Laporan Praktikum Kimia Pangan I Lemak

LAPORAN PRAKTIKUM
KIMIA PANGAN 1
ACARA III
LEMAK/MINYAK

ROMBONGAN 2 KELOMPOK 6
Lilis Retno Sulistiawati

(A1F015064)

Fadhil Alfiyanto Rahman

(A1F015071)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2016

Emulsifier, Kerusakan Minyak, dan Pengaruh Suhu terhadap Minyak

Lilis Retno Sulistiawati dan Fadhil Alfiyanto Rahman
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman
Jl. Dr. Soeparno, Karangwangkal, Purwokerto Utara, Banyumas, Jawa Tengah
ABSTRAK
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai emulsifier,
mengetahui asam lemak bebas yang terdapat dalam berbagai jenis minyak, dan
mengetahui pengaruh suhu terhadap minyak. Metode dalam praktikum ini dilakukan
menggunakan berbagai sampel jenis minyak yaitu minyak jagung, minyak kedelai,
VCO (Virgin Coconut Oil), minyak kelapa sawit komersial, dan minyak jelantah.
Hasil uji emulsifier menunjukkan bahwa emulsifier yang paling efektif untuk
mengemulsikan minyak dan air adalah ovalet, sedangkan, emulsifier alami berupa
asam oleat kurang sempurna dalam membentuk emulsi minyak dan air. Minyak yang
mengalami kerusakan terendah hingga tertinggi adalah minyak jelantah, minyak
jagung, minyak sawit, minyak kedelai dan minyak VCO. Pengaruh suhu dingin yang
paling signifikan secara berurutan dimulai minyak VCO, minyak jelantah, minyak
komersil, minyak kedelai dan minyak jagung.

Kata kunci: Emulsifier, kerusakan minyak, pengaruh suhu
I.

II.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lemak
dan
minyak
merupakan zat makanan yang
penting
untuk
menjaga
kesehatan tubuh manusia.
Selain itu, lemak dan minyak
juga merupakan sumber energi
yang
lebih
efektif
dibandingkan
dengan
karbohidrat

dan
protein.
Dimana satu gram lemak dan
minyak
menghasilkan
9
kkal/gram,
sedangan
karbohidrat dan protein hanya

menghasikan 4 kkal/gram.
Menurut Winarno (2004),
bahwa pada lemak dan
minyak, khususnya minyak
nabati, mengandung asam –
asam lemak esensial seperti
linoleat,
linoleat,
dan
arakidonat

yang
bisa
mencegah
penyempitan
pembuluh
darah
akibat
penumpukan kolestrol. Lemak
dan minyak juga berfungsi
sebagai sumber dan pelarut
bagi vitamin A, D, E dan K.
Selain itu, menurut Ketaren

(2005), yang berpendapat
bahwa trigliserida merupakan
hasil proses kondensasi satu
molekul gliserol dengan tiga
molekul asam – asam lemak
( umumnya kegita asam lemak
berbedabeda)

yang
membentuk satu molekul
trigliserida dan tiga molekul
air.
Secara kimia, lemak dibagi
menjadi tiga yaitu lemak
sederhana, lemak majemuk
dan turunan lemak. Lemak
sederhana
yaitu
apabila
dihidrolisis akan menghasilkan
alkohol,
biasanya
berupa
gliserol serta menghasilkan
asam lemak. Lemak majemuk
yaitu apabila dihidrolisis akan
mengahasilkan alkohol, asam
lemak dan senyawa lainnya

seperti fosfat, asam amino,
basa organik, seperti kolin atau
betain.
Lemak
majemuk
mengandung listrik atau paling
tidak mempunyai pengkutuban
muatan dalam molekulnya,
sehingga
lebih
mudah
berinteraksi
dengan
air.
Turunan lemak yaitu berbagai
senyawa yang diperoleh dari
hidrolisis atau pemecahan
kedua jenis lemak terdahulu,
yang
termasuk

dalam
kelompok ini adalah gliserol
dan berbagai alkohol lain yang
ikut menyusun lemak, asam

lemak dengan ikatan rangkap
(ikatan tak jenuh) dan asam
lemak tanpa ikatan rangkap
(jenuh).
Air dan minyak merupakan
cairan yang tidak saling
berbaur karena memiliki berat
jenis yang berbeda. Untuk
menjaga agar butiran minyak
tetap tersuspensi di dalam air,
pada mentega dan margarin
diperlukan
suatu
zat
pengemulsi

(emulsifier).
Raharjo (2008), menambahkan
bahwa bahan yang dapat
berperan sebagai pengemulsi
antara lain kuning telur,
kasein, albumin, atau lesitin.
Daya kerja emulsifier
terutama disebabkan oleh
bentuk molekulnya yang dapat
terikat baik pada minyak
maupun
air.
Dimana
Emulsifier tersebut apabila
lebih terikat pada air atau lebih
larut dalam air (polar) maka
dapat
lebih
membantu
terjadinya disperse minyak

dalam air sehingga terjadilah
emulsi minya dalam air (o/w).
Emulsifier yang lebih larut
dalam minyak (nonpolar)
menyebabkan
terjadinya
emulsi air dalam minyak
(w/o).
Cara
kerja
dari
emulsifier yaitu bila butir-butir
lemak telah terpisah karena
adanya
tenaga
mekanik

(pengocokan), maka butir-butir
lemak yang terdispersi tersebut
segera

terselubungi
oleh
selaput
tipis
emulsifier.
Barnabas (2009) mengatakan
bahwa,
bagian
molekul
emulsifier non polar larut
dalam
lapisan
butir-butir
lemak, sedangkan bagian yang
polar menghadap kepelarut
(air).
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kerusakan

minyak adalah penyerapan
bau, hidrolisis, dan oksidasi
lemak
yang
dapat
menyebabkan
ransiditas.
Lemak
bersifat
mudah
menyerap bau. Apabila bahan
pembungkus mudah menyerap
lemak, maka lemak yang
terserap ini akan teroksidasi
oleh udara sehingga rusak dan
berbau. Bau dari bagian lemak
yang rusak ini akan diserap
oleh minyak yang ada dalam
bungkusan
yang
mengakibatkan seluruh lemak
menjadi hidrolisis. Hidrolisis
dengan adanya air, minyak
dapat terhidrolisis menjadi
gliserol dan asam lemak.
Reaksi ini dipercepat oleh
asam, basa, dan enzim-enzim.
Dalam teknologi makanan,
hidrolisis oleh enzim lipase
sangat penting karena enzim
tersebut terdapat pada semua

jaringan yang mengandung
minyak.
Dengan
adanya
lipase, lemak akan diuraikan
sehingga kadar asam lemak
bebas
lebih
dari
10%.
Hidrolisis
sangat
mudah
terjadi dalam lemak dengan
asam lemak rendah (lebih kecil
dari C14) seperti pada
mentega, minyak kelapa sawit,
dan minyak kelapa. Hidrolisis
sangat menurunkan mutu
minyak goreng. Minyak yang
terhidrolisis, smoke point-nya
menurun,
bahan-bahan
menjadi coklat dan lebih
banyak menyerap minyak.
Kerusakan minyak yang utama
adalah timbulnya bau dan rasa
tengik yang disebut proses
ketengikan. Hal ini disebabkan
oleh oksidasi radikal asam
lemak tidak jenuh dalam
lemak.
Oksidasi
dimulai
dengan pembentukan radikalradikal bebas yang disebabkan
oleh
faktor-faktor
yang
mempercepat reaksi seperti
cahaya,
panas,
peroksida
(Ketaren, 2005).
Beberapa hal yang dapat
meningkatkan
kandungan
asam lemak bebas adalah
proses oksidasi dan hidrolisis.
Reaksi hidrolisis disebabkan
oleh kandungan air dalam
bahan pangan yang digoreng.
Di samping itu, terdapat enzim

lipase pada lemak atau minyak
mampu
menghidrolisis
trigliserida
sehingga
menghasilkan asam lemak
bebas dan gliserol, akan tetapi
pengaruh hidrolisis enzim ini
tidak efektif, karena ada
pemanasan. Reaksi lain yang
menghasilkan asam lemak
bebas
adalah
oksidasi.
Sedangkan menurut Gunawan
(2003), Asam bebas akan
terbentuk
selama
proses
oksidasi yang dihasilkan dari
pemecahan dan oksidasi ikatan
rangkap.
Sehingga Kadar asam
lemak bebas dipengaruhi oleh
air yang masuk dalam lemak
selanjutnya
terjadi
reaksi
hidrolisis yang menyebabkan
kerusakan lemak. Semakin
lama
pengasapan
maka
semakin tinggi kadar asam
lemak bebas telur asin asap,
karena
lama
pengasapan
berpengaruh terhadap banyak
sedikitnya uap air yang
dihasilkan. Uap air dari
pengasapan yang lama lebih
banyak daripada uap air yang
lebih singkat pengasapannya.
Semakin banyak uap air maka
semakin banyak pula lemak
yang terhidrolisis olehnya,
sehingga kadar asam lemak
bebas meningkat (Apendi,
2013).

B. Tujuan
Pada praktikum ini bertujuan
sebagai berikut:
1. Mengatahui pengaruh emulsifier
terhadap minyak goreng dan
membandingkan jenis emulsifier
terhadap stabilitas minyak dan air
2. Mengatahui kerusakan minyak
dengan menentukan kandungan
asam lemak bebas
3. Mengatahui
pengaruh
suhu
terhadap sifat minyak.
III.

METODE PRAKTIKUM
A. Tempat Praktikum
Praktikum dilaksanakan di
Laboratorium
Teknologi
Pertanian Universitas Jenderal
Soedirman
B. Emulsifier
Alat dan Bahan
Alat-alat
yang
digunakan pada praktikum ini
adalah rak tabung reaksi,
tabung reaksi, tabung ukur,
pipet ukur, dan gelas beaker.
Sedangkan,
bahan
yang
digunakan pada praktikum ini
adalah Ovalet, Tween 80, asam
linoleat, asam oleat, akuades
dan minyak goreng komersial
(merk Sania).
Prosedur
Langkah
awal
praktikum
ini
yaitu
menyiapkan empat tabung
reaksi
kemudian
masingmasing diisi 5 mL akuades dan
1 mL minyak goreng merk
Bimoli.
Setelah
itu,

menyiapkan
emulsifier.
Emulsifier yang tidak berupa
cairan seperti Ovalet perlu
dicairkan lebih dahulu. Setelah
itu memberikan perlakuan peda
keempat tabung yaitu tabung 1
tanpa ditambah emulsifier
( sebagai kontrol); Tabung 2
diberi penambahan Ovalet 0,5
mL; tabung 3 ditambah Asam
Oleat 0,5 mL; dan tabung 4
ditambah tween 0,5 mL. Semua
tabung dikocok selama 1 menit
kemudian didiamkan selama 5
menit. Langkah terakhir yaitu
mengamati kestabilan emulsi
dari keempat tabung secara
kualitatif, kekeruhan/kejernihan
sistem
emulsi
kemudian
lakukan
pengamatan
dan
dicatat dalam satu tabel.
C. Kerusakan Minyak
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan
dalam praktikum ini adalah
timbangan, erlenmeyer, pipet
ukur, dan gelas ukur. Bahan
yang
digunakan
adalah
beberapa jenis minyak seperti
minyak VCO (Virgin Coconut
Oil), minyak komersial (merk
Malinda), minyak kedelai,
minyak
jagung,
minyak
jelantah, larutan NaOH 0,1 N,
indikator PP, dan etanol netral
panas.
Prosedur

Praktikum ini diawali
dengan menimbang tiap jenis
minyak sebanyak 10 ml, dan
masing-masing dimasukkan ke
erlenmeyer 100 mL. Etanol
netral yang telah dipanaskan
ditambahkan
ke
dalam
erlenmeyer sebanyak 25 mL,
lalu dikocok dan didinginkan.
Setelah itu, dilakukan proses
titrasi menggunakan indikator
PP dan larutan NaOH 0,1 N.
Indikator PP diteteskan ke
dalam erlenmeyer sebanyak 3
kali.
Kemudian,
dititrasi
menggunakan larutan NaOH
yang telah dibuat sebelumnya.
Titrasi dilakukan dengan pipet
sampai tepat berubah warna
menjadi
merah
jambu.
Kemudian, jumlah larutan
NaOH 0,1 N yang digunakan
untuk titrasi sampel beberapa
jenis minyak yang diuji, dicatat
dan dibandingkan.
D. Pengaruh Suhu terhadap
Minyak
Alat dan Bahan
Praktikum
ini
menggunakan peralatan seperti
tabung reaksi, gelas beaker, dan
pipet ukur. Selain itu, bahan
yang
digunakan
dalam
praktikum ini adalah minyak
kelapa murni (VCO), minyak
kedelai
komersial
(merk
Malinda), minyak kelapa sawit

IV.

curah (merk Bimoli), minyak
jagung, dan minyak jelantah.
Prosedur
Mula-mula siapkan 12
buah tabung reaksi disiapkan
dan masing-masing 2 tabung
reaksi diisi dengan tiap jenis
minyak sebanyak 10 mL.
Kemudian, 2 gelas beaker
disiapkan dan masing-masing
diisi air bersuhu ruang (±270C)
dan bersuhu dibawah 5°C
sebanyak 250 mL. Tabung
HASIL DAN PEMBAHASAN

reaksi berisi 4 jenis minyak
berbeda dicelupkan ke dalam
gelas beaker bersuhu kamar,
dan 4 tabung lagi dicelupkan ke
dalam gelas beaker bersuhu
dibawah 5°C. Pencelupan
dilakukan selama 10 menit.
Setelah itu, setiap jenis minyak
diangkat dan diamati warna,
bau, serta kondisi cair/padat
pada setiap tabung berisi
minyak.

A. Hasil
 Emulsifier
Emulsifier

Kestabilan

Kontrol

Tidak Stabil

Kekeruha
n
+

Deskripsi

Tidak Berbuih
Terpisah
Ovalet
Stabil
++++
Banyak Berbuih
Asam Oleat Tidak Stabil
++
Tidak Berbuih
Terpisah
Tween
Stabil
+++
Sedikit Buih
Tabel 1. Hasil Pengamatan Percobaan Emulsifier
Keterangan:
+
: Jernih
+++ : Keruh
++
: Sedikit Jernih
++++ : Sangat Keruh


Keruskan Minyak

Jenis Minyak

Jumlah NaOH 0,1 mL

VCO

0,84 mL

Minyak sawit + curah merk
Malinda

0,12 mL

Minyak Jagung

0,3 mL

Minyak Kedelai

0,18 mL

Minyak Jelantah

0,09 mL

Tabel 2. Hasil Pengamatan Percobaan Kerusakan Minyak
 Pengaruh Suhu Terhadap Minyak
1. Pengaruh Suhu 270C
Hasil Pengamatan
Jenis Minyak
Warna

Bau

Kondisi

Minyak Jelantah

Jernih

Sangat Khas

Cair

Minyak VCO

Jernih

Sangat Khas

Cair

Minyak Malinda

Jernih

Tidak Khas

Sangat Kental

Minyak Bimoli

Jernih

Khas

Cair

Minyak Jagung

Jernih

Khas

Cair

Minyak Kedelai

Jernih

Khas

Cair

Tabel 3. Hasil Pengamatan Percobaan Pengaruh Suhu 27oC
2. Pengaruh Suhu 50C
Jenis Minyak

Hasil Pengamatan
Warna

Bau

Kondisi

Sangat Khas
Minyak Jelantah Jernih
Sangat Keruh
Khas
Minyak VCO
Tidak Khas
Minyak Malinda Jernih
Jernih
Khas
Minyak Bimoli
Jernih
Tidak Khas
Minyak Jagung
Tidak Khas
Minyak Kedelai Jernih
Tabel 4. Hasil Pengamatan Percobaan Pengaruh Suhu 5oC
B. Pembahasan
1. Emulsifier
Percobaan
kali
ini
dilakukan untuk mengetahui

Kental
Sangat Kental
Lebih Kental
Cair
Cair
Sedikit Kental

pengaruh emulsifier terhadap
minyak
goreng
serta
membandingkan
jenis
emulsifier terhadap stabilitas

emulsi minyak dan air.
Perlakuan yang dilakukan yaitu
dengan penambahan beberapa
jenis emulsifier pada minyak
goreng merk Sania. Beberapa
jenis
emulsifier
yang
digunakan yaitu Ovalet, Tween,
dan asam oleat. Ovalet dan
Tween merupakan emulsifier
alami, sedangkan, asam oleat
dan linoleat merupakan jenis
emulsifier buatan. Praktikum
diawali dengan menyiapkan
tabung reaksi yang sudah berisi
akuades
kemudian
ditambahkan minyak goreng
merk
Sania
dengan
perbandingan 1:5. Kemudian,
pada masing-masing tabung
reaksi
diberi
perlakuan
penambahan beberapa jenis
emulsifier dan satu tabung
reaksi dijadikan sebagai control
(tanpa emulsifier). Setelah itu,
tabung reaksi dikocok selama 1
menit dan didiamkan selama 5
menit. Pengocokan dilakukan
untuk menyatukan minyak dan
aquades dengan emulsifier
tersebut. Hasil dari perlakuan
tersebut diamati kestabilan dan
tingkat kekeruhan.
Emulsifier
yang
berbentuk padat seperti Ovalet,
perlu
dipanaskan
terlebih
dahulu agar mencair. Pencairan
ini tidak perlu dilakukan pada
emulsifier buatan lain seperti
Tween. Menurut Rowe (2009),

Tween berwujud cair, berwarna
kekuningan dan berminyak,
memiliki aroma yang khas, dan
berasa pahit. Larut dalam air
dan etanol, tidak larut dalam
minyak mineral.
Hasil
pengamatan
menunjukkan
terdapat
beberapa perbedaan kestabilan
pada minyak terhadap jenis
emulsifier. Tabung kontrol
yang tidak diberi perlakuan
penambahan emulsifier bersifat
tidak stabil dan kekeruhannya
rendah serta tidak homogen.
Kestabilan
emulsi
pada
perlakuan penambahan ovalet
dihasilkan kestabilan tinggi
dengan tingkat kekeruhan
tinggi pula dan bersifat
homogen berwarna putih serta
padat.
Kestabilan
emulsi
dengan penambahan Tween
bersifat stabil dengan tingkat
kekeruhan keruh dan homogen,
berbuih serta viskositasnya
tinggi.
Hal
tersebut
dikarenakan tween dan ovalet
merupakan emulsifier buatan
sehingga dapat membentuk
emulsi air dalam minyak dan
ester
dari
polioksietilena
sorbitan dengan asam lemak
yang dapat menjaga kestabilan
tingkat emulsi lebih baik dari
emulsifier alami.
Sedangkan, pada asam
oleat dihasilkan ketidakstabilan
emulsifier
dengan
tingkat

kekeruhan sedikit keruh serta
bersifat tidak homogen. Hal ini
disebabkan karena oleat dan
linoleat merupakan emulsifier
alami yang kurang dapat
menahan pengikatan air dan
minyak atau sebaliknya saat
setelah pengocokan sehingga
terjadi fase internal atau fase
terdispersi
selama
penyimpanan
cenderung
membentuk kumpulan bulatan.
Kemudian
bulatan-bulatan
berasal atau kumpulan dari
bulatan tersebut naik ke
permukaan atau turun ke dasar
emulsi membentuk sebuah
lapisan fase internal yang
pekat, dan apabila semua atau
sebagian cairan dari faase
internal
menjadi
“tidakteremulsi” dan membentuk
lapisan berbeda pada bagian
atas atau bawah emulsi sebagai
akibat dari penggabungan
butiran-butiran fase internal.
Hal tersebut sesuai
dengan
literatur
yang
menyebutkan bahwa terdapat
perbedaan kestabilan emulsi
antara penambahan emulsifier
alami dan buatan juga berbeda.
Emulsifier buatan memiliki
tingkat kestabilan lebih besar
daripada emulsifier alami. Hal
ini
disebabkan
karena
emulsifier buatan terdiri dari
beberapa jenis pengemulsi baik
dari pencampuran emulsifier

alami
atau
pencampuran
dengan emulsifier sintesis
sehingga tingkat kestabilannya
dapat diatur sedangkan pada
emulsifier
alami
tingkat
kestabilannya
tidak
dapat
diatur karena dari bahan yang
ada di alam (Khomsan, 2004).
Penambahan emulsifier
ovalet
mengakibatkan
terjadinya pemadatan. Hal ini
dikarenakan ovalet memiliki
sifat alami yang padat, apabila
ovalet berada pada suhu ruang
maka ovalet akan memadat
seperti sifat awalnya sehingga
untuk pemakaian ovalet harus
dipanaskan dan dilakukan
secara cepat. Sedangkan, pada
perlakuan tween terdapat buih.
Hal ini disebabkan karena
komposisi tween yang dapat
menimbulkan
buih
pada
komponen yang teremulsi.
Buih
dapat
didefinisikan
sebagai dua fase yang terdiri
atas fase gas dalam fase cair.
Buih
merupakan
dispersi
koloid dari fase gas yang
terdispersi di dalam fase cair
atau fase padat.
Menurut
Muchtadi
(2010), kestabilan pada minyak
goreng dengan penambahan
emulsifier
berbeda-beda.
Karena bila dua larutan murni
yang tidak saling campur/ larut
seperti
minyak
dan
air
dicampurkan lalu dikocok

a.

b.

c.

kuat-kuat, keduanya akan
membentuk sistem dispersi
yang disebut emulsi. Secara
fisik terlihat seolah-olah salah
satu fasa berada di sebelah
dalam fasa yang lainnya.
Secara umum, sebuah emulsi
dapat juga dianggap tidak stabil
secara fisik jika:
Fase internal atau fase terdispersi
selama penyimpanan cenderung
membentuk kumpulan bulatan
(globula),
bulatan-bulatan
berasal
atau
kumpulan dari bulatan tersebut
naik ke permukaan atau turun ke
dasar emulsi membentuk sebuah
lapisan fase internal yang pekat,
dan
Apabila semua atau sebagian
cairan dari faase internal menjadi
“tidak-teremulsi” dan membentuk
lapisan berbeda pada bagian atas
atau bawah emulsi sebagai akibat
dari penggabungan butiran-butiran
fase intern
2. Kerusakan Minyak
Percobaan
ini
menguji
kerusakan berbagai jenis minyak
dengan menentukan jumlah asam
lemak bebas. Jumlah asam lemak
bebas dapat ditentukan melalui
proses titrasi menggunakan larutan
NaOH 0,1 N dan indikator PP.
Larutan NaOH dibuat dengan cara
melarutkan 5,4 g NaOH dengan
akuades
hingga
100
mL.
Penggunaan larutan NaOH sebagai

titer disebabkan karena titran yang
merupakan berbagai jenis minyak
mengandung asam lemak yang
bersifat asam, sehingga titer yang
diperlukan untuk titasi harus
bersifat basa. Indikator PP
ditambahkan sebanyak 3 tetes ke
dalam
minyak,
setelah
itu
dilakukan titrasi sampai terjadi
perubahan warna pada minyak
menjadi merah jambu. Perubahan
warna pada minyak merupakan
indikator bahwa larutan telah
mengalami titik ekuivalen. Saat
titik ekuivalen tercapai maka
proses titrasi dihentikan. Indikator
asam basa dapat digunakan
untuk mengetahui titik ekivalen.
Indikator ditambahkan pada titran
sebelum proses titrasi dilakukan.
Indikator ini akan berubah warna
ketika titik ekuivalen terjadi, pada
saat inilah titrasi dihentikan.
Indikator yang dipakai dalam
titrasi asam basa adalah indikator
yang
perubahan
warnanya
dipengaruhi oleh pH seperti
indikator PP.
Jumlah NaOH yang digunakan
dapat menentukan kadar asam
lemak bebas yang terdapat pada
minyak. Semakin tingi jumlah
asam lemak bebas, semakin tinggi
pula kerusakan minyak tersebut.
Hal tersebut disebabkan karena
asam lemak merupakan senyawa
hasil degradasi lemak yang dapat
mengakibatkan ransiditas atau
ketengikan. Oleh karena itu, asam

lemak bebas dijadikan sebagai
indikator kerusakan minyak.
Kerusakan
minyak
dapat
terjadi akibat proses hidrolisis,
oksidasi, dan reversi. Hidrolisis
adalah proses pemecahan lemak
menjadi
molekul-molekul
penyusunnya seperti gliserol dan
asam lemak bebas. Oksidasi
merupakan proses pembentukkan
hidroperoksida akibat adanya
kontak
dengan
oksigen.
Sedangkan, reversi merupakan
proses perubahan struktur lemak.
Ketiga hal tersebut mengakibatkan
perubahan fisik dan kimia lemak,
dan menghasilkan asam lemak
bebas
yang
mengakibatkan
ransiditas atau ketengikan. Asam
lemak bebas merupakan hasil
degradasi
dari trigliserida
sebagai akibat dari kerusakan
minyak. Selain itu, asam lemak
bebas juga merupakan asam yang
dibebaskan dari proses hidrolisis
dari lemak. Asam lemak bebas ini
biasanya ditemukan dalam sel
dalam jumlah yang besar.
Berdasarkan hasil pengamatan,
didapatkan hasil bahwa minyak
yang menggunakan volume NaOH
untuk titrasi dari yang paling
sedikit yaitu minyak jelantah
sebanyak 0,09 mL, minyak jagung
0,3 mL, minyak sawit curah merk
malinda 0,12 mL, minyak kedelai
0,18 mL, dan minyak VCO
sebanyak 0,84 mL. Jumlah volume
NaOH yang digunakan untuk

titrasi tersebut dapat digunakan
untuk
menentukan
tingkat
kerusakan minyak
Minyak jelantah merupakan
minyak yang telah digunakan untuk
penggorengan sekali atau lebih.
Selama
penggorengan,
minyak
mengalami hidrolisis dan oksidasi
berkali-kali, sehingga menyebabkan
jumlah asam lemak bebas minyak
jelantah cukup tinggi. Berdasarkan
pengamatan,
minyak
jelantah
membutuhkan volume NaOH paling
sedikit yaitu 0,09 mL. Hal ini tidak
sesuai dengan literatur bahwa minyak
jelantah kaya akan asam lemak
bebas, dan mudah mengalami
kerusakan dan ransiditas, hal ini
dapat terjadi karena pada saat
pembuatan minyak jelantah waktu
untuk memanaskan minyak goreng
agar menjadi minyak jelantah kurang
lama dipanaskan atau terjadi
kesalahan saat melakukan percobaan
akibat ketidaktelitian praktikan.
Minyak jagung mengandung
asam lemak tak jenuh yang tinggi.
Minyak tak jenuh seperti minyak
jagung, mudah teroksidasi dan
terhidrolisis akibat panas yang dapat
menghasilkan asam lemak bebas dan
mudah
mengalami
ketengikan
(Syaiful,
2009).
Berdasarkan
pengamatan,
minyak
jagung
memiliki volume NaOH yang paling
sedikit kedua untuk proses titrasi
yaitu 0,3 mL. Artinya, minyak jagung
memiliki kandungan asam lemak
bebas yang lebih sedikit. Hal ini

kemungkinan disebabkan karena
minyak jagung terjaga dan tertutup
rapat, sehingga kontak dengan
oksigen menjadi minimum dan
kerusakan minyak tertunda.
Menurut GAPKI (2015),
minyak sawit mempunyai komposisi
asam lemak jenuh dan tidak jenuh
dengan proporsi yang seimbang.
Berdasarkan pengamatan, jumlah
volume NaOH yang digunakan untuk
titrasi pada minyak sawit adalah 0,12
mL. Artinya, kandungan asam lemak
bebas pada minyak sawit cukup
tinggi.
Hal
ini
kemungkinan
disebabkan karena minyak sawit
yang digunakan bukan minyak sawit
baru, dan juga terjadi kontak dengan
udara cukup lama.
Minyak kedelai mengandung
kurang 85% asam lemak tidak jenuh.
Asam lemak tidak jenuh lebih mudah
diabsorpsi usus dan lebih mudah
dicerna daripada asam lemak jenuh
(Gunawan,
2003).
Berdasarkan
pengamatan,
minyak
kedelai
memiliki volume NaOH yang sedikit
untuk proses titrasi yaitu 0,18 mL
yang mengartikan minyak kedelai
memiliki kandungan asam lemak
bebas yang juga sedikit. Sama seperti
minyak jagung, hal ini kemungkinan
disebabkan karena minyak kedelai
tertutup dengan rapat, sehingga
kontak dengan oksigen minimum dan
juga menunda kerusakan minyak
Minyak VCO menempati
urutan kebutuhan NaOH terbanyak
yaitu sebanyak 0,84 mL. Minyak

VCO diperoleh dari santan kelapa
dan dalam proses pembuatannya
ditambahkan air. Penambahan air ini
akan menyebabkan reaksi hidrolisis
pada minyak. Hasil dari hidrolisis
adalah asam lemak dan gliserol. Oleh
karena itu, jumlah asam lemak bebas
pada minyak VCO yang dianalisis
cukup banyak. Menurut Asy’ari
(2006), kandungan asam lemak bebas
cukup besar terdapat dalam minyak
VCO hasil pemanasan, hal ini
dikarenakan adanya pemakaian panas
dalam pembuatan minyak VCO akan
meningkatkan reaksi hidrolisis lemak
menjadi asam-asam lemak bebas dan
gliserol.
I

Pengaruh
Minyak

Suhu

terhadap

Sifat fisik dan kimia minyak
ditentukan oleh faktor internal dan
eksternal minyak. Faktor internal
meliputi struktur penyusun minyak
tersebut,
sedangkan
faktor
eksternalnya merupakan faktor
lingkungan seperti pH, suhu, dan
faktor kontak dengan udara.
Praktikum ini menguji pengaruh
suhu terhadap beberapa jenis
minyak. Suhu yang digunakan
yaitu suhu ruang dan suhu dingin
(dibawah
5°C).
Sedangkan,
minyak yang digunakan adalah
minyak VCO, komersil, kedelai,
jagung, minyak sawit, dan minyak
jelantah.
Beberapa jenis minyak diberi
perlakuan suhu ruang, semuanya

berwujud cair dan memiliki warna
dan bau sesuai karakteristik
masing-masing minyak. Wujud
cair minyak pada suhu ruang
disebabkan oleh struktur penyusun
minyak yang didominasi oleh asam
lemak tak jenuh, sehingga titik
lebur minyak rendah. Setelah
minyak diberi perlakuan suhu
dingin, minyak-minyak tersebut
mengalami perubahan seperti
warna, bau, dan kondisi wujudnya.
Menurut Novarianto (2004), ketika
minyak diberi perlakuan suhu
panas akan mengalami perubahan
yang berbeda dari segi warna, bau
dan kondisi atau keadaan padat
maupun cair.
Semakin banyak asam lemak
tidak jenuh seperti asam oleat,
linoleat atau asam linolenat pada
suatu trigliserida, maka titik
leburnya lebih rendah atau
sebaliknya trigliserida yang lebih
banyak mengandung asam palmitat
dan stearat, titik cairnya lebih
tinggi. Semakin panjang susunan
karbon pada asam lemak, maka
titik didih dari minyak akan
semakin tinggi. Asam lemak
merupakan asam lemah, dan dalam
air
terdisosiasi
sebagian.
Umumnya berfase cair atau padat
pada suhu ruang (27 °C). Semakin
panjang rantai C penyusunnya,
semakin mudah membeku dan juga
semakin sukar larut.
Setelah
minyak
diberi
perlakuan suhu dingin (direndam

pada air bersuhu dibawah 5°C),
minyak mengalami perubahan
pada bau dan kondisi wujud.
Minyak jagung dan minyak kedelai
tidak
mengalami
perubahan
signifikan, yaitu masih tetap dalam
kondisi cair. Minyak komersil dan
minyak
jelantah
mengalami
perubahan yang cukup signifikan,
kedua minyak tersebut bersifat
lebih kental dari sebelumnya.
Sedangkan, pada minyak VCO
terjadi perubahan yang sangat
signifikan. Minyak VCO yang
berwujud cair pada suhu ruang
menjadi berwujud padat padat suhu
dibawah 5°C.
V.

KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan
diatas, dapat disimpulakn sebagai
berikut:
1. Emulsifier merupakan senyawa
yang
dapat
menstabilkan
emulsi minyak dan air. Ovalet
merupakan emulsifier terkuat
dibanding jenis emulsifier lain.
2. Kerusakan minyak disebabkan
oleh hidrolisis, oksidasi dan
reversi yang dapat ditentukan
oleh kadar NaOH yang
digunakan
untuk
titrasi.
Minyak
VCO
mengalami
tingkat kerusakan tertinggi.
3. Suhu berpengaruh terhadap
sifat minyak. Minyak VCO
mengalami
pengentalan
tertinggi saat suhu 5°C.

DAFTAR PUSTAKA
Apendi, Kusuma Widayaka, dan Juni
Sumarmono.
2013.
EVALUASI KADAR ASAM
LEMAK BEBAS DAN SIFAT
ORGANOLEPTIK
PADA
TELUR
ASIN
ASAP
DENGAN
LAMA
PENGASAPAN
YANG
BERBEDA. Jurnal Ilmiah
Peternakan. Vol 1(1):142-150.

Ketaren, S.2005. Minyak Dan Lemak
Pangan. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.

Barnabas,
Syafrudin,
IA
dan
Pranindhana, I. 2009. Emulsi.
Yogyakarta: UPN Veteran.

Novarianto, Hengki. 2004. Pembuatan
dan Pemanfaatan Minyak
Kelapa Murni. Jakarta: Penebar
Swadaya.

GAPKI, 2015. Mengenal MINYAK
SAWIT dengan
Beberapa
Karakter Unggulnya. Web:
http://www.gapki.or.id/assets/u
pload/Buku%20Menge
nal
%20Minyak%20Sawit
%20Dengan%20Beberapa
%20Karakter%20Ung gulnyaGAPKI.pdf. Diakses tanggal
20 Desember 2016.
Gunawan, Mudji Triatmo, dan Arianti
Rahayu.
2003.
Analisis
Pangan: Penentuan Angka
Peroksida dan Asam Lemak
Bebas Pada Minyak Kedelai
Dengan Variasi Menggoreng.
JSKA. Vol 4(3).

Khomsan A. 2004. Peranan Pangan
dan Gizi Untuk Kualitas
Hidup. Jakarta: Gramedia.
Muchtadi, Tien R., Sugiyono dan
Fitriyono A. 2010. Ilmu
Pengetahuan Bahan Pangan.
Bandung: Alfabeta.

Raharjo, S. dan M. Dwiyuni. 2008.
Kajian Sifat Fisiko Kimia
Ekstrak Minyak Kelapa Murni
(Virgin Coconut Oil, VCO)
Yang Dibuat Dengan Metode
Pembekuan
Krim
Santan.Jurnal Teknik Industri
Pertambangan. Vol 18(2): 71 –
78.
Rowe.

2009. Handbook
of
Pharmaceutical
Excipient
th
6 Edition.
London:
Pharmaceutical Press.

Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan
dan Gizi. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

LAMPIRAN

Gambar
1.
Gambar 3. Minyak goreng merk Bimoli

Gambar 2. Asam Oleat

Tween

Gambar 4. Pengaruh suhu terhadap minyak

Gambar 5. Percobaan Emulsifier

Gambar 7. Pengaruh suhu

Gambar 6. Proses pengambilan bahan

Gambar 8. Proses titrasi