MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI

ISBN 978-602-73376-0-2

  Seminar Nasional

MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI

  Jakarta, 18-19 November 2014 KERJASAMA ASOSIASI AHLI PERUBAHAN IKLIM DAN KEHUTANAN INDONESIA

  BADAN PENGELOLA REED+ KEMENTERIAN KEHUTANAN JAKARTA BADAN PENGELOLA KEMENTERIAN AP

ISBN 978-602-73376-0-2 PROSIDING

  Seminar Nasional

MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI

  Jakarta, 18-19 November 2014 Editor:

  Penyusun : Prof. Dr. Ir. Deddy Hadriyanto, M. Agr Yayan Hadiyan S.Hut, M.Sc

Prof. Dr. Ir. Hermansah, MS, M.Sc Muhammad Farid, S.Hut, M. Sc

Prof. Dr. Ir. Agus Kastanya, MS Kestri Ariyanti Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.Sc Sumardi S.Hut, M.Sc Dr. Ir. Markum, M.Sc Ir. Agus Susatya, M.Sc, Ph.D Dr. Ishak Yassir, S.Hut, M. Sc Dr. Ir. Sabaruddin, M.Sc

  

Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK)

Alamat:

  Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

  Prosiding Seminar Nasional MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI Jakarta, 18-19 November 2014

  KERJASAMA ASOSIASI AHLI PERUBAHAN IKLIM DAN KEHUTANAN INDONESIA BADAN PENGELOLA REED+

  KEMENTERIAN KEHUTANAN JAKARTA

  INDONESIA

  i

  Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

  Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari,

  Prosiding

  18-19 November 2014 , Jakarta Indonesia

  @Tahun 2015 Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia)

  Editor:

  Prof. Dr. Ir. Deddy Hadriyanto, M. Agr Prof. Dr. Ir. Hermansah, MS, M.Sc Prof. Dr. Ir. Agus Kastanya, MS Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.Sc Dr. Ir. Markum, M.Sc

  Ir. Agus Susatya, M.Sc, Ph.D Dr. Ishak Yassir, S.Hut, M. Sc Dr. Ir. Sabaruddin, M.Sc Penyusun :

  Yayan Hadiyan S.Hut, M.Sc

  Muhammad Farid, S.Hut, M. Sc Kestri Ariyanti

  Sumardi S.Hut, M.Sc

  Design dan Tata letak:

  Edy Wibowo

  Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang

Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi, cetak,

microfilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau

keperluan non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seperti berikut : Sitasi:

Hadriyanto, D. et all (EDS). 2015. Mitigasi Dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola

Hutan Dan Lahan Lestari, 8-9 November 2014. Jakarta Indonesia Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia. Yogyakarta.

  ISBN 978-602-73376-0-2 Diterbitkan oleh :

  Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia Jl. Argo No. 1, Bulaksumur Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta Telp. (0274) 512102, 901420 Email ii

  Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

KATA PENGANTAR

  Hutan sebagai common property adalah sumberdaya bersama yang memiliki fungsi penting

baik dari sisi ekonomi maupun ekologi. Pengelolaan hutan yang selama ini diterapkan masih belum

sepenuhnya bersifat berkelanjutan dan diikuti dengan terjadinya degradasi fungsi, baik secara

ekonomi maupun ekologi. Fungsi hutan menjadi bagian yang sangat penting dalam perubahaan

iklim, karena level carbon dan gas rumah kaca di atmosphir sangat bergantung pada kesetimbangan

pengikatan dan emisi karbon di ekosistim hutan. Urgensi dari pengurangan emisi untuk menjaga

kesetabilan konsentrasi GRK di atmosfer telah mendorong berbagai pemikiran penanganannya,

baik terkait upaya mitigasi maupun adaptasi terhadap perubahan iklim. Berbagai kebijakan

pemerintah terkait penanggulangan perubahan iklim telah dilahirkan untuk mendorong penanganan

yang terintegrasi berbagai sektor. Salah satunya adalah REDD+ (Pengurangan Emisi dari

Deforestasi, Degradasi Hutan, Peran Konservasi, Peningkatan Serapan Karbon dan Pembangunan

Kehutanan yang Berkelanjutan), yang menjadi bagian yang sangat penting dalam upaya

menurunkan emisi karbon sektor kehutanan sebagai mandat COP ke 13 di Bali.

  Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia) merupakan

kumpulan mereka yang perhatian dan turut berpartisipasipasi untuk menghimpun, membina,

mengembangkan, dan mengamalkan IPTEK di bidang perubahan iklim dan kehutanan serta

memberikan masukan ilmiah kepada pemerintah untuk memperkuat posisi Indonesia baik di

tingkat nasional dan internasional terkait dengan kebijakan perubahan iklim dan kehutanan.

Asosiasi ini juga merupakan jejaring dari beberapa perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga

diklat serta lembaga swadaya masyarakat di 7 region di Indonesia : region Sumatera, Jawa, Bali

Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.

  Memandang pentingnya persoalan mitigasi, adaptasi dan tata kelola hutan dan lahan, dalam

konteks penanganan perubahan iklim di Indonesia, Apik berkejasama dengan BP-REDD+ telah

melaksanakan Seminar Nasional dengan tema “Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari ”.

  Seminar tersebut telah mejadi sasrana berbagi informasi status perkembangan kebijakan

perubahan iklim Internasional dan Nasional, berbagi informasi status penelitian adaptasi dan

mitigasi penanganan perubahan iklim dan kehutanan di Indonesia, dan telah merumuskan masukan

terkait kebijakan, strategi dan rencana aksi penanganan perubahan iklim ke depan, khususnya

menyongsong implementasi REDD+ di Indonesia.

  Pada kesempatan ini, diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kementerian

Kehutanan dan Bp REDD+ yang telah membantu baik operasional maupun pendaaan atas

penyelenggaraan Seminar Nasional tersebut.

  Yogyakarta, Agustus 2015 Ketua Umum, ttd.

  Dr. Sastyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.Sc iii

  Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari

18-19 November 2014

  iv

  Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  v

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  DAFTAR ISI

  

  Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  vi

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

  vii

  

  

  

  

  

  

  Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari

  18-19 November 2014

  

20 ANALISIS PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SEBAGAI UPAYA

MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DENGAN APLIKASI SISTEM

INFORMASI GEOGRAFIS DI SUMATRA UTARA

  

Land use change analysis as an effort to mitigation of climate change using

geographical information system in north sumatra

1) 2) 1) Rahmawaty dan Abdul Rauf

Staf Pengajar PS.Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara (USU)

Jl. Prof. A. Syofyan No.3 Kampus USU Medan 20155 Email 2)

Staf Pengajar PS.Agroekoteknologi Fakultas Pertanian, USU

  

ABSTRACT

One of the important issues about land in North Sumatra is the conversion of agricultural land (paddy field) into

non-agricultural areas. This study aimed to analyze the changes of the land in North Sumatra in the period 2006 to

2011 and to analyze the factors that cause changes in agricultural land function (paddy field) into non-agricultural

land. This study was located in areas of lowland rice production center in North Sumatra. The Research was

conducted by survey and interview. The Interviews with farmers was using a questionnaire to get an overview of

the driving factors and the impact of conversion on the socioeconomic conditions, especially the farmers' income.

  

Field observations also made to the biophysical conditions of land due to conversion of paddy fields into other

uses outside of paddy commodity, especially hydrological conditions, and changes in soil properties. Physical

phenomenon of the land was mapped using the Geographic Information System (GIS) by the overlay technique.

The results showed that the changes of the paddy field area was done for plantation crops, especially palm oil,

followed by dry land agriculture (horticulture and food crops), settlements and other businesses (brick and pound).

In 2009 to 2011 there was no change in land area (either increase or decrease in land area) in North Sumatra,

except in Nias Selatan Regency which decreased area of approximately 228.13 ha or 2.98% of the total area of

rice fields in the area.The condition of land area that has not changed since 2009 to 2011 was needed to be

maintained as one of the efforts of climate change mitigation.

  Keywords: Land conversion, paddy field, GIS, mitigation, climate change

ABSTRAK

  

Perubahan fungsi lahan merupakan salah satu isu penting di Sumatera Utara. Salah satunya adalah terjadinya

alih fungsi lahan pertanian (sawah) menjadi areal non pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis

perubahan alih fungsi lahan di Sumatera Utara pada periode tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 dan

menganalisis faktor penyebab terjadinya perubahan fungsi lahan sawah (lahan pertanian) menjadi lahan non

pertanian. Penelitian ini berlokasi di daerah-daerah sentra produksi padi sawah di Sumatera Utara.penelitian

dilakukan dengan metode survei dan wawancara. Wawancara dengan petani menggunakan kuisioner untuk

mendapatkan gambaran faktor pendorong dan dampak alih fungsi terhadap kondisi sosial ekonomi, terutama

pendapatan petani. Pengamatan lapang juga dilakukan tehadap kondisi biofisik lahan akibat alih fungsi lahan

sawah menjadi penggunaan lain di luar komoditi padi sawah, terutama menyangkut kondisi hidrologi, dan

perubahan sifat tanah.Penomena fisik alih fungsi lahan dipetakan dengan menggunakan perangkat Sistem

Informasi Geografis (SIG) dengan tehnikoverlay. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Alih fungsi lahan

sawah terbanyak dilakukan untuk budidaya tanaman perkebunan, terutama kelapa sawit, diikuti kemudian

untuk pertanian lahan kering (hortikultura dan tanaman pangan), pemukiman dan usaha lainnya (batu bata

dan kolam). Pada tahun 2009 hingga tahun 2011 tidak terjadi lagi perubahan luas lahan sawah (baik

pertambahan maupun penurunan luas) di Sumatera Utara, kecuali di Nias Selatan yang mengalami penurunan

luas sekitar 228,13 ha atau 2,98% dari luas lahan sawah di daerah itu.Perubahan luas lahan sawah yang tidak

terjadi lagi sejak tahun 2009 hingga kini perlu di pertahankan sebagai salah satu upaya mitigasi terhadap

perubahan iklim.

  Kata kunci : alih fungsi, lahan sawah, GIS, mitigasi, perubahan iklim

  Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

1. PENDAHULUAN

  Di Sumatera Utara, penelitian mengenai alih fungsi lahan telah banyak dilakukan (Rahmawaty et al., 2011; Onrizal, 2010). Berdasarkan data Sensus Pertanian Tahun 2003 menunjukkan terjadinya laju konversi lahan sawah yang sangat cepat. Pada rentang waktu tahun 2000 hingga 2002, alih fungsi lahan sawah di Sumatera Utara mencapai 563.000 ha atau rata-rata sekitar 188.000 ha per tahun. Lahan sawah di Sumatera Utara pada tahun 2002 seluas 7,75 juta terjadi pengurangan mencapai 7,27% selama 3 tahun atau rata-rata 2,42% per tahun. Sejak 2007-2008, laju konversi lahan pertanian di Sumatera Utara sekitar 4,2%. Lahan pertanian tersebut dialihkan ke tanaman keras dan kawasan pemukiman. Luas lahan sawah berpengairan yang beralih fungsi pada tahun 2006 mencapai 280.847 ha dan tahun 2008 mencapai 278.560 ha. Sementara, lahan tadah hujan tak berpengairan yang sudah beralih fungsi tahun 2006 seluas 211.975 ha dan pada tahun 2007 sebanyak 193.454 ha.

  Meskipun Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sejak tahun 2008 telah menutup izin alih fungsi lahan pertanian, terutama lahan sawah, sehingga seharusnya sejak saat itu tidak ada lagi perubahan lahan pertanian menjadi areal non-pertanian (terutama perumahan), namun faktanya masih saja terjadi alih fungsi lahan sawah tersebut di Sumatera Utara (Gambar 1,2,3,4 dan 5). Di Kabupaten Langkat saja yang pada tahun 2005 luas lahan persawahannya mencapai 49.415 ha, pada tahun 2006 turun menjadi 47.030 ha. Pada tahun 2007 kembali terjadi penurunan luas lahan persawahan di Kabupaten Langkat menjadi 45.747 ha. Meskipun pada tahun 2008 terjadi sedikit kenaikan karena banyaknya diperbaiki saluran irigasi dengan cara optimalisasi lahan-lahan tidur sehingga meningkat menjadi 46.297 ha, namun pada tahun 2009, kembali terjadi penurunan, karena alih fungsi ke pertanaman kelapa sawit, karet, kakao, dan pembangunan permukiman sehingga menjadi 43.805 ha. Luas lahan sawah di Kabupaten Langkat ini terus menurun hingga tahun 2010 menjadi sekitar 42.985 ha.(Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, 2012).

  Hal ini merupakan ancaman bagi produksi pangan baik secara nasional maupun regional, khususnya di daerah-daerah yang sangat pesat perkembangan perkotaannya di Indonesia. Kekurangan pangan sangat berpengaruh terhadap gizi buruk, kesehatan, sekaligus menurunkan kualitas sumber daya manusia. Dampak serius lain yang ditimbulkan akibat kekurangan bahan pangan adalah terganggunya stabilitas sosial politik, ekonomi dan keamanan. Ketahanan pangan harus stabil dan tetap terjaga secara berkelanjutan. Untuk menunjang ketahanan pangan yang berhubungan dengan aspek ketersediaan pangan, membutuhkan ketersediaan lahan secara berkelanjutan dalam jumlah dan mutu yang memadai.

  Untuk mendapatkan gambaran perkembangan alih fungsi lahan sawah dan mendapatkan gambaran distribusi alih fungsi, jenis komoditi pengganti, dan faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam melakukan alih fungsi lahan serta dampak alih fungsi lahan terhadap produksi padi sawah dan pendapatan petani di Sumatera Utara, maka teknologi Geographic Information System (GIS) sangat diperlukan. Teknologi ini merupakan sistem berbasis komputer yang mempunyai 4 kemampuan untuk menangani data bereferensi geografi, yaitu: (a) pemasukan data (data input), (b) manajemen data (penyimpanan/store dan pemanggilan/retrieve), (c) analisis dan manipulasi, serta (d) menghasilkan data (data output) (Aeronoff, 1989). Lebih lanjut GIS didefinisikan sebagai sekumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer (computer hardware), perangkat lunak (software), data geografi (geographic data) dan personil (personnel) yang dirancang untuk secara efisien merekam (capture), menyimpan (store), memperbaharui

  Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari

  18-19 November 2014

(update), memanipulasi (manipulate), menganalisis (analize), dan mendisplai/menyajikan

(display) semua bentuk informasi yang bereferensi geografis (ESRI, 2007). Menurut

  Burrough (1986), GIS yang handal mempunyai kemampuan untuk menyimpan, mengolah dan memyajikan data/informasi geografis dalam jumlah yang besar yang sangat berguna dalam pengelolaan lingkungan. Semua data yang disimpan dalam sistem ini mempunyai dimensi dan dengan kecanggihannya ini informasi terkini dapat secara cepat dan mudah di update. Dengan demikian, dapat mengantisipasi segala perubahan yang cepat yang terjadi dalam lingkungan. Dengan potensi tersebut, maka teknologi tersebut akan menjadi tool utama dalam pengumpulan data, pengolahan, serta penyajian informasi. Dalam hal studi alih fungsi lahan sawah di Sumatera Utara, data tersebut juga sangat bermanfaat dalam penentuan arah kebijakan sebagai arahan dalam penggunaan lahan. Berkenaan dengan itu, maka penelitian ini perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan alih fungsi lahan di Sumatera Utara pada periode 2008-2012dan menganalisis faktor-faktor pendorong alih fungsi lahan sawah yang terjadi di Sumatera Utara.

2. METODOLOGI

  Lokasi penelitian adalah daerah-daerah sentra produksi padi sawah di Sumatera Utara, terutama yang potensial terjadinya alih fungsi untuk berbagai penggunaan di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Penelitian dilakukan selama 2 (bulan) bulan (Minggu ke 4 Oktober hingga Minggu ke 3 Desember 2012). Adapun tahapan penelitian adalah sebagai berikut:

  2.1 Tahapan Persiapan

  Pada tahap ini dilakukan persiapan studi yang meliputi: (1) koordinasi dengan instansi/lembaga terkait, (2) penyamaan persepsi dan pembekalan diantara sesama tim peneliti, (3) pengumpulan data sekunder terkait lahan sawah di Sumatera Utara, (4) pengumpulan peta penggunaan lahan, terutama peta lahan sawah dan peta landsat terbaru.

  2.2 Tahapan Survei/Pengumpulan Data

  Pelaksanaan studi alih fungsi lahan sawah di Sumatera Utara dilakukan dengan metode survei dan wawancara. Survei lapangan dilakukan pada daerah-daerah sentra produksi lahan sawah di Sumatera Utara dan lahan sawah lainnya yang mengalami alih fungsi untuk penggunaan di luar komoditi padi sawah secara permanen. Titik-titik pengamatan ditandai posisi geografisnya menggunakan GPS.

  Pada studi lapang ini sekaligus dilakukan wawancara kepada petani menggunakan kuisener guna mendapatkan gambaran faktor pendorong dan dampak alih fungsi terhadap kondisi sosial ekonomi, terutama pendapatan petani. Pengamatan lapang juga dilakukan tehadap kondisi biofisik lahan akibat alih fungsi lahan sawah menjadi penggunaan lain di luar komoditi padi sawah, terutama menyangkut kondisi hidrologi, dan perubahan sifat tanah.

  2.3 Tahapan Tabulasi, Kompilasi dan Analisis Data

  Data yang diperoleh dianalisis menggunakan perangkat lunak komputer. Data bersifat kualitatif akan dianalisis secara kulaitatif, dan data kuantitatif akan dianalisis secara kuantitatif. Data hasil analisis digunakan sebagai dasar evaluasi terhadap penomena dan interpretasi kecenderungan alih fungsi lahan sawah. Penomena fisik alih fungsi digambarkan ke dalam peta tematik (peta distribusi lokasi alih fungsi, peta jenis komoditi pengganti, dan peta dampak alih fungsi). Penggambaran peta-peta tematik tersebut dilakukan menggunakan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG).

  Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Perubahan Luas Lahan Sawah di Sumatera Utara

  Permasalahan alih fungsi lahan sawah di Sumatera Utara (Gambar 1,2,3,4,dan 5) salah satunya dipicu oleh kondisi persawahan yang sudah beririgasi teknis baru mencapai 36% saja, sedangkan yang beririgasi non teknis (tadah hujan atau irigasi sederhana) mencapai 64%. Kondisi ini menyebabkan produktivitas tanaman padi sawah di Sumatera Utara menjadi rendah, yaitu rata-rata sekitar 4,77 ton per ha, padahal potensinya diperkirakan bisa mencapai 5,5 ton per ha.Hal ini berdampak pada produksi beras nasional sebanyak 4,2 juta ton pada 2012..(Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, 2012).

  Minimnya irigasi teknis di areal padi di Sumatera Utara menyebabkan masih ada lahan yang hanya ditanami padi satu kali dalam setahun, padahal masa tanaman padi sudah ada yang hanya 3 bulan atau 4 bulan. Kondisi bera mendorong petani memanfaatkan tanah sawahnya untuk penggunaan lain. Hal ini didorong pula oleh luas kepemilikan lahan petaniyang hanya sekitar 65% dari 1,2 juta petani di Sumatera Utara hanya menguasai lahan pertanian 0,5 ha. Luas areal kepemilikan lahan ini jauh dari memadai, meskipun dari sisi permodalan petani, Pemerintah telah mendirikan lembaga mandiri masyarakat desa dengan memberikan bantuan Rp. 100 juta per desa. Untuk Sumatera Utara telah dialokasikan dana bagi 396 desa pada 2010 dan pada 2011 sebanyak 775 desa.

  

Gambar 1. Alihfungsi lahan sawah menjadi lahan kelapa sawit (Rahmawaty dkk, 2011; Hakim, 2013) menjadi

pemandangan yang umum terjadi di Sumatera Utara, terutama di Kawasan Pantai Timur

  Permasalahan lain yang mendorong alih fungsi lahan sawah di Sumatera Utara adalah sulitnya sarana produksi untuk budidaya padi sawah. Kelangkaan dan mahalnya harga pupuk, keterbatasan dan mahalnya benih berkualitas, serta tingginya intensitas hama dan penyakit tanaman adalah persoalan sarana produksi yang menyebabkan keengganan petani bertanam padi sawah. Selain itu, musim yang tidak menentu menyebabkan kesulitan dalam menentukan waktu tanam dan cenderung menyebabkan kegagalan panen akibat kekeringan dan kebanjiran.

  Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari

  18-19 November 2014

Gambar 2. Alih fungsi lahan sawah untuk budidaya tanaman kelapa juga banyak terjadi di persawahan potensial di

Sumatera Utara

  

Gambar 3. Bentuk alihfungsi lahan sawah lainnya di Sumatera Utara adalah untuk budidaya tanaman sayuran

(hortikultura)

  Aspek sosial ekonomi masyarakat/petani juga mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian, terutama lahan sawah ke penggunaan lain di luar pertanian. Keterbatasan kemampuan anak dan bahkan cucu petani yang sudah berkeluarga guna mendapatkan/membeli lahan untuk tempat tinggal mereka menyebabkan lahan sawah yang diwariskan kepada mereka digunakan untuk membangun rumah atau dijual kepada pihak yang bukan petani sehingga penggunaannya beralih ke penggunaan di luar pertanian.

  

Gambar 4. Areal persawahan beralihfungsi menjadi lahan kering dan kawasan pemukiman juga banyak terjadi di

persawahan potensial di Sumatera Utara

  Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

  

Gambar 5. Areal persawahan beralihfungsi menjadi komplek perumahan banyak terjadi di persawahan potensial di

Sumatera Utara

  Berdasarkan permasalahan di atas, alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain terjadi di hampir semua sentra produksi padi sawah di Indonesia. Di Sumatera Utara, berdasarkan data Sensus Pertanian Tahun 2003 menunjukkan terjadinya laju konversi lahan sawah yang sangat cepat. Pada rentang waktu tahun 2000 hingga 2002, alih fungsi lahan sawah di Sumatera Utara mencapai 563.000 ha atau rata-rata sekitar 188.000 ha per tahun. Lahan sawah di Sumatera Utara pada tahun 2002 seluas 7,75 juta terjadi pengurangan mencapai 7,27% selama 3 tahun atau rata-rata 2,42% per tahun. Sejak 2007- 2008, laju konversi lahan pertanian di Sumatera Utara sekitar 4,2%. Lahan pertanian tersebut dialihkan ke tanaman keras dan kawasan pemukiman. Luas lahan sawah berpengairan yang beralih fungsi pada tahun 2006 mencapai 280.847 ha dan tahun 2008 mencapai 278.560 ha. Sementara, lahan tadah hujan tak berpengairan yang sudah beralih fungsi tahun 2006 seluas 211.975 ha dan pada tahun 2007 sebanyak 193.454 ha.

  Perubahan luas lahan sawah di Sumatera Utara sejak tahun 2006 hingga tahun 2011 secara keseluruhan mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 luas lahan sawah di Sumatera Utara sekitar 236826,96 ha atau 3,34% dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara menjadi sekitar284906,3 ha atau 4,02% pada tahun 2009, dan tidak mengalami perubahan luas lagi hingga tahun 2011.

  Daerah kabupaten/kota yang memiliki lahan sawah terluas pada tahun 2006 adalah Kabupaten Serdang Bedagai dengan luas30986,240 ha atau 16,06% dari luas wilayahnya, yang meningkat menjadi35135,321 ha (18,21%) pada tahun 2009 hingga tahun 2011.

  Daerah dengan luas sawah tersempit adalah Kabupaten Pakpak Bharat dengan hanya 112,774 ha atau sekitar 0,08% dari luas wilayahnya.Beberapa daerah Kabupaten/Kota yang luas lahan sawahnya terjadi penurunan, pada rentang waktu tahun 2006 hingga tahun 2009 adalah Kabupaten Labuhan Batu, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Tapanuli Utara, dan Kota Medan. Selebihnya terjadi peningkatan, bahkan ada yang lebih dari 100% dari luas lahan sawah sebelum periode itu, seperti terjadi di Kabupaten Dairi, Kota Tanjung Balai dan Kota Tebing Tinggi.

  Pada periode (rentang waktu) berikutnya, yaitu antara tahun 2009 ke tahun 2011 umumnya tidak lagi perubahan luas lahan sawah di Sumatera Utara. Karena tidak terjadi perubahan luas lahan sawah di Sumatera Utara pada periode 3 tahun terakhir (2009-2011), maka pada periode 6 tahun antara 2006 ke tahun 2011 perubahan luas lahan sawah di Sumatera Utara sama dengan perubahan pada periode 3 tahun sebelumnya (2006-2009), sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.

  Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari

  

27 Binjai 442,327 659,517 217,19 49,10

  

20 Samosir 2131,915 2338,422 206,51 9,69

  

21 Serdang Bedagai 30.986,24 35135,321 4.149,08 13,39

  

22 Simalungun 18969,242 26542,400 7.573,16 39,92

  

23 Tapanuli Selatan 9542,521 9615,462 72,94 0,76

  

24 Tapapanuli Tengah 6872,572 11437,265 4.564,69 66,42

  

25 Tapanuli Utara 15058,790 14806,726 - 252,06 - 1,67

  

26 Toba Samosir 11256,246 12988,569 1.732,32 15,39

  

28 Medan 759,845 328,375 - 431,47 - 56,78

  

18 Padang Lawas Utara 12413,292 12333,462 - 79,83 - 0,64

  

29 Padang Sidempuan 4480,148 4480,148 0,00 0,00

  

30 Pematang Siantar 1773,814 1859,754 85,94 4,84

  

31 Sibolga - - - -

  

32 Tanjung Balai 125,040 355,883 230,84 184,62

  

33 Tebing Tinggi 203,030 472,719 269,69 132,83

Jumlah 236.826,96 284.906,300 48.079,34 20,30

  Sumber: Analisis GIS dari peta penutupan lahan tahun 2006 dan 2011

  Beberapa faktor yang mendorong petani melakukan alihfungsi lahan sawahnya tergambar dari alasan petani dalam melakukan alih fungsi tersebut yang diperoleh melalui wawancara, sebagaimana disajikan pada Gambar 6.Dari lima pertanyaan seputar alasan petani melakukan alih fungsi lahan sawahnya, sebagian besar (37,5%) mendasarkan pada alasan untuk meningkatkan pendapatan dari lahan garapannya, selebihnya (32,5%) dengan alasan sulit mengerjakan lahan sawahnya karena persoalan pengelolaan air (irigasi- drainase) dan merosotkan kesuburan tanah. Sebanyak 15% petani melakukan alih fungsi lahan sawah karena kebutuhan untuk membangun rumah anggota keluarganya (anak/cucunya), dan 15% lainnya melakukaan alih fungsi yang bersifat sementara (tidak permanen) menggunakan tanaman sayuran (cabai, terong, bayam, kangkung, mentimun dan sawi) serta tanaman buah-buahan semusim (semangka) sebagai tanaman rotasi.

  

19 Pakpak Bharat 112,744 112,744 0,00 0,00

  

17 Padang Lawas 8569,077 8195,763 - 373,31 - 4,36

  18-19 November 2014

Tabel 1. Perubahan luas lahan sawah di setiap Kabupaten/Kota di Sumatera Utara dari tahun 2006 ke tahun

2011

  

7 Labuhan Batu 1502,203 1231,673 - 270,53 - 18,01

  No. Kabupaten/Kota Luas Lahan Sawah (Ha) Perubahan Luas Tahun 2006 Tahun 2011 Luas (Ha) (%)

  

1 Asahan 8631,499 10791,264 2.159,77 25,02

  

2 Batubara 18969,215 20827,564 1.858,35 9,80

  

3 Dairi 2736,954 6449,156 3.712,20 135,63

  

4 Deli Serdang 15387,622 20150,355 4762,733 30,95

  

5 Humbang Hasundutan 13669,268 14158,075 488.807 3,58

  

6 Karo 3012,745 4340,595 1.327,85 44,07

  

8 Labuhan Batu Selatan 4139,348 4139,348 0,00 0,00

  

16 Gunung Sitoli 925,674 986,226 60,55 6,54

  

9 Labura 2078,067 2078,067 0,00 0,00

  

10 Langkat 13732,315 20025,584 6.293,27 45,83

  

11 Mandailing Natal 13388,777 15644,516 2.255,74 16,85

  

12 Nias 6804,229 7754,670 950,44 13,97

  

13 Nias Barat 866,361 3477,833 2.611,47 301,43

  

14 Nias Utara 1680,265 3210,794 1530,529 91,09

  

15 Nias Selatan 4987,999 7595,684 2607,685 52,28

3.2 Faktor Pendorong Alih Fungsi Lahan Sawah di Sumatera Utara

  Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

  Lainnya (membangun rumah) 15%

  Meningkatkan Rotasi penghasilan 15%

  37% Kekurangan Sulit tenaga kerja mengerjakan 0%

  33%

Gambar 6. Beberapa alasan petani melakukan alih fungsi lahan sawah di Sumatera Utara

  Dari alasan tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa alih fungsi lahan sawah di Sumatera Utara ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu faktor internal kelaurga petani dan faktor eksternal. Faktor internal didorong oleh keinginan mendapatkan penghasilan lebih tinggi dari mengusahakan lahan untuk padi sawah, selain untuk memenuhi kebutuhan primer keluarganya, terutama untuk membangun rumahnya dan anggota keluarganya. Selain itu, faktor eksternal yang mendorong petani melakukan alih fungsi adalah persoalan kebutuhan air irigasi yang umumnya tidak optimal dan bahkan tidak berfungsi lagi. Di banyak daerah irigasi, ketersediaan air dan distribusinya tidak berjalan baik, sehingga kelangkaan air menyebabkan lahan menjadi sulit untuk diberdayakan bagi budidaya tanaman padi sawah. Selain itu, alasan perubahan iklim, terutama musim (curah) hujan yang tidak menentu merupakan faktor ekternal yang sering menyebabkan kegagalan panen (kekeringan dan kebanjiran) sehingga mendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah (terutama sawah tadah hujan) menjadi lahan non-sawah.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan 1.

  Alih fungsi lahan sawah terbanyak dilakukan untuk budidaya tanaman perkebunan, terutama kelapa sawit, diikuti oleh pertanian lahan kering (hortikultura dan tanaman pangan).

  2. Meskipun terjadi alihfungsi yang cukup luas pada sebelum tahun 2009, terutama antara tahun 2006-2009, namun pertambahan luas lahan sawah baru dari sebelumnya lahan kering dan lahan perkebunan di Sumatera Utara pada rentang waktu yang sama umumnya lebih luas, kecuali di Kabupaten Labuhan Batu, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Tapanuli Utara dan Kota Medan yang mengalami penurunan.

3. Setelah tahun 2009 hingga tahun 2011 tidak terjadi lagi perubahan luas lahan sawah

  (baik pertambahan maupun penurunan luas) di Sumatera Utara, kecuali di Nias Selatan.

4.2 Saran

  Perlu terus diupayakan pencegahan alih fungsi lahan sawah, terutama di kawasan dekat pemukiman, dengan menumbuhkan kesadaran melalui sosialisasi tentang pentingnya

  Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari

  18-19 November 2014

  keberadaan lahan sawah yang dapat mendukung kedaulatan pangan, baik regional maupun nasional.

UCAPAN TERIMA KASIH

  Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Universitas Sumatera Utara atas dukungan tenaga yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian ini dan Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara atas dukungan dana yang diberikan dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

  

Aeronoff, S. 1989. Geographic Information Systems and Rural Development. In the Proceedings

of Franco-Thai Workshop on Remote Sensing. Khon-kaen, Thailand: pp. 162-166.

Burrough, P. A. 1986. Principles of Geographic Information Systems for Land Resources

Assessment. Oxford, Clarendon Press. 193p.

Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara. 2012. Laporan Akhir Studi Alih Fungsi Lahan di

Sumatera Utara. Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara. Medan. ESRI. 2007. What is GIS?, Diakses tanggal 18 Pebruari 2014.

Hakim, A., Dampak Penerapan Kebijakan Konversi Hutan Pada Kerusakan Lingkungan (Studi

Kasus Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan Kelapa Sawit), , Diakses tanggal 9 Maret 2013.

  

Onrizal. 2010. Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara Periode 1977-

2006. Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 163-17.

Purwoko, A., Riswan dan M.R. Siahaan. 2006. Analisis Perubahan Fungsi Lahan di Kawasan

Pesisir dengan Menggunakan Citra Satelit Berbasis Sistem Informasi Geografis. Jurnal

  Wahana. Sekolah Pasca Sarjana USU. Medan.

Rahmawaty, T.R. Villanueva and M.G. Carandang. 2011. Participatory Land Use Allocation, Case

Study in Besitang Watershed, Langkat, North Sumatera, Indonesia. Lambert Academic

  Publishing. Germany.

Rahmawaty, Mapping of Land Suitability for Oilpalm In Besitang Watershed

Indonesia,Conference Prosiding

  “The final public international conference of the Benwood project on Short rotation forestry andAgroforestry: an exchange of experience between CDM countries and Europe, Marchesi di Barolo, Italy 20-22 Juni 2011, Hal 157-163.

  

Rahmawaty, T.R.Villanueva, M.G. Carandang, R.L.Lapitan, N.C. Bantayan, A.J.Alcantara, Forest

Land Use Change Across Three-Time Periods. Prosiding The USU International Science and Technology Exhibition and Seminar (USU-ISTExS), Tiara Hotel Medan, Indonesia, 12-13 July 2011.

  

Rahmawaty, Y. Afiffudin, H. Kurniawan, Aplikasi Sistem Informasi Geografis (Sig) Dalam

Mengkaji Penyebaran Perkebunan Kelapa Sawit Pada Kawasan Hutan, Prosiding Dies Natalis Usu ke-59 Medan 20 Juli 2011 ISSN No. 2088-8244

  Prosiding Seminar Nasional

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari

18-19 November 2014