Hukum Yang Cacat Sejak Lahir: Kasus Undang-Undang Hak Cipta Indonesia

HUKUM YANG CACAT SEJAK LAHIR:
0000000000000000
KASUS UNDANG-UNDANG HAK CIPTA INDONESIA

OK. Saidin
Lecturer in Law Faculty University of North Sumatera (USU)
Jl. Universitas No.4, Kampus USU Medan 20155 INDONESIA
Phone/Fax : +6261-8213571, 8213572, 8217172, 8214210 Fax : +6261-8213571
Email: ok_saidin@yahoo.com
Abstract
The Copyright Law number 28 of 2014 was born from a very long legal policy
process. It was started with the Auteurswet 1918 Stb Number 600, a legal product in the
era of Dutch Colonialism until th e era of independence which has been revised five
times. Alteration by alteration kept happening, but they didn’t reflect any effectiveness
in law enforcement. Piracy of Copyright is still happening until today. This Act was
already been defective since the day it was born. This Act didn’t show the moral link
between national legal development with Copyright Law enforcement legal policy, both
in basic policy order or in enactment policy order.
Keywords: Legal policy, Copyright, Legal system, Indonesian Culture, Original
Paradigmatic Value.


1. Pengantar
Intervensi Barat terhadap timur telah
berlangsung lebih dari tujuh abad sejak
keruntuhan dinasti Osmania di Turki dan
memudarnya pengaruh inperium Cina serta
terbelahnya kerajaan-kerajaan di India dan
Negara-Negara Asia lainnya. Jika dahulu
interpensi itu melalui perebutan kekuasaan
dengan jalan peperangan, saat ini bergeser
melalui instrumen penjajahan ideologi, politik,
ekonomi dan instrumen hukum internasional.
Uraian berikut ini akan mengetengahkan
tentang pengaruh ideologi Barat terhadap Timur
dengan instrumen politik, ekonomi dan ideologi
dalam pembentukan undang-undang Hak Cipta
Nasional Indonesia dalam berbagai kurun waktu,
yang berujung pada cacatnya undang-undang
hak cipta
2. Latar Belakang
Sejarah perjalanan Undang-undang Hak

Cipta Indonesia yang telah mengalami lima kali
perubahan sejak pertama kalinya diperkenalkan
dalam tatanan masyarakat Indonesia melalui
Auteurswet 1912 Stb. No. 600 hingga sekarang
melalui UU No. 28 Tahun 2014 – penuh dengan
kegagalan dan carut-marut. Gagal karena
undang-undang ini tak mampu melindungi hak
pencipta. Carut-marut karena kerap kali negaranegara maju “mengintervensi” Indonesia agar
merubah undang-undang hak ciptanya agar
disesuaikan dengan standard perlindungan di
negara mereka. Terakhir harus disesuaikan
dengan standard pengaturan yang terdapat dalam

Agreement on Trade Related Aspect of
Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement)
hasil Uruguay Round Tahun 1994.
Sejak lahir Undang-undang Hak Cipta
Indonesia pada tataran basic policy cacat secara
kultural dan dalam perjalanannya cacat secara
ideologi. Sedangkan pada tataran Enactment

Policy undang-undang hak cipta gagal
diterapkan. Law enforcement undang-undang
hak cipta Indonesia gagal diterapkan karena
budaya hukum masyarakat Indonesia belum
mampu menerima model-model perlindungan
hukum hak cipta dalam budaya hukum Barat.
Aparat penegak hukum Indonesia-pun belum
mampu mengimbangi tuntutan profesionalisme
sebagaimana dikehendaki oleh undang-undang
itu., ada kesalahan dalam pilihan politik hukum
baik pada tataran basic policy maupun pada
tataran Enactment policy dalam bidang hak
cipta. Menelusuri kembali akar sejarah dan akar
kultural serta akar ideologi kehadiran UU Hak
cipta guna melihat baik buruknya perjalanan
Undang-undang ini guna merumuskan undangundang hak cipta yang lebih baik di kemudian
hari, adalah menjadi alasan penting mengapa
artikel ini ditulis. Selain penting artinya guna
melahirkan konsep akademis khususnya pada
tataran basic policy tulisan ini juga di harapkan

memberi masukan pada tataran praktis
(anactment policy/law enforcement) tulisan ini
akan menjadi lebih bermakna.
Kesemua itu tentu saja dimaksudkan
untuk membangun hukum Indonesia masa

depan, hukum yang berkeadilan, berkepastian
dan bermanfaat bagi kemaslahatan umat
manusia di muka bumi.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan
sejarah dan politik hukum dengan pilihan
metode penelitian doktrinal riset. Metode
doktrinal riset ini dalam terminologi penelitian
hukum sering disebut dengan penelitian
normatif.
Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan mengumpulkan informasi melalui
bahan-bahan hukum primer seperti: wet/,
undang-undang

hak
cipta,
Konvensi
Internasional, penelitian-penelitian terdahulu,
jurnal, dan bahan-bahan kepustakaan hukum
primer lainnya.
Teknik analisis data dilakukan dengan
menghubungkan semua informasi melalui
inventarisasi pasal demi pasal peraturan
perundang-undangan terkait dan kemudian di
abstraksi dengan metode deduktif untuk
mendapatkan nilai atau asas hukum yang
menjadi latar belakang ideologi peraturan
perundang-undangan tersebut. Khusus untuk
bahan-bahan kepustakaan yang bersumber dari
penelitian penelitian terdahulu termmasuk jurnal
di gunakan metode analisis isi (Content
Analysis) kesimpulan di tarik dari temuan yang
diperoleh dari analisis tersebut.


4. Undang-undang Hak Cipta Indonesia :
Perspektif Sejarah
Keberadaan hukum Indonesia hari ini
tidak terlepas dari dinamika perjalanan sejarah
politik hukum sejak jaman Hindia Belanda (dan
bahkan sebelumnya) hingga pasca kemerdekaan.
[1] Upaya untuk membangun tatanan (sistem)
hukum Indonesia adalah sebuah upaya politik
yang memang secara sadar dilaksanakan yakni
dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang
berakar pada transformasi kultural budaya
Indonesia asli dan dikombinasikan dengan
budaya (hukum) asing yang berasal dari luar
dengan segala keberhasilan dan kegagalannya.
Transformasi kultural ini di dalamnya
menyiratkan pilihan politik hukum melalui
transplantasi hukum pada tataran basic
policyyang berasal dari proses perjalanan sejarah
peradaban Bangsa Indonesia. Pada hakekatnya
tidak ada suatu produk hukum yang lahir di

Indonesia tidak bersumber dari proses
transformasi kultural yang berpangkal pada

budaya yang beraneka ragam dengan pilihan
politik hukum transplantasi hukum (budaya)
asing dalam proses yang disebut sebagai
akulturasi dan inkulturasi.
Sejak awal, perkembangan tata hukum
Indonesia bersumber dari hukum kolonial,
demikian
Soetandyo
Wignjosoebroto
[2]meskipun upaya untuk memberlakukan
hukum kolonial terhadap golongan bumi putera
mendapat tantangan dari kalangan mereka
sendiri. Meskipun akhirnya terhadap golongan
Bumi Putera diberlakukan hukum adat,
kebiasaan dan hukum agamanya atau yang
dikenal
dengan

Goddien
Stigwetten,
Volkinstelingen en Gubreiken.
Ada upaya pemerintah Hindia Belanda
untuk mensejajarkan berlakunya hukum di
negaranya dengan hukum yang berlaku di
daerah jajahannya. Kebijakan ini kemudian
dikenal dengan penerapan azas konkordansi.
Meskipun kemudian kebijakan penerapan azas
konkordansi ini mendapat perlawanan dari
ilmuwan hukum Bangsa Belanda sendiri seperti
Van Vollenhoven dan Ter Haar.[3]
Dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual
upaya untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi
hukum Eropa di tanah jajahan dijalankan dengan
memberlakukan hokum - yang tersebar secara
sporadic yang tidak terkodifikasi dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dan Hukum
Dagang di dalam negerinya - antara lain adalah
hukum tentang merk, paten dan hak cipta.

Hukum tentang hak cipta yang berlaku di Negeri
Belanda pada waktu itu adalah hukum yang
berasal dari hukum hak cipta yang berlaku di
Prancis yang dibawa melalui ekspedisi
Napoleon. Pada masa Kolonial Belanda. Hukum
ini dikenal dengan nama Auteurswet Stb. 1912
No. 600 kemudian diberlakukan di Indonesia
dengan asas konkordansi. Pemberlakuan hukum
Kolonial dengan asas konkordansi ini akan
semakin menciptakan keadaan pluralisme
hokum, yang sebelumnya - karena perbedaan
kultural - keadaan pluralisme hukum itu telah
lebih dahulu ada dalam tatanan masyarakat
Indonesia sendiri ketika itu.
Dapat dikatakan bahwa dampak dari
dinamika pilihan politik hukum Pemerintah
Hindia Belanda tersebut sampai hari ini
membuahkan hasil pluralisme hukum yang tidak
berkesudahan.
Ditambah

lagi
pasca
kemerdekaan pemerintah Indonesia sendiri

melakukan pilihan politik hukum yang tersendiri
pula untuk memenuhi tuntutan tatanan hukum
Indonesia pasca kemerdekaan. Tampaknya
faktor politik tidak pernah lepas dari rangkaian
kegiatan penyusunan tata hukum di Indonesia.
Pengaruh-pengaruh tekanan politik asing (luar
negeri)
terus
mempengaruhi
kebijakan
pembangunan hukum di Indonesia. Terutama
pasca ratifikasi GATT/WTO 1994 sebagai
instrument globalisasi ekonomi (namun tetap
membawa dampak pada sistem sosial lainnya)
yang mengharuskan Indonesia menyesuaikan
beberapa peraturan perundang-undangannya

khususnya dalam lapangan Hak Kekayaan
Intelektual dengan TRIPs Agreement yang
merupakan instrumen hukum hasil Putaran
GATT/WTO 1994.
Dominasi politik asing dan kepentingan
politik negara maju tidak dapat dilepaskan dari
langkah-langkah kebijakan negara Indonesia
dalam penyusunan peraturan perundangundangan bidang HKI khususnya dalam
lapangan Hak Cipta.
Faktor yang turut
mempengaruhi pilihan kebijakan politik itu tidak
lain dikarenakan lemahnya penguasaan kapital
dalam negeri Indonesia, rendahnya tingkat
kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sumber daya manusia Indonesia dan
memburuknya sistem pengelolaan manajemen
negara. Inilah yang menurut M. Solly Lubis [4]
sebagai sebuah kelemahan yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia dengan ungkapan sebagai
berikut :
Mereka (negara maju, pen) memiliki
dan menguasai keunggulan strategis
dalam tiga hal, yakni keunggulan capital
(funds and equipment) keunggulan
teknologi canggih dan keunggulan
manajemen yang cukup rapid an
tersistem dengan apik.
Kelemahan dan ketergantungan kita di
tiga bidang itu, sekaligus membuktikan
lemahnya
kemandirian
kita
dan
ketergantungan
inilah
yang
menyebabkan
kita
tidak
bisa
mengelakkan intervensi dan berbagai
dikte terbuka ataupun terselubung oleh
negara-negara lain itu terhadap kita.
Bahkan disana-sini terasa sebagai
eksploitasi ekonomi, dominasi politis
dan penetrasi kultur, tiga target mana
adalah merupakan tiga target utama

pada kaum kolonialis-imperalis dan
kapitalis.
Dominasi kebijakan politik ekonomi
asing di Indonesia sebenarnya tidak hanya
dimulai pada saat ratifikasi konvensi-konvensi
yang
berkaitan
dengan
perdagangan
internasional seperti GATT/WTO. Perebutan
negara-negara yang hari ini sebagai penguasa
ekonomi di dunia yang tergabung dalam negara
industri maju seperti G-8 dan G-20 berawal dari
perjalanan sejarah yang cukup panjang.
Peristiwa yang melatar belakangi munculnya
Perang Dunia ke-2 adalah tidak terlepas dari
perebutan sumber-sumber ekonomi yang ada di
berbagai belahan bumi. Ekspansi negara-negara
Eropa ke Asia, sebut saja misalnya Inggris
ekspansi ke India, Burma, Hongkong dan
Malaysia, Prancis ekspansi ke Indocina (Laos,
Kamboja dan Vietnam), Belanda ekspansi ke
Indonesia bahkan Amerika dengan sekutunya
Inggris, Prancis dan Belanda turut mengontrol
aktivitas di kawasan Pasifik. Sampai hari ini,
negara-negara maju tersebut termasuk Jepang
meskipun kalah dalam Perang Asia Timur Raya
melawan negara-negara sekutu (Amerika dan
Eropa) dominasi dalam politik ekonomi semakin
hari semakin menguat hingga hari ini. Catatan
yang dikemukakan oleh Stephen E. Ambrose
dan Douglas G. Brinkley,[5] memberikan
pencerahan untuk sampai pada suatu kesimpulan
bahwa kekuatan politik ekonomi di berbagai
belahan Asia masih dan akan terus beraada di
bawah bayang-bayang kekuatan Barat (Amerika
dan Eropa Barat) :
On the other side of the world the
United States, in combination with the
British, French and Dutch, still ruled
the Pacific. American Control of Hawaii
and the Philippines, Dutch control of the
Netherlands East Indies (N.E.I., today’s
Indonesia), French control of Indochina
(today’s Laos, Cambodia (Democratic
Kampuchea), and Vietnam), and British
control of India, Burma, Hong Kong
and Malaya gave the Western powers a
dominant position in Asia. Japan, ruled
by her military, was aggressive,
determined to end white man’s rule in
Asia, and thus a threat to the status quo.
But Japan lacked crucial natural
resources, most notably oil, and was
tied down by her war in China.

Dalam kasus undang-undang hak cipta
Indonesia, bayang-bayang kekuatan barat itu
ditandai dengan 5 kali perubahan Undangundang Hak Cipta di Indonesia tetap didominasi
oleh kekuatan politik (hukum) asing baik itu
melalui tekanan ekonomi maupun melalui
tekanan politik melalui instrument pinjaman luar
negeri dan instrument hukum internasional
(konvensi dan perjanjian bilateral).
Atas nama globalisasi dan pasar bebas
yang merupakan tantangan berat bagi Indonesia
ke depan untuk menghadapi sempalan rakus dari
negara-negara maju. Politik internasional yang
dilancarkan oleh negara-negara maju dengan
membungkus rapi idealisme untuk menjaga
kebersamaan hidup di dunia di balik issu
lingkungan hidup dan hak asasi untuk menjaga
kelestarian bumi guna pencapaian kesejahteraan
kehidupan bersama di muka bumi adalah politik
yang terang-terangan mengelabui umat manusia.
Hal itu ditandai dengan kenyataan bahwa di
belahan dunia lain, khususnya di negara-negara
dunia ketiga politik semacam itu sering
diterjemahkan sebagai sebuah keinginan negara
maju untuk menguasai sumber-sumber ekonomi
di negara-negara dunia ketiga. [6].
Dalam bidang hak kekayaan intelektual
khususnya dalam lapangan hukum hak cipta,
instrument hukum internasional telah dijadikan
sebagai alat untuk membatasi upaya negaranegara dunia ketiga dalam mengelola sumber
daya alam yang ia miliki melalui pemanfaatan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang diprotek
melalui instrument hukum hak kekayaan
intelektual.
Dahulupun ketika Kolonial Belanda
menginjakkan kakinya di bumi Indonesia,
masyarakat Indonesia tidak mengenal sama
sekali instrument perlindungan hak kekayaan
intelektual. Dalam lapangan hukum hak cipta
misalnya kehadiran Auteurswet 1912 Stb. No.
600 oleh masyarakat Indonesia ketika itu
bukanlah sesuatu yang mutlak sangat
diperlukan. Akan tetapi sejak diberlakukannya
wet itu masyarakat Indonesia hampir tidak
pernah merasakan arti penting keberadaan
instrument hukum itu. Itulah sebabnya sampai
Indonesia merdeka wet itu tidak pernah terpikir
oleh bangsa ini untuk diganti. Baru kemudian
setelah 70 tahun wet itu berlaku di bumi
Indonesia, baru pada tahun 1982 melalui
Undang-undang No. 6 Tahun 1982 wet itu

dicabut. Meskipun wet itu dicabut, ternyata
“roh” yang mendasari undang-undang No. 6
Tahun 1982 masih tetap melekat “roh” undangundang peninggalan Kolonial Belanda itu
meskipun para pembuat undang-undang ketika
itu telah berusaha untuk konsisten dalam
mempertahankan ideologi Pancasila sebagai
dasar pembentukan norma hukum. Memang,
setelah Indonesia merdeka dari dominasi politik
imperialis Belanda, secara politis telah terputus
hubungan ketatanegaraan dengan pemerintah
Hindia Belanda. Indonesia berdiri sebagai
negara yang memiliki kedaulatan sendiri. Akan
tetapi khusus dalam bidang hukum termasuk
dalam bidang hukum hak cipta, Indonesia belum
mampu melepaskan kekuatan instrument hukum
peninggalan Kolonial Belanda. Bahkan oleh
Lev, [7] dikatakannya, meskipun Indonesia
telah merdeka secara politik, perangkatperangkat birokrasinya masih menggunakan
model-model birokrasi peninggalan Kolonial
Belanda.
Dalam praktek legislasi nasional kecuali
pada waktu pembentukan Undang-undang No. 6
Tahun 1982 setelahnya tidak pernah lagi terlihat
konsistensi dalam mempertahankan ideologi
Pancasila. Pilihan politik hukum pragmatis dari
waktu ke waktu terus menjadi pilihan nyata
legislatif dalam melahirkan undang-undang Hak
Cipta Nasional.
Pilihan politik hukum transplantasi telah
berlangsung baik secara sadar maupun tidak
namun oleh Pemerintah Kolonial Belanda sejak
awal telah dirancang secara sistematis dan
diteruskan pada masa kemerdekaan dan secara
sadar pula dilanjutkan pada era globalisasi
dengan segala dinamikanya. Dinamika sejarah
politik hukum transplantasi Undang-undang Hak
Cipta di negeri ini memperlihatkan pilihan
politik hukum yang beragam pada tiap-tiap
babakan sejarah. Pada masa Hindia Belanda
menyamakan pemberlakuan Undang-undang
Hak Cipta di negerinya dengan Undang-undang
Hak Cipta di negeri koloninya dengan
menerbitkan Auteurswet 1912 Stb. No. 600 wet
(undang-undang) ini berlaku selama 70 tahun,
melalui pilihan politik hukum konkordansi.
Babakan sejarah berikutnya setelah
Indonesia merdeka – lepas dari cengkeraman
kolonial Belanda meskipun setelah 37 tahun
pasca kolonial Belanda auteurswet 1912 stb, No.
600 itu diberlakukan – Indonesia menegaskan
bahwa secara ideologis/filosofis auteurswet

1912 Stb No. 600 tidak sesuai dengan cita-cita
hukum nasional oleh karena itu wet ini harus
dicabut dan bersamaan dengan itu lahirlah
Undang-undang No. 6 Tahun 1982, akan tetapi
undang-undang ini hanya berusia 5 tahun
melalui pilihan politik hukum transplantasi.
Hiruk pikuk dan berbagai tudingan
terhadap Indonesia oleh Negara-negara maju
sebagai Negara pembajak karya cipta asing,
dengan berbagai tekanan (asing) Indonesia harus
menerima ide dan gagasan asing tersebut dan
berujung pada revisi Undang-undang yang baru
berusia 5 tahun tersebut diikuti dengan kelahiran
Undang-undang No. 7 Tahun 1987 melalui
pilihan politik hukum pragmatis.
Pada saat undang-undang ini berjalan
selama 7 tahun tepatnya pada tanggal 15 April
1994 di Marakesh (Maroko), Indonesia
meratifikasi
Persetujuan
Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement
Establishing the Worl Trade Organization),
berikut semua lampirannya yang berisikan
berbagai-bagai persetujuan antara lain salah satu
di dalamnya terdapat TRIPs Agreement yang
sarat
dengan
muatan
ideologis/filosofis
kapitalis-liberalis.
Tiga tahun setelah ratifikasi TRIPs
Agreement itu, Indonesia kembali merubah
undang-undang hak ciptanya pada tahun 1997,
melalui Undang-undang No. 12 Tahun 1997
melalui pilihan politik hukum transplantasi yang
bersifat pragmatis.
Dalam perjalanannya, Undang-undang
No. 12 Tahun 1997 juga tidak dapat menyahuti
keinginan-keinginan negara maju terutama
semakin maraknya pelanggaran terhadap hak
cipta yang merugikan para pencipta dan
perekonomian negara maju akibatnya 5 tahun
kemudian melalui Undang-undang No. 19
Tahun 2002, Indonesia kembali merubah
undang-undang hak cipta nasionalnya.
Dalam perjalanan selanjutnya, Undangundang No. 19 Tahun 2002 juga tidak efektif
dalam melindungi hak-hak para pencipta. Salah
satu alasan yang dikemukakan oleh berbagai
pihak adalah masih lemahnya praktek penegakan
hukum dan juga secara substantive ancaman
pidana yang dimuat dalam Undang-undang No.
19 Tahun 2002 terhadap pelaku tindak pidana
pelanggaran hak cipta masih terlalu ringan.
Disamping itu, adanya tuntutan agar undang-

undang hak cipta Indonesia ke depan harus
disesuaikan dengan TRIPs Agreement dan
konvensi ikutannya. [8]
Akhirnya pada tahun 2014 Undangundang No. 19 Tahun 2002 dirubah dengan
Undang-undang No. 28 Tahun 2014.
Ada beberapa hal baru dalam undangundang ini, antara lain : semakin dikuatkannya
posisi pencipta dan pemegang hak cipta dalam
hal penyewaan (rental rights) atas hak cipta.
Undang-undang ini lebih menekankan pada
aspek economic rights yang mengantarkan
kesimpulan tentang semakin terang dan nyata
menguatnya ideologi kapitalis. Serapan ideologi
kapitalis itu dapat dilihat dari berbagai-bagai
pasal dalam undang-undang tersebut yang
memuat tentang frase economic rights yang
dahulu tidak dikenal. Demikian juga tentang
seluruh hak penyewaan (rental rights) harus
mendapat izin dari pencipta atau pemegang hak,
padahal ini sangat bertentangan dengan prinsip
hukum benda yang diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata.
Agaknya negeri ini harus belajar kembali
pada perjalanan sejarah. Betapa dalam kurun
waktu lebih dari 10 dekade (1912-2015)
pemberlakuan undang-undang hak cipta di
negeri ini dengan 6 bentuk undang-undang (satu
bentukan
pemerintah
Hindia
Belanda)
kesemuanya tidak memperlihatkan sisi yang
menggembirakan baik dari segi substansi
(mengabaikan nilai-nilai yang terkandung dalam
ideologi Pancasila) maupun dari sisi penerapan
hukumnya. Menjadi penting bagi para politisi
khususnya yang berkesimpung dalam badan
legislatif nasional untuk melakukan pendekatan
hukum melalui studi sejarah dalam menentukan
arah pilihan politik hukum nasional. Pendekatan
semacam ini tidak hanya dimaksudkan untuk
melihat keberadaan hukum masa lalu dan yang
berlaku hari ini akan tetapi studi sejarah ini
paling tidak dapat dijadikan sebagai sebuah
pembelajaran guna menyusun langkah-langkah
atau strategi politik hukum yang akan
dikembangkan ke depan.
Pemberdayaan masyarakat adat yang
berbasis kepada kearifan lokal terutama
pengelolaan sumber daya alam pedesaan yang
melahirkan banyak industri-industri kerajinan
seperti : batik, seni pahat, seni patung dan
industri-industri kayu dan rotan yang dilindungi
berdasarkan Undang-undang Hak Kekayaan

Intelektual perlu penguatan dari dalam untuk
mengantisipasi
serbuan
produksi-produksi
barang sejenis dari negara lain di era globalisasi
yang sedang berlangsung saat ini. [9]
5. Hukum Yang Tercerabut dari Akar
Budaya
Konstruksi undang-undang hak cipta
nasional yang berlaku hari ini adalah hasil
rekonsfigurasi politik hukum melalui pilihan
politik hukum konkordansi dan transplantasi
yang pernah dilakukan selama kurun waktu
hampir satu abad di kawasan nusantara. Dalam
proses itu ada sejumlah nilai sosial dan kultural
yang tak terkira jumlahnya yang hilang, terkikis
ataupun terpendam. Dengan meminjam konsep
geologi
tentang
proses
peremajaan
(rejuvenation) akan sangat mungkin terjadi
proses penuaan terhadap nilai-nilai yang hilang
itu dan menjadi manifest (muncul), lalu berubah
menjadi sikap menetang, ketidak pedulian atau
terang-terangan memberi perlawanan pada saat
kaedah hukum hasil transplantasi itu diterapkan
ketika terjadi stagnasi dalam proses penegakan
hukum yang mengabaikan realitas. [10]
Para produsen karya cipta khususnya
karya cipta sinematografi illegal dan para
konsumen illegal, menjadi tidak peduli dengan
kenyataan bahwa negeri ini memiliki undangundang hak cipta, negeri ini memiliki
kesepakatan dengan dunia internasional dan
negeri ini mempunyai perangkat penegak
hukum, serta negeri inipun memiliki lembaga
peradilan yang siap menjatuhkan sanksi hukum.
Memori
sejarah
politik
hukum
pembentukan undang-undang hak cipta nasional
sering direntang terlalu pendek manakala hendak
mengkonstruksikan undang-undang hak cipta
yang
baru,
pemenggalan-pemenggalan
pengalaman masa lalu terus dilakukan dan
rentang sejarah yang utuh cenderung diabaikan
dan yang kemudian dimunculkan adalah
kebutuhan sesaat dengan menimbang kenyataan
hari ini yang menguntungkan hari ini. Pilihan
politik hukum pembentukan undang-undang hak
cipta nasional kemudian menjadi sangat
pragmatis padahal semua mengetahui bahwa
undang-undang hak cipta nasional dengan
pilihan politik pragmatis itu tidak dapat
ditegakkan. Berkali-kali alasan rendahnya sanksi
hukum pidana dikemukakan sebagai alasan
perubahan undang-undang hak cipta dari waktu
ke waktu, akan tetapi setelah sanksi hukum
pidana itu dinaikkan (diperberat) dalam undangundang yang baru itu,perilaku pembajakan karya

cipta sinematografi tidak pernah berhenti, alasan
yang sama dikemukakan lagi (yakni ancaman
hukuman masih terlalu rendah) untuk sekedar
memberi jastifikasi guna perubahan kembali
undang-undang yang baru itu.
Jika para politisi yang melibatkan diri
dalam pembuatan undang-undang hak cipta
nasional mau merentang tali sejarah, sebenarnya
embrio undang-undang hak cipta nasional sudah
mulai dikonstruksi sejak tahun 1912, pada saat
Auteurswet 1912 Stb. No. 600 diberlakukan di
wilayah nusantara. Pada saat itu pemberlakuan
wet itu telah memperlihatkan suatu kenyataan
bahwa kepatuhan masyarakat di wilayah Hindia
Belanda terhadap wet itu ketika itu hampir dapat
dikatakan tidak ada. Pada masa Kolonial
Belanda itu, masyarakat di Hindia Belanda bisa
dihitung jari yang mengetahui - dan bahkan
untuk kelompok Bumi Putra tidak mengenal
sama sekali – bahwa ada instrumen hukum yang
memproteksi hak cipta. Apalagi dalam bidang
karya sinematografi karena pada waktu itu film
pertama sekali diproduksi di wilayah Hindia
Belanda adalah pada tahun 1926. Teknologi
pembajakan karya sinematografi pun belum
dikenal pada waktu itu. Sehingga dapat
dipastikan tidak ada masyarakat Indonesia yang
peduli dengan instrumen perlindungan hukum
karya sinematografi pada waktu itu. Dalam
bidang karya cipta lainnya seperti buku, pada
masa itu dan sampai pada masa awal
kemerdekaan
pembajakan
juga
terus
berlangsung. Artinya, kesadaran hukum
masyarakat untuk penegakan hukum hak cipta
pada waktu itu bukan tidak dimiliki, akan tetapi
masyarakat tidak mengapresiasi undang-undang
itu karena secara sosiologis dan kultural proteksi
hukum semacam itu tidak pernah dikenal dalam
sejarah kehidupan mereka. Inilah tadi yang
dikatakan bahwa pembelajaran sejarah dalam
rentang pemberlakuan Auteurswet 1912 Stb. No.
600 tidak dijadikan dasar untuk rekonstruksi
penyusunan undang-undang hak cipta nasional
Indonesia pada saat dilahirkannya UndangUndang Hak Cipta No.6 Tahun 1982,
menggantikan wet itu.
Ada memori sejarah yang dilupakan
ketika undang-undang hak cipta nasional akan
dilahirkan untuk menggantikan Auteurswet 1912
Stb. No. 600 dengan Undang-undang No. 6
Tahun 1982. Begitu juga ada memori sejarah
yang dilupakan ketika Undang-undang No. 6
Tahun 1982 akan direvisi dengan konstruksi
Undang-undang baru yang dituangkan dalam
Undang-undang No. 7 Tahun 1987. Demikian

juga ada memori sejarah yang dilupakan ketika
harus mengganti Undang-undang No. 7 Tahun
1987 dengan Undang-undang No. 12 Tahun
1997. Memori sejarah itupun dilupakan juga
ketika menyusun Undang-undang No. 19 Tahun
2002 menggantikan Undang-undang No. 12
Tahu 1997. Yang diingat adalah kebutuhankebutuhan sesaat yang mendesak untuk
menjawab berbagai tekanan politik internasional
hingga akhirnya yang terjadi adalah pilihan
politik hukum yang pragmatis dan itu memberi
warna dalam Undang-undang No. 19 Tahun
2002. Warna itu tidak hanya menyangkut warna
normatif akan tetapi juga menyangkut nilai-nilai
filosofis yang merupakan the original
paradigmatic value of Indonesian culture and
society yang terabstraksi dalam landasan
ideologi bangsa dan negara yakni Pancasila.
Landasan ideologi inilah kemudian dijadikan
sebagai landasan politik hukum pembuatan
peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Sebuah ideologi adalah sebuah gagasan,
sebuah idea, sebuah cita-cita, sebuah harapan
yang diyakini oleh penganutnya sebagai suatu
landasan kebenaran untuk mewujudkan cita-cita
atau harapan tersebut. Berbeda dengan agama,
ideologi oleh pencetusnya yakni Destutt de
Tracy seorang pemikir Perancis yang pertama
kali menggunakan istilah ideologi dalam
bukunya, Elements d’ ideologie yang terbit
tahun 1827 adalah sebuah kebenaran di luar
otoritas agama. Konsep ini muncul adalah
proyek besar filsuf “Pencerahan” yang berusaha
keras mensterilkan tubuh ilmu pengetahuan dari
virus-virus prasangka agama, kepentingan
pribadi dan kepercayaan mistik-metafisik
dengan mengukuhkan metode ilmiah sebagai
satu-satunya epistimologi yang sahih.
Namun, setelah lebih dari satu abad
berselang pasca de Tracy, ideologi tidak
lagi bermakna tunggal. Karena tidak
henti-hentinya dicermati dari pelbagai
kerangka pemikiran dan sudut pandang,
ideologi menjadi satu istilah penting
dalam ranah ilmu sosial yang memiliki
banyak tafsir. Muncullah kemudian
pelbagai konsep ideologi dengan
pendekatan, kekhasan dan ruang lingkup
yang beragam. Tetapi, jika ideologi kita
letakkan dalam kerangka umum,
Microsoft Encarta Encylopedia (2003)
akan menawarkan pada kita sebuah
definisi
yang
tampaknya
agak
komprehensif, yakni suatu sistem
kepercayaan yang memuat nilai-nilai

dan ide-ide yang diorganisasi secara rapi
sebagai basis filsafat, sains, program
sosial ekonomi politik yang menjadi
pandangan hidup, aturan berpikir,
merasa, dan bertindak individu atau
kelompok. [11]
Pendekatan studi hukum sangat erat
kaitannya dengan
ideologi, karena hukum
memuat cita-cita, harapan dan keinginan. Di
Indonesia cita-cita dan keinginan itu dituangkan
dalam pembukaan UUD 45. Itu jugalah
alasannya,
mengapa
kemudian
ideologi
dijadikan sebagai landasan filosofis pembuatan
peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Undang-undang tak boleh bertentangan dengan
cita-cita negara, bermakna juga tak boleh
bertentangan dengan ideologi bangsa. Ideologi
akan selalu bersembunyi di balik atau di
belakang tiap-tiap norma hukum atau undangundang. Negara penganut ideologi komunis,
dalam undang-undangnya akan tergambar nilainilai komunis (comunism values). Demikian
juga negara penganut ideologi Islam, dalam
undang-undangnya akan tercermin nilai-nilai
Islam (Islamic values). Nilai-nilai hukum yang
kapitalis tersembunyi di balik norma hukumnya,
pastilah negara itu penganut ideologi kapitalis.
Indonesia sebagai penganut ideologi Pancasila
seyogyanya
dalam
undang-undangnya
mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Ideologi Pancasila adalah ide dasar yang
dijadikan sebagai pandangan hidup, cita-cita
(ideal), basis visi dan missi dalam praktek
kehidupan bernegara, termasuk dalam praktek
perumusan cita-cita politik hukum nasional.
Pilihan ideologi ini telah meleburkan kenyataan
pluralisme hukum di Indonesia dalam tataran
nilai. Sebenarnya ini adalah merupakan modal
yang paling kuat bagi Indonesia untuk
menyusun hukum nasionalnya termasuk undangundang hak cipta yang dapat diukir atau
dilukiskan di atas “kain sutra” yang disepakati
sebagai negara Indonesia. Namun sayangnya
kemerdekaan yang oleh Bung Karno disebutnya
sebagai “jembatan emas” dan dapat dijadikan
sebagai pintu gerbang untuk menyeberang
menuju cita-cita masyarakat adil dan makmur,
tapi ternyata dalam perjalannya jembatan emas
itu tidak dimaknai secara tepat. Hasilnya adalah
hukum yang semestinya dapat ditorehkan di atas
kain sutra, ternyata diberi bingkai dan landasan
ideologi kapitalis. Akhirnya terjadilah hukum
seperti kata pepatah : “Kain Sutra Bersulam

Belacu” dan ideologi Pancasila tergerus dan
bahkan terkikis di tangan anak bangsa sendiri.
Pilihan politik transplantasi hukum
asing ke dalam undang-undang hak cipta
nasional utamanya yang bersumber dari
perjanjian Internasional, seharusnya dilakukan
dengan penuh pertimbangan yang arif, dan
perhitungan yang jauh ke depan. Pandangan ini
didasarkan pada berbagai kasus yang
menunjukkan
bahwa
instrumen
hukum
Internasional digunakan sebagai alat imperialis
model baru, seperti yang diingatkan oleh
Hikmahanto Juwono [12] sebagai berikut :
Hukum
Internasional,
utamanya
perjanjian internasional, digunakan oleh
negara maju untuk ‘mengekang’
kebebasan dan kedaulatan Indonesia.
Berbagai perjanjian internasional yang
diikuti oleh Indonesia berdampak pada
terbatasnya ruang gerak pemerintah
dalam mengambil kebijakan. Bahkan
kebijakan
yang
diambil
dengan
diikutinya perjanjian internasional yang
ditandatangani
diharapkan
selaras
dengan standar internasional.
Indonesia terlalu takjub dengan tawarantawaran perdagangan bebas, pasar bebas, dan
janji-janji bahwa, suatu saat Indonesia akan
menjadi negara industri maju di kawasan asia,
dan itu disikapi dengan menerima tawaran IMF
dan World Bank untuk membiayai berbagaibagai proyek di Indonesia untuk pencapaian
gagasan-gagasan kapitalis-liberal itu. Puncaknya
adalah
ketika
Indonesia
meratifikasi
GATT/WTO pada tahun 1994 dan di dalamnya
memuat TRIPs Agreement, Indonesia kemudian
disyaratkan untuk tunduk pada kesepakatan itu.
Sebagai konsekuensi, Indonesia tidak hanya
diharuskan untuk menyesuaikan peraturan
perundang-undangan HKI-nya dengan TRIPs
Agreement tetapi lebih jauh juga Indonesia
harus mempersiapkan perangkat-perangkat
hukum dalam negerinya untuk menegakkan
instrument-instrumen hukum sebagai ikutan dari
perjanjian internasional yang telah disepakati.
Terdapat beberapa perjanjian internasional yang
berlatarbelakang ideologi kapitalis yang oleh
Pemerintah Indonesia tanpa merujuk pada
perjalanan sejarah sebagaimana telah diuraikan
di depan. Indonesia kemudian mengambil sikap
dengan
menyetujui
instrumen
hukum
internasional mengenai perlindungan hak
kekayaan
intelektualnya.
Kesepakatankesepakatan
yang
bersifat
bilateral-pun

dibangun dengan negara-negara tersebut yang
antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun
1988 tentang Pengesahan Persetujuan
Mengenai Perlindungan Hukum Secara
Timbal Balik Terhadap Hak Cipta atas
Karya Rekaman Suara antara Negara
Republik Indonesia dengan Masyarakat
Eropa;
2. Keputusan Presiden RI No.25 Tahun
1989 tentang Pengesahan Persetujuan
Mengenai Perlindungan Hukum Secara
Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara
Republik Indonesia dengan Amerika
Serikat;
3. Keputusan Presiden RI No.38 Tahun
1993 tentang Pengesahan Persetujuan
Mengenai Perlindungan Hukum Secara
Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara
Republik Indonesia dengan Australia;
4. Keputusan Presiden RI No.56 Tahun
1994 tentang Pengesahan Persetujuan
Mengenai Perlindungan Hukum Secara
Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara
Republik Indonesia dengan Inggris;
5. Keputusan Presiden RI N0. 74 Tahun
2004 tentang Pengesahan WIPO
Performances and Phonogram Treaty
(WPPT);
Belakangan ditambah lagi dengan
pembuatan kesepakatan multilateral tentang
perlindungan Audiovisual performances yang
ditandatangani di Jenewa yang dikenal dengan
Beijing Treaty on Audivisual Performance.[13]
Pilihan-pilihan
untuk
menjalin
kerjasama dalam perlindungan karya cipta
dengan berbagai negara sayangnya tidak
dilakukan dengan sebuah kesungguhan untuk
melihat kembali latar belakang sejarah yang
telah mengabaikan berbagai nilai-nilai yang
terkandung dalam masyarakat Indonesia. Negara
Indonesia memanglah tergolong dalam negara
yang masih berusia muda. Dalam usianya yang
muda itu perjalanan sejarahnya telah mencatat
bangsa ini dapat bertahan dan dipertahankan
dengan nilai-nilai tradisional (nilai-nilai keIndonesiaan) yang dalam tulisan ini berkali-kali
disebut sebagai the original paradigmatic value
of Indonesian culture and society.
Masuknya nilai-nilai baru meskipun
pada tahap awal berjalan secara evolusi, akan
tetapi pasca dihembuskannya issu globalisasi
nilai-nilai baru itu masuk dengan gerakan yang
lebih cepat. Peringatan Wertheim ketika menulis
“Masyarakat Indonesia Dalam Transisi” menjadi

relevan untuk dikutip dalam naskah ini.
Wertheim menulis sebagaimana dikutip oleh
Syamsuddin Ishak sebagai berikut :
Proses yang terjadi pada masa lalu harus
dipelajari dengan sangat sungguhsungguh. Bagaimanapun, proses itu
bukanlah hukum yang dapat dilepaskan
yang harus diterima secara pasif oleh
umat mansia. Proses itu tidak lebih dari
regularitas yang hanya berlaku dalam
suatu pola masyarakat, pada suatu
periode tertentu.
Sejarah manusia merupakan suatu
interaksi konstan dari pengulangan dan
pembaruan, pengulangan yang bisa
tampak dalam pakaian yang baru dan
pembaruan yang tampak untuk suatu
skema pengulangan. [14]
Dalam siklus sejarah semacam itu
relevan juga untuk dihubungkan dengan siklus
politik hukum unifikasi
dalam suasana
pluralisme hukum di wilayah negara Hindia
Belanda.
Skema : 1
Siklus Politik Unifikasi Hukum Dalam Negara Hindia Belanda

Hukum 
Eropa 

Hukum 
Hindia 
Belanda 
Hukum 
Bumi 
Putera 

Hukum 
Timur 
Asing 

Pada masa Hindia Belanda, ada
keinginan agar di wilayah negara Hindia
Belanda dapat diberlakukan hukum Eropa. Akan
tetapi keinginan itu terus menerus mendapat
perlawanan. Kenyataannya di Negara Hindia
Belanda terdapat pluralisme hukum karena itu
melalui Pasal 6 sampai 10 AB kemudian
diteruskan dengan Pasal 75 RR lama diikuti
dengan Pasal 75 RR baru terakhir
disempurnakan dengan Pasal 131 dan Pasal 163
IS maka secara hukum telah dikukuhkan
terdapat 3 golongan penduduk dengan 3
golongan hukum sebagaimana dalam gambar
siklus di atas. Proses transformasi hukum Eropa

agar dapat diterima menjadi hukum di wilayah
Negara Hindia Belanda dilakukan dengan
penerapan politik hukum dengan asas
konkordansi yakni menyamakan berlakunya
hukum di Kerajaan Belanda dengan di wilayah
Hindia Belanda. Politik hukum seterusnya
dilakukan adalah setelah mendapat penolakan
dari kalangan ahli hukum Bangsa Belanda
sendiri yakni Van Vollenhoven untuk
menggantikan hukum bumi putera dengan
hukum Eropa kemudian dilaksanakan dengan
pilihan politik hukum pernyataan berlaku,
persamaan hak dan tunduk sukarela. Sampai
akhirnya Indonesia merdeka, tak semua hukum
Kerajaan Belanda itu dapat menggantikan posisi
hukum Bumi Putera. Alasan yang sesungguhnya
dapat dikemukakan adalah karena hukum bumi
putera itu mempunyai “rohnya sendiri”,
mempunyai spirit sendiri, mempunyai ideologi
sendiri. Sampai setelah Indonesia merdeka-pun
hukum asli bumi putera itu tetap tumbuh, hidup
di tengah-tengah masyarakat Indonesia seperti
hukum adat dan hukum agama.
Mengapa kemudian Pemerintah Hindia
Belanda menempatkan orang Jerman dan orang
Jepang kedalam golongan hukum Eropa ?
Padahal orang Jepang adalah orang Asia yang
dapat dikategorikan sebagai golongan penduduk
Timur Asing. Akan tetapi karena ini berkaitan
dengan kepentingan dagang dan dagang
mempunyai ideologi yang sama yakni kapitalisliberal, maka orang Jepang pun dikelompokkan
kedalam golongan hukum Eropa. Ini adalah
sebuah pertanda bahwa ideologi begitu penting
dalam pembentukan hukum.
Siklus
di
bawah
ini
akan
memperlihatkan bagaimana undang-undang hak
cipta nasional terbentuk dengan latar belakang
ideologi yang berpangkal pada ideologi
kapitalis.
Sebuah ideologi yang menurut ramalan
Bell dan Fukuyama sebagai ideologi akhir dari
peradaban umat manusia yang oleh Ian Adam
disebutnya sebagai Ideologi Pemenang.
Dalam kaitannya dengan Undangundang Hak Cipta, hubungan antara ideologi itu
dapat dilihat dalam skema di bawah ini.

Skema: 11
Siklus Politik Ideologi Pembentukan
Undang-undang Hak Cipta Nasional

Tekanan Amerika 
Negara Industri Maju 
(Ideologi Kapitalis) 

Ideologi 
Pancasila 
UU  No. 
7/1987 

UU No. 
12/1997

UU No. 
6/1982 
Politik 
Ideologi 
Pembentukan 
Undang‐
undang Hak 
Cipta 
Nasional 

UU No. 
19/2002

Auteurswet 
1912 Stb 
No. 600 

UU No. 
28/2014
Bern 
Convention
Ideologi 
Kapitalis 
TRIPs 
Agreement 
dan konvensi 
ikutannya 
(Ideologi 
Kapitalis) 

Ketika Berne Convention telah ditanda
tangani oleh sebagaian besar masyarakat Eropa,
Belanda
pada
masa
itu
diharuskan
menyesuaikan undang-undang hak cipta dengan
konvensi itu. Segera setelah Belanda merevisi
undang-undang hak ciptanya dengan Auteurswet
Stb.1912 No. 600, beberapa waktu kemudian
Negeri Kincir Angin itu meratifikasi Berne
Convention. Selanjutnya dengan politik hukum
kolonial, Kerajaan Belanda memberlakukan wet
itu di wilayah jajahannya termasuk Indonesia
yang kala itu menjadi bahagian dari Hindia
Belanda. Berne Convention dengan latar
belakang ideologi kapitalis itu masuk ke hukum
Belanda yang juga penganut ideologi yang sama
untuk selanjutnya menjalar ke wilayah hukum
Hindia Belanda. Pasca kemerdekaan wet itu
diteruskan dan menjadi acuan politik hukum
nasional dalam penyusunan undang-undang hak
cipta nasional, meskipun pada waktu itu ada
keinginan murni untuk membangun hukum
Indonesia dengan latar belakang ideologi
Pancasila, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan,
sesuai dengan garis politik dan haluan negara,
sesuai dengan jati diri bangsa yang disebut
sebagai hukum kepribadian bangsa. Akan tetapi
dalam kenyataannya, UU No.6 Tahun 1982,
undang-undang hak cipta pertama yang
menggantikan wet peninggalan Hindia Belanda
tidak lebih dari translation atau terjemahan dari
Wet yang berbahasa Belanda menjadi undangundang yang berbahasa Indonesia. Singkatnya
undang-undang itu tak dapat “meniupkan roh”
Pancasila
yang terjadi justeru sebaliknya
undang-undang itu terjebak dalam lingkaran
jiwa, nafas dan roh kapitalis.
Memasuki perjalanan berikutnya, ketika
UU No.6 Tahun 1982 diberlakukan, ternyata di
dunia, terutama di negara-negara industeri maju,
terjadi perubahan besar pada peradaban umat
manusia, ketika teknologi komunikasi, komputer
dan teknologi serat optik ditemukan. Karya cipta
sinematografi yang berasal dari negara asing itu
menjadi industri kreatif yang tumbuh pesat yang
banyak menyumbang pertumbuhan ekonomi
negara-negara maju tersebut. Sementara di
negara dunia ketiga termasuk Indonesia ketika
itu, masih terbelakang dalam teknologi itu dan
banyaklah kemudian terjadi pembajakan atau
pelanggaran hak cipta. Ini kemudian membuat
negara seperti Amerika menjadi berang,
puncaknya negara itu kemudian meminta kepada
Indonesia untuk merubah undang-undang hak
cipta nasionalnya yang intinya dapat memberi
perlindungan terhadap karya cipta mereka. Ini

fase kedua masuknya ideologi kapitalis ke
dalam undang-undang hak cipta nasional. Fase
berikutnya terjadi pelembagaan secara normatif
dan terstruktur dalam dunia Internasional, ketika
Uruguay Round diakhiri dengan persetujuan
GATT /WTO pada tahun 1994 yang
memasukkan issu Hak Kekayaan Intelektual
yang kemudian terlembaga dalam TRIPs
Agreement. Hasil akhir ini juga adalah
merupakan puncak kemenangan negara-negara
kapitalis melawan negara-negara dunia ketiga
yang sejak awal begitu “alergi” dengan kapitalis
yang sejak awal telah menolak memasukkan issu
Hak Kekayaan Intelektual dalam GATT.
Pelembagaan secara normatif ini adalah fase
ketiga masuknya faham ideologi kapitalis ke
dalam undang-undang hak cipta nasional,
dengan merubah UU hak Cipta No.7 tahun 1987
menjadi UU Hak Cipta No.12 Tahun 1997. Fase
keempat adalah fase ujian, apakah undangundang yang sudah sesuai dengan keinginan
negara-negara kapitalis itu dapat efektif
diberlakukan, ternyata jawabannya tidak. Situasi
penegakan hukumnya tetap sama seperti pada
masa pemberlakuan Auteurswet 1912 Stb. No.
600 pada masa Hindia Belanda. Akan tetapi ada
ketidak percayaan negara-negara maju tersebut
dengan kenyataan itu. Kenyataan hak cipta asing
di lapangan karya sinematografi terus-menerus
dibajak. Tudingan pemerintah asing tak dapat
ditampik, akan tetapi Pemerintah Indonesia tidak
kehilangan akal, perjanjian bilateral untuk saling
melindungi karya cipta di bidang itupun dibuat.
Entah itu untuk meyakinkkan negara-negara
tersebut agar Indonesia dianggap negara yang
taat hukum di mata mereka, entah itu sebuah
basa-basi, tapi yang pasti setelah perjanjian
bilateral itu ditanda tangani pembajakan hak
cipta tak pernah berhenti. Negara-negara asing
itu tak pernah tahu dan tak pernah ingin tahu
faktor penyebabnya, yang mereka tahu sampai
hari ini masih pada alasan yang dulu-dulu juga,
yakni sanksi hukum terlalu rendah, pada hal
ancaman hukumannya sudah 5 tahun dan denda
5 milyar, jumlah uang yang tak pernah dilihat
oleh pedagang kaki lima penjual hasil karya
sinematografi bajakan.
Pembuat undang-undang di negeri
inipun seolah-olah kehabisan kamus, diturunkan
razia besar-besaran, tetapi setelah razia praktek
pembajakan
berjalan
lagi.
Anjing
menggonggong kafilah lalu, biduk lalu
kiambangpun bertaut. Tak ada yang istimewa
dari gerakan razia yang dilakukan oleh aparat
keamanan. Memang sulit untuk memberikan

jawaban terhadap fenomena ini. Pelanggaran
demi pelanggaran dalam bidang hak cipta terus
berlangsung, hingga akhirnya menempatkan
Indonesia pada negara nomor 2 terbesar di dunia
setelah Cina sebagai negara pelanggar hak cipta.
Tudingan dunia internasional mengarah ke
Indonesia yang berujung pada perubahan
Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002.
Undang-undang itu adalah Undang-undang No.
28 Tahun 2014 sebagai pengganti undangundang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002. Sebagai
instrument untuk mengatur perilaku kehidupan
para pencipta dan konsumen hak cipta di
Indonesia undang-undang ini mestinya tak boleh
cacat. Jika hukum yang akan dijadikan sebagai
acuan untuk pedoman tingkah laku dalam
hubungan hukum yang berkaitan dengan hak
cipta – seperti hak penyewaan, lisensi, larangan
memperbanyak hak cipta atau mengumumkan
hak cipta tanpa izin pencipta, dan lain-lain –
cacat hukum maka sudah dapat dipastikan yang
terjadi adalah kekacauan, ketidak harmonisan,
penyimpangan perilaku yang berujung pada
ketidak seimbangan (disequilibrium) dalam
masyarakat yang dalam terminologi hukum
disebut sebagai bentuk ketidak adilan. Kata adil
[15] selalu menjadi kata kunci dalam hukum
baik dalam tataran basic policy maupun dalam
tataran anactment policy.Ketidak adilan itu
muncul karena hukum yang dilahirkan jauh dari
nilai/rasa (value) keadilan masyarakat. Hukum
yang dilahirkan itu tidak mengacu pada sosiokultural yang melekat dalam masyarakat. Kerap
kali hukum yang dilahirkan tercerabut dari akar
ideologi bangsanya dan memuat ideologi asing
yang tidak sesuai dengan the original
paradicmatic value of Indonesian culture and
society. Dalam kasus hak cipta, undang-undang
yang dilahirkan oleh lembaga legislatif
Indonesia telah memperlihatkan sisi kelemahan
yang mendasar yakni secara filosofis
meninggalkan nilai-nilai ideologi bangsa dan
negara yakni Pancasila dan dilain pihak
mengadopsi norma hukum dengan muatan
ideologi kapitalis. [16]
Itulah sebabnya, banyak peneliti dalam
bidang hukum mengingatkan agar dalam
mengadopsi hukum asing ke dalam hukum
nasional hendaklah memperhatikan aspek
struktur dan kultur bangsa tempat dimana
hukum itu diberlakukan. [17]
Mengacu pada kerangka Robert
B.Seidman,[18] akan diperoleh titik terang,
betapa mengambil alih hukum asing untuk
dijadikan sebagai hukum di negeri sendiri,

bukanlah pekerjaan yang mudah. The law of
nontransferability of law, demikian ungkapan
Seidman untuk menyebutkan, hukum suatu
bangsa tak dapat diambil alih begitu saja tanpa
mengambil seluruh pernak-pernik sosial budaya,
kultur dan struktur yang mengitari tempat
dimana hukum itu diberlakukan. Kulturnya
adalah nilai (ideologi) yang terkandung dalam
norma hukum itu sebagai pilihan sikap budaya
(hukum) masyarakatnya. Strukturnya adalah,
apakah aparat hukumnya sudah memiliki
perilaku yang sama dengan aparat hukum tempat
hukum itu berasal. Jika jawabnya tidak, maka
itulah jawaban atas kegagalan penegakan hukum
hak cipta di negeri ini. Jadi tak cukup
transplantasi hukum itu, mencangkokkan norma
hukumnya saja, tapi harus diikuti dengan
strukturdan
budayanya.
Tampaknya
transplantasi hukum Asing ke Undang-undang
hak cipta Nasional masih akan menjalani masa
sulit dalam penerapannya untuk tidak dikatakan
gagal, sampai ada jawaban dari siapa pemenang
Ideologi dalam pertarungan selanjutnya.
Sebagai instrumen untuk mengatur
perilaku pada fase kelima yakni periode
Undang-undang No. 28 Tahun 2014

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dengan
menggunakan perspektif sejarah dan pendekatan
politik hukum, uraian ini diakhiri dengan
kesimpulan sebagai berikut :
1. Sejak semula undang-undang hak cipta
Indonesia berpangkal pada dasar
filosofis barat yakni bersumber dari
Auteurswet 1912 Stb No. 600 yang
merupakan produk hukum Kolonial
Belanda – dengan latar belakang
ideologi Barat – yang kemudian
diteruskan sampai masa kemerdekaan.
2. Catatan sejarah membuktikan bahwa
azas konkordansi – menyamakan
berlakunya hukum hak cipta di Negeri
Belanda dengan wilayah jajahannya –
telah membuahkan kultur hukum asing
ke dalam tatanan budaya hukum
Indonesia sebagai kristalisasi dari nilainilai budaya colonial yang telah
merasuk ke dalam tatanan hukum
masyarakat Indonesia hingga pasca
kemerdekaan dalam berbagai periode
kepemimpinan nasional.

3. Dalam perjalanan sejarah berikutnya
Indonesia menjadi negara yang sangat
bergantung secara ekonomis seperti
pinjaman luar negeri – dan bahkan
politis
terutama
dalam
bidang
pertahanan
keamanansehingga
ketergantungan itu membuat Indonesia
tidak mandiri dalam menentukan
kebijakan ekonomi negaranya yang
berujung pada “intervensi” negaranegara maju melalui instrument hukum
internasional dalam tatanan basic policy
pembuatan undang-undang hak cipta
nasional.
4. Bahwa lima kali perubahan undangundang hak cipta nasional – mulai dari
undang-undang No. 6 Tahun 1982,
Undang-undang No. 7 Tahun 1987,
Undang-undang No. 12 Tahun 1997,
Undang-undang No. 19 Tahun 2002
sampai dengan Undang-undang No. 28
Tahun 2014 – diwarnai dengan
pengaruh yang begitu kuat (berupa
intervensi) negara maju melalui
instrument hukum internasional seperti
Bern Convention, Paris Convention,
Rome Convention dan TRIPs Agreement
serta perjanjian bilateral lainnya.
5. Keharusan
Indonesia
untuk
menyesuaikan
aturan
perundangundangan hak ciptanya – termasuk
seluruh hukum yang berkaitan dengan
HKI – dengan instrument hukum
internasional itu, menyebabkan undangundang hak cipta Indonesia menjadi
cacat pada tataran basic policy, secara
kultural dan filosofis serta pada tataran
anactment policy undang-undang itu
tidak mempunyai kekuatan daya laku
atau cacat secara sosiologis.

Rekomendasi
Patut menjadi perhatian semua pihak
yang terkait dalam pembentukan dan penegakan
hukum hak cipta, agar kegagalan dalam proses
kelahiran undang-undang hak cipta Indonesia
pada masa lalu dijadikan sebagai pelajaran
berharga guna melahirkan – tidak saja undangundang hak cipta, tetapi semua peraturan
perundang-undangan di Indonesia – undangundang hak cipta Indonesia yang lebih baik pada
masa hadapan. Untuk itu direkomendasikan :

1. Badan legislasi nasional haruslah benarbenar mempersiapkan naskah akademik
yang baik untuk tiap-tiap peraturan
perundang-undangan
yang
akan
dilahirkan dengan mengacu pada the
original paradigmatic values of
Indonesian culture and society yang
terjelma dalam dasar filosofis-ideologis
negara Indonesia yakni Pancasila.
Dengan demikian diharapkan seluruh
peraturan
perundang-undangan
Indonesia yang lahir di bumi Indonesia
tidak tercerabut dari
akar budaya
bangsa.
2. Keharusan untuk turut dalam pergaulan
internasional pada era globalisasi –
sekarang ini dengan semakin terbukanya
perdagangan (free trade) duniaadalah
sesuatu yang tidak terelakkan yang
mesti diterima dengan baik – dan itu
tidak bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila akan tetapi westernisasi
dengan ideologi kapitalis dan demokrasi
liberalnya bukanlah syarat mutlak yang
harus diikuti, bangsa ini harus punya jati
diri, caranya adalah dengan menguatkan
kepemimpinan
nasional,
menata
kembali manajemen pemerintahan yang
saat ini porak poranda, mendudukkan
struktur
lembaga-lembaga
negara
dengan sistem pe