KONSEP HADHANAH DALAM KASUS PERCERAIAN BEDA AGAMA DAN PENYELESAIANNYA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
KONSEP HADHANAH DALAM KASUS PERCERAIAN BEDA
AGAMA DAN PENYELESAIANNYA MENURUT HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar
Sarjana Hukum Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum
pada Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Alauddin Makassar
Oleh
SRY WAHYUNI
NIM: 10400113110
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu
.ﲔﻌﲨا ﻪﺒﺤﺻو ﻪـﻟا ﻰﻠﻋو , ﲔﻠﺳﺮﳌاو ءﺎﻴــﺒﻧﻷا فﺮﺷا ﻰﻠﻋ م ﻼـﺴﻟاو ة ﻼﺼﻟاو ﲔـﳌﺎﻌﻟا بر ﺪﻤﳊا
ﺪـﻌﺑ ﺎﻣاTiada kalimat yang paling pantas penyusun panjatkan selain puji syukur kehadirat Allah swt. atas segala limpahan Rahmat, Hidayah, Karunia serta izin-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Konsep Hadhanah dakam Kasus Perceraian Beda Agama dan Penyelesaiannya menurut Hukum Islam dan Hukum Positif)” sebagai ujian akhir program Studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Shalawat serta salam tak lupa penyusun hanturkan kepada Nabi Muhammad saw. yang menjadi penuntun bagi umat Islam.
Saya menyadari bahwa, tidaklah mudah untuk menyelesaikan skripsi ini. Tanpa bantuan dan doa dari berbagai pihak. Penyusun mengucapkan terima kasih yang teristimewa untuk kedua orang tua saya, Ayahanda tercinta Muhtar dan Ibunda tercinta Cindong yang tak henti-hentinya mendoakan, memberikan dorongan moril dan materiilnya, mendidik dan membesarkan saya dengan penuh cinta dan kasih sayang, serta kakak pertama saya alm. Kahar Muhtar dan kakak kedua saya Firman Muhtar atas semua perhatian dan kasih sayangnya.
1. Teruntuk Bapak Prof. Dr. Musafir Pababbari, M.Si, selaku Rektor UIN Alauddin Makassar,
2. Teruntuk Bapak Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Bapak Dr. H. Abd. Halim Talli, M.Ag, selaku Wakil Dekan bidang Akademik dan pengembangan lembaga, Bapak Dr. Hamsir, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan, Bapak Dr. H. M. Saleh Ridwan, M.Ag, selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Segenap Pegawai Fakultas yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Teruntuk Bapak Dr. Abdillah Mustari, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum dan Bapak Dr. Achmad Musyahid Idrus, M.Ag selaku Sekertaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar yang selalu memberikan bimbingan, dukungan, nasehat, motivasi demi kemajuan penulis.
4. Teruntuk Bapak Dr. Darsul Puyu, M.Ag dan Bapak Abdi Wijaya, S.S., M.Ag selaku pembimbing skripsi yang telah sabar memberikan bimbingan, dukungan, nasihat serta motivasi demi kemajuan penulis.
5. Teruntuk Ibu Dr. Fatmawati, M.Ag dan Ibu Dr. Sohrah, M.Ag selaku penguji skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun, nasihat serta motivasi demi kemajuan penulis.
6. Teman-teman seperjuangan di Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, terkhusus Angkatan 2013 “AR13ITER” Fakultas Syariah dan Hukum UIN
7. Sahabat-sahabat terbaik saya di kampus, Nur Naafilah Nurdin, Eka Sasmitha Karim, Fina Febrianti dan Fatmawati serta teman-teman satu bimbingan yang telah memberikan semangat dan bantuannya kepada saya selama penyusunan skripsi ini.
8. Sahabat-sahabat lama saya, Isya Nurkhalizah, Muliati Amrah, Muhammad Syahril Faizin, dan Gunawan Prasetyo yang selalu ada menemani dan memberikan semangat serta motivasi selama penyusunan skripsi ini.
9. Semua Pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuannya bagi penulis dalam penyusunan penulisan skripsi ini baik secara materiil maupun formil.
Penulis menyadari bahwa tidak ada karya manusia yang sempurna di dunia ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang membangun sehingga dapat memperbaiki semua kekurangan yang ada dalam penulisan hukum ini. Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Āmīn Yā Rabbal Alāmīn.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Samata,10 Juni 2017 Penulis, SRY WAHYUNI NIM : 10400113110
DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................................... i PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................................ ii PENGESAHAN ..................................................................................................... iii KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ ix ABSTRAK ............................................................................................................. xvii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1-14 A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................. 5 C. Pengertian Judul dan Ruang Lingkup Pembahasan ............................... 6 D. Kajian Pustaka ....................................................................................... 9 E. Metodologi Penelitian ........................................................................... 11 F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................... 13 BAB II KONSEP HADHANAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF.................................................................... 15-35 A. Hadhanah dalam Perspektif Hukum Islam ........................................... 15 B. Hadhanah dalam Perspektif Hukum Positif .......................................... 28 BAB III LANDASAN HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BEDA AGAMA ................................................................................ 36-57 A. Tinjauan Umum Tentang Pernikahan dan Perceraian ........................... 36 B. Perkawinan dan Perceraian Beda Agama .............................................. 45
viii
BAB IV PENYELESAIAN HUKUM HADHANAH DALAM KASUS PERCERAIAN BEDA AGAMA ....................................................... 58-71 A. Tinjauan Umum Tentang Penyelesaian Hukum Perceraian Beda Agama .................................................................................................... 58 B. Penyelesaian Sengketa Hadhanah Dalam Kasus Perceraian Beda Agama .................................................................................................... 65 BAB V PENUTUP ............................................................................................. 72-73 A. Kesimpulan ............................................................................................ 72 B. Implikasi Penelitian ............................................................................... 73 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 74-76 BIODATA PENULIS ............................................................................................ 77
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN DAN SINGKATAN
A. Transliterasi Arab-Latin
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat dilihat pada tabel berikut :
1. Konsonan
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
ا Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan
ب Ba B Beت Ta T Te ث ṡa ṡ es (dengan titik diatas)
ج Jim J Je ح ḥa ḥ ha (dengan titik dibawah)
خ Kha Kh ka dan ha د Dal D De
ذ Zal Z zet (dengan titik diatas)
ر Ra R Erز Zai Z Zet س Sin S Es
ش Syin Sy es dan ye ص ṣad ṣ es (dengan titik dibawah)
ض ḍad ḍ de (dengan titik dibawah) ط ṭa ṭ te (dengan titik dibawah)
ظ ẓa ẓ zet (dengan titik dibawah)
ع ‘ain ̒ apostrof terbalik غ
Gain G Ge
ف Fa F Ef ق
Qaf Q Qi
ك Kaf K Ka ل
Lam L El
م Mim M Em ن
Nun N En
و Wau W We ƿ Ha H Ha
ء Hamzah ̓̓ Apostrof ى
Ya Y Ye
Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda ( ̓ ).
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Vokal tunggal bahasa Arab yang lambanya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
َا fatḥah a A
ِا
Kasrah i
I
ُا ḍammah u U
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
َي fatḥah dan yā̓̓ ai a dan iَو fatḥah dan wau au a dan u
Contoh: ﻒﯿﻛ : kaifa ل ﻮھ : haula
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harakat dan Nama Huruf dan Nama Huruf tanda َي… / َا ….
Fatḥah dan alif atau yā̓̓ ā a dan garis di atas ي Kasrah dan yā ī i dan garis di atas
و ḍammah dan wau Ữ u dan garis di atas
Contoh: ت ﺎﻣ : māta ﻰﻣر : ramā ﻞﯿﻗ : qīla ت ﻮﻤﯾ : yamūtu
4. Tā marbūṭah
Tramsliterasi untuk tā’ marbūṭah ada dua yaitu: tā’ marbūṭah yang hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya adalah (t). sedangkantā’ marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya adalah (h).
Kalau pada kata yang berakhir dengan tā’ marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka tā’ marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h).
Contoh: ل ﺎﻔط ﻻا ﺔﺿ ور : rauḍah al-aṭfāl ﺔﻠﺿ ﺎﻔﻟا ﺔﻨﯾﺪﻤﻟا : al-madīnah al-fāḍilah ﺔﻤﻜﺤﻟا : rauḍah al-aṭfāl
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda tasydīd ( ﹼ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah.
Contoh: ﺎﻨﺑر : rabbanā
ﺎﻨﯿﺠﻧ : najjainā ﻖﺤﻟا : al-ḥaqq ﻢﻌﻧ : nu”ima وﺪﻋ : ‘duwwun Jika huruf ى ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf kasrah ( ـــــ ؠ ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah menjadi ī.
Contoh: ﻲﻠﻋ : ‘Ali (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly) ﻲﺑﺮﻋ : ‘Arabī (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf لا (alif lam ma’arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti biasa, al-,baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsyiah maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar ( - ).
Contoh : ﺲﻤﺸﻟا : al-syamsu (bukan asy-syamsu) ﺔﻟ ﺰﻟاﺰﻟا : al-zalzalah (az-zalzalah) ﺔﻔﺴﻠﻔﻟا : al-falsafah دﻼﺒﻟا : al- bilādu 7. Hamzah.
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof ( ‘ ) hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletah di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.
Contoh : نوﺮﻣﺎﺗ : ta’murūna عﻮﻨﻟا : al-nau’ ءﻲﺷ : syai’un تﺮﻣا : umirtu
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia, atau sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, atau lazim digunakan dalam dunia akademik tertentu, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya, kata al-Qur’an (dari al-Qur’ān), Alhamdulillah, dan munaqasyah. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh:
Fī Ẓilāl al-Qur’ān Al-Sunnah qabl al-tadwīn
9. Lafẓ al-jalālah ( )
Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau berkedudukan sebagai muḍā ilaih (frasa nominal), ditransliterasi tanpa huruf hamzah.
Contoh: ﷲ ﻦﯾد dīnullāh ﺎﺑ ﷲ billāh
Adapun tā’ marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al- jalālah, ditransliterasi dengan huruf (t).contoh: ﻢﮭﮭﻠﻟا ﺔﻤﺣر ﻲﻓ hum fī raḥmatillāh
10. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf capital (All caps), dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf capital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf capital, misalnya, digunakan untuk menulis huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap dengan huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). contoh:
Wa mā Muḥammadun illā rasūl Inna awwala baitin wuḍi’a linnāsi lallaẓī bi bakkata mubārakan Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fih al-Qur’ān Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī Abū Naṣr al-Farābī Al-Gazālī Al-Munqiż min al-Ḋalāl
Jika nama resmi seseorang menggunakan kata Ibnu (anak dari) dan Abū (bapak dari) sebagai nama kedua terakhirnya, maka kedua nama terakhir itu harus disebutkan sebagai nama akhir dalam daftar pustaka atau daftar referensi. Contoh:
Abū al-Walīd Muḥammad ibn Rusyd, ditulis menjadi: Ibnu Rusyd, Abū al-Walīd Muḥammad (bukan: Rusyd, Abū al-Walīd Muḥammad Ibnu)
Naṣr Ḥāmid Abū Zaīd, ditulis menjadi: Abū Zaīd, Naṣr Ḥāmid (bukan: Zaīd, Naṣr Ḥāmid Abū).
B. Daftar Singkatan
Beberapa singkatan yang dibakukan adalah: swt. : subḥānahū wa ta’ālā saw. : ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam a.s. : ‘alaihi al-salām H : Hijrah M : Masehi SM : Sebelum Masehi l. : Lahir tahun (untuk orang yang masih hidup saja) w. : Wafat tahun QS…/…: 4 : QS al-Baqarah/2: 4 atau QS Āli ‘Imrān/3: 4 HR : Hadis Riwayat
ABSTRAK
Nama : Sry Wahyuni NIM : 10400113110Judul : Konsep Hadhanah dalam Kasus Perceraian Beda Agama dan
Penyelesaiannya Menurut Hukum Islam dan Hukum PositifTujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan (1) konsep hadhanah dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif, (2) hadhanah dalam kasus perceraian beda agama, dan (3) penyelesaian hukum hadhanah dalam kasus perceraian beda agama menurut hukum Islam dan hukum Positif.
Dalam menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan pendekatan multi disipliner, yaitu pendekatan yuridis normatif (perundang-undangan), teologis normatif (hukum Islam), dan pendekatan ilmu lainnya yang relevan. Penelitian ini tergolong library research, di mana data dikumpulkan dengan mengutip, menyadur dan menganalisis literatur yang relevan dan memmpunyai relevansi dengan masalah yang dibahas, kemudian mengulas dan menyimpulkannya.
Hasil pembahasan dari penelitian ini fiqih Islam penyelesaian sengketa melalui at-tahkim diperbolehkan dalam perkara-perkara perdata dan
ahwalsyakhshiyah berupa pernikahan, dan termasuk masalah hadhanah.
Penyelesaian sengketa hadhanah melalui lembaga peradilan menurut menyimpulkan (1) hukum Islam dan hukum positif di Indonesia sudah mengatur dengan jelas persoalan hadhanah. Para fuqoha secara mendasar sepakat bahwa hadhanah adalah hak seorang ibu, ibunya ibu dan ke atas. Hukum positif di Indonesia baik UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan maupun KHI juga menyatakan hal yang sama. (2) Pernikahan seorang Muslim dan non Muslimah, khususnya Ahl al-Kitāb pada awalnya boleh dan legal, tetapi karena suatu pertimbangan siyāsahshar‘iyyah dan
maqāṣid al-syar’iyyah, maka kebolehan itu diperketat, bahkan ditutup dimana MUI
menetapkan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah; perkawinan laki-laki Muslim dengan perempuan ahl al-Kitab, berdasar qaulmu’tamad, adalah haram dan tidak sah. (3) dalam sengketa perceraian, anjuran damai menjadi satu asas hukum acara Peradilan Agama yang menjadi kewajiban pemeriksaan. Dalam fiqih Islam, dikenal dengan istilah al-qadhaa yakni memutuskan pertentangan yang terjadi dan mengakhiri persengketaan dengan menetapkan hukum syara' (dengan merujuk kepada hukum Allah) bagi pihak yang bersengketa.
Implikasi penelitian ini merekomendasikan bahwa penetapan hadhanah dalam kasus perceraian beda agama, terutama bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap anak, hendaknya dibicarakan secara musyawarah keluarga sehingga lebih jernih dalam menetapkan kemana anak itu tinggal dan bagaimana menjaga kesejahteraannya. Para orang tua yang bercerai dan mempersoalkan hak hadhanah dari anak-anak mereka, sebaiknya sengketa hak hadhanah tersebut diselesaikan di luar pengadilan yaitu melalui jalur perdamaian (islah), salah satunya dengan menerapkan teori tahkim, karena penyelesaian dengan cara ini sangat efektif, cepat, murah dan memenuhi rasa keadilan dalam menemukan kemaslahatan anak sehingga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Masyarakat Indonesia adalah masyarakat mejemuk yang menggambarkan
keragaman suku, budaya, dan agama. Dalam kondisi kemajemukan tersebut, bukan tidak mungkin akan terjadi interaksi sosial diantara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda ras, suku dan bahkan keyakinan yang kemudian berlanjut pada
1
hubungan perkawinan. Dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, tidak mengatur secara eksplisit tentang perkawinan beda agama, namun
Pasal 2 UU perkawinan disebutkan bahwa sah atau tidaknya perkawinan ditentukan oleh hukum agama masing-masing calon mempelai. Sedangkan pencatatan tiap-tiap
2 perkawinan itu merupakan persyaratan formil administratif.
Dengan demikian, perkawinan tidak hanya sekedar persoalan hukum negara, tetapi juga menyangkut agama dan kepercayaan dari merekayang melangsungkan perkawinan tersebut, sebab perkawinan merupakan “perbuatan sakral” sesuai dengan ajaran agama yang bersangkutan. Dalam kaitan dengan perkawinan beda agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 40 huruf c, disebutkan “seorang wanita yang tidak beragama Islam” yang berarti seorang pria muslim tidak dapat melangsungkan 1 2 Lihat Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h.197 Menurut Penjelasan UU No.1/1974, perumusan Pasal 2 ayat (1) tidak ada perkawinan di luar
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Selanjutnya pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Sedangkan Pasal 44 secara tegas menyebutkan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
3 dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Fenomena perkawinan beda agama di Indonesia menjadi krusial karena menyentuh persoalan keyakinan yang sanga tsensitif. Menurut pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), perkawinan beda agama bukan saja mengundang perdebatan diantara sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengundang keresahan di tengah masyarakat. Karena itu, MUI mengeluarkan fatwa bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab,
4 menurut qaul mu’ tamad, adalah haram dan tidak sah.
Problem yang dilematis bagi pasangan yang berbeda agama adalah bagaimana mempertahankan keyakinan agama masing-masing dalam pernikahannya. Tidak dipungkiri akan terjadi ketegangan atau pertentangan dalam melakukan pilihan yang akan dijadikan pedoman hidup yang bersumber dari keyakinan agama pasangan yang berbeda agama. Pernikahan beda agama juga akan berdampak pada anak khususnya bagiamana menentukan agama apa yang akan dianutnya. Bagi pasangan yang berbeda agama tentu akan mengalami kesulitan untuk melakukan pilihan tuntunan ajaran agama yang mana yang mesti diikuti pada saat kelahiran anak mereka. 3 Lihat M.Idris Ramulyo,Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI (Jakarta: Bumi :Aksara, 1996), h. 28. 4 Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Fatwa MUI No: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005
Lihat
Tentang Pernikahan Beda Agama (Jakarta: Musyawarah Nasional VII MUI, 19-22 Jumadil Akhir
Kemungkinan yang terjadi, pasangan beda agama melakukan kesepakatan, misalnya anak laki-laki mengikuti agama ayahnya dan anak perempuan mengikuti agama ibunya, dan dilakukan ritual agama pada anak menurut kesepakatan tersebut. Pada anak yang mengikuti agama ayah atau ibunya yang beragama Islam, dia tentu perlu mendapatkan pendidikan Islam, bagaimana agar anak dapat menjalankan ibadah menurut agama Islam, menjalankan shalat, berpuasa, dan ibadah lainnya, sementara saudaranya yang mengikuti agama ayah atau ibunya yang beragama Kristen, ia harus juga dididik agar dapat menjalankan ibadah dan aturan agama menurut agama Kristen. “Kebingungan” patokan dasar seperti itu akan terjadi dalam pendidikan anak
5 didalam keluarga yang berbeda keyakinan agama.
Dalam kondisi kehidupan yang dualisme tersebut, pasangan beda agama belum tentu terhindar dengan berbagai permasalahan anak dikemudian hari, misalnya yang terkait dengan masalah wali pernikahan, waris dan terutama permasalahan hak asuh anak jika terjadi perceraian di antara mereka. Pasca perceraian kerap kali anak yang menjadi korban dari keegoisan orang tuanya yang tidak memahami makna dari perkawinan itu sendiri.
Perceraian atau talak yang dikenal juga dengan istilah gugat cerai adalah pemutusan hubungan suami-istri dari hubungan pernikahan atau perkawinan yang sah menurut syariah Islam dan/atau sah menurut syariah dan negara. Perceraian adalah hal yang menyedihkan dan memiliki implikasi sosial yang tidak kecil, terutama bagi 5 Lihat Nurhayati Djamas, Perkawinan Beda Agama dalam Pandangan Islam (Jakarta:
pasangan yang sudah memiliki keturunan. Dengan putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde), maka akan ada akibat-akibat hukum yang mengikutinya, salah satunya
adalah mengenai hak asuh atas anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.Kewajiban memberi nafkah dan memelihara anak tidak gugur dengan terjadinya perceraian. Pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian dalam bahasa fikih disebut dengan hadanah. As-Sayyid Sabiq mengatakan bahwa hadhanah ialah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz dan menyediakan sesuatu yang menjadi akan kebaikannya, menjaganya dari suatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan
6 memikul tanggungjawabnya.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah satu-satunya aturan yang sangat jelas dan tegas memberikan pedoman bagi hakim dalam memutus pemberian hak asuh atas anak, dimana Pasal 156 KHI dijelaskan akibat putusnya perkawinan:
Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya… Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah dari ayah atau ibunya. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak
7 tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
6 Lihat As-Sayyid Sābiq, Fiqh As-Sunnah, terjemahan Moh Thalib (Bandung:Al_Ma’arif, 1983), h. 160.
7
Ketentuan KHI diatas tampaknya tidak dapat berlaku secara universal, karena hanya akan mengikat bagi mereka yang memeluk agama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama). Sedangkan untuk orang-orang yang bukan beragama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri), tidak ada pedoman yang secara tegas mengatur batasan pemberian hak asuh bagi pihak yang menginginkan. Hakim dalam putusannya mempertimbangkan antara lain;
pertama, fakta-fakta yang terungkap dipersidangan; kedua, bukti-bukti yang diajukan
oleh para pihak; serta argumentasi yang dapat meyakinkan hakim mengenai kesanggupan dari pihak yang memohonkan hak asuh anak tersebut dalam mengurus dan melaksanakan kepentingan dan pemeliharaan atas anak tersebut baik secara materi, pendidikan, jasmani dan rohani dari anak tersebut.
Berbeda halnya dengan pernikahan yang dilakukan dengan orang-orang beda agama, untuk status hak asuhnya belum ada pedoman dan hukum yang jelas dalam undang-undang yang mengatur tentang hak asuh anak dari perceraian beda agama. Karena itu, pembahasan mengenai hadhanah dalam kasus perceraian beda agama merupakan suatu hal yang sarat akan masalah, terutama yang berkaitan dengan keberlangsungan agama yang diikuti oleh anak. Berdasarkan hal tersebut peneliti bermaksud untuk meneliti “Konsep Hadhanah dalam Kasus Perceraian Beda Agama dan Penyelesaiannya Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi pokok masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep hadhanah dalam kasus perceraian beda agama dan penyelesaian menurut hukum Islam dan hukum positif, dan untuk lebih terarahnya penelitian ini maka dapat dikemukakan beberapa sub permasalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep hadhanah dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif?
2. Bagaimana status hadhanah dalam kasus perceraian karena beda agama?
3. Bagaimana penyelesaian hukum hadhanah dalam kasus perceraian beda agama menurut hukum Islam dan hukum positif?
C. Pengertian Judul dan Ruang Lingkup Pembahasan
1. Pengertian Judul
Judul penelitian ini adalah “Konsep Hadhanah dalam Kasus Perceraian Beda Agama dan Penyelesaian Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”. Judul penelitian tersebut memiliki beberapa variabel yang perlu didefinisikan secara konseptual untuk menghindari terjadinya kekeliruan penafsiran pembaca terhadap
8
konsep dalam judul penelitian tersebut. Berikut ini adalah beberapa pengertian yang terkandung dalam judul penelitian.
a. Hadhanah
Pengertian al-hadhanah (ﺔﻧﺎﻀﺤﻟا) adalah menjaga anak dari segala hal yang dapat membahayakan dan melakukan hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan
9
anak. Dalam istilah fikih digunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud yang 8 Lihat MuljonoDamopolii,Pedoman Penelitian Karya Tulis Ilmiah; Makalah, Skripsi,
Disertasi dan Laporan Penelitian (Cet. 1; Makassar: Alauddin Press, 2014), h. 13 9 Abu Ubaidillah Usamah bin Muhammad Al-jamal. Shahih Fiqih Wanita; Kajian
Lihat
Terlengkap Fiqih Wanita Berdasarkan al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih, Penerjemah Arif Rahman sama yaitu kafalah dan hadanah. Pengertian hadanah dan kafalah dalam arti
10
sederhana ialah “pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Berdasarkan pengertian tersebut maka hadanah adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan.
b. Perceraian Beda Agama Istilah “perceraian” yang digunakan dalam Undang-undang perkawinan disebut sebagai putusnya perkawinan atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri. Dalam KHI, perkawinan dapat putus karena; a). Kematian, b). Perceraian, c). Atas keputusan pengadilan. Adapun bentuk-bentuk perceraian yaitu; talak (cerai talak), khulu’(cerai gugat). Adapun yang dimaksud perceraian dalam pembahasan ini adalah berakhirnya hubungan perkawinan dari sebuah hubungan perkawinan beda agama.
c. Hukum Islam Menurut Ahmad Rofiq, hukum Islam adalah kaidah-kaidah hukum yang didasarkan pada wahyu Allah. swt. dan sunnah rasul mengenai tingkah laku mukallaf yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua pemeluk agama Islam. Hukum Islam merupakan istilah khas di Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-Islam
10 Lihat Amir Syarifuddin.Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat
atau dalam konteks tertentu dari as-syariah al-Islamy. Dalam wacana ahli hukum
11 Barat istilah ini disebut Islamic law.
d. Hukum Positif
Hukum positif atau ius constitutum adalah peraturan hukum yang berlaku pada saat ini atau sekarang untuk masyarakat dari dalam suatu daerah tertentu.
Hukum positif atau ius constitutum merupakan hukum yang berlaku untuk suatu masyarakat dalam suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Objek yang diatur dalam
12 hukum positif sekaligus merupakan subjek atau pelaku.
Jadi, konsep hadhanah dalam kasus perceraian beda agama adalah pemeliharaan atau pengasuhan anak yang masih kecil (mumayyiz) setelah terjadinya perceraian oleh kedua orang tua yang berbeda agama dan keyakinan, di mana akibat hukum terhadap anak dari perceraian beda agama adalah sama dengan akibat hukum dari perceraian pada umumnya.
2. Ruang Lingkup Pembahasan
Ruang lingkup pembahasan penelitian ini sesuai dengan judul dan latar belakang masalah yang difokuskan dalam rumusan masalah, yaitu bagaimana konsep hadhanah dalam perspektif hukum Islam, bagaimana status hadhanah dalam kasus 11 Pengertian Pakar, “Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Islam”, Situs Resmi
Pengertian Pakar. http://www.pengertianpakar.com/2015/04/pengertian-dan-ruang-lingkup-hukum-
islam.html ( 29 Mei 2017) 12 Temukan Pengertian, “Pengertian Ius Constitutum (Hukum Positif)”, Situs Resmi
Temukan Pengertian. http://www.temukanpengertian.com/2013/09/pengertian-ius-constitutum-hukum- perceraian karena beda agama, dan bagaimana penyelesaian hukum hadhanah dalam kasus perceraian beda agama menurut hukum positif dan hukum Islam. Ketiga rumusan masalah tersebut kemudian dianalisis berdasarkan data-data literatur ilmiah dimana penelitian ini menggunakan metode library research.
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka atau penelitian terdahulu dimaksudkan untuk mengidentifikasi kemungkinan signifikansi dan kontribusi akademik dari penelitian yang dimaksud, dan untuk memastikan bahwa, 1) pokok masalah yang akan diteliti belum pernah dibahas oleh penulis lainnya, 2) menjelaskan bahwa hasil penelitian sebelumnya tentang pokok masalahnya masih perlu dibahas atau dikembangkan lebih lanjut.
13 Berdasarkan hasil kajian pustaka, ditemukan beberapa literatur dan hasil kajian para akademisi mengenai pernikahan beda agama dan implikasinya.
1. Laporan akhir kompendium bidang Hukum Perkawinan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM, menguraikan berbagai pandangan atau pendapat para ahli tentang perkawinan beda agama ditinjau dari perspektif agama, hukum, dan yurisprudensi. Pandangan atau pendapat tentang perkawinan beda agama yang ditinjau dari perspektif agama diambil dari agama yang diakui oleh negara dan berdasarkan banyaknya pemeluk masing-masing agama yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Aliran Kepercayaan, serta pandangan menurut adat. Selain itu,
13 kompendium juga menguraikan pandangan atau pendapat tentang beda
14 perkawinan beda agama dari perspektif hukum dan yurisprudensi.
2. Muhammad Olis dalam penelitiannya Hadhanah Pasca Perceraian Beda Agama, menjelaskan bahwa Hukum Islam sudah mengatur dengan jelas persoalan hadhanah. Para fuqaha secara mendasar sepakat bahwa hadhanah adalah hak seorang ibu, ibunya ibu dan ke atas. Pemeliharaan seorang anak oleh ibunya mulai dari lahir, menyusui, mengasuh hingga anak tersebut
mumayyiz. Baru setelah itu ketika ia boleh menentukan pilihan apakah akan
ikut ibu atau ayahnya. Sedang biaya pemeliharaan menjadi tanggung jawab
15 ayah anak tersebut.
3. Nurrun Jamaludin dalam penelitiannya Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hak Ḥaḍhānah Bagi Anak Yang Lahir Dari Keluarga Beda Agama dalam Hukum Positif, menyimpulkan bahwa aspek pemeliharaan dan pengasuhan anak dalam hukum positif pada dasarnya tidak berbeda dengan konsep hadhanah dalam hukum Islam, hanya saja dalam beberapa hal tentang pemeliharaan anak hukum positif belum memberikan uraian secara rinci dan tegas hanya menjelaskan “demi kepentingan terbaik anak”. Seperti syarat-syarat melakukan pengasuhan dan kedudukan orang tua antara ibu dan ayah dalam 14 mendapat pengasuhan tidak disebutkan dengan jelas, hal inilah kurang sejalan
Badan Pembinaan Hukum Nasional,Perkawinan Beda Agama dan Implikasinya (Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM, 2011) 15 Muhammad Olis, “Hadhanah Pasca Perceraian Beda Agama; Analisis tehadap putusan PA
dengan hukum Islam yang pada dasarnya memandang agama sebagai syarat mutlak untuk mengukur gugur tidaknya orang tua atas pemeliharaan dan pengasuhan terhadap anaknya yang belum mumayyiz, meskipun Syara’ telah memberikan haknya secara eksplisit pada ibunya namun ketentuan itu bisa dikesampingkan dan diabaikan.
16 E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian pustaka (library research), dengan kajian pustaka, yaitu dengan cara menulis, mengedit, mengklarifikasikan, mereduksi, dan menjadikan data yang diperoleh dari berbagai sumber tertulis.
17 Penelitian pustaka
yang di maksud yaitu pengumpulan data dan informasi melalui penelitian buku-buku yang relevan dengan pembahasan skripsi ini.
2. Pendekatan Penelitian
Sejalan dengan jenis penelitian yang digunakan,maka pendekatan penelitian ini adalah perundang-undangan. Menurut Marzuki, pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang atau regulasi yang bersangkut paut dengan kasus hukum yang diteliti.
18
16 Lihat Nurrun Jamaludin, “Tinjauan HukumIslam Terhadap Hak Ḥaḍhānah Bagi Anak Yang
Lahir Dari Keluarga Beda Agama dalam Hukum Positif”. Skripsi, Fakultas Syari’ah UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2013 17 Lihat Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta:Rake Sarasin, 1989), h. 77 183. Sumber Data
Adapun sumber data penelitian hukum normatif dalam penelitian ini 19 diklasifikasikan berdasarkan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Primer yaitu bahan-bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri atas norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, dan peraturan perundang-undangan meliputi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; dan Kompilasi Hukum Islam.
Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti pendapat pakar hukumdan hasil penelitian hukum. Tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan ensiklopedia hukum.
4. Metode Pengumpulan Data
Menurut Soerjono Soekanto dalam penelitian hukum lazimnya dikenal jenis
20
alat pengumpul data studi dokumen. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data tersebut yang merupakan langkah awal dari setiap
21 penelitian hukum karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif.
Dalam Tahap ini peneliti menganalisis konsep hukum normatif yang memuat landasan teoretis hukum Islam tentang hadhanahyang bersumber dari kajian pustaka (library research) dan peraturan perundang-undangan. 19 Lihat Amiruddin dan Zainal Azikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), h. 118-119 20 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press (Jakarta: UI Press, 1986), h. 21, 66, dan 201. 21
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data peneltian ini dilakukan secara induktif, berangkat dari analisis data primer berupa hasil penelitian pustaka (library research) yang telah dianalisis, kemudian dikorelasikan dengan pendekatan teori yang digunakan untuk menarik kesimpulan umum. Tahap analisis terhadap data normatif terdiri atas (1) Evaluatif yaitu melakukan penilaian terhadap rumusan norma didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum (2) Interpretatif yaitu menggunakan jenis penafsiran menurut perundang-undangan.
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui konsep hadhanah dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif.
b. Untuk mengetahui hadhanah dalam kasus perceraian beda agama.
c. Untuk mengetahui penyelesaian hukum hadhanah dalam kasus perceraian beda agama menurut hukum Islam dan hukum Positif.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu hukum/syariah khususnya melalui studi tentang konsep
hadhanah dalam kasus perceraian beda agama dan penyelesaian hukumnya.
b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan praktis baik untuk akademisi, mahasiswa pemerintah dan masyarakat sebagai literasi ilmiah yang memberikan pemahaman tentang hukum Islam konsep hadhanah dalam kasus perceraian beda agama dan penyelesaian hukumnya.
BAB II KONSEP HADHANAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Hadhanah dalam Perspektif Hukum Islam
1. Pengertian Hukum Islam
Istilah hukum Islam atau al-hukmul al-Islam dalam al-Qur’an dan as-sunnah tidak dijumpai, melainkan al-Qur’an dan as-sunnah menggunakan istilah as-syariah yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah al-fiqh. Pada titik ini hukum Islam dimaknai sebagi seperangkat norma hukum dan Islam sebagai agama yang berasal
1 dari wahyu Allah, sunnah Rasul-Nya dan ijtihad para ulil amri.
Dalam uraian Munawar, Istilah hukum Islam merupakan terjamahan dari al-
fiqhal-Islamiy, atau dalam konteks tertentu juga disebut al-syariahal-islamiy. Istilah
ini dalam literatur Barat disebut Islamic Law, yang secara harfiah dikenal dengan
2
hukum Islam. Lebih lanjut Ahmad mengatakan bahwa al-syariah adalah hukum yang sudah jelas nashnya, sedangkan al-fiqh adalah hukum yang zhanni, yang dapat
3
yang dapat dimasuki paham manusia. Perbedaan keduanya secara lebih rinci diuraikan oleh Ali sebagai berikut:
1 Lihat Said Agil Husain Al Munawar, Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial (Cet. I; Jakarta: PT.Permadani, 2004), h. 7. 2 3 Said Agil Husain Al Munawar, Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial. h. 7.
Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Cet. I; a. Syariat, terdapat dalam al-Qur’an dan kitab-kitab Hadis, yaitu wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad sebagai Rasul- Nya. Sedangkan fikih yang dimaksud adalah pemahaman memenuhi syarat tentang syariat dan hasil pemahaman itu.
b. Syariat bersifat fundamental dan meppunyai ruang lingkup yang lebih luas karena kedalamannya, oleh banyak ahli, dimasukkan juga akidah dan akhlak.
Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasa disebut sebagai perbuatan hukum.
c. Syariat ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya berlaku abadi, fikih adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat berubah dari masa ke masa.
d. Syariat hanya satu sedangkan fikih mungkin lebih dari satu misalnya seperti adanya mazhab. Syariat menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fikih
4 menunjukkan keragamannya.
Sementara itu menurut Syarifuddin dalam bukunya Hukum Islam dan Peradilan Agama, apabila kata hukum dihubungkan dengan Islam, maka hukum Islam diartikan seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku orang mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam dan dalam membina hukum Islam, al-
Qur’an selalu menjelaskan tiga hal:
a. Tidak memberatkan dan menyusahkan manusia karena itu hukum Islam tidak membebankan di luar kemampuan manusia.
4 Lihat Mohammad Daud Ali. Hukum Islam dan Peradilan Agama (Cet.IX; Jakarta: PT Raja
b. Tidak memperbanyak tuntutan karena itu jumlah ayat-ayat yang mengandung hukum tidak banyak.
5 c. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum.
Dengan demikian hukum Islam dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya. Sudut pandang pakar hukum Islam dalam banyak literatur membuktikan bahwa hukum Islam adalah hukum yang dapat dijadikan tatanan dalam kehidupan. Hukum Islam dalam dalam konteks ini dilihat dari dua aspek, yaitu hukum Islam sebagai ilmudan hukum Islam sebagai produk ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari penalaran pemikiran atau melalui ijtihad.