Institusi Pengawasan Lembaga Keuangan Sy

INSTITUSI PENGAWASAN BANK SYARIAH DI INDONESIA*
Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim**
A. Latar Belakang
Akselerasi perbankan syariah di Indonesia di mulai sekitar dua dekade
lalu, ketika pertama kalinya berdiri Bank Muamalat Indonesia (BMI). Namun,
perbankan syariah mulai banyak dilirik pasca krisis ekonomi tahun 2008. Setelah
itu, berdirilah bank-bank syariah dan bank-bank konvensional mendirikan unit
usaha syariah untuk ikut terjun dalam perkembangan ekonomi Islam yang juga
mulai naik daun.
Keberadaan sistem perbankan syariah dalam sistem perbankan di
Indonesia telah mendapatkan payung hukum tertinggi yang akan melindungi
kiprah dan sepak terjang industri perbankan syariah di tanah air. Hal ini dengan
diloloskannya Rancangan Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi undangundang, yakni Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
yang disahkan pada tanggal 16 Juli 2008.1
Menurut ketentuan Pasal 50 Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah disebutkan bahwa: “Pembinaan dan Pengawasan Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah dilakukan oleh Bank Indonesia”. Ketentuan
tersebut diatas berarti Bank Indonesia (BI) mempunyai dua tugas yang berat yaitu
selaku pembina bank syariah yang mengharuskan BI untuk melakukan pembinaan
terhadap bank syariah agar dapat menyesuaikan diri dengan sistem perbankan
syariah


sekaligus

mensejajarkan

dirinya

dengan

eksistensi

perbankan

konvensional yang telah lebih dulu ada. Di sisi lain, BI juga bertugas untuk
melakukan pengawasan terhadap perbankan syariah.
Sejak berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa keuangan (OJK), maka tugas pengawasan bank tidak lagi menjadi
*

Disampaikan dalam perkuliahan yang diampu oleh Dr. Sukarni, M.Ag. Mata kuliah Fiqh Ekonomi

Kontemporer.
**
Penulis adalah mahasiswa Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin
1

1

kewenangan BI terhitung tanggal 31 Desember 2013 yang beralih ke OJK. Sesuai
dengan Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2011, OJK memiliki fungsi untuk
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap
keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Melalui Pasal 5 UU No. 21
Tahun 2011 tersebut, Indonesia akan menerapkan model pengaturan dan
pengawasan secara terintegrasi (integration approach), yang berarti akan
meninggalkan model pengawasan secara institusional.2
Salah satu perbedaan antara perbankan konvensional dengan perbankan
syariah adalah adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) di masing-masing bank
syariah. tugasnya adalah untuk memastikan perbankan syariah beroperasi sesuai
dengan kaidah syar’i sehingga dapat meminimalisir hal-hal yang dilarang dalam
Islam.
Untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan

kesyariahan operasional perbankan syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha
yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah meliputi kegiatan usaha yang
tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim. Sebagai
undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah, dalam Undang-undang
tersebut diatur pula mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah compliance)
yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk
pada

masing-masing

Bank

Syariah

dan

Unit

Usaha


Syariah.

Untuk

menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam Peraturan
Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk komite perbankan
syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan dari Bank Indonesia,
Departemen Agama, dan unsur masyarakat yang komposisinya berimbang. 3
Kepatuhan syariah adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh lembaga
keuangan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Secara
tegas dinyatakan bahwa kepatuhan syariah adalah raison détre (alasan
2
3

2

keberadaan) bagi intitusi tersebut. Kepatuhan syariah adalah pemenuhan seluruh
prinsip syariah dalam semua kegiatan yang dilakukan sebagai wujud dari
karakteristik lembaga itu sendiri, termasuk dalam hal ini lembaga Bank Syariah. 4

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengawasan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) terhadap lembaga keuangan di Indonesia?
2. Bagaimana peran dan fungsi perngawasan Dewan Pengawas Syariah
(DPS) terhadap lembaga keuangan syariah?

4

3

C. Pembahasan
1. Pengawasan Bank Indonesia (BI) terhadap lembaga keuangan di

Indonesia
Secara umum, peranan bank sentral sangat penting dan strategis dalam
upaya

menciptakan

sistem


perbankan

yang

sehat

dan

efisien.

Perlu

diwujudkannya sistem perbankan yang sehat itu, karena dunia perbankan adalah
salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Sedangkan
secara khusus, bank sentral mempunyai peranan yang penting dalam mencegah
timbulnya risiko-risiko kerugian yang diderita oleh bank itu sendiri, masyarakat
penyimpan dana, dan merugikan serta membahayakan kehidupan perekonomian.5
Pengawasan lembaga perbankan selama ini dilakukan oleh Bank
Indonesia. Berdasar Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, Bank

Indonesia memiliki kewenangan yang besar. Bank Indonesia menetapkan
peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha
tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi
terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan
pengawasan bank oleh Bank Indonesia tidak hanya diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, namun juga
diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
menyebutkan bahwa, Pembinaan dan pengawasan Bank dilakukan oleh Bank
Indonesia, juga Pasal 50 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008), menyatakan bahwa, Pembinaan dan pengawasan Bank Syariah dan UUS
dilakukan oleh Bank Indonesia.6
Sebagai pengawas dan pembina bank, Bank Indonesia bertindak sebagai
seorang bapak kepada anaknya. Bila seorang anak keliru dalam melakukan suatu
5
6

4


tindakan maka seorang bapak yang baik akan berusaha memberitahukan kepada
anaknya perihal kekeliruannya itu bahkan lebih dari itu bapak tersebut akan
mengusahakan supaya anaknya tidak keliru dalam mengambil suatu tindakan.
Demikian juga halnya Bank Indonesia dalam menjalankan tugas pengawasan
perbankan syariah di Indonesia.
Bank Indonesia yang memegang otoritas pembinaan dan pengawasan bank
dibekali dengan kewenangan yang berkaitan dengan perizinan, mengeluarkan
ketentuan-ketentuan yang memberi landasan kerja yang sehat bagi bank serta
mengawasi dan memberikan pembinaan kepada bank dalam menjalankan segala
usaha bank tersebut dengan tujuan mendorong terwujudnya sistem perbankan
yang sehat. Pada pokoknya, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral mempunyai tiga
bidang tugas, yaitu (1) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, (2)
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan (3) mengatur dan
mengawasi bank.
Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan mengawasi bank,
menurut ketentuan Pasal 24 Undang- Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia. Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin
atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank. Menurut ketentuan Pasal
29 ayat (1) Undang-Undang Perbankan, kegiatan Pembinaan dan pengawasan
bank dilakukan oleh Bank Indonesia. Pengertian yang dimaksud dengan

pembinaan adalah upaya-upaya yang dilakukan dengan cara menetapkan
peraturan yang menyangkut aspek kelembagaan, kepemilikan, pengurusan,
kegiatan usaha, pelaporan serta aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan
operasional bank.7 Disamping itu, bank Indonesia berwenang menetapkan
ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehatihatian (Pasal 25),
dimana prinsip kehati-hatian tersebut bertujuan untuk memberikan rambu-rambu
bagi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan, guan mewujudkan sistem
perbankan yang sehat.8

7
8

5

Oleh karena itu, peraturan-peraturan di bidang perbankan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia harus didukung oleh penerapan sanksi-sanksi yang adil.
Berkaitan dengan kewenangan di bidang pengawasan, sesuai ketentuan Pasal 26
Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Perbankan.
Tujuan pembinaan dan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia
mencakup empat aspek, yaitu sebagai berikut:9

1) Power to Licence;
2) Power to Regulate;
3) Power to Control;
4) Power to Impose Sunction.
Keempat aspek pengawasan yang menjadi otoritas Bank Indonesia berlaku
bagi semua jenis bank sesuai Undang-Undang Perbankan, termasuk didalamnya
bank syariah. Esensi pengawasan itu juga tampak relevan dengan misi dan nilainilai ekonomi Islam untuk menegakkan hukum keadilan, profesionalitas dan
tanggung jawab.
Dalam perspektif ekonomi syariah, selain keempat aspek pengawasan
Bank Indonesia tersebut, masih diperluas lagi dengan adanya elemen-elemen yang
terdapat dalam perbankan syariah yang tidak ditemukan dalam perbankan
konvensional, yakni posisi, kewenangan, fungsi dan tanggung jawab Dewan
Pengawas Syariah (DPS), serta hubungannya dengan Majlis Ulama Indonesia
(MUI). DSN-MUI merupakan salah satu lembaga yang diakui oleh pemerintah
untuk memberikan pedoman dalam pelaksanaan produk-produk syariah di
lembaga keuangan syariah.
Ketika bank syariah ingin meluncurkan suatu produk layanan jasa
keuangan, maka selama ini terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan
shariah compliance dari DPS. Jika produk yang akan diluncurkan oleh suatu bank
syariah belum mendapat persetujuan kesesuai dengan prinsip syariah dari DPS,


9

6

maka Bank Indonesia tidak akan memberikan izin produk layanan jasa keuangan
tersebut
Dalam menjalankan tugas otoritas tunggal pengawasan jasa keuangan
perbankan, Bank Indonesia memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan atas
pelaksanaan tugas setiap pihak yang terafiliasi dengan bank syariah, khususnya
dalam hal ini adalah tugas dalam menjalankan prinsip syariah. Yang termasuk
pihak terafiliasi dengan bank syariah, salah satunya adalah DPS.
Hal di atas dapat dipahami, bahwa prinsip-prinsip syariah (shariah
ompliance) setelah difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia melalui DSN-MUI,
selanjutnya dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Artinya, pelanggaran
terhadap prinsip syariah, secara langsung adalah pelanggaran terhadap Peraturan
Bank Indonesia, sehingga sebagai otoritas jasa keuangan perbankan sebelum OJK,
Bank Indonesia memiliki kewenangan tertinggi dalam menjatuhkan sanksi pada
sektor perbankan, termasuk mencabut izin usaha dan izin orang perorangan.
3. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap lembaga
keuangan di Indonesia
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah lahir dengan Undang-Undang No 21
tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diberlakukan mulai 1
Januari 2013. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang independen
dan bebas dari campur tangan pihak lain, mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan terhadap
Lembaga Jasa Keuangan, berupa: Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dalam hal
ini: pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia,
perusahaan

pembiayaan

sekunder

perumahan,

dan

lembaga

yang

menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta
lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan
peraturan perundang-undangan.10

10

7

Ke-independenan OJK berkaitan dengan beberapa hal:11 yaitu pertama
independen yang berkait dengan pemberhentian anggota lembaga yang hanya
dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang-Undang
pembentukan lembaga

yang bersangkutan, tidak sebagaimana lazimnya

administrative agencies yang dapat sewaktuwaktu oleh Presiden karena jelas
merupakan bagian dari eksekutif. Kedua, selain masalah pemberhentian yang
terbebas dari intervensi Presiden, sifat independen juga tercermin dari:12
1) kepemimpinan lembaga yang bersifat kolektif, bukan hanya satu orang
pimpinan. Kepemimpinan kolegial ini berguna untuk proses internal dalam
pengambilan keputusan-keputusan, khususnya menghindari kemungkinan
politisasi keputusan sebagai akibat proses pemilihan keanggotaannya;
2) kepemimpinan tidak dikuasai atau tidak mayoritas berasal dari partai
politik tertentu; dan
3) masa jabatan para pemimpin lembaga tidak habis secara bersamaan, tetapi
bergantian (staggered terms).
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan
yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan pada sektor Perbankan,
OJK mempunyai wewenang sebagai berikut:13
a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
1. Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran
dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya
manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin
usaha bank;
2. Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk
hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

11
12
13

8

1. Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan
modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman
terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2. Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3. Sistem informasi debitur;
4. Pengujian kredit (credit testing); dan
5. Standar akuntansi bank;
c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
1. Manajemen risiko;
2. Tata kelola bank;
3. Prinsip mengenal nasabah dan ant i pencucian uang; dan
4. Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
d. Pemeriksaan bank.
Dengan beralihnya pengawasan perbankan ke OJK, maka Bank Indonesia
hanya memiliki kewenangan menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
dan mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta menjalankan
fungsi sebagai sumber pemberi pinjaman terakhir (Lender of the Last Resort).
Bank Indonesia akan fokus pada kewenangan di bidang makroprudensial
sedangkan Otoritas Jasa Keuangan pada kewenangan di bidang mikroprudensial.
Menurut Hasbi Hasan,14 efektifitas pengawasan OJK terhadap perbankan
syariah sangat bergantung pada koordinasi antara OJK dengan lembaga-lembaga
yang terkait dengan perbankan syariah. komunikasi dan koordinasi antara OJK
dengan DSN menjadi suatu keniscayaan yang harus dipenuhi. Demikian pula,
terkait dengan keanggotaan DPS yang sebelumnya ditetapkan oleh BI berdasarkan
rekomendasi dari DSN, maka ke depan penetapan itu akan dilakukan oleh OJK.15
Salah satu upaya untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi antara OJK
dengan DSN tersebut adalah dengan cara mengadakan unit atau direktorat
perbankan syariah dalam struktur organisasi OJK. Modelnya mungkin saja mirip
dengan Direktorat Perbankan Syariah yang berada di bawah naungan Bank

14
15

9

Indonesia. Sebab, tanpa adanya struktur yang jelas yang menjalankan fungsi
pengawasan terdapat aspek lembaga keuangan syariah sangat sulit untuk
mengharapkan efektivitas pengawasan OJK terhadap lembaga perbankan
syariah.16

4. Pengawasan Dewan Pengawas Syariah (DPS) terhadap perbankan
syariah
Pengawasan dalam pandangan Islam dilakukan untuk meluruskan yang
tidak lurus, mengoreksi yang salah, dan membenarkan yang hak. Pengawasan
(control) dalam ajaran Islam paling tidak terbagi dalam dua hal, yaitu: 17
Pertama, kontrol yang berasal dari diri sendiri yang bersumber dari tauhid
dan keimanan kepada Allah Swt. Seseorang yang yakin bahwa Allah
mengawasi hambaNya, maka ia akan bertindak hati-hati sebagaimana dalam
firman Allah SWT:

                

               
                

Artinya: Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa
yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang,
melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang,
melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang
kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di
manapun mereka berada. kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka
pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Mujadalah: 7)

16
17

10

Kedua, sebuah pengawasan akan lebih efektif jika system pengawasan
tersebut juga dilakukan dari luar diri sendiri. Bisa berasal dari pimpinan,
yang menyangkut tugas yang didelegasikan, kesesuaian penyelesaian dan
perencanaannya, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan Firman Allah:

          

     

Artinya: “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. At-Taubah:
105)
Berdasarkan ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa pengawasan
dapat dilakukan oleh diri sendiri dengan keimanan akan kehadiran Allah yang
Maha Mengawasi, oleh pemimpin/penguasa dan oleh kaum muslimin baik secara
langsung berupa pengawasan oleh masyarakat, maupun tidak langsung dalam
bentuk peraturan dan ketentuan-ketentuan yang membatasi. Dengan demikian
peran ulama yang berkompeten terhadap hukum-hukum syari’ah memiliki
peran yang besar dalam mengawasi lembaga keuangan syari’ah. Dewan Pengawas
Syari’ah (DPS) di Lembaga Keuangan Syari’ah adalah representasi dari peran
ulama dalam penegakan nilai-nilai Islam dan pengembangan di bidang ekonomi.
Di Indonesia, fatwa ulama mengenai produk dan jasa keuangan syariah
diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia melalui Dewan Syariah Nasional (DSNMUI), kemudian pengawasan dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS)
untuk tiap lembaga keuangan syariah yang bersangkutan.
DSN merupakan bagian dari MUI yang terdiri atas para ulama, praktisi
dan pakar dalam bidang-bidang yang terkait dengan perekonomian dan syariah
muamalah yang bertugas menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah

11

dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor keuangan pada
khususnya, termasuk usaha bank, asuransi dan reksadana.18
Peraturan Pemerintah tentang DPS pertama kali terdapat pada Peraturan
Pemerintah No. 72 tahun 1992, yang menjelaskan bahwa bank yang beroperasi
dengan prinsip syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS), yang
bertugas memberikan pengawasan atas produknya agar berjalan sesuai syariah.
Untuk memaksimalkan peran pengawasan oleh DPS, MUI membentuk Dewan
Syariah Nasional (DSN) yang khusus mengurusi masalah keuangan syariah di
Indonesia dengan Keputusan DSN-MUI Nomor: 03 Tahun 2000 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah.19 Keberadaan DSN
ini juga diatur dalam SK Direktur Bank Indonesia No. 32/34/1999 yang mengatur
bahwa DSN adalah dewan yang dibentuk oleh MUI yang bertugas dan memiliki
kewenangan untuk memastikan kesesuaian produk, jasa dan kegiatan usaha bank
dengan prinsip syariah.
Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UndangUndang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dinyatakan bahwa dalam suatu
perbankan Islam harus dibentuk DPS.20 Begitu juga dalam Undang-undang
tentang Perbankan Syariah dinyatakan bahwa DPS wajib dibentuk di Bank
Syariah dan bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah. 21
Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah badan independen yang
ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) pada perbankan dan lembaga
keuangan syariah. Anggota DPS harus terdiri atas para pakar di bidang syariah
muamalah yang juga memiliki pengetahuan di bidang ekonomi perbankan. Dalam
hal ini Bank Syariah telah mengangkat anggota DPS, yang diangkat berdasarkan
hasil rapat umum pemegang saham dan direksi.22
Dalam PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah juga
disebutkan pengertian DPS yaitu DPS adalah dewan yang bertugas memberikan

18
19
20
21
22

12

nasehat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai
dengan prinsip syariah.23
Menurut MUI (SK MUI No. Kep.754/II/1999), ada 4 tugas pokok DSN,
yaitu;24
1) Menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan
perekonomian
2) Mengeluarkan fakta atas jenis-jenis kegiatan keuangan
3) Mengeluarkan fakta atas produk keuangan syariah
4) Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan
Peran DSN dan DPS memang tidak terbatas pada pemberian fatwa atas
produk, jasa dan transaksi keuangan yang dilakukan oleh lembaga keuangan
syariah, tetapi juga harus menentukan purifikasi dan melakukan monitor
pengelolaan lembaga keuangan syariah. Dewan Pengawas Syariah (DPS)
mempunyai peranan yang sangat penting dalam perbankan/institusi keuangan
syariah yaitu:25
1) Membuat persetujuan garis panduan operasional produk perbankan syariah
tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah disusun oleh Dewan Syariah
Nasional (DSN).
2) Membuat pernyataan secara berkala pada setiap tahun tentang bank
syariah yang berada dalam pengawasannya bahwa bank yang diawasinya
telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Dalam laporan tahunan
(annual report) institusi syariah, maka laporan dari Dewan Pengawas
Syariah mesti dibuat dengan jelas.
3) Dewan Pengawas Syariah wajib membuat laporan tentang perkembangan
dan aplikasi sistem keuangan syariah (Islam) di institusi keuangan syariah
khususnya bank syariah yang berada dalam pengawasannya, sekurangkurangnnya enam bulan sekali. Laporan tersebut diberikan kepada Bank
Indonesia yang berada di Ibu kota provinsi dan atau Bank Indonesia di Ibu
kota negara Indonesia-Jakarta.
23
24
25

13

4) Dewan Pengawas Syariah juga berkewajiban meneliti dan membuat
rekomendasi jika ada inovasi produk-produk baru dari bank yang
diawasinya. Dewan inilah yang melakukan pengkajian awal sebelum
produk yang baru dari bank syariah tersebut diusulkan, diteliti kembali dan
difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).
5) Membantu sosialisasi perbankan/institusi keuangan syariah kepada
masyarakat.
6) Memberikan masukan (in-put) bagi pengembangan dan kemajuan institusi
keuangan syariah.

Agar DPS dan DSN memiliki peran yang optimal dan signifikan, menurut
Agustianto setidaknya ada lima hal penting yang harus menjadi perhatian
bersama:26
1) MUI menentukan klasifikasi keahlian pihak-pihak yang dapat diangkat
menjadi anggota DSN atau DPS. Seperti di Sudan, Abdallah (1994)
menyatakan bahwa anggota Department of Fatwa and Research (DFR) dan
Higher Sharia Supervisory Board (HSSB) adalah orang-orang yang
mempunyai keahlian di bidang Syariah (Islamic Jurisprudence), hukum
dan ekonomi (akuntansi).
2) Bank Indonesia sudah mengeluarkan PBI (Peraturan bank Indonesia),
tahun 2010 tentang Good Corporate Governance Bank Umum Syariah
dan UUS. Salah satu isinya adalah mengatur tentang peran dan kedudukan
Dewan Pengawas Syariah. Menurut PBI tersebut, seorang konsultan bank
syariah tidak boleh menjadi Dewan pengawas Syariah, hal ini bertujuan
agar terjadi pola hubungan yang fair antara konsultan, DPS dan bank
syariah. Dalam masa transisi, dimana Indonesia masih kekurangan SDM,
DSN MUI dan Bank

Indonesia telah melakukan berbagai terobosan

program dan juga kegiatan dalam rangka menambah jumlah sumber daya
manusia yang ahli dalam bidang ekonomi syariah, seperti sertifikasi,
annual meeting, seminar, workshop dsb.
26

14

3) Model pengawasan DPS pasca keluaranya PBI tentang GCG Bank Syariah
betul-betul aktif dan produktif. Pada model pengawasan ini DPS dilakukan
oleh sebuah departemen syari’ah di suatu perbankan syari’ah. Dengan
model ini ahli syariah bertugas full time, didukung oleh staf teknis yang
membantu tugas-tugas pengawasan syariah yang telah digariskan oleh
ahli syariah departemen tersebut. Jika model ini diterapkan secara
fungsional, maka tugas-tugas DPS sebagaimana yang dihekehendaki DSN
dapat terwujud. Kalau DPS melanggar PBI dan sudah diingatkan sebanyak
tiga kali, maka selama 10 tahun, orang tersebut tidak boleh menjadi DPS.
4) Posisi DPS seharusnya sejajar dengan Komisaris. sehingga peran dan
kedudukannya sangat kuat. Ketentuan ini seyogianya masuk dalam
Undang- Undang Perbankan Syari’ah. Apabila Dewan Pengawas Syari’ah
terlepas dari Bank Indonesia/Otoritas Jasa Keuangan, maka akibatnya,
mereka bekerja dalam pengawasan itu, hanya sambilan saja. Padahal Islam
menuntut profesionalisme dan keseriusan dalam setiap pekerjaan,
termasuk dalam pengawasan.
5) Banyak usulan dari tokoh di daerah, agar bank syari’ah memiliki DPS di
daerah. Hal ini sejalan dengan semakin meluasnya kantor cabang
perbankan syari’ah ke berbagai wilayah provinsi, bahkan kabupaten /kota.
Usulan tersebut positif dan perlu didukung, agar penerapan prinsip
syari’ah lebih terjamin di daerah-daerah.

15

D. Penutup
Kesimpulan
Sebelumnya, pengawasan dan pembinaan perbankan dipegang oleh bank
sentral yaitu Bank Indonesia. Pengawasan dan pembinaan ini berlaku bagi
institusi perbankan yang ada di Indonesia termasuk perbankan syariah. lahirnya
Undang-undang No. 21 tahun 2013 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka
kewenangan Bank Indonesia beralih ke OJK. Otoritas Jasa Keuangan OJK adalah
lembaga independen yang mempunyai wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan dan penyidikan terhadap seluruh lembaga keuangan baik bank dan
non bank.
Dewan Pengawas Syariah (DPS) sangat diperlukan peran dan fungsinya
bagi lembaga keuangan syariah, pengawasan tersebut adalah untuk menjaga agar
produk-produk yang ada di lembaga keuangan syariah tidak menyimpang dari
ketentuan syariah.
Perbankan

syariah

mempunyai

dua

institusi

pengawasan,

yaitu

pengawasan secara eksternal yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
dan dari sisi internal diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS).

16

Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal:
Alamsah, Halim, Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia:
Tantangan dalam Menyongsong MEA 2015, Ceramah Ilmiah Ikatan Ahli
Ekonomi Islam (IAEI), Milad ke-8 IAEI, 13 April 2012
Citra Dewi, Nikita, et al., Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam Sistem
Pengawasan Perbankan di Indonesia, Artikel Ilmiah Hasil Penelitian
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember (UNEJ) 2013
Chapra, M. Umer, Tariqullah Khan, Regulasi dan Pengawasan Bank Syariah alih
bahasa Ikhwan Abidin Basri, (Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2008)
Dewi Anggadini, Sri, Mekanisme Pengawasan Dewan Syariah dan Bank
Indonesia Terhadap Bank Syariah, Majalah Ilmiah UNIKOM Vol. 12 No.
1
Dewi, Gemala, at.al., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2005)
Ghofur Anshori, Abdul, Pembentukan Bank Syariah melalui Akuisisi dan
Konversi: Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam, (Yogyakarta: UII
Press, 2010)
Hafiduddin, Didin, Manajemen Syari’ah Dalam Praktik, (Jakarta: GIP, 2003)
Hamid, M. Arifin, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) Di Indonesia,
(Bogor, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007)
Hasan, Hasbi, Efektivitas Pengawasan Otorijas Jasa Keuangan Terhadap
Lembaga Perbankan Syariah, Jurnal Legislasi Indonesia Vol.9 No. 3
Oktober 2012
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada
Media Group, 2008)
17

Ilhami, Haniah , Pertanggungjawaban DPS Sebagai Otoritas Pengawas
Kepatuhan Syariah Bagi Bank Syariah, Mimbar Hukum Volume 21,
Nomor 3, Oktober 2009
Indrayanto, Wisnu, Pembentukan dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan
(Establishment and Authority of The Financial Services Authority), Jurnal
Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 3 Oktober 2012
Rahmawati, Nikmah, Peran dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah (Shari’a
Supervisory Board) Dalam Perbankan Syariah di Indonesia Hukum Islam.
Vol. IV No. 2 Desember 2005
Satria, Rio, Masa Depan Industri Keuangan Syariah Dalam Pengawasan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK)
Sutedi, Adrian, Perbankan Syariah:Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, (Bogor,
Ghalia Indonesia, cetakan pertama, 2009)
Wati Rochaeli, Ira, Fungsi dan Peranan Dewan Pengawas Syariah di Unit Usaha
Syariah PT. Bank "X" Dikaitkan dengan Pelaksanaan Good Corporate
Governance (GCG), Tesis UI Fakultas Hukum Prodi Kenotariatan
Magister Kenotariatan Depok Thn 2011
Internet
Agustianto, Optimalisasi Peranan Dewan Pengawas Syarih http://www.
agustiantocentre.com/?p=937 akses 25 Desember 2014
Undang-undang:
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan
Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
18