup perkembanganperkembangan terbaru.
b. Analisis filsafat dari teori-teori keilmuan dengan cara berfikir keilmuan yang mendasari
pengetahuan tersebut dengan pembahasan secara eksplisit mengenai postulat, asumsi, dan
prinsip yang mendasarinya.
c. Mampu mengidentifikasikan masalah yang timbul sekitar disiplin keilmuan tersebut.
Penelitian ini menggunakan Teori Keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls yang
hidup pada awal abad 21 lebih menekankan pada keadilan sosial.15 Rawls melihat kepentingan
utama keadilan adalah (1) jaminan stabilitas hidup manusia, dan (2) keseimbangan antara
kehidupan pribadi dan kehidupan bersama.
John Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah struktur
dasar masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebesan, kekuasaan, kewibawaan,
kesempatan, pendapatan dan kesejahteraan terpenuhi. Kategori struktur masyarakat ideal ini
digunakan untuk :
1. Menilai apakah institusi-institusi sosial yang ada telah adil atau tidak,
2. Melakukan koreksi atas ketidak adilan sosial.

13

M. Solly Lubis, Filsafat Hukum dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002,
hal. 318-321
15
Hari Chand, Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur: International Law Book Review, 1994), hlm. 278
14

Universitas Sumatera Utara

John Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidak adilan adalah situasi sosial
sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip-prinsip keadilan yang dapat digunakan untuk
membentuk situasi masyarakat yang baik. Koreksi atas ketidak adilan dilakukan dengan cara
mengembalikan (call for redress) masyarakat pada posisi asli (people on original position).
Dalam posisi dasar inilah kemudian dibuat persetujuan asli (original agreement) antara anggota
masyarakat secara sederajat.16
Di Sumatera Barat dikenal suatu suku atau kelompok etnik nusantara yang bernama
Minangkbau.17Adat Minangkabau berpedoman pada 4 (empat) masalah adat yaitu :18
a. Adat yang sebenar adat
Adalah peraturan yang seharusnya menurut alur dan patut, menurut agama islam (syarak),
menurut perikemanusiaan, adil dan beradap.
b. Adat yang diadatkan
Peraturan yang dibuat oleh Dt. Perpatih Nan Sabatang dan Dt. Ketumanggungan yang
dicontoh dari adat yang sebenarnya adat dan dilukiskan dalam pepatah adat
Minangkabau.
c. Adat yang teradat
Peraturan yang dibuat oleh ninik mamak, ninik mamak suatu nagari atau beberapa
Nagari. Peraturan ini adalah untuk mencapai tujuan baik dalam masyarakat tersebut, yang
dalam hal ini tidak sama pada tiap Nagari.

16

Ibid.
Josselin de Jong, P.E. de, Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-Political Structure
in Indonesia, (Jakarta: Bhartara, 1960), hlm. 75
18
Nurdin Yakup, Minangkabau tanah pusaka Tambo Minangkabau, (Bukittinggi : Pustaka Indonesia,
1989), hlm. 15
17

Universitas Sumatera Utara

d. Adat istiadat
Adalah adat kebiasaan dalam suatu nagari atau satu golongan yang berupa kesukaan dari
masyarakat itu sendiri. Umpamanya bunyi-bunyian, permainan olah raga dan
sebagainya.19

Sistem kekerabatan Minangkabau adalah matrilineal, yaitu keturunan berdasarkan garis
keturunan ibu, sehingga sebagian besar warisan diberikan kepada anak perempuan. Matrilineal
salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minangkabau20. Selain itu
tanah juga merupakan salah satu aspek yang cukup penting untuk menentukan seseorang itu
adalah asli orang Minangkabau. Karena salah satu harta pusako itu adalah tanah, tanah sebagai
tempat tinggal, tempat menguburkan dan tempat mata pencaharian.
Pentingnya nilai tanah dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, sehingga apabila
bukan karena hal yang sangat mendesak, masyarakatnya tidak akan mau mengalihkan atau
menjual tanahnya kepada orang lain, dan kalaupun dalam keadaan mendesak, tanah tersebut
tidaklah langsung dijual, namun masyarakat lebih suka kalau tanah tersebut di gadaikan terutama
kepada saudara dekat, dengan harapan, tanah tersebut bisa secepatnya di tebus kembali. Namun
jika gadai belum dilunasi, dan penggadai membutuhkan uang, maka bisa dilakukan penambahan
gadai, tapi biasanya sesuai dengan berapa hasil yang di dapat jika yang digadaikan adalah sawah,
maka semakin luas tanah yang digadaikan maka uang gadaipun juga bisa besar. Dengan
demikian apabila ada penambahan biasanya ditulis pada bagian belakang surat, dan ditanda
tangani oleh para pihak.

19

Idrus Hakim Dt. Rajo Panghulu, Buku Pegangan Penghulu di Minangkbau, (Bandung: CV. Rosida,
1986), hlm. 109
20
Suardi Mahyudi dan Rustam Rahman, Hukum Adat Minangkabau Dalam Sejarah Perkembangan Nagari
Rao-Rao Ranah Ketitiran di Ujuang Tanduak, (Jakarta: Citataman Mandiri, 2002), hlm. 47

Universitas Sumatera Utara

Gadai tanah dalam masyarakat Minangkabau, memang selama ini tidak ada batasan atau
tanpa terikat pada suatu jangka waktu tertentu. Sehingga masih banyaknya tanah-tanah yang
terikat gadai di kecamatan sungayang, dan ada juga yang telah berlangsung puluhan tahun. Hal
ini dikarenakan tidak mampunya penggadai untuk menebus tanah tersebut, dimana untuk
membayar uang tebusan, didasarkan kepada harga emas pada saat penebusan.
Besarnya penebusan berdasarkan harga emas pada saat penebusan dirasakan tidaklah
adil, karena harga emas yang lama kelamaan mengalami peningkatan harga, jika gadai telah
berlangsung 10 tahun, harga emas pada 10 tahun kemudian akan jauh lebih mahal, dan selama 10
tahun itu juga pemegang gadai juga telah memperoleh keuntungan dari tanah yang digadaikan.
Dalam hal penyelesaian gadai ini, diharapkan adanya penyelesaian yang saling menguntungkan
kedua belah pihak. Untuk itu, berdasarkan Undang-Undang No. 56/Prp/1960, Pasal 7 dijelaskan
bahwa adanya batasan penguasaan tanah karena gadai yaitu selama 7 tahun, dan apabila sudah
berlangsung lebih dari tujuh tahun, maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut
kepada penggadai tanpa adanya uang tebusan. Dari penjelasan pasal tersebut, diharapkan dapat
menjadi salah satu pedoman dalam penyelesaian gadai dalam masyarakat, terutama masyarakat
di Kecamatan Sungayang.
Gadai yang telah berlangsung bertahun-tahun akan memberatkan, karena yang awalnya
niat menolong, tapi dengan berjalannya gadai bertahun-tahun, dan hitungannya adalah harga
emas ( harga satu emas = 2,5 gram emas) , jika dihitung-hintung, apabila gadai tersebut telah
terjadi ± 20 tahun, dimana tanah tersebut digadaikan seharga 50 emas, jadi bisa di hitung, 50 x
2,5 gram= 125 gram yang harus dibayar oleh penggadai ke pemegang gadai, dan harga emas itu
dihitung sesuai harga pada saat penebusan dilakukan, jika pada saat penebusan dilakukan harga 1

Universitas Sumatera Utara

gram emas adalah Rp. 500.000,- maka total yang harus dibayar adalah 125 gram x Rp. 500.000,maka hasilnya adalah: Rp. 62.500.000,- ( enam puluh dua juta lima ratus ribu rupiah ).
Berdasarkan Penjelasan diatas, dapat dilihat hal tersebut cukup memberatkan, terutama
bagi masyarakat yang perekonomiannya menengah kebawah, dan apabila masalah gadai ini tidak
diberitahukan kepada ahli waris, maka bisa saja tanah ini akan diambil alih kepemilikannya oleh
pemegang gadai, sehingga tanah yang awalnya terikat gadai, akan terhapus karena ketidaktahuan
ahli waris, dan ini merugikan pihak pemegang gadai. Dan untuk menghindari hal tersebut,
perlunya pemahan masyarakat terhadap masalah gadai dan peraturan yang ada bisa menjadi salah
satu pegangan untuk menyelesaikan permasalah gadai tanah tersebut.
2. Konsepsi
Konsep adalah merupakan salah satu bagian terpenting dari teori. Konsep adalah unsurunsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam satu bidang studi sehingga dengan
demikian merupakan penjabaran abstrak dari pada teori.21 Peranan konsepsi dalam penelitian
adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstrak dengan realita. Konsepsi
diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang digeneralisasi dari hal-hal yang khusus
yang disebut dengan defenisi operasional. Oleh karena itu, didalam penelitian ini dikemukakan
beberapa konsep dasar sebagai berikut :
1. Tanah merupakan tempat tinggal keluarga dan masyarakat, memberikan penghidupan,
merupkan tempat dimana para warga yang meninggal dunia dikuburkan : dan sesuai
dengan kepercayaan merupkan pula tempat tinggal dewa-dewa pelindung dan tempat roh
para leluhur bersemayam.22

21
22

Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hlm. 57.
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006), hlm. 103

Universitas Sumatera Utara

2. Gadai tanah adalah merupakan suatu pranata yang sangat penting keberadaannya dalam
upaya untuk memenuhi kebutuhan uang yang tidak dapat dielakkan. Dengan waktu yang
cepat harus ada, tampa harus menjuali benda-benda miliknya (khususnya tanah), serta
tidak perlu diketahui oleh orang banyak.
3. Wali Nagari adalah sebuah jabatan politik untuk memimpin sebuah wilayah
administrative nagari di Sumatera Barat. Jabatan Wali Nagari ini sama dengan jabatan
kepala desa.
F. Metode Peneliltian
Pemilihan suatu metodologi yang baik untuk suatu penelitian tergantung kepada sasaran
penelitian, bahan yang tersedia, kondisi yang meliputi kegiatan penelitian dan terutama jenis
informasi yang diperlukan. Suatu Penelitian dilakukan dengan mengikuti metode atau tata cara
tertentu23.Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran
suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah.24
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat Deskriptif analitis, maksudnya adalah
menggambarkan semua gejala dan fakta dilapangan serta mengkaitkan dan menganalisa semua
gejala dan fakta tersebut dengan permasalahan yang ada dalam penelitian dan kemudian
disesuaikan dengan keadaan dilapangan. Dalam hal ini diarahkan untuk menelaah dan
menganalisa teori hukum yang bersifat umum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yaitu penelitian yang menggambarkan dan mengkaji alasan gadai tanah dalam masyarakat
minangkabau di kecamatan sungayang, bagaimana perkembangannya saat ini, setelah adanya
23

Sri Mamudji, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), hlm. 2
24
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: 2004), hlm. 201

Universitas Sumatera Utara

Undang-Undang Nomor. 56/Prp/1960 dan adanya putusan Mahkamah Agung Nomor 344
K/PDT/2004 Bagaimana penyelesaian gadai tanah di Kecamatan Sungayang.

Penelitian ini

menggunakan metode pendekatan yuridis empiris dan perbandingan hukum. Penelitian yuridis
empiris merupakan penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap
efektifitas hukum. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro bahwa penelitian yuridis empiris adalah
suatu penelitian dengan cara melihat factor-faktor dari segi hukum yang mempengaruhi
kenyataan yang terjadi di masyarakat (lapangan) secara langsung, untuk menjawab pokok
permasalahan.25
Pernelitian perbandingan hukum yang digunakan adalah untuk membandingkan 2 (dua)
system hukum yang berbeda yaitu hukum adat minangkabau dengan peraturan perundangundangan yang berlaku tentang pelaksanaan gadai tanah dalam masyarakat Minangkabau di
Kecamatan Sungayang.
2. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang di peroleh dengan cara
sebagai berikut :
1) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai otoritas (mengikat), yaitu :
a) Undang-Undang Dasar 1945
b) Undang-Undang Nomor 56/Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian
2) Bahan Hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti : hasil-hasil penelitian dan karya-karya ilmiah dari kalangan
hukum yang berkaitan dengan masalah penelitian.

25

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1990), hlm. 24

Universitas Sumatera Utara

3) Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang untuk dapat
memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti
jurnal hukum, jurnal ilmiah, surat kabar, internet serta makalah-makalah yang berkaitan
dengan objek penelitian.
3. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi
dokumen yaitu menghimpun data dengan melakukan penelahaan bahan kepustakaan atau data
sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Studi dokumen dilakukan untuk mengetahui dan memahami isi atau materi sebagai dokumen
yang terkait dengan objek penelitian, kemudian setelah itu dilakukan wawancara secara langsung
kepada nara sumber yang bertujuan untuk menghimpun data dengan menggunakan pedoman
wawancara, sehingga diperoleh data yang dalam dan lengkap, serta digunakan untuk mendapat
jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dua tahap penelitian yang dilakukan untuk memperolah data yang akurat dan relevan,
antara lain :
a. Penelitian Lapangan (field research)
Penelitian lapangan dilakukan dengan mengadakan wawancara dengan pihak-pihak
yang berwenang yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.
a. Lokasi Penelitian
Dalam rangka mendapatkan hasil penelitian yang lebih akurat terhadap jawaban
permasalahan tesis ini, maka penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sungayang,
Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Adapun alasan dipilihnya

Universitas Sumatera Utara

Kecamatan Sungayang, karena masyarakatnya memanfaatkan tanahnya untuk
lahan pertanian, selain itu, masyarakat masih menerapkan tata cara gadai untuk
memperoleh uang untuk keperluan yang mendesak, sehingga masih banyaknya
transaksi gadai di Kecamatan Sungayang tersebut.
b. Populasi Penelitian
Adapun yang menjadi populasi penelitian ini adalah masyarakat yang
mempunyai tanah pertanian dan atau yang melakukan transaksi gadai yang
bertempat tinggal di Kecamatan Sungayang. Mengingat jumlah populasi yang
relatif cukup banyak, maka tidak mungkin dilakukan penelitian terhadap setiap
orang. Maka penarikan sampel dilakukan.
c. Sampel Penelitian
Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi keseluruhan
sehingga pelaksanaan penelitian akan lebih terarah dan bertuju pada
masyarakat yang akan diteliti.26 Dalam penelitian ini tidak semua populasi akan
diteliti, tetapi dipilih yang dianggap mewakili populasi secara keseluruhan.
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Purposive Sampling
yaitu penarikan sampel yang dilakukan dengan cara mengambil subjek yang
didasarkan pada tujuan tertentu. Sehubungan dengan sampel tersebut maka
yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah :
1. Jumlah sampel sebanyak 15 (lima belas) responden, pada masing-masing
Nagari diambil sampel sebanyak 3 (tiga) orang yang sedang menggadai atau
yang menerima gadai.

26

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001) , hlm.

121

Universitas Sumatera Utara

2.

Untuk

menunjang

kelengkapan

data

maka

diambil

sebagai

narasumber/informan tambahan yaitu Wali Nagari di tiap-tiap Nagari,
Yaitu:
1. Wali Nagari Minangkabau
2. Wali Nagari Sungayang
3. Wali Nagari Sungai Patai
4. Wali Nagari Tanjung
5. wali Nagari Andaleh Baruh Bukik
d. Penelitian Kepustakaan (library research)
Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder baik yang berupa
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Setelah diinventarisir dilakukan
penelaahan untuk membuat intisari dari setiap peraturan yang bersangkutan.
5. Alat Pengumpulan Data
a. Studi Dokumentasi
Untuk memperoleh data sekunder perlu dilakukan studi dokumentasi yaitu dengan
cara mempelajarai peraturan-peraturan, teori dan dokumen-dokumen lain yang
berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti.
b. Wawancara
Untuk memperoleh data primer, dilakukan dengan mempergunakan pedoman
wawancara.
6. Analisa Data
Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian berupa melakukan kajian atau analisa
terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan

Universitas Sumatera Utara

sebelumnya. Secara sederhana analisis data ini disebut sebagai kegiatan memberikan analisa
yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau memberikan komentar
dan kemudian membuat sesuatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan
dibantu dengan teori yang telah dikuasai.27
Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh dilapangan
dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode deduktif dan induktif.
Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dari data yang
diperoleh kemudian disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara kualitatif untuk
mencapai kejelasan terhadap masalah yang akan dibahas. Analisis data kualitatif adalah suatu
cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh
responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari secara
utuh.
Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam tinjauan pustaka
secara komparatif untuk melihat perkembangan pelaksanaan gadai tanah dalam masyarakat
Minangkabau di Kecamatan Sungayang.
Dengan metode induktif , data primer yang diperoleh dilapangan setelah dihubungkan
dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan gadai tanah, baik berdasarkan hukum
adat Minangkabau maupun hukum Agraria Nasional akan diperoleh asas-asas hukum yang hidup
dalam pelaksanaan gadai tanah di Kecamatan Sungayang.

27

Mukti Fajar, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar,2010),

hlm. 34

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis yuridis undang-undang nomor 56 PRP tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian sebagai upaya pembaharuan hukum agraria di Indonesia

1 21 45

PELAKSANAAN GADAI TANAH PERTANIAN MENURUT HUKUM ADAT DI DESA RANCATUNGKU KECAMATAN PAMEUNGPEUK KABUPATEN BANDUNG DIKAITKAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 56 PRP TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS.

0 0 1

KAJIAN YURIDIS PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH PERTANIAN SECARA ABSENTEE DI KABUPATEN SUKOHARJO SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 56 PRP TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN.

0 0 17

UNDANG UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN

0 0 14

Kajian Hukum Atas Gadai Tanah Dalam Masyarakat Minangkabau Di Kecamatan Sungayang Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 56 Prp 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian

0 0 11

Kajian Hukum Atas Gadai Tanah Dalam Masyarakat Minangkabau Di Kecamatan Sungayang Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 56 Prp 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian

0 0 1

Kajian Hukum Atas Gadai Tanah Dalam Masyarakat Minangkabau Di Kecamatan Sungayang Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 56 Prp 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian

0 4 35

Kajian Hukum Atas Gadai Tanah Dalam Masyarakat Minangkabau Di Kecamatan Sungayang Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 56 Prp 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian

0 0 4

IMPLEMENTASI UNDANG UNDANG NOMOR 56 Prp TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN DALAM JUAL BELI HAK ATAS TANAH PERTANIAN DI BAWAH BATAS MINIMUM DI KABUPATEN PATI TESIS

0 0 15

KEBIJAKAN PENYELESAIAN TANAH “ABSENTEEGUNTAI” DI KABUPATEN BOYOLALI BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 56 PRP TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN TESIS

0 1 10