13.11.0005 LTP Eric Christianto Hantoro BAB V

BAB V KAJIAN TEORI

5.1. Kajian Teori Penekanan/Tema Desain

  “Arsitektur Kontekstual”

5.1.1. Interpretasi dan Elaborasi Tema Desain

a. Pengertian Arsitektur Kontekstual

  Definisi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengenai:

  • Arsitektur adalah 1. Seni dan ilmu merancang serta membuat konstruksi bangunan, jembatan, dsb. 2. Metode dan gaya rancangan suatu konstruksi bangunan.
  • Kontekstual adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan konteks.
  • Konteks itu sendiri memiliki arti yaitu situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Sehingga arsitektur kontekstual secara terminologi dapat diartikan sebagai sebuah metode perancangan yang mengkaitkan dan menyelaraskan bangunan baru dengan karakteristik lingkungan sekitar.

  Menurut Brent C. Brolin (1980. Architecture in Context), Kontekstualisme adalah kemungkinan perluasan bangunan dan keinginan mengkaitkan bangunan baru dengan lingkungan sekitarnya. Seorang arsitek atau perencana bangunan dianjurkan untuk memperhatikan dan menghormati lingkungan fisik sekitarnya, mengutamakan kesinambungan visual antara bangunan baru dengan bangunan, landmark, bahkan gaya setempat yang keberadaannya telah diakui sebelumnya.

  Sedangkan menurut Billy Raun, Kontekstual menekankan bahwa sebuah bangunan harus mempunyai kaitan dengan lingkungan (bangunan yang berada di sekitarnya). Keterkaitan tersebut dapat dibentuk melalui proses menghidupkan kembali nafas spesifik yang ada dalam lingkungan (bangunan lama) ke dalam bangunan yang setelahnya. Dalam pemikiran kontekstual, kehadiran bentuk bangunan bukan secara spontan, tetapi berdasarkan bentuk yang telah diakui oleh masyarakat sekelilingnya. Prinsip ini mencakup pengertian bahwa kehadiran suatu bentuk merupakan pengembangan atau variasi dari suatu kondisi yang telah mapan sebelumnya.

  Secara garis besar pengertian dari arsitektur kontekstual adalah sebuah metode pendekatan perancangan arsitektur, dimana rancangan akan diwujudkan dengan adanya kesinambungan dengan lingkungan sekitarnya.

b. Kriteria Arsitektur Kontekstual

  Berikut adalah kriteria arsitektur kontekstual adalah: - Motif dari desain bangunan di sekitarnya yang diulang.

  • Adanya penyesuaian dan pendekatan bentuk, pola, irama, ornamen, tatanan ruang terhadap arsitektur setempat yang sudah ada.
  • Adanya desain baru sebagai penunjang kualitas desain di sekitarnya yang sudah ada.

c. Aspek Arsitektur Kontekstual

  Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Arsitektur Kontekstual:

  • Bentuk dan persepsi arsitektur:

  Bentuk bangunan menunjukkan citra arsitektur yang kuat mengenai karakteristik lingkungan sekitarnya

  • Arsitektur sekitar:

  Arsitektur kontekstual tidak egois, menyatu dan melebur dengan arsitektur sekitarnya, sehingga memunculkan keharmonisan desain.

  • Fungsi sesuai kebutuhan konteks:

  Selain bentuk, fungsi keseluruhan bangunan juga harus tepat dengan kebutuhan konteks lingkungan sekitarnya.

  • Estetika konteks:

  Walaupun tidak mementingkan desain sendiri, estetika konteks harus tetap terjaga ritmenya ke dalam desain arsitektur yang baru.

  • Pola keruangan dan pola peristiwa:

  Pola-pola ini adalah elemen dari budaya manusia setempat, ditemukan, disebarkan oleh budaya, dan termanifestasi dalam sebuah ruang (Alexander, 1979, hal. 92).

  Teori Gestalt (Gestalt Psychology: The Definitive Statement of the Gestalt Theory, 1970):

  Merupakan sebuah teori yang membahas tentang persepsi manusia terhadap sebuah keseluruhan, kesatua bentuk yaitu gestalt psychology. Gestalt merupakan bahasa Jerman yang dapat diartikan sebagai bentuk (essence or shape of an entity’s complete form). Teori ini dikemukakan oleh Max Weitheimer, Kurt Koffka, dan Wolfgang Kohler, menitikberatkan pada bagaimana hubungan antara bentuk-bentuk yang dapat kita temukan di sekitar akan berpengaruh terhadap persepsi kita terhadap suatu kesatuan, keseluruhan. Oleh karena itu, teori ini terkenal lewat frase “the whole is greater than a sun of the parts”. Hal ini bisa dikatakan sejalan dengan pembahasan tentang konteks, yang tentunya tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai bagaimana elemen-elemen tertentu saling bersinergi membentuk sebuah kesatuan.

  Terdapat enam hukum utama yang sering dijumpai pada teori ini: Hukum kedekatan (Law of Proximity)

  • ”Benda-benda yang berdekatan akan saling membentuk satu kesatuan.” Hukum kesamaan (Law of Similarity)
  • Benda-benda yang memiliki kesamaan akan membentuk satu kumpulan bentuk. Hukum kontinuitas (Law of Good Contination)
  • Manusia cenderung mempersepsikan suatu gerak bentuk yang berkelanjutan dalam suatu pola yang baik Hukum ketertutupan (Law of Closure) - Manusia cenderung akan mengisi kekosongan pada pola objek atau pengamatan yang tidak lengkap dengan mempersepsikannya sebagai suatu bentuk lengkap atau utuh. Hukum Pragnanz (Law of Pragnanz)
  • Manusia cenderung untuk menyederhanakan bentuk yang kompleks menjadi gabungan bentuk-bentuk sederhana yang mudah dipahami. Hukum bentuk dan latar (Law of Figure/Ground)
  • Setiap bidang pengamatan dapat dibagi menjadi dua, yaitu bentuk/figure dan latar belakang. Penampilan
suatu objek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang.

  Bila figure dan latar bersifat samar-samar maka yang terjadi adalah salah tafsir.

  Arsitektur kontekstual dibagi menjadi 2 kelompok (Brent

  C. Brolin, 1980):

  • Kontras (berbeda)

  Kontras pada bangunan sekarang dan yang telah ada dapat menciptakan lingkungan urban yang baik dan menarik, namun jika terlalu banyak akan menimbulkan kekacauan dan kesan “kaget”. Sebagai contoh, museum Louvre di Paris, Perancis.

Gambar 5.1. Museum Louvre, Paris, Perancis Sumber: en.wikipedia.org/wiki/Louvre, 2017

  • Harmoni (selaras)

  Dengan keselarasan dengan lingkungan, akan mewujudkan rasa menghargai dan simpati dengan lingkungan. Kehadiran bangunan baru tidak terkesan egois dan ingin menang sendiri. Sebagai contoh adalah bangunan-bangunan yang ada di Venice, Italia.

Gambar 5.2. Kompleks perumahan nelayan di Venice, Italia Sumber: travelchannel.sndimg.com, 2017

5.1.2. Studi Preseden

  Victorian Homes “Postcard Row” Berlokasi di Steiner Street, San Fransisco, Amerika Serikat.

  Pemukiman bergaya Victoria yang berkembang selama pemerintahan Ratu Victoria di Inggris. Di Amerika sendiri rumah bergaya arsitektur Victoria mulai berkembang antara tahun 1850 dan 1915.

Gambar 5.3. Kompleks perumahan bergaya Victoria di San Fransisco, Amerika Serikat.

  

Sumber: www.inetours.com, 2017

  Rumah bergaya Victoria memiliki simbol / lambang dan selera dari derajat pemiliknya. Penggemar gaya Victoria di San Fransisco menghiasi rumahnya dengan hiasan dan mengecat dengan warna – warna pelangi. Bangunan yang dibangun dan dikenal dengan nama Postcard Row, yang menarik dari pemukiman bergaya Victoria ini adalah walaupun pemiliknya mempunyai gaya dari simbol dan selera pemiliknya namun tetap kontekstual terhadap bangunan di sekitarnya. Sehingga yang terlihat adalah bangunan yang harmoni / selaras. Hingga saat inipun, bangunan baru yang dibangun disekitar kawasan perumahan ini juga menggunakan langgam arsitektur yang sama dan selaras dengan gaya bangunan yang sudah ada.

  Bangunan di Kecamatan Semarang Selatan. Berlokasi di sekitar Kecamatan Semarang Selatan, lebih tepatnya sepanjang Jalan Pahlawan, Imam Bardjo dan Menteri Supeno. Banyak bangunan pemerintah, maupun swasta menggunakan langgam arsitektur yang “serupa tapi tak sama”. Langgam yang terlihat disini didominasi oleh langgam arsitektur neo vernakular, terlihat dari bentuk- bentuk atapnya yang mengadopsi atap tradisional Jawa. Keserasian bentuk inilah yang membentuk citra arsitektur yang kuat di sepanjang Jalan Pahlawan, bahwa bangunan- bangunan disana bercitra perkantoran.

Gambar 5.4. Gedung DPRD Jawa Tengah di Jl. Pahlawan.

  Sumber: wartalegislatif.dprd.jatengprov. go.id, 2017 Gambar 5.5. Gedung PT.

  Telkom di Jl. Pahlawan.

  Sumber: www.seputarsemarang.com, 2017

Gambar 5.6. Gedung Kantor Bank Indonesia di Jl. Imam

  Bardjo. Sumber: www.seputarsemarang.com,

  2017

5.1.3. Kemungkinan Penerapan Teori Desain

  • Keterkaitan desain baru terhadap kawasan Kota Lama Semarang dalam bidang pelayanan pariwisata sebagai fasilitas yang terintegrasi dengan sistem kepariwisataan di Semarang.
  • Pencarian bentuk-bentuk yang sesuai konteksnya yang nantinya akan diterapkan ke dalam desain baru, yang secara visual sama atau mendekati arsitektur sekitarnya.

5.2. Kajian Teori Permasalahan Dominan / Core Issues

  Permasalahan dominan dari projek ini adalah Desain yang Mewujudkan Citra Pariwisata Jawa Tengah

5.2.1. Interpretasi dan Elaborasi Permasalahan Dominan

a. Definisi Citra

  Menurut KBBI, citra adalah 1 rupa; gambar; gambaran; 2 gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk; 3 kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi; 4 data atau informasi dari potret udara untuk bahan evaluasi.

  Secara keseluruhan, citra berkaitan dengan gambaran, kesan atau arti yang ditangkap, dipersepsikan oleh seseorang. Citra Arsitektural Dapat disimpulkan bahwa citra arsitektural adalah gambaran, persepsi yang ditangkap seseorang terhadap suatu produk arsitektur. Sebagai contoh, kebanyakan orang yang melihat bentukan kubah pada suatu bangunan pasti akan mengidentifikasi bangunan tersebut sebagai masjid, musholla atau bahkan gereja. Sedangkan bangunan dengan atap limasan dengan ornamen bentuk naga, warna merah, kebanyakan orang akan menafsirkan bangunan ini sebagai klenteng, vihara.

b. Aspek-Aspek Citra Arsitektural

  Citra arsitektural ini mengandung 2 aspek, diantaranya:

  • Aspek emosional (citra visual)

  Citra ini yang paling mudah ditangkap, karena manusia akan langsung menerima efek-efek visual suatu bangunan melalui pengamatan. Hampir semua simbol, tanda, bentuk, warna yang kasat mata akan diterima manusia untuk diinterpretasikan. Tanggapan manusia juga merupakan respon dari efek-efek yang ditimbulkan oleh bangunan mulai dari bahan, warna, dan sebagainya.

  • Aspek rasional (citra guna)

  Kata guna dalam citra ini merujuk pada keuntungan manfaat yang diperoleh. Guna tidak hanya bermanfaat dari segi material saja, tetapi juga berdaya guna bagi lingkungan di luar maupun di dalam bangunan.

  Arsitektur yang bercitraguna dapat memberdayakan penghuninya.

  “Secara keseluruhan citra menunjuk pada tingkat kebudayaan, sedangkan guna lebih menuding pada segi keterampilannya” (Y.B. Mangunwijaya, 1988).

c. Kriteria Citra Pariwisata Jawa Tengah

  Setelah mempelajari aspek-aspek dalam menciptakan citra arsitektural, disimpulkan bahwa dalam menciptakan citra pariwisata Jawa Tengah ke dalam bangunan:

  • Diperlukan tampilan fisik yang menjadi cerminan budaya sekitarnya dan juga pariwisata itu sendiri.
  • Keterampilan bangunan dalam mengolah fungsi didalamnya agar bisa berguna, bermakna bagi sekitarnya dalam konteks pariwisata.

5.2.2. Studi Preseden

  Kampoeng Semarang Merupakan bangunan pusat oleh-oleh, pusat kerajinan tangan di Kota Semarang. Bangunan yang berlokasi di Jl.

  Raya Kaligawe KM1 no. 96, Semarang ini, dibangun di atas tanah seluas 4.000 m2. Berjarak 3 Km dari Bandara Ahmad Yani dan 2 Km dari Pelabuhan Tanjung Mas (citra guna, karena terintegrasi dengan jalur pariwisata). Selain pusat oleh-oleh dan pusat perbelanjaan barang kerajinan, bangunan ini juga merupakan destinasi wisata kuliner.

  Pada bagian eksterior kurang terlihat adanya citra wisata belanjanya, tetapi pada bagian interior sangat terlihat citra Jawa Tengahnya yang ditunjukkan dengan adanya penataan, pemilihan material pada interior yang menciptakan citra bangunan wisata belanja (citra visual).

Gambar 5.7. Kampoeng Semarang.

  Sumber: www.aktualpost.com, 2017 Adapun yang menjadi pertimbangan dalam membentuk citra pariwisata Jawa Tengah dalam projek ini, adalah:

Gambar 5.9. Interior Kampoeng Semarang.

  Sumber: www.kampoengsemarang.com, 2017

  Sumber: www.semarangplus.com , 2017

5.2.3. Penerapan Teori Permasalahan Dominan / Core Issues

  • Eksterior maupun interior yang menampilkan unsur budaya Jawa Tengah, bisa dari atraksi, penataan ruang dalam yang menunjukkan material lokal, bentuk- bentuk atau simbol-simbol, dsb. (citra visual)
  • Integrasi fungsi bangunan dengan lingkungan dan sistem pariwisata itu sendiri. (citra guna) Gambar 5.8. Lantai satu, Bangunan Kampoeng Semarang.