PENDIDIKAN MASYARAKAT DAN PARTISIPASI POLITIK PADA PEMILIHAN LEGISLATIF 2014 (PILEG) DI GAMPONG SIMPANG PEUT KECAMATAN ARONGAN LAMBALEK KABUPATEN ACEH BARAT - Repository utu

  

BABI

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi, sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik.Secara umum dalam masyarakat tradisional yang sifat kepemimpinan politiknya lebih ditentukan oleh segolongan elit penguasa, keterlibatan warga negara dalam ikut serta memengaruhi pengambilan keputusan, dan memengaruhi kehidupan bangsa relatif sangat kecil. Warga negara yang hanya terdiri dari masyarakat sederhana cenderung kurang diperhitungkan dalam proses-proses politik (Sudijono, 2004: h.56)

  Kemajuan perkembangan politik suatu Negara dapat dilihat dari baik buruknya partisipasi masyarakatnya, seperti yang dikemukakan oleh Rauf (2001: h.12) bahwa kemajuan di bidang politik yang terjadi di negara-negara modern oleh masyarakat akan menjadi inspirasi untuk menilai perkembangan politik negara. Setiap orang dapat mengetahui perkembangan demokrasi dan politik di negaranya melalui pandangannya terhadap partisipasi masyarakat di bidang politik dan pemerintahan di negaranya.

  Partisipasi merupakan proses aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakatdalam suatu kegiatan.Di Indonesia berpartisipasi politik dijamin oleh negara. Hal ini tercantum di pasal 28 dalam UUD 1945 yang berbunyi; "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang".Selain itu, diatur pula di dalam poin hak yang harus dilindungi oleh negara mengenai hak berpendapat, hak berserikat, hak memilih dan dipilih, hak sama di hadapan hukum dan pemerintahan, hak mendapatkan keadilan, dan lain-lain.

  Menurut Budiardjo (2009: h.367), partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Dengan demikian, partisipasi politik erat kaitannya dengan kesadaran politik, karena semakin sadar dirinya diperintah orang kemudian menuntut diberikan hak bersuara dalam penyelenggaraan pemerintahan. Terkait hal tersebut, salah satu tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemilu di tanah air dewasa ini adalah menurunnya tingkat partisipasi politik masyarakat.Kondisi itu setidaknya dapat dilihat dari beberapa hasil pelaksanaan pemilu legislatif (pileg) sebelumnya, yaitu Pemilu 1999 dengan tingkat partisipasi politik masyarakat mencapai 92,74 persen, pemilu 2004 dengan 84,07 persen dan pemilu 2009 dengan tingkat partisipasi masyarakat sebesar 71 persen.

  Fenomena menurunnya tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilu itu setidaknya juga tergambar dari pelaksanaaan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada tahun 2013. Setidaknya, angka partisipasi politik masyarakat dalam pilkada berkisar antara 50-70 persen. Sinergitas dari seluruh pemangku kepentingan pemilu sangatlah diharapkan, terutama dalam rangka memberikan sosialisasi yang tepat kepada masyarakat tentang arti pentingnya pemilu bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

  Hasil survei dari LSI (Lembaga Survei Indonesia) merata-ratakan total partisipasi politik rakyat dalam Pilkada sekitar 60 persen atau dengan kata lain rata-rata jumlah Golput mencapai 40 persen. Sejatinya Golput adalah fenomena yang alamiah. Fenomena ini ada di setiap pemilihan umum di manapun itu, tidak terkecuali di Amerika Serikat.

  Salah satu hal mendasar menyebabkan besarnya jumlah Golput adalah adanya motivasi yang beragam dari para peserta pemilu. Motivasi tersebut lebih cenderung pada kepentingan politik semata dengan mengabaikan hal-hal ini seprti pendidikan politik rakyat. Istilah pendidikan politik sering disamakan dengan istilah political socialization.Istilah political sosialization jika diartikan secara harfiah bermakna sosialisasi politik. Oleh karena itu, dengan menggunakan istilah political sosialization banyak yang mensinonimkan istilah pendidikan politik dengan istilah Sosialisasi Politik, karena keduanya memiliki makna yang hampir sama.

  Sosialisasi politik adalah pendidikan politik dalam arti sempit.Sosialisasi politik dibagi dua yaitu pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik.

  Para Caleg dalam kampanyenya akan lebih cenderung mengajak rakyat untuk memilih dirinya atau tidak memilih. Kondisi akan berbeda jika ada muatan untuk memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan yang memiliki tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis paling kurang dalam dua hal yaitu memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh komponen masyarakat, ke dua untuk memilih wakil rakyat yang akan di tugasi mengawal dan mengawasi jalannya pemerintah.Secara lebih tegas lagimengenaipendidikanpolitikdapat dilihat dalam Pasal 31 UU Nomor 2 tahun 2008, yang menyatakan bahwa Partai politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender dan tujuannya antara lain:Meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat, meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.Atas dasar ini pendidikan politik rakyat adalah hal yang strategis untuk menimbulkan efek Pemilu yang lebih berkualitas. Melihat penyebab munculnya Golput di Indonesia karena kurangnya sosialisasi dan pemahaman politik yang benar, maka pendidikan politik ini juga berpotensi untuk meningkatkan tingkat partisipasi politik rakyat.

  Memahami pendidikan politik di masyarakat merupakan hal yang sangat menarik untuk diketahui. Karena pendidikan politik itu merupakan suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol- simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik. Pendidikan politik mengajarkan masyarakat untuk lebih mengenal sistem politik negaranya. Seperti yang di sebutkan dalam pasal 1 ayat (4) UU No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik yang menyebutkan bahwa pendidikan politik merupakan proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga Negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut pasal tersebut jelas dikatakan bahwa partai politik berhak memberikan pendidikan politik kepada setiap warga Negara dan seiap warga Negara juga berhak menerima pendidikan itu. Misalnya pendidikan politik yang diberikan oleh partai politik kepada masyarakat, disini partai politik memberikan pendidikan politik secara berkala kepada masyarakat.

  Menurut Ramlan Surbakti (2000: h.117) dalam memberikan pengertian tentang pendidikan politik harus dijelaskan terlebih dahulu mengenai sosialisasi politik bahwa sosialisasi politik dibagi dua yaitu pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik.

  Pendidikan politik mempunyai dua tujuan utama. Pertama, pendidikan politik adalah untuk mengubah dan membentuk tata perilaku seseorang agar sesuai dengan tujuan politih yang dapat menjadikan setiap individu sebagai partisipan politik yang bertanggung jawab. Kedua, pendidikan politik dalam arti yang lebih luas untuk membentuk suatu tatanan masyarakat yang sesuai dengan tuntutan politik yang ingin diterapkan. Partisipasi politik merupakan aktifitas masyarakat yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warga negara, bukan politikus atau pegawai negeri. Partisipasi politik ini pun bersifat sukarela dan bukan dimobilisasi oleh Negara maupun partai yang berkuasa (Basri, 2011: h.97).

  Partisipasi politik itu merupakan suatu hal yang bersifat suka rela terhadap masyarakat yang aktif dalam perpolitikan di Indonesia ini. Disini dapat kita lihat bahwa masyarakat sebagai subjek dalam pembangunan untuk ikut serta dalam menentukan keputusan yang menyangkut keputusan bersama (umum).

  Oleh karena itu di dalam mengambil keputusan dibutuhkannya kerja sama antara partai politik dan masyarakat untuk memberikan keputusan yang baik dalam perpolitikan bagi negaranya.

  Berdasarkan hasil observasi awal dilapangan pada gampong Simpang Peut KecamatanArongan Lambalek merupakan suatu lingkungan yang sebagian masyarakatnya ikut berperan atau ikut dalam suatu organisasi partai politik.

  Masyarakat yang tinggal di mukim tersebut pada dasarnya adalah mempunyai pekerjaan yang berbeda-beda, mulai dari pekerjaan sebagai petani, pegawai negeri sipil dan lain-lain. Akan teteapi terdapat sebagian dari masyarakat masih merasa tidak penting untuk mengikuti kegiatan politik khusunya pada saat pemilu terutama pada pemilihan caleg bulan april lalu tahun 2014. Masyarakat merasa ikut atau berpartisipasi dalam pemilu caleg tidak juga akan merubah kehidupan mereka, dimana mereka juga harus tetap banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sedangkan para caleg menikmati kehidupan mereka di bangku DPR nantinya.

  Hal ini terjadi karena masyarakat sudah bosan dengan janji-janji para caleg terdahulu.Dari dulu para caleg yang naik selalu memberikan janji-janji yang hampir 50 persennya tidak menepati janji tersebut setelah terpilih menjadi anggota DPR. Masyarakat merasa kecewa dan merasa bahwa setiap caleg yang naik selalu akan melakukan hal yang sama.

  Dari latar belakang diatas penulis merasa tertarik mengadakan penelitian dengan judul

  “Pendidikan Masyarakat Dan Partisipasi Politik Pada

Pemilihan Legislatif 2014(PILEG) di Gampong Simpang Peut Kecamatan

Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat

  ”.

1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

  1. Bagaimanapendidikan masyarakat pada pemilihan caleg 2014di Gampong Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek dalam partai politik atau yang lain?

  2. Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat terhadap politik di Gampong Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek berdasarkan tingkat pendidikan?

1.3 Tujuan Penelitian

  Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan tersebut, maka penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui bagaimanapendidikan masyarakat pada pemilihan caleg

  2014di Gampong Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek dalam partai politik atau yang lain.

  2. Untuk mengetahui bagaimanabentuk partisipasi masyarakat terhadap politik di Gampong Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek berdasarkan tingkat pendidikan?

1.4 Manfaat Penelitian

  Berdasarkan perumusan masalah diatas, manfaat yang akan diperoleh dengan diadakannya penelitian ini:

1.4.1 Manfaat Teoritis 1.

  Penulis Menambah wawasan penulis sebagai bahan perbandingan antara teori yang telah dipelajari dengan praktek yang telah diterapkan berdasarkan hasil data Kantor Gampong atau Mukim dan hasil pengamatan dilapangan.

2. Lingkungan Akademik

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam menambah bahan bacaan bagi mahasiswa Universitas Teuku Umar khususnya bagi mahasiswa Fakultas FISIP.

1.4.2 Manfaat Praktis

  Hasil analisis dalam penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pemerintah untuk menentukan kebijaksanaan dalam meningkatkan pendidikan politik bagi masyarakat.

1.5 Sistematika Pembahasan

  Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah: 1. BabPertama, Pendahuluan

  Terdiri dari: a.

  Latar Belakang b.

  Rumusan Masalah c. Tujuan Penelitian d.

  Manfaat Penelitian e. Sistematika Pembahasan.

2. Bab Kedua, Tinjauan Pustaka

  Terdiri dari: a.

  Tijauan Tentangkajian terdahulu b.

  Tinjauan Tentang Pendidikan c. Tijauan Tentang Partisipasi d.

  Tinjauan TentangHubungan Politik dan Pendidikan e. Tinjauan Tentang Peran Politik dan Pendidikan f. Tinjauan Tentang Teori Partisipasi Politik Easton 3. Bab Ketiga, Metode Penelitian

  Terdiri dari: a.

  Jenis Penelitian b.

  Waktu dan Lokasi Penelitian c. Instrumen Penelitian d.

  Subyek Penelitian e. Tekhnik Pengumpulan Data f.

  Tekhnik Analisis Data 4. Bab Keempat, Hasil dan Pembahasan

  Terdiri dari: a.

  Masalah tentang Hasil Penelitian b.

  Masalah tentang Pembahasan Hasil Penelitian 5. Bab Kelima, Penutup

  Terdiri dari: a.

  Kesimpulan b.

  Saran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Terdahulu

  Penelitian yang dilakukan oleh Dani Wahyu Rahma (2010) Universitas Negeri Semarangyang mengangkat judul

  “Partisipasi Politik Pemilih Pemula Dalam Pelaksanaan Pemilu Tahun 2009 di Desa Puguh Kecamatan Boja Kabupaten Kendal”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk partisipasi politik pemilih pemula dalam pelaksanaan pemilu tahun 2009 di Desa Puguh Kecamatan Boja Kabupaten Kendal terbagi dalam bentuk pemberian suara,kampanye, dan berbicara masalah politik. Tingkat Partisipasi politik pemilih pemula dalam Pemilu legislatif tahun 2009 di Desa Puguh kecamatan Boja Kabupaten Kendal yaitu pemberian suara, bentuk partisipasi politik ini dilakukan 95% pemilih pemula yang terdaftar dalam DPT Desa Puguh dan sesuai daftar kehadiran.

  Selanjutnya Penelitian yang dilakukan oleh Sri Budi Eko Wardani (2004) dengan judul “Penelitian Pemilu yang Memberdayakan Masyarakat” kepedulian masyarakat terhadap pemilu sebetulnya sudah tinggi. Partisipasi pemilih berada di atas 70%.

  Penelitian yang dilakukan oleh Budi Utomo, (2010) dengan judul “pengaruh perilaku partai politik terhadap partisipasi politik pemilih” persiapan pilkada langsung sebagai referensi adalah keberadaan, eksistensi dan perilaku parpol di dalam menjalankan fungsi-fungsi politiknya. Perilaku setiap partai politik menentukan pola hubungan dengan pemilih yang ditentukan oleh batas- batas lingkungan tertentu (wilayah, ideologi dan informasi). Begitu halnya dengan perilaku PDI Perjuangan dalam rangka pemilihan kepala daerah di Kabupaten Bekasi. Masyarakat di Kabupaten Bekasi dalam batas-batas lingkungan tertentu memberikan apresiasi yang besar terhadap apa yang ditampilkan dan dilakukan oleh PDI Perjuangan, baik secara personal melalui aktivitas para kader atau fungsionaris partai maupun oleh kebijakan-kebijakan yang diambil oleh PDI Perjuangan.

  Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah, pada

penelitian ini peneliti hanya meniliti tentang pendidikan politik dan partisipasi

politik masyarakat pada pemilihan legislatif 2014 di gampong Arongan

Lambalek.Dimana yang menjadi informan adalah masyarakat yang sudah dapat

melakukan hak pilih dan yang melihat berapa besar partisipasi masyarakat pada

pemilihan caleg 2014.

2.2 Pendidikan

2.2.1 Pengertian Pendidikan

  Pada dasarnya pengertian pendidikan ( UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 ) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.

  Menurut kamus Bahasa Indonesia kata pendidikan berasal dari kata „didik‟ dan mendapat imbuhan „pe‟ dan akhiran „an‟, maka kata ini mempunyai adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan.

  Menurut Ki Hajar Dewantara (1977: h.32) menjelaskan tentang yaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi- tingginya.

  adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.

  Istilah pendidikan berasal dari bahasa yunani, paedagogy, yang mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar seorang pelayan. Sedangkan pelayan yang mengantar dan menjemput dinamakan

  

paedagogos. Dalam bahasa romawi, pendidikan diistilahkan dengan educate yang

  artinya mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam bahasa inggris, pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual. (Noeng Muhadjir, 2002: h.21).

  John Dewey memandang pendidikan sebagai sebuah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman agar lebih bermakna, sehingga pengalaman tersebut dapat mengarah pengalaman yang didapat berikutnya (Jhon Dewel, 2004: h.89- 90).

  Pendidikan adalah proses pengembangan potensi, kemampuan dan kapasitas manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan, kemudian disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, didukung dengan alat (media) yang disususn sedemikian rupa, sehingga pendididkan dapat digunakan untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri dalam mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan. (Wiji Suwarno, 2006: h.20)

2.1.2 Tingkat Pendidikan

  Tingkat pendidikan di Indonesia dapat diartikan sebagai perwujudan proses pembelajaran di sekolah sebagai penyelenggara pendidikan formal.

  Sedangkan pengertian sekolah adalah lembaga pendidikan yang secara resmi menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara sisitematis, berencana dan terarah, yang dilakukan oleh pendidika yang profesional, dengan program yang diruangkan dalam kurikulum tertentu dan diikuti oleh peserta didik pada setiap jenjang tertentu (Daryanto, 2002: h.42)

  Sementara pengertian pendidikan formal sendiri menurut Undang- Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun (2003, No. 20) adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar (SD), pendidikan menengah (SLTP dan SLTA), dan pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi), dimana masing-masing jenjang memiliki kurikulum dan target capaiannya, yang meliputi :

  1. Kegiatan belajar mengajar pada tingakat sekolah dasar (SD) dimaksud untuk menghasilkan lulusan yang dimiliki dasar-dasar karakter, kecakapan, ketrampilan dan pengetahuan yang memadai untuk mengembangkan potensi diri secara optimal sehingga memiliki ketahanan dan keberhasilan dalam pendidikan lanjutan, serta kehidupan yang selalu berubah sesuai dengan

  2. Sedangkan sekolah menengah baik menengah pertama dan atas bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki karakter, kecakapan, dan ketrampilan yang kuat untuk mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar, serta mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan lebih lanjut.

  3. Adapun perguruan tinggi ditujukan untuk mengembangkan kemampuan efektif, psikomotorik, serta kemampuan analisis guna dapat meneyelesaikan persoalan sosial.

2.1.3 Penyelenggaraan Pendidikan

  MenurutEngkos(2007: h.548-549) Pengertian penyelenggaraan berasal dari pada kata “selenggara” yang artinya menguras dan mengusahakan sesuatu (seperti memelihara dan merawat)melakukan atau melaksanakan (perintah, undang-undang, rencana dan sebagainya). Yang kemudian mendapat imbuhan pe

  ,yang berubah menjadi “penyelenggara” yang maknanya, pemelihara, pemiara; orang yang menyelenggarakan. Kemudian mendapatkan imbuan pe- dan -an, berubah menjadi “penyelenggaraan” yang maknanya, pemeliharaan, pemiaraan, proses, perbuatan, cara menyelenggarakan dalam berbagai-bagai arti(seperti pelaksanaan,penunaian). Jadi penyelenggaraan memiliki makna suatu proses dalam pelaksanaan sesuatu kegiatan agar terlaksana.

  Pemgelolaan proses pendidikan yaitu terjadinya proses belajar dan pengalaman belajaryangoptimal.Jadi dapat dikatakan bahwasanya: penyelenggaraan pendidikan, harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (UU Pendidikan tahun 2003 pasal 54 ayat 1). Masyarakat tersebut dapat berperanan sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan (UU Pendidikan tahun 2003 pasal 54 ayat 2). Oleh karena itu masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan yang berbasis masyarakat, dengan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standard nasional pendidikan (UU Pendidikan tahun 2003 pasal 55 ayat 1 dan 2). Dana pendidikan yang berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan/atau sumber lain.

2.3 Partisipasi

2.3.1 PengertianPartisipasi

  Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakat serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh tiga faktor pendukungnya yaitu: 1.

  Adanya kemauan 2. Adanya kemampuan 3. Adanya kesempatanuntuk berpartisipasi (Slamet, 2004: h.56).

  Partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab (Kaelan, 2002: h.29).

  Partisipasi dapat diartikanmenjadi beberapa pengertian, yaitu: 1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan

  2. Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembanguna 3. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri

  4. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu 5. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak social 6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka.

2.3.2 Tipe Partisipasi

  Tipe partisipasi masyarakat yaitu:

  a. Partisipasi pasif/manipulatif b.

  Partisipasi dengan cara memberikan informasi, c. Partisipasi melalui konsultasi, d. Partisipasi untuk insentif materil e. Partisipasi fungsional f. Partisipasi interaktif, dan self mobilization

  Ada beberapa tingkatan partisipasi masyarakat dirinci dari partisipasi terendah ke tinggi yaitu :

  1. Partisipasi serta dengan menggunakan jasa pelayanan yang tersedia. Jenis partisipasi ini adalah jenis yang paling umum (ironisnya dunia pendidikan kita). Pada tingkatan ini masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah untuk mendidik anak-anak mereka.

  2. Partisipasi serta dengan memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga. Pada partisipasi jenis ini masyarakat berpartisipasi dalam perawatan dan pembangunan fisik sekolah dengan menyumbangkan dana, barang, atau tenaga.

  3. Partisipasi serta secara pasif. Masyarakat dalam tingkatan ini menyetujui dan menerima apa yang diputuskan pihak sekolah (komite sekolah), misalnya komite sekolah memutuskan agar orang tua membayar iuran bagi anaknya yang bersekolah dan orang tua menerima keputusan itu dengan mematuhinya.

  4. Partisipasi serta melalui adanya konsultasi. Pada tingkatan ini, orang tua datang ke sekolah untuk berkonsultasi tentang masalah pembelajaran yang dialami anaknya 5. Partisipasi serta dalam pelayanan. Orang tua/masyakarat terlibat dalam kegiatan sekolah, misalnya orang tua ikut membantu sekolah ketika ada studi tur, pramuka, kegiatan keagamaan, dsb.

  6. Partisipasi serta sebagai pelaksana kegiatan. Misalnya sekolah meminta orang tua/masyarakat untuk memberikan penyuluhan pentingnya pendidikan, masalah jender, gizi, dsb. Dapat pula misalnya, berpartisipasi dalam mencatat anak usia sekolah di lingkungannya agar sekolah dapat menampungnya, menjadi nara sumber, guru bantu, dan sebagainya.

  7. Partisipasi serta dalam pengambilan keputusan. Orang tua/masyarakat terlibat dalam pembahasan masalah pendidikan baik akademis maupun non akademis, dan ikut dalam proses pengambilan keputusan dalam Rencana Pengembangan Sekolah (RPS).

2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi

  Pengertian Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program juga dapat berasal dari unsur luar/lingkungan.Isbandi (2007: h.27)

  Menurut Isbandi (2007: h.27) ada beberapa poin yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat yang berasal dari luar/lingkungan, yaitu: a.

  Komunikasi yang intensif antara sesama warga masyarakat, antara warga masyarakat dengan pimpinannya serta antara sistem sosial di dalam masyarakat dengan sistem di luarnya b. Iklim sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam kehidupan keluarga, pergaulan, permainan, sekolah maupun masyarakat dan bangsa yang menguntungkan bagi serta mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat c.

  Kesempatan untuk berpartisipasi. Keadaan lingkungan serta proses dan struktur sosial, sistem nilai dan norma-norma yang memungkinkan dan mendorong terjadinya partisipasi sosial d. Kebebasan untuk berprakarsa dan berkreasi. Lingkungan di dalam keluarga masyarakat atau lingkungan politik, sosial, budaya yang memungkinkan dan mendorong timbul dan berkembangnya prakarsa, gagasan, perseorangan atau kelompok.

  Partisipasi yang tumbuh dalam masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam berpartisipasi, yaitu: a.

  Usia Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma masyarakat yang lebih mantap b.

  Jenis kelamin Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan ba hwa pada dasarnya tempat perempuan adalah “di dapur” yang berarti bahwa dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan yang semakin baik.

  c.

  Pendidikan Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi. d.

  Pekerjaan dan penghasilan Pekerjaan dan penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat.

  e.

  Lamanya tinggal Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi seseorang.

2.3.4 Landasan Partisipasi Politik

  Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson (2003: h.67) membagi landasan partisipasi politik ini menjadi: 1. kelas – individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa.

  2. kelompok atau komunal – individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa.

  3. lingkungan – individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan.

  4. partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan.

  5. golongan atau faksi – individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.

2.3.5 Bentuk Partisipasi Politik

  Jika mode partisipasi politik bersumber pada fakto r “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Huntington dan Nelson (2003: h.69) membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi: 1.

  Kegiatan Pemilihan, yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu;

  2. Lobby, yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu;

  3. Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah; 4. Contacting, yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka

  5. Tindakan Kekerasan (violence), yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.

  Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini.Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson belumlah relatif lengkap karena keduanya belum memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu.

  Thomas M. Magstadt (2004: h.55) menyebutkan bentuk-bentuk partisipasi politik dapat meliputi:

  1. Opini publik Opini publik adalah gagasan serta pandangan yang diekspresikan oleh para pembayar pajak dan konstituen pemilu.Opini publik yang kuat dapat saja mendorong para legislator ataupun eksekutif politik mengubah pandangan mereka atas suatu isu.

  2. Polling

  Upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah, partisipasi politik (menurut Magstadt) warganegara menemui manifestasinya. Di dalam polling, terdapat aneka konsep yang menjadi bagian di dalam dirinya yaitu: straw polls, random sampling, stratified sampling, exit

  polling , dan tracking polls.Polling. Polling adalah upaya pengukuran opini

  publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah, partisipasi politik (menurut Magstadt) warganegara menemui manifestasinya. Dalam polling, terdapat aneka konsep yang menjadi bagian di dalam dirinya yaitu:

   Straw polls adalah survey yang tidak ilmiah karena bersifat sederhana, murah, dan amat terbuka untuk penyalahgunaan dan manipulasi. Straw

  polls dianggap tidak ilmiah karena tidak memertimbangkan representasi

  populasi yang menjadi responden polling. Penentuan responden bersifat serampangan, dan terkadang hanya menggunakan sampel yang hanya merupakan bagian tertentu dari populasi.  Random sampling adalah metode polling yang melibatkan canvassing atas populasi secara acak. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling . Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Metode ini adalah cara menentukan responden polling, yang diadakan akibat munculnya keterbatasan untuk melakukan random sampling. Dalam

  stratified sampling , pihak yang menyelenggarakan polling memilih

  populasi yang cukup kecil tetapi memiliki karakteristik khusus (agama, usia, income, afiliasi partai politik, dan sejenisnya).

   Exit polling adalah polling yang memungkinkan jaringan televisi memrediksi pemenang suatu pemilihan umum segera setelah pemungutuan suara usai. Teknik yang dilakukan adalah menyurvei pemberi suara di TPS-TPS tertentu.

   Tracking polls adalah polling yang dilakukan atas responden yang sama dalam suatu periode kampanye. Tujuannya mengidentifikasi peralihan sentimen pemilih atas suatu calon, partai, ataupun isu. Tujuan dari polling ini adalah memerbaiki kinerja kampanye calon, kampaye parpol, bahkan kinerja pemerintah.

  3. Pemilihan umum Pemilihan umum (Pemilu) erat hubungannya dengan polling. Pemilu hakikatnya adalah polling "paling lengkap" karena menggunakan seluruh warga negara benar-benar punya hak pilih (tidak seperti polling yang menggunakan sampel).

  4. Demokrasi langsung.

  Demokrasi langsung adalah suatu situasi di mana pemilih (konstituen) sekaligus menjadi legislator. Demokrasi langsung terdiri atas plebisit dan

  referendum . Plebisit adalah pengambilan suara oleh seluruh komunitas atas

  kebijakan publik dalam masalah tertentu. Misalnya, dalam kasus kenaikan harga BBM ketika parlemen mengalami deadlock dengan eksekutif, diambilah plebisit apakah naik atau tidak. Referendum adalah pemberian suara dengan mana warganegara dapat memutuskan suatu undang-undang.

  Misalnya, apakah undang-undang otonomi daerah perlu direvisi ataukah tidak, dan parlemen mengalami deadlock, dilakukanlah referendum.

2.4 Hubungan Politik dan Pendidikan

  Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara.

  Rasyid (2003: h.8) menyimpulkan bahwa dalam sejarah perkembangan Islam, institusi politik ikut mewarnai corak pendidikan yang dikembangkan. sebatas dukungan moral kepada para peserta didik, melainkan juga dalam bidang administrasi, keuangan, dan kurikulum.Tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pendidikan merupakan salah satu konstalasi politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid-masjid dan madrasah-madrasah dalam mengokohkan kekuasaan politik para penguasa dapat dilihat dalam sejarah. Pada pihak lain, ketergantungan kepada uluran tangan para penguasa secara ekonomis, membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan nuansa politik yang berlaku.

  Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa madrasah merupakan salah satu lembaga yang menjadi corong pesan-pesan politik, sebagai contoh madrasah Nizhamiyah di Baghdad. Hal ini dapat dipahami, bahwa madrasah Nizhamiyah merupakan instrumen kebijakan politik yang salah satu fungsi utamanya adalah untuk menanamkan doktrin kenegaraan yang memperkuat kerajaan. Pada masa itu, perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan dukungan institusi-intitusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka, sebab tujuan pemerintahan Islam.

  Menurut Abdul Gaffar Aziz (2001: h.95), adalah menegakkan kebenaran dan keadilan, dengan syariat sebagai senjata. Syariat tidak akan berjalan bila umat tidak memahami ajaran Islam. Ada dua alasan utama mengapa para penguasa Muslim sangat peduli dengan pendidikan. Pertama, karena Islam adalah agama yang totaliter jam'i, mencakup semua aspek kehidupan seorang Muslim mulai dari makan dan minum, tata cara berumah tangga, urusan sosial kemasyarakatan, sampai pada ibadat semuanya diatur oleh syariat. Untuk mengetahui bagaimana hidup yang Islami, seorang Muslim mesti terlibat dengan kegiatan-kegiatan pendidikan. Kedua, karena motivasi politik, sebab di dalam Islam antara politik dan agama sulit untuk dipisahkan. Para penguasa Muslim sering menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk menanamkan paham-paham keagamaan, menanamkan ideologi negara dengan tujuan lahirnya kesamaan ide antara penguasa dan masyarakat umum sehingga memudahkan pengaturan masalah- masalah kenegaraan. Jadi pada masa kesultanan dan kerajaan Islam terdahulu, pendidikan disinkronisasikan dengan misi dakwah Setelah Indonesia merdeka, pendidikan dikelola oleh pemerintah.

  Pendidikan umum sebagai kelanjutan dari sistem pendidikan kolonial Belanda diserahkan kewenangannya kepada Kementrian Pendidikan, sedangkan pendidikan Agama berada dalam naungan Kementrian Agama. Beberapa karakteristik kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Belanda, yaitu: kolonialistik, intelektualistik, heterogen, diskriminatif, dan self-serving, diarahkan semata-mata untuk kepentingan kolonialisme. Kebijakan pendidikan tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat pada waktu itu, antara lain: (1) menimbulkan konflik keagamaan antara kelompok Muslim dan non-Muslim; (2) menciptakan divisi sosial dan kesenjangan budaya antara kelompok minoritas angkatan muda Indonesia yang berasal dari kelas menengah ke atas dan kelompok angkatan muda Indonesia yang berasal dari keluarga biasa; (3) menciptakan polarisasi sosial tanpa mempedulikan kemampuan kerja mereka; dan (4) menghambat perkembangan kaum pribumi. Pada masa awal kemerdekaan, kaum nasionalis dapat menguasai birokrasi dan sektor-sektor strategis.

  Budaya politik dibentuk dan dikembangkan oleh pelaku politik dan apa yang akan ditentukan oleh pelaku politik sebagai ciri-ciri utama budaya politik mereka sampai batas tertentu, dipengaruhi oleh pendidikan mereka. Jadi hubungan antara budaya politik dan pendidikan bersifat tidak langsung. Ini berarti pendidikan tidak secara final membentuk pelaku politik. Akan tetapi, pendidikan memberi dasar- dasar kepada tiap calon pelaku politik. Jika dasar-dasar ini baik dan kokoh, besar kemungkinan (probabilitasnya) akan lahir pelaku-pelaku politik yang baik. Namun, jika dasar-dasar yang diberikan oleh pendidikan jelek dan rapuh, kemungkinan besarnya ialah yang akan muncul di kemudian hari adalah pelaku- pelaku politik yang jelek dan rapuh pula.

  Berdasarkan generalisasi ini dapat dipahami mengapa perilaku para pelaku politik dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang baik berbeda dengan perilaku pelaku politik yang berasal dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang kurang memadai. Para pelaku politik dengan latar belakang pendidikan pesantren yang baik, berbeda perilakunya dari pelaku politik yang datang dari pendidikan pesantren yang kurang terpelihara atau dari latar belakang pendidikan yang berbau aristokrasi dan meritokrasi feodal atau militer.

2.5 Peranan Politik dalam Pendidikan

  Keterkaitan antara pendidikan dan politik berimplikasi pada semua dataran, baik pada dataran filosofis maupun dataran kebijakan. Di Indonesia, filsafat pendidikan nasional adalah artikulasi pedagogis dari nilai-nilai yang terdapat pada Pancasila dan UUD 1945. Pada dataran kebijakan, sangat sulit memisahkan antara kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah di suatu negara dengan persepsi dan kepercayaan politik yang ada pada pemerintah tersebut.

  Menurut Abernethy dan Coombe (2003: h.287) menulis sebagai berikut:

  

A goverment's education policy reflects, and sometimes betray, its view of society

or political creed. The formulation of policy, being a function of government, is

essentially part of the political process, as are the demands made on government

by the public for its revision (kebijakan pendidikan suatu pemerintahan

  merefleksikan dan terkadang merusak pandangannya terhadap masyarakat atau keyakinan politik. Sebagai fungsi pemerintahan, formulasi kebijakan secara esensial merupakan bagian dari proses politik, sebagai tuntutan-tuntutan publik pemerintah untuk melakukan perubahan). Pada gilirannya, implementasi dari suatu kebijakan pendidikan berdampak pada kehidupan politik. Berbagai kebijakan pendidikan berdampak langsung pada akses, minat dan kepentingan pendidikann para stakeholder pendidikan terutama orangtua dan peserta didik, dan masyarakat pada umumnya. Sedang empat aspek kehidupan masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, yaitu lapangan kerja, mobilitas sosial, ide-ide, dan sikap.

  Politik pendidikan yang dimaksud termanifestasikan dalam kebijakan- kebijakan strategis pemerintah dalam bidang pendidikan. Politik pendidikan yang diharapkan tentunya politik pendidikan yang berpihak pada rakyat kecil atau miskin. Bagaimanapun, hingga hari ini masih banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat SD sekalipun. Masih banyak sekolah yang kekurangan fasilitas atau bahkan tidak memiliki gedung yang representatif atau tak memiliki ruang belajar sama sekali. Masih banyak sekolah yang sangat kekurangan guru pengajar. Masih banyak pula guru (honorer) yang dibayar sangat rendah yang menyebabkan motivasi mengajarnya sangat rendah. Dinamika hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dalam suatu masyarakat terus meningkat, seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Di negara-negara berkembang, dinamika tersebut cenderung lebih tinggi karena perubahan-perubahan di negara-negara tersebut terjadi lebih intens.

  Abernethy dan Coombe (2003: h.288) mengamati hal-hal berikut ini. Secara umum, signifikansi politik pendidikan dalam masyarakat kontemporer meningkat dengan derajat perubahan yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Perubahan-perubahan besar yang telah dialami oleh negara- negara berkembang dan perubahan-perubahan, baik yang disengaja atau tidak disengaja, yang sedang berproses, semuanya memperlihatkan hubungan timbal balik antara politik dan pendidikan

  Kutipan di atas paling tidak menggambarkan tiga hal, pertama, eratnya hubungan antara dunia pendidikan dan dunia politik. Kedua, besarnya pengaruh hubungan tersebut terhadap tatanan kehidupan sosial politik masyarakat. Ketiga, besarnya peran persekolahan modern dalam keruntuhan kolonialisme.