Pendidikan Tari di Lembaga Formal (Tinjauan Mengenai Pembentukan Penari) - Institutional Repository ISI Surakarta

Kami tidak ingin menolak budaya pop, kami tidak ada masalah dengan segala jenis
budaya pop yang telah menyerbu budaya kita semua. Kami mengakui bahwa manusia perlu hiburan ringan juga. Yang ingin kami permasalahkan adalah: kemiskinan
budaya pop menjadi standar untuk suatu budaya; proses adaptasi menjadi hal yang
lebih penting daripada perjuangan/perselisihan untuk mutu sendiri, yaitu salah satu
tugas utama oleh para pendidik dan seniman-seniman; ketidaksadaran tentang
pengaruh media massa, atau komersialisme pada umumnya (Dieter Mack).

TIt.

n(Maret 1997)

Sekarang dunia kesenian (baca karawitan) dipenuhi oleh kreasi anak cucu bayt.bayi
angkatan 45 yang dibesarkan tanpa bekal kagunan karawitan ... Kalau karyakarya ini memang telah dapat menggantikan hakikat kagunan karawitan yang dapat
digunakan sebagai sarana tercapainya kesejahteraan hidup lahir batin tidak mengapa
dan bahkan kita harus bersyukur. Tetapi kalau karya itu menimbulkan semangat
anarkis, ketidakpuasan, nafsu berkelahi, nafsu birahi, dan nafsu-nafsu lainnya, yang
berarti tidak memperbaiki kualitas kehidupan rohani dan jasmani manusia, kita
harus bertindak secara sistematis dan terencana sebaik-baiknya (Sri Hastanto).
Perkembangan pertunjukan wayang sekarang ini mampu mengkondisikan penonton
menyenangi pertunjukan yang glamour, fulgar, dan aneh-aneh. Akibatnya penonton
hanya akan tertarik pertunjukan wayang seperti itu. Bagi STS! Surakarta tuntutan

masyarakat ini bukan aspirasi ut~a,
karena masih ada permasalahan mendasar
yang perlu disikapi secara serius yc\kni adanya kesenjangan nilai. Oleh karena itu
bentuk perkembangan pertunjukan wayang yang dianggap tepat adalah yang
memfokuskan garapannya pada masalah "rohani wigati" dengan bertumpu pada
nilai-nilai luhur budaya bangsa (Sumanto).
Penari sekarang tampak cenderung menekankan pada keterampilan atau teknis
saja dan belum didukung penjiwaan atau ekspresi yang dalam, serta belum dilengkapi
kemampuan kreativitas atau kemampuan mengembangkan diri sesuai dengan pribadinya. Selain itu, cenderung tampil dengan menggunakan energi fisik dan emosi daripada ekspresi perasaan. Tari yang disajikan memang bagus, rapi, serempak, dan
memikat penonton, tetapi hanya sesaat. Gerak yang ditampilkan tampak teratur,
tetapi kurang ekspresif (Sri Rochana Widyastutieningrum).
Selama ini peran pasar tampak demikian kuat mempengaruhi kehidupan kekriyaan.
Kecenderungan ini melanda berbagai kegiatan kekriyaan dan sulit dibendung, baik
karena ditopang oleh kepentingan ekonomi, maupun karena adanya percepatan
proses perkembangan yang ditunjang oleh ragam kemudahan niaga. Sadar akan
pentingnya kekriyaan sebagai peluang untuk bebandan, agaknya perlu diimbangi
dengan upaya peningkatan kemampuan para pelakunya . . . Dengan demikian,
pendidikan formal kekriyaan penting artinya serta menempati kedudukan amat
strategis sebagai mitra dunia industrialisasi (Soegeng Toekio M.).


Jurnal Seni

KAITAN KEmn UPAN DAN KESENIAN
MENUJU KE IKLIM KEmnuPAN KESENIAN @ Dieter Mack
YANG LEBIH BAIK
PENDIDIKAN KARAWITAN:
SITUASI, PROBLEMA, DAN @ Sri Hastanto
ANGAN-ANGAN WUJUDNYA
PENDIDlKAN DALANG:
HAMBATAN DAN TANTANGANNYA

@ Sumanto

PENDIDIKAN TARI DI LEMBAGA FORMAL @ Sri Rochana
(Thn'AuAN

ME

GE AI PEMBENTUKAN PENARI)


PENDIDlKAN KEKRIYAAN
DI ThNGAH BIANGLALA

Widyastutieningrum

IPTEK @ Soegeng Toekio M.





)
~

.
I

WILED
Jurnal Seni
© Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta

SK Ketua STSI Surakarta No . 1680/ STSI/J.05/ 94
KG 0 25 .0 1. 03. 9 7

ISSN 0852-283 9
Hak cipta dilindlmgi oleh Undang-lmdang
All rights reserved
DUarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini. tanpa izin tertulis da ri pene rbit
Pracetak oleh UPT . Penerbitan STSI Surakarta
Desain sampul dan perwajahan oleh Sugeng Nugroho
Penerbit:
STSI Press Surakarta
JIn. Sangihe 12 Kepatihan Wetan, Surakarta 571 29
Telp. (0271) 635 260

©

Dicetak oleh STSI Press Surakarta
lsi di luar tanggung jawab percetakan


Diterbitkan oleh
STSI Press Surakarta
Maret 1997

Pemimpin Umum/penanggung Jawab
Dr. Sri Hastanto, S.Kar., Ketua STSI Surakarta
Pemimpin Redaksi
Sumanto, S.Kar., M.S.
Dewan Redaksi
Waridi, S.Kar.
B. Subono, S.Kar.
Daryono, S .Kar.
Drs. Subandi
Redaksi Pelaksana
Sugeng Nugroho, S.Kar.
Budi Prasetyo
Sekretariat Redaksi
Drs. Maryanto
Tan tin Sri Marwanti
Moch . Nursyahid P.

Sri Puji Wasito
Alamat Redaksi
Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta
Jln . Ki Hajar Dewantara 19 Kentingan. Jebres. Surakarta 57126
Telp. (0271) 47658; Fax. (0271) 46175

Redaksi menelima sumbangan al1ikel tentang kesenian pada umumnya.
seni karawitan , etnomusikologi, seni pedalangan , seni tali, dan seni lUpa
dati berbagai pihak: seniman, budayawan, peneliti , dosen, mahasiswa , dan
pengamat seni . Artikel belum pemah dimuat di media eetak lain . Panjang
at1ikel antara 15-30 halaman kuarto dobel spasi , disertai data dili lengkap
dan pasfoto 3 x 4 em. Teknik penulisan sesuai dengan fOlmat jumal ini ,
ejaan sesuai dengan EYD dan Kamus Besar Bahasa Ind onesia . Istilah bahasa
daerah pada pemuneulan peltama harap dibeli pedoman pelafalannya bila
pelafalan istilah itu belum telwakili dalam pe nulisan Bahasa Indonesia EYD .
Contoh : seleh -> seieh ; paseban - > paseban ; tledek -> tledhek . Jika
ada ilustrasi foto , harap dikilim foto hitam-putih berkilap (atau tran sparen cy
belwarna); keterangan ditulis di belakang fot o (dengan pensil) belikut
penempatannya di dalam teks . Artikel dapat ditelima dalam bentuk diskette (ukuran 5,25 atau 3,5 inci), format IBM dengan program pengolah
kata WordStar atau WordPerfect, disertai copy print -out-nya . Tulisan yang

tidak dimuat akan dikembalikan bila disertai perangko seeukupnya . Redaksi
berhak mengubah susunan kata/kalimat tanpa mengubah maksud atau isi .
Pengilim artikel yang dimuat akan mendapatkan 2 (dua) nomor bukti terbitan
dan imbalan sebesar Rp 100.000,- s.d Rp 200.000,-

Pengantar Redaksi

Jurnal Wiled Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta,
setelah terbitan perdananya tahLm 1994, mengalarni berbagai
kendala, sehingga baru tahw1 ini dapat hadir kemball di hadapan
para pembaca. Kehadirannya kali ini memfokuskan pada permasalahan yang berkaitan dengan pendidikan kesenian, khususnya
kesenian tradisional. Disadari sepenuhnya bahwa pendidikan kesenian mempunyai permasalahan sangat kompleks akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan
masyarakat. Oleh karena itu agar keberadaan Pendidikan Tinggi
Seni dapat menyelaraskan dengan perkembangan dan memenuhi
hmtutan aspirasi masyarakat, maka perlu dikaji berbagai jalan pemecahannya.
Lima tullsan dalam Jurnal Wi led ini masing-masing berusaha
mengkaji persoalan pendidikan kesenian dari sudut pandang seni
yang berbeda-beda. Dieter Mack mellhat kaitan kehidupan dan
kesenian menuju ke iklim kehidupan kesenian yang lebih baik; Sri
Hastanto membahas pendidikan karawitan dengan tekanan pada

sihlasi. problema, dan angan-angan wujudnya; Sumanto berbicara
mengenai pendidikan dalang, hambatan dan tantangannya; Sri
Rochana Widyastutieningrum mengetengahkan paparan tentang
pendidikan tari di lembaga formal khususnya mengenai pembentukan penari: sedangkan Soegeng Toekio M. menguraikan tentang
pendidikan kekriyaan di tengah bianglala IPTEK.
Perbedaan sudut pan dang serta sasaran jenis seni itu membuka
kemungkinan saling melengkapi , sehingga untuk permasalahan
sama pada masing-masing jenis seni dapat menunjukkan dimensinya
yang beragam. Namun dernikian pembahasan dalam jurnal ini baru
langkah awal, diharapkan berlanjut dan berkesinambungan dengan

sasaran yang bervariasi. agar permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan T ri Darma di Perguruan Tinggi Seni dapat tertuntaskan.
Semoga.

- Llraka rta .

lVlaret 1997

Daftar lsi


Sumanto
Pe lllilllp i ll Reclaks i

Pengantar Redaksi
Daftar lsi
Kaitan Kehidupan dan Kesenian
Menuju ke Iklim Kehidupan Kesenian
yang Lebih Baik
Dieter Mack

v
vii

1

Pendidikan Karawitan:
Situasi, Problema, dan Angan-angan Wujudnya
Sri Hastanto


28

Pendidikan Dalang:
Hambatan dan Tantangannya
Suma nto

54

Pendidikan Tari di Lembaga Formal
[finjauan Mengenai Pembentukan Penari)
Sri Rochana Widyastuti e ningrum

79

Pendidikan Kekriyaan di T engah Bianglala IPTEK
Soegeng Toekio M.

100

Senarai Penulis


123

/'tj

WILED,

Jumal Seni'

bangsa, Kebijakan demikian ini sesuai dengan Arah Pengembangan
Kebudayaan Nasional yang telah digariskan oleh pemerintah.

Pendidikan Tari di Lembaga Formal
(Tinjauan Mengenai Pembentukan Penari)
Daftar Acuan

SRI

ROCHANA WIDYASTUTIENINGRUM

Alfian dan Mely G. Tan (Ed,)
1988

Kerangka Landasan Pembangunan dan Lepas Landas.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Cheppy Haricahyono
1995

Dimensi -dimensi Pendidikan Moral. Semarang: IKIP

Semarang Press.
Clara van Groenendael. Victoria M.
1987

Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Pus taka Utama Grafiti.

Edward W. Said
1995

Kebudayaan dan Kekuasaan , Membongkar Mito s
Hegemoni Barat . BandW1g: Mizan .

IKIP Yogyakarta
Cakrawala Pendidikan, No .2 Th. XV. Yogyakarta:
Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat IKIP
Yogyakarta .
Jordan. Thomas E.
1995
Pengukuran dan Eualuasi di Perguruan Tinggi. Terjemahan Yan Mujiyanto. Semarang:!KIP Semarang Press.
Pusat Antar Universitas
1996
Program Applied Approch, Bagian Satu. Jakarta: PAUPPAI Universitas Terbuka.
1996

I
Pendidikan kesenian telah dilakukan sejak masa jayanya
keraton-keraton atau kerajaan di Jawa. Keraton pada waktu itu, di
samping sebagai pusat pemerintahan, juga berfungsi sebagai pusat
budaya , yang sekaligus menjadi pusat pendidikan seni. Dengan
demikian keratonlah yang menjadi patron atau kiblat kehidupan
kesenian. Para raja di Jawa-di Surakarta, Yogyakarta, Mangkunagaran, dan Pakualaman-adalah tokoh-tokoh pelindung seni di
lingkungannya. Akan tetapi sejak Proklamasi Kemerdekaan Negara
Republik Indonesia, keraton bukan lagi merupakan pusat pemerintahan dan keberadaannya sebagai pusat budaya juga sudah mulai
tergeser. Oleh karena itu, pendidikan kesenian tidak hanya terbatas
di lingkungan keraton saja, tetapi mulai meluas di luar keraton.
Pendidikan tari pada mulanya juga berpusat di keraton-keraton
di Jawa. Bahkan telah dibentuk abdi da/em khusus bertindak sebagai
penari , sebagai contoh adanya abdi da/em bedhaya atau abdi
da/em srimpi ; abdi dalem ini hanya berperan sebagai penari
bedhaya atau penari srimpi. Pendidikan tari dilakukan lewat latihanlatihan oleh generasi yang tua ke generasi berikutnya. Proses
pendidikan tari ini dilakukan secara terus-menerus sampai generasi
penerusnya dapat mewarisi kemampuan tari dengan baik. Kegiatan
ini biasanya dilakukan untuk kalangan terbatas atau hanya pada
lingkup keluarga saja, sehingga tidak setiap orang yang berminat
dapat mengikuti. Salah satu bentuk pendidikan tari di lingkungan
seniman tradisi adalah dengan cara nyantrik atau magang. Melalui

80

Pendidikan Tari
WILED,

81

Jumai Seni

cara ini. anak elidik yan~
berminat mempelajan tan menjadi anggota
k~luarg
gurunya dan Slap mengikuti segala kegiatannya , termasuk
?1 dal~y
berlatih tari. Cara pewarisan kemampuan seperti ini
Juga dllakukan pada bentuk seni tradisional yang lain seperti
pedalangan dan karawitan.
'
Corak pendidikan tan yang diselenggarakan di keraton-keraton
Jaw
~. n:a~plm
di dalam lingkup budaya tradisi biasanya lebih bersifat
speSlalistis .. S~orang
murid hanya diminta belajar satu jenis tari.
atau satu JenlS karakter tari tertentu yang sesuai dengan kemampuan.nya. Dengan cara ini dapat dilahirkan penari-penari yang
mumpunl. serta dapat l~nghayti
karakter tari yang disajikan
dengan
baik.
Dalam
pendldikan
tari
yang
spesialistis ' tidak te rdapa t
tk
. .
Luran perJenJangan seperti yang terdapat pada pendidikan tari
formal. :ang te~pnig
adalah bahwa murid atau anak elidik menjadi
tera~np!l,
mahlr, dan paham secara mendalam tari yang dipelaJannya .
Dengan cara pendidikan tari seperti itu, tari tradisional kurang
?erkembang dan penyebarannya masih sangat terbatas. Oleh karena
ltu, muncul gagasan untuk membenhtk lembaga pendidikan tari.
Lemb.aga pendidikan tari traelisional mulai dibentuk pada tahlffi
1918, y~ltu
.dengan berdirinya Kridha Beksa Wirama di Yogyakart.d~plm
.oleh G.P.H . Tejokusumo. Lembaga ini merupakan
pendldikan tan non-formal yang misinya memperkenalkan dan
menyebarluaskan serta menunjang perkembangan tari gaya
Yogyak
a :t~.
C?rganisasi ini tumbuh semakin kuat dan melalui
lembaga 1m tan gaya Yogyakarta mulai dipelajari oleh orang di luar
~eraton
at~
masyarakat luas. Pada tahun 1940-an, di Surakarta
Juga telah dlbentuk lembaga serupa, di antaranya: Pamulangan
Be ksa Mang kunagaran (PBMN), Anggana Laras Wignyaham~eksn
, Wirobratanan, Kusumakesawan , Keml~yan
, dan
SelanJlltnya pada tahun 1950-an diikuti dengan Himpunan Budayawan S~akrt
(HBS) , Yayasan Kesenian Indonesia (YKI) dan
berbagal sanggar tari lainnya.
'
b kNamun demikian kehidupan tari tradisional tampak belum
er embang sesual yang diharapkan , bahkan semakin lama di~:sakn
kebrad~ny
menjadi kurang. Dengan semakin
b nyaknya para semr:nan ~
yang meninggal dunia, menyebabkan
eberapa bentuk tan tradlSlonal menjadi punah. Hal ini semakin

menimbulkan keprihatinan, maka dipandang perlu mengadakan
pendidikan tari formal bagi generasi muda sebagai pewans dan
penyelamat kebudayaan bangsa.
Oleh karena itu, pemerintah mendirikan sebuah lembaga pendidikan tari formal tingkat menengah dengan nama Konservatori
Tan Indonesia (KONRI) di Yogyakarta pada tahun 1961. Penelidikan
tari ini kemudian disusul dengan berdirinya Akademi Seni T ari
Indonesia (ASTI) Yogyakarta pada tahun 1963. Kemudian disusul
dengan lembaga serupa eli Denpasar, Bandung, dan kota-kota yang
lain.

Upaya pendirian berbagai lembaga pendidikan tari formal itu
disebabkan oleh kebutuhan untLtk melahirkan penari-penari, guruguru tan, serta pemikir-pemikirtan yang baik. Pendidikan tari secara
formal dirasakan perlu keberadaannya, sebab pendidikan formal
masih dianggap memiliki status yang lebih baik. Hal ini terbukti
sebelum ada penelidikan tan formal kesadaran generasi muda untLtk
menekuni bidang tari masih sangat memprihatinkan. Bahkan
mereka menganggap menekuni bidang tari itu tidak menyenangkan
dan merupakan hal yang sia-sia. Akan tetapi sejak adanya pendidikan tari formal anggapan terse but mulai memudar.
Pendidikan tari diselenggrakan sebagai usaha untLtk menciptakan kehidupan tari yang lebih baik daripada yang sudah ada sebelumnya, atau paling tidak mempertahankan kehidupan tari yang
sudah ada. Penelidikan tan menekankan usahanya pada upaya-upaya
yang sistematis dan terkontrol untLtk meningkatkan kemampuankemampuan tan. Dalam hal ini untLtk membentLtk bekal pengalaman
penghayatan tari, membentuk pengertian dan pengetahuan
mengenai tari, dan membentLtk kreativitas tari yang berkaitan
dengan kekaryaan atau profesi tari. Pada prinsipnya, pendidikan
tari adalah berupaya meningkatkan daya kreativitas tari.
Pendidikan tari tidak terbatas pada kegiatan kreativitas dalam
bidang seni tari, tetapi juga berkaitan dengan kepentingan lingkungan karena lingkup situasi dan kondisi kemasyarakatan berkaitan
erat dengan iklim kreativitas individual dalam seni tari. Lingkungan
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kreativitas seseorang,
"bahkan kadang-kadang hmtutan lingkungan sangat kuat sehingga
aspirasi individu sering Ie bur dalam kepentingan masyarakat" (Edi
Sedyawati 1984:46).

82

WILED,

Jumai Seni

T ugas penting lembaga pendidikan tari formal adalah meneiptakan kurikulum yang coeok dan mantap untuk suatu masa tertentu
dikaitkan dengan faktor sosialisasi. Kurikulum merupakan tulang
punggung pendidikan akademis . Kurikulum bukan merupakan
sesuatu yang harus dibakukan , tetapi merupakan sesuatu yang terusmenerus dapat dievaluasi dan tidak kebal terhada p berbagai
perubahan. Oengan demikian kurikulum yang disusun betul-betul
meneerminkan sebuah kebebasan akademik.
Sejak pendidikan tari formal diselenggarakan. telah beberapa
kali dilakukan peninjauan dan penyempurnaan kurikulumnya . Perubahan kurikulum perlu dilakukan untuk memperoleh lulusan yang
memadai , dalam arti dapat melahirkan manusia-manusia yang
mampu meningkatkan nilai tambah dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
Pendidikan tari formal sekarang ini dilaksanakan di Sekolah
Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) di Surakarta , Yogyakarta,
Bandung , Oenpasar, Surabaya, dan Ujungpandang . Selain itu diselenggarakan pula di Institut Seni Indonesia (lSI) Yogyakarta,
Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, Sekolah Tinggi
Seni Indonesia (STSI) Oenpasar, Sekolah Tinggi Seni Indonesia
(STS!) Bandung , Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASK!)
Padangpanjang, Institut Kesenian Jakarta (lKJ) , dan Sekolah Tinggi
Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya. Juga di beberapa Institut
Keguruan Ilmu Pendidikan (lKIP) yang memiliki Jurusan Tari.
Oari uraian di atas tampak lembaga pendidikan tari fo rmal yang
terdapat di Surakarta adalah SMKI dan STSI. Selain itu, di Surakarta
juga berkembang lembaga pendidikan tari non-formal. Lembago
itu pada umumnya berbentuk kursus dan/ atau sanggar tari .
Sang gar /kursus tari terse but mendukung perkembangan tari terutama membentuk penari-penari dalam tari tradisional Jawa. Kursus
dan sanggar tari yang berkembang di Surakarta , di antaranya adalah:
Yayasan Kesenian Indonesia (YKI) , Yayasan Kembang Setaman
(YKS) , Meta Budaya, Arena Langen Budaya , Maridi Budaya,
Sanggar Tari Pamungkas, Suryosumirat, dan Pawiyatan di Kraton
Kasunanan. Kursus atau sanggar tari tersebut pada dasarnya
mempunyai fungsi menyebarluaskan materi-materi tari tradisional
melalui pengajaran dan latihan-latihan. Kegiatan ini sering pula
diikuti dengan pementasan tari (gebyagan) yang dilakukan oleh

Pendidikan Tari

anak didik. Kegiatan kursus/ sanggar itu pada umumnya anak-anak
usia 5 sampai dengan 15 tahun yang akan menjadi generasi penerus
di masa mendatang. Oengan demikian sanggar/kursus tari telah
berfungsi menangani bibit-bibit muda.
Lembaga pendidikan tari formal diharapkan menghasilkan
seniman-seniman tari dengan keterampilan tinggi , pikiran eerdas.
dan wawasan luas . Lembaga pendidikan tinggi tari melahirkan
sarjana-sarjana seni yang mempunyai wawasan luas dengan kemampuan teknik yang memadai.
Selanjutnya pembiearaan lebih terfokus pada pendidikan tari
di STSI Surakarta dalam membentuk penari , suatu fenomena yang
penulis amati lebih dekat.

II
STSI Surakarta pada mulanya adalah sebuah perguruan tinggi
tingkat akademi dengan nama Akademi Seni Karawitan Indonesia
(ASKI) Surakarta, yang didirikan sebagai salah satu wadah kegiatan
lmtuk merintis perkembangan seni tradisional. Oleh karena itu ,
STSI Surakarta selain sebagai lembaga pendidikan tinggi sekaligus
juga sebagai lembaga pengkapan dan pengembangan seni, terutama
seni tradisional Jawa . STSI Surakarta menyelenggarakan program
pendidikan akademik dan/ atau pendidikan profesional di bidang
seni di atas pendidikan menengah . STSI Surakarta menyelenggarakan pendidikan tari dalam 2 program, yaitu Program Studi
S-1 dan 0 -3 . Tujuan Program Studi S-1 adalah meluluskan mahasiswa yang:
1. memiliki kepribadian yang bersumber pada Paneasila, UUO
1945 , dan nilai-nilai budaya Indonesia , serta tanggap
terhadap perubahan dan peka terhadap gejala dalam budaya;
2. memahami fungsi dan kedudukan seni tari sebagai salah
satu unsur budaya bangsa dan unsur budaya dunia, serta
menyadari interaksi seni tari dengan unsur-unsur budaya
lainnya.
3. mempunyai kemampuan teoretis sebagai fenomena kaftan
seni tari ;

WILED,

Jumal Seni

4.

mempunyai kepekaan penghayatan rasa tari sebagai
fenomena kajian seni tari;
5. menguasai seluk-beluk praktis seni tari sebagai karya seni
dan dapat menghayati serta menyajikannya.
Tujuan Program Studi 0-3 adalah meluluskan mahasiswa yang:
1. memiliki kepribadian yang bersumber pada Pancasila. UUO
1945. dan nilai-nilai budaya bangsa;
2. mengetahui dasar-dasar pengetahllan seni pada llmllmnya;
3. mengetahui dasar-dasar pengetahllan tari ;
4. mengetahlli dasar-dasar pengetahllan prodllksi dan
organisasi pergelaran;
5. memiliki keterampilan menyajikan tari;
6. mampll menyajikan berbagai SUSLman dan repertoar tari
(tingkat madia).
Seperti telah diuraikan di atas, tujllan pendidikan tari adalah
llntuk melahirkan lulusan yang memiliki kemampllan kesenimanan
tari dengan pengetahllan serta wawasan tari yang lllas , memiliki
sifat inovatif dan kreatif.
Oari uraian mengenai hljuan pendidikan tari di STSI Surakarta
tampak salah sahl tujllannya adalah membentuk penari-penari yang
dapat berperan dalam kehidllpan tari tradisional.
Komponen pendidikan tari adalah mahasiswa , pengajar, kuriklllllm, dan sarana: Sementara itu, dalam pengajaran tari diperlukan
perangkat pendukLmg, di antaranya: materi mata kllliah . metode
mengajar, dan bentuk evalllasi.
Program S-l di STSI Surakarta menghasilkan lulusan dengan
gelar Sarjana Seni (S.Sn.), sehingga logis bila dibebani kajian teoretis,

filsafat, sejarah, dan berbagai pengetahllan yang berkaitan dengan
tari, di antaranya: Pengetahllan Tari , Analisis Gerak dan Karakter ,
Estetika Tari, Antropologi Tari, Kritik Tari, Seminar Tari, dan Notasi
Tari. Program S-l Tari tidak menjurllskan mahasiswa pada salah
satu keahlian tertentu , misalnya: penari, penata tari , pembina tari,
atall kritikllS tari. Akan tetapi dalam pelaksanaan tugas akhirnya.
mahasiswa program S-l dapat memilih salah satu dari 2 jalur atall
bentuk tugas akhir yang dilaksanakan , yaitu: (1) jalur skripsi, dan
(2) jalur penyajian tan; mahasiswa dapat melaksanakan tugas akhir
sebagai penyaji (penari) atau penyusun (penata) tari.

Pendidikan Tari

85

Mata kuliah yang berkaitan dengan pembenhlk.a n seorang
penari tampak pada berbagai mata kuliah pra~tik
yang dlprogramkan. misalnya mata kuliah Ragam Gaya Tan (RGT), yan~
terdiri atas: gaya Surakarta, Yogyakarta, Sunda, Jawa Timur, ~ali
,
dan Sllmatera. Selain itu, terdapat mata kuliah yang fungsm~a
mendukung kemampllan sebagai penari , yaitu: Olah Tub~.
Teknik
Tari. Komposisi Tari . dan Bimbingan Penyajian. Sesllal d:ngan
penekanan shldi di STSI Surakarta . maka mata kuliah .tan gaya
Surakarta memiliki porsi satuan kredit semester (SKS) leblh banyak
jika dibandingkan dengan mata kuliah tari yang lain.
.
Bentuk proses belajar-mengajar yang dilaksanakan Juga ~e­
rupakan hal yang penting dalam pendidikan tari . KeberhaSllan
proses belajar-mengajar ditentukan oleh pemanfaatan sarana yang
ada secara maksimal dengan didukllng oleh metode yang tepat.
Metode yang tepat adalah metode yang mampu meb.rika~
kemlldahan bagi pengajar maupun mahasiswa untuk mencapa! haSlI
pengajaran secara maksimal dan berdasarkan aturan-aturan :erta
kesepakatan yang sudah teruji keguna.annya .. ~etod
~engJar
tari merupakan masalah baru bagi dunla pendldikan tar:, sehm~ga
metode yang digunakan masih tergantung pada maSlng-maSlng
pengajar sesuai dengan bekal kemampuan dan peng.alaman yang
dimiliki. Oleh karena itu , metode pengaJaran tan yang tepat
tampaknya belum ditemukan.
. .
.
­
Metode pengajaran tari yang berlaku pada pendldikan tan no~
formal pada umllmnya adalah imitatif (meniru), dengan membenkan penjelasan mengenai teknik-teknik dasar tan pada. awal proses
belajarnya. Oalam proses belajar-mengajar model l.m: seorang
dldik. me~lru­
pengajar menarikan satu bentuk tari kemlldian a~k
kannya . Jika anak didik slldah hafal sllsunan tan yang dlpe~Jan
,
seorang pengajar dapat mengamati anak didiknya dan memberikan
pengarahan mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan kemampllan menari.
. .
Metode pengajaran tari yang diterapkan di lembaga pendldikan
formal pada umllmnya adalah perpaduan antara imitatif da~
informatif (peragaan dengan meniru dilengkapi dengan ber~gal
penjelasan) serta metode drill yang dilaksan.akan seca:a klasikal:
Sistem klasikal adalah proses belajar-mengaJar yang dllakukan dl
dalam kelas yang diikllti oleh beberapa mahasiswa. Sistem klasikal

WILED, Jumal ::;,ern

yang beriaku di STSI Surakarta mempertimbangkan pula rasio
jumlah mahasiswa dibandingkan jumlah pengajar dalam tiap kelas.
Masing-masing kelas biasanya terdiri atas kira-kira 40 orang
mahasiswa. Penentuan jumlah mahasiswa ini mempertimbangkan
luas ruangan yang digunakan untuk pelaksanaan kuliah/ latihan.
Sementara itu , pengajar tari biasanya terdiri atas beberapa orang
atau merupakan kelompok. Jumlah pengajar tari ditentukan berdasarkan jumlah mahasiswa dibandingkan jumlah pengajar dalam
tiap kelas. Masing-masing kelas biasanya terdiri atas kira-kira 40
o rang mahasiswa. Penentuan jumlah mahasiswa ini mempertimbangkan luas ruangan yang digLmakan untuk pelaksanaan kuliah/
latihan. Sementara itu. pengajar tari biasanya terdiri atas beberapa
orang atau merupakan kelompok. Jumlah pengajar tari ditentukan
berdasarkan jumlah mahasiswa dengan rasio jumlah pengajar
dibanding jumlah mahasiswa adalah 1 :8. Oleh karena itu, jumlah
pengajar tari setiap kelas rata-rata 5 orang , dan salah seorang di
antaranya bertindak sebagai penanggung jawab.
Untuk memberikan gambaran lebih jelas mengenai metode
pengajaran tan yang dilaksanakan, dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Penanggung jawab pengajar memberikan penjelasan mengenai gambaran materi tari yang akan dipelajari dan
berbagai hal yang berkaitan dengan tari , di antaranya: latar
belakang tari, struktur bentuk, iring an tari , rias dan busana,
serta perkembangan tari . Dalam hal ini dapat diperlihatkan
gambaran materi dengan peragaan atau melihat video.
2 . Pengajar memberikan materi tari dengan ca ra memperagakan pola-pola gerak tari dan rincian gerak berdasarkan
motif-motif gerak yang dilakukan. Motif gerak terse but
dilakukan berdasarkan hitungan yang mengacu pada ritme
iringan tari. Penuangan materi tadi dilakukan bagian per
bagian berdasarkan susunan pola-pola gerak tarinya. Setelah
mahasiswa memahami susunan atau pola gerak tersebut,
kemudian menirukan atau melakukan peragaan pola gerak
itu. Penuangan materi tari dilakukan tahap demi tahap dan
latihan tari dapat diulang-ulang sampai mahasiswa terse but
menguasai materi tarinya . Jika mahasiswa sudah hafal
susunan geraknya , kemudian dipadukan dengan iringan
tarinya.

3. Dalam proses belajar-mengajar ini setiap pengajar terlibat
secara lang sung dalam melatih dan membenahi pelaksanaan
gerak tari yang dilakukan setiap mahasiswa.
4. Apabila seluruh materi tari telah diberikan kepada mahasiswa, langkah selanjutnya adalah pembenahan pelaksanaan
gerak tari .
5 . Langkah kemudian adalah penguasaan ekspresi tari , dalam
proses ini dituntut interpretasi karakter tari dan penjiwaan
karakter tari. Semakin tinggi semester yang diikuti , semakin
dalam tLmtutan ekspresi tari yang harus dikuasai mahasiswa.
Dalam penguasaan materi tari terse but periu diawali dengan
kemamp uan teknik atau ketarampilan. Keterampilan seorang
penari , pada dasarnya tidak lepas dari:
a. penguasaan (hafal) susunan gerak tari;
b. ketetapan cara pelaksanaan gerak tari, yang meliputi: bentuk
badan, kepala. lengan , tungkai , dan kaki;
kecermatan gerak dan volume , kecepatan/ tekanan . dan
bentuk gerak sehingga dapat memunculkan kualitas gerak
tertentu;
d. keharmonisan gerak dengan iringan tari.
Metode pengajaran tari seperti tersebut di atas berlaku untuk
semua mata kuliah tari. Mata kuliah tari yang diberikan diharapkan
dapat memberikan bekal kepada mahasiswa untuk memiliki keterampilan, kemampuan tafsir gerak, interpretasi, imajinasi, dan
kreativitas. Untuk dapat mencapai bekal itu dibutuhkan ketekunan
yang tinggi serta waktu yang panjang.
Bentuk-bentuk kegiatan lain yang mendukung dalam pembentukan penari adalah:
1. Bentuk tugas akhir sebagai penari memungkinkan lahirnya
penari yang memiliki kualitas tari yang memadai , karena
dalam proses ini mahasiswa dituntut menguasai beberapa
repertoar tari dengan tuntutan kualitas tertentu.
2 . Kegiatan penggalian tari atau menyerap kemampuan tari
dari para empu, Kegiatan ini sang at bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan tari serta dapat memperkaya
perbendaharaan materi tari.

88
3.

WILED,

Jumai Seni

Kegiatan pembawaan tari yang harus diikuti setiap mahasiswa Jurusan Tari memungkinkan mahasiswa memiliki
kemampuan tari yang memadai.

Melalui sistem pendidikan tari klasikal, jumlah mahasiswa yang
tertampung di lembaga pendidikan tari formal lebih banyak,
sehingga jumlah lulusannya pun lebih ban yak. Hal ini menyebabkan
jumlah pendukung tari menjadi semakin meningkat, terutama jumlah
penari yang hadir. Oi samping itu diikuti pula dengan meningkatnya
kegiatan tari yang dilaksanakan di masyarakat, serta semakin meluas
jangkauan perkembangan tari.
Berbicara mengenai kehadiran penari dalam kehidupan tari
tradisional gaya Surakarta, tampak bahwa peningkatan yang terjadi
baru terbatas pada kuantitasnya , sementara itu peningkatan kualitas agaknya belum dapat dicapai. Ukuran kualitas penari memang
sulit ditentukan, karena penilaian tentang kualitas penari itu relatif.
Akan tetapi kita dapat menggunakan beberapa pendapat dan
konsep-konsep dalam tari tradisional Jawa yang menunjuk mengenai
kriteria penari yang baik. Memahami konsep-konsep itu dapat
memberikan gambaran pada kita mengenai kriteria penari yang
baik.

III
Kehadiran karya tari tidak dapat lepas dari peran penari sebagai
penyaji tari. Karena lewat penarilah bentuk karya tari itu ditampilkan,
baik dalam bentuk fisik maupun bentuk dinamik. Oalam hal ini
tubuh penari merupakan sarana ungkap atau instrumen untuk
mengungkapkan karya tari . Tanpa kemampuan ungkap yang memadai dari penari, tidak akan hadir karya tari yang kreatif, ekspresif,
dan komunikatif.
Pena ri dapat disebut seniman interpretatif atau seniman
penafsir. Seorang penari dalam menyajikan tari itu menafsirkan
atau menginterpretasikan karya tari dari seorang koreografer
(Soedarsono 1978:3). Lebih jauh penari adalah seorang yang
mengobjektifkan subyektivitas karya koreografer (Langer 1980 :7).

Pendidikan Tad

Untuk itu seorang penari harus mampu membawakan suatu
tarian dengan baik, luwes , menjiwai, tepat dan indah segala
sikapnya, menguasai irama iringan , punya postur (bentuk, ukuran
dan garis-garis tubuh) yang pantas sebagai penari (Edi Sedyawati
1984:28). Selain itu, seorang penari periu memiliki kesehatan
jasmani dan rohani secara total. Tidak terbatas pada kesegaran
fisik saja, tetapi juga emosi, mentaL dan so sial. Kondisi fisik penari
cukup energik dan rileks serta memiliki sistem ekspresi dan evaluasi
yang baik seperti: keseimbangan, kelenturan , keterampilan, ketepatan, gerak eksplosif, dan penguasaan irama (Edi Sedyawati
1984:31). Oengan modal itu, seorang penari dapat mudah bergerak
dalam mengekspresikan tari dengan dilandasi keindahan serta
penghayatan lahir dan batinnya.
Kriteria penari dalam tari tradisional Jawa lebih terperinci. Hal
itu tampak pada berbagai konsep yang terperinci, di antaranya
adalah konsep yang dicetuskan oleh Suryodiningrat, konsep Joged
Mataram dan Hastha Sawanda.
Menurut konsep Suryodiningrat, penari adalah seseorang yang
dapat memadukan tiga unsur, yaitu: wiraga, wirama, dan wirasa
secara harmonis. Oalam hal ini, dituntut adanya hubungan yang
erat antara gerak tari seorang penari, iring an tari, dan penftwaan
penari sesuai dengan karakter tari yang disaftkan.
Konsep Joged Mataram terdiri dari empat prinsip, yaitu:
1. Sewiji (sawiji) adalah konsentrasi total tanpa menimbulkan
ketegangan jiwa. Artinya , seluruh jiwa penari dipusatkan
pada satu peran yang dibawakan untuk menari sebaik
mungkin dalam batas kemampuannya , dengan menggunakan segala potensi yang dimiliki. Konsentrasi adalah kesanggupan untuk mengarahkan semua kekuatan rohani dan
pikiran ke arah suatu sasaran yang jelas dan dilakukan terusmenerus selama dikehendaki.
2. Greget adalah dinamik at au semangat di dalam ftwa seseorang atau kemampuan mengekspresikan kedalaman ftwa
dalam gerak dengan pengendalian yang sempurna.
Seseorang yang memiliki greget, pada saat menari mampu
mengekspresikan "gerak dalam jiwanya. Greget merupakan
pembawaan seseorang, sehingga cenderung sulit dilatihkan .
n

'::IV

3.

4.

WILED, ·Jumal
~m

Sengguh adalah percaya pada kemampuan sendiri, tanpa
mengarah ke kesombongan. Percaya diri ini menumbuhkan
sikap yang meyakinkan. pasti. dan tidak ragu-ragu.
Ora mingkuh adalah sikap pantang mundur dalam menjalankan kewajiban sebagai penari. Berarti tidak takut
menghadapi kesulitan dan melakukan kesanggupan dengan
penuh tanggung jawab serta keteguhan hati dalam memainkan perannya. Keteguhan hati berarti kesetiaan dan
keberanian menghadapi situasi apa pun dengan pengorbanan (Dewan Ahli 1981:14).

Konsep Joged Mataram ini diterapkan dalam seni tari Jawa,
dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan lahir-batin,
ekspresi plastisnya dapat diisi dan dikontrol oleh ftwa, yang kemudian
diarahkan ke kedisiplinan pribadi. identifikasi pribadi, agar tercapai
"keyakinan yang dalam ~ , ~tingka
ilmu dalam", dan "pengendalian
diri yang dalam"(Dewan Kesenian Prop. DIY 1981:92). Konsep
ini tampaknya dapat digunakan sebagai dasar sikap seorang penari .
Konsep yang hampir serupa dengan bahasan di atas adalah konsep
sengguh, mungguh, dan lungguh. Yang dimaksud dengan
mLmgguh adalah ketepatan penampilan seorang penari dengan
karakter tari yang disajikan , sedangkan lungguh lebih memmjuk
pada ketepatan menempatkan diri pada proporsinya.
Konsep Hastha Sawanda (delapan prinsip) lebih memmjuk pada
kriteria penari yang baik, yaitu:
1. Pacak , menunjuk pada penampilan fisik penari yang sesuai
dengan bentuk dasar; bentuk atau pola dasar dan kualitas
gerak tertentu, sesuai dengan karakter yang diperankan.
Pacak pada pokoknya mengenai sikap dasar, posisi tubuh,
posisi lengan, tangan, dan kepala.
2 . Pancad, memmjuk pada gerak peralihan yang diperhitungkan secara matang, sehingga enak dilakukan dan dilihat.
Pancat pada dasarnya merupakan aturan mengenai gerak
tungkai dan gerak ujung kaki dalam berpindah tempat.
3. Ulat, menunjuk pada pandangan mata dan ekspresi wajah
sesuai dengan kualitas, karakter peran yang dibawakan, serta
suasana yang diinginkan.

Pendidikan Tari

4.

91

Lulut, menunjuk pada gerak yang menyatu atau melekat
dengan penarinya. Oleh karena itu , yang hadir dalam
penyaftan tari bukan pribadi penarinya, melainkan keutuhan
tari yang disaftkan, yang merupakan perpaduan antara gerak
tari, iringan tari, dan karakter tari yang diwujudkan.
Luwes, adalah kualitas gerak yang sesuai dengan bentuk
dan karakter tari yang diperankan. Penari mencapai kualitas
gerak yang memadai, sehingga gerak yang dilakukan tampak
terkendali , tenang , dan menyenangkan. Luwes berarti
mampu atau terampil bergerak secara sempurna dan menimbulkan kesan yang menyentuh bagi penonton.
Wiled, adalah garap variasi gerak yang dikembangkan
berdasarkan kemampuan bawaan penarinya atau mengembangkan pola gerak yang telah ada.
Wirama, menunjuk pada hubungan gerak dengan iringan
tari dan alur secara keseluruhan. lrama adalah elemen yang
sang at diperlukan dalam tari. baik dalam gerak maupun
iringan tari .
Gendhing, menunjuk penguasaan iringan tari , meliputi:
bentuk-bentuk gendhing, pola tabuhan , rasa lagu, irama,
tempo , rasa seleh, kalimat lagu , dan juga penguasaan
tembang maupun vokal yang lain.

Selain itu, terdapat pula tiga persyaratan yang harus dipenuhi
oleh seorang penari, yaitu:
1. Luwes, adalah dasar pembawaan tari yang terlihat secara
wajar dan tidak kaku, lancar, mengalir dalam irama yang
dapat dinikmati. Rangkaian gerak dilakukan dengan
sLmgguh-sungguh , tetapi tidak tegang.
2 . Patut, adalah sesuai dan serasi dengan tari yang dilakukan.
Keserasian ini menunjuk pada tubuh dan wanda seorang
penari serta berkaitan dengan teknik tari yang sesuai dengan
penari. Patut berkaitan pula dengan kemungguhan tari.
3 . Resik (bersih dan cermat), adalah penguasaan teknik tari
yang baik . Hal ini berkaitan dengan kepekaan irama
gendhing, kepekaan irama gerak, dan kepekaan terhadap
ruang dan waktu , sehingga selalu memperhitungkan
ketepatan gerak tari . Kecermatan juga berarti perwujudan

92

WILED; Jumai Seni

tan yang tidak berlebihan, dan dalam kadar yang tepat
(Suryobrongto 1981: 66-6 7).
Berbagai konsep terse but menunjukkan bahwa penan yang
baik harus memenuhi berbagai persyaratan, seperti yang tercakup
pada konsep Joged Mataram dan Hastha Sawanda. Akan tetapi
dalam penerapannya masih diperlukan penmjuk pelaksanaan dalam
bentuk ungkapnya. Petunjuk pelaksanaan bentuk fisik dapat
mengacu pada pedoman tan tradisional (pakem beksa) yang berlaku. Dalam tan tradisional gaya Surakarta telah ada bentuk-bentuk
yang mantap sebagai bentuk yang hidup dengan kekuatan daya
llngkap dalam wilayah; aJus-semeJeh, Juruh-trajang , aJus mbranyak, greget-antep, antep-kesit, greget-rongeh, greget-kasar,
dan Jucu . Selain itu, terdapat pula bentuk-bentuk pendukung kualitas gerak, yang menunjuk pada aturan-aturan mengenai posisi dan
sikap badan, posisi kaki, posisi bahll, kepala , dengan cara menggerakan bagian-bagian badan yang terbatas macam dan lllas/
volumenya.
Selain memenuhi konsep Joged Mataram dan Hastha Sawanda,
seorang penan harus memiliki gandar dan wanda yang sesllai
dengan karakter tan yang dibawakan . Gandar menunjuk pada
bentllk tubuh, tinggi/rendahnya badan , dan warna kulit , atau
menunjuk pada gJegemya penan, sedangkan wanda menllnjuk pada
wajah serta ekspresi wajah atau mimik penari.
Seorang penan pada dasarnya harus memiliki keterampilan
gerak, memiliki kepekaan irama, percaya din, dan menjiwai tari
yang diperankan, sehingga dapat memahami perannya , mampu
menjiwai tan , serta mengekspresikan tan dengan penuh greget,
artinya penuh semangat sesuai denga n karakter tari yan g
diungkapkan. Hal ini biasanya dapat dilakukan oleh penan yang
berbakat luar biasa dan penan yang virtous(mumpuni dan mapan).
Apa bila ko nse p Joged Mataram da n Hastha Sawan da
dikenakan pada penan-penan sekarang, maka kita sulit untuk
menemukan penan yang memenuhi persyaratan-persyaratan itu.
Apabila hal ini kita bandingkan dengan masa sebelurnnya, yaitu
pada awal tahun 1980-an tampak hadir penan-penan yang baik,
antara lain: Sunarno , Nora Kustantina Dewi, Rusini , Wahyu Santoso
Prabowo, dan Sutarno Haryono . Pada Pertengahan tahun 1980

Pendidikan Tari

93

an muncul juga beberapa penan, seperti: Nuryanto , Daryono, F.
Hari Mulyatno, Saryuni Padminingsih, Darmasti, Hadawiyah Endah
Utami , Samsuri , Snhadi, Silvester Pamardi, Didik Bambang
Wahyudi, Karyono, dan Jon~t
Sn ~uncor.
Aka~
t~api
setelah
masa itu, jarang muncul penan-penan baru yang baik, yang berarti
terjadi kemunduran kemunculan penan yang baik, terutama untuk
penari tokoh. Dalam hal ini, terdapat berbagai fakt~r
yang
mempengaruhinya , di antaranya: potensi mahasiswa, potenSl tenaga
pengajar , kurikulum , dan lingkungan.
Sejak STS[ Surakarta melaksanakan program S-l dirasakan
ini
kurang mampll memuncul.kan penan-penan yang baik. Ha~
memang wajar terjadi, karena kurikulum yang dilaksanakan tidak
menjuruskan mahasiswa pada profesi kepenanan saja, sehingga
mata kllliah yang harus ditempuh oleh mahasiswa sangat beragam.
Program S-l memang menghasilkan sarjana seni, sehing~
menekankan pada tuntutan kemampuan intelektual atau penan yang
memiliki intelektual.
Hal-hal yang kurang mendukLmg munculnya penan di antaranya:
1. Sistem belajar secara klasikal kurang memungkinkan seorang
pengajar memberikan perhatian yang maksimal pada setia~
mahasiswa, karena seorang pengajar tidak dapat mengetahUl
secara mendalam kemampuan masing-masing mahasiswa
dan tidak memiliki kesempatan mengembangkannya sesuai
dengan kemampuan mereka masing-masing.
.
2. Banyaknya mata kuliah tan yang harus ditempuh. Sebagal
contoh, mata kuliah tan yang harus ditempuh meliputi: tan
gaya Surakarta (jenis putri, a/us, gagah), gaya Yogy~art
,
tan Sunda, tan Bali, tan Minang (Sumatera), dan tan Jawa
Timur. Setiap mata kuliah tan ini diajarkan dua materi tari
pada tiap semester. Dengan demikian setiap se~t.r
mahasiswa tari harus mempelajari rata-rata 12 maten tan .

j Perlu dicatat, pada tahun 1995 STS! Surakarta mampu memunculkan
seorang penali teroaik, Mugiyono, yang telah melanglang ke beroagal negara
bersama dengan ktitikus tali Sal Murgiyanto dan koreografer handal Sardono W.
Kusumo.

94

WILED,

Jumai Seni

Mempelajari tari yang beragam gayanya dan berbeda
materinya, menyebabkan mahaSiswa tidak dapat mendalami
materi-materi tari tersebut. Oleh sebab itu, mahasiswa tidak
dapat mengekspresikan materi tari sesuai dengan karakter
tarinya. Mempelajari beragam gaya tari , akan menghambat
seorang untuk dapat menguasai salah satu gaya dengan
"benar", baik dalam teknik maupun karakter tarinya. Seorang akan dapat menjadi penari yang baik, jika mempelajari
salah satu jenis tari saja (gagah/ alus/ putri), atau mempelajari
salah satu karakter tari saja (misainya: karakter kera, karakter
Cakll, atau karakter Menakjingga).
Dengan materi tari yang beragam gaya dan jenisnya, seorang
mahasiswa mendapatkan banyak materi tari sebagai perbendaharaan, tetapi untuk penguasaan dan pendalaman
semua materi tari itu tidak mungkin dapat dicapai. Bahkan
tampak adanya kecenderungan kemampuan penari sekarang
lebih terasa fisikal atau "kurang olah rasa".
3. Kurangnya mata kuliah pendukung kemampuan tari yang
menekankan pada berbagai teknik tari dan hal-hal yang
bermanfaat dalam pembentukan tubuh penari. Hal ini
berkaitan dengan media ungkap penari adalah gerak yang
berkaitan erat dengan tubuhnya sebagai instrumen, maka
seorang penari dituntut memiliki tubuh dengan kondisi prima,
sehingga selalu siap untuk mengekspresikan tari, terutama
yang berkaitan dengan bentuk fisiknya. Seorang penari harus
mempunyai pengalaman gerak dalam berbagai bentuk
respon manusia. Untuk itu perlu diajarkan membuat variasi
dan memodifikasi tindakan terhadap respon individunya.
Respon individu yang bervariasi ini dipandu oleh pikiran
dan melahirkan kemampuan mengevaluasi perasaan yang
menunjukkan sifat emosional. Melalui tahap itu, seorang
penari menyempurnakan gerak sesuai dengan kehendaknya dan dapat melahirkan kualitas gerak. Kualitas gerak
merupakan faktor yang menetukan dalam karakter dan
ekspresi tari .
4 . Kurangnya waktu untuk berlatih dan mendalami tari.
Pembentukan kemampuan tari memerlukan waktu yang
panjang, karena modal dasar seorang penari adalah

Pendidikan Tar!

95

keterampilanj yang hanya dapat dicapai melalui latihan yang
dilaksanakan berulang-ulang dan memungkinkan seseorang
berusaha mengembangkan seluruh kemampuannya. Mahasiswa yang ingin menjadi calon penari profesional perlu
berlatih tari setiap hari, sepanjang tahun studinya. Oleh
karena kualitas pengalaman estetik atau tingkat penjiwaan
terhadap tari tertentu sangat ditentukan oleh kualitas
pengalamannya.
5. Kurangnya kesempatan untuk tampil dalam pergelaran tari.
Secara ideal, berlatih menari yang paling baik adalah kesempatan tampil dalam berbagai pementasan. Kesempatan
pentas di hadapan para penonton menjadikan seorang
penari lebih matang dalam kemampuannya. Seorang penari
yang matang berarti sudah memiliki kepekaan gerak dan
telah mempunyai kemampuan untuk mencapai daya ungkap
tari, yaitu mampu mengubah gerak mekanis menjadi gerak
yang mengalir dan indah.
Kecenderungan kemunduran kualitas penari tampak pula pada
beberapa fenomena yang dapat diamati pada perkembangan tari
tradisional gaya Surakarta. Penari sekarang tampak cenderung
menekankan pada keterampilan atau teknis saja dan belurn didukung
penjiwaan atau ekspresi yang dalam, serta belum dilengkapi kemampuan kreativitas atau kemampuan mengembangkan diri sesuai
dengan pribadinya. Selain itu, cenderung tampil dengan menggunakan energi fisik dan emosi daripada ekspresi perasaan. Tari
yang disajikan memang bagus, rapi, serempak, dan memikat
penonton, tetapi hanya sesaat. Gerak yang ditampilkan tampak
teratur, tetapi kurang ekspresif. Adanya kecenderungan penampilan
yang menuntut kerampakan atau bentuk fisik yang seragam, akan
menyebabkan rasa ungkap yang sama. Dampak yang lain tampak
pula pada kurangnya penjiwaan terhadap beragam karakter yang
ada dalam tari tradisional Jawa, sehingga semakin miskin kekayaan
ekspresi atau karakter tari. Hal ini tampak pada berbagai pergelaran
yang sering dilakukan, seorang penari yang menyajikan tari tokoh
Gathutkaca akan sama penjiwaan karaktemya dengan menyajikan
tari tokoh Rahwana, KIana, atau Setyaki. Demikian pula jika
membawakan peran kera akan sama.dengan peran Cakil. Walaupun

WILED,

Jumai Seni

97

Pendidikan Tari

teknik sangat penting dalam tari tradisional gaya Surakarta namun
hanya sebagai sarana ungkap dan bukan tujuan.
'
~enari
sekarang pada umumnya tidak sabar menunggu hasil
bela)arn?a; me:eka cenderung mengejar status, honorarium, dan
populantas. Akib~tnya,
banyak penari yang karier dan visinya justru
ru~
oleh karena Jtu. Pendek kata, mereka tidak tahan dalam proses
latihan dan tuntutan tari tradisional yang memerlukan pendalaman
terus-menerus. Kesempatan untuk tampil sebagai penari dalam
berag~i
kegiatan pentas (Up .y. U) tidak digunakan sebagai ajang
ekspreSl.
Prose~
belajar-mengajar tari tradisional gaya Surakarta juga
m~gal
perubahan. Jika sebelumnya seseorang yang belajar
tan Jtu dJawali dari mendengar iring an tari (secara auditif), maka
sekarang cenderung diawali dengan pengenalan bentuk fisik (secara
~sual)
.. T~tik
pijak ini ternyata mempengaruhi penjiwaan tari yang
dJpela]an. Cara belajar tari yang berpijak pada auditif lebih
memungkinkan melatih kepekaan rasa, dan sebaliknya bel;jar tari
yang berpijak pada visuallebih melemahkan kepekaan rasa.
Kemajuan teknologi dan komunikasi, serta perubahan zaman
dan pergeseran kehidupan tari tradisional gaya Surakarta meberbagai perubahan tuntutan kualitas penari.
mungkinkru: ~erjadiny
Perub~han
Jm tentunya bukan karena pendidikan tari formal kurang
berhasJI dalam membentuk penari-penari yang baik, melainkan
karena adanya perbedaan dalam tujuan pendidikan yang berlaku.
Pembentukan penari memang dilakukan , tetapi tidak seluas dan
se~alm
pendidikan tari tradisional sebelumnya. Pendidikan tinggi
tan yang mempunyai masa studi 5 tahun memang sulit untuk dapat
membentuk penari-penari yang handal atau penari yang memenuhi
kriteria Joged Mataram dan Hastha Sawanda.
Walaupun tujuan pendidikan tinggi tari formal bukan menekankan pada pembn~a
penari saja, tetapi sebenarnya peranannya
dalam hal Jtu maSlh mungkin ditingkatkan . Peningkatan kualitas
pendidikan tari di antaranya ditentukan oleh kualitas masukan
mahasiswa dan kemampuan pengajar tari yang memadai. Pendika~
.tari yang. ideal, sewajarnya mensyaratkan mahasiswanya
memiliki bakat tan yang yang memadai sebagai modal utama untuk
studinya. Akan tetapi tuntutan itu kadang-kadang sulit dipenuhi
karena kesulitan untuk mendeteksi bakat seseorang, sehingga tidak

dapat dihindari adanya mahasiswa yang tidak memiliki bakat tari.
Oleh karena itu, perlu ditemukan cara untuk dapat mengetahui
bakat seorang calon mahasiswa. Selain itu, perlu pula diketahui
motivasi mahasiswa dalam menekuni bidang tari. Pengajar tari di
STSI Surakarta yang pada umumnya masih muda perlu selalu
meningkatkan dan mengembangkan kemampuannya, salah satunya
dengan menyerap kemampuan para empu tari. Masalah kemahiran
teknik para pengajar sudah sang at memadai, akan tetapi untuk
mencapai kualitas tari memerlukan ketekunan dan keterlatihan untuk
selalu mengembangkan kemampuan secara kontinu. Keterampilan
lain yang perlu dimiliki pengajar adalah cara menyampaikan materi
tari dengan penguasaan teknik, dan dapat mentransmisi nilai ungkap
atau penjiwaan karakter tari . Juga diperlukan kemampuan untuk
memacu kemampuan dan mengembangkan kemampuan
mahasiswa sesuai dengan potensi yang dimiliki. Pengajar tari perlu
memahami dan menerapkan konsep Joged Mataram dan Hastha
Sawanda sebagai pegangan dalam proses pembentukan penari.
Walaupun sekarang kebebasan kreativitas penari dituntut lebih
terbuka, namun tampaknya konsep terse but masih relevan untuk
diterapkan karena sifatnya luwes. Juga perlu ditumbuhkan iklim
berkesenian, yang dapat mendorong para pengajar untuk terus
meningkatkan kemampuan dan berkarya tari.
Apabila kita mengamati kehidupan tari di Indonesia, tampak
bahwa telah tumbuh dan berkembang hampir dalam segala
aspeknya ; jumlah kegiatan tari meningkat, jumlah penari bertamball
banyak, taraf profesi tari muncul dan meningkat, timbul perubahanperubahan pada tari tradisional, perhatian dan penghayatan pada
tari rakyat meningkat dan bentuk-bentuk tari baru mulai tumbuh
(Edi Sedyawati 1984:90). Penilaian terhadap kehidupan tari tersebut
dapat dimengerti, karena pada kenyataannya kehidupan tari telah
tumbuh secara subur dan telah menyebar secara luas di masyarakat.
Akan tetapi perkembangan kehidupan tari yang tampaknya menggembirakan itu, ternyata semu". Perkembangan tari sekarang ini
cenderung pada kuantitas daripada kualitasnya. Polemik yang
ini mengenai krisisnya empu tari gaya Yogyamuncul akhir~
karta juga merupakan salah satu bukti adanya kesenjangan yang
terjadi dalam kehidupan tari tradisional. Lembaga pendidikan tinggi
tari diharapkan dapat mempertipis kesenjangan yang terjadi dalam
U

Pendidikan Tari

kehidupan tari tradisional, dan perkembangan tari secara kualitas
dapat tercapai.

Daftar Pustaka
DewanAhli
1981

Kawruh Joged Mataram . Yogyakarta: Dewan Ahli
Yayasan Siswa Beksa Ngayogyakarta.
Dewan Kesenian Propinsi DIY
1981
Mengenai Tari Klasik Gaya Yogyakarta . Yogyakarta:
Proyek Pengembangan Kesenian DIY, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Edi Sedyawati
1981
Pertumbuhan Seni Pertunjukan . Jakarta: Sinar Harapan.
1984
T ari, Tinjauan dari Berbagai Segi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Humardani, S.D.
1981
Masalah-Masalah Dasar Pengembangan Seni Tradisi.
Surakarta: ASK!.
1982
Kumpulan Kertas tentang Kesenian . Surakarta: ASK!.
Koentjaraningrat
1987
Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan . Jakarta: PI
Gramedia.
Langer, Suzanne K.
1980
Problematika Seni. Transk. F.X. Widaryanto . Bandung:
ASTI.
llndsay, JenrUier
1991
Klasik , Kitsch , Kontemporer: S ebuah S tudi ten tang
Seni Pertunjukan Jawa . Transk. Nin Bakdi Sumanto .
Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Rustopo (ed .)
1991
Gendhon Humardani : Pemikiran dan Kritiknya .
Surakarta: STSI Press.
Soedarsono, R.M .
1987
Pengantar Pengetahuan dan Komposisi Tari . Yogyakarta: ASTI.

99

Suryobrongto