Ringkasaan Disertasi Pramudya

REKONSTRUKSI
PEMAKNAAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN BAGI PEREMPUAN
(Studi Kasus Komunitas Tionghoa)

RINGKASAN DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Doktor dalam Ilmu Hukum

Oleh:
Pramudya
NIM: B5A008051

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014
i

ii


TIM PROMOTOR

Prof. Dr. Esmi Warassih Pujirahayu, SH. MS.
Promotor
Prof. Dr. Tri Marhaeni PA, M.Hum
Co-Promotor

iii

iv

TIM PENGUJI UJIAN TERBUKA
Tanggal 18 Maret 2014

Ketua
:
Sekretaris :
Anggota
:


Prof. Dr. Jos Johan Utama, SH. M.Hum
Prof. Dr. Fx. Adi Samekto, SH. M.Hum
Dr. G. Widiartana, SH. M.Hum
Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH.
Prof. Dr. Yusriyadi, SH. MS.
Prof. Dr. Suteki, SH. M.Hum
Prof. Dr. Rahayu, SH. M.Hum
Prof. Dr. Esmi Warassih Pujirahayu, SH. MS.
(Promotor)
Prof. Dr. Tri Marhaeni, SH. M.Hum
(Co-Promotor)

v

vi

KATA PENGANTAR
Bermula dari pertemuan konsultasi untuk memperoleh bantuan hukum dari beberapa perempuan korban kekerasan dalam
rumah tangga, kemudian menimbulkan keinginan untuk mengetahui lebih dalam tentang pemaknaan kekerasan dalam rumah

tangga dari para korban, karena memilih berperilaku mengalah,
bersabar, mengampuni, dan takut untuk melakukan perlawanan
terhadap pelaku. Perilaku tersebut berseberangan dengan upaya
pemerintah untuk melakukan perlindungan kepada perempuan
yang dianggap sebagai kelompok rentan, dan pemaknaan kekerasan dalam rumah tangga dari pemerintah yang menganggap
kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan bagi martabat manusia. Adanya kesenjangan
nilai antara peraturan dan praktik, telah mengakibatkan kekerasan
dalam rumah tangga terus saja terjadi.
Disertasi yang berjudul Rekonstruksi Pemaknaan Kekerasan
dalam Rumah Tangga sebagai Upaya Perlindungan bagi Perempuan (Studi Kasus Komunitas Tionghoa) ini, adalah unggapan
dari penulis untuk mencari solusi agar kesenjangan antara nilainilai yang ada dalam peraturan dan yang ada dalam masyarakat
Tionghoa, dapat dihilangkan, sehingga peraturan dapat efektif
mencapai tujuan.
Disertasi ini dapat diselesaikan karena campur tangan dari
Tuhan yang telah memberi kekuatan, kesehatan, kesabaran dan
keuletan. Juga kerelaan dari istri dan anak-anak, untuk kehilangan
waktu kebersamaan selama penulis menyelesaikan studi. Juga

vii


dorongan dan dukungan dari tim promotor, para dosen, serta teman-teman, khususnya kepada:
1. Prof. Dr. Esmi Warassih Pujirahayu, SH. MS., selaku
promotor penulis, yang selama ini berkenan membimbing dan
mendorong penulis untuk dapat menyelesaikan disertasi ini.
2. Prof. Dr. Tri Marhaeni, SH. M.Hum, yang dalam waktu yang
terbatas berkenan untuk menjadi co-promotor pengganti dan
membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan disertasi
ini.
3. Prof. Dr. F.X Adji Samekto, SH. MHum, selaku Ketua
Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, yang selama ini telah
mem-bantu dengan memberikan solusi melalui berbagai
kebijakan ketika timbul permasalahan, sehingga penulis dapat
menye-lesaikan disertasi ini.
4. Prof. Dr. Rahayu, SH. M.Hum, selaku Sekretaris Program
Doktor Ilmu Hukum beserta staf, yang telah membantu
penulis menghadapi berbagai permasalahan administrasi,
selama penulis menempuh Program Doktor Ilmu Hukum.
5. Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH.; Prof. Dr. Suteki, SH.
M.Hum.; Prof. Dr. Yusriyadi, SH. MS.; selaku penguji pada
tahap seminar hasil penelitian, tahap kelayakan, tahap ujian

tertutup dan ujian terbuka, yang telah memberikan berbagai
masukan, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.
6. Prof. Dr. Mudjahirin Thohir MA.; selaku co-promotor di awal
penulisan disertasi dan penguji pada seminar hasil penelitian,
yang telah memberikan berbagai masukan, sehingga disertasi
ini dapat diselesaikan.

viii

7. Dr. G. Widiartana, SH. M.Hum., selaku penguji pada tahap
kelayakan, tahap ujian tertutup dan tahap ujian terbuka, yang
telah memberikan berbagai masukan, sehingga disertasi ini
dapat diselesaikan.
8. Para Guru Besar Pengajar Program Doktor Ilmu Hukum
UNDIP, khususnya kepada Alm. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,
yang telah memberikan pencerahan melalui cara pandang
melihat hukum dan manusia. Prof. Dr. B. Arief Sidharta, yang
telah memberikan wawasan untuk dapat melihat hukum secara mendalam, dan juga Prof. Dr. Arief Hidayat, SH. MS.
9. Para Guru Besar Pengajar tamu Program Doktor Ilmu Hukum
UNDIP, khususnya kepada Prof. Dr. Mesakh Krisetya, yang

telah berkenan membagi ilmu dan pengalamannya untuk dapat mempelajari latar belakang perilaku manusia, dan juga
Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, SH.
10. Prof. Dr. Gambir Melati, SH., dan Dr. Mohamad Hatta, SH.
CN yang selaku memberikan perhatian dan dorongan bagi
penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.
11. Rekan-rekan Kantor Advokat “Pramudya dan Rekan”, yang
telah memberi dorongan dan membantu menyelesaikan berbagai beban pekerjaan sehingga sangat membantu penulis
dalam menyelesaikan disertasi ini.
12. Rekan, Agus Santosa, Darmanto, Niklus, Jessica, Marcel, dan
rekan-rekan lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu per
satu, namun perhatian dan doanya telah memberikan kekuatan dan semangat bagi penulis, sehingga disertasi ini dapat terselesaikan.

ix

Memahami pemaknaan kekerasan dalam rumah tangga dari
peraturan dan dari perempuan Tionghoa korban kekerasan bukanlah pekerjaan yang mudah dan sangat subyektif hasilnya. Oleh
karena itu, apabila terdapat kekurangan dalam disertasi ini, sangatlah manusiawi karena penulis mempunyai keterbatasan.
Penyempurnaan kemampuan dapat terjadi bila terdapat saran
dan masukan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkannya.
Akhir kata, penulis berharap kiranya disertasi ini dapat memberi

manfaat, khususnya kepada para pembuat dan pelaksana peraturan, serta para perempuan, khususnya perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Salatiga, Maret 2014
Penulis

Pramudya

x

DAFTAR ISI
Halaman Judul................................................................................ i
Tim Promotor............................................................................... iii
Tim Penguji Ujian Terbuka........................................................... v
Kata Pengantar............................................................................ vii
Daftar Isi....................................................................................... xi

1. Latar Belakang Studi.............................................................. 1
2. Fokus Studi............................................................................. 4
3. Permasalahan.......................................................................... 5
4. Metode Penelitian................................................................... 6
5. Tujuan dan Kontribusi Penelitian........................................... 6

6. Pokok-pokok Penelitian.......................................................... 7
6.1. Kekerasan dan Kekuasaan............................................. 8
6.2. Hermeneutika untuk Memahami Pemaknaan KDRT.. 16
6.3. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 sebagai
Perwujudan Kebijakan Publik..................................... 20
6.4. Hak Asasi Manusia dan Feminisme............................ 27
6.5. Budaya Hukum Tionghoa di Indonesia....................... 36
6.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Undang-undang
No. 23 Tahun 2004...................................................... 47
xi

6.7. Makna KDRT dalam Rumusan Undang-undang
No. 23 Tahun 2004...................................................... 53
6.8. Pengalaman, Perasaan dan Perilaku Perempuan
Tionghoa Korban KDRT............................................. 58
6.9. Pemaknaan KDRT Perempuan Tionghoa.................... 65
6.10. Penyebab Terjadinya Kesenjangan Pemaknaan
KDRT dalam Peraturan dan Praktik............................ 70
6.11. Pertentangan Hukum yang Dibuat Pemerintah
dengan Hukum dalam Masyarakat.............................. 75

6.12. Pluralisme Hukum sebagai Sarana Merekonstruksi
Pemaknaan KDRT yang Dapat Melindungi
Perempuan................................................................... 78
6.13. Pelembagaan Nilai Baru untuk Perlindungan
Perempuan dalam Keluarga......................................... 83

7. Simpulan............................................................................... 85
8. Implikasi Studi...................................................................... 86
9. Rekomendasi........................................................................ 87
Daftar Pustaka............................................................................. 89
Daftar Riwayat Hidup................................................................. 97

xii

REKONSTRUKSI
PEMAKNAAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN BAGI PEREMPUAN
(Studi Kasus Komunitas Tionghoa)

1. LATAR BELAKANG STUDI

Tindak pidana kekerasan secara umum digambarkan sebagai
tindakan seseorang atau sekelompok orang terhadap orang atau
kelompok orang lain yang menyebabkan luka, baik fisik maupun
non-fisik. Tindak pidana kekerasan dapat terjadi di ruang publik
maupun ruang privat, dan bentuk kekerasan yang sering terjadi di
ruang privat adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang
dapat terjadi kapan, di mana, dan menimpa siapa saja, yang dalam
kenyataan korban KDRT mayoritas adalah perempuan.
Komisi Nasional Perempuan melaporkan, jumlah perempuan
yang menjadi korban KDRT, meningkat dari tahun ke tahun.
Adanya kenyataan ini dan juga peran aktif pemerintah dalam
berbagai kegiatan nasional dan internasional tentang Hak Asasi
Manusia (HAM) dan kesetaraan gender, pemerintah Indonesia
mengeluarkan kebijakan publik dalam upaya menghapus KDRT
untuk melindungi perempuan. Kebijakan publik tersebut diwujudkan dengan disusun dan diberlakukannya Undang-undang No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
Pengaruh pemahaman HAM dan kesetaraan gender dalam
undang-undang ini tampak dari perumusan yang menyatakan
bahwa:

1

1. Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman
dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
2. Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam
rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi
manusia, kejahatan terhadap martabat manusia dan
diskriminasi.
3. Korban kekerasan dalam rumah tangga kebanyakan
perempuan, oleh karena itu pemerintah menempatkan perempuan sebagai kelompok rentan, dan selanjutnya memberi perlindungan kepada perempuan.
Di samping itu juga eksplisit dicantumkan sebagai tujuan pembentukan Undang-undang No. 23 Tahun 2004, yaitu: Penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender, non-diskriminasi dan perlindungan terhadap perempuan.
Pemerintah melalui Undang-undang No. 23 Tahun 2004
mengharapkan KDRT dapat dihapus dan keberadaan perempuan
dalam keluarga dapat dilindungi. Namun dalam kenyataan, harapan pemerintah tersebut tidak mudah terwujud. Laporan tahunan
Komisi Nasional Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat bahwa
KDRT dengan korban perempuan terus terjadi peningkatan yang
signifikan, meskipun Undang-undang No. 23 tahun 2004 telah diberlakukan.
Sejumlah kasus menunjukkan bahwa kekerasan terhadap
perempuan jarang sekali terungkap kepermukaan. Pembenaran
tindak kekerasan terhadap perempuan juga sering menggunakan
tafsiran agama atau nilai adat istiadat setempat. Hukum dan aparat
penegak hukum pun dirasakan belum berpihak pada korban kekerasan, sehingga tingkat kekerasan yang dialami perempuan di
Indonesia secara umum masih tinggi. Sensus Nasional mencatat
2

penduduk Indonesia berjumlah 217 juta jiwa, dan 11,4 persen di
antaranya, atau sekitar 24 juta penduduk perempuan, terutama di
pedesaan, mengaku pernah mengalami tindak kekerasan seperti
penganiayaan, perkosaan, pelecehan ataupun suami yang berselingkuh.1
Di Indonesia, kasus KDRT dengan mayoritas korban adalah
perempuan juga terjadi dalam masyarakat Tionghoa. Budaya
hukum etnis ini berbasis sistem kekerabatan patriarkat dan
memeluk agama KongHu Cu yang mengajarkan bahwa anak lakilaki dianggap lebih berharga dari perempuan karena laki-laki
adalah penerus marga. Perempuan dalam keluarga ditempatkan di
bawah laki-laki. Budaya kekerabatan patriarkat dan ajaran Kong
Hu Cu ini mempengaruhi perempuan Tionghoa dalam memaknai
KDRT yang mereka alami sebagai hal yang wajar. Ini tampak dari
perilaku mereka untuk selalu mengalah, sabar dan pasrah dalam
menghadapi kekerasan dalam rumah tangga.
Semasa Orde Baru, pemerintah mengeluarkan Instruksi
Presiden Tahun 1967 yang secara diskriminatif memperlakukan
etnis Tionghoa, yang cenderung “dijadikan” obyek kesalahan
dalam sejumlah persoalan kebangsaan. Kondisi traumatis masyarakat Tionghoa selama pemerintahan Orde Baru turut membuat
permasalahan penghapusan KDRT dan perlindungan perempuan
Tionghoa menjadi relatif kompleks.
Perempuan Tionghoa dihadapkan pada dua kondisi, di mana
secara internal menghadapi tekanan yang timbul dari nilai-nilai
pada budaya hukum mereka, dan secara eksternal menghadapi
tekanan yang timbul dari trauma akibat perlakuan diskriminatif
1

Khofifah Indar Parawansa, 2006. Mengukir Paradigma Menembus
Tradisi: Pemikiran Tentang Keserasian Jender, Penerbit Pustaka LP3ES
Indonesia, Jakarta, hlm. 30.
3

Orde baru. Liem Sing Meij mengidentifikasikan kondisi ini
sebagai double colonization.2 Penjelasan ini menunjukkan adanya
kesenjangan makna KDRT dalam Undang-undang No. 23 Tahun
2004 dengan pemaknaan perempuan Tionghoa terhadap KDRT.
Akibatnya, undang-undang ini tidak dapat efektif menghapus
KDRT yang dialami perempuan Tionghoa dan melindungi keberadaan mereka dalam keluarga.
2. FOKUS STUDI
Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah perwujudan dari kebijakan publik pemerintah. Oleh karena itu dalam nilai-nilai pada
undang-undang ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan yang masuk melalui para penyusun peraturan. Pengaruh
lingkungan tersebut adalah, pemahaman tentang HAM dan
kesetaraan gender yang menekankan kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan dalam keluarga. Pemahaman ini didapat karena
peran aktif pemerintah Indonesia dalam berbagai forum nasional
dan internasional tentang HAM dan kesetaraan gender. Melalui
undang-undang ini pemerintah menghendaki KDRT dapat dihapus, dan perempuan yang dianggap sebagai kelompok rentan
dapat dilindungi.
Di sisi lain, di kalangan masyarakat Tionghoa hidup nilainilai yang diyakini dan dipatuhi anggota etnis ini. Nilai-nilai yang
hidup dalam budaya hukum masyarakat Tionghoa tersebut telah
mempengaruhi perempuan Tionghoa dalam memaknai KDRT
2

Liem Sing Meij, 2009, Ruang Lingkup Sosial Baru Perempuan Tionghoa:
Sebuah Kajian Pascakolonial, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 5761.
4

sebagai hal yang wajar. Mereka menyikapi perlakuan KDRT
dengan sabar, mengalah dan pasrah. Kondisi ini menunjukkan
adanya kesenjangan pemaknaan KDRT antara makna yang
terkandung dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 dengan
pemaknaan perempuan Tionghoa terhadap KDRT. Oleh karena
itu perlu dilakukan rekonstruksi pemaknaan KDRT yang dapat
mewadahi nilai-nilai yang akan ditanamkan oleh pemerintah,
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, dan nilai-nilai dalam tafsir
agama yang dianut korban.
3. PERMASALAHAN
Kesenjangan pemaknaan KDRT dapat diatasi dengan melakukan rekonstruksi pemaknaan KDRT, oleh karena itu dibutuhkan
konstruksi awal tentang makna KDRT menurut rumusan Undangundang No. 23 Tahun 2004, dan pemaknaan KDRT menurut
perempuan Tionghoa. Konstruksi awal ini berguna untuk mengetahui kesenjangan pemaknaan KDRT, yang selanjutnya dapat
dilakukan rekonsruksi agar dapat melindungi perempuan. Oleh
karena itu dalam konteks ini, yang menjadi pertanyaan penelitian
adalah:
1. Bagaimana makna kekerasan dalam rumah tangga
menurut rumusan Undang-undang No. 23 Tahun
2004?
2. Mengapa terjadi perbedaan makna kekerasan dalam
rumah tangga dalam rumusan Undang-undang No.
23 Tahun 2004 dengan makna menurut perempuan
Tionghoa?
3. Bagaimana rekonstruksi makna kekerasan dalam rumah tangga yang dapat melindungi perempuan?
5

4. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan studi kasus, dan paradigma yang
digunakan adalah konstruktivisme, karena peneliti memandang
hukum sebagai manifestasi makna-makna simbolik para pelaku
sosial sebagaimana tampak dalam interaksi di antara mereka.
Penelitian ini memilih sosio-legal approach, melalui pendekatan
ini obyek hukum diposisikan dalam konteks kemasyarakatan yang
luas, tidak terisolir dari kebudayaan (sistem berpikir, sistem
pengetahuan), dari relasi kekuasaan di antara perumus hukum,
penegak hukum, para pihak dan masyarakat luas.
Metode hermeneutik digunakan untuk memahami makna
KDRT yang terkandung dalam Undang-undang No. 23 Tahun
2004. Kajian ini mencakup mulai dari latar belakang pembuatan
undang-undang sampai implementasi peraturan di masyarakat.
Metode ini juga untuk memahami pemaknaan perempuan Tionghoa terhadap KDRT yang mereka alami.
5. TUJUAN DAN KONTRIBUSI PENELITIAN
Penelitian ini mempunyai tiga tujuan, yakni:
1. Memahami makna KDRT yang terkandung dalam
rumusan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
2. Mencari penyebab terjadinya kesenjangan pemaknaan KDRT dalam rumusan Undang-undang No. 23
Tahun 2004 dengan pemaknaan menurut perempuan
Tionghoa.
3. Merekonstruksi makna KDRT yang dapat melindungi perempuan Tionghoa.

6

Dari pencapaian tujuan tersebut, penelitian dalam disertasi ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut:
1. Sumbangan Teoritis: (a) Memberikan wawasan dan
pemahaman baru tentang pemaknaan KDRT yang
dapat melindungi perempuan; (b) Memberikan konstribusi terhadap konsep-konsep yang dapat dikembangkan mengenai makna KDRT yang dapat melindungi perempuan.
2. Sumbangan Praktis (a) Memberikan masukan kepada
para penegak hukum tentang kesenjangan makna
KDRT antara rumusan yang ada pada peraturan yang
berlaku dan dengan makna KDRT pada perempuan
Tionghoa; (b) Memberi masukan kepada masyarakat,
terutama kepada etnis Tionghoa tentang hak dan
kewajiban suami atau istri dalam keluarga.
6. POKOK-POKOK PENELITIAN
6.1. Kekerasan dan Kekuasaan
Kekerasan (violence) membuat orang menjadi pingsan atau
tidak berdaya,3 dan dalam sejarah manusia kekerasan sudah ada
sejak dahulu, baik yang bersifat individual maupun kolektif. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kekerasan merupakan ungkapan
dari suatu potensi yang tersimpan pada setiap manusia, yaitu
potensi dengan tendensi untuk menjelma sebagai tingkah laku
yang agresif.4 Kekerasan merupakan serangan atau invasi
(assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis sese3

J.E. Sahetapy, 1983. Kejahatan Kekerasan: Suatu Pendekatan Interdisipliner, Sinar Wijaya, Surabaya, hlm. 13.
4
Fuad Hassan, 2001. Ikhtiar Meredam Kultus Kekerasan, dalam Jurnal
Perempuan, Nomor 8 Tahun 2001, hlm. 63.
7

orang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal
dari berbagi sumber, namun salah satu kekerasan terhadap jenis
kelamin tertentu (perempuan) disebabkan oleh anggapan gender.5
Tindak kekerasan terhadap perempuan sudah menjadi isu
global dan cukup lama mendapat perhatian di Indonesia, namun
demikian masyarakat tetap apatis. Hal ini terjadi karena terdapat
tiga pokok masalah, yaitu: struktur sosial, persepsi masyarakat
terhadap perempuan dan tindak kekerasan terhadap perempuan,
dan nilai-nilai masyarakat yang ingin tampak harmonis sehingga
sulit mengakui adanya masalah dalam rumah tangga.6 Di samping
itu keberadaan perempuan sering kali dianggap sebagai second
class citizens.7 Kate Millet mengatakan, “Kekerasan terhadap
perempuan yang terjadi dalam sistem masyarakat patriarkat
disebabkan distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan
yang timpang.”8
Max Weber mendefinisikan kekuasaan sebagai kesempatan
yang ada pada seseorang atau sejumlah orang untuk melaksanakan kemauan sendiri dalam suatu tindakan sosial, meskipun
mendapat tantangan dari orang lain yang terlibat dalam tindakan
itu. Kesempatan, menurut Weber merupakan sebuah konsep
penting yang dapat dihubungkan dengan apa saja yang merupakan
5

Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Women Support Projest II/CIDA, 2001, Gender dan Pembangunan, Jakarta, hlm. 15. Lihat juga Riant Nugraha, 2008, Gender dan
Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
hlm. 2-3.
6
Harkristuti Harkrisnowo, 2001, Tindak Kekerasan terhadap Perempuan
dalam Perspektif Sosio-Yuridis, Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta.
7
Wila Chandrawila Supriadi, 2001. Kumpulan Tulisan Perempuan dan
Kekerasan dalam Perkawinan, CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 32.
8
Niken Savitri, 2008. HAM Perempuan: Kritik Teori Hukum Feminis
terhadap KUHP, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 55.
8

sumber kekuasaan seseorang.9 Sedangkan tentang kekuasaan,
tidak semuanya lancar karena dalam masyarakat pasti ada yang
tidak setuju dan melakukan perlawanan.10 Oleh karena itu
menurut Amital Etzioni kekuasaan adalah kemampuan untuk
mengatasi sebagian atau seluruh perlawanan. Selanjutnya dikatakan aset atau modal seseorang dapat digunakan oleh pemiliknya
untuk mendukung kekuasaan. Oleh karena itu aset disebut sebagai
kekuasaan potensial atau sumber kekuasaan, yang berbeda dengan
kekuasaan yang terwujud dalam bentuk tindakan. Aset bersifat
stabil, sedangkan kekuasaan bersifat dinamis atau prosesual.
Gejala kekuasaan adalah menerjemahkan aset ke dalam kekuasaan yang menghasilkan pelbagai sanksi untuk menghukum
mereka yang menentang, atau imbalan dan instrumen lainnya
untuk memberi fasilitas kepada yang mereka yang mengikutinya.
Sanksi tersebut bisa bersifat fisik, material atau simbolik.11
Max Weber membedakan kekuasaan dengan otoritas, dengan
menekankan pada unsur legitimasi. Otoritas adalah kemungkinan
di mana perintah-perintah tertentu akan ditaati oleh sekelompok
orang tertentu. Ada tiga macam otoritas, yakni: otoritas tradisional, otoritas legal-rasional dan otoritas karismatik. Otoritas
tradisional dan otoritas karismatik lebih bersifat personal, sedangkan otoritas legal-rasional bersifat impersonal. Ketiga otoritas
tersebut dapat ditemukan dalam diri satu orang.12 Sementara itu
kata kekerasan sering kali digunakan untuk menggambarkan
tentang perilaku seseorang kepada orang lain, yang menimbulkan
9

Thomas Santoso, 2002. Teori-teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm. 163-164.
10
Ibid.
11
Ibid.
12
Ibid.
9

dampak “luka” pada diri korban. Dari sudut pandang pelaku,
kekerasan dapat dibagi menjadi dua, yaitu kekerasan yang
dilakukan oleh sekelompok orang, dan kekerasan yang dilakukan
oleh individu.
Kekerasan menurut sifatnya dibagi menjadi empat bentuk.
Pertama, kekerasan terbuka (overt) atau dapat dilihat, misalnya
menganiaya. Kedua, kekerasan tertutup, tersembunyi atau tidak
dilakukan secara langsung (covert), misalnya mengancam. Ketiga,
kekerasan agresif (offensif), yaitu kekerasan yang dilakukan tidak
untuk melindungi, tetapi untuk mendapatkan sesuatu. Keempat,
kekerasan bertahan (deffensive), yaitu kekerasan yang dilakukan
sebagai perlindungan diri. Kekerasan agresif dan defensif dapat
bersifat terbuka atau tertutup. Kenyataan menunjukkan di mana
perilaku mengancam jauh lebih banyak daripada kekerasan
terbuka, dan kekerasan defensif jauh lebih menonjol dari kekerasan agresif. Perilaku mengancam adalah menyampaikan pesan
kepada orang lain suatu maksud, bahwa akan digunakan kekerasan jika diperlukan. Orang yang mengancam sesungguhnya
belum tentu atau tidak bermaksud melakukan kekerasan, namun
orang yang menerima ancaman mempercayai kebenaran ancaman
dan kemampuan pengancam mewujudkan ancaman. Akibatnya, si
pengancam dapat melakukan kontrol kepada orang yang diancam,
sehingga ancaman dikategorikan sebagai bentuk kekerasan karena
mempunyai unsur penting, yaitu kekuatan (power) dan kemampuan untuk mewujudkan keinginan seseorang.13
Gadis Arivia mengatakan bahwa kekerasan, terutama kekerasan terhadap perempuan, tidak terlepas dari adanya kebutuhan
akan rasa keadilan bagi perempuan pada saat menjadi korban
13

Ibid, hlm. 11.
10

tindak pidana kekerasan. Permasalahan tersebut juga terkait dengan kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Awalnya kekerasan
muncul karena terjadi persengketaan atas siapa yang memegang
kendali, kemudian berujung pada terjadinya kekerasan. Adanya
ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat sering
memicu lahirnya kekerasan terhadap perempuan, tetapi karena
superioritas laki-laki, kekerasan terhadap perempuan dianggap
sebagai hal yang wajar.14 Sedangkan Harvey Greisman mengatakan bahwa kekerasan berkaitan dengan gagasan dasar tentang
hubungan dominasi yang legitimate dan tidak legitimate, sehingga
perilaku yang sama dapat didifinisikan berbeda tergantung pada
status pelaku. Asumsi ini dibuat dengan mengabaikan alasan riil
tindakan, dan hanya berdasarkan legitimasi atau ilegitimasi dari
pelaku. Quinneyi dan Chambliss berpendapat lain, menurut
mereka penggunaan kekuatan dan ancaman secara resmi dianggap
sebagai bentuk kekerasan sebagaimana halnya dengan kekerasan
ilegal.15 Ketiga pendapat tersebut sangat membantu dalam melakukan analisis makna sosial yang mendasar dari kata kekerasan,
karena mereka menunjukkan bahwa istilah kekerasan sering kali
menyimpang dari makna pokok. Oleh karena itu penggunaan
pemaknaan kekerasan di kehidupan sehari-hari serta implikasi
sosialnya, tidak boleh berlebihan dan tidak mengabaikan makna
umum. Walter Miller memecahkan persoalan tersebut dengan
membatasi pertimbangan terhadap bentuk kekerasan, dan mendefinisikan kekerasan sebagai “tindak kejahatan” oleh negara.16

14

Ibid, hlm. 191.
Quinneyi dan Chambliss, dalam Thomas Santoso, Ibid, hlm. 12.
16
Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler, dalam Thomas Santoso,
Ibid, hlm. 13.
11
15

Johan Galtung menggabungkan analisis yang berorientasi
aktor dengan analisis yang berorientasi struktur. Antara aktor dan
struktur harus ada interaksi yang seimbang. Atas dasar tersebut,
Johan Galtung membedakan kekerasan menjadi dua jenis, yaitu
kekerasan personal dan kekerasan struktural. Kekerasan personal
bersifat dinamis, mudah diamati, mempunyai fluktuasi luar biasa
yang dapat menimbulkan perubahan. Sedangkan kekerasan
struktural bersifat statis, mempunyai stabilitas dan tidak tampak.
Di dalam masyarakat statis, kekerasan personal akan diperhatikan,
dan kekerasan struktural dianggap wajar. Tetapi di dalam masyarakat dinamis, kekerasan personal dianggap berbahaya dan salah,
sementara kekerasan struktural semakin nyata menampakan diri.
Kekerasan personal menitikberatkan pada realitas jasmaniah,
sedangkan kekerasan struktural sering dilihat sebagai kekerasan
psikologis. Perbedaan dasar kedua bentuk kekerasan tersebut
tidak signifikan, karena hanya terletak pada cara namun hasilnya
sama. Dan keduanya mempunyai hubungan kausal serta mungkin
juga dialektikal.17 Satu jenis kekerasan tidak mengandaikan kehadiran nyata jenis kekerasan lainnya, namun dimungkinkan
kekerasan struktural mengandaikan kekerasan personal tersembunyi. Johan Galtung mengidentifikasi ada enam dimensi penting
dari kekerasan, yaitu: Kekerasan fisik dan psikologis; kekerasan
positif dan negatif; ada obyek atau tidak; ada subyek atau tidak;
disengaja atau tidak; dan yang tampak atau tersembunyi.18
Menurut Erich Fromm, dalam diri manusia terdapat dua jenis
agresi yang berbeda. Pertama, agresi defensif yang bertujuan
untuk mempertahankan hidup, bersifat adaptif biologis dan akan
17
18

Windhu, dalam Thomas Santoso, Ibid, hlm. 168-170.
Windhu, dalam Thomas Santoso, Thomas Santoso, Ibid.
12

muncul jika ada ancaman. Kedua, agresi jahat, di mana kekerasan
dan kedestruktifan yang merupakan ciri khas dari manusia. Agresi
ini muncul hanya karena dorongan nafsu semata, dan tidak
mempunyai tujuan.19 Dengan demikian kekerasan merupakan
perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja oleh seseorang
kepada yang lain, sehingga menimbulkan penderitaan lahir batin.
Kekerasan adalah potensi tersembunyi dan tendensius, dan
merupakan aktualitas yang terwujud dalam perilaku. Tindakan
agresif adalah dorongan naluri untuk menyakiti atau menciderai
sasarannya, yaitu pihak lain, tindakan tersebut akan mereda ketika
tujuan tindakan agresif terpenuhi. Dari argumentasi ini muncullah
teori agresif-frustrasi (frustration-agression theory), yang menyatakan adanya pertautan langsung antara derajat frustrasi yang
dialami seseorang dengan timbulnya perilaku agresif.20 Weiner,
Zahn dan Sagi, mencoba menguraikan unsur-unsur kekerasan
dengan mengatakan, “The threat, attempt or use of physical force
by one or more persons that result in physical or non physical
harm to one or more other person.” Rumusan tersebut meskipun
lebih menekankan pada physical force, namun juga mengetengahkan non-physical force. Kedua bentuk inilah yang
kemudian diakui oleh masyarakat internasional sebagai bentuk
kekerasan sebagaimana dirumuskan dalam platform for action
yang dihasilkan oleh Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan di Beijing tahun 1995.21 Kekerasan terhadap perempuan
memiliki cakupan yang sangat luas, dapat terjadi dalam lingkup
19

Erich Fromm, 2000. Akar Kekerasan Analisis Sosio Psikologis atas
Watak Manusia, alih bahasa Imam Muttaqin, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
hlm. 309.
20
Ibid.
21
Neil Alan Wener, dkk. dalam Fathul Djannah dkk, 2002. Kekerasan
terhadap Istri, LkiS, Yogyakarya, hlm. 11.
13

personal, seperti KDRT. Kekerasan ini juga lazim dipahami
secara fisik, psikologis maupun seksual, dan tidak jarang secara
tumpang tindih pada saat bersamaan.22
Ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga menurut seorang konselor, Liana Poedjihastuti, tidak semata-mata kekerasan
fisik, akan tetapi juga meliputi kekerasan psikis, seksual dan
penelantaran ekonomi. Kekerasan fisik, seksual ataupun penelantaran, dapat berupa kekerasan psikis atau dikenal juga dengan
kekerasan verbal (verbal abuse) atau kekerasan mental—emosional. Tentang kekerasan psikis ini, Liana menjelaskan bahwa
kekerasan psikis tidak meninggalkan bekas luka fisik seperti
memar, goresan, bengkak di bagian tubuh, ataupun tulang patah,
tetapi menimbulkan luka batin yang mempunyai akibat lebih
dahsyat daripada luka fisik.23 Patricia Evans menyoroti kekerasan
psikis ini sebagai masalah dominasi kontrol, penyalahgunaan
kekuasaan, di mana seseorang mengendalikan kehidupan orang
lain, merampas kebahagiaan dan semangat hidup, meninggalkan
frustrasi, kebingungan, rasa takut, dan rasa tidak aman.24 Tentang
bentuk-bentuk kekerasan psikis, Nathalia Y.S. mengatakan, “Kekerasan psikis dapat berupa tindakan mengancam, menyalahkan,
memojokkan, menghakimi, memutarbalikkan fakta, meremehkan,
mengata-ngatai, mengecilkan arti, menertawakan, merongrong,
menuntut, menghukum, mengingkari, marah, mencaci memaki,
22

E. Kristi Poerwandari, Kekerasan terhadap Perempuan: Tinjauan
Psikologis, dalam Ohas Ihromi dkk, 2006. Penghapusan Diskriminasi
terhadap Wanita, Alumni, Bandung, hlm. 277.
23
Meyske S. Tungka, Liana Poedjihastuti dan Pramudya, 2007. Cinta Kok
Gitu..., Sanggar Mitra Sabda, Salatiga, hlm. 55.
24
Patricia Evans, The Verbally Abusive Relationship, How to Recognize It
and How to Respond, dalam Meyske S. Tungka, Liana Poedjihastuti dan
Pramudya, Ibid.
14

mengabaikan perasaan, pendapat dan juga kebutuhan.”25 Adapun
dampak dari kekerasan dalam rumah tangga, dapat mengakibatkan korban mengalami perasaan tidak berdaya, terluka, takut,
bingung dan malu.26 Robert Fulgum mengatakan, “Sticks and
stones may break our bones, but words will break our heart.”27
Lebih lanjut Liana secara spesifik mengatakan, “Dalam kenyataannya, kekerasan psikis yang terjadi dalam rumah tangga
sering kali dianggap bukan sebagai kejahatan, karena rumah
tangga dianggap sebagai area privat.”28
Sampai saat ini KDRT tampak kurang mendapat perhatian
serius di kalangan masyarakat, beberapa alasan bisa dikemukakan
di sini, antara lain: Pertama, KDRT cenderung tidak kelihatan dan
ditutup-tutupi karena rumah tangga adalah area “privat”. Kedua,
KDRT sering dianggap wajar, karena memperlakukan istri sekehendak suami masih saja dianggap, bahkan diyakini sebagai
hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga,
KDRT terjadi dalam sebuah lembaga yang sah atau legal, yaitu
perkawinan. Kenyataan ini selanjutnya membuat masyarakat abai
dan tidak sadar, bahkan muncul pandangan yang keliru bahwa
suami bisa mengendalikan istri.29 Ini berarti kekerasan pada
dasarnya merupakan suatu konsep yang makna dan isinya sangat
bergantung pada masyarakat itu sendiri.

25

Nathalia YS, Kompas 14 Januari 2002, dalam Meyske S. Tungka, Liana
Poedjihastuti dan Pramudya, Ibid.
26
Ibid, hlm. 71.
27
Ibid, hlm. 54-55.
28
Ibid, hlm. 54-55.
29
Aroma Elmima Martha, 2003. Perempuan: Kekerasan dan Hukum. UII
Press, Yogyakarta, hlm. 30.
15

6.2. Hermeneutika untuk Memahami Pemaknaan KDRT
Hermeuneutika secara terminologi diartikan sebagai penafsiran atau interprestasi. Kata ini dalam bentuk kata kerja adalah
hermeneuo yang artinya mengungkapkan pemikiran seseorang
dalam kata-kata, atau hermenuin yang berarti mengartikan, menafsirkan atau menerjemahkan, atau bertindak sebagai penafsir.
Ketiga pengertian ini menunjukkan bahwa hermeneutika merupakan usaha untuk beralih dari sesuatu yang relatif kabur ke sesuatu
yang lebih terang.30
Pengertian pertama, mengartikan dipahami sebagai proses
mengubah sesuatu dari situasi tidak mengerti menjadi mengerti.
Pengertian dalam hal ini merupakan peralihan dari sesuatu yang
relatif abstrak atau kabur menjadi ungkapan pikiran yang lebih
jelas dalam bentuk bahasa yang dipahami manusia. Pemadatan
pikiran ke dalam bahasa itu merupakan langkah mengartikan.
Pengertian kedua, menafsirkan atau menerjemahkan, yaitu usaha
mengalihkan diri dari bahasa asing yang maknanya kurang jelas
menuju ke bahasa sendiri yang maknanya lebih jelas. Sedangkan
dalam pengertian ketiga menunjuk pada seseorang yang bertindak
sebagai penafsir. Orang yang menafsirkan teks akan melewati
proses transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu
menuju yang lebih jelas atau konkrit. Bentuk transformasi tersebut merupakan hal yang esensial dari pekerjaan penafsir.31

30

Jazim Hamidi, 2006. Revolusi Hukum Indonesia, Konstitusi Press-Citra
Media, Jakarta-Yogyakarta, hlm. 27-29. Lihat Juga Jazim Hamidi, 2005.
Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi
Teks, UII Press, Jakarta, hlm. 29.
31
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru
dengan Interpretasi Teks, Ibid.
16

Hans George Gadamer mengatakan, awalnya hermeneutika
berkembang di Italia sekitar abad ke-12 di bawah inspirasi ilmu
hukum, yaitu untuk menafsirkan teks yuridikal, karena adanya
kebutuhan menginterpretasikan teks-teks yang berlaku pada
periode tertentu untuk diterapkan pada masyarakat yang berbeda
dan dalam periode yang berbeda pula.32 Selanjutnya hermeneutika
diperluas, dari penafsiran teks menjadi suatu metode untuk
menafsir perilaku manusia.33 Hermeneutika memandang kehidupan manusia dari produk kultural yang memperlihatkan suatu
pertalian penuh makna, di mana manusia memberi makna pada
kehidupannya sendiri. Hal tersebut dapat diamati dan direkam
dengan observasi eksternal, juga dapat dipahami dari “dalam”.
Hermeneutika sebagai metode interpretasi atau penafsiran,
tidak hanya mengandung teks yang akan diselami kandungan
makna literalnya, tetapi juga dilakukan penggalian makna dengan
mempertimbangkan horizon yang melingkupi teks tersebut.
Horizon tersebut adalah horizon teks, horizon pengarang dan
horizon pembaca. Dengan ketiga horizon tersebut, upaya pemahaman teks atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan
reproduksi makna teks, yang berguna untuk melacak bagaimana
teks tersebut dilahirkan oleh pengarangnya, dan muatan apa yang
masuk atau ingin dimasukkan oleh pengarangnya. Dengan demikian hermeneutika sebagai metode harus memperhatikan tiga
komponen pokok, yaitu teks, konteks dan upaya kontekstualisasi.34
32

Hans George Gadamer, 2004. Kebenaran dan Metode: Pengantar
Filsafat Hermeneutika, alih bahasa Ahmad Sahidah, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hlm. 48.
33
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru
dengan Interpretasi Teks, loc.cit.
34
Fachrudin Faiz, Hermenutika Qurani, dalam Jazim Hamidi, Ibid.
17

Hermeneutika juga dianggap sebagai refleksi kritis terhadap
upaya memahami dunia, dengan menyampaikan pemahaman
tersebut melalui bahasa. Oleh karena itu, obyek hermeneutik
adalah segala bentuk permainan bahasa, yang memungkinkan
manusia dapat memahami dunia dan dirinya.35 Selanjutnya
Gadamer mengatakan bahwa pemahaman selalu dapat diterapkan
pada keadaan sekarang, meskipun pemahaman itu berhubungan
dengan sejarah, dialektika dan bahasa. Oleh karena itu, pemahaman selalu mempunyai posisi dan tidak pernah bersifat obyektif
serta ilmiah, karena pemahaman bukan mengetahui secara statis
dan di luar kerangka waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu,
dan pada suatu tempat dalam kerangka ruang dan waktu.36 Dalam
hubungannya dengan proses pemahaman yang mengkaitkan
norma dan kenyataan yang ada, Arief Sidharta mengatakan bahwa
dalam pandangan filsafat hermeneutika, pemahaman berlangsung
dalam suatu gerakan bolak-balik dari bagian ke keseluruhan
sehingga terbentuk pemahaman yang utuh. Lingkaran pemahaman
(circle of understanding) ini disebut Lingkaran Hermeneutis,
karena pada bagian ini berlangsung hubungan bolak-balik dari
bagian ke keseluruhan, yang mana di dalam bagian hanya dapat
dipahami dalam konteks pemahaman terhadap keseluruhan,
namun pemahaman keseluruhan tetap mengandalkan pemahaman
bagian-bagian.37
Tentang hermeneutika di bidang hukum, C.W. Maris menekankan bahwa yang menjadi titik tolak hermeneutika adalah
35

Bambang Sugiharto, 2002. Postmodernisme, Tantangan bagi Filsafat,
Kanisius, Yogyakarta, hlm. 38-39.
36
E. Sumaryono, 1999. Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Kanisius,
Yogyakarta, hlm. 26.
37
Bernard Arief Sidharta, 2006. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum,
Mandar Maju, Bandung, hlm. 98-99.
18

kehidupan manusia dan produk kulturalnya. Oleh karena itu tidak
dapat dihindarkan adanya proses kegiatan penafsiran dalam
produk manusia yang berupa teks yuridikal.38 Gadamer menilai
hermeneutika hukum sebenarnya bukan suatu kasus yang baru
tetapi sebaliknya. Hermeneutika hukum hanya merekonstruksikan kembali dari seluruh masalah hermeneutika, kemudian
membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, di mana
ahli hukum dan teolog bertemu dengan ahli humaniora atau ilmu
kemanusiaan.39 Gregory Leyh mengatakan tujuan dari hermeneutika hukum adalah menempatkan perdebatan kontemporer
tentang interpretasi hukum dalam kerangka hermeneutika pada
umumnya. Hal itu dilakukan untuk upaya mengkontekstualisasikan teori hukum dengan mengasumsikan bahwa hermeneutika
memiliki korelasi pemikiran dengan ilmu hukum atau yurisprodensi.40 Lebih lanjut Gadamer menjelaskan bahwa ada tiga
persyaratan penting yang harus dipenuhi oleh seseorang ketika
melakukan penafsiran terhadap hukum, yaitu subtilitas intelligendi (ketepatan pemahaman), subtilitas explicandi (ketepatan
penjabaran), dan subtilitas applicandi (ketepatan penerapan).41
Gadamer juga menekankan adanya kajian yang mendalam tentang
proses interpretasi, sebab melalui hermeneutika kebenaran yang
diperoleh akan tergantung pada aktor sosial yang melakukan
interpretasi. Sedangkan interpretasi itu sendiri, pada kelahirannya
38

C.W. Maris, 2003. Aliran-aliran Filsafat Hukum Abad 20, alih bahasa B.
Arief Sudharta, bahan matakuliah Filsafat Hermeneutika, Perempuan dan
Kekerasan, Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan, Bandung,
hlm. 16.
39
Hans George Gadamer, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat
Hermeneutika, loc.cit.
40
Ibid.
41
Ibid.
19

sudah ada dalam suatu tradisi yang berisi nilai, pandangan, kaidah, pola perilaku dan sebagainya. Proses interpretasi membentuk
pra-pemahaman, yakni prasangka yang kemudian membentuk
cakrawala pandang tentang interpretandum. Dalam dinamika
proses interpretasi, pra-pemahaman dan cakrawala pandang
mengalami dinamisasi dan berinteraksi serta mengalami perjumpaan cakrawala sehingga membentuk pemaknaan aktor sosial.42
Undang-undang No. 23 Tahun 2004 lahir dari proses panjang
untuk memadukan beberapa kepentingan. Undang-undang ini
dapat dipastikan dipengaruhi oleh pemaknaan para penyusun atau
pembuat undang-undang dalam memahami realitas KDRT. Di sisi
lain, perilaku perempuan Tionghoa korban KDRT untuk tidak
melawan, sabar, mengalah, memaafkan, pasrah, dan bungkam,
juga tidak terbentuk dalam sekejap mata. Di balik perilaku tersebut juga dipengaruhi oleh pemaknaan tentang kekerasan dalam
rumah tangga yang mereka alami. Oleh karena itu, untuk memahami pemaknaan KDRT menurut Undang-undang No. 23 Tahun
2004, dan pemaknaan perempuan Tionghoa terhadap KDRT yang
mereka alami, penulis menggunakan teori hermeneutika dari H.G.
Gadamer.
6.3. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 sebagai Perwujudan
Kebijakan Publik
Thomas R. Dye mengatakan, “Government lends legitimacy
to polities. Government policies are generally regarded as legal

42

Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, op.cit,
hlm. 99-100, Lihat juga Hans George Gadamer, Kebenaran dan Metode:
Pengantar Filsafat Hermeneutika, ibid.
20

abligations which command the loyalty of citizens.”43 Dye dalam
konteks ini memandang kebijakan adalah apa pun yang dipilih
oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan—is whatever goverments choose to do or not to do.44 Sementara itu David
Easton mengatakan bahwa proses identifikasi dan perumusan masalah kebijakan sangat ditentukan oleh para pelaku yang terlibat,
baik secara individual maupun secara kelompok dalam masyarakat. Di samping itu faktor lingkungan sosial, ekonomi, politik,
budaya, keamanan, geografi dan sebagainya dapat mempengaruhi
dan menjadi input bagi sistem politik (legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, tokoh masyarakat dan sebagainya). Proses
transformasi dari keinginan sosial menjadi peraturan baik dalam
konteks politis atau sosiologis, tidak hanya terjadi pada saat pembentukan peraturan tetapi juga pada tahap bekerjanya produk
hukum.45
Easton merumuskan public policy sebagai pengalokasian
nilai-nilai secara paksa terhadap seluruh masyarakat (the authoritative allocation of values for the whole society).46 Definisi
Easton ini dengan jelas menunjukkan bahwa pemerintah secara
sah dapat berbuat sesuatu pada masyarakat, dan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
tersebut diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai pada
masyarakat, karena pemerintah menurut Easton adalah para
43

Thomas R. Dye, Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum, Sebuah Telaah
Sosiologis, P.T Suryandaru Utama, Semarang, hlm.134.
44
Thomas R. Dye, 1978. Understanding Public Policy, Prentice Hall Inc.,
Englewood Cliffs, New Jersey, hlm 3.
45
Esmi Warassih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, op.cit, hlm.
48-49.
46
David Easton, 1953, The Political System, Knof, New York, Knof, hlm.
129.
21

penguasa dalam suatu sistem politik (authorities in a political
system) yang terlibat dalam masalah-masalah sehari-hari yang
menjadi tanggung jawab atau peran mereka.47 Pembentukan
kebijakan ini dapat didiskripsikan melalui “Model Kotak Hitam
Eastonian”—suatu model sistem politik yang mempengaruhi studi
kebijakan (output) tahun 1960-an dalam mengkonseptualisasikan
hubungan antara perbuatan kebijakan, output kebijakan, dan
“lingkungan” yang lebih luas. Model Eastonian menggambarkan
suatu proses kebijakan dari segi input yang diterima, dalam bentuk aliran dari lingkungan dimensi melalui saluran input (partai,
media, kelompok kepentingan) permintaan dalam suatu sistem
politik dan konversinya menjadi output dan hasil kebijakan.48
Jay A. Sigler dan Benyamin R. Bedee dalam buku The Legal
Sources of Public Policy menulis: “law is an integral part of
policy initiation, formalization, implementations and evaluations,
legislative bodies formulate public policy through statues and
appropriations controls.49 George C. Edward III dan Ira
Sharkansky merumuskan kebijakan negara adalah apa yang
dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah.
Kebijakan negara merupakan sasaran atau tujuan program
pemerintah yang dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan
perundang-undangan atau dalam pidato-pidato pejabat teras
pemerintah atau berupa program dan tindakan yang dilakukan
47

M. Irfan Islamy, 1982. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara,
Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 20.
48
Wayne Parsons, dalam Suteki, 2008. Rekonstruksi Politik tentang Hak
Menguasai Negara Atas Sumber Daya Air Berbasis Nilai Keadilan Sosial
(Studi Privatisasi Pengelolaan Sumber Daya Air), Disertasi Program
Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro. Semarang.
49
Jay A. Sigler, Benyamin R. Bedee, The Legal Sources of Public Policy,
dalam Esmi Warassih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, op.cit,
hlm. 134.
22

pemerintah.50 Senada dengan definisi di atas, James E. Anderson
mendefinisikan kebijakan negara adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah.51
M. Irfan Islamy secara komprehensif merumuskan kebijakan
negara adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai
tujuan atau orientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan
seluruh masyarakat. Pengertian ini mempunyai empat implikasi.
Pertama, kebijakan negara dalam bentuk perdana berupa
penetapan tindakan pemerintah. Kedua, kebijakan negara tidak
cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuk yang
nyata. Ketiga, kebijakan negara, baik melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu, mempunyai dan dilandasi oleh maksud
dan tujuan tertentu. Keempat, kebijakan negara harus senantiasa
ditujukan untuk kepentingan seluruh anggota msyarakat.52 Kebijakan negara yang terpenting adalah tidak boleh “hampa nilai”
tetapi harus “sarat nilai”.53
Harold D. Lasswel dan Abraham Kaplan mengartikan
kebijakan publik sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilainilai dan praktik yang terarah.54 Amara Raksasataya dalam
konteks ini memahami kebijakan negara sebagai suatu taktik dan
strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan, dan oleh karena
itu memuat tiga elemen, yakni: Identifikasi dari tujuan yang ingin
50

George C. Edwards III dan Ira Sharkansky, 1978. The Policy
Predicament, W.H. Freman and Company, San Fransisco, hlm. 2.
51
James E. Anderson, 1979. Public Policy Making, Holt Rinehart and
Winston, New York, hlm. 3.
52
M. Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, op.cit,
hlm. 20-21.
53
Ibid, hlm. 15.
54
Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan, 1970, Power and Society, Yale
University Press, New Haven, hlm. 71.
23

dicapai; taktik dan strategi dari berbagai langkah untuk mencapai
tujuan yang diinginkan; dan penyediaan berbagai input untuk
memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.
M. Irfan Islamy menegaskan bahwa pembuatan suatu kebijakan dipengaruhi beberapa faktor, yakni: Pengaruh tekanan
dari luar; pengaruh kebiasaan lama; pengaruh sifat-sifat pribadi
pembuat; pengaruh dari kelompok luar; dan pengaruh masa lalu.55
Sedangkan James E. Anderson melihat ada beberapa macam nilai
yang melandasi perilaku pembuat keputusan dalam merumuskan
suatu kebijakan, di antaranya nilai-nilai politis; nilai-nilai organisasi; nilai-nilai pribadi; nilai-nilai kebijakan; dan nilai-nilai
ideologis.56
Adanya perubahan sosial yang serba cepat dalam masyarakat,
menuntut hadirnya suatu tatanan hukum yang mampu mewujudkan berbagai tujuan dalam kehidupan masyarakat. Jadi hukum
dituntut tidak sekadar mengatur perilaku masyarakat, namun juga
diharapkan menjadi sarana untuk memberi petunjuk tentang perilaku masyarakat dalam memenuhi kebutuhan mereka. Hukum
adalah karya manusia yang merupakan cerminan kehendak dan
sasaran-sasaran yang ingin dicapai dalam masyarakat, hukum
yang demikian dikenal sebagai hukum modern.57
Hukum melalui penormaan perilaku, memasuki semua sisi
kehidupan manusia. Hukum telah membentuk pola hubunganhubungan di antara warga dalam masyarakat. Hukum menentukan dan mengatur tentang bagaimana hubungan dilakukan dan
55

M. Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, op.cit,
hlm. 25-26.
56
James E. Anderson, Public Policy Making, op.cit, hlm. 14-15.
57
Esmi Warassih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, op.cit, hlm.
48-49.
24

bagaimana akibatnya, memberikan pedoman tentang perilaku
yang dilarang, diperbolehkan, atau yang diizinkan. Penormaan
tersebut dilakukan dengan membuat kerangka umum yang kemudian dijabarkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.58
Oleh karena itu, penyusunan produk hukum harus ditempatkan
dalam konteks yang lebih luas, yakni pemahaman sosiologis dan
politis. Artinya sebelum memasuki tahapan yuridis, proses pembentukan hukum harus melalui tahapan sosio-politis sehingga
dapat diprediksi norma yang akan dilahirkan ketika peraturan itu
dibuat. Suatu produk hukum melalui pemahaman ini dapat dinilai,
apakah berkualitas atau tidak, didukung sikap dan nilai-nilai yang
dianut masyarakat atau ditentang, dan sebagainya.59
Tahapan sosiologis merupakan proses penyusunan produk
hukum yang berlangsung dalam masyarakat—tempat tersedianya
bahan baku dalam menyusun produk hukum. Masyarakat juga
merupakan tempat lahirnya suatu kejadian, masalah atau tujuan
sosial. Namun suatu masalah dalam masyarakat baru menjadi
masalah kebijakan (policy problem), apabila masalah tersebut
dapat membangkitkan orang banyak untuk melakukan tindakan
untuk menyelesaikannya. Apakah suatu masalah adalah masalah
kebijakan, untuk menentukan hal tersebut dapat dilihat dari beberapa faktor, antara lain aspek peristiwa: Siapakah yang terkena
peristiwa itu? Apakah terwakili oleh mereka yang mempunyai
posisi sebagai pembuat keputusan? Bagaimana jenis hubungan
antara pembuat keputusan dengan orang yang terkena kebijakan
tersebut.60

58

Ibid, hlm. 26.
James E. Anderson, dalam Esmi Warassih, Ibid.
60
Ibid.
25
59

Tahapan politis adalah usaha untuk melakukan identifikas