Kedudukan Dan Hak Mewaris Anak Yang Berstatus Warga Negara Asing (Studi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Di Jakarta Nomor 141 G 2010 Ptun-Jkt)

BAB II
KEDUDUKAN ANAK YANG BERSTATUS WARGA NEGARA ASING YANG
PERKAWINAN ORANG TUANYA TIDAK DICATATKAN DI INDONESIA

A. Perkawinan Yang Dilangsungkan di Luar Negeri dan Kedudukannya di
Indonesia
Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang dapat dilakukan oleh
setiap manusia dengan memenuhi segala ketentuan yang berlaku bagi dirinya.
Perkawinan merupakan suatu hak keperdataan yang melekat pada diri manusia yang
tidak dapat dihapuskan atau dihilangkan dan dihalang-halangi.
Secara teoritis dalam Hukum Perdata Internasional dikenal dua pandangan
utama yang berusaha membatasi pengertian dari perkawinan campuran yaitu:
a. Pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan campuran adalah
perkawinan

yang

berlangsung

antara


pihak-pihak

yang

berbeda domicilenya sehingga terhadap masing-masing pihak berlaku
kaidah-kaidah hukum intern dari dua sistem hukum yang berbeda.
b.

Pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan dianggap sebagai
perkawinan

campuran

apabila

para

pihak

berbeda


kewarganegaraan/nasionalitasnya.
Pandangan-pandangan

tersebut

dianut

oleh

negara-negara

di

dunia.

Pandangan tersebut tercermin dalam hukum nasional atau hukum intern yang
mengatur perkawinan di dalam negaranya masing-masing. Indonesia sendiri

menganut pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan campuran adalah

perkawinan antara para pihak yang berbeda kewarganegaraannya.yang tunduk pada
hukum yang berlainan. Pandangan ini tercermin dalam Undang-Undang Perkawinan
Pasal 57. Ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini mengatur perkawinan
campuran yang dalam prinsipnya disebutkan perkawinan campuran dalam undangundang ini merupakan perkawinan antara 2 (dua) orang di Indonesia yang tunduk
pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satunya
adalah Warga Negara Indonesia.
Hukum mengenai perkawinan termasuk bidang status personal. Pasal 16 AB
berlaku pula dalam hal hendak dilangsungkan perkawinan dan akibat-akibat hukum
dari suatu perkawinan dengan unsur-unsur internasional. Dalam hal ini Indonesia
memakai pula prinsip nasionalitas, sebagai warisan dari sistem hukum
dahulu.
Pasal 16 AB ini berlaku bukan saja untuk Warga Negara Indonesia yang
berada di luar negeri, tetapi juga untuk orang asing yang berada di Indonesia.
Sehingga dari Pasal 16 AB tersebut, sebaliknya berdasarkan asas resiprositas dapat
disimpulkan bahwa para Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri dan
hendak menikah harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum
Indonesia sebagai hukum nasionalnya. Jadi seolah-olah, lingkungan kuasa dari
hukum

perdata Indonesia juga berlaku di luar batas-batas wilayah Republik


Indonesia, sepanjang, mengenai syarat-syarat untuk dapat menikah. Hal ini berarti,
bahwa juga perbedaan-perbedaan dalam hukum perdata seperti diatur dalam Hukum

Antara Tata Hukum-intern Indonesia, dalam hukum yang berlaku untuk berbagai
golongan tetap berlaku pula untuk warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri
itu. Mereka yang di Indonesia takluk di bawah hukum perdata Barat yang tertulis
mengenai perkawinan, jika berada di luar negeri pun harus menikah dengan
memenuhi syarat-syarat materiil yang berlaku bagi mereka jika mereka berada di
Indonesia. 46
Setiap negara mempunyai Undang-Undang Perkawinan atau peraturanperaturan tentang perkawinan. Seperti halnya di Indonesia diberlakukan UndangUndang Perkawinan. Setiap Undang-Undang Perkawinan di masing-masing negara
menetapkan syarat-syarat dasar untuk melangsungkan perkawinan yang terdiri dari
atas syarat formal dan materiil. Mengenai materi yang diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan masing-masing negara tidak sama antara negara yang satu dengan negara
yang lainnya. Perkawinan yang dilakukan antar sesama warga negara Indonesia di
luar negeri merupakan suatu perkawinan internasional,
karena tersangkut dua sistem dari negara yang berbeda.
Semua syarat-syarat materil ini harus dipenuhi oleh pihak warga negara
Indonesia yang hendak menikah di luar negeri. Sebaliknya mengenai syarat-syarat
formal dilakukan menurut ketentuan hukum setempat (locus regit actum) 47.

Ketentuan ini adalah sesuai dengan berlakunya adagium locus regit actum dalam
Pasal 18 AB.

46
47

Sudargo Gautama, Op.Cit., hlm. 187.
Sering juga dikenal dengan place of celebration, lex loci celebrations, dan lex loci actum.

Perkawinan diatur oleh masing-masing negara menurut undang-undang dan
peraturan-peraturan setempat. Perkawinan yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia

di

luar

negeri

atau


menurut

undang-undang

negara

tempat

dilangsungkannya perkawinan dianggap sah oleh pemerintah Indonesia.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa warga negara Indonesia untuk
melangsungkan perkawinan di luar wilayah negara Republik Indonesia apabila
memang mereka berminat atau dalam keadaan yang memaksa mereka untuk
melangsungkan perkawinan di luar negeri karena perkawinan tersebut tidak
mengabaikan hukum yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perkawinan di luar Indonesia diatur di dalam Pasal 56 Undang-Undang
Perkawinan, pasal tersebut menentukan bahwa:
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga
negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan Warga

Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang
berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga
negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang
ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami-isteri itu kembali di wilayah
Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor
Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka

Ketentuan pasal tersebut diatas, jika dibandingkan dengan ketentuan di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat kemiripan. Dapat dikatakan bahwa
Pasal 56 Undang –Undang Perkawinan mengambil prinsip yang terdapat dalam Pasal
83 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, tentang perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia menentukan
bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, baik antara warga negara
Indonesia satu sama lain, maupun antara mereka dengan warga negara lain adalah
sah, jika perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang lazim dalam negeri,
dimana perkawinan-perkawinan itu dilangsungkan dan suami-isteri warga negara
Indonesia, tidak melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dalam bagian Kesatu Bab
ini.
Pasal 84 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan dalam waktu

satu tahun setelah suami isteri pulang kembali ke wilayah Indonesia, akta tentang
perkawinan mereka di luar Indonesia harus dipindah bukukan dalam register kawin
umum di tempat tinggal mereka.
Kaitan Pasal 83 dan 84 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tidak dapat
dipisahkan dengan prinsip dalam Pasal 26 KUHPerdata yang memandang
perkawinan hanya dari segi perdatanya saja. Dengan demikian, dapat kiranya dapat
diambil kesimpulan, bahwa lazimnya perkawinan antara mereka yang melangsungkan
perkawinan di luar negeri tidak menjadi masalah, karena tidak memperhatikan hukum

agama. 48
Ketentuan-ketentuan pembedaan antara syarat materil dan syarat formil suatu
perkawinan tersebut berlaku untuk hukum intern (nasional). Bagi hubungan
internasional harus diadakan pembedaan yang lain, pembedaan yang lebih
disesuaikan dengan keadaan-keadaan internasional.
Telah disebutkan bahwa menurut Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan,
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
serta dicatatkan menurut peraturan perundaang-undangan yang berlaku. Pasal ini
mengharuskan setiap

perkawinan


yang dilangsungkan di

Indonesia untuk

dilangsungkan menurut agamanya masing-masing. Jika ditinjau dari segi keharusan
perkawinan dilangsungkan menurut keagamaan saja, maka Pegawai Catatan Sipil
hanya berfungsi sebagai Pejabat Pendaftaran Perkawinan, bukan Pejabat Nikah
(huwelijkssluiter). 49
Bagi Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan di luar negeri
mereka berkewajiban untuk mendaftarkan kembali surat bukti perkawinan mereka
yang berasal dari luar negeri pada kantor pencatatan perkawinan di wilayah tempat
mereka tinggal. Perkawinan tersebut dicatat dalam daftar pencatatan dan diberikan
suatu surat keterangan suatu akta resmi. Hal tersebut dilakukan agar perkawinan
menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan atau bagi masyarakat.
Jika terjadi kelalaian dalam mendaftarkan kembali maka perkawinan tersebut

48
49


Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Op.Cit., hlm. 153.
Sudargo Gautama, Op.Cit., hlm. 195.

tidak menjadi batal. Karena keterlambatan tersebut hanyalah administrasi saja, tetapi
mereka harus mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah
tempat tinggal mereka agar pengadilan memerintahkan kantor Pencatatan Perkawinan
mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka.
Bagi perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar Indonesia sama halnya
Kutipan Akta Perkawinan yang telah didapat, masih harus dilegalisir di Kementerian
Hukum dan HAM dan Kementerian Luar Negeri, serta didaftarkan di Kedutaan
negara asal suami/isteri. Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan tersebut
sudah sah dan diterima secara internasional, baik bagi hukum negara asal suami,
maupun menurut hukum di Indonesia.
Pencatatan perkawinan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri
diatur dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi:
“Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali ke
wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor
Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.”
Selain itu Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, mengatur mengenai kewajiban bagi warga Negara

Indonesia yang berada di luar negeri, bahwa :
“Warga Negara Indonesia yang berada di luar wilayah Republik Indonesia
wajib melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya
kepada instansi pelaksana pencatatan sipil negara setempat dan/atau kepada
perwakilan Republik Indonesia dan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam
pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil”.
Hukum nasional dari tiap-tiap calon suami-isteri yang hendak menikah

mengatur syarat-syarat materil (kewenangan) 50 untuk menikah. Oleh karena itu, maka
kewenangan dari pihak suami harus ditentukan menurut hukum nasionalnya.
Demikian pula kewenangan pihak isteri harus ditentukan menurut hukum nasional
dari isteri tersebut. Jadi, disini dapat diadakan pembedaan yaitu untuk syarat-syarat
formalitas dipakai locus regit actum dan untuk syarat-syarat materil dipakai hukum
personal masing-masing pihak.
Dalam sistem Hukum Perdata Internasional yang berlaku di Indonesia, salah
satunya mengatur soal bentuk formal suatu perbuatan hukum, yaitu Pasal 18 AB.
Pasal ini berbunyi: 51
“Bentuk dari setiap perbuatan ditentukan menurut hukum dari negara atau
tempat perbuatan itu dilakukan.”
Ketentuan bahwa semua perbuatan hukum ditentukan menurut undangundang yang berlaku di negara atau tempat ia melakukannya adalah suatu asas yang
sudah diterima sejak dahulu. Boleh dikatakan asas ini diterima dalam sistem Hukum
Perdata Internasional dari hampir semua negara di dunia.
Menurut ketentuan dalam Pasal 18 AB ini diadakan pemisahan tertentu dari
perbuatan-perbuatan hukum. Di suatu pihak kita harus memperhatikan apa yang
disebut formele geldigheid (berlakunya secara formal) dari suatu perbuatan hukum,
disamping itu kita mengenal apa yang dinamakan materiele geldigheid (berlakunya
secara materil). Pasal 18 AB menggantungkan kepada persoalan sah tidaknya

50

Mengenai kewenangan ini merupakan syarat-syarat yang bersifat mutlak yang dapat
menjadikan suatu perkawinan menjadi batal atau dapat dibatalkan.
51
Sudargo Gautama, Op. Cit., hlm 463.

perbuatan hukum semata-mata pada hukum yang berlaku pada tempat dilangsungkan
perbuatan bersangkutan. Tidak diberitahukan bahwa syarat-syarat materil dari
perbuatan itu digantungkan pula pada hukum setempat.
Ketentuan Pasal 18 AB ini disusun secara umum. Artinya, tidak diadakan
pembatasan kepada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam wilayah Republik
Indonesia saja. Juga perbuatan-perbuatan hukum dari warga negara Indonesia yang
berlaku di luar negeri tercakup di dalamnya. Bukan saja perbuatan-perbuatan hukum
dari warga negara Indonesia di dalam wilayah Indonesia, tetapi pasal ini pun tidak
dibatasi kepada warga negara Indonesia saja. Juga orang-orang asing yang melakukan
perbuatan-perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini terkait
dengan ketentuan Pasal 3 AB bahwa tidak ada perbedaan antara status hukum perdata
dari warga negara dan orang asing, selama tidak ditentukan lain oleh undang-undang.
Sehingga konsekuensi dari Pasal 18 AB ini, perbuatan-perbuatan yang telah
dilakukan di luar negeri baik oleh warga negara Indonesia maupun oleh Warga
Negara Asing, akan diakui di Indonesia secara sah, apabila perbuatan-perbutan ini
telah dilakukan pada tempat bersangkutan, dengan memenuhi formalitas-formalitas
yang berlaku setempat.
Adapun beberapa alasan dapat diterimanya asas locus regit actum ini
adalah: 52

52

Ibid.

1. Dikemukakan bahwa pertimbangan-pertimbangan untuk penerimaan kaidah
tersebut ialah bahwa orang-orang yang berada di negara asing dan melakukan
perbuatan hukum disana harus dianggap sebagai kaula
negara sementara dari negara tersebut.
2. Ada juga yang mengemukakan bahwa penerimaan lex loci actus untuk
bentuk-bentuk perbuatan hukum didasarkan atas penundukan sukarela
(vrijwilige onderwerping).
3. Menurut pemikiran yang lebih modern, dasar teori ini ialah tujuan
vormvoorschriften yang hanya dapat terlaksana dengan pemakaian dari lex
loci actus.
4. Ada pula penulis yang memakai ajaran vested rights (hak-hak yang telah
diperoleh) sebagai dasar, yaitu hak yang telah diperoleh di negara tertentu
secara sah, juga harus diaku secara sah oleh negara lain.
5. Sekarang ini, alasan yang dipakai sebagai dasar daripada asas locus regit
actum ini ialah bahwa penerimaan yang bermanfaat bagi kelancaran lalu lintas
internasional. Kaidah ini bukan merupakan hasil dari hukum melainkan
merupakan kebutuhan praktik.
Mengenai ajaran vested rights ini dalam hukum Perdata Internasional diterima
adanya suatu prinsip bahwa suatu hak yang telah diperoleh (vested rights) menurut
ketentuan hukum negara asing, akan diakui dan dilaksanakan seperlunya pada suatu
negara, sepanjang hak-hak ini tidak bertentangan dengan konsepsi dari ketertiban

umum negara yang bersangkutan. Dengan demikian, perubahan fakta-fakta tidak akan
mempengaruhi

berlakunya suatu kaidah yang semula dipakai. Hak-hak yang

diperoleh ini tercermin dalam pasal 16 dan 17 AB. 53

B. Pencatatan Perkawinan di Indonesia
Untuk melaksanakan perkawinan, harus dipenuhi dua macam syarat yaitu
syarat materil dan syarat formil. Syarat materil adalah syarat yang mengenai pribadi
calon suami isteri yang akan melangsungkan perkawinan, sedangkan syarat formil
adalah syarat yang mengenai formalitas yang harus dilakukan. Syarat formil ini diatur
lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 54
1. Syarat-syarat formil yang harus dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan
adalah:
a. Pemberitahuan dari orang yang akan melangsungkan perkawinan kepada
pegawai Pencatat Perkawinan dimana sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
hari sebelum perkawinan dilangsungkan. (Pasal 3 ayat (1) dan (2)).
b. Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan,
tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah satu atau keduanya
pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu (Pasal 5).
c. Penelitian dilakukan oleh pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan
kehendak melangsungkan perkawinan. Pegawai pencatat meneliti apakah
syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah terdapat halangan
perkawinan menurut Undang-undang (Pasal 6 ayat 1). Selain itu pegawai
pencatatan harus meneliti pula kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir
calon mempelai, keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan,
pekerjaan dan tempat tinggal orang tua mempelai, serta izin pengadilan
bagi yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, dispensasi
pengadilan/pejabat, surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau
53

Sanwani Nasution, “Hukum Perdata Internasional”(Diktat Kuliah Hukum Perdata
Internasional Fakultas Hukum USU 2008), hlm. 35.
54
Selanjutnya disebut PP No. 9/1975.

surat keterangan perceraian bagi perkawinan untuk kedua kalinya, izin
tertulis dari pejabat yang ditunjuk bagi anggota Angkatan Bersenjata, serta
surat kuasa otentik atau dibawah tangan apabila salah satu calon mempelai
atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena suatu alasan yang penting
(Pasal 6 ayat (2) huruf a sampai dengan h).
d. Pengumuman diselenggarakan pegawai pencatat tentang pemberitahuan
tentang kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan
surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada Kantor
Pencatatan Perkawinan yang mudah dibaca oleh umum (Pasal 8).
Pengumuman tersebut ditandatangani oleh pegawai pencatat perkawinan
dan juga harus memuat keterangan jati diri calon mempelai dan orang tua
mempelai.
2. Syarat-syarat formil yang dilaksanakan pada saat perkawinan dilangsungkan
adalah melakukan perkawinan sesuai tatacara perkawinan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan calon mempelai dan dilakukan
dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri dengan 2 (dua) orang saksi.
3. Syarat-syarat formil yang harus dilakukan setelah dilangsungkan perkawinan
yaitu penandatanganan akta perkawinan oleh kedua mempelai yang telah
disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
berlaku, yang kemudian ditandatangi oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat
yang menghadiri perkawinan. Bagi yang melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam, akta perkawinan ditandatangani oleh wali nikah atau yang
mewakilinya. Hal ini diatur Pasal 11 PP No. 9/75. Akta perkawinan dibuat
dalam rangkap 2 (dua), 1 (satu) helai disimpan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan dimana perkawinan dilangsungkan dan 1 (satu) helai dikirim
kepada Pengadilan Negeri di wilayah perkawinan dilangsungkan yang
kemudian disimpan oleh Panitera Pengadilan wilayah Pengadilan Negeri
tersebut. Bagi kedua mempelai diberikan kutipan akta perkawinan mereka
yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Hal tersebut sesuai
dengan Pasal 13 ayat (1) dan (2) PP No. 9/75 yang juga berarti telah
terpenuhinya Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan
dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundangundangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan lebih khusus lagi
perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Lebih tegas lagi bahwa tujuan pencatatan
perkawinan agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban. Namun perlu diingat

bahwa pencatatan perkawinan hanya bersifat administrasi, dan bukan syarat sah atau
tidaknya perkawinan, dan tidak mengakibatkan batalnya perkawinan.
Menurut Wahyono Darmabrata, “Aspek yuridis perkawinan antara lain dapat
disimpulkan dari Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menentukan
bahwa: tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. 55
Selain itu, sahnya perkawinan dan fungsi pencatatan perkawinan dapat dilihat
dari Penjelasan Umum angka 4 huruf b Undang-Undang Perkawinan. Pencatatan
perkawinan menurut Penjelasan Umum angka 4 huruf b Undang-Undang Perkawinan
adalah sama halnya dengan “pencatatan peristiwa-peristiwa penting” dalam
kehidupan seseorang misalnya, kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam suratsurat keterangan, yaitu suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. 56
Peristiwa penting yang telah disebut diatas lebih jelas diuraikan dalam Pasal 1
angka 17 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan, adalah “kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran,
kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak,
pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.” 57
Dalam hal pelaksanaan perkawinan juga diperlukan alat bukti yang otentik
dan dibuat oleh pejabat yang berwenang yang disebut dengan Akta Nikah yang
55

Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 194 Tentang Perkawinan
Beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksananya (Jakarta:CV Gitama Jaya, 2003), hlm. 123.
56
Neng Djuabidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum
Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2010), hlm. 215
57
Ibid, hlm. 225

mempunyai fungsi untuk kekuatan pembuktian yang menunjukkan perkawinan itu
telah ada. Apabila terjadi perceraian diantara pasangan suami isteri untuk
menindaklanjuti perceraiannya pada sidang pengadilan diperlukan adanya Akta
Nikah, tanpa adanya Akta Nikah tersebut maka akan menyulitkan bagi pihak yang
bersangkutan dalam proses perceraian.
Menurut undang-undang, salah satu alat bukti yang sah yaitu alat bukti surat.
Surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akta dan surat-surat lain. 58 Dalam urutan
rincian alat-alat bukti tersebut tampak bahwa dalam perkara perdata alat bukti yang
utama adalah surat-surat yang merupakan alat bukti tertulis. Hal yang sedemikian itu
tidak mengherankan, sebab dalam lalu lintas keperdataan dan perdagangan, misalnya
perkawinan, jual beli, kematian, perceraian, dan lain sebagainya setiap orang dalam
melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja membuat alat bukti tertulis untuk
menjaga segala kemungkinan yang terjadi dikemudian hari. Dari bukti surat-surat
tersebut ada yang termasuk dalam penggolongan pembuktian yang sah dipersidangan
yaitu surat-surat yang disebut “akta”.
Yang dimaksud surat akta adalah “suatu tulisan yang semata-mata dibuat
untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu
ditandatangani oleh pihak berwenang.” 59 Surat-surat akta dapat dibagi lagi atas :
1. Surat-surat Akta Otentik

58
59

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2010) , hlm. 178.
H.M.Abdurrahman, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Universitas Trisakti, 1997), hlm. 75.

Yang dimaksud dengan akta resmi ialah “suatu akta yang dibuat oleh atau
dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk
membuat akta tersebut.” Pejabat umum yang dimaksud adalah Notaris, Hakim,
jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil dan sebagainya. Dengan
demikian suatu akta Notaris, suatu surat Putusan Hakim, suatu surat Berita Acara
yang dibuat oleh suatu jurusita, suatu akta perkawinanatau kelahiran yang dibuat oleh
Pegawai Catatan Sipil, kesemuanya itu merupakan akta-akta yang otentik.
Jika suatu akta mengandung keterangan-keterangan dari dua pihak yang
menghadap dihadapan seorang Notaris, sehingga seorang Notaris ini sebenarnya
hanya menetapkan saja apa yang diterangkan oleh orang-orang yang menghadap itu
sendiri, maka akta tersebut dinamakan partij-akta. Misalnya, jika dua orang
mengadakan suatu perjanjian dihadapan Notaris. Jika suatu akta mengandung suatu
pemberitaan atau proses verbal tentang suatu perbuatan yang telah dilakukan seorang
notaris atau seorang juru sita, maka akta itu dinamakan Proses verbal-akte. Misalnya,
jika seorang notaris atau jurusita membuat suatu akta tentang suatu lelangan atau
penyitaan harta benda.
Menurut undang-undang suatu akta resmi mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna, artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akta resmi, hakim
harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskannya di dalam akta tersebut
sungguh-sungguh

terjadi,

sehingga hakim

itu

tidak

boleh

memerintahkan

penambahan pembuktian lagi. Jadi, kekuatan akta pembuktian suatu akta otentik
dapat dibagi menjadi: 60
a. Kekuatan pembuktian formal yaitu bahwa kedua belah pihak benar-benar
sudah menerangkan di muka notaris apa yang telah tertulis di dalam akta
tersebut.
b. Kekuatan pembuktian material, yaitu bahwa apa yang diterangkan oleh
kedua belah pihak di muka notaris dan tertulis di dalam akta itu, memang
benar-benar terjadi atau dalam kata-kata lain bahwa isinya keterangan
mereka benar-benar terjadi.
2. Akta dibawah tangan
Sedangkan yang dimaksud dengan akta di bawah tangan ialah tiap akta yang
tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum. Misalnya surat
perjanjian jual beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri
oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. 61 Jika pihak yang
menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tanda
tangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang
tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akta di bawah tangan tersebut memperoleh
suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akta resmi. Akan tetapi jika
tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut
diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatangan atau isi akta tersebut. Ini
adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku terhadap akta resmi,

60
61

H.M.Abdurrahman, Op.Cit, hlm.76
Subekti, Op.Cit, hlm. 176

diwajibkan membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat
umum (notaris) yang membuat akta tersebut telah melakukan pemalsuan surat. 62
Oleh karena pembuktian dengan surat akta memang suatu cara pembuktian
yang paling utama, maka dapatlah dimengerti mengapa pembuktian oleh undangundang disebutkan sebagai cara pembuktian nomor satu. Begitu pula dapat
dimengerti mengapa undang-undang untuk beberapa perbuatan atau perjanjian yang
dianggap sangat penting mengharuskan pembuatan suatu akta. Misalnya perjanjian
perkawinan, pemberian benda-benda yang tertulis atas nama, perjanjian hipotik,
pendirian perseroan firma atau perseroan terbatas diharuskan dengan akta notaris,
sedangkan perjanjian perdamaian adanya perjanjian asuransi setidak-tidaknya harus
dengan suatu tulisan. 63
Sebagai alat bukti maka akta perkawinan mempunyai 3 buah sifat 64:
a. Sebagai satu-satunya alat bukti yang mempunyai arti mutlak (eeneig
bewijsmiddel);
b. Sebagai alat bukti penuh, artinya disamping akta perkawinan itu tidak
dapat dimintakan ala-alat bukti lain (volledig bewijsmiddel);
c. Sebagai alat bukti yang bersifat memaksa sehingga bukti lawannya tidak
dapat melemahkan akta perkawinan itu.

62

Ibid.
Ibid, hlm. 180
64
R. Soetojo Prawiroharmidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung:
Alumni, 1986), hlm. 41.
63

Berkaitan dengan pencatatan perkawinan di Indonesia telah terbentuk dua
macam lembaga perkawinan yang bertugas untuk mengadakan pencatatan
perkawinan diantara adalah:
a. Kantor Urusan Agama (KUA), bagi mereka yang beragama Islam.
Bagi orang-orang Islam dalam melangsungkan perkawinannya wajib
didaftarkan dan dicatatkan pada pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 t yang bertujuan
memberlakukan pencatatan perkawinan di seluruh wilayah negara
Republik Indonesia.
b. Kantor Catatan Sipil
Bagi orang-orang yang beragama non Islam, peristiwa perkawinannya
perlu dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil sesuai dengan peraturan yang
berlaku yaitu Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 mengenai
Pencatatan Perkawinan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan salinan
Akta Perkawinan, yang berguna memberikan kepastian dan kekuatan
hukum dari peristiwa perkawinan tersebut. Akta perkawinan tersebut
merupakan alat bukti yang tertulis dan otentik yang dapat memberikan
keterangan selengkapnya dari suatu peristiwa tersebut bagi yang
bersangkutan maupun bagi orang lain yang berkepentingan.
Sebuah akta perkawinan yang diterbitkan oleh Pejabat Kantor Urusan Agama
atau Kantor Catatan Sipil memiliki arti yang sangat besar di kemudian hari manakala
terjadi sesuatu, misalnya untuk kepentingan menentukan ahli waris dalam warisan,

untuk menentukan dan memastikan bahwa mereka adalah suami isteri atau dapat
memberi arah ke pengadilan mana ia mengajukan cerai dan lain-lain. 65
1. Kantor Urusan Agama Sebagai Lembaga Pencatatan Perkawinan Bagi
Pemeluk Agama Islam
Kantor Urusan Agama (KUA) adalah salah satu instansi pemerintah di tingkat
Kecamatan, yang mempunyai peranan membantu sebagian tugas dari Departemen
Agama, diantaranya yaitu mengawasi, menyaksikan dan mencatat suatu peristiwa
perkawinan yang dilakukan oleh kalangan masyarakat. 66
Keberadaan KUA di Indonesia sudah mulai sejak zaman Hindia Belanda,
pada saat itu menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 mengatur tentang
Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk, dan Cerai. Setelah adanya Undang-Undang Nomor
32 Tahun 1954 sebagai dasar hukum pencatatan perkawinan di KUA yang bertujuan
memberlakukan pencatatan perkawinan di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia. Disamping itu dengan lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, maka KUA hanya melakukan tugas pencatatan nikah dan rujuk.
Sedangkan untuk perceraian maupun talak dilakukan di Pengadilan Agama.
Mengingat betapa pentingnya peranan dan keberadaan KUA, maka dapat
diketahui bahwa tugas pokok KUA adalah: 67
a. Mengadakan pencatatan peristiwa perkawinan;
65

Konsorsium Catatan Sipil, 30 Kasus Catatan Sipil di Indonesia Analisis Kasus dan
Rekomendasi, Jakarta: Deutsche Gessellschaft furTechnische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH Good
Governance in Population Administration (GG PAS) dan Konsorsium Catatan Sipil, 2006), hlm.3
66
Departemen Agama RI, Sejarah Perkembangan KUA,(Jakarta:Direktorat Jenderal Urusan
Agama Islam Dirjen Dinas Islam dan Kasubdis Kepenghuluan).
67
Ibid.

b. Perwakafan
c. Kemasjidan
d. BP4 (Bimbingan Penasehat Pelaksanaan Perkawinan)
Biaya pernikahan yang berlaku berbeda untuk setiap wilayah, karena akan
disesuaikan dengan kebijaksanaan daerah setempat dan keadaan ekonomi di
lingkungan masyarakatnya. Seseorang yang Bergama Islam dan akan melakukan
pernikahan, maka harus memenuhi rukun nikah sesuai agama Islam, ada 5 macam,
yaitu:
a. Ada calon suami
b. Ada calon isteri
c. Wali nikah (orang tua calon isteri)
d. Minimal ada dua orang saksi yang beragama Islam, berakal sehat dan
telah dewasa
e. Ijab Qabul
2. Kantor Catatan Sipil Sebagai Lembaga Pencatatan Perkawinan Bagi
Pemeluk Agama Non Islam
Undang-undang tidak memberikan pengertian yang dimaksud dengan catatan
sipil itu. Padahal lembaga pencatatan sipil sudah dikenal sejak zaman Hindia
Belanda. Ada beberapa pendapat mengenai catatan sipil yaitu:
Menurut Subekti dan Tjitrosudibio, “Burgerlijk Stand” (Belanda), catatan
sipil, suatu lembaga yang ditugaskan untuk memelihara daftar-daftar atau catatan-

catatan guna pembuktian status atau peristiwa-peristiwa penting bagi para warga
negar, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian.”
Menurut Vollmar, “catatan sipil adalah suatu lembaga yang diadakan oleh
penguasa yang bermaksud membukukan selengkap mungkin dan karena itu
memberikan kepastian sebesar-besarnya tentang semua peristiwa yang penting bagi
status keperdataan seseorang mengenai kelahiran, pengakuan, perkawinan,
perceraian, dan kematian.” 68
Sementara itu menurut Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang,
“Catatan sipil adalah suatu lembaga yang sengaja diadakan oleh pemerintah yang
bertugas untuk mencatatat, mendaftarkan, serta membukukan selengkap mungkin tiap
peristiwa penting bagi status keperdataan seseorang, misalnya perkawinan, kelahiran,
pengakuan/pengesahan anak, perceraian dan kematian, serta ganti nama.” 69
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan catatan sipil atau pencatatan
sipil merupakan suatu lembaga yang sengaja dibentuk oleh pemerintah dengan tugas
menyelenggarakan pencatatan, penerbitan, penyimpanan dan pemeliharaan data
keperdataan seseorang, seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian
pengakuan dan pengesahan anak, serta pergantian nama.

Dengan

kata

lain

pencatatan sipil merupakan proses pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan
manusia. Proses tersebut dimulai dari: 70
a. Terjadinya peristiwa penting;
b. Pencatatan peristiwa penting dengan menggunakan metode verifikasi dan
validasi;
c. Penerbitan akta dan penjagaan data atas arsipnya;

68

H.F.A Vollmar, Hukum Keluarga (Menurut KUHPerdata), diterjemahkan oleh: Chidir Ali
(Bandung: Tarsito, 1982), hlm. 10.
69
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.Cit., hlm. 6.
70
Ibid, hlm. 7.

Kejadian ini dicatat agar pada setiap waktu ada bukti bagi-bagi orang yang
berkepentingan, tetapi juga bagi pihak ketiga karena daftar-daftar di kantor catatan
sipil terbuka untuk umum (openbaar), yang berarti bahwa daftar itu dapat dilihat
semua orang. 71
Dalam perkembangan sejarahnya catatan sipil ini muncul pertama kalinya
didaratan Eropa, yaitu seiring dengan kelahiran Republik Perancis sebagai negara
kebangsaan (nation state) melalui Revolusi Perancis. Lembaga ini kemudian dibawa
ke Hindia Belanda oleh pemerintah Kolonial Belanda. Sejalan dengan diterapkannya
politik pemerintah kolonial yang membagi penduduk Hindia Belanda ke dalam 3
(tiga) golongan penduduk 72, maka dibentuklah lembaga catatan sipil (Burgerlijk
Stand) yang masing-masing berlaku bagi penduduk golongan Eropa yang
dipersamakan dengannya, bagi golongan Tionghoa, bagi golongan Pribumi, dan bagi
penduduk golongan Pribumi yang beragama Nasrani. 73 Sumber pengaturan catatan
sipil atau pencatatan sipil diatur dalam Bab Kedua Pasal 4 sampai dengan Pasal 16
Buku Kesatu KUHPerdata, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal
16 KUHPerdata tersebut mengatur mengenai akta-akta catatan sipil bagi golongan
penduduk Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan itu. Namun, dengan
keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1961 tentang Perubahan atau
Penambahan Nama Keluarga, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6 sampai dengan
71

H.F.A Vollmar, Op.Cit, hlm. 12.
Perhatikan Pasal 163 IS
73
Afdol, ed., Catatan Sipil dan Masyarakat Hukum Adat, (Depok: Lembaga Kajian Hukum
Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Good Governance Population Administration
(GTZ GG PAS), 2007), hlm. 3.
72

Pasal 10 KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan ketentuanketentuan yang baru sebagaimana termuat dalam Pasal-Pasal Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1961.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 KUHPerdata yang berdasar atas
ketentuan undang-undang tentang Catatan Sipil, tempat dimana, oleh siapa, dan
dengan cara bagaimana register itu harus diselenggarakan, serta cara bagaimana aktaakta catatan sipil harus disusun dan syarat-syarat dalam pembuatan akta catatan sipil
ini, maka keluar Reglemen Pencatatan Sipil untuk Golongan Eropa (Reglement op het
houden der registers van den Burgerlijken Stand voor Europeanen), yang
dipublikasikan tanggal 10 Mei 1849 dalam Staatsblad nomor 25, kemudian disusul
dengan keluarnya:
1. Reglemen Penyelenggaraan Daftar-Daftar Catatan Sipil untuk Golongan
Tionghoa (Reglement op het houden der registers van den Burgerlijken Stand
voor de Chineezen), yang dipublikasikan tanggal 29 Maret 1917 dalam Staatsblad
1917 Nomor 130 juncto Staatsblad 1919 Nomor 81 yang mulai berlaku sejak
tanggal 1 Mei 1919;
2. Reglemen Penyelenggaraan Daftar Catatan Sipil untuk Beberapa Golongan
Penduduk Indonesia yang Tidak Termasuk dalam Kaula-Kaula daerah Swapraja
di Jawa dan Madura (Reglement op het houden der registers van den Burgerlijken
Stand vooreenige groepen van de niet tot de onderhoorigen van een Zelfbestuur
behoorende Ind. Bevolking van java en Madura), yang dipublikasikan tanggal 15
Oktober1920 dalam Staatsblad 1920 Nomor 751 juncto Staatsblad 1927 Nomor
564, yang mulai berlaku 1 Januari 1928;
3. Peraturan Pencatatan dalam Daftar-Daftar Catatan Sipil Mengenai Kelahiran dan
Kematian (Regeling betreffende de inschrijving in de registers van den
Burgerlijken Stand van geboorten en Stergevallen), yang dipublikasi tanggal 9
Desember 1946 dalam Staatsblad 1946 Nomor 137 yang mulai berlaku tanggal 18
Desember 1946;

4. Peraturan Daftar Pencatatan Sipil untuk Perkawinan campuran, yang dipublikasi
dalam Staatsblad 1904 Nomor 279 yang mulai berlaku tanggal 1 Juli 1904.74
Kemudian setelah Indonesia merdeka, keluar pula beberapa peraturan yang
mengatur mengenai dan berkaitan dengan pencatatan sipil seiring dengan terbuka
Kantor Catatan Sipil untuk seluruh penduduk Indonesia, diantaranya yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk;
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan berlakunya UndangUndang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di
Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura;
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1961 tentang Perubahan Atau Penambahan
Nama Keluarga;
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
7. Instruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor: 31/U/IN/12/1966 mengenai
penghapusan penggolongan penduduk dan keterbukaan Kantor Catatan Sipil
untuk Semua Golongan Penduduk Indonesia;

74

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
(Jakarta:Sinar Grafika, 2006), hlm. 190.

8.

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 221a Tahun 1975 tentang Pencatatan
Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil sehubungan dengan
berlakunya Undang-Undang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya;

9. Keputusan

Menteri

Dalam

Negeri

Nomor

131

Tahun

1997

tentang

Penyelenggaraan Catatan Sipil Dalam Kerangka Sistem Kependudukan;
10. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman
Nomor J.A.3/9/13 tentang Penjelasan tentang Penerbitan Akta-Akta Kelahiran
bagi Orang Indonesia yang Tidak Terkait Perkawinan tanggal 27 November 1979.
Berdasarkan kepada peraturan catatan sipil diatas, akta-akta catatan sipil bagi
masing-masing golongan penduduk Eropa, Tionghoa, dan Pribumi berlainan sesuai
dengan aturannya. Namun setelah keterbukaan Kantor Catatan Sipil, perbedaan aktaakta catatan tersebut ditiadakan, sehingga Kantor Catatan Sipil terbuka bagi seluruh
penduduk Indonesia dan hanya dibedakan atas warga negara Indonesia dan Warga
Negara Asing saja. Adapun akta catatan sipil yang dicatat dan diterbitkan oleh Kantor
Catatan Sipil meliputi akta kelahiran, akta perkawinan, dan perceraian bagi yang
bukan beragama Islam, akta kematian, serta akta pengakuan dan pengesahan anak.
Dalam praktik pelayanan sehari-hari oleh pihak Kantor Catatan Sipil
dibedakan adanya berbagai akta pencatatan sipil, yaitu: 75
1. Akta Perkawinan, yang dibagi atas:
a. Akta Perkawinan Umum
b. Akta Perkawinan Istimewa
c. Akta Perkawinan lainnya 76

75

Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op. Cit., hlm. 73-110.

2. Akta kelahiran, yang dibagi atas: 77
a. Akta Kelahiran Umum
b. Akta Kelahiran Istimewa
c. Akta kelahiran Luar Biasa
3. Akta Perceraian, yang dibagi atas:
a. Akta Perceraian Umum
b. Akta Perceraian Khusus
4. Akta Kematian, yang dibagi atas:
a. Akta Kematian Umum
b. Akta Kematian Luar Biasa
c. Akta Kematian Istimewa
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 12 PP No. 9/75, suatu akta perkawinan
harus memuat hal-hal sebagai berikut: 78
a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan
tempat kediaman suami isteri. Apabila salah seorang atau keduanya
pernah kawin, disebutkan juga nama isteri/suami terdahulu;
b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua
mereka;
c. Izin orang tua, wali, atau pengadilan bagi calon mempelai yang belum
berusia 21 (dua puluh satu) tahun;
d. Dispensasi dari pengadilan bagi calon mempelai yang belum genap
mencapai batas usia perkawinan;
e. Izin pengadilan bagi seorang suami yang beristri lebih dari seorang;
f. Persetujuan kedua calon mempelai yang dinyatakan secara tertulis, yang
dibuat atas dasar sukarela, bebas dari tekanan, ancaman atau paksaan;
g. Izin dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertahanan
Keamanan/Panglima TNI/Kepala Kepolisian Negara bagi anggota TNI
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
h. Perjanjian perkawinan apabila ada;
i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para
saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam;
j. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman kuasa
apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.

76

Pencatatan ini dimaksudkan untuk mereka yang perkawinannya dilakukan oleh Pemuka
Agama, Pastor dan Pendeta dan pelaksanaannya di Kantor Catatan Sipil .
77
Perbedaan diatas berdasarkan pada proses penyelesaiannya dihubungkan dengan
peristiwanya, jadi bukan jenis atau model akta kelahiran.
78
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 223.

Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, maka semua akta-akta didaftar
dan dikeluarkan oleh catatan sipil mempunyai kekuatan hukum yang pasti, yang tidak
dapat dibantah oleh pihak lain. Tujuannya adalah untuk mendapatkan data-data
selengkap mungkin agar status warga masyarakat dapat diketahui. Kantor Catatan
Sipil ini dibentuk untuk mewujudkan suatu kehidupan hukum yang harmonis di
masyarakat. Selain itu juga akta-akta yang dibuat dan dikeluarkan oleh Kantor
Catatan Sipil merupakan bukti yang paling kuat dan sempurna, karena akta ini
bersifat otentik yang dibuat oleh pejabat pemerintah sesuai dengan ketentuan yang
ada.
Suatu sistem dan cara pendaftaran catatan sipil yang baik dan tertib
pelaksanaannya akan memberikan data-data tentang kependudukan yang lengkap dan
terpercaya, disamping berbagai pendaftaran, seperti pendaftaran penduduk, sensus
penduduk, dan lain sebagainya.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas di bidang pengaturan tugas pokok
dan fungsi dari Kantor Catatan Sipil, maka dapat dilihat pada kebijaksanaankebijaksanaan yang telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun
1983 Tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil.79
Dalam melaksanakan tugasnya Kantor Catatan Sipil mempunyai fungsi
menyelenggarakan:
a. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kelahiran;
b. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perkawinan;
79

Perhatikan Pasal 1

c. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perceraian;
d. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta pengakuan dan pengesahan anak;
e. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kematian;
f. Penyimpanan dan pemeliharaan akta kelahiran, akta perkawinan, akta
perceraian, atas pengakuan dan pengesahan anak, dan akta kematian;
g. Penyediaan bahan dalam rangka perumusan kebijaksanaan di bidang
kependudukan atau kewarganegaraan;
Dari uraian tersebut, tugas dan fungsi Kantor Catatan Sipil dapat
dikelompokkan menjadi dua fungsi, yaitu:
a. Fungsi yang bersifat operasional atau teknis fungsional, yang berkaitan
dengan pelayanan dan proses penyelesaian suatu akta catatan sipil;
b. Fungsi yang bersifat administratif fungsional, yaitu yang berkaitan dengan
ketatausahaan perkantoran pada umumnya;
Dapat disimpulkan bahwa tujuan catatan sipil dapat dilihat dari empat sudut,
yaitu: 80
1. Untuk mewujudkan kepastian hukum;
2. Untuk membentuk ketertiban umum;
3. Sebagai alat pembuktian;
4. Untuk memperlancar aktivitas pemerintah di bidang kependudukan atau
administrasi kependudukan

80

Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.Cit.,hlm. 13.

Pada awalnya pencatatan sipil hanya bertitik tolak dari peristiwa kelahiran
saja, dimana setiap anak yang lahir diakui sebagai subyek hukum baru (dengan
dicatat identitasnya) dan dilindungi hak-hak keperdataannya (dengan dicatat identitas
orang tuanya) dan untuk itu dibuatkan akta lahirnya. Namun seiring dengan
perkembangan zaman cakupan pencatatan sipil ini kemudian berkembang meliputi
pula pencatatan perkawinan, perceraian, pencatatan pengakuan anak/pengesahan
anak, dan pencatatan pengangkatan anak, dan juga pencatatan kematian.
Pencatatan kelahiran merupakan hak asasi manusia yang mendasar. Fungsinya
yang esensial adalah untuk melindungi hak anak menyangkut identitasnya.
Pendaftaran kelahiran menjadi satu mekanisme pencatatan sipil yang efektif karena
ada pengakuan eksistensi seseorang secara hukum. Pencatatan ini memungkinkan
anak mendapatkan akte kelahiran. Ikatan keluarga si anak pun menjadi jelas. Artinya
catatan hidup seseorang dari lahir, perkawinan hingga mati juga menjadi jelas. Bagi
pemerintah, akte kelahiran membantu menelusuri statistik demografis, kecenderungan
dan kesenjangan kesehatan. Dengan data yang komprehensif maka perencanaan dan
pelaksanaan kebijakan-kebijakan serta program pembangunan pun akan lebih akurat.
Terutama yang menyangkut kesehatan, pendidikan, perumahan, air, kebersihan dan
pekerjaan. 81
Terdapat kenyataan dalam anggota masyarakat bahwa mereka secara tidak
pasti mengenal kapan dilahirkan. Dengan demikian secara pasti pula mereka tidak

81

Pencatatan Kelahiran, http://www.unicef.org/indonesia/id/protection_3149.html, diakses
tanggal 30 Oktober 2013, pukul 19.15 WIB

mengenal berapa usianya. Sementara itu pula pihak instansi pemerintah ikut-ikutan
mengeluarkan data mereka yang berbeda. Ambil contoh misalnya seseorang akan
mempunyai data berbeda antara yang tercantum dalam Surat Izin Mengemudi (SIM),
Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan Ijazah.
Kenyataan menunjukkan bahwa dalam Sistem Tata Usaha Negara di semua
negara mengakui bahwa nama sebagai identitas seseorang untuk semua jenis legalitas
diperlukan. Namun, karena penulisan data nama dengan benar dianggap kurang
penting, seringkali dijumpai nama yang berbeda antara yang tertulis pada SIM, KTP,
ijazah dan akta perkawinan, maupun bukti diri yang lain. Akibatnya, akan terjadi
kekacauan di bidang tertib administrasi pemerintahan dan kependudukan.
Banyak hubungan hukum perdata timbul sebagai akibat dilaksanakannya
perbuatan hukum tertentu di Kantor Catatan Sipil, mulai dari pengakuan hukum
hingga di bidang pewarisan dan kewarganegaraan.
Dilakukannya pencatatan sipil terhadap semua peristiwa penting tersebut di
atas, karena dengan terjadinya peristiwa tersebut akan mempengaruhi status hukum
seseorang dan hak-hak keperdataan yang melekat padanya. Untuk memastikan
seorang anak memiliki klaim yang sah atas harta waris dari orang tuanya, maka
perkawinan orang tua harus diakui sebagai perkawinan yang sah, dengan cara dicatat
dalam register pencatatan sipil. Harta yang dikumpulkan oleh kedua orang tua dalam
di dalam ikatan perkawinan (disebut harta gono-gini) akan menjadi hak waris bagi
anak-anak yang lahir dari perkawinan.

Sedangkan harta yang telah dimiliki oleh masing-masing orang tua sebelum
perkawinan, masih harus diperlakukan sebagai hak waris orangtua dari orangtua si
anak, juga memperhitungkan ikatan perkawinan yang sah, demikian seterusnya. Bagi
anak, untuk bisa mengklaim hak warisnya, harus dibuktikan bahwa orangtuanya telah
meninggal dunia. Untuk memberikan pernyataan yang sah tentang ini, pencatatan
sipil mencakupi pula catatan kematian. Perlindungan terhadap hak-hak keperdataan si
anak selaku ahli waris selanjutnya diwujudkan dengan pengembangan suatu institusi
yang secara khusus didesain untuk memelihara harta waris yang disebut Balai Harta
Peninggalan (Belanda: Weeskamer). 82
Jadi yang dimaksud dengan akta perkawinan catatan sipil adalah suatu surat
atau catatan resmi mengenai peristiwa perkawinan yang dicatat oleh pejabat negara
yakni pejabat kantor catatan sipil. Peristiwa perkawinan yang terjadi didafarkan dan
dibuktikan pada Kantor Catatan Sipil. Seluruh akta yang dikeluarkan oleh Kantor
Catatan Sipil mempunyai kekuatan hukum apabila telah ditandatangani oleh Pejabat
Kantor Catatan Sipil.
3. Pencatatan Perkawinan Untuk Perkawinan Campuran
Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Perkawinan di Indonesia telah ada
3 (tiga) produk legislatif mengenai atau berhubungan dengan perkawinan campuran.
Ketiga ketentuan-ketentuan perundang-undangan itu adalah sebagai berikut: 83
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
82

Konsorsium Catatan Sipil, Op.Cit, hlm. 13.
Mohammad Idris Romulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta:Bumi Aksara, 1999), hlm. 196
83

b. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) Staatsblad nomor 74 tahun
1933;
c.

Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijke)
Staatsblad nomor 158 tahun 1898.
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ketiga produk legislatif ini setelah

dikeluarkannya Undang-Undang Perkawinan sebagaimana diketahui antara lain yang
merupakan prinsip umum dalam perundang-undangan bahwa peraturan perundangundangan yang setingkat derajatnya yang ditetapkan kemudian menghapuskan
ketentuan-ketentuan

yang

berlawanan

dalam

perundang-undangan

sederajat

mendahuluinya. 84
Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan memberikan pengertian tentang apa
yang dimaksud dengan perkawinan campuran menurut undang-undang tersebut yaitu:
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini
adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia."
Pencatatan perkawinan untuk perkawinan campuran yang dilangsungkan di
Indonesia dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta Perkawinan (Kutipan Buku
Nikah) oleh pegawai yang berwenang. Bagi yang beragama Islam, pencatatan
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah,

84

Ibid

Talak, Cerai, dan Rujuk. Sedang bagi yang non-Islam, pencatatan dilakukan oleh
Pegawai Kantor Catatan Sipil. 85
Perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia harus memenuhi syarat sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan yang diatur lebih lanjut pada PP No.
9/1975, dan syarat yang telah ditetapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan tempat
perkawinan akan dilangsungkan. Perkawinan yang sah harus dicatatkan, hal ini
berlaku bagi pasangan mempelai yang keduanya berkewarganegaraan Republik
Indonesia dan juga berlaku bagi pasangan perkawinan campuran.
Setiap perkawinan campuran yang sah harus dicatatkan sesuai dengan
ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa:
1. Perkawinan campuran dicatat oleh Pegawai Pencatat yang berwenang.
2. Barang siapa melangsungkan perk