makalahteknikpemberianobat 140308201840 phpapp02

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya pelayanan kesehatan terdiri dari dua aspek utama yaitu
perawatan dan pengobatan. Perawat saat ini dituntut mampu memberikan
asuhan keperawatan dengan pendekatan pemecahan masalah menggunakan
metode proses keperawatan. Disamping memberikan asuhan keperawatan,
perawat dituntut juga untuk mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang
memadai tentang pengobatan. Keikutsertaan perawat dalam kegiatan
kolaborasi pengobatan ini cukup bervariasi selaras dengan kemajuan
pembangunan dibidang kesehatan.
Pemberian obat yang aman dan dan akurat merupakan salah satu tugas
terpenting perawat. Obat adalah alat utama terapi yang digunakan dokter
untuk mengobati klien yang memiliki masalah kesehatan. Walaupun obat
menguntungkan klien dalam banyak hal, beberapa obat dapat menimbulkan
efek samping yang serius atau berpotensi menimbulkan efek yang berbahaya
bila tidak tepat diberikan. Perawat bertanggung jawab memahami kerja obat
dan efek samping yang ditimbulkan, memberikan obat dengan tepat,
memantau respon klien, dan membantu klien menggunakannya dengan benar
dan berdasarkan pengetahuan.
Selain mengetahui kerja suatu obat tertentu, perawat juga harus

memahami masalah kesehatan klien saat ini dan sebelumnya untuk
menentukan apakah obat tertentu aman untuk diberikan. Pertimbangan
perawat penting dalam pemberian obat yang tepat dan aman.Oleh karena itu,
dalam makalah ini penulis akan membahas teknik pemberian obat yang bisa
dijadikan pedoman perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
pemberian obat.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui aspek hukum, undang-undang dan standar obat.
2. Untuk mengetahui nomenklatur dan bentuk obat.
3. Untuk mengetahui sifat kerja obat secara fisiologi.
4. Untuk mengetahui berat dan komposisi obat.
5. Untuk mengetahui dinamika sirkulasi.
6. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kerja obat.
7. Untuk mengetahui rute pemberian obat.

8. Untuk mengetahui sistem pengukuran/perhitungan.
9. Untuk mengetahui proses langkah-langkah pemberian obat secara aman.
10. Untuk mengetahui proses keperawatan dan obat.
11. Untuk mengetahui kesalahan pemberian obat.
12. Untuk mengetahui peran perawat dalam pemberian obat.

BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1Teknik Pemberian Obat
2.1.1 Aspek Hukum, undang-undang dan standar obat
A. Aspek Hukum
Obat dapat dibuat dari sumber alam atau sintesis oleh pabrik farmasi.
Sebelum suatu obat diberikan atau dikonsumsi seseorang, obat telah
melalui berbagai proses antara lain proses penyediaan bahan,
pengolahan, pengujian dan perizinan, perdagangan, pengorderan,
pembelian dan pemakaian.
Karena semakin banyaknya jumlah obat, maka dalam
pengelolaannya semua obat harus mendapat izin, diuji dan distandarisasi
untuk menyeragamkan kualitasnya. Di Indonesia, berbagai hal yang
menyangkut pengawasan obat, makanan dan minuman, kosmetika dan
alat kesehatan, obat tradisional, narkotika dan bahan berbahaya diatur
berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Dalam pengorganisasiannya tugas-tugas yang menyangkut pengawasan
obat dan makanan diberikan ini diberikan kepada Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan. Seperti tertuang pada Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor: 558/-Menkes/SIC/1984 tentang organisasi

dan tata kerja Depkes pada Bab VI, pasal 679:
“Tugas pokok Direktoral Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
ialah melaksanakan sebagian tugas pokok Departemen Kesehatan
di bidang pengawasan obat, makanan dan minuman, kosmetika dan
alat kesehatan, obat tradisional, narkotika dan bahan berbahaya
yang berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan”.
Lebih lanjut, dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun
1992 tentang kesehatan tertuang beberapa pasal (pasal 39 s/d 43) yang
mengatur tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan di

mana dijelaskan bahwa Undang-Undan disusun melindungi masyarakat
(pasal 39). Untuk sediaan dan alat kesehatan harus memenuhi syarat
farmakope Indonesia dan buku standar lainnya (pasal 40). Izin edar diatur
dalam pasal 41, penandaan dan informasi dalam pasal 41, dan mutu
sediaan dan alat kesehatan yang beredar dalam pasal 42.
Buku Farmakope Indonesia merupakan sumber acuan yang lengkap
yang memberikan keterangan tentag obat resmi di mana masing-masing
obat dijelaskan mengenai sumber, kandungan fisik maupun kimianya,
cara penyimpanan, dosis, dan lain-lain.

Sumber acuan yang lain yang memberikan informasi tentang obat
adalah buku DOI (Daftar Obat Indonesia) yang diterbitkan oleh PT
Gratidian Jaya, Jakarta. Buku ini menjelaskan berbagai obat sesuai
informasi dari pabrik farmasinya beserta Harga Jual Apotik (HJA) dan
Harga Eceran Tertinggi (HET).
Informasi tentang obat juga diperoleh dari buku Informasi Spesialite
Obat Indonesia (ISO) yang diterbitkan oleh Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia (ISFI). Dalam buku ini obat dikelompokkan berdasarkan daya
aksinya pada tubuh di mana masing-masing obat dijelaskan tentang nama
generik/dagang, pabrik farmasi yang membuat, kandungan kimia,
indikasi dan dosis. Buku ini diterbitkan secara periodik sehingga selalu
menjelaskan obat-obat baru yang belum dijelaskan pada terbitan dan
periode sebelumnya.
Pada setiap aspek pemberian obat, perawat harus yakin tentang order
pengobatan yang dibuat oleh dokter sehingga tidak terjadi tumpang tindih
kewenangan dalam pelaksanaanya. Pada dasarnya ada empat jenis order
pengobatan yaitu : staat order untuk obat yang diberikan mendadak
misalnya

pada


kedaan

gawat

darurat

(beberapa

rumah

sakit

menggunakan istilah cyto). Staat order hanya berlaku satu kali dan bila
diinginkan obat, harus dibuat order baru. Single order merupakan
pesanan pengobatan satu kali pemberian pada saat tertentu namun tidak
harus segera diberikan, misalnya order pemberian Sulfa atropin sebagai
persiapan operasi. Standing order merupakan pesanan pengobatan yang
diberikan pada jangka waktu tertentu, misalnya pemberian injeksi
gentamisin 500 mg selama 7 hari pada pasien pascaoperasi. Order kalau


perlumerupakan pesanan pemberian obat yang dapat dilakukan kalau
diperlukan saja, misalnya Ponstan yang hanya diberikan sewaktu pasien
mengeluh nyeri (Kozier, Erb, 1990, hal 1260).
Dengan melihat jenis order pengobatan, maka bila ada kesalahan
atau kekeliruan, penyidik akan mengetahui siapa yang bertanggung
jawab. Dalam hal ini, perawat dapat dituntut bila ia menyimpang dari
order yang diberikan sehingga menyebabkan masalah pada pasien.
Sanksi dapat diberikan tergantung pada jenis penyimpangan yang
dilakukan. Aturan pemberian sanksi telah dijelaskan dalam UndangUndang Republik Indonesia No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan yaitu
pada pasal 77 (sanksi administrasi), pasala 55 (sanksi terhadap masalah
perdata), dan pasal 80-82 (sanksi terhadap masalah pidana). Sebagai
contoh misalnya seorang perawat yang melakukan suatu kejahatan yang
sangat serius maka sanksinya adalah :
“Pidana penjara 15 tahun dan denda Rp. 500.000,00” (pasal 80 ayat(1)
dan ayat (2))
Untuk mencega jangan sampai terkena sanksi ini, maka perawat
harus selalu teliti, benar dan hati-hati.
B.Undang-Undang dan Standar Obat
Pada tahun 1906 pemerintah Amerika Serikat menetapkan standar

kualitas dan kemurnian obat berdasarkan Pure Food and Drug Act
(Undang-Undang Makanan dan Obat Murni). Publikasi resmi, seperti
USP dan National Formulary, menetapkan standar kekuatan, kualitas
kemurnian pengepakan, keamanan, pelabelan, dan bentuk dosis obat. Di
Kanada, British Pharmacopoeia (BP) menetapkan sumber standar yang
sama. Dokter, perawat, dan ahli farmasi menggunakan standar ini untuk
memastikan klien menerima obat yang alami dalam dosis yang aman dan
efektif. Standar yang diterima masyarakat harus memenuhi kriteria :
1. Kemurnian. Pabrik harus memenuhi standar kemurnian untuk tipe
dan konsentrasi zat lain yang diperbolehkan dalam produksi obat.
2. Potensi. Konsentrasi obat aktif dalam preparat obat memengaruhi
kekuatan atau potensi obat.

3. Bioavailability. Kemampuan obat untuk lepas dari bentuk dosisnya
dan melarut, diabsorpsi, dan diangkut tubuh ke tempat kerjanya
disebut bioavailbility.
4. Kemanjuran. Pemeriksaan laboratorium yang terinci dapat membantu
menentukan efektivitas obat.
5. Keamanan. Semua obat harus terus dievaluasi untuk menentukan efek
samping obat tersebut.


Tahun
1906

Undang-Undang Obat di Amerika Serikat
Nama UndangIsi
Undang
Pure Food and Drug Merancang standar resmi obat-obatan
Act
(USP dan the National Formulary);
menspesifikasi standar pelabelan obat.

1912

Hamson Narcotic Act

Secara resmi mengklasifikasi obatobatan yang diyakini membentuk
kebiasaan resmi narkotik; mengatur
pemasokan, pembuatan, penjualan,
dan penggunaan zat narkotik.


1938

Federal Food, Drug,
and Cosmetic Act

Menambahkan
Homeopathic
Pharmacopeia of the United State
sebagai
standar
obat
ketiga;
mewajibkan preparat obat diakui
aman oleh Food and Drug
Administration sebelum dipasarkan;
menguraikan kriteria lebih lanjut
pelabelan obat.

1945


Amendment to the
Food and Drug Act

Memberi sertifikasi untuk produk
biologis yang digunakan sebagai obat
(mis, insulin, antibiotik) berdasarkan
kelompok tertentu; mengizinkan
supervisi dan inspeksi langsung
produksi obat.

1952

Durham-Humprey
Amendment
Kefauver
Harris
Amendment

Membedakan obat resep (“legenda”)

dari obat tanpa resep.
Memberi
FDA
kuasa
untuk
menyediakan produksi obat untuk
menjamin
keamanan
dan
kemanjurannya dan menetapkan nama
obat yang resmi; memberi kontrol
yang lebih besar terhadap obat-obatan
yang diselidiki.

1962

1970
d

Tahun
1908

Comprehensive Drug
Abuse Prevention and
Control
Act
(Controlled
Substances Act)

Menetapkan kontrol yang ketat
terhadap pembuatan dan distribusi
obat yang dikontrol (kepemilikan zat
yang dikontrol secara tidak sah tanpa
resep)
menetapkan
program
pemerintah
untuk
meningkatkan
pencegahan
dan
penanganan
ketergantungan obat.

Undang-Undang Obat di Kanada
Nama UndangIsi
Undang
Proprietary of Patent Menetapkan standar untuk melindungi
Medicine Act
konsumen dari obat tanpa resep yang
tidak aman dan tidak efektif.

1953

Canadian Food and
Drug Act

Melarang penjualan obat yang
terkontaminasi, tidak aman, dan
labelnya tidak sesuai, merancang
standar
resmi,
(Pharmacopoeia
Internationalis, BP, dan Canadian
Formulary), menetapkan obat tertentu
yang
dikontrol
penggunaannya,
melarang pengiklanan obat resep dan
obat
yang
dikontrol
kepada
masyarakat,
menetapkan
standar
pelabelan.

1961

Canadian
Narcotic
Control Act

Membatasi penjualan, kepemilikan,
dan penggunaan narkotik; menetapkan
pedoman pelaporan kehilangan akibat
pencurian
narkotik;
menetapkan
standar pelabelan dan penyimpanan
catatan.

2.1.2 Nomenklatur dan Bentuk Obat
A. Nomenklatur/Nama
Sebuah obat dapat memiliki empat nama berbeda. Nama kimia
memberi gambaran pasti kompposisi obat. Salah satu contoh nama
kimia dalah asam asetilsalisilat yang biasa dikenal sebagai aspirin.
Nama generik diberikan oleh pabrik yang pertama kali memproduksi
obat tersebut sebelum mendapat izin dari FDA dan hal ini di lindungi
hukum. Aspirin dan verapamil hidroklorida adalah contoh nama

generik. Undang-undang federal pada tahun 1962 mewajibkan setiap
obat diberi sebuah nama resmi. Nama resmi obat adalah nama obat
yang terdaftar dalam publikasi resmi, misalnya dalam United States
Pharmacopeia (USP). Sebuah nama obat generik seringkali menjadi
nama resmi, misalnya pada kasus aspirin.
Nama dagang,nama merek, atau nama pabrik adalah nama yang
digunakan pabrik dalam memasarkan obat. Sebuah obat generik dapat
memilki nama dagang yang berbeda. Contoh, aspirin dikenal dengan
nama dagang Bufferin dan verapamil hidroklorida dikenal dengan nama
dagang Calan dan Isoptin. Nama dagang memilki simbol ® di sebelah
kanan atas nama obat, yang mengindikasikan bahwa obat terdaftar.
Pabrik mencoba memilih nama-nama dagang yang mudah diucapkan
dan dieja, sehingga masyarakat lebih mudah menganal dan mengingat
obat. Karena banyak perusahaan memproduksi obat yang sama,
kemiripan nama dagang dapat membingungkan. Perawat menemukan
obat dalam berbagai nomenklatur atau nama yang berbeda dan harus
meneliti nama dan ejaan yang tepat untuk obat tertentu.
B. Bentuk Obat
a. Bentuk Sediaan Obat Padat
Obat kelomppok ini dapat diberikan melalui empat rute yaitu :
1. Oral
Bentuk oral adalah obat yang masuk melalui mulut. Pada
umumnya cara ini lebih disukai karena paling murah dan nyaman
untuk diberikan. Bentuk obat sediaan padat yang diberikan
melalui oral yaitu :
a) Serbuk, campuran kering bahan obat atau zat kimia, diameter
1,2-1,7 µm dengan atau tanpa vehikulum serta untuk
penggunaan.
Macam serbuk :
1. Serbuk terbagi
1) Pulveres, dikemas dalam suatu bungkus/sachet untuk
dosis tunggal. Cara penggunaan dilarutkan atau
disuspensikan dalam aquadest sebelum diminum.
2. Serbuk tak terbagi
1) Bulk powder tersedia sebagai sirup oral antibiotik dan
serbuk kering lainnya yang tidak poten (antasida,dll)

untuk multiple dose. Cara penggunaan dilarutkan atau
disuspensikan dalam aquadest sebelum diminum.
2) Serbuk tabur, ditaburkan pada kulit.
3) Serbuk injeksi, dilarutkan atau disuspensikan dalam
aqua pro injeksi.
b) Granul, sediaan bentuk padat berupa partikel serbuk dengan
diameter 2-4µm dengan atau tanpa vehikulum. Cara
penggunaan sebelum diminum dilarutkan atau disuspensikan
dulu dalam air pelarut yang sesuai.
c) Tablet, sediaan obat berbentuk padat kompak dan merupakan
tipe umum dari suatu tablet. Berdasarkan formulasinya, tablet
dapat berupa : tablet padat biasa, tablet sublingual (dilarutkan
dibawah lidah), tablet bukal (dilarutkan antara pipi dan gusi),
tablet bersalut gula (menutupi bau dan rasa tidak enak), tablet
bersalut enteric (untuk mencegahnya larut dalam lambung
dan sampai dan di usus halus baru dipecah). Berdasarkan
bentuknya dibedakan menjadi 2 yaitu bulat pipih dengan
kedua

permukaannya

rata

atau

cembung,

dalam

perdagangannya disebut Tablet. Sedangkan silindris seperti
kapsul, dalam perdagangannya disebut Kaplet.
d) Kapsul, sediaan padat, bahan aktifnya berbentuk padat atau
setengah padat dengan atau tanpa bahan tambahan dan
terbungkus suatu cangkang yang keras terbuat dari gelatin
dengan atau tanpa bahan tambahan.
2.Topikal
Bentu obat ini dipakai untuk permukaan luar badan dan berfungsi
melindungi atau sebagai vehikel untuk menyampaikan obat.
Bentuk penting obat topikal dalah salep dan krim/pasta. Salep
berbentuk agak padat (semisolid), preparat yang dioles pada kulit
biasanya mengandung satu atau atau lebih obat, salep dipakai
untuk lesi kering dan bertahan di kulit lebih lama. Krim/pasta
lebih kental dan lebih kaku daripada salep, diabsorpsi melalui
kulit lebih lama daripada salep, krim/pasta umumnya dipakai
untuk lesi basah.
3.Rectal/Vaginal

Supositoria adalah obat dalam bentuk mirip peluru dan akan
mencair pada suhu badan. Supositoria adalah cara memberi obat
melalui rectum untuk lesi setempat agar diserap sistemik. Serupa
dengan supositoria namun bentuknya dirancang khusus untuk
vagina.
b. Bentuk Sediaan Obat Cair
Bentuk obat cairan terdapat 3 kelompok utama yaitu:
1. Larutan (solution) adalah preparat terdiri atas satu atau lebih obat
yang dilarutkan dalam larutan, biasanya air. Contoh larutan
penyegar cap kaki tiga, iodine providon solution.
Cara mengenal kerusakan :
a) Terjadinya kekeruhan atau perubahan warna
b) Terbentuk kristal atau endapan zat padat
c) Terjadi perubahan bau
2. Suspensi (suspension) adalah preparat bubuk halus yang
disuspensi dalam cairan dan umumnya perlu dikocok dahulu
sebelum dipakai.
Macam :
a) Suspensi oral : sanmag suspensi
b) Suspensi topical termasuk di dalamnya lotion
c) Suspensi untuk injeksi : penisilin suspensi
Cara mengenal kerusakan :
a) Terbentuk cake yang tidak dapat terdispersi kembali
b) Terjadi perubahan warna dan perubahan bau
3. Emulsi (emulsa) adalah preparat terdiri atas butiran-butiran air dalam
minyak dengan agens pengemulsi atau butiran minyak dalam air
(misalnya : scott’s emulsion). Perlu dikocok dahulu sebelum dipakai.
Berdasarkan cara pemberiannya, bentuk sediaan cair digolongkan
menjadi :
1. Sediaan cair oral adalah sediaan cair yang dibuat untuk pemberian
oral, mengandung satu atau lebih zat dengan atau tanpa bahan
pengaroma, pemanis atau pewarna yang larut dalam air.
Macam :

a) Elixir, sediaan larutan yang mengandung bahan obat dan bahan
tambahan yang memiliki bau dan rasa yang sedap dan pelarut
digunakan campuran air etanol.
b) Sirup, suatu larutan obat yang mengandung satu atau lebih jenis
obat dengan zat tambahan dan sukrosa sebagai pemanis.
c) Guttae (drop), sediaan cair (umumnya larutan) apabila tidak
dinyatakan lain dimaksudkan untuk obat dalam. Digunakan
dengan cara meneteskan :
(a) Guttae ophthalmicae (tetes mata)
(b) Mouthwash (pencuci mulut)
(c) Guttae nasals (tetes hidung)
(d) Guttae auricularis (tetes telinga)
2. Sediaan cair topikal, sediaan cair yang biasanya mengandung air
tetapi seringkali juga pelarut lain, misalnya etanol untuk
penggunaan topikal pada kulit.
c. Bentuk Sediaan Gas
Bentuk gas bersifat anastetik atau terapeutik :
1. Gas terapeutik
Oksigen untuk mengatasi hipoktasi atau melawan keracunan CO
(karbon monoksida) CO2 (karbondioksida) dipakai bersama
oksigen untuk mengatasi depresi pernafasan, asfiksia dan
keracunan

CO.

Pada

tindakan

bedah,

dipakai

untuk

meningkatkan kepadatan induksi dan pemulihan setelah anastesi.
2. Gas anestetik
Contohnya adalah halolatan
d. Bentuk Aerosol
Obat bentuk ini dibawah tekanan, berupa larutan. Yang berbentuk
larutan disemprotkan berupa kabut dalam mulut serta dihirup
kedalam

paru,

misalnya

salbutamol

(ventolin)

dengan

alat

penyemprot khusus.
2.1.3 Sifat Kerja Obat
Obat bekerja menghasilkan efek terapeutik yang bermanfaat. Sebuah
obat tidak menciptakan suatu fungsi di dalam jaringan tubuh atau organ,
tetapi mengubah fungsi fisiologis. Obat dapat melindungi sel dari
pengaruh agens kimia lain, meningkatkan fungsi sel, atau mempercepat

atau memperlambat proses kerja sel. Obat dapat mengantikan zat tubuh
yang hilang (contoh, insulin, hormon tiroid, atau estrogen).
2.1.4 Berat dan Komposisi Badan
Ada hubungan langsung antara jumlah obat yang diberikan dan
jumlah jaringan tubuh tempat obat didistribusikan. Kebanyakan obat
diberikan berdasarkan berat dan komposisi tubuh dewasa. Perubahan
komposisi tubuh dapat mempengaruhi distribusi obat secara bermakna.
Contoh tentang hal ini dapat ditemukan pada klien lansia. Karena
penuaan, jumlah cairan tubuh berkurang, sehingga obat yang dapat larut
dalam air tidak didistribusikan dengan baik dan konsentrasinya
meningkat di dalam darah klien lansia. Peningkatan presentase lemak
tubuh secara umum ditemukan pada klien lansia, membuat kerja obat
menjadi lebih lama karena distribusi obat di dalam tubuh lebih lambat.
Semakin kecil berat badan klien, semakin besar konsentrasi obat di dalam
jaringan tubuhnya, dan efek obat yang dihasilkan makin kuat. Lansia
mengalami penurunan masa jaringan tubuh dan tinggi badan dan
seringkali memerlukan dosisi obat yang lebih rendah daripada klien yang
lebih muda.
2.1.5 Dinamika Sirkulasi
Obat lebih mudah keluar dari ruang interstisial ke dalam ruang
intravaskular daripada di antara kompartemen tubuh. Pembuluh darah
dapat ditembus oleh kebanyakan zat yang dapat larut, kecuali oleh
partikel obat yang besar atau berikatan dengan protein serum.
Konsentrasi sebuah obat pada sebuah tempat tertentu bergantung pada
jumlah pembuluh darah dalam jaringan, tingkat vasodilasi atau
vasokonstriksi lokal, dan kecepatan aliran darah ke sebuah jaringan.
Latihan fisik, udara yang hangat, dan badan yang mengigil mengubah
sirkulasi lokal. Contoh, jika klien melakukan kompres hangat pada
tempat

suntikan

intarmuskular,

akan

terjadi

vasodilatasi

yang

meningkatkan distribusi obat. Membran biologis berfungsi sebagai barier
terhadap perjalanan obat.
Membran biologis berfungsi sebagai barier terhadap perjalanan obat.
Barier darah-otak hanya dapat ditembus oleh obat larut lemak yang

masuk ke dalam otak dan cairan serebrospinal. Infeksi sistem saraf pusat
perlu ditangani dengan antibiotik yang langsung disuntikkan ke ruang
subaraknoid di medula spinalis. Klien lansia dapat menderita efek
samping (mis, konfusi) akibat perubahan peremeabilitas barier darahotak karena masuknya obat larut-lemak ke dalam otak lebih mudah.
Membran plasenta merupakan barier yang tidak selektif terhadap otak.
Agens yang larut dalam lemak dan tidak larut dalam lemak dapat
menembus plasenta dan membuat janin mengalami deformitas (kelainan
bentuk), depresi pernafasan, dan pada kasus penyalahgunaan narkotik,
gejala putus zat. Wanita perlu mengetahui bahaya penggunaan obat
selama masa hamil.
2.1.6 Faktor yang Mempengaruhi Kerja Obat
Sejumlah faktor selain obat itu sendiri dapat memengaruhi kerja
obat. Setiap orang mungkin tidak berespons sama terhadap dosis obat
yang berturut – turut. Selain itu, obat dan dosis yang sama dapat memberi
pengaruh yang berbeda pada masing – masing klien.
a. Faktor Perkembangan
Selama kehamilan, wanita harus berhati – hati mengonsumsi obat.
obat yang dikonsumsi selama kehamilan meningkatkan selama resiko
kehamilan, tetapi resiko yang paling tinggi adalah selama trimester
pertama, yang merupakan saat pembentukan organ – organ vital dan
fungsi tubuh janin. Kebanyakan obat yang dikontraindikasikan
karena kemungkinan efek samping pada janin.
Bayi biasanya memerlukan dosis kecil kerena ukuran tubuh dan
organ – organ mereka belum matur, terutama hati dan ginjal. Bayi
sering kali tidak memiliki enzim – enzim yang diperlukan untuk
metabolism obat oleh karena itu, bayi memerlukan dosis obat dan
berbeda dari orang dewasa. Pada masa remaja dan dewasa, reaksi
alergi dapat terjadi terhadap obat yang sebemnya dapat ditoleransi.
Klien yang lanjut usia dapat direspos yang berbeda terhadap obat
akibat perubahan fisiologik yang menyertai penuaan. Perubahan ini
termasuk penurunan fungsi ginjal dan hati, yang mengakibatkan
akumulasi obat di dalam tubuh. Selain itu, klien lansia mungkin
menerima obat multiple dan dapat terjadi inkompatibilitas.

Klien lansia sering kali mengalami penurunan mobilitas lambung dan
penurunan produksi asam lambung serta aliran darah, yang dapat
mengganggu absorpsi obat. peningkatan jaringan adiposa dan
penurunan proposicairan tubuh total terdahap massa tubuh dapat
mengalami penurunan jumlah tempat ikatan protein dan perubahan
pada sawar darah otak. Perubahan pada sawar darah otak
memungkinkan obat larut lemak mudah bergerak ke otak, sering kali
mengakibatkan limbung dan konfusi. Hal ini terutama terjadi pada
pemberian beta bloker.
b. Jenis Kelamin
Wanita dan pria memiliki respons yang berbeda terhadap obat
terutama berhubungan dengan perbdaan distribusi lemak tubuh,
cairan tubuh, dan hormon. Karena banyak obat yang diteliti dilakukan
pada pria, penelitian pada obat pada wanita prlu dilakukan untuk
mengetahui efek perubahan hormonal terhadap kerja obat pada
wanita.
c. Faktor Budaya, Etink dan Genetik
Respons klien terhadap obat dipengaruhi usia, jenis kelamin, dan
komposisi tubuh. Variasi respons ini disebut

polimorfisme obat

(kudzma, 1999), penelitian menunjukkan bahwa etnik dapat
memengaruhi

perbedaan

respons

pada

obat.

Kudzma,

(1999)menunjukkan bahwa metabolisme obat ditentukan secara
ginetik dan, akibatnya, ras dapat memengaruhi respons terhadap obat.
hal ini disebut, polimorfisme genetik. Gen – gen yang mengendalikan
metabolisme hati bervariasi dan beberapa klien dapat menunjukkan
metabolism yang lambat, sedangkan yang lainnya cepat. Penelitian
menunjukkan obat – obat tertentu dapat bekerja dengan baik pada
dosis terapeutik yang biasa untuk kelompok etnik tertentu, tetapi
dapat bersifat toksik pada ke;lompok yang lain. Kudzma (1999)
memberikan contih, obat antipsikotik dan antiansietas terbukti efektif
untuk orang Amerika Afrika, kaukasia, hispanik; sedangkan klien
keturunan Asia mungkin memerlukan dosis yang lebih rendah karena
metabolism jenis obat tersebut lebih lambat, yang mengakibatkan
orang keturunan Asia lebih rentan terhadap efek samping obat. fektor

budaya dan praktik budaya (mis., niloai dan kepercayaan) juga dapat
memengaruhi kerja obat. sebagai contoh, obayt – obat herbal (mis.,
herbal gingseng cina) dapat mempercepat atau memperlambat
metabolisme obat yang diprogramkan. Pemberian asuhan yang
kompeten sesuai budaya memberikan pedoman bagi perawat dalam
merawat klien dari budaya yang berbeda.
d. Diet
Zat gizi dapat mengubah kerja obat. Sebagai contoh, vitamin K yang
ditemukan pada sayuran berdaun hijau dapat menghilangkan efek
antikoagulan seperti warfarin (Coumadin).
e. Lingkungan
Lingkungn klien dapat memberi efek terhadap kerja obat yang di
gunakan untuk mengubah perilaku dan alam perasaan. Oleh sebab itu,
perawat yang mengkaji tentang efek perlu mempertimbambangkan
obat dalam konteks kepribadian dan lingkungan lain.
Suhu lingkungan juga dapat memengaruhi aktivitas obat. Ketika suhu
lingkungan tinggi, pembuluh darah perifer dilatasi, sehingga
meningkatkan vasokontriksi menghambat kerja vasoilator tetepi
memperkuat kerja vasokontriktor. Klien yang mengonsumsi sedatif
atau analgesik dalam lingkungan yang sibuk dan bising mungkin
tidak memperoleh khasiat yang sama seperti jika klien berada di
lingkungan yang tenang dan damai.
f. Faktor Psikologik
Harapan klien tentang apa yang dapat obat lakukan dapat
memengaruhi respons terhadap obat. Sebagai contoh, klien yang
meyakini bahwa koein tidak efektif untuk analgesik mungkin tidak
merasakan peredaan nyeri setelh obat diberikan.
g. Sakit dan Proses Penyakit
Sakit dan proses penyakit juga dapat memengaruhi kerja obat.
Sebagai contoh, aspirin dapat menurunkan suhu tubuh pada klien
yang demam, tetapi tidak memberi dampak apa–apa pada tubuh klien
yang tidak mengalami demam. Kerja obat terganggu pada klien yang
mengalami disfungsi sirkulsi, hati, atau ginjal.
h. Waktu Pemberian Obat
Waktu pemberian obat oral memengaruhi kecepatan relatif kerja obat.
Obat yang diberikan secara oral diabsorsi lebih cepat jika lambung

dalam keadaan kosong. Oleh sebab itu, obat oral yang dimakan 2 jam
sebelum makn memiliki kerja obat yang lebih cepat dibaningkan obat
yang diberikan setelah makan. Namun, beberapa obat, sebagai contoh
preparat zat besi, mengiritasi saluran cerna dan harus diberikan
setelah makan, agar obat dapat ditoleransi dengan baik. Irama tidurbangun klien dapat memengaruhi kerja obat. Variasi sirkadian
haluaran

urine

dan

sirkulasi

darah,

sebagai

contoh,

dapat

memengaruhi respons klien terhadap obat.
2.1.7 Rute Pemberian Obat
A. Pemberian Obat Per Oral
Pemberian obat per oral merupakan cara yang paling banyak
dipakai karena ini merupakan cara yang paling mudah, murah, aman,
dan nyaman bagi pasien. Berbagai bentuk obat dapat diberikan secara
oral baik dalam bentuk tablet, sirup, kapsul atau puyer. Untuk
membantu absorbsi, maka pemberian obat per oral dapat disertai
dengan pemberian setengah gelas air atau cairan yang lain.
Kelemahan dari pemberian obat per oral adalah pada aksinya
yang lambat sehingga cara ini tidak adapt dipakai pada keadaan
gawat. Obat yang diberikan per pral biasanya membutuhkan waktu
30 sampai 45 menit sebelum diabsorbsi dan efek puncaknya dicapai
setelah 1 sampai dengan 1 setengah jam. Rasa dan bau obat yang
tidak enak sering menganggu pasien. Cara per oral tidak dapat
dipakai pada pasien yang mengalami mual-mual, muntah, semi koma,
pasien yang akan menjalani pengisapan cairan lambung serta pada
pasien yang mempunyai gangguan menelan.
Beberapa jenis obat dapat mengakibatkan iritasi lambung dan
menyebabkan muntah (misal garam besi dan salisilat). Untuk
mencegah hal ini, obat dipersiapkan dalam bentuk kasul yang
diharapkan tetap utuh dalam suasana asam di lambung, tetapi menjadi
hancur pada suasana netral atau basa di usus. Dalam memberikan
obat jenis ini, bungkus kapsul tidak boleh dibuka, obat tidak boleh
dikunyah dan pasien diberi tahu untuk tidak minum antasid atau susu
sekurang-kurangnya satu jam setelah minum obat.

Apabila obat dikemas dalam bentuk sirup, maka pemberian harus
dilakukan dengan cara yang paling nyaman khususnya untuk obat
yang pahit atau rasanya tidak enak. Pasien dapat diberi minuman
dingin (es) sebelum minum sirup tersebut. Sesudah minum sirup
dapat diberi minum, pencuci mulut atau kembang gula.
Cara Kerja Pemberian Obat Per Oral
Peralatan :
1. Baki berisi obat-obatan atau kereta sorong obat-obat (tergantung
sarana yang ada)
2. Kartu rencana pengobatan
3. Cangkir disposible untuk tempat obat
4. Martil dan lumpang penggerus (bila diperlukan)
Tahap kerja :
1. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
2. Cuci tangan
3. Kaji kemampuan pasien untuk dapat minum obat per oral
(kemampuan menelan, mual dan muntah, akan dilakukan
penghisapan cairan lambung, atau tidak boleh makan/minum).
4. Periksa kembali order pengobatan (nama pasien, nama dan dosis
obat, waktu dan cara pemberian). Bila ada keraguan laporkan ke
perawat jaga atau dokter.
5. Ambil obat sesuai yang diperlukan.
6. Bantu untuk minum obat dengan cara :
a. Apabila memberikan tablet atau kapsul dari botol, tuangkan
jumlah yang dibutuhkan ke dalam tutup botol dan pindahkan
ke tempat obat. Jangan menyentuh obat dengan tangan. Obat
b.
c.
d.
e.

berupa kapsul jangan dilepaskan pembungkusnya.
Yakin bahwa tidak pada pasien yang salah
Atur posisi pasien duduk bila mungkin
Kaji tanda-tanda vital pasien
Berikan cairan/air yang cukup untuk membantu menelan, bila
sulit menelan anjurkan pasien meletakan obat di lidah bagian

belakang, kemudian pasien dianjurkan minum
f. Bila obat mempunyai rasa tidak enak, beri pasien beberapa
butir es batu untuk diisap sebelumnya, atau berikan obat
dengan menggunakan lumatan apel atau pisang.

7. Catat tindakkan yang telah dilakukan meliputi nama dan dosis
obat yang diberikan, setiap keluhan dan hasil pengkajian pada
pasien. Bila obat tidak dapat masuk, catat secara jelas dan tulis
tanda tangan dengan jelas.
8. Kembalikan semua peralatan yang dipakai dengan tepat dan benar
kemudian cuci tangan.
9. Lakukan evaluasi menegenai efek obat pada pasien kurang lebih
30 menit setelah waktu pemberian.
B. Pemberian Secara Sublingual
Obat dapat diberikan pada pasien secara sublingual yaitu dengan
cara meletakkan obat di bawah lidah. Meskipun cara ini jarang
dilakukan, namun perawat harus mampu melakukannya. Dengan cara
ini, aksi kerja obat lebih cepat yaitu setelah hancur dibawah lidah
maka obat akan segera mengalami absorbi ke dalam pembuluh darah.
Cara ini juga mudah dilakukan dan pasien tidak mengalami
kesakitan. Pasien diberitahu untuk tidak menelan obat kerena bila
ditelan, obat menjadi tidak aktif oleh adanya proses kimiawi dengan
cairan lambung. Untuk mencegah obat tidak di telan, maka pasien
diberitahu untuk memberikan obat tetap di bawah lidah sampai obat
menjadi hancur dan terserap. Obat yang sering sering diberikan
dengan cara ini adalah nitrogliserin yaitu obat vasodilator yang
mempunyai efek vasodilatasi pembuluh darah. Obat ini banyak
diberikan pada pasien yang mengalami nyeri dada akibat angina
pektoris. Dengan cara sublingual, obat reaksi dalam satu menit dan
pasien dapat merasakan efeknya dalam waktu tiga menit. (Rodman
dan Smith, 1979).
C. Pemberian Obat Secara Bukal
Dalam pemberian obat secara bukal, obat diletakkan antara gigi
dengan selaput lendir pada pipi bagian dalam. Seperti pada
pemberian secara sublingual, pasien dianjurkan untuk memberikan
obat pada selaput lendir pipi bagian dalam sampai obat hancur dan
diabsorbsi. Kerja sama pasien sangat penting dalalm pemberian obat
cara ini karena biasanya pasien akan menelan yang akan
menyebabkan obat menjadi tidak efektif.

Cara pemberian ini jarang dilakukan dan pada saat ini hanya
jenis preparat hormon dan enzim yang menggunakan metode ini
misalnya hormon polipeptida oksitosin pada kasus obstetrik. Hormon
oksitosin mempunyai efek meningkatkan tonus serta motilitas otot
uterus dan digunakakn untuk memacukelahiran pada kasus-kasus
tertentu (Rodman dan Smith, 1979).
D. Pemberian Obat Secara Parenteral
Istilah parenteral mempunyai arti setiap jalur pemberian obat
selain melaui enteral atau saluran pencernaan. Lazimnya, istilah
parenteral dikaitkan dengan pemberian obat secara injeksi baik
intradermal, subkutan, intramuskular, atau intravena. Pemberian obat
secara parenteral mempunyai aksi kerja lebih cepat dibanding dengan
secara oral. Namun, pemberian secara parenteral mempunyai
berbagai risiko antara lain erusak kulit, menyebabkan nyeri pada
pasien, salah tusuk dan lebih mahal. Demi keamanan pasien, perawat
harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang cara
pemberian obat secara parenteral termasuk cara menyiapkan,
memberikan obat dan menggunakan teknik steril.
Dalalm memberikan obat secara parenteral, perawat harus
mengetahui dan dapat menyiapkan peralatan yang benar yaitu : alat
suntik (spuit/syringe), jarum, vial dan ampul). Menurut bentuknya
spuit mempunyai tiga bagian yaitu bagian ujung yang berkaitan
dengan jarum, bagian tabung dan bagian pendorong obat. Dilihat dari
bahan pembuatnya spuit dapat berupa spuit kaca (jarang digunakan)
dan spui plastik (spuit disposible). Ditinjau dari penggunaanya spuit
dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu spui standard hipodermik,
spuit insulin dan spuit tuberkulin.
Jarum merupakan alat pelengkap spuit. Jarum injeksi terbuat dari
bahan stainless yang mempunyai ukuran panjang dan besar yang
bervariasi. Jarum mempunyai ukuran panjang berkisar antara 1,27
sampai dengan 12,7 cm. Besar jarum dinyatakan dengan satuan gauge
antara nomor 14 sampai dengan 28 gauge. Semakin besar ukuran
gauge-nya semaki kevil diameternya. Diameter yang besar dapat
menimbulkan rasa sakit saat ditusukkan. Penggunaan ukuran jarum

ini disesuaikan dengan keadaan pasien yang meliputi umur,
gemuk/kurus, jalur yang akan dipakai dan obat yang akan
dimasukkan.
Cairan obat untuk diberikan secara parenteral, biasanya dikemas
dalam ampul atau vial. Ampul biasanya terbuat dari bahan gelas.
Sebagian besar bagian leher ampul mempunyai tanda bewarna
melingkar yang dapat dipatahkan. Bila bagian leher tidak mempunyai
tanda berarti bagian pangkal leher harus digergaji dengan geraji
ampul sebelum dipatahkan. Vial mempunyai ukuran yang bervariasi.
Bagian penutupnya biasanya terbuaut dari plastik yang dilindungi
dengan logam.
Vial dibuka dengan cara membuka logam tipis penyegel bagian
atas vial sehingga bagian karet akan kelihatan. Cairan obat diambil
dengan cara menusukkan jarum spuit pada karet penutup vial. Untuk
lebih jelasnya bacalah kerja meyiapkan obat dari ampul dan vial.
Cara Kerja Menyiapkan Obat dari Ampul dan Vial :
1. Siapkan peralatan meliputi :
a. Vial atau ampul yang berisi cairan obat steril
b. Kapas alkohol
c. Jarum dan spuit sesuai ukuran yang dibutuhkan
d. Air steril atau normal salin bila diperlukan
e. Kassa pengusap
f. Turniket untuk injeksi intravena
g. Kartu obta atau catatan rencana pengobatan
2. Periksa dan yakinkan bahwa order pengobatan dan cara
pemberiannya telah akurat.
3. Siapkan ampul atau vial yang berisi obat sesuai yang diperlukan
dan kemudian buka dengan cara sebagai berikut :
a. Untuk ampul: pegang ampul dan bila cairan obat banyak
terletak di bagian kepala, jentiklah kepala ampul atau
putar ampul beberapa kali sehingga obat akan turun ke
bawah. Bila perlu bersihkan bagian leher ampul. Ambil
kassa steril letakkan diantara sampul dan ibu jari dengan
jari-jari anda kemudia patahkan leher ampul ke arah
berlawanan dengan anda.
b. Untuk vial : Bila perlu campur larutan dengan memutarmutar vial dalam genggaman anda (buka dengan

mengocok). Buka logam penyegel kemudian disinfeksi
karet vial dengan kapas alkohol 70%.
4. Ambil cairan obat dengan cara sebagai berikut :
a. Untuk obat dalam ampul; sebaiknya gunakan jarum
berfilter. Buka penutup jarum kemudian secara hati-hati
masukkan jarum yang terpasang pada spuit ke dalam
ampul dan hisap cairan sesuai yang dibutuhkan. Bila spuit
akan digunakan untuk injeksi, ganti jarum filter dengan
jarum biasa.
b. Untuk obat dalam via; pasang jarum berfilter pada spuit,
buka penutup jarum dan tarik pengokang spuit agar udara
masuk ke tabung spuit. Secara hati-hati tusukkan jarum di
tengah

karet

penutup

vial

lalu

masukkan

udara.

Pertahankan jarum tidak menyentuh cairan obat hingga
udara tidak membuang gelembung. Pegang vial sejajar
dengan mata lalu tarik obat secukupnya secara hati-hati.
Tarik spuit dari vial kemudian tutup jarum dengan dengan
kap penutup lalu ganti jarum pada spuit dengan jarum
biasa.
c. Bila obat berbentuk bubuk (powder), bacalah cara
penggunaannya. Obat injeksi bentuk bubuk harus dibuat
dalam larutan dulu sebelum diambil. Untuk membuat
larutan obat bubuk maka sebelum dibuat larutan, hisap
udara dalam vial yang berisi obat tersebut dengan spuit
(kecuali untuk obat yang tidak diperbolehkan). Masukkan
air steril atau cairan lain sesuai yang dibutuhkan ke
dalamnya, kemudian putar-putar vital sampai obat
menjadi larutan. Bila obat merupakan multidosis, beri
label pada vial tersebut tentang tanggal dicampur,
banyaknya obat dalam vial dan tanda tangan anda. Bila
perlu disimpan, baca cara penyimpanannya sesuai yang
dianjurkan oleh pabrik farmasi.
d. Bila obat perlu dicampur dari beberapa vial misalnya dua
vial,

maka

perawat

harus

berupaya

mencegah

tercampurnya obat pada kedua vial tersebut. Cara
mencampur obat dari dua vial adalah masukkan udara
secukupnya pada vial A dan jaga jarum tidak menyentuh
cairan.

Lalu

cabut

jarum

kemudian

hisap

udara

secukupnya lalu masukkan pada vial B. Hisap cairan obat
dari B sesuai yang diperlukan kemudian cabut spuit
tersebut. Ganti jarum kemudian tusukkan pada vial A dan
hisap cairan obat dari vial A sesuai yang diperlukan
berikutnya cabut spuit dari vial A.
a. Injeksi Intradermal
Injeksi Intradermal atau intrakutan merupakan injeksi yang
ditusukkan

pada

lapisan

dermis

atau

di

bawah

epidermis/permukaan kulit. Injeksi ini dilakukan secara terbatas,
karena hanya sejumlah kecil obat yang dapat dimasukkan. Cara
ini lazim digunakan untuk test tuberkulin dan test untuk
mengetahui reaksi alergi terhadap obat tertentu serta vaksinasi.
Kadang-kadang cara ini digunakan pada anastesi lokal kemudian
dilanjutkan untuk injeksi pada area yang lebih dalam. Area yang
lazim digunakan untuk injeksi intradermal adalah lengan bawah
bagian dalam, dada bagian atas dan punggung pada area skapula.
Cara kerja :
1. Siapkan peralatan antara lain :
a) Spuit ukuran 1ml dengan kalibrasi ratusan mililiter
b) Jarum dengan ukuran sesuai kebutuhan, biasanya nomor
25, 26 atau 27 gauge, panjang ¼ sampai dengan 5/8
c) Kapas alkohol
d) Buku pengobatan dan instruksi pengobatan.
2. Beritahu pasien
3. Siapkan area yang akan diinjeksi misalnya lengan kanan atau
lakukan desinfeksi dengan kapas alkohol
4. Pegang erat lengan pasien dengan tangan kiri dan tangan
satunya memegang spuit ke arah pasien
5. Tusukkan spuit dengan sudut 15º pada epidermis kemudian
teruskan sampai dermis lalu dorong cairan obat. Obat ini
akan menimbulkan tonjolan di bawah permukaan kulit
6. Cabut spuit, usap pelan-pelan area penyuntikan dengan kapas
antiseptik

tanpa

memberikan

masage

(masage

dapat

menyebabkan obat masuk ke jaringan atau keluar melalui
lubang injeksi).
b. Injeksi Subkutan/sc
Injeksi subkutan diberikan dengan menusuk area di bawah
kulit yaitu pada jaringan konektif atau lemak di bawah dermis.
Setiap jaringan subkutan dapat dipakai untuk area injeksi ini,
yang lazim adalah pada lengan ats bagian luar, paha bagian depan.
Area lain yang lazim digunakan adalah perut, area skapula,
ventrogluteal dan dorsogluteal. Injeksi harus tidak diberikan pada
area yang nyeri saja, merah, pruritis atau edema. Pada pemakaian
injeksi subkutan jangka lama, maka injeksi perlu direncanakan
untuk diberikan secara rotasi pada area yang berbeda.
Jenis obat yang lazim diberikan secara subkutan adalah
vaksin, obat-obatan preoperasi, narkotik, insulin, heparin.
Cara kerja :
1. Siapkan peralatan yang berupa :
a. Buku catatan rencana/order pengobatan.
b. Vial atau ampul berisi obat yang diberikan.
c. Spuit dan jarum steril (spuit 2 ml, jarum ukuran 25 gauge,
5/8 – ½ inci).
d. Kapas antiseptik steril.
e. Kassa steril untuk membuka ampul (bila diperlukan)
2. Masukan obat dari vial atau ampul ke dalam tabung spuit
dengan cara yang benar.
3. Beritahu pasien dan atur dalam posisi yang nyaman (jangan
keliru pasien;bantu pasien pada posisi yang mana lengan,
kaki, atau perut yang akan digunakan injeksi dapat rileks).
4. Pilih area tubuh yang tepat, kemudian usap dengan kapas
antiseptik dari tengah keluar secara melingkar sekitar 5 cm
menggunakan tangan yang tidak untuk menginjeksi.
5. Sipakan spuit, lepas kap penutup secara tegak lurus sambil
menunggu antiseptik kering dan keluarkan udara dari spuit.
6. Pegang spuit dengan salah satu tangan antara jempol dan jarijari pada area injeksi dengan telapak tangan menghadap ke
arah samping atau atas untuk kemiringan 45º atau dengan
telapak tangan menghadap ke bawah untuk kemiringan 45º.
Gunakan

tangan

yang

tidak

memegang

spuit

untuk

mengangkat atau merentangkan kulit, lalu secara hati-hati dan

mantap tangan yang lain menusukkn jarum. Lakukan aspirasi,
bila muncul darah maka segera cabut spuit untuk dibuang dan
diganti spuit dan obat baru. Bila tidak muncul darah, maka
pelan-pelan dorong obat ke dalam jaringan.
7. Cabut spuit lalu usap dan masage pada area injeksi. Bila
tempat penusukkan mengeluarkan darah, maka tekan area
tusukkan

dengan kassa steril kering sampai perdarahan

berhenti.
8. Buang spuit tanpa harus menutup jarum dengan kapnya
(mencegah cidera bagi perawat) pada tempat pembuangan
secara benar.
9. Catat tindakan yang telah dilakukan.
10. Kaji keefektifitasan obat.
c. Injeksi Intramuskular/im
Injeksi intramuskular dilakukan dengan beberapa tujuan yaitu
untuk memasukkan obat dalam jumlah yang lebih besar dibanding
obat yang diberikan melalui subkutan. Absorbsi juga lebih cepat
dibanding dengan pemberian obat pemberian secara subkutan
karena lebih banyak suplai darah di otot tubuh. Pemberian dengan
cara ini dapat pula mencegah/mengurangi iritasi obat. Namun,
perawat harus hati-hati dalam melakukaj injeksi intramuskular
karena cara ini dapat menyebabkan luka pada kulit dan rasa nyeri
serta takut pada pasien.
Beberapa lokasi pada tubuh dapat digunakan untuk injeksi
intramuskular. Namun, yang lazim digunakan adalah deltoid,
dorsogluteal, ventrogluteal, vastus lateralis, dan rektus femoris.
Area-area di atas digunakan karena berbagai alasan antara
lain karena massa otot yang besar, vaskularisasi baik dan jauh dari
syaraf. Dalam pelaksanaannya, perawat harus mempertimbangkan
usia pasien, ukuran dan kondisi dari otot yang akan diinjeksi.
Untuk menghindari obat salah masuk pada jaringan subkutan,
maka pada saat menginjeksi, jarum diatur pada posisi tegak lurus
90º.

Area Deltoid. Area ini dapat ditemukan pada lengan atas
bagian luar. Area ini jarang digunakan untuk injeksi intramuskular
karena mempunyai risiko besar terhadap bahaya tertusuknya
pembuluh darah, mengenai tulang atau serabut saraf. Cara
sederhana menentukan lokasi injeksi pada deltoid adalah dengan
cara meletakkan dua jari secara vertikal di bawah akromion,
dengan jari yang atas di atas akromion. Lokasi injeksi adalah tiga
jari di bawah akromion.
Area Dorsogluteal. Dalam melakukan injeksi dorsogluteal,
perawat harus teliti dan hati-hati sehingga injeksi tidak mengenai
syaraf skiatik dan pembuluh darah. Lokasi ini dapat digunakan
pada oran dewasa dan anak-anak di atas usia 3 tahun, lokasi ini
tidak boleh digunakan pada anak-anak di bawah 3 tahun karena
pada kelompok usia ini otot dorsogluteal belum berkembang.
Salah satu cara menentukan lokasi dorsogluteal adalah
dengan cara membagi area gluteal menjadi kuadran-kuadran. Area
gluteal tidak hanya terbatas pada bokong saja, tetapi memanjang
ke arah krista iliaka. Area injeksi dipilih pada area kuadran luar
atas.
Area injeksi ventrogluteal dapat pula ditentukan dengan cara
menarik garis bayangan dari spina iliaka posterior superior
menuju trokanter besar. Injeksi dilakukan pada area lateral dan
superior terhadap garis bayangan.
Untuk menempatkan area ini dengan jelas, pakaian yang
menutupi bokong harus dibuka secara penuh dan pasien diatur
berbaring menghadap ke bawah dalam posisi prone dengan kedua
tangan diatas kedua sisi tempat tidur dan kedua kaki diputar ke ke
dalam. Posisi ini akan membantu relaksasi otot gluteus dan
relaksasi pasien yang diinjeksi. Selain posisi pronasi, pasien dapat
pula diatur dalam posisi miring ke samping dengan kaki yang di
atas ditekuk pada pangkal paha dan lutut serta diletakkan di depan
kaki bawah yang diatur lurus.
Area ventrogluteal. Area ini juga disebut area area von
Hochstetter. Area ini paling banyak dipilih untuk injeksi

intramuskular karena pada area ini tidak terdapat pembuluh drah
dan saraf besar. Area ini juga jauh dari anus sehingga tidak atau
kurang terkontaminasi. Dalam melakukan injeksi pada area ini,
pasien dapat diatur dalam posisi berbaring telentang, tengkurap
(pronasi), duduk atau berbaring ke samping. Untuk mendapatkan
area ini, misalnya bila pasien diatur miring ke samping kanan,
perawat meletakkan telapak tangan pada trokanter mayor dengan
jari-jari menghadap ke arah kepala (perhatikan jangan sampai
keliru dengan krista iliaka superior). Jari tengah diletakkan pada
pada spina iliaka anterior superior dan direntangkan menjauh
membentuk suatu area berbentuk huruf V. Jarum injeksi
ditusukkan di tengah-tengah area ini.
Area vastus lateralis. Area ini terletak antara sisi median
anterior dan sisi midlateral paha. Otot vastus lateralis biasanya
tebal dan tumbuh secara baik pada orang dewasa dan anak-anak.
Bila melakukan injeksi pada bayi, disarankan menggunakan area
ini karena pada area ini tidak terdapat serabut saraf dan pembuluh
darah besar. Area injeksi disarankan pada sepertiga bagian yang
tengah. Area ini ditentukan dengan cara membagi area antara
trokanter mayor sampai dengan kondila femur lateral menjadi tiga
bagian lalu pilih areavtengah untuk lokasi injeksi. Untuk
melakukan injeksi ini, pasien dapat diatur miring atau duduk.
Cara kerja injeksi intramuskular :
1. Pastikan tentang adanya order pengobatan
2. Siapkan peralatan yang terdiri dari :
a. Kartu pengobatan/rencana order pengobatan
b. Obat steril dalam ampul atau vial
c. Spuit beserta jarum stteril (ukuran tergantung dengan yang
diperlukan)
d. Kapas pengusap dalam larutan antiseptik
e. Kaca steril (bila diperlukan untuk membentuk ampul).
3. Siapkan obat dengan mengambil obat dari ampul atau vial
sesuai dengan jumlah yang dikehendaki (baca pada cara kerja
menyiapkan obat dari vial atau ampul).

4. Yakinkan bahwa pasien benar dan beritahu pasien tentang
tindakan yang akan dilakukan, kemudian bantu mengatur
posisi yang aman.
5. Buka pakaian, selimut atau kain yang menutupi area yang
akan diinjeksi.
6. Tentukan lokasi penyuntikan, pilihlah area yang bebas dari
lesi, nyeri tekan, bengkak dan radang. Bersihkan kulit dengan
pengusap antiseptik secara melingkar dari dalam ke luar.
7. Siapkan spuit yang sudah berisi obat buka penutup jarumnya
dengan hati-hati, dan keluarkan udara dalam spuit.
8. Gunakan tangan yang tidak memegang spuit

untuk

membentangkan kulit pada area yang akan ditusuk, pegang
spuit antara jempol dan jari-jari kemudian tusukkan jarum
secara tegak lurus pada sudut 90º.
9. Lakukan aspirasi untuk mengecek apakah jarum tidak
mengenai pembuluh darah dengan cara menarik pengokang.
Bila terhisap darah maka akan segera cabut spuit, buang dan
ganti yang baru. Bila tidak terhisap darah, maka perlahanlahan masukkan obat dengan cara mendorong pengokang
spuit.
10. Bila obat sudah masuk semua maka segera cabut spuit dan
lakukan masage pada area penusukan.
11. Rapikan pasien dan atur dalam posisi yang nyaman.
12. Buang spuit pada tempat yang disediakan, bereskan peralatan.
13. Observasi keadaan pasien dan catat tindakan.
d. Injeksi Intravena /iv
Jalur vena dipakai khususnya untuk tujuan agar obat yang
diberikan dapat beraksi dengan cepat misalnya pada situasi
gawat darurat, obat dimasukkan ke dalam vena sehingga obat
langsung masuk sistem sirkulasi yang menyebabkan obat dapat
berreaksi lebih cepat dibanding dengan cara enteral atau
parenteral yang lain yang memerlukan waktu absorbsi.
Pemberian obat intravena dapat dilakukan dengan berbagai
cara. Pada pasien yang tidak dipasang infus, obat diinjeksikan
langsung pada vena. Bila cara ini yang digunakan, maka
biasanya dicari vena besar yaitu vena basilika atau vena sefalika

pada lengan. Pada pasien yang dipasang infus, obat dapat
diberikan melalui botol infus atau melaui karet pada selang infus
yang dibuat untuk memasukkan obat.
Di negara maju misalnya Amerika Serikat dan Kanada, tidak
semua perawat diperbolehkan memasukkan obat melalui vena
atau memasang infus karena risiko yang dapat terjadi cukup
besar. Untuk dapat memasang infus maka perawat harus
mengikuti kursus keterampilan dulu.
Untuk memasukkan obat melaui vena, perawat harus
mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang memadai
sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pelaksanaan atau
menyebabkan berbagai masalah yang fatal bagi pasien misalnya
terjadi emboli udara. Perawat juga harus mampu mencari vena
yang tepat untuk penusukan. Jangan lakukan penusukan sebelum
yakin mendapatkan vena yang mudah ditusuk. Pengulungan
tusukan dapat menyebabkan rasa sakit dan rasa takut pada
pasien.
Pasien yang terpasang infus seringkali mendapat order obat
yang dimasukkan secara intravena. Pada pasien ini, perawat tidak
perlu membuat tusukan baru lagi, tetapi dapat memasukkan obat
melalui karet pada pipa infus yang dirancang untuk memasukkan
obat atau melalui botol infus. Dalam melakukan tindakan ini,
perawat harus memerhatikan teknik aseptik yaitu dengan
mengusap tempat yang akan ditusuk dengan kapas antiseptik.
Klem infus dimatikan selama obat dimasukkan dan bila sudah
selesai,

kecepatan

tetesan

diatur

kembali.

Pada

setiap

penambahan obat melalui pipa atau botol infus, buat label pada
botol infus, angkat dan goyangkan botol agar obat dapat campur,
observasi keadaan pasien dan catat tindakan anda pada buku
catatan pengobatan atau