BAB II LANDASAN TEORI - HUBUNGAN ANTARA BUDAYA ORGNAISASI DENGAN WORK ENGAGEMENT PADA KARYAWAN HARIAN BERNAS DI SLEMAN YOGYAKARTA - UMBY repository

BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement

1. Pengertian Work Engagement

  Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma & Bakker (2002) mendefinisikan

  work engagement sebagai positivitas, pemenuhan kerja dari pusat pikiran yang

  memiliki dimensi vigor, dedication dan absorbtion. Vigor adalah energi yang tinggi, adanya kemauan untuk investasi tenaga, restasi, tidak mudah lelah.

  Dedication adalah keterlibatan yang kuat ditandai dengan antusiasme, rasa

  bangga, dan inspirasi. Absorption adalah keadaan pada pekerja yang dikarakteristikan oleh waktu yang berjalaan dengan cepat dan sulitnya memisahkan seseorang dengan pekerjaanya. Schaufeli (2002) membedakan

  engagement dari konstruk-konstruk peran pekerjaan lainnya, keadaan sesaat dan

  spesifik, engagement mengacu pada keadaan afektif-kognitif yang lebih menetap (persisten) dan menyeluruh, yang tidak hanya fokus pada objek, kejadian, individu atau perilaku tertentu. Lebih lanjut lagi dijelskan bahwa

  engagement merupakan state-psikologis positif yang berhubungan dengan

  pekerjaan yang dicerminkan dengan kata-kata (antusias, enerjik, passion, vigor) dan engagement juga merupakan suatu state motivasional yang dicerminkan dalam keinginan yang murni untuk memberikan usaha yang fokus terhadap

  engagement merupakan konseptualisasi terbaik dan dikarakteristikkan melalui

  suatu level yang tinggi dari energi dan suatu identifikasi yang kuat dengan pekerjaan seseorang.

  Khan (dalam Mujiasih & Ratnaningsih 2012) mendefinisikan

  engagement sebagai penguasaan karyawan sendiri terhadap peran individu

  dalam pekerjaan, dimana karyawanakan mengikat diri dengan pekerjaannya, kemudian akan bekerja dan mengekspresikan diri secara fisik, kognitif dan emosional selama memerankan performanya. Aspek kognitif mengacu pada keyakinan pekerja terhadap organisasi, pemimpin dan kondisi pekerjaan.Aspek emosional mengacu pada bagaimana perasaan pekerja apakah positif atau negatif terhadap organisasi dan pemimpinnya. Sedangkan aspek fisik mengenai energi fisik yang dikerahkan oleh karyawan dalam melaksanakan perannya.

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulakan bahwa work engagement merupakan keadaan positifitas dan adanya pemenuhan diri dalam pekerjannya seperti keinginan yang murni untuk memberikan usaha yang fokus terhadap tujuan dan kesuksesan organisasi baik secara fisik, kognitif, dan afektif yang dikarakteristikan dengan adanya vigor, dedication dan absorption.

2. Aspek-aspek Work Engagement

  Menurut Schaufeli & Bakker (2006) mengemukakan bahwa work

  engagement memiliki aspek-aspek sebagai berikut:

  a. Vigor Merupakan curahan energi untuk melakukan pekerjaannya yang terbaik untuk memberikan usaha yang maksimal terhadap kinerjanya dan ketahanan mental ketika menemui kesulitan dalam bekerja.

  b. Dedication Merupakan suatu kondisi dimana karyawan merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa kebermaknaan, antusiasme, kebangaan, inspirasi dan tantangan. Selain itu merasa bahwa pekerjaan yang dilakukan tersebut dapat memberikan inspirasi yang signifikan bagi dirinya baik secara sosial maupun personal.

  c. Absorption Merupakan suatu kondisi dimana karyawan merasa waktu berjalan sangat cepat karena terlarut dalam pekerjaannya. Karyawan merasa kesulitan untuk lepas dari pekerjaannya. Dalam kondisi ini karyawan mencurahkan konsentrasinya secara penuh pada pekerjaannya dan memiliki rasa kesenangan hati untuk terus bekerja. Dimensi work engagement yang dikemukakan oleh Schaufeli dan Baker yang juga didukung pendapat Lockwood (2007) yang menyatakan bahwa work

  

engagement mempunyai tiga dimensi yang merupakan perilaku utama, aspek

  tersebut mencakup:

  a. Membicarakan hal-hal positif mengenai organisasi pada rekannya dan merefrensikan organisasi tersebut pada pekrjaan dan pelanggan potensial.

  b. Memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi anggota organisasi tersebut meskipun terdapat kesempatan untuk bekerja ditempat lain. c. Memberikn upaya dan menunjukaan perilaku yang keras untuk berkontribusi dalam kesuksesan organisasi.

  Berdasarkan uraian diatas, apek work engagement menurut Schaufeli & Bakker (2006) dibagi menjadi tiga yaitu vigor, dedication, dan absorption. Vigor berkaitan dengan kegembiraaan dan kerelaan dalam bekerja, dedication berkaitan dengan keterikatan kuat dengan pekerjaanya, dan absorption berkaitan dengan kondisi karyawan yang merasa waktu berjalan dengan cepat ketika bekerja.Selain pendapat diatas, menurut Lockwood (2007) work engagement mencakup tiga hal yaitu membicarakan hal-hal positif menegenai organisasi, memiliki keinginan kuat untuk menjadi anggota organisasi, dan memberikan upaya dan kontribusi dalam kesuksesan organisasi.

  Pertimbangan penulis dari teori yang telah dijabarkan diatas, maka penulis menggunakan tiga aspek dari Schaufeli & Bakker (2006). Ketiga aspek tersebut adalah vigor, dedication, dan adsorption. Alasan pemilihan aspek diatas dikarenakan teori Schaufeli memiliki dasar teori yang kuat dibandingkan dengan teori yang lainya. Selain itu ketiga aspek tersebut mampu mencakup dimensi fisik, kognitif, afektif, dan emosional.

3. Faktor yang mempengaruhi

  Menurut Lockwood (2007) engagement merupakan konsep yang kompleks dan dipengaruhi banyak faktor. Faktor tersebut meliputi: a. Budaya di Tempat Kerja

  Budaya yang baik akan memberikan peran yang kuat untuk membentuk sikap supportive serta komunikasi yang baik akan memberikan nilai tambah bagi perusahaan/organisasi. Keadilan dan kepercayaan sebagai nilai organisasi juga memberikan dampak positif bagi terciptanya keterikatan karyawan. Hal tersebut akan memberikan persepsi bagi karyawan bahwa setiap karyawan mendapat dukungan dari organisasi.

  b. Komunikasi Organisasional Komunikasi yang baik antara rekan kerja sangat dibutuhkan didalam proses organisasi. Komunikasi yang baik akan membuat karyawan merasa nyaman di lingkungan kerja dan secara tidak langsung meningkatkan produktivitas kerja.

  c. Gaya manajerial Gaya manajerial terkait dengan bagaimana pemimpin memanajemen karyawannya. Pemimpin dalam perusahan harus memiliki komitmen terlebih dahulu dalam pekerjaanya selain itu dibutuhkan konsistensi pemimpin dalam mementoring karyawan dalam menciptakan keterikatan karyawan.

  d. Penghargaan Sistem penghargaan juga merupakan faktor yang penting dalam membangun kateriktan dengan karyawan.hal ini dapat membuat karyawan merasa dihargai dengan setiap apa yang dikerjakan sehingga hal ini dapat menjadi dorongan yang positif untuk dapat bisa bergerak maju mengembangkan diri dan perusahaan. e. Kepemimpinan Model kepemimpinan akan mempengaruhi bagaimana karyawan bertindak. Kepemimpinan yang menganut sistem yang baik akan memberikan kesempatan karyawan untuk mengembangkan diri didalam perusahaan. Kepemimpinan menjadi modal utama untuk mengerakkan sistem organisasi.

  f. Repuasi Perusahaan Dengan adanya reputasi yang baik maka karyawan akan memiliki pandangan yang baik tentang perusahaan maka hal ini dapat menjadi modal ketertarikan karyawan terhadap perusahaan. Schaufelli dan Bakker (2003) menyatakan bahwa work engagement pada dasarnya dipengaruhi oleh dua hal yaitu: a. JD-R (job demand-resources model) meliputi beberapa aspek seperti:

  1. Lingkungan fisik, dan organisasi Kenyamanan dalam bekerja sangat diperlukan dalam organisasi.

  Dengan lingkungan yang baik karyawan akan mampu bekerja lebih lama karena lingkungan yang nyaman.

  2. Gaji, peluang untuk berkarir Dengan adanya sistem yang baik di organisasi karyawan akan merasa dihargai dan apa yang dikerjakannya sangat dipertimbangakan oleh atasan. Adanya gaji yang benar, sistem kenaikan jabatan yang adil akan membentuk keterkaitan dengan karyawan.

  3. Dukungan supervisior dan rekan kerja Dukungan dari orang-orang di lingkungan kerja menjadi dorongan secara psikologis sehingga karyawan tidak hanya kuat secara fisik tetapi juga kuat secara mental.

  4. Performance feedback Penilaian terhadap prestasi bekerja akan menjadi dorongan bagi karyawan untuk bergerak maju sehingga akan membentuk keteriktan terhadap pekerjaanya dan perusahannya.

  b. Model psikologis capital (psychological capital).psychological capital meliputi:

  1. Kepercayaan diri

  2. Rasa optimis

  3. Harapan mengenai masa depan

  4. Rasa resiliansi Dari penjelasan yang telah dijabarkan diatas, faktor yang dapat mempengaruhi terciptanya rasa engaged pada karyawan meliputi budaya organisasi, penghargaan, lingkungan kerja, dukungan dari rekan kerja, komunikasi organisasi. Selain itu, faktor yang juga mempengaruhi work engagement dari model JD-R (job demand-resources model) meliputi lingkungan fisik, dan organisasi; gaji, peluang untuk berkarir; dukungan supervisior dan rekan kerja;

  

performance feedback . Sedangkan pada model psikologi capital (psychological

  

capital ) meliputi kepercayan diri, rasa optimis, harapan mengenai masa depan dan

rasa resiliansi.

  Dari penjelasan diatas, dari pertimbangan penulis dengan didukung dengan kondisi perusahaan yang akan dijadikan sebagai tempat penelitian, maka penulis menggunakan teori dari Lockwood (2007). Dari beberapa faktor yang dijabarkan maka budaya organisasi akan menjadi faktor yang dominan dalam penelitian ini.

  Sehingga budaya organisasi merupakan variabel bebas dalam penelitian ini.

B. Budaya Organisasi

1. Pengertian Budaya Organisasi

  Menurut Kamus Ilmiah Populer budaya ialah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar untuk diubah. Budaya merupakan konsep yang sangat penting dalam memahami masyarakat kelompok manusia untuk waktu yang sangat lama. Sedangkan organisasi ialah kelompok kerja sama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama (Novia, 2008).

  Budaya organisasi adalah mengenai aspek subjektif dari apa yang terjadi di dalam suatu perusahaan, mengacu kepada abstraksi seperti nilai dan norma yang meliputi seluruh atau bagian suatu bisnis (Luthnas 2006). Budaya organisasi dapat didefinisikan sebagai perangkat system nilai-nilai (values), keyakinan-keyakinan (beliefs), asumsi-asumsi (assumption), atau norma-norma yang telah lama berlaku, disepakati dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan pemecahan masalah-masalah oranisasinya. Budaya organisasi juga disebut budaya perusahaan, yaitu seperangkat nilai-nilai atau norma-norma yang telah relatif lama berlakunya, dianut bersama oleh para anggota organisasi (karyawan) sebagai norma perilaku dalam menyelesaikan masalah-masalah organisasi (perusahaan). Dalam budaya organisasi terjadi sosialisasi nilai-nilai dan menginternalisasi dalam diri para anggota, menjiwai orang per orang didalam organisasi. Dengan demikian maka buaya organisasi merupakan jiwa organisasi dan jiwa para anggota organisasi (Killmann, 1988)

  Selain itu teori lain menyebutkan bahwa budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal (Mangkunegara, 2005).

  Sejalan dengan teori diatas menyebutkan bahwa budaya organisasi merupakan pola keyakinan nilai-nilai organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktekkan oleh organisasi. Hal tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi sehingga mempunyai volume dan beban kerja yang harus diwujudkan guna mencapai tujuan organisasi (Davis, 2004).

  Berdasarkan uraian teori diatas dapat dimengerti bahwa budaya organisasi memiliki kontribusi yang vital diperusahaan. Budaya organisasi berperan sebagai aturan untuk bertindak di lingkungan perusahaan. Pentingnya budaya organisasi harus dipahami dan dihayati oleh setiap karyawan maupun petinggi perusahaan.

  Maka dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya organisasi adalah suatu keyakinan yang dimiliki oleh organisasi tentang nilai, aturan keyakinan yang digunakan untuk pedoman dalam berperilaku dalam organisasi dan pedoman dalam pemecahan permasalahan yang ada di organisasi atau perusahaan.

2. Pembentukan Budaya Organisasi

  Menurut Ndraha (2003) terbentuknya budaya oganisasi tidak dalam sekejap, tidak bisa dikarbid. Pembentukan budaya organisasi diawali oleh para pendiri. Hal ini ditegaskan oleh Schein (Sobirin, 2007) yang menjelaskan proses pembentukan budaya organisasi mengikuti alur sebagai berikut : a. Para pendiri dan pemimpin lainnya membawa serta satu set asumsi dasar, nilai, prespektif, artefak ke dalam organisasi dan menanamkannya kepada karyawan.

  b. Budaya muncul ketika para anggota organisasi berinteraksi satu sama lain untuk memecahkan masalah-masalah pokok organisasi yakni masalah integritas internal dan adaptasi eksternal.

  c. Secara perorangan, masing-masing anggota organisasi boleh jadi menjadi seseorang pencipta budaya organisasi baru (culture creator ) dan mengembangkan berbagai cara untuk menyelesaikan persoalan-persoalan individu seperti persoalan identitas diri, kontrol, dan pemenuhan kebutuhan serta bagaimana agar bisa diterima oleh lingkungan yang diajarkan kepada generasi penerus.

  Sedangkan Greenberg dan Baron (2003) memberi perhatian pada tiga hal yang dapat menciptakan budaya organisasi, yaitu: a.Company founder (pendiri perusahaan) Budaya organisasi dapat dilacak, paling tidak sebagian, pada pendiri perusahaan. bagaimana organisasi harus bekerja, karena pendiri memainkan peranan penting dalam menerima staf pada awalnya, maka sikap dan niai-nilai setiap disampaikan pada pekerja baru. Sebagai hasilnya, pandangan mereka diterima orang dalam organisasi dan tepat seperti yang diinginkan selama pemberdiri masih berperan.

  b. Experience with the environment (pengalaman dengan lingkungan) Budaya organisasi berkembang diluar pengalaman organisasi dengan lingkungan eksternal.Setiap organisasi harus menemukan celah bagi dirinya dalam industri pasar. c.Contact with Others (hubungan dengan orang lain)

  Budaya organisasi juga berkembang diluar kontak antara kelompok individu dalam organisasi yang datang berbagi interprestasi kejadian dan tindakan dalam organisasi.

  Berdasar uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa teori yang menyatakan tentang pembentukan budaya organisasi disuatu perusahaan.

  Pemahaman terbentuknya budaya organisasi disuatu perusahan sangat penting untuk keberlagsungan proses organisasi. Hal ini akan berdampak pada perilaku karyawan saat bekerja dan berperilaku di lingkungan perusahaan.

  Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, disetiap perusahaan budaya organisasi tidak dapat berdiri secara instan melainkan membutuhkan waktu yang cukup lama.

  Berdasar teori diatas terciptanya budaya organisasi terdapat 3 tahap antara lain: pendiri perusahaan, proses interaksi dengan lingkungan dan orang lain, dan

3. Karakteristik Budaya Organisasi

  Menurut Luthans (2006) terdapat sejumlah karakteristik penting budaya organisasi. Beberapa diantaranya adalah: a. Aturan perilaku yang diamati, yaitu ketika anggota organisasi berinteraksi satu sama lain dengan menggunakan bahasa, istilah, dan ritual umum yang berkaitan dengan rasa hormat dan cara berperilaku.

  b. Norma, artinya adalah adanya standar perilaku, mencakup pedoman mengenai seberapa banyak pekerjaan yang dilakukan, yang dalam banyak perusahaan menjadi “Jangan melakukan terlalu banyak; Jangan terlalu sedikit.”

  c. Nilai dominan, dimana organisasi di jadikan perusahaan sebagai tolok ukur operasional dalam menjalankan perusahaaan. Serta di mana organisasi mendukung dan berharap peserta membagikan nilai-nilai utama yang ada sehingga nilai utama perusahaan dapat terrealisasikan dengan baik kepada seluruh anggota perusahaan.

  d. Aturan, terdapat pedoman ketat berkaitan dengan pencapaian perusahaan.

  Pendatang baru harus memelajari teknik dan prosedur yang ada agar dapat diterima sebagai anggota kelompok yang berkembang.

  e. Iklim organisasi, merupakan keseluruhan “perasaan” yang disampaikan dengan pengaturan yang bersifat fisik, cara anggota berinteraksi, dan cara anggota organisasi berhubungan dengan pelanggan dan individu dari luar. Menurut Robbins (dalam Egi Apriyanto, 2015) terdapat 10 karakteristik yang apabila dicampur dan dicocokan, akan menjadi budaya organisasi. Kesepuluh a. Inisiatif individual adalah tingkat tanggung jawab, kebebasan atau independensi yang dipunyai setiap individu dalam mengemukakan pendapat. Inisiatif individu tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pemipin suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untuk memajukaan dan mengembangkan organisasi.

  b. Toleransi terhadap tindakan beresiko, dalam budaya organisasi perlu ditekankan sejauhmana para pegawai dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovatif, dan mengambil resiko. Suatu budaya organisasi dikatakan baik, apabila dapat memberikan toleransi kepada anggota, atau para pegawai untuk dapat bertindak agresif dan inofatif untuk memejukaan organisasi serta berani mengambil resiko terhadap apa yang dilakukannya.

  c. Pengarahan dimaksudkan sejauhmana suatu organisasi atau perusahaan dapat menciptakan dengan jelas tercantum dalam visi, misi, dan tujuan organisasi.

  Kondisi ini dapat berpengaruh dengan kinerja organisasi.

  d. Integritas dimaksudkan sejauhmana suatu organisasi atau perusahaan dapat mendorong unit-unit organisasi untuk bekerja dengan cara terkoordinasi.

  Kekompakan unit-unit organisasi dalam bekerja dapat mendorong kualitas dan kuantitias pekerjaan yang dihasilkan e. Dukungan menajemen dimaksudkan sejauhmana para manajer dapat memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas terhadap bawahan. Perhatian manajer terhadap bawahan (karyawan) sangat membantu kelancaran kinerja atau organisasi.

  f. Alat kontrol yang dapat dipakai adalah peraturan-peraturan atau norma-norma dan tenagga pengawas atau atasan langsung yang dapat digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku suatu organisasi.

  g. Identitas dimaksudkan sejauhmana para anggota atau pegawai suatu organisasi dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai suatu satu kesatuan dalam organisasi dan bukan sebagai kelompok kerja tertentu atau keahlian professional tertentu. Identitas diri sebagai satu kesatuan dalam organisasi sangat membantu manajemen dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi.

  h. Sistem imbalan dimaksudkan sejauhmana alokasi imbalan (kenaikan,gaji promosi dan sebagainya) didasarkan atas prestasi kerja pegawai, bukan didasarkan atas senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya. Sistem imbalan yang didasarkan atas prestasi kerja pegawai dapat mendorong pegawai suatu organisasi atau untuk bertindak dan berperilaku inovatif dan mencari prestasi kinerja yang maksimal sesuai kemampuan dan keahlian yang dimilikinya.

  Sebaliknya sistem imbalan yang didasarkan pada senioritas, dan pilih kasih, akan berakibat tenaga kerja yang memiliki kemapuan dan keahlian dapat berperilaku pasif dan frustasi. i. Toleransi terhadap konflik, sejauhmana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka. Perbedaan pendapat merupakan fenomena yang sering terjadi dalam suatu organisasi. Namun perbedaan pendapat atau kritik yang terjadi bias dijadikan sebagai media untuk melakukan perbaikan dan perubahan strategi demi mencapai tujuan suatu organisasi. j. Pola komunikasi, sejauhmana komunikasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal. Kadang-kadang hirearki kewenangan dapat menghambat terjadinya pola komunikasi antara atasan dan bawahan atau antar pegawai itu sendiri.

  Beberapa uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat banyak karakteristik yang dapat dijadikan sebagai ukuran dalam kekuatan organisasi untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Pemahaman anggota terhadap budaya organisasi sangat penting baik bagi organisasi maupun anggota itu sendiri yaitu dapat memberikan arahan dan pedoman dalam berperilaku didalam organisasi, mendorong sumber daya manusia untuk lebih mengembangkan potensinya, serta sebagai pedoman penentu kebijakan yang berkenaan dengan ruang lingkup kegiatan organisasi.

  Karakteristik budaya organisasi yang digunakan penulis dalam penelitian mengacu pada pendapat Luthans (2006) yaitu: aturan perilaku yang diamati,norma, nilai dominan, filosofi, aturan, iklim organisasi. Peneliti menggunakan karakteristik diatas karena peneliti ingin mengungkap budaya organisasi yang dimiliki oleh perusahaan melalui karakteristik tersebut. Peneliti mengungkap budaya organisasi melalui penilaian diri tiap karyawan terhadap budaya organisasi yang dimiliki melalui karakteristik tersebut.

C. Hubungan antara Work Engagement dengan Budaya Organisasi pada

  

Karyawan PT Harian Bernas

  Menurut Robbins (2007) di dalam budaya kuat, nilai inti organisasi dipegang secara mendalam dan dianut secara meluas. Semakin banyak anggota organisasi yang menerima nilai-nilai inti suatu organisasi tersebut dan semakin besar komitmen individupada nilai-nilai tersebut, maka semakin kuat budaya tersebut mempengaruhi perilaku anggota-anggota organisasi terutama didalam karyawan melaksanakan pekerjaan sehari-hari. Kuat atau lemahnya suatu budaya dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti ukuran suatu organisasi, berapa lama organisasi tersebut berdiri, pewarisan (learning process) yang dilakukan oleh pendiri atau pemilik perusahaan dalam hal mencetuskan nilai-nilai yang dianut perusahaannya. Kuatnya suatu budaya dapat dilihat juga melalui rendahnya tingkat

  turnover atau keluar masuknya karyawan (Robbins, 2007).

  Budaya organisasi dikatakan sebagai suatu perilaku yang sudah menjadi kebisaan, keyakinan dan menjadi persepsi bersama seluruh yang terlibat di dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi dan hal tersebut yang menjadikan ciri khas perusahaan untuk membedakan perusahaan tersebut dengan perusahaan lainnya. Budaya yang sesuai harapan adalah budaya yang diinginkan oleh karyawan perusahaan dan budaya yang tidak sesuai harapan adalah budaya yang tidak seperti diinginkan oleh karyawan perusahaan (Akbar, 2013). Konsep budaya organisasi tersebut dapat mempengaruhi work engagement ketika budaya perusahaan sesuai harapan karyawan maka engagement dari karyawan akan tinggi, begitu juga sebaliknya ketika budaya dalam perusahaan tersebut tidak sesuai harapan dari karyawan maka engagement dari karyawan akan rendah (Akbar, 2013) Agar budaya organisi memiliki pengaruh yang baik bagi karyawan maupun perusahaan maka budaya organisasi haruslah memenuhi karakeristik tertentu.

  Karakteristik tersebut akan membentuk suatu kebisaan, keyakinan dan persepsi pada karyaawan. Karakteristik yang dapat mempengaruhi budaya organisasi adalah aturan perilaku yang diamati , norma,nilai dominan , filosofi , aturan dan iklim organisasi (Luthnas, 2006). Karakteristik tersebut akan dibahas satu persatu dalam kaitannya dengan work engagement.

  Karakteristik aturan perilaku yang diamati menurut Beach (dalam Sumarwanto, 2010) budaya merupakan inti dari apa yang penting dalam organisasi.

  Seperti aktivitas memberi perintah dan larangan serta menggambarkan sesuatu yang dilakukan dan tidak dilakukan yang mengatur perilaku anggota. Karyawan yang memahami perilaku yang boleh dan tidak dilakukan diperusahaan biasanya mengerti bagaimana caranya bertindak sehingga tidak akan menghambat kinerjanya. Sebaliknya, jika karyawan tidak memahaminya maka perilaku yang akan ditunjukaan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh perusahaan sehingga akan menghambat kinerjanya (Yadnyawati, 2012). Dijelaskan menurut Amstrong dan Baron (dalam Wibowo, 2010) bahwa kinerja memiliki korelasi positif dengan engagement pada karyawan. Hal ini senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Yadnyawati (2012) yaitu adanya hubungan antara budaya organisasi dengan work engagement yang mana budaya organisasi akan terbentuk

  Kemudian untuk karakteristik norma, menurut Luthnas (2006) yaitu berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan. Norma yang ditetapkan akan membentuk perilaku karyawan yang bertanggung jawab terhadap pekerjaanya. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa norma yang diterapkan akan mengatur perilaku sehingga rasa tanggung jawab terjalin dengan baik. Sebaliknya, jika norma tidak diterapkan dengan baik maka akan terjadi rasa acuh terhadap pekerjaanya. Lockwood (dalam Mujiasih, 2012) menyatakan bahwa adanya hubungan timbal balik antara norma dengan rasa engaged yang mana dengan norma yang baik akan membentuk tanggung jawab yang baik pada pekerjaanya sebaliknya dengan rasa engaged yang tinggi maka karyawan memiliki persepsi positif pada norma di perusahaan.

  Selanjutnya mengenai karakteristik nilai dominan, dikatakan sebagai (1) sebuah konsep atau keyakinan (2) tentang tujuan akhir atau sebuah perilaku yang patut dicapai (3) yang bersifat transendental untuk situasi tertentu (4) menjadi pedoman untuk memilih atau mengevaluasi perilaku atau sebuah kejadian dan (5) tersusun sesuai dengan arti pentignya (Schein, 2010). Nilai yang baik dalam sebuah organisasi akan menjadikan anggota organisasi menerima keterikatannya pada nilai organisasional yang berlaku, sehingga meningkat pula komitmen terhadap keberhasilan sistem nilai yang dianut. Sebaliknya jika nilai yang dianut tidak sesuai maka akan menjadikan anggota organisasi menolak untuk terikat dengan perusahaan sehingga komitmen yang dimiliki menurun dan turnover akan meningkat (Siagian 2003). Menurut Luthans (2006) mengungkapkan bahwa budaya organisasi, sehingga semakin tampak pengaruhnya pada rasa enagement pada karyawan.

  Karakteristik filosofi, karyawan yang memiliki keselarasan nilai-nilai dengan perusahaan akan memiliki keterikatan yang tinggi. Itulah sebabnya budaya organisasi yang baik biasanya meletakkan dasar filosofi nilai-nilai ideologis atau humanis sebagai fondasinya (Hermala, 2009). Lebih lanjut dijelaskan bahwa memiliki fondasi filosofi yang kuat akan membentuk nilai yang baik sehingga perusahaan akan berdiri dengan baik selanjutnya karyawan akan menerima perusahaan dan memiliki komitmen, loyalitas, dan rasa percaya. Sebaliknya jika fondasi filosofi yang kurang akan menurunkan derajat perusahaan sehingga karyawan tidak memimiliki komitmen, loyalitas dan rasa percaya pada perusahaan. Perusahaan yang memiliki skor tinggi pada karakteristik filosofi tersebut kemungkinan memiliki karyawan yang engaged dengan pekerjaanya. Sebaliknya jika skor filosofi yang buruk pada perusahaan akan membawa perilaku karyawan yang tidak engaged pada pekerjaan maupun pada perusahaanya (Hermala, 2009).

  Kemudian untuk karakteristik aturan, dikatakan oleh McBain (dalam Mudjiasih, 2012) aturan dibuat oleh pemimpin perusahaan maka pemimpin perusahaan harus memiliki konsistensi dalam memonitoring karyawan.

  Memonitoring dapat dilakukan dengan memberikan pengawasan secara menyeluruh pada karyawan sehingga perilaku yang ditunjukkan tidak menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Selain itu pengawasan secara berkala akan meningkatkan perilaku disiplin pada karyawan. Hal ini menjadi jalan bagi manajer disebut sebagai penggerak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa aturan yang bagus akan membentuk perilaku karyawan dengan baik sehingga akan meningkatkan engaged karyawan pada pekerjaanya. Sebaliknya aturan yang kurang baik akan mengubah perilaku karyawan menjadi tidak teratur. Lebih lanjut perilaku karyawan yang tidak teratur akan menghambat karyawan dalam bekerja sehingga pekerjaan yang dilakukan menjadi tidak produktif dan tidak memiliki tanggung jawab pada pekerjaanya. Senada dengan hal tersebut, pendapat yang dikemukakan oleh Yadnyawati (2012) bahwa aturan, nilai dan norma pada perusahaan akan membentuk perilaku sehingga mampu membentuk komitmen dan totalitas (engaged) pada karyawan. Lebih lanjut jika aturan, nilai dan noram tidak diterapkan dengan baik maka perilaku yang terbentuk tidak akan menunjukkan adanya komitmen pada pekerjaanya dan kurangnya totalitas dalam bekerja.

  Berlanjut ke karakteristik iklim organisasi, McBraim (dalam Mudjiasih, 2012) mengatakan bahwa dalam budaya organisasi untuk menciptakan lingkungan yang kondusif biasanya merupakan bagian dari nilai organisasi yang dikembangkan dari filosofi dasarnya. Nilai ini biasanya tertuang dalam salah satu prinsip atau asas yang mendasari pola interaksi antar sesama karyawan. Prinsip-prinsip semacam itu mencakup lingkungan kerja yang kondusif. Kenyamanan kondisi lingkungan kerja menjadi pemicu terciptanya work engagement pada karyawan. Denison (dalam Erni, 2004) mencatat bahwa secara umum iklim organisasi berkaitan dengan situasi, paradigma, perasaan dan perilaku anggota organisasi. Semakin baik suatu iklim organisasi pada suatu organisasi maka situasi, paradigma, perasaan dan meningkat. Sebaliknya jika iklim organisasi buruk maka situasi, paradigma, perasaan dan perilaku anggota organisasi akan buruk sehingga akan menyebabkan penurunan kinerja pada karyawan. Lebih lanjut lagi dijelaskan Luthans (2006) bahwa iklim organisasi memiliki kontribusi pada peningkatan rasa engagement pada karyawan. Iklim organisasi yang baik akan meningkatkan rasa loyal pada pekerjaanya dan perusahaanya.

  Skema hubungan Budaya Organisasi dengan Work Engagement dapat dilihat pada bagan berikut: BUDAYA ORGANISASI

  Iklim Aturan Perilaku

  Norma Nilai Filosofi Aturan Organisas yang diamati i Karyawan yang

WORK ENGAGEMENT

  memiliki rasa engaged memiliki rasa totalitas dalam bekerja diwujudkan dengan perilaku memberikan usaha yang maksimal, antusias, mencurahkan tenaganya untuk bekerja.

D. Hipotesis

  Berdasarkan kajian teorits sebelumnya, maka rumusan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan positif antara budaya organisasi dengan work engagement pada karyawan Harian Bernas. Semakin positif budaya organisasi maka akan semakin tinggi work engagement pada karyawan Harian Bernas. Sebaliknya, jika semakin negatif budaya organisasi maka akan semakin rendah work engagement pada karyawan.