Daftar Isian Masalah DIM Rancangan Undan
Daftar Isian Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang tentang
Masyarakat Hukum Adat versi DPR RI Tahun 2018:
Logika Hukum dan Norma Pengaturannya Perlu Dirombak Total!1
Pengantar
Sejak Republik Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai suatu negara yang
merdeka hak-hak masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat telah
diakui keberadaannya. 2 Hal ini dapat dilihat pada (Penjelasan) Pasal 18
(sebelum amandemen) UUD 1945, khususnya pada angka Romawi II, yang
berbunyi “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250
“Zelfbesturende landschappen” dan“Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa
dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati
kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang
mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut”.
Meski begitu, kecuali yang tercantum pada Undang-Undang Pokok Agraria 1960,
yang terjadi pada masa-masa berikutnya adalah justru pengingkaran dan/atau
pelanggaran terhadapnya. Pelanggaran itu semakin masif pada masa Orde Baru.
Bahkan sebuah Peraturan Pemerintah (tentang hak penguasahaan hutan) pun
pernah mampu membatalkan pengakuan hak masyarakat adat yang dijamin oleh
konstitusi itu (Zakaria, 2000).3
Atas desakan berbagai kalangan, utamanya dari kalangan organisasi masyarakat
sipil, Pasal 18 menjadi salah satu pasal konstitusi yang perlu diamandemen.
Melalui proses amandemen pada tahun 2000 itu lahirlah Pasal 18B ayat (2) yang
berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Melanjutkan kecenderungan positif itu, hingga saat ini setidaknya ada 19
(sembilanbelas) peraturan perundangan-undangan setingkat undang-undang
yang terkait dengan soal pengaturan lebih lanjut tentang pengakuan dan
pelindungan hak-hak masyarakat hukum adat ini, meski hampir seluruhnya
tidak memiliki pengaturan lebih lanjut bagaimana pengakuan yang terkandung
dalam peraturan perundang-undangan ini akan drealisasikan.4
1 R. Yando Zakaria, antropolog, pendiri dan peneliti Pusat Kajian Etnografi Hak Komunitas Adat.
Naskah ini disusun dalam rangka proses advokasi “RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak
Masyarakat Adat”, 2018.
2 Dengan alasan yang akan dijelaskan pada bagian lain, dalam dokumen ini terma masyarakat
hukum adat dan masyarakat hukum adat dapat dipertukarkan satu sama lainnya. Demikian pula,
terma masyarakakat adat akan digunakan sebagai terma payung yang dapat menaungi
pengertian masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional, sampai tingkat tertentu juga
masyarakat daerah.
3 R. Yando Zakaria, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di BAwah Rezim Orde Baru. Jakarta:
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
4 Masing-masing adalah (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; (2) UU No. 41
Tahun 1999 tentang kehutanan; (3) UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
(4) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (5) UU No. 24 Tahun 2003
1
Di samping itu, saat ini setidaknya tersedia pula lima perangkat peraturan
perundang-undangan yang dapat digunakan untuk memperoleh pengakuan hakhak masyarakat (hukum) adat secara hukum. Masing-masing adalah, (1)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; (2) Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan
Pelindungan Masyarakat Hukum Adat; dan (3) Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 2015 tentang
Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan
Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu; (4) Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak;
dan (3) Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian
Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.
Di tingkat daerah, sebagaimana yang dilaporkan Arizona (2015b), 5 hingga
tengah tahun 2015 lalu, ada sekitar 90 produk hukum daerah dan/atau kegiatan
advokasi hukum daerah dalam jumlah yang hampir sama. 6 Produk-produk
hukum daerah dimaksud berkaitan dengan upaya (1) pengembangan/penguatan
lembaga adat;7 (2) pengakuan terhadap wilayah masyarakat hukum adat;8 (3)
pengakuan terhadap keberadaan suatu masyarakat hukum adat; 9 dan (4)
pengakuan sebagai unit pemerintahan.10 Menurut catatan terakhir, sebagaimana
tentang Mahkamah Konstitusi; (6) UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi; (7) UU No. 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; (8) UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; (9) UU
No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; (10) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
(11) UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil;
(12) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; (13)UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (14)UU No. 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan; (15) UU No. 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil; 16) UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Di samping itu pengaturan keberadaan dan hakhak masyarakat hukum adat juga terdapat di dalam beberapa undang-undang otonomi khusus
sebagai berikut: (1) UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua; (2) UU
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan (3) UU No. 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewah Yogyakarta. Dikutip dari Kurnia Warman, tt. “Peta Perundangundangan tentang Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat”.
5
Yance
Arizona,
2015.
2015b.
Sebagaimana
dapat
diakses
pada
https://www.facebook.com/yance.arizona/posts/10207450108040211?comment_id=1020745
6706605171¬if_t=mentions_comment
6 Lihat juga http://kabar24.bisnis.com/read/20150826/16/465904/masyarakat-adat-produkhukum-banyak.-hak-tradisional-belum-terjamin
7 Seperti Perda Kabupaten Nunukan Nomor 34 tahun 2003 tentang Pemberdayaan, Pelestarian,
Perlindungan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat dalam wilayah Kabupaten
Nunukan, misalnya.
8 Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan
Hak Ulayat Baduy. Sebenarnya, tanpa perda ini tanah/ulayat Baduy tidak terancam/tetap dikuasi
secara efektif. Saat ini Orang Baduy sdh menguasai tanah di luar wilayah adatnya dua kali lipat
dari luas ulayatnya (5000 ha). Komunikasi pribadi dengan peneliti LIPI yang sedang melakukan
penelitian tentang masalah/topik dimaksud (2015).
9 Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Bungo Nomor 2 Tahun 2006 tentang Masyarakat
Hukum Adat Datuk Sinaro Putih; dan (Rencana) Peraturan Daerah Propinsi Sulawes Selatan
tentang Amatoa Kajang.
10 Secara teoritik, pada kebijakan untuk kelompok yang pertama, penguatan lembaga adat, ada di
seluruh kabupaten. Tanpa peraturan daerah tentang kelembagaan adat ini pemerintah daerah
yang bersangkutan tidak bisa melakukan pembinaan kepada lembaga-lembaga ada yang memang
diwajibkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Penulis menemukan ada 4 perda
sejenis di Kutai Barat (lihat Zakaria, 2014). Oleh sebab itu, pada dasarnya perda ini tidak terkait
2
yang ditunjukan tabel berikut, jumlah regulasi di tingkat daerah itu hampir
mencapai angka 200 kasus.11
Graphs 1. Trend of Indonesia's regional legisla5on products on
recogni5on of adat peoples in the period of 1979-2016
120
107
100
80
69
60
number of regional legislaAon products
40
20
6
0
1979-1998 A,er the Law No. 1999-2013 a,er the Law No. 2013-2016 A,er the Ruling of
5/1979 on Village
22/1999 on Regional
MK35
AdministraAon (Suharto
Autonomy and the Law No.
regime)
32/ 2004 on Local
Government
Source: Arizona et al, Epistema InsAtute, 2015 (updated in 2016).
Menurut suatu publikasi dari sebuah lembaga donor, upaya-upaya legislasi di
tingkat daerah ini dinyatakan mampu memantik gerakan yang memastikan
keamanan tenurial masyarakat adat.12 Meski begitu, sebagaimana akan dibahas
lebih lanjut dalam bagian lain, keberadaan berbagai kebijakan itu justru punya
potensi ‘membunuh masyarakat adat’ (Zakaria, 2015).13
Menurut Zakaria (2015), lemahnya daya ubah dari kebijakan-kebijakan
dimaksud terjadi karena gagalnya para perumus kebijakan memahami faktafakta empiris di tingkat lapangan tentang apa yang disebut sebagai (kesatuan)
masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat itu sendiri. Para pihak, baik
para perumus kebijakan, para ahli, dan juga kalangan pegiat masyarakat sipil,
terjebak pada perdebatan soal pendefenisian – dan juga kondisionalitas yang
pada advokasi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat karena menjadi bagian
dari mandat kebijakan terkait ‘pemerintahan desa’ sebelum dan sesudah reformasi. Kebijakan
tentang kelembagaan adat ini sudah ada sejak zaman Orde Baru cq. UU 5 Tahun 1979.
Sebagaimana pernah diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-Kebiasaan
Masyarakat dan Lembaga Adat Daerah. Kebijakan ini efektif meredam dan/atau menaklukan
kekuatan adat. Lebaga-lembaga adat senang karena merasa mulai diperhatikan. Namun juga
terjadi kerancuan kelembagaan di tingkat komunitas: ada kelembagaan adat yang dibentuk
pemerintah yang bertingkat dari desa hingga nasional da nada lebaga-lembaga adat yang asli
seperti KAN (Sumbar) dan Desa Pekraman (Bali). Saat ini juga terjadi persaingan antara Dewan
Adat Papua (yang terbentuk atas dasat UU Otonomi Khusus Papua) dan Lembaga Masyarakat
Adat yang berdasarkan kebijakan kemendagri yang lama, meski kedua-duanya adalah bentukan
(atas dasar kebijakan) negara.
11 Malik, Arizona dan Muhajir, 2015. “Analisis Trend Produk Hukum Daerah mengenai
Masyarakat Adat”. Policy Brief Epistema Institute Vol. 1.
12 Lihat https://rightsandresources.org/en/blog/indonesia-tenuresecurity/#sthash.dh3BoLcy.dpbs
13 R. Yando Zakaria, 2015. “Too Much Law Will Kill You! Dinamika Pembaruan Hukum Pengakuan
Hak-hak Masyarakat Adat Pasca-Reformasi”. Makalah yang dipersiapkan untuk Konferensi ke 5
Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, Surakarta, 14 – 15 November 2015.
3
digunakan dalam pengakuan masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat itu –
yang berkepanjangan dan nyaris kontra produktif.
Demikian pula, para pihak itu juga terseret pada arus pandangan yang melihat
fenomena keberadaan masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat itu
sebagai entitas politik semata, sebagaimana yang telah terjadi pada masa
kolonial tempo hari, sehingga abai terhadap dimensi-dimensi keperdataan yang
juga melekat pada beberapa susunan masyarakat hukum adat dan/atau
masyarakat adat yang memang tidak tunggal itu. Akibatnya muncul logika
hukum yang keliru, dalam arti tidak sesuai dengan realitas sosio-antropologis
dari apa yang disebut sebagai (kesatuan) masyarakat (hukum) adat itu sendiri.
Ke depan, tentu saja muncul suatu kebutuhan pada pendekatan alternatif yang
lebih sesuai pesan konstitusi dan dengan realitas sosio-antropologis dari entitas
yang disebut masyarakat adat itu (Zakaria, 2016).14
Lima persoalan yang perlu penyelesaian
Beberapa waktu lalu, sekitar awal minggu kedua April 2018, beredar surat yang
ditandatangani Menteri Dalam Negeri, yang pada intinya menyatakan bahwa
Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Huku Adat yang telah
diagendakan oleh DPR RI untuk dibahas tidak diperlukan. Alasannya, pertama,
sudah banyak peraturan perundang-undangan tentang masyarakat adat. Kedua,
RUU berpeluang mengakui kepercayaan yang belum diatur selama ini. Ketiga,
pelaksanaan UU nantinya akan membebani keuangan negara.
Berbeda dengan pandangan Kementerian Dalam Negeri itu, dengan alasan
sebagian hampir sama, kecuali soal potensi meningkatnya beban keuangan
negara yang sejatinya akan berhubungan dengan pendekatan yang digunakan,
dalam arti konsekwensi biaya dimaksud bisa tinggi dan bisa pula rendah, saya
justru berpandangan inilah saatnya membayar hutang konstitusi yang sudah
sangat lama terabaikan. Toh, perlunya penetapan undang-undang yang berkaitan
dengan masyarakat adat ini telah pula menjadi janji politik Pemerintahan Jokowi
– JK, sebagaimana yang dituangkan ke dalam naskah Nawacita.15
Ada lima persoalan yang kemudian dapat menjadi alasan mengapa “RUU tentang
Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat” itu perlu segera ditetapkan.
Pertama, pengakuan konstitusi terhadap keberdaaan dan hak-hak yang melekat
padanya telah mengalami interupsi oleh peraturan perundang-undangan di
bawah konstitusi. Hal inilah penyebab utama mengapa lebih dari 70 tahun
amanat konstitusi belum juga terwujud secara optimal.
Interupsi pertama dilakukan oleh Undang-Undang Pokok Agraria 1960 yang
memperkenalkan logika hukum pengakuan hak yang bersyarat. Sebagaimana
yang diatur pada Pasal 3, dinyatakan bahwa “pelaksanaan hak-ulayat dan hakhak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
14 Lihat
R. Yando Zakaria, 2016. “Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat
(Hukum) Adat: Sebuah pendekatan sosiologi-antropologis”, dalam Jurnal Bhumi, Volume 2 No. 2,
November 2016.
15 Joko Widodo dan Jusuf Kalla, 2014. Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri
dan Berkepribadian. Visi-Misi dan Program Aksi.
4
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi.” Frasa “sepanjang menurut kenyataannya masih
ada” kemudian menjelma kepada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi agar
suatu masyarakat hukum adat dapat dianggap masih adat ada atau sudah punah.
Demikian pula dengan frasa “sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara …
serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan
lain yang lebih tinggi”.
Interupsi kedua dilakukan oleh Undang-Undang Kehutanan 1999 dan
sebelumnya oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Kehutanan. Mengikuti logika pengakuan bersyarat yang diperkenalkan oleh
Undang-Undang Pokok Agraria 1960, sebagaimana diatur pada pada Pasal 67,
pengakuan (obyek) hak masyarakat hukum adat perlu didahului dengan
penetapan keberadaan (subyek) masyarakat hukum adat itu sendiri. Logika
pengakuan bersyarat pada akhirnya telah membangun proses pengakuan yang
berbelit-belit, yang dalam proses evaluasinya terlebih dahulu perlu melakukan
proses identifikasi, verfikasi, validasi, dan diakhiri dengan proses penetapan oleh
suatu institusi pemerintahan yang diberi dan/atau memliki kewenangan untuk
melakukan penetapan itu.
Logika yang sejatinya tidak berkesesuaian dengan konstitusi itu dikukuhkan
oleh berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana telah dibahas dalam
Zakaria (2015 dan 2016), situasi politik pengakuan hak-hak masyarakat adat
memang menjadi lebih pasti dengan munculnya Putusan No. 35 Tahun 2012
tentang Kehutanan cq. Pasal 1 Angka 3, dan seterusnya. Keistimewaan Putusan
yang terakhir ini, jika dapat dikatakan begitu, adalah bahwa Mahkamah
Konstitusi tidak lagi sekedar merumuskan kriteria dan kondisionalitas yang
diperlukan, melainkan sekaligus menggunakannya dalam menilai legal standing
dua komunitas masyarakat adat yang mengajukan judicial review bersama
AMAN.16
Pada intinya Putusan (-putusan) Mahkamah Konstutusi tersebut mengatur
tentang 3 kriteria pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat itu, lengkap
dengan penjelasan tentang kondisionalitas yang perlu dipenuhi untuk setiap
kriteria itu.
Selain menetapkan kriteria dan kondisionalitasnya, putusan itu juga menegaskan
logika hukum dalam mengakui hak masyarakat adat itu, yakni pengakuan hak
masyarakat adat harus didahului dengan penetapan subyeknya. Sebagaimana
yang terkandung dalam Putusan MK 35 Tahun 2012, logika hukum yang berlaku
adalah bahwa “tanah adat bukan tanah negara; tanah adat berada di wilayah
adat/ulayat masyarakat hukum adat; dan hak masyarakat hukum adat diakui
jika keberadaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan telah ditetapkan
dalam Peraturan Daerah”.17
16 Setidaknya Zakaria (2014) mencatat ada 5 (lima) nilai positif yang dibawa oleh Putusan MK 3
Tahun 2012. Lebih lanjut lihat R. Yando Zakaria, 2014. “Kriteria Masyarakat (Hukum) Adat dan
Potensi Implikasinya Terhadap Perebutan Sumber Daya Hutan Pasca-Putusan MK Nomor
35/PUU-X/@101: Studi Kasus Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur”, dalam Jurnal
WACANA Nomor 33, Tahun XVI, 2014. Yogyakarta; INSIST Press.
17 Sebagaimana telah disebutkan, logika hukum yang mensyaratkan pengakuan subyek hukum
(masyarakat adat) sebelum pengakuan atas obyek hak (dalam hal ini adalah hutan adat dan/atau
5
Tabel 1. Kriteria Masyarakat Hukum Adat
Tiga%Kriteria%Utama%dan%Kondisionalitas%Pengakuan%Keberadaan%
Masyarakat%(Hukum)%Adat%
Tiga%kriteria%MHA%
Penjelasan%tentang%kondisionalitasnya%(indikator%penjelas)%
(1) Kesatuan%masyarakat%hukum%
adat%beserta%hak%tradisionalnya%
secara%nyata%masih%hidup,%baik%
yang%bersifat%teritorial,%
genealogis,%maupun%yang%
bersifat%fungsional%
(MHA%Teritorial%atau%gabungan)%=%Memliiki%wilayah%yang%diakui%
sebagai%wilayah%adat%atau%ulayat%
masyarakat%yang%warganya%memiliki%perasaan%bersama%dalam%
kelompok%
pranata%pemerintahan%adat%
harta%kekayaan%dan/atau%benda%adat%
perangkat%norma%hukum%adat%
(2)%%%Kesatuan%masyarakat%hukum%
adat%beserta%hak%tradisionalnya%
dipandang%sesuai%dengan%
perkembangan%masyarakat%
%
keberadaannya%telah%diakui%berdasarkan%undangEundang%yang%
berlaku%%
(3)%%Kesatuan%masyarakat%hukum%
adat%beserta%hak%tradisionalnya%
sesuai%dengan%prinsip%Negara%
Kesatuan%Republik%Indonesia%
Fdak%mengancam%kedaulatan%dan%integritas%Negara%Kesatuan%
Republik%lndonesia%
substansi%hak%tradisional%tersebut%diakui%dan%dihormaF%oleh%warga%
kesatuan%masyarakat%yang%bersangkutan%dan%masyarakat%yang%lebih%
luas%serta%Fdak%bertentangan%dengan%hak%asasi%manusia%
substansi%norma%hukum%adatnya%sesuai%dan%Fdak%bertentangan%
dengan%ketentuan%peraturan%perundangEundangan%
Beruntung dalam putusan yang sama dinyatakan pula secara tegas bahwa
ketentuan yang demikian itu berlaku hingga ditetapkan lain oleh undangundang. Maka, penetapan sebuah undang-undang yang akan mengatur
pelaksanaan pengakuan (hak) masyarakat adat ini adalah momentum yang tepat
untuk meluruskan logika hukum yang belum sesuai dengan konstitusi itu.
Logika pengakuan hukum yang demikian itu memang dapat dikatakan tidak
sesuai dengan konstitusi karenanya perlu diubah. Sebagaimana yang jelas
terbaca pada Pasal 18 (sebelum amandemen); Pasal 18B ayat (2); dan Pasal 28i
ayat (3), hak masyarakat adat adalah hak asal-usul (menurut Pasal 18 sebelum
amandemen) atau hak tradisional (pasca-amandemen) yang merupakan hak
bawaan dan bukan berupa hak berian. Dengan demikian, Negara tidak perlu lagi
melakukan proses evaluasi terhadap hak bawaan itu yang telah selesai
dideklarasikan pada tingkat konstitusi. Yang diperlukan kemudian adalah proses
pengadministrasian implikasi dari pengakuan yang bersifat deklaratif itu ke
dalam sistem kenegaraan yang ada.
Dengan kata lain, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam bagian lain, yang
diperlukan kemudian adalah undang-undang yang mengatur proses
pengadministrasian pengakuan atas sejumlah hak asal-usul/hak tradisional yang
dimiliki masyarakat adat itu.
Alasan kedua, meski peraturan perundangan-undangan tentang masyarakat adat
sudah banyak, namun terma, kriteria, dan mekanisme pengakuan dan
perlindungan yang digunakan justru beragam dan ada kalanya tidak
berkesesuaian satu sama lainnya oleh karena itu perlu pula diluruskan.
Sebagaimana telah disinggung, hasil amandemen UUD 1945 telah pula
menghadirkan Pasal 28i ayat (3) yang berbunyi “Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban”. Melalui pasal ini, di samping terma (kesatuan) masyarakat hukum
adat yang dikandung oleh Pasal 18B ayat (2), proses amandemen UUD 1945
memperkenalkan pula suatu terma baru, yakni masyarakat tradisional.
tanah adat/tanah ulayat) sejatinya telah dianut dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan.
6
Secara sosio-antropologis, kedua terma ini dapat dikatakan ‘serupa tapi tidak
sama’. Setiap ‘masyarakat hukum adat’ pastilah merupakan ‘masyarakat
tradisional’ namun tidak setiap ‘masyarakat tradisional’ mewujudkan diri ke
dalam ‘masyarakat ‘hukum adat’.
Meski begitu, menurut ‘bahasa peraturan perundang-undangan’, dalam naskah
UUD 1945 hasil amandemen, kedua terma ini ditulis dalam huruf kecil. Oleh
karenanya terma ini merujuk pada apa yang disebut sebagai ‘nama fungsi’
semata, bukan nomenklatur, sebagaimana penyebutan ‘bank sentra’ yang
belakangan me;ahirkan nomeklatur Bank Indonesia yang memiliki fungsi
sebagai bank sentral itu.
Maka, dalam upaya pengaturan lebih lanjut amanat Pasal 18B ayat (2) dan Pasal
28i ayat (3) ini, sekaligus untuk mengakomodasi pandangan publik yang peduli
dengan masalah ‘masyarakat adat’, penggunaan terma Masyarakat Adat (M dan
A dengan huruf besar) dapat digunakan sebagai nomenklatur baru dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Dengan upaya ini keragaman terma – dan pengertian
-- dalam berbagai undang-undang yang ada saat ini dapat disatukan dan
diluruskan.
Demikian pula dengan kriteria dan mekanisme penetapan keberadaan
masyarakat adat yang bersangkutan. Kriteria dan instrument hukum penetapan
yang disyaratkan dalam Undang-undang Kehutanan 1999 tidak sama dengan,
sekedar menyebut contoh, Putusan MK 35/2012 dan apalagi dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2015.
Dengan logika hukum baru yang mengasumsikan proses pengakuan dan/atau
penatapan subyek sebelum pengakuan hak itu tidak diperlukan maka
perdebatan tentang kriteria dan mekanisme penetapan itu sudah boleh untuk
diakhiri
atau
diabaikan
dan
langsung
saja
mengatur
soal
18
pengadministrasiannya.
Alasan ketiga, faktanya, masih ada hak masyarakat adat yang belum jelas
pengakuannya. Salah satu yang terpokok adalah soal hak spiritualitas-nya. Fakta
ini telah mendorong sejumlah pihak untuk mengajukan judicial review atas Pasal
61 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan dan Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006, yang telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUUXIV/2016. Pada intinya putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kata
‘agama’ dalam berbagai pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi
sepanjang tidak termasuk ‘kepercayaan’. Namun, meski sudah ada Putusan MK
97/2016 itu, proses pengaturannya dalam sistem administrasi kependudukan
masih dalam polemik.19
Alasan keempat, sebagaimana telah disinggung, model peraturan perundangundangan pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat yang ada saat ini
18 Mengingat kondisi sosio-antropologis yang telah muncul sebagai akibat pengabaian masalah
pengakuan dan perlindungan (hak) masyarakat adat selama ini, pengaturan lebih lanjut soal
pengadministrasian implikasi pengakuan hak masyarakat adat itu dapat dipayungi oleh upaya
“pelindungan hak masyarakat adat”.
19 Veri Junaidi & Arsil, 2018. “Dampak Konstitusional Hak Penghayat Pascaputusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016”. Jakarta: PEDULI – The Asia Foundation (TAF).
7
menganut logika hukum yang lebih berorientasi pada pengenalan dan penetapan
subyek; dan proses penetapan subyek melalui proses politik di parlemen
maupun eksektif di tingkat Daerah yang mendahului pengakuan obyek dan jenis
hak. Di samping tidak sesuai dengan amanat konstitusi, sebagaimana telah
dijelaskan di atas, logika hukum yang demikian tidak selamanya cocok dengan
realitas sosio-antropologis hubungan antara subyek, obyek, dan jenis hak yang
berkaitan dengan kapasitas subyek untuk masuk ke dalam proses-proses politik
di parlemen daerah ataupun mengakses lobby politik kepada Kepala Daerah.
Alih-alih mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat yang terjadi
sesungguhnya adalah ‘membunuh masyarakat adat’ itu sendiri (Zakaria, Harian
KOMPAS, 18/0418).
Model pengakuan yang seperti ini tidak saja akan membebani biaya negara
(Pusat dan Daerah), tetapi lebih-lebih lagi akan membebani masyarakat adat itu
sendiri. Faktanya, dari belasan hutan adat yang telah diakui pemerintah hingga
tahun 2017 lalu, semua mengandalkan pendampingan organisasi masyarakat
sipil yang mendapatkan dukungan dana dari luar negeri.20
Sampai kapan proses ini akan dibiarkan terus berlanjut? Salah satu Surat
Keputusan untuk Pencadangan Hutan Adat, meski sudah lewat setahun, belum
juga dapat dilanjutkan pada penetapan hutan adat karena Peraturan Daerah
tentang Penetapan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat yang disyaratkan. Hal
ini terjadi, antara lain, masih terjerat dinamika politik lokal yang berakar pada
“kepatutan-kepatutan adat” yang perlu dihormati para pihak yang terkait dalam
proses perjuangan dan pengakuan atas hutan adat yang bersangkutan.21
Padahal, keberagaman subyek, obyek, dan jenis hak masyarakat adat yang
beragam dapat saja bermuara pada logika hukum yang berbeda pula. Pengakuan
hak-hak masyarakat adat yang bersifat publik22 tentunya memerlukan syarat
yang berbeda dengan pengakuan hak-hak yang bersifat perdata 23 saja. Jika
20 http://print.kompas.com/baca/opini/artikel/2017/01/09/Tonggak-BaruHak-Masyarakat-
Adat. Untuk memahami betapa rumitnya proses yang dilewati untuk mendapatkan pengakuan
beberapa hutan adat yang Surat Keputusannya langsung diserahkan oleh Presiden Jokowi, yang
dimulai dengan kegiatan-kegiatan riset dan seminar hasil riset, proses pengajuan permohonan,
kegiatan verifikasi dan validasi yang dilakukan oleh pihak Direktorat PKTHA, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, silahkan pelajari Perkumpulan HuMa, “Agenda Percepatan
Penetapan Hutan Adat. Academic Paper”. Kertas Kerja yang diproduksi untuk Rapat Koordinasi
dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta tanggal 19 Maret 2018.
21 Lihat Kartini Sjahrir-Pandjaitan, et.al., 2017. Etnografi Tanah Adat di Kabupaten Humbang
Hasundutan. Laporan Penelitian. Kerjasama Yayasan Sjahrir dan Pusat Kajian Etnografi Hak-hak
Komunitas Adat).
22 Misalnya, hak (politik) masyarakat adat untuk menyelenggarakan pemerintah atau pengakuan
atas hak ulayat/hak katas wilayah adat (lihat R. Yando Zakaria, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat
Desa di Bawah Rezim Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM).
23 Misalnya, hak atas tanah ripe-ripe pada masyarakat adat Batak Toba (lihat Kartini SjahrirPandjaitan, et.al., 2017. Etnografi Tanah Adat di Kabupaten Humbang Hasundutan. Laporan
Penelitian. Kerjasama Yayasan Sjahrir dan Pusat Kajian Etnografi Hak-hak Komunitas Adat); dan
ha katas tanah ulayat kaum dan/atau suku dalam masyarakat Minangkabau (lihat BendaBeckmann, Franz. 1979. Property in social continuity: Continuity and change in the maintenance
of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra. The Hague: Martinus
Nijhoff; Benda-Beckmann, Keebet von. 1984. The Broken Stairways to Consensus: Village Justice
and State Courts in Minangkabau. Dordrecht: Foris Publications; Franz and Kebeet von BendaBeckmann, 2012. 2012. Political and Legal Transformations of an Indonesia Polity. The Nagari,
from Colonisation to Decentralisation. Cambridge: Cambridge University Press; dan Kurnia
8
pengakuan hak yang diakui itu mengandung kewenangan-kewenangan yang
bersifat publik, seperti hak untuk melaksanakan pemerintahan, pengadilan, dan
juga kewenangan atas properti yang bersifat publik, maka mekanisme
pengakuannya haruslah melalui penetapan kebijakan seperti peraturan daerah.
Hal ini diperlukan karena pengakuan itu akan bermuara pada hak untuk
menyelenggarakan kewenangan-kewenangan yang bersifat publik dan juga akan
menggunakan sumberdaya Negara.
Namun, jika itu hanya menyangkut pengakuan hak masyarakat hukum adat yang
lebih bersifat privat dan/atau yang bersifat keperdataan, baik komunal ataupun
perorangan, seperti tanah dan hutan adat misalnya, cukup langsung melalui
proses pengadministrasian yang dilakukan oleh instansi teknis terkait saja.
Sebab susunan masyarakat adat yang bersifat privat itu dapat diperlakukan
sebagai badan hukum perdata semata (Simarmata dan Steni, 2017).24
Dengan pergeseran strategi yang semula lebih mengutamakan pengakuan
subyek menjadi perlindungan hak masyarakat adat, terutama di tingkat Pusat,
diperkirakan implikasi kepada kelembagaan dan keuangan Negara tidaklah
begitu siginifikan. Hal ini terjadi karena beban yang muncul akibat dari upaya
perlindungan hak masyarakat adat ini terbagi ke dalam berbagai tugas pokok
dan fungsi berbagai kementerian dan lembaga yang sudah ada.
Melalui undang-undang dengan logika hukum yang baru ini berbagai kegiatan
perlindungan dan pemajuan hak masyarakat adat dipastikan dapat berjalan
secara terkoordinasi dan tidak saling bertentangan sebagaimana yang terjadi
selama ini. Tugas koordinasi pun melalui undang-undang ini dapat dipastikan
oleh salah satu kementerian koordinator yang ada.
Berbeda dengan tingkat Pusat, implikasi kelembagaan dan keuangan yang cukup
aan dirasakan adalah pada tingkat Daerah. Namun demikian, karena sebagian
besar upaya perlindungan dan pemajuan hak masyarakat adat menjadi tugas
pokok dan fungsi kementerian dan lembaga di tingkat Pusat akan beban
kelembgaan yang muncul itu dapat dipikul oleh kedua pihak.
Alasan kelima, sebagaimana yang terjadi pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa, ada kalanya pengaturan lanjutan berkaitan dengan
pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat ini yang menghambat
pelaksanaan pengakuan dan perlindungan itu sendiri. Oleh sebab itu, sampai
hari ini tidak ada desa adat sebagai salah satu wujud pengakuan hak asalusul/hak tradisional masyarakat adat yang dimungkinkan oleh UU Desa yang
baru itu yang telah duregistrasi oleh Kementerian Dalam Negeri. Salah satu
alasan Pemerintah menolak membahas RUU Masyarakat Adat karena
Kementerian Dalam Negeri sudah memberlakukan Peraturan Menteri Dalam
Warman, (2010). Hukum Agraria dalam Masyarakat Majemuk. Dinamika Interaksi Hukum Adat
dan Hukum Negara di Sumatera barat. Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV –
Jakarta).
24 Rikardo Simarmata dan Bernadinus Steni, 2017. Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subjek
Hukum: Kecakapan Hukum Masyarakat Hukum Adat dalam Lapangan Hukum Privat dan Publik.
Jakarta: Samdhana Institute & Pustaka Sempu.
9
negeri Nomor 52 Tahun 2015 sebagai tindak lanjut dari keberadaan UU Desa
adalah cermin ketidakpahaman pada UU Desa itu sendiri.25
Implikasi Terhadap RUU MHA vrsi DPR RI 2018
Dengan catatan-catatan di atas maka implikasinya terhadap Rencana UndangUndang tentang Masyarakat Hukum Adat versi DPR RI adalah sebagai berikut:
1. Judul RUU harus diubah menjadi (Rancangan) Undang-Undang tentang
Perlindungan Hak Masyarakat Adat.
2. Uraian dalam BAB 1, KETENTUAN UMUM, perlu disesuaikan.
3. BAB II, PENGAKUAN, hapus. Perlu duganti/ditambahkan BAB tentang
RUANG LINGKUP.
4. BAB III, EVALUASI, hapus.
5. BAB IV, LEMBAGA ADAT, hapus, karena akan terakomodasi dengan
sendirnya dalam “Perlindungan Hak Masyarakat Adat”
6. BAB V, HAK DAN KEWAJIBAN, perlu disesuaikan. Dengan pengaturan
yang jelas: BAB yang mengatur tentang jenis-jenis hak yang diakui; dan
BAB yang mengatur proses pemajuan hak-hak masyarakat adat.
7. BAB VI, PEMBERDAYAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT, disesuaikan
dengan penekatan pada PEMAJUAN HAK, yang meliputi:
a. pelestarian Hak Masyarakat Adat;
b. pemberdayaan Masyarakat Adat;
c. pengembangan Hak Masyarakat Adat; dan
d. pemanfaatan Hak Masyarakat Adat.
8. BAB VII, SISTEM INFORMASI, tetap dengan penyesuaian yang dibutuhkan.
9. BAB VIII, TUGAS DAN WEWENANG, tetap dengan penyesuaian yang
dibutuhkan.
10. BAB X, PENYELESAIAN SENGKETA, tetap dengan penyesuaian.
11. BAB XI, PENDANAAN, tetap dengan penyesuaian.
12. BAB XII, PARTISIPASI MASYARAKAT, tetap dengan penyesuaian.
13. BAB XIII, LARANGAN, hapus atau tetap dengan penyesuaian.
14. BAB XIV, KETENTUAN PIDANA, hapus atau tetap dengan penyesuaian.
15. BAB XV, KETENTUAN PERALIHAN, tetap dengan penyesuaian.
16. BAB XVI, KETENTUAN PENUTUP, tetap dengan penyesuaian.***
25 Lihat R. Yando Zakaria, 2015. “Desa Adat, Nomenklatur Strategis yang Terancam Mandul”,
dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 19, No. 2, Desember 2015. Halaman 168 – 193. Sebagaimana
dapat diakses pada
https://www.academia.edu/17407078/Desa_Adat_Nomenklatur_Strategis_yang_Terancam_Man
dul
10
Masyarakat Hukum Adat versi DPR RI Tahun 2018:
Logika Hukum dan Norma Pengaturannya Perlu Dirombak Total!1
Pengantar
Sejak Republik Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai suatu negara yang
merdeka hak-hak masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat telah
diakui keberadaannya. 2 Hal ini dapat dilihat pada (Penjelasan) Pasal 18
(sebelum amandemen) UUD 1945, khususnya pada angka Romawi II, yang
berbunyi “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250
“Zelfbesturende landschappen” dan“Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa
dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati
kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang
mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut”.
Meski begitu, kecuali yang tercantum pada Undang-Undang Pokok Agraria 1960,
yang terjadi pada masa-masa berikutnya adalah justru pengingkaran dan/atau
pelanggaran terhadapnya. Pelanggaran itu semakin masif pada masa Orde Baru.
Bahkan sebuah Peraturan Pemerintah (tentang hak penguasahaan hutan) pun
pernah mampu membatalkan pengakuan hak masyarakat adat yang dijamin oleh
konstitusi itu (Zakaria, 2000).3
Atas desakan berbagai kalangan, utamanya dari kalangan organisasi masyarakat
sipil, Pasal 18 menjadi salah satu pasal konstitusi yang perlu diamandemen.
Melalui proses amandemen pada tahun 2000 itu lahirlah Pasal 18B ayat (2) yang
berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Melanjutkan kecenderungan positif itu, hingga saat ini setidaknya ada 19
(sembilanbelas) peraturan perundangan-undangan setingkat undang-undang
yang terkait dengan soal pengaturan lebih lanjut tentang pengakuan dan
pelindungan hak-hak masyarakat hukum adat ini, meski hampir seluruhnya
tidak memiliki pengaturan lebih lanjut bagaimana pengakuan yang terkandung
dalam peraturan perundang-undangan ini akan drealisasikan.4
1 R. Yando Zakaria, antropolog, pendiri dan peneliti Pusat Kajian Etnografi Hak Komunitas Adat.
Naskah ini disusun dalam rangka proses advokasi “RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak
Masyarakat Adat”, 2018.
2 Dengan alasan yang akan dijelaskan pada bagian lain, dalam dokumen ini terma masyarakat
hukum adat dan masyarakat hukum adat dapat dipertukarkan satu sama lainnya. Demikian pula,
terma masyarakakat adat akan digunakan sebagai terma payung yang dapat menaungi
pengertian masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional, sampai tingkat tertentu juga
masyarakat daerah.
3 R. Yando Zakaria, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di BAwah Rezim Orde Baru. Jakarta:
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
4 Masing-masing adalah (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; (2) UU No. 41
Tahun 1999 tentang kehutanan; (3) UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
(4) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (5) UU No. 24 Tahun 2003
1
Di samping itu, saat ini setidaknya tersedia pula lima perangkat peraturan
perundang-undangan yang dapat digunakan untuk memperoleh pengakuan hakhak masyarakat (hukum) adat secara hukum. Masing-masing adalah, (1)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; (2) Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan
Pelindungan Masyarakat Hukum Adat; dan (3) Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 2015 tentang
Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan
Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu; (4) Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak;
dan (3) Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian
Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.
Di tingkat daerah, sebagaimana yang dilaporkan Arizona (2015b), 5 hingga
tengah tahun 2015 lalu, ada sekitar 90 produk hukum daerah dan/atau kegiatan
advokasi hukum daerah dalam jumlah yang hampir sama. 6 Produk-produk
hukum daerah dimaksud berkaitan dengan upaya (1) pengembangan/penguatan
lembaga adat;7 (2) pengakuan terhadap wilayah masyarakat hukum adat;8 (3)
pengakuan terhadap keberadaan suatu masyarakat hukum adat; 9 dan (4)
pengakuan sebagai unit pemerintahan.10 Menurut catatan terakhir, sebagaimana
tentang Mahkamah Konstitusi; (6) UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi; (7) UU No. 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; (8) UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; (9) UU
No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; (10) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
(11) UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil;
(12) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; (13)UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (14)UU No. 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan; (15) UU No. 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil; 16) UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Di samping itu pengaturan keberadaan dan hakhak masyarakat hukum adat juga terdapat di dalam beberapa undang-undang otonomi khusus
sebagai berikut: (1) UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua; (2) UU
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan (3) UU No. 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewah Yogyakarta. Dikutip dari Kurnia Warman, tt. “Peta Perundangundangan tentang Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat”.
5
Yance
Arizona,
2015.
2015b.
Sebagaimana
dapat
diakses
pada
https://www.facebook.com/yance.arizona/posts/10207450108040211?comment_id=1020745
6706605171¬if_t=mentions_comment
6 Lihat juga http://kabar24.bisnis.com/read/20150826/16/465904/masyarakat-adat-produkhukum-banyak.-hak-tradisional-belum-terjamin
7 Seperti Perda Kabupaten Nunukan Nomor 34 tahun 2003 tentang Pemberdayaan, Pelestarian,
Perlindungan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat dalam wilayah Kabupaten
Nunukan, misalnya.
8 Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan
Hak Ulayat Baduy. Sebenarnya, tanpa perda ini tanah/ulayat Baduy tidak terancam/tetap dikuasi
secara efektif. Saat ini Orang Baduy sdh menguasai tanah di luar wilayah adatnya dua kali lipat
dari luas ulayatnya (5000 ha). Komunikasi pribadi dengan peneliti LIPI yang sedang melakukan
penelitian tentang masalah/topik dimaksud (2015).
9 Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Bungo Nomor 2 Tahun 2006 tentang Masyarakat
Hukum Adat Datuk Sinaro Putih; dan (Rencana) Peraturan Daerah Propinsi Sulawes Selatan
tentang Amatoa Kajang.
10 Secara teoritik, pada kebijakan untuk kelompok yang pertama, penguatan lembaga adat, ada di
seluruh kabupaten. Tanpa peraturan daerah tentang kelembagaan adat ini pemerintah daerah
yang bersangkutan tidak bisa melakukan pembinaan kepada lembaga-lembaga ada yang memang
diwajibkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Penulis menemukan ada 4 perda
sejenis di Kutai Barat (lihat Zakaria, 2014). Oleh sebab itu, pada dasarnya perda ini tidak terkait
2
yang ditunjukan tabel berikut, jumlah regulasi di tingkat daerah itu hampir
mencapai angka 200 kasus.11
Graphs 1. Trend of Indonesia's regional legisla5on products on
recogni5on of adat peoples in the period of 1979-2016
120
107
100
80
69
60
number of regional legislaAon products
40
20
6
0
1979-1998 A,er the Law No. 1999-2013 a,er the Law No. 2013-2016 A,er the Ruling of
5/1979 on Village
22/1999 on Regional
MK35
AdministraAon (Suharto
Autonomy and the Law No.
regime)
32/ 2004 on Local
Government
Source: Arizona et al, Epistema InsAtute, 2015 (updated in 2016).
Menurut suatu publikasi dari sebuah lembaga donor, upaya-upaya legislasi di
tingkat daerah ini dinyatakan mampu memantik gerakan yang memastikan
keamanan tenurial masyarakat adat.12 Meski begitu, sebagaimana akan dibahas
lebih lanjut dalam bagian lain, keberadaan berbagai kebijakan itu justru punya
potensi ‘membunuh masyarakat adat’ (Zakaria, 2015).13
Menurut Zakaria (2015), lemahnya daya ubah dari kebijakan-kebijakan
dimaksud terjadi karena gagalnya para perumus kebijakan memahami faktafakta empiris di tingkat lapangan tentang apa yang disebut sebagai (kesatuan)
masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat itu sendiri. Para pihak, baik
para perumus kebijakan, para ahli, dan juga kalangan pegiat masyarakat sipil,
terjebak pada perdebatan soal pendefenisian – dan juga kondisionalitas yang
pada advokasi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat karena menjadi bagian
dari mandat kebijakan terkait ‘pemerintahan desa’ sebelum dan sesudah reformasi. Kebijakan
tentang kelembagaan adat ini sudah ada sejak zaman Orde Baru cq. UU 5 Tahun 1979.
Sebagaimana pernah diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-Kebiasaan
Masyarakat dan Lembaga Adat Daerah. Kebijakan ini efektif meredam dan/atau menaklukan
kekuatan adat. Lebaga-lembaga adat senang karena merasa mulai diperhatikan. Namun juga
terjadi kerancuan kelembagaan di tingkat komunitas: ada kelembagaan adat yang dibentuk
pemerintah yang bertingkat dari desa hingga nasional da nada lebaga-lembaga adat yang asli
seperti KAN (Sumbar) dan Desa Pekraman (Bali). Saat ini juga terjadi persaingan antara Dewan
Adat Papua (yang terbentuk atas dasat UU Otonomi Khusus Papua) dan Lembaga Masyarakat
Adat yang berdasarkan kebijakan kemendagri yang lama, meski kedua-duanya adalah bentukan
(atas dasar kebijakan) negara.
11 Malik, Arizona dan Muhajir, 2015. “Analisis Trend Produk Hukum Daerah mengenai
Masyarakat Adat”. Policy Brief Epistema Institute Vol. 1.
12 Lihat https://rightsandresources.org/en/blog/indonesia-tenuresecurity/#sthash.dh3BoLcy.dpbs
13 R. Yando Zakaria, 2015. “Too Much Law Will Kill You! Dinamika Pembaruan Hukum Pengakuan
Hak-hak Masyarakat Adat Pasca-Reformasi”. Makalah yang dipersiapkan untuk Konferensi ke 5
Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, Surakarta, 14 – 15 November 2015.
3
digunakan dalam pengakuan masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat itu –
yang berkepanjangan dan nyaris kontra produktif.
Demikian pula, para pihak itu juga terseret pada arus pandangan yang melihat
fenomena keberadaan masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat itu
sebagai entitas politik semata, sebagaimana yang telah terjadi pada masa
kolonial tempo hari, sehingga abai terhadap dimensi-dimensi keperdataan yang
juga melekat pada beberapa susunan masyarakat hukum adat dan/atau
masyarakat adat yang memang tidak tunggal itu. Akibatnya muncul logika
hukum yang keliru, dalam arti tidak sesuai dengan realitas sosio-antropologis
dari apa yang disebut sebagai (kesatuan) masyarakat (hukum) adat itu sendiri.
Ke depan, tentu saja muncul suatu kebutuhan pada pendekatan alternatif yang
lebih sesuai pesan konstitusi dan dengan realitas sosio-antropologis dari entitas
yang disebut masyarakat adat itu (Zakaria, 2016).14
Lima persoalan yang perlu penyelesaian
Beberapa waktu lalu, sekitar awal minggu kedua April 2018, beredar surat yang
ditandatangani Menteri Dalam Negeri, yang pada intinya menyatakan bahwa
Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Huku Adat yang telah
diagendakan oleh DPR RI untuk dibahas tidak diperlukan. Alasannya, pertama,
sudah banyak peraturan perundang-undangan tentang masyarakat adat. Kedua,
RUU berpeluang mengakui kepercayaan yang belum diatur selama ini. Ketiga,
pelaksanaan UU nantinya akan membebani keuangan negara.
Berbeda dengan pandangan Kementerian Dalam Negeri itu, dengan alasan
sebagian hampir sama, kecuali soal potensi meningkatnya beban keuangan
negara yang sejatinya akan berhubungan dengan pendekatan yang digunakan,
dalam arti konsekwensi biaya dimaksud bisa tinggi dan bisa pula rendah, saya
justru berpandangan inilah saatnya membayar hutang konstitusi yang sudah
sangat lama terabaikan. Toh, perlunya penetapan undang-undang yang berkaitan
dengan masyarakat adat ini telah pula menjadi janji politik Pemerintahan Jokowi
– JK, sebagaimana yang dituangkan ke dalam naskah Nawacita.15
Ada lima persoalan yang kemudian dapat menjadi alasan mengapa “RUU tentang
Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat” itu perlu segera ditetapkan.
Pertama, pengakuan konstitusi terhadap keberdaaan dan hak-hak yang melekat
padanya telah mengalami interupsi oleh peraturan perundang-undangan di
bawah konstitusi. Hal inilah penyebab utama mengapa lebih dari 70 tahun
amanat konstitusi belum juga terwujud secara optimal.
Interupsi pertama dilakukan oleh Undang-Undang Pokok Agraria 1960 yang
memperkenalkan logika hukum pengakuan hak yang bersyarat. Sebagaimana
yang diatur pada Pasal 3, dinyatakan bahwa “pelaksanaan hak-ulayat dan hakhak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
14 Lihat
R. Yando Zakaria, 2016. “Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat
(Hukum) Adat: Sebuah pendekatan sosiologi-antropologis”, dalam Jurnal Bhumi, Volume 2 No. 2,
November 2016.
15 Joko Widodo dan Jusuf Kalla, 2014. Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri
dan Berkepribadian. Visi-Misi dan Program Aksi.
4
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi.” Frasa “sepanjang menurut kenyataannya masih
ada” kemudian menjelma kepada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi agar
suatu masyarakat hukum adat dapat dianggap masih adat ada atau sudah punah.
Demikian pula dengan frasa “sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara …
serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan
lain yang lebih tinggi”.
Interupsi kedua dilakukan oleh Undang-Undang Kehutanan 1999 dan
sebelumnya oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Kehutanan. Mengikuti logika pengakuan bersyarat yang diperkenalkan oleh
Undang-Undang Pokok Agraria 1960, sebagaimana diatur pada pada Pasal 67,
pengakuan (obyek) hak masyarakat hukum adat perlu didahului dengan
penetapan keberadaan (subyek) masyarakat hukum adat itu sendiri. Logika
pengakuan bersyarat pada akhirnya telah membangun proses pengakuan yang
berbelit-belit, yang dalam proses evaluasinya terlebih dahulu perlu melakukan
proses identifikasi, verfikasi, validasi, dan diakhiri dengan proses penetapan oleh
suatu institusi pemerintahan yang diberi dan/atau memliki kewenangan untuk
melakukan penetapan itu.
Logika yang sejatinya tidak berkesesuaian dengan konstitusi itu dikukuhkan
oleh berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana telah dibahas dalam
Zakaria (2015 dan 2016), situasi politik pengakuan hak-hak masyarakat adat
memang menjadi lebih pasti dengan munculnya Putusan No. 35 Tahun 2012
tentang Kehutanan cq. Pasal 1 Angka 3, dan seterusnya. Keistimewaan Putusan
yang terakhir ini, jika dapat dikatakan begitu, adalah bahwa Mahkamah
Konstitusi tidak lagi sekedar merumuskan kriteria dan kondisionalitas yang
diperlukan, melainkan sekaligus menggunakannya dalam menilai legal standing
dua komunitas masyarakat adat yang mengajukan judicial review bersama
AMAN.16
Pada intinya Putusan (-putusan) Mahkamah Konstutusi tersebut mengatur
tentang 3 kriteria pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat itu, lengkap
dengan penjelasan tentang kondisionalitas yang perlu dipenuhi untuk setiap
kriteria itu.
Selain menetapkan kriteria dan kondisionalitasnya, putusan itu juga menegaskan
logika hukum dalam mengakui hak masyarakat adat itu, yakni pengakuan hak
masyarakat adat harus didahului dengan penetapan subyeknya. Sebagaimana
yang terkandung dalam Putusan MK 35 Tahun 2012, logika hukum yang berlaku
adalah bahwa “tanah adat bukan tanah negara; tanah adat berada di wilayah
adat/ulayat masyarakat hukum adat; dan hak masyarakat hukum adat diakui
jika keberadaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan telah ditetapkan
dalam Peraturan Daerah”.17
16 Setidaknya Zakaria (2014) mencatat ada 5 (lima) nilai positif yang dibawa oleh Putusan MK 3
Tahun 2012. Lebih lanjut lihat R. Yando Zakaria, 2014. “Kriteria Masyarakat (Hukum) Adat dan
Potensi Implikasinya Terhadap Perebutan Sumber Daya Hutan Pasca-Putusan MK Nomor
35/PUU-X/@101: Studi Kasus Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur”, dalam Jurnal
WACANA Nomor 33, Tahun XVI, 2014. Yogyakarta; INSIST Press.
17 Sebagaimana telah disebutkan, logika hukum yang mensyaratkan pengakuan subyek hukum
(masyarakat adat) sebelum pengakuan atas obyek hak (dalam hal ini adalah hutan adat dan/atau
5
Tabel 1. Kriteria Masyarakat Hukum Adat
Tiga%Kriteria%Utama%dan%Kondisionalitas%Pengakuan%Keberadaan%
Masyarakat%(Hukum)%Adat%
Tiga%kriteria%MHA%
Penjelasan%tentang%kondisionalitasnya%(indikator%penjelas)%
(1) Kesatuan%masyarakat%hukum%
adat%beserta%hak%tradisionalnya%
secara%nyata%masih%hidup,%baik%
yang%bersifat%teritorial,%
genealogis,%maupun%yang%
bersifat%fungsional%
(MHA%Teritorial%atau%gabungan)%=%Memliiki%wilayah%yang%diakui%
sebagai%wilayah%adat%atau%ulayat%
masyarakat%yang%warganya%memiliki%perasaan%bersama%dalam%
kelompok%
pranata%pemerintahan%adat%
harta%kekayaan%dan/atau%benda%adat%
perangkat%norma%hukum%adat%
(2)%%%Kesatuan%masyarakat%hukum%
adat%beserta%hak%tradisionalnya%
dipandang%sesuai%dengan%
perkembangan%masyarakat%
%
keberadaannya%telah%diakui%berdasarkan%undangEundang%yang%
berlaku%%
(3)%%Kesatuan%masyarakat%hukum%
adat%beserta%hak%tradisionalnya%
sesuai%dengan%prinsip%Negara%
Kesatuan%Republik%Indonesia%
Fdak%mengancam%kedaulatan%dan%integritas%Negara%Kesatuan%
Republik%lndonesia%
substansi%hak%tradisional%tersebut%diakui%dan%dihormaF%oleh%warga%
kesatuan%masyarakat%yang%bersangkutan%dan%masyarakat%yang%lebih%
luas%serta%Fdak%bertentangan%dengan%hak%asasi%manusia%
substansi%norma%hukum%adatnya%sesuai%dan%Fdak%bertentangan%
dengan%ketentuan%peraturan%perundangEundangan%
Beruntung dalam putusan yang sama dinyatakan pula secara tegas bahwa
ketentuan yang demikian itu berlaku hingga ditetapkan lain oleh undangundang. Maka, penetapan sebuah undang-undang yang akan mengatur
pelaksanaan pengakuan (hak) masyarakat adat ini adalah momentum yang tepat
untuk meluruskan logika hukum yang belum sesuai dengan konstitusi itu.
Logika pengakuan hukum yang demikian itu memang dapat dikatakan tidak
sesuai dengan konstitusi karenanya perlu diubah. Sebagaimana yang jelas
terbaca pada Pasal 18 (sebelum amandemen); Pasal 18B ayat (2); dan Pasal 28i
ayat (3), hak masyarakat adat adalah hak asal-usul (menurut Pasal 18 sebelum
amandemen) atau hak tradisional (pasca-amandemen) yang merupakan hak
bawaan dan bukan berupa hak berian. Dengan demikian, Negara tidak perlu lagi
melakukan proses evaluasi terhadap hak bawaan itu yang telah selesai
dideklarasikan pada tingkat konstitusi. Yang diperlukan kemudian adalah proses
pengadministrasian implikasi dari pengakuan yang bersifat deklaratif itu ke
dalam sistem kenegaraan yang ada.
Dengan kata lain, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam bagian lain, yang
diperlukan kemudian adalah undang-undang yang mengatur proses
pengadministrasian pengakuan atas sejumlah hak asal-usul/hak tradisional yang
dimiliki masyarakat adat itu.
Alasan kedua, meski peraturan perundangan-undangan tentang masyarakat adat
sudah banyak, namun terma, kriteria, dan mekanisme pengakuan dan
perlindungan yang digunakan justru beragam dan ada kalanya tidak
berkesesuaian satu sama lainnya oleh karena itu perlu pula diluruskan.
Sebagaimana telah disinggung, hasil amandemen UUD 1945 telah pula
menghadirkan Pasal 28i ayat (3) yang berbunyi “Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban”. Melalui pasal ini, di samping terma (kesatuan) masyarakat hukum
adat yang dikandung oleh Pasal 18B ayat (2), proses amandemen UUD 1945
memperkenalkan pula suatu terma baru, yakni masyarakat tradisional.
tanah adat/tanah ulayat) sejatinya telah dianut dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan.
6
Secara sosio-antropologis, kedua terma ini dapat dikatakan ‘serupa tapi tidak
sama’. Setiap ‘masyarakat hukum adat’ pastilah merupakan ‘masyarakat
tradisional’ namun tidak setiap ‘masyarakat tradisional’ mewujudkan diri ke
dalam ‘masyarakat ‘hukum adat’.
Meski begitu, menurut ‘bahasa peraturan perundang-undangan’, dalam naskah
UUD 1945 hasil amandemen, kedua terma ini ditulis dalam huruf kecil. Oleh
karenanya terma ini merujuk pada apa yang disebut sebagai ‘nama fungsi’
semata, bukan nomenklatur, sebagaimana penyebutan ‘bank sentra’ yang
belakangan me;ahirkan nomeklatur Bank Indonesia yang memiliki fungsi
sebagai bank sentral itu.
Maka, dalam upaya pengaturan lebih lanjut amanat Pasal 18B ayat (2) dan Pasal
28i ayat (3) ini, sekaligus untuk mengakomodasi pandangan publik yang peduli
dengan masalah ‘masyarakat adat’, penggunaan terma Masyarakat Adat (M dan
A dengan huruf besar) dapat digunakan sebagai nomenklatur baru dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Dengan upaya ini keragaman terma – dan pengertian
-- dalam berbagai undang-undang yang ada saat ini dapat disatukan dan
diluruskan.
Demikian pula dengan kriteria dan mekanisme penetapan keberadaan
masyarakat adat yang bersangkutan. Kriteria dan instrument hukum penetapan
yang disyaratkan dalam Undang-undang Kehutanan 1999 tidak sama dengan,
sekedar menyebut contoh, Putusan MK 35/2012 dan apalagi dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2015.
Dengan logika hukum baru yang mengasumsikan proses pengakuan dan/atau
penatapan subyek sebelum pengakuan hak itu tidak diperlukan maka
perdebatan tentang kriteria dan mekanisme penetapan itu sudah boleh untuk
diakhiri
atau
diabaikan
dan
langsung
saja
mengatur
soal
18
pengadministrasiannya.
Alasan ketiga, faktanya, masih ada hak masyarakat adat yang belum jelas
pengakuannya. Salah satu yang terpokok adalah soal hak spiritualitas-nya. Fakta
ini telah mendorong sejumlah pihak untuk mengajukan judicial review atas Pasal
61 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan dan Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006, yang telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUUXIV/2016. Pada intinya putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kata
‘agama’ dalam berbagai pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi
sepanjang tidak termasuk ‘kepercayaan’. Namun, meski sudah ada Putusan MK
97/2016 itu, proses pengaturannya dalam sistem administrasi kependudukan
masih dalam polemik.19
Alasan keempat, sebagaimana telah disinggung, model peraturan perundangundangan pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat yang ada saat ini
18 Mengingat kondisi sosio-antropologis yang telah muncul sebagai akibat pengabaian masalah
pengakuan dan perlindungan (hak) masyarakat adat selama ini, pengaturan lebih lanjut soal
pengadministrasian implikasi pengakuan hak masyarakat adat itu dapat dipayungi oleh upaya
“pelindungan hak masyarakat adat”.
19 Veri Junaidi & Arsil, 2018. “Dampak Konstitusional Hak Penghayat Pascaputusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016”. Jakarta: PEDULI – The Asia Foundation (TAF).
7
menganut logika hukum yang lebih berorientasi pada pengenalan dan penetapan
subyek; dan proses penetapan subyek melalui proses politik di parlemen
maupun eksektif di tingkat Daerah yang mendahului pengakuan obyek dan jenis
hak. Di samping tidak sesuai dengan amanat konstitusi, sebagaimana telah
dijelaskan di atas, logika hukum yang demikian tidak selamanya cocok dengan
realitas sosio-antropologis hubungan antara subyek, obyek, dan jenis hak yang
berkaitan dengan kapasitas subyek untuk masuk ke dalam proses-proses politik
di parlemen daerah ataupun mengakses lobby politik kepada Kepala Daerah.
Alih-alih mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat yang terjadi
sesungguhnya adalah ‘membunuh masyarakat adat’ itu sendiri (Zakaria, Harian
KOMPAS, 18/0418).
Model pengakuan yang seperti ini tidak saja akan membebani biaya negara
(Pusat dan Daerah), tetapi lebih-lebih lagi akan membebani masyarakat adat itu
sendiri. Faktanya, dari belasan hutan adat yang telah diakui pemerintah hingga
tahun 2017 lalu, semua mengandalkan pendampingan organisasi masyarakat
sipil yang mendapatkan dukungan dana dari luar negeri.20
Sampai kapan proses ini akan dibiarkan terus berlanjut? Salah satu Surat
Keputusan untuk Pencadangan Hutan Adat, meski sudah lewat setahun, belum
juga dapat dilanjutkan pada penetapan hutan adat karena Peraturan Daerah
tentang Penetapan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat yang disyaratkan. Hal
ini terjadi, antara lain, masih terjerat dinamika politik lokal yang berakar pada
“kepatutan-kepatutan adat” yang perlu dihormati para pihak yang terkait dalam
proses perjuangan dan pengakuan atas hutan adat yang bersangkutan.21
Padahal, keberagaman subyek, obyek, dan jenis hak masyarakat adat yang
beragam dapat saja bermuara pada logika hukum yang berbeda pula. Pengakuan
hak-hak masyarakat adat yang bersifat publik22 tentunya memerlukan syarat
yang berbeda dengan pengakuan hak-hak yang bersifat perdata 23 saja. Jika
20 http://print.kompas.com/baca/opini/artikel/2017/01/09/Tonggak-BaruHak-Masyarakat-
Adat. Untuk memahami betapa rumitnya proses yang dilewati untuk mendapatkan pengakuan
beberapa hutan adat yang Surat Keputusannya langsung diserahkan oleh Presiden Jokowi, yang
dimulai dengan kegiatan-kegiatan riset dan seminar hasil riset, proses pengajuan permohonan,
kegiatan verifikasi dan validasi yang dilakukan oleh pihak Direktorat PKTHA, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, silahkan pelajari Perkumpulan HuMa, “Agenda Percepatan
Penetapan Hutan Adat. Academic Paper”. Kertas Kerja yang diproduksi untuk Rapat Koordinasi
dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta tanggal 19 Maret 2018.
21 Lihat Kartini Sjahrir-Pandjaitan, et.al., 2017. Etnografi Tanah Adat di Kabupaten Humbang
Hasundutan. Laporan Penelitian. Kerjasama Yayasan Sjahrir dan Pusat Kajian Etnografi Hak-hak
Komunitas Adat).
22 Misalnya, hak (politik) masyarakat adat untuk menyelenggarakan pemerintah atau pengakuan
atas hak ulayat/hak katas wilayah adat (lihat R. Yando Zakaria, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat
Desa di Bawah Rezim Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM).
23 Misalnya, hak atas tanah ripe-ripe pada masyarakat adat Batak Toba (lihat Kartini SjahrirPandjaitan, et.al., 2017. Etnografi Tanah Adat di Kabupaten Humbang Hasundutan. Laporan
Penelitian. Kerjasama Yayasan Sjahrir dan Pusat Kajian Etnografi Hak-hak Komunitas Adat); dan
ha katas tanah ulayat kaum dan/atau suku dalam masyarakat Minangkabau (lihat BendaBeckmann, Franz. 1979. Property in social continuity: Continuity and change in the maintenance
of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra. The Hague: Martinus
Nijhoff; Benda-Beckmann, Keebet von. 1984. The Broken Stairways to Consensus: Village Justice
and State Courts in Minangkabau. Dordrecht: Foris Publications; Franz and Kebeet von BendaBeckmann, 2012. 2012. Political and Legal Transformations of an Indonesia Polity. The Nagari,
from Colonisation to Decentralisation. Cambridge: Cambridge University Press; dan Kurnia
8
pengakuan hak yang diakui itu mengandung kewenangan-kewenangan yang
bersifat publik, seperti hak untuk melaksanakan pemerintahan, pengadilan, dan
juga kewenangan atas properti yang bersifat publik, maka mekanisme
pengakuannya haruslah melalui penetapan kebijakan seperti peraturan daerah.
Hal ini diperlukan karena pengakuan itu akan bermuara pada hak untuk
menyelenggarakan kewenangan-kewenangan yang bersifat publik dan juga akan
menggunakan sumberdaya Negara.
Namun, jika itu hanya menyangkut pengakuan hak masyarakat hukum adat yang
lebih bersifat privat dan/atau yang bersifat keperdataan, baik komunal ataupun
perorangan, seperti tanah dan hutan adat misalnya, cukup langsung melalui
proses pengadministrasian yang dilakukan oleh instansi teknis terkait saja.
Sebab susunan masyarakat adat yang bersifat privat itu dapat diperlakukan
sebagai badan hukum perdata semata (Simarmata dan Steni, 2017).24
Dengan pergeseran strategi yang semula lebih mengutamakan pengakuan
subyek menjadi perlindungan hak masyarakat adat, terutama di tingkat Pusat,
diperkirakan implikasi kepada kelembagaan dan keuangan Negara tidaklah
begitu siginifikan. Hal ini terjadi karena beban yang muncul akibat dari upaya
perlindungan hak masyarakat adat ini terbagi ke dalam berbagai tugas pokok
dan fungsi berbagai kementerian dan lembaga yang sudah ada.
Melalui undang-undang dengan logika hukum yang baru ini berbagai kegiatan
perlindungan dan pemajuan hak masyarakat adat dipastikan dapat berjalan
secara terkoordinasi dan tidak saling bertentangan sebagaimana yang terjadi
selama ini. Tugas koordinasi pun melalui undang-undang ini dapat dipastikan
oleh salah satu kementerian koordinator yang ada.
Berbeda dengan tingkat Pusat, implikasi kelembagaan dan keuangan yang cukup
aan dirasakan adalah pada tingkat Daerah. Namun demikian, karena sebagian
besar upaya perlindungan dan pemajuan hak masyarakat adat menjadi tugas
pokok dan fungsi kementerian dan lembaga di tingkat Pusat akan beban
kelembgaan yang muncul itu dapat dipikul oleh kedua pihak.
Alasan kelima, sebagaimana yang terjadi pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa, ada kalanya pengaturan lanjutan berkaitan dengan
pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat ini yang menghambat
pelaksanaan pengakuan dan perlindungan itu sendiri. Oleh sebab itu, sampai
hari ini tidak ada desa adat sebagai salah satu wujud pengakuan hak asalusul/hak tradisional masyarakat adat yang dimungkinkan oleh UU Desa yang
baru itu yang telah duregistrasi oleh Kementerian Dalam Negeri. Salah satu
alasan Pemerintah menolak membahas RUU Masyarakat Adat karena
Kementerian Dalam Negeri sudah memberlakukan Peraturan Menteri Dalam
Warman, (2010). Hukum Agraria dalam Masyarakat Majemuk. Dinamika Interaksi Hukum Adat
dan Hukum Negara di Sumatera barat. Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV –
Jakarta).
24 Rikardo Simarmata dan Bernadinus Steni, 2017. Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subjek
Hukum: Kecakapan Hukum Masyarakat Hukum Adat dalam Lapangan Hukum Privat dan Publik.
Jakarta: Samdhana Institute & Pustaka Sempu.
9
negeri Nomor 52 Tahun 2015 sebagai tindak lanjut dari keberadaan UU Desa
adalah cermin ketidakpahaman pada UU Desa itu sendiri.25
Implikasi Terhadap RUU MHA vrsi DPR RI 2018
Dengan catatan-catatan di atas maka implikasinya terhadap Rencana UndangUndang tentang Masyarakat Hukum Adat versi DPR RI adalah sebagai berikut:
1. Judul RUU harus diubah menjadi (Rancangan) Undang-Undang tentang
Perlindungan Hak Masyarakat Adat.
2. Uraian dalam BAB 1, KETENTUAN UMUM, perlu disesuaikan.
3. BAB II, PENGAKUAN, hapus. Perlu duganti/ditambahkan BAB tentang
RUANG LINGKUP.
4. BAB III, EVALUASI, hapus.
5. BAB IV, LEMBAGA ADAT, hapus, karena akan terakomodasi dengan
sendirnya dalam “Perlindungan Hak Masyarakat Adat”
6. BAB V, HAK DAN KEWAJIBAN, perlu disesuaikan. Dengan pengaturan
yang jelas: BAB yang mengatur tentang jenis-jenis hak yang diakui; dan
BAB yang mengatur proses pemajuan hak-hak masyarakat adat.
7. BAB VI, PEMBERDAYAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT, disesuaikan
dengan penekatan pada PEMAJUAN HAK, yang meliputi:
a. pelestarian Hak Masyarakat Adat;
b. pemberdayaan Masyarakat Adat;
c. pengembangan Hak Masyarakat Adat; dan
d. pemanfaatan Hak Masyarakat Adat.
8. BAB VII, SISTEM INFORMASI, tetap dengan penyesuaian yang dibutuhkan.
9. BAB VIII, TUGAS DAN WEWENANG, tetap dengan penyesuaian yang
dibutuhkan.
10. BAB X, PENYELESAIAN SENGKETA, tetap dengan penyesuaian.
11. BAB XI, PENDANAAN, tetap dengan penyesuaian.
12. BAB XII, PARTISIPASI MASYARAKAT, tetap dengan penyesuaian.
13. BAB XIII, LARANGAN, hapus atau tetap dengan penyesuaian.
14. BAB XIV, KETENTUAN PIDANA, hapus atau tetap dengan penyesuaian.
15. BAB XV, KETENTUAN PERALIHAN, tetap dengan penyesuaian.
16. BAB XVI, KETENTUAN PENUTUP, tetap dengan penyesuaian.***
25 Lihat R. Yando Zakaria, 2015. “Desa Adat, Nomenklatur Strategis yang Terancam Mandul”,
dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 19, No. 2, Desember 2015. Halaman 168 – 193. Sebagaimana
dapat diakses pada
https://www.academia.edu/17407078/Desa_Adat_Nomenklatur_Strategis_yang_Terancam_Man
dul
10