Sejarah Ekranisasi Mengangkat Novel Menj

Sejarah Ekranisasi:
Mengangkat Novel Menjadi Film
di Nusantara (1927–2014)
Christopher A. Woodrich
International Indonesia Forum / Universitas Gadjah Mada
Ekranisasi dan Masalah Sejarahnya
Ekranisasi merupakan proses di mana suatu karya diangkat dalam bentuk film, baik
itu film layar lebar (film bioskop) maupun film atau serial layar kaca (film televisi). Proses
ini dikenal dalam pelbagai bentuk. Dalam sejarah perfilman Indonesia sendiri, misalnya,
terdapat film yang berdasarkan cerita rakyat (a.l. Loetoeng Kasaroeng [L. Heuveldorp, 1926];
Sangkuriang [Sisworo Gautama Putra, 1982]), film yang berdasarkan novel (a.l. Eulis Atjih
[George Krugers, 1927]; Sang Penari [Ifa Isfansyah, 2011]), film yang berdasarkan cerita
pendek (a.l. Harta Karun [Usmar Ismail, 1949]; Mereka Bilang, Saya Monyet! [Djenar
Maesa Ayu, 2008]), film yang berdasarkan naskah drama (a.l. Tjitra [Usmar Ismail, 1949];
Dr Samsi [Ratna Asmara, 1952]), film yang berdasarkan komik (a.l. Si Buta dari Gua Hantu
[Lilik Sudjio, 1970]), film yang berdasarkan lagu (a.l. Bengawan Solo [Jo An Tjiang, 1949];
Aku Cinta Kamu [Acha Septriasa dkk., 2014]), dan film yang berdasarkan kisah "non-fiksi"
yang tetap ditambahkan unsur fiksi (a.l. Perawan Desa [Frank Rorimpandey, 1978]; Habibie
& Ainun [Faozan Rizal, 2012]). Dari daftar judul di atas, tampak bahwa proses mengangkat
karya menjadi film tergolong sangat produktif, terutama ekranisasi novel.
Proses ekranisasi, sebagaimana disebut di atas, juga dikenal sebagai filmisasi atau

dengan istilah yang lebih umum alih wahana dan adaptasi. Namun, di sini istilah ekranisasi,
yang merupakan gabungan dari kata dasar ekran (yang secara etimologis dapat dilacak ke
istilah écran dalam bahasa Perancis, yang berarti 'layar') dan sufiks –isasi ('proses menjadi'),
digunakan. Karena etimologi tersebut, ekranisasi sebagai konsep secara eksplisit tidak
termasuk pengangkatan karya ke media non-film. Istilah ini pertama kali digunakan oleh
Pamusuk Eneste dalam penelitian skripsinya pada tahun 1977, yang hasilnya diterbitkan
secara ringkas dalam majalah Tifa Sastra pada tahun 1978 dengan judul "Ekranisasi: Kasus
Anak Perawan di Sarang Penyamun, Salah Asuhan, dan Atheis".
Dalam artikel tersebut, Pamusuk—dengan merujuk kepada pernyataan Usmar Ismail
—menyebutkan Anak Perawan di Sarang Penjamun (Usmar Ismail, 1963) sebagai hasil
ekranisasi pertama di Nusantara. Sementara itu, menanggapi pernyataan Usmar Ismail di atas,
Rosihan Anwar (1962) mengungkapkan bahwa Anak Perawan di Sarang Penjamun bukan
film Indonesia pertama yang berdasarkan novel, melainkan Siti Noerbaja (Lie Tek Swie,
1941). Penelitian yang lebih sistematis (Woodrich, 2014) menunjukkan bahwa, bahkan
sebelum Siti Noerbaja ditayangkan, sudah ada lebih dari sepuluh film domestik lain yang
berdasarkan novel, mulai dari Eulis Atjih (George Krugers, 1927). Uraian singkat ini
menunjukkan bahwa sejarah praktik ekranisasi kurang terdokumentasi, sehingga muncul
banyak kesalahpahaman.
Kekurangan dalam dokumentasi dan pemahaman sejarah praktik ekranisasi novel
menjadi semakin ganjal ketika produktivitas dan keberhasilan komersiil/kritikal proses


tersebut dipertimbangkan. Menurut penulusuran awal, di Nusantara tidak kurang dari 240
film dibuat berdasarkan novel, baik novel dari dalam negeri maupun novel dari luar negeri,
antara tahun 1927 dan tahun 2014 (Bagan 1). Ini merupakan lebih dari 7 persen dari semua
film Indonesia yang tercatat dalam Katalog Film Indonesia (Kristanto, 2007) dan penerusnya,
filmindonesia.or.id. Sementara itu, di antara tahun 2000 dan 2015 tujuh film dari sepuluh film
terlaris di Indonesia diangkat dari novel. Film-film yang dihasilkan melalui ekranisasi juga
sering memperolehkan penghargaan, termasuk film Ca-Bau-Kan (Nia Dinata, 2001) dan Di
Bawah Lindungan Ka'bah (Hanny R Saputra, 2011) yang diikutsertakan dalam kompetisi
Academy Award for Best Foreign Language Film.

Bagan 1: Produksi film hasil ekranisasi di Indonesia dari tahun ke tahun

Dalam rangka lebih banyak mendokumentasi sejarah praktik ekranisasi, kuliah umum
ini akan menyampaikan beberapa hasil penelitian awal dari disertasi yang berjudul
"Indonesian Pages to Indonesian Screens: A Genealogy of Ekranisasi in Indonesia".
Pembahasan dibagi menjadi dua topik utama. Pembahasan pertama akan menjelaskan
beberapa kecenderungan umum dalam praktik ekranisasi novel di Indonesia, sebagaimana
terwujud di antara tahun 1927 dan 2014. Sementara itu, pembahasan kedua akan melihat
kecenderungan dalam lima periode dalam praktik ekranisasi di Indonesia, yaitu periode

periode kolonial (1927–49), periode awal kemerdekaan (1950–69), zaman emas pertama
(1970–93), periode transisi (1993–2000), dan zaman emas kedua (2001 – sekarang). Kuliah
umum ini lalu ditutupi dengan beberapa kesimpulan.
Beberapa Catatan Umum
Sebagaimana dinyatakan di atas, menurut penelusuran awal tidak kurang dari 240 film
diangkat dari novel menjadi film di Indonesia di antara tahun 1927 dan 2014. Pertimbangan
finansial menjadi bagian penting dari keputusan mengangkat novel menjadi film. Ini dapat
dilihat dari kenyataan bahwa sebagian besar film hasil ekranisasi diangkat dari novel yang
berhasil secara komersil, baik itu novel yang tergolong sastra popular maupun novel yang

sudah masuk sastra kanon. Untuk beberapa contoh spesifis, dapat rujuk Boenga Roos dari
Tjikembang (The Teng Chun, 1931), yang berdasarkan novel Kwee Tek Hoay yang cetakan
pertamanya terjual habis; Badai Pasti Berlalu (Teguh Karya, 1977), yang berdasarkan novel
Marga T. yang terjual 40.000 eksemplar; dan Ayat-Ayat Cinta (Hanung Bramantyo, 2008),
yang berdasarkan novel Habiburrahman El Shirazy yang terjual 750.000 eksemplar.
Pengutamaan novel yang laris dalam praktik ekranisasi mencerminkan pemahaman
bahwa film dibuat sebagai komoditas yang dijual kepada konsumen (penonton). Apabila
novel sudah membuktikan dirinya popular dengan dijualnya ribuan eksemplar, maka pembuat
film dapat mengasumsikan bahwa sudah ada penonton yang mau dan tertarik menonton film
yang berdasarkan novel tersebut. Novel yang laris, terutama yang tergolong sastra popular,

memiliki formula yang sudah teruji, sehingga karya yang berhasil sebagai novel diasumsikan
sudah menggunakan formula yang dapat diterapkan dengan baik (meskipun dengan beberapa
modifikasi) dalam film. Bahkan ada film yang, meskipun novelnya sendiri kurang terkenal,
tetap dibuat karena genre atau penulisnya sangat popular. Karena itu, sejak tahun 1970-an
nama pengarang sudah menjadi bagian penting dari pengiklanan.
Hampir semua (183 film) hasil ekranisasi dibuat dalam kurun waktu kurang dari 5
tahun sejak novel sumber pertama kali diterbitkan, dan sebagian besar (140 film) dalam
kurun waktu 2 tahun sejak novel sumber pertama kali diterbitkan. Hal ini dapat dilihat,
misalnya, dengan munculnya film Negeri 5 Menara (Affandi Abdul Rachman, 2012) dua
tahun setelah novelnya terbit serta ditayangkannya Jang Djatuh Dikaki Lelaki (Nico
Pelamonia, 1971) setahun setelah novelnya mulai beredar. Namun, ada pula novel yang
jangka waktu antara terbitnya novel dan dibuatnya film cukup panjang; Di Bawah Lindungan
Ka'bah (Hanny R. Saputra, 2011), misalnya, mulai ditayangkan 73 tahun setelah novelnya
pertama kali terbit.
Singkatnya jangka waktu antara diterbitkannya novel dan diproduksinya film hasil
ekranisasi sebenarnya masuk akal, mengingat bahwa novel yang baru terbit—apalagi novel
popular—cenderung masih diingat oleh masyarakat umum yang menjadi sasaran para
pembuat film. Karena itu, sudah ada calon penonton yang menyenangi novel yang difilmkan,
sehingga diharapkan mereka tertarik untuk menonton filmnya. Bahkan novel yang baru
mengalami ekranisasi setelah jedah waktu yang cukup panjang tetap dicetak ulang; ia tidak

surut dari bacaan masyarakat. Selain itu, apabila film diproduksi hanya beberapa tahun
setelah novel sumber diterbitkan, memperoleh bukunya (seandainya buku diacu) menjadi
lebih mudah; pembuat film belum tentu mau repot-repot mencari novel yang sudah belasan
tahun tidak terbit lagi, apalagi bilamana temanya sudah dianggap tidak topikal. Apabila film
diproduksi tidak lama setelah novel sumbernya terbit, pengarang juga lebih mudah dihubungi
untuk meminta izin atau bahkan untuk dilibatkan dalam proses produksi.
Mengenai soal bahasa, hampir semua film hasil ekranisasi diangkat dari novel yang
berbahasa Indonesia. Meskipun ada film Indonesia yang diangkat, secara langsung atau tidak
langsung, dari novel Melayu pasar (a.l. Si Tjonat [Nelson Wong, 1929] dan Melati van Agam
[Lie Tek Swie, 1931], Sunda (a.l. Eulis Atjih [George Krugers, 1927]; Karnadi Anemar
Bangkong [George Krugers, 1931]), Belanda (Max Havelaar [Hans Hylkema, 1975] dan
Oeroeg [Hans Hylkema, 1992]), dan Inggris (a.l. Pengantin Pantai Biru [Wim Umboh,
1983]), jumlahnya sangat terbatas. Kedua film yang diangkat dari novel berbahasa Belanda
tetap bercerita tentang Indonesia. Sementara itu, Pengantin Pantai Biru bukan diangkat

langsung dari novel The Blue Lagoon (Henry De Vere Stacpoole, 1908), melainkan film The
Blue Lagoon (Randal Kleiser, 1980).
Kecenderungan ini dapat dilihat, antara lain, dari persoalan akses. Pembuat film lebih
mudah mengakses novel yang ditulis dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia, baik dari segi
pembelian bukunya maupun pemerolehan izin untuk mengefilmkannya. Meskipun novel

asing juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, memperoleh izin untuk mengangkat
novel tersebut ke dalam bentuk film jauh lebih sulit. Karena itu, lebih banyak novel
berbahasa Indonesia yang dapat diangkat oleh pembuat film daripada novel berbahasa daerah
atau berbahasa asing. Dari segi audiens, pengutamaan bahasa Indonesia juga memungkinkan
film mencapai audiens yang paling luas; dalam beberapa puluh tahun terakhir, novel dalam
bahasa daerah memiliki jangkauan yang lebih sempit (i.e. audiens pembaca yang lebih
sedikit) daripada novel yang berbahasa Indoneisa.
Dari segi genre, sebagian besar—lebih dari 55%— film hasil ekranisasi di Indonesia
kental dengan tema romansa. Film-film lain ada yang bersifat inspiratif (a.l. Laskar Pelangi
[Riri Riza, 2008]) atau mengangkat kisah tragedy kemanusiaan (a.l. Atheis [Sjumandjaja,
1974]). Ada pula yang bersifat horor (a.l. Toilet 105 [Hartawan Triguna, 2010]), komedi (a.l.
Poconggg Juga Pocong [Chiska Doppert, 2011]), laga (a.l. Dendam Anak Haram [Sisworo
Gautama, 1972]), dan kriminal (a.l. Si Tjonat [Nelson Wong, 1929]). Namun, dalam film
sedemikian rupa pun seringnya masih ada cerita cinta, seperti yang muncul di antara Hasa
dan Kartini dalam Atheis.
Ada lebih dari seratus contoh cerita yang menekankan romansa, yang dapat dilacak
sampai tahun 1931, ketika Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay diangkat
menjadi film oleh The Teng Chun. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, cerita romansa ini
didominasi oleh film yang diangkat dari novel Mira W., Marga T. Eddy Iskandar, serta
puluhan penulis lain. Cerita cinta, baik yang bernuansa Islami maupun yang sekular, juga

sering diangkat pada tahun 2000-an dan 2010-an, termasuk novel-novelnya Habiburrahman
El Shirazy (Islami) dan Agnes Davonar (sekular). Keberhasilan genre ini bukanlah suatu
kejuatan, mengingat bahwa ia merupakan salah satu jenis sastra popular yang paling banyak
ditulis dan diterbitkan di Indonesia, dan bahwa escapism yang ditawarkan bukanlah sesuatu
yang sangat berbahaya bagi rezim penguasa.
Kenyataan bahwa suatu cerita pernah diangkat dengan cara tertentu tidak berarti cerita
tersebut akan diangkat dengan cara yang sama apabila difilmkan ulang. Misalnya, peran
Edward William dalam Njai Dasima (Lie Tek Swie, 1929) dan Samiun dan Dasima
(Hasmanan, 1971) sangat berbeda, meskipun kedua film tersebut sama-sama diangkat (secara
tidak langsung) dari Tjerita Njai Dasima (G. Francis, 1896); tokoh Edward, misalnya,
menjadi simpatetis dalam film Njai Dasima, tetapi dicitrakan sebagai orang yang bernafsu
sex tinggi dalam Samiun dan Dasima. Juga terdapat perbedaan yang mencolok di antara film
Boenga Roos dari Tjikembang (The Teng Chun, 1931) dan Bunga Roos dari Cikembang
(Fred Young, 1975); Darah dan Mahkota Ronggeng (Yazman Yazid, 1983) dan Sang Penari
(Ifa Isfansyah, 2011); serta Para Perintis Kemerdekaan (Asrul Sani, 1977) dan Di Bawah
Lindungan Ka’bah (Hanny R Saputra, 2011).
Ada banyak hal yang mungkin menyebabkan transformasi-transformasi seperti yang
disebutkan di atas. Perubahan dalam pola kekuasaan antara orang Pribumi dan orang Eropa
yang terjadi antara tahun 1929 dan 1970, misalnya, dapat (membantu) menjelaskan mengapa


tokoh Edward mengalami transformasi yang sangat drastis. Di era kolonial, orang Eropa
memiliki status sosial yang paling tinggi serta kekuasaan yang memungkinkan mereka untuk
menyensor segala sesuatu yang dianggap mengurangi martabat bangsa mereka. Sementara
itu, di tahun 1970-an orang Eropa sudah tidak berkuasa di Indonesia, dan menjadi sasaran
empuk untuk kritik dari orang Pribumi—termasuk kritik terhadap nafsu seksualnya yang
dianggap berlebihan. Transformasi ini juga (ikut) disebabkan oleh perubahan dalam media
sumber. Njai Dasima dibuat lebih dari tiga puluh tahun setelah novelnya diterbitkan, sewaktu
cerita lenong yang paling terkenal dan berpengaruh. Sementara itu, ketika Samiun dan
Dasima dibuat, sudah ada penceritaan ulang oleh SM Ardan yang mengubah pola kekuasaan
dalam cerita tersebut; versi inilah yang menjadi dasar Misbach Yusa Biran dalam membuat
scenario yang pada akhirnya menjadi Samiun dan Dasima (Kompas, 1971). Dua
kemungkinan ini hanyalah contoh; masih ada banyak kemungkinan lain yang di luar scope
tulisan ini.
Sejarah Ringkas Praktik Ekranisasi
Pengefilman novel di Nusantara sudah dimulai di periode kolonial. Ada setidaknya 11
novel yang dijadikan dasar film di antara tahun 1927, ketika Eulis Atjih (George Krugers)
diproduksi, dan 1941, ketika Siti Noerbaja (Lie Tek Swie) difilmkan. Sebagian novel yang
diangkat merupakan novel yang popular di daerah di mana film tersebut diproduksi; Eulis
Atjih dan Karnadi Anemer Bangkong (George Krugers, 1931), misalnya, dibuat dengan cerita
dari novel berbahasa Sunda dan diproduksi di Bandung, sementara ketiga film yang dibuat

dengan cerita dari Tjerita Njai Dasima (Njai Dasima [Lie Tek Swie, 1929], Njai Dasima
[Bachtiar Effendi, 1931], dan Dasima [Tan Tjoei Hock, 1941]) diproduksi di Batavia
(Jakarta). Cerita juga tampaknya diangkat berdasarkan audiens sasaran; Boenga Roos dari
Tjikembang (The Teng Chun, 1931), misalnya, dibuat oleh orang yang mengincar audiens
Tionghoa, sementara produser Njai Dasima (Lie Tek Swie, 1929) secara eksplisit memilih
cerita tersebut supaya dinikmati penonton Pribumi.
Rata-rata novel yang difilmkan sudah pernah diangkat menjadi cerita panggung,
sehingga sangat dimungkinkan novel tidak diangkat secara langsung, melainkan berdasarkan
karya panggung—baik itu teater tradisional seperti lenong maupun teater popular seperti
Padangsche Opera-nya Andjar Asmara. Asumsi ini didukung oleh kenyataan bahwa, dalam
periklanan, kaitan film dengan novel tidak diungkapkan. Tan Khoen Yauw, yang menjadi
produser film Njai Dasima (Lie Tek Swie, 1929), bahkan tidak menggunakan istilah "novel"
atau "buku" ketika dia menjelaskan bahwa filmnya didasarkan pada cerita terkenal (Kwee,
1929). Apabila memang film-film ini diangkat bukan dari novelnya, melainkan dari cerita
yang sudah beredar di masyarakat, implikasinya bahwa perfilman awal tersebut berkaitan erat
dengan budaya oralitas.
Selama masa Jepang dan Revolusi, tidak banyak film diproduksi di Indonesia, dan
tidak satu pun dibuat berdasarkan novel. Produksi film melalu ekranisasi hanya dimulai
kembali pada tahun 1950-an. Namun, selama hampir dua puluh tahun, sampai awal Orde
Baru, hanya ada beberapa film yang diangkat dari novel, termasuk, antara lain, Pulang

(Basuki Effendi, 1952), Arni (D. Djajakusuma, 1955), Solo Diwaktu Malam (Nawi Ismail,
1952), Anak Perawan di Sarang Penjamun (Usmar Ismail, 1962), dan Sendja di Djakarta

(Nico Pelamonia, 1967). Kenyataan ini kontras secara signifikan dengan tren dalam produksi
film cerita, yang tergolong cukup tinggi antara tahun 1950 dan 1957.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi rendahnya tingkat ekranisasi ini. Pada
tahun-tahun itu, masih banyak anggota masyarakat yang buta huruf, sehingga dunia sastra
popular kurang berkembang (meskipun tetap ada). Film yang dibuat berdasarkan novel pun
tidak mendapatkan pengakuan sebagai adaptasi karya sastra; dalam satu artikel di majalah
Kentjana, Ajip Rosidi (1955) membahas praktik ekranisasi tetapi hanya menggunakan film
dari luar Indonesia yang diangkat dari karya sastra kanon sebagai contoh. 1 Iklan pun, seperti
di periode kolonial, tidak menekankan bahwa suatu film dibuat berdasarkan novel.
Selain itu, ada beberapa faktor umum yang bukan hanya mempengaruhi rendahnya
tingkat ekranisasi ini, tetapi juga rendahnya produksi film pada umumnya dari tahun 1957
hingga akhir tahun 1960. Karena persaingan yang ketat dari film impor, terutama yang dari
India dan Filipina (untuk kelas menengah-bawah) dan film Amerika (untuk kelas atas), film
Indonesia kurang bisa menghasilkan uang, sehingga banyak tenaga kreatif yang beralih
profesi dan studio yang tutup. Setelah itu, guncangan ekonomi pada tahun 1960-an
mengurangi modal yang dapat digunakan untuk memproduksi film, dan persaingan politik
antara kelompok kiri (kubu LEKRA) dan kanan (kubu Usmar Ismail) semakin mempersulit

keadaan. Setelah peristiwa G30S, beberapa tokoh perfilman ditangkap atau mengundurkan
diri, sehingga tenaga kreatif pun berkurang.
Berbeda dengan praktik ekranisasi pada periode colonial, di tahun 1950-an dan 1960an novel yang diangkat bukanlah novel yang berbahasa Melayu pasar atau bahasa daerah,
melainkan novel yang berbahasa Indonesia. Ini termasuk novel yang kemudian diakui sebagai
sastra kanon (Anak Perawan di Sarang Penjamun, Sendja di Djakarta) serta novel yang terus
diakui sebagai sastra popular (a.l. Solo Diwaktu Malam dan Arni). Novel yang diangkat juga
tidak mesti difilmkan setelah ceritanya diadaptasi untuk pentas, meski juga ada beberapa
(seperti Solo Diwaktu Malam) yang pernah dipentaskan. Terakhir, pada tahun 1950-an dan
1960-an sudah tidak ada pembedaan eksplisit antara audiens dengan etnisitas tertentu; film
hasil ekranisasi dibuat untuk umum.
Seiring dengan meningkatnya produksi film nasional, yang didukung oleh kebijakan
yang membatasi jumlah film impor, serta menjamurnya sastra popular pada awal tahun 1970an, produksi film melalui proses ekranisasi meningkat. Adanya dukungan, dalam bentuk dana
dari importir (melalui kebijakan yang sudah disebutkan di atas, yang mewajibkan pembuatan
satu film untuk setiap tiga film yang dimpor) serta sumber inspirasi (novel), mendorong
produser dan sutradara untuk memilih novel yang sudah populer dan membuat filmnya.
Keuntungan yang dapat diperoleh dibuktikan dengan berhasilnya film Karmila (Ami Prijono,
1974), yang memperoleh 213,036 penonton di Jakarta dan menembus bioskop kelas atas.
Tujuan komersiil dari praktik ekranisasi tercermin dari pemilihan novel yang
diangkat. Penulis-penulis yang karyanya paling banyak difilmkan pada tahun 1970-an dan
1980-an adalah Mira W. Eddy Iskandar, dan Marga T., dan, yang kesemuanya penulis novel
romantika popular. Ada pula penulis seperti Abdullah Harahap, Motinggo Busye, dan Kho
Ping Hoo yang novelnya juga sering diangkat, meskipun mereka bukanlah penulis cerita
cinta. Ada pula film yang dibuat berdasarkan sastra kanon dan tidak sepenuhnya dimaksud
1

Pandangan seperti inilah yang mungkin mempengaruhi Usmar Ismail ketika dia menyatakan bahwa Anak
Perawan di Sarang Penjamun (1963) merupakan perintis dalam kerja sama antara orang film dan sastrawan.

untuk mencari keuntungan, seperti Salah Asuhan (Asrul Sani, 1972) dan Atheis (Sjumandjaja,
1974). Dalam pengiklanan film-film ini, kaitan antara novel dan film yang dihasilkan mulai
ditekankan, baik itu dengan tulisan (seperti Perisai Kasih yang Terkoyak [Hadi Poernomo,
1986]), gambar buku-bukuan (seperti Terminal Cinta [Abrar Siregar, 1977]), atau gambar
novel yang diangkat (seperti Bunga-Bunga SMA [Matnoor Tindaon, 1980]).
Beberapa fenomena di periode ini meneruskan fenomena yang mulai berkembang di
tahun 1950-an. Praktik ekranisasi semakin meninggalkan oralitas, dan sebagian besar film
yang dihasilkan tidak dijadikan cerita panggung (baik sebelum maupun setelah novelnya
difilmkan). Film hasil ekranisasi pada umumnya ditujukan untuk penonton umum, tanpa
memandang etnisitas. Mengingat beberapa perkembangan dalam kebijakan nasional yang
semakin menekankan kebudayaan Tionghoa, ini terjadi bahkan ketika sutradara keturunan
Tionghoa mengangkat novel karya pengarang Tionghoa. Dalam film Bunga Roos dari
Cikembang (Fred Young, 1975), misalnya, nama tokoh utama diubah dari Aij Tjeng dan Gwat
Nio menjadi Wiranta dan Salmah.
Pelbagai genre dan tema dicerminkan dalam praktik ekranisiasi pada tahun 1970-an.
Muncul, antara lain, adaptasi novel remaja untuk remaja dan anak–anak (a.l. Petualang Cilik
[Dhira Soehoed, 1977] dan serial Lupus [Achiel Nasrun dan Edi Siswanto, 1987–1990]) serta
adaptasi cerita horor (a.l. Mistik (Punahnya Rahasia Ilmu Iblis Leak) [Tjut Djalili, 1981]).
Beragam tema seperti modernisasi, keluarga, perceraian, dan pembangunan muncul. Ada pula
kritik terhadap masalah sosial seperti jugun ianfu (seperti Kadarwati [Sophan Sophiaan,
1983]) atau hubungan Belanda–Indonesia (seperti Oeroeg [Hans Hylkema, 1992]).
Dalam periode transisi, yaitu dari tahun 1993 hingga 2000, produksi film Indonesia
mengalami penurun drastis. Penyebabnya banyak dan beragam, sehingga tidak dapat
diuraikan secara mendetail di sini. Ada banyak persaingan dengan film-film dari luar
Indonesia, mengingat bahwa sejak tahun 1980-an pemerintah sudah tidak membatasi impor
film asing. Selain itu, jumlah penonton menurun karena munculnya teknologi Betamax dan
VCD di akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an. Munculnya televisi swasta juga ikut
berperan; banyak tenaga kreatif meninggalkan dunia perfilman untuk mulai terlibat dalam
pembuatan acara televisi baru. Selain itu, Indonesia mulai mengalami masalah ekonomi, yang
memuncak dengan krisis moneter pada tahun 1997 dan 1998.
Dalam situasi sedemikian rupa, jumlah film yang dihasilkan melalui ekranisasi novel
menurun; menurut penelitian awal ini, selama tujuh tahun hanya ada enam film yang
diproduksi berdasarkan novel di Indonesia. Sebagian di antaranya, seperti Pergaulan Intim
(Willy Wilianto, 1994), bersifat seksploitasi dan mengikuti tren "esek-esek" yang di tahuntahun tersebut menjadi semakin dominan. Ada pula film seperti Perawan Lembah Wilis
(Tommy Burnama, 1993), yang merupakan film laga dan diangkat dari novel laga pula.
Namun, ada satu film yang diangkat dari karya sastra kanon, yaitu Telegram (Slamet
Rahardjo, 1997), yang produksinya baru selesai pada tahun 2000 karena ada halangan dana.
Pada umumnya, film-film yang diangkat dari novel dalam periode ini kurang memuaskan
secara finansial.
Praktik ekranisasi diteruskan, dengan beberapa film setiap tahunnya, sampai tahun
2008, ketika ada peningkatan tinggi dalam jumlah film yang diproduksi melalui ekranisasi.
Pada tahun tersebut, dua di antara semua film yang mengangkat novel memperoleh sukses
komersil yang fenomenal: Ayat-Ayat Cinta (Hanung Bramantyo, 2008) memperoleh

3,581,947 penonton, sementara Laskar Pelangi (Riri Riza, 2008) memperoleh 4.719.453
penonton. Sejak tahun 2008, produksi film yang dihasilkan melalui ekranisasi terus
meningkat, sehingga belasan setiap tahunnya.
Peningkatan produksi ini diikuti oleh beberapa fenomena baru dalam praktik
ekranisasi. Ada diversifikasi genre lagi, dengan beberapa genre baru (seperti romansa Islami
dan sastra perjalanan) berkembang cukup pesat, dan beberapa film dibuat melalui ekranisasi
dalam genre yang sebelumnya didominasi oleh film non-ekranisasi (seperti komedi). Film
kembali diangkat dari novel yang dianggap "sastra kanon", termasuk dua novel Hamka (Di
Bawah Lindungan Ka'bah [Hanny R Saputra, 2011] dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck
[Sunil Soraya, 2013]) serta Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari (Sang Penari [Ifa
Isfansyah, 2011]).
Novelis yang karyanya diangkat cenderung penulis baru, seperti Habiburrahman El
Shirazy, Andrea Hirata, dan Agnes Davonar. Karya kadang diangkat oleh novelisnya sendiri,
seperti yang terjadi dalam kasus Lost in Love (Rachmania Arunita, 2003) dan Rumah di
Seribu Ombak (Erwin Arnada, 2012). Sementara itu, ada juga beberapa penulis lama yang
karyanya difilmkan. Sebagaimana dinyatakan di atas, misalnya, ada dua film yang diangkat
dari novel Hamka, dan satu film yang diangkat dari novel Ahmad Tohari. Namun, film yang
diangkat dari penulis lama—terutama yang dari genre sastra popular (seperti True Love [Dedi
Setiadi, 2011], yang diangkat dari novel Mira W. Cinta Sepanjang Amazon [2008])—kurang
laku.
Di antara semua karya yang dihasilkan melalui ekranisasi, ada beberapa film—ratarata yang berdasarkan novel karya penulis baru—yang tergolong cukup laris di pasar atau
disambut dengan baik oleh kritikus. Dari segi komersil, ini termasuk, misalnya, Ayat-Ayat
Cinta (Hanung Bramantyo, 2008) dan Laskar Pelangi (Riri Riza, 2008) yang sudah
disebutkan di atas, serta Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1.724.110 penonton) dan 99
Cahaya di Langit Eropa (Guntur Soeharjanto, 2013; 1.189.709 penonton). Dari segi kritikal,
ada film seperti Ca-Bau-Kan (Nia Dinata, 2001) dan Di Bawah Lindungan Ka'bah (Hanny R
Saputra, 2011) yang, sebagaimana sudah dinyatakan di awal tulisan ini, diikutsertakan dalam
kompetisi Academy Award for Best Foreign Language Film, serta film seperti 3 Hati Dua
Dunia Satu Cinta (Benni Setiawan, 2010) dan Sang Penari (Ifa Isfansyah, 2011) yang
memperoleh Piala Citra untuk Film Terbaik.
Gaya pengiklanan, dari segi pemosisian novel dalam konteks film yang dihasilkan,
masih mengikuti pola yang dibangun pada tahun 1970-an. Ada poster film—bukan selebaran
lagi—yang mencantumkan sampul bukunya secara langsung, seperti yang terjadi dalam
poster Test Pack: You're My Baby (Monty Tiwa, 2012). Ada pula yang hanya menyebut nama
novel yang diangkat, seperti Assalamualaikum Beijing (Guntur Soeharjanto, 2014). Novel
yang diangkat juga terus diterbitkan ulang dengan sampul yang menekankan filmnya; ada
pula yang diberikan keterangan "segera difilmkan", bahkan apabila novelnya masih cetakan
pertama.
Kesimpulan
Sebagaimana diperlihatkan di atas, praktik di ekranisasi di Nusantara memiliki sejarah
yang panjang dan dinamis. Meskipun ada beberapa kecenderungan yang dapat diperlihatkan,
tidak ada satu praktik ekranisasi yang tunggal. Film yang dihasilkan cenderung mengangkat

novel yang belum lama terbit, tetapi tidak selalu; film yang dihasilkan cenderung mengangkat
novel popular, tetapi tidak selalu; dan film yang dihasilkan cenderung diangkat dari novelnya
langsung, tetapi tidak selalu. Kecenderungan umum dalam praktik ekranisasi bahkan dapat
berubah dari zaman ke zaman, sebagaimana halnya muncul-tidaknya novel sumber dalam
iklan untuk film hasil ekranisasi.
Mengingat panjang dan dinamisnya sejarah praktik ekranisasi di Nusantara, uraian
singkat di atas sangat tidak cukup untuk menyumbangkan suatu pemahaman yang mendetail
mengenai asal usul dan perkembangan praktik ekranisasi. Karena itu, masih diperlukan
uraian yang lebih mendalam tentang praktik ekranisasi sebagaimana terwujud di Indonesia,
yang tidak melihat pelbagai aspeknya secara sekilas mata, tetapi benar-benar mengeksplorasi
aspek-aspek tersebut serta sebab-akibatnya. Tulisan sedemikian rupa, yang diharapkan dapat
terwujud melalui disertasi yang sedang ditulis, akan memungkinkan pemahaman yang lebih
utuh tentang praktik ekranisasi dan membuka kesempatan untuk penelitian yang lebih
mendalam lagi.
Daftar Pustaka
Anwar, Rosihan. 1962. "Kerjasama Sastrawan dan Sinemawan Dirintis: ‘Anak Perawan di
Sarang Penjamun’". Madjalah Purnama. 1:17.
Eneste, Pamusuk. 1978. "Ekranisasi: Kasus Anak Perawan di Sarang Penyamun, Salah
Asuhan, dan Atheis". Tifa Sastra. VII:38–39. hal. 17–20.
Kwee, Tek Hoay. 1929. "Film Njaie Dasima, productie dari Tan's Film Company".
Panorama. 3(153), 1199–1201. Kliping diakses di Sinematek Indonesia.
Rosidi, Ajip. 1955a. "Tentang Sastera dan Tjeritera Film". Kentjana, 3:7. 6–7, 32.
"Samiun dan Dasima". 1971. Kompas. 17 May. hal. V–VI.
Woodrich, Christopher. 2014. "Ekranisasi Awal: Adapting Films to the Silver Screen in the
Dutch East Indies". Tesis, Universitas Gadjah Mada.